DISERTASI
OLEH :
LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN
NOTARIS DALAM PEMBUATAN
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
DISERTASI
OLEH :
LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN
NOTARIS DALAM PEMBUATAN
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
DISERTASI
Dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Fakultas Hukum Universitas Andalas
Pada hari Sabtu, Tanggal 18 Desember 2021
OLEH :
LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002
OLEH :
LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002
Naskah Disertasi
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Gelar Doktor
dalam Ilmu Hukum ini telah disetujui oleh Tim Promotor dan
tanggal seperti yang tertera di bawah ini
Prof. Dr. BUSYRA AZHERI, S.H., M.Hum Dr. AZMI FENDRI, S.H., M.Kn
Co Promotor I Co Promotor II
Mengetahui,
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Andalas
Komisi Pembimbing
Dosen Penguji
Leny Agustan
i
ABSTRAK
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
(Leny Agustan, 1730112002, Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang)
Notaris dan PPAT adalah sama-sama selaku pejabat umum, yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta otentik. Notaris berwenangan untuk membuat akta otentik
mengenai perjanjian, penetapan dan perbuatan. PPAT berwenangan membuat akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun. Notaris dan PPAT diberi kewenangan yang sama dalam pembuatan
SKMHT, hal ini berdasarkan UU Hak tanggungan 1996. Notaris dapat membuat
SKMHT dalam bentuk minuta akta dan akta ini originali, sedangkan PPAT dapat
membuat SKMHT dalam bentuk akta PPAT. Praktik yang terjadi dilapangan, terdapat
pembuatan SKMHT dalam bentuk gabungan akta notaris dan akta PPAT. Sehingga
tidak ada kepastian hukum terhadap notaris, PPAT, dan pihak yang berkepentingan
terhadap SKMHT tersebut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisa,
(1) pengaturan terhadap kewenangan notaris dan PPAT dalam pembuatan surat kuasa
membebankan hak tanggungan, (2) kepastian hukum terhadap kewenangan notaris
dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan, (3) tanggung jawab
notaris dan PPAT dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan.
Penelitian ini bersifat deskriftif analitis, dengan menggunakan pendekatan normatif,
menggunakan data sekunder sebagai bahan utama dengan pengkajian terhadap bahan
hukum primer, sedangkan data primer berupa wawancara hanya sebagai membantu
kelengkapan data sekunder. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa, (1) notaris dan
PPAT berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996 memiliki kewenangan dalam pembuatan
SKMHT. Berdasarkan pengaturan, kewenangan, wilayah kerja, kekuatan pembuktian
dan kewajiban pelaporan, maka pembuatan SKMHT lebih tepat menjadi kewenangan
notaris. (2) ketidakpastian hukum terhadap SKMHT baik terhadap notaris, PPAT,
perbankan dan pihak yang berkepentingan terhadap SKMHT tersebut dikarenakan,
bentuk SKMHT yang diterima oleh setiap Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berbeda-
beda, karena kewenangan dari pembuatannya, adanya keterbatasan jangka waktu
SKMHT dan diberlakukanya hak tanggungan secara elektronik. (3) terdapatnya
tanggung jawab bagi notaris dan PPAT dalam pembuatan SKMHT baik pidana, perdata
dan administrasi. terhadap SKMHT yang dibuat dalam bentuk penggabungan akta
notaris dan akta PPAT, maka tanggungjawab dibebankan terhadap jabatan notaris.
ii
ABSTRACT
Notaries and PPAT are both public officials, who are given the authority to produce
authentic deeds. Notaries are authorized to make authentic deeds regarding agreements,
stipulations and deeds. Land Deed Official (PPAT) has the authority to make an
authentic deed regarding certain legal actions regarding land rights or property rights
over flat units. Notaries and PPATs are given the same authority in producing a power
of attorney to impose dependent right (SKMHT). This is based on the constitution of
Dependent Right in 1996. Notaries can produce SKMHT in the form of a minuta deed
and this deed is original, while PPAT can produce SKMHT in the form of a PPAT deed.
In practice, there is the producing of SKMHT in the form of a combined notarial deed
and PPAT deed. As a result, there is no legal assurance for the notary, PPAT, and
parties with an interest of that SKMHT. Therefore, this study aims to analyze, (1) the
regulation of the authority of a notary and PPAT in producing a power of attorney to
impose dependent rights (SKMHT), (2) legal assurance over the authority of a notary in
producing a power of attorney to impose dependent rights (SKMHT), (3) the
responsibilities of a notary and PPAT in producing a power of attorney to impose
dependent rights (SKMHT). This research is descriptive analytical by using a normative
approach and secondary data as the main material with an assessment of primary legal
materials, while primary data in the form of interviews are only to help complete
secondary data. Based on the research, it was found that (1) notaries and PPAT based
on the dependent Right in 1996 have the authority to make SKMHT. Based on
regulation, authority, working area, strength of evidence and reporting obligations, the
producing of SKMHT becomes the authority of a notary. (2) legal uncertainty that
occured regarding SKMHT, both for notaries, PPAT, banks and interested parties in the
SKMHT caused by the form of SKMHT received by each Regency/City Land Office is
different, the authority of its manufacture, the limited period of SKMHT and the
applying of Dependent Right electronically. (3)There is responsibility for Notaries and
PPAT in producing SKMHT, not only criminal and civil, but also administrative. for
SKMHT made in the form of a combination of a notary deed and a PPAT deed, the
responsibility is borned by the Notary position.
iii
KATA PENGANTAR
Wassalam
Padang,
Penulis
v
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN DISERTASI
ABSTRAK 0
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………. 1
B. Perumusan Masalah…………………………………………….. 11
C. Keaslian Penelitian ……………………………………………. 11
D. Tujuan Penelitian …………………..………………………….. 11
E. Manfaat Penelitian ……………………..……………………… 11
F. Kerangka Penelitian ……………………….. …..……………... 12
1. Kerangka Teoritis ……………………………………………. 12
II. METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 16
A. Pendekatan dan Sifat Penelitian ….…………………………... 16
B. Jenis dan Sumber Data Penelitian …………..………………… 17
C. Teknik/Metode Pengumpulan data …………………………. 17
D. Pengelolaan dan Analisis Data ….…………………………….. 18
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… 18
A. PENGATURAN TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS
DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN
1. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada Ketentuan Jabatan Notaris Dan Jabatan Pembuat Akta
Tanah (PPAT) …………………………………............................... 18
a. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada Ketentuan Jabatan PPAT ……………………………… 18
b. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada Ketentuan Jabatan Notaris ……………………………. 25
2. Sinkronisasi Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan ………………………….............................................. 32
3. Pilihan Hukum Dalam Pembuatan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan……............................................... 35
B. KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS
DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN
1. Karakteristis Akta-Akta Notaris di Bidang Pertanahan ………… 37
a. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa (PPJB dan
Kuasa) …………......................................................................... 38
b. Akta Pelepasan Hak ….……………………………………… 40
c. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)…… 42
2. Kepastian Hukum Terhadap Kewenangan Notaris dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan…......................... 44
C. TANGGUNG JAWAB NOTARIS DAN PEJABAT PEMBUAT
AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA
MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
vi
1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Alat
Bukti Di Bawah Tangan Dan Alat Bukti Otentik ............................. 54
2. Tanggung Jawab Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan Berdasarkan UU Jabatan Notaris 2014 dan
PP Jabatan PPAT 2016 ………………….......................................... 59
a. Tanggung Jawab Notaris Dalam Membuat Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berdasarkan
Undang-Undang Jabatan Notaris …………………………......... 59
b. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan........... 66
c. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan Berdasarkan
Peraturan Pertanahan ………………………………….…......... 72
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………........ 74
B. Saran …………………………………………………………….. 75
DAFTAR PUSTAKA
vii
DAFTAR SINGKATAN
viii
9
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD Tahun 1945) menentukan secara tegas bahwa Negara Republik
Indonesia adalah Negara Hukum. 1 Negara hukum2 berkembang di Eropah dimulai
pada abad ketujuh belas hingga abad kedelapan belas, dimana konsep negara
hukum dikenal ada dua macam terdiri dari konsep negara hukum dalam arti
rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Istilah
rechtsstaat dikenal di negara-negara Eropa Kontinental, yang dikembangkan dan
dianut oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan the
rule of law, berkembang di negara-negara anglosaxon, dipelopori oleh A.V. Dicey
di Inggris. Pada dasarnya kedua konsep rechtsstaat dan the rule of law tersebut
memiliki maksud yang sama, yaitu adanya the dignity of man, dimana
perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghormatan atas martabat
manusia.
Paham negara hukum3 berdasarkan hukum menunjuk pada, segala kekuasaan
alat-alat pemerintah berdasarkan hukum dan diluar hukum tidak berwenang
sedikit pun. Dan semua warga negara harus tunduk pada hukum yang diadakan
oleh rakyat seluruhnya melalui wakil-wakil rakyat. Jadi, hukumlah yang berkuasa
dalam negara bukan penguasa.4 Tindakan aparatur dan masyarakatnya harus
berdasarkan hukum, untuk dapat terciptanya negara hukum maka dilakukanlah
pembangunan dalam bidang hukum. Pembangunan bidang hukum didasarkan
pada sumber tertib hukum negara yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan
hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang
meliputi suasana watak bangsa yang terdapat dalam Pancasila dan UUD Tahun
1945.
Prinsip Negara secara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.5 Pada Amamdemen
UUD Tahun 1945 pada Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
1
Kepustakaan Indonesia sudah tidak asing lagi dalam menggunakan istilah “negara hukum”,
sebagai terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “Rechtsstaat”. Penggunaan istilah
Rechtsstaat juga terdapat dalam penjelasan UUD Tahun 1945. Lihat Marwan Effendy, 2004, Teori
Hukum, dan Perpektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi
(Gaung Persada Press Group), Jakarta, hlm. 203
2
Pengertian rechstaat, merujuk pada pemikiran yang dikemukakan oleh Julius Stahl,
setidaknya terdapat empat pondasi yang harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia (grondrechten), adanya pembagian kekuasaan (scheiding
van machten), pemerintahan yang berdasarkan undang-undang (wet matigheid van bestuur), dan
adanya peradilan tata usaha negara (administratieve rechspraak). Lihat, Jimly Ashiddiqie, 2005,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 52
3
Paham negara hukum adalah asas yang berlaku universal yang diterima dan diakui oleh
negara-negara sebagai landasan bagi bekerjanya sistem hukum dan pemerintahan. Lihat Krishna
Djaya Darumurti, 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, hlm. 12
4
Frans Magnis Suseno, 1988, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Kanisius, Jakarta, hlm. 295
5
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris 2004)
9
10
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Semua warga negara Indonesia baik
dari segi jenis kelamin laki-laki dan wanita, dari segi umur tua dan muda, dari segi
pekerjaan pengusaha maupun buruh dimata hukum mereka adalah sama. Begitu
juga halnya dengan notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut
PPAT). Notaris dan PPAT sebagai profesi yang diakui oleh negara juga sudah
seyogyanya mendapatkan porsi yang sama dalam perlindungan dan kepastian
hukum pada pelaksanaan tugasnya.
Notaris6 sebagai salah satu pejabat7 umum yang diberi kewenangan yang
sangat khusus oleh negara memiliki peranan dalam menjalankan roda negara
dalam bidang hukum, peranan tersebut berfungsi supaya tegak dan tercapainya
kepastian hukum dalam setiap kewenangan yang telah diberikan kepadanya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris 2014), pada
Pasal 1 angka 1:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya.”
Notaris sebagai pejabat yang ditunjuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam hukum perdata, terutama dalam pembuatan akta otentik
diserahi tugas dan kewenangan berdasarkan aturan perundangan-undangan, yang
tertuang dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UU Jabatan Notaris 2014, yaitu:
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
6
Lihat juga Staatsblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
Peraturan Jabatan Notaris 1860), Pasal 1, menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang satu-
satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang harus dilakukan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.
7
Jika dilihat pengertian pejabat menurut Harun Alrasid, yang dikutip oleh A‟an Efendi dan
Freddy Poernomo, bahwa seseorang yang memegang dan memangku suatu jabatan disebut
„penjabat‟ (pakai huruf “n”, karena pokok katanya dimulai dengan huruf “j”). Dalam praktek
sering juga disebut „pejabat‟ (tidak pakai huruf „n‟). Istilah, ini selain dipakai dalam arti pemangku
jabatan (arti pertama), juga dipakai dalam arti penjabat yang untuk sementara wakil mewakili
penjabat lain yang berhalangan melaksanakan tugas jabatannya (arti kedua), dan dalam arti
penjabat untuk sementara waktu mengisi suatu jabatan yang sedang lowong sampai ditentukannya
penjabat yang tetap (arti ketiga). Lihat, A‟an Efendi dan Freddy Poernomo, 2017, Hukum
Administrasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96
10
11
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), notaris
berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus
c. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
g. Membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris 2014 adalah membuat akta
otentik. Pengertian akta otentik diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata), menyebutkan suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat,
sedangkan pada UU Jabatan Notaris 2014 pengertian mengenai akta otentik tidak
didefinikan secara gramatikal, hanya disebutkan dalam Pasal 1 angka 7,
menyebutkan akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu akta otentik harus memuat unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Dibuat dalam bentuk dan tata cara menurut undang-undang
2. Dihadapkan pejabat umum yang berwenang
3. Ditempat akta dibuat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa
yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Bentuk akta otentik berdasarkan
UU Jabatan Notaris 2014 diatur dalam Pasal 38, yaitu:
“ (1) Setiap akta terdiri atas:
a. Awal akta atau kepala akta
b. Badan akta
c. Akhir akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. Judul akta
b. Nomor akta
c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris
11
12
8
Herlien Budiono (I), 2014, Dasar-Dasar Pembuatan Akta Notaris, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 32
12
13
akta yang dibuat notaris yang menyimpang dari ketentuan Pasal 38 UU Jabatan
Notaris 2014, khususnya pada bagian awal akta, antara lain: 9
1. Akta Perbankan Syariah (berdasarkan prinsip syariah)
2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut dengan
SKMHT)
3. Akta Pendirian Koperasi.
Kewenangan notaris yang dilakukan dalam hal menjalankan jabatannya
sebagai notaris dalam membuat akta otentik merupakan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur melalui UU Jabatan Notaris
2014.10 Semua kewenangan yang diberikan oleh UU Jabatan Notaris 2014 pada
notaris tersebut merupakan suatu rasa kepercayaan dari negara terhadap jabatan
notaris, sehingga dapat pula notaris disebut sebagai jabatan kepercayaan yang
bermakna dimana notaris sebagai orang yang dipercaya sesuai dengan sumpah
jabatan yang di embannya yaitu merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan
yang dia peroleh dari kliennya.
Apabila notaris keluar dari kewenangannya sesuai dengan yang ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan maka terhadap akta yang dibuat oleh notaris
tersebut baik mengenai perjanjian, perbuatan maupun penetapan hukum akan ada
tanggung jawab yang harus dipikul oleh notaris. Mengenai kedudukan akta, maka
akta akan terdegradasi menjadi akta dibawah tangan dan bukan merupakan akta
otentik, dimana nantinya akan berkaitan dengan alat bukti. Akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan lengkap, berbeda dengan
pembuktian akta dibawah tangan dan dapat cacat hukum yang menyebabkan
kebatalan atau ketidakabsahan akta tersebut. Menurut Philipus M. Hadjon,
penyalahgunaan wewenang akan menimbulkan tanggung jawab, yang dibedakan
dalam 2 hal, yaitu:11
1. Tanggung jabatan, yang berkenaan dengan legalitas (keabsahan)
2. Tanggung jawab pribadi, berkaitan dengan pendekatan fungsionaris.
Pertanggungjawaban atau liability menurut Pound sebagai suatu kewajiban
untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah
“dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang
terhadap kepentingan kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan
ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat
penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya semula sebagai
suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.12 Notaris pun sebagai
9
Habib Adjie (I), 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 50
10
M. Luthfan Hadi Darus, 2017, Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Jabatan Notaris, UII
Press, Yogyakarta, hlm. 21
11
Philipus M. Hardjon (I), 2008, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi
Atas Tindak Pemerintahan, Makalah Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, hlm. 21
12
Ramli Atmasasmita (I), 1989, Asas-AsasPerbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH,
Jakarta, hlm. 79
13
14
suatu jabatan dapat dikenakan tanggung jawab berupa pelaksanaan kewajiban bagi
pengguna jasanya, pertanggungjawaban ini menurut Herlien Budiono, mengutip
pendapat Melis, meliputi bidang:13
1. Hukum privat
2. Hukum pajak
3. Hukum pidana, dan
4. Disipliner notaris (notarieel tuchtrecht)
Aspek pertanggungjawaban notaris timbul karena adanya kesalahan yang di
lakukan dalam menjalankan suatu tugas jabatan dan kesalahan itu menimbulkan
kerugian bagi orang yang meminta jasa pelayanan (klien) notaris, artinya untuk
menetapkan seseorang notaris bersalah yang menyebabkan penggantian biaya,
ganti rugi dan bunga, diisyaratkan bilamana perbuatan melawan hukum dari
notaris tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan pertanggungjawaban tersebut
dapat dilihat dari sudut pandang keperdataan, administrasi maupun dari sudut
pandang hukum pidana.14 Selain notaris ada pejabat lain yang disebut juga pejabat
umum yaitu, PPAT. PPAT mempunyai tujuan yang sama dengan notaris, yaitu,
menjamin terlaksananya kepastian hukum, terutama kepastian dalam pendaftaran
hak atas tanah.
UU Pokok Agraria 1960 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP
Pendaftaran Tanah 1961), tidak menyebut PPAT dan tidak memberikan
pengertian tentang PPAT.15 Pengertian PPAT terdapat pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Jabatan PPAT 2016) pada Pasal 1
angka 1, menyebutkan, bahwa:
“pejabat umum yang diberi kewewenangan untuk membuat akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengani hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun.”
Akta PPAT berdasarkan PP Jabatan PPAT 2016 pada Pasal 1 angka 4, adalah
akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun. Sedangkan tugas dan kewenangan dari PPAT berdasarkan Pasal 2 PP
Jabatan PPAT 2016, adalah:
“(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
13
Herlien Budiono (II), 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, Di Bidang Kenotariatan,
Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 255
14
Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 33
15
Urip Santoso (I), 2016, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perspektif Regulasi, Wewenang, dan
Sifat Akta, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 60
14
15
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
g. Pemberian Hak Tanggungan
h. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.”
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris 2016 dan Pasal 2 PP
Jabatan PPAT 2016, maka notaris dan PPAT mempunyai kewenangan yang sama
dalam hal membuat SKMHT. Pembuatan SKMHT ini tentu berdasarkan pada
aturan yang di miliki oleh masing-masing pejabat tersebut. SKMHT dapat dibuat
berupa akta notaris dan akta PPAT, tentunya membawa konsekuensi logis bagi
pejabat yang berwenang untuk membuatnya.
SKMHT adalah surat yang dibuat di muka dan di hadapan notaris atau PPAT,
yang mengatur hubungan hukum antara pemberi kuasa dengan pemegang kuasa,
dimana pemberi kuasa memberikan kekuasaan kepada pemegang kuasa untuk
membebankan hak tanggungan terhadap hak atas tanah/atau hak atas satuan
rumah susun yang akan dijadikan jaminan utang.16 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak
Tanggungan 1996) bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya
lembaga hak tanggungan yang kuat, di antaranya mengenai kedudukan SKMHT.
Dalam hal ini pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT atau
notaris. Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan 1996 memberikan kesempatan
kepada penerima hak tanggungan untuk menggunakan SKMHT.17 Ada 2 (dua)
alasan pembuatan dan penggunaan SKMHT, yaitu: 18
1. Alasan subjektif, yaitu:
a. Pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan
notaris/PPAT untuk membuat akta hak tanggungan
b. Prosedur pembebanan hak tanggungan panjang/lama
c. Biaya pembuatan hak tanggungan cukup tinggi
d. Kredit yang diberikan jangka pendek
e. Kredit yang diberikan tidak besar/kecil
f. Debitur sangat dipercaya/bonafit.
2. Alasan objektif, yaitu:
16
Salim HS (I), 2016, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 276
17
Adrian Sutedi (I), 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 95
18
Ibid, hlm. 147-148
15
16
16
17
17
18
kedua SKMHT yang dibuat dengan akta PPAT, bentuk ketiga SKMHT yang
dibuat dengan penggabungan akta notaris dan akta PPAT. Bentuk ketiga ini dibuat
dengan format akta PPAT namun ditandatangani oleh notaris. Bentuk ketiga ini
biasanya digunakan terhadap objek SKMHT yang berada di luar tempat
kedudukan PPAT. Ketidaksesuaian aturan dalam pembuatan SKMHT ini tentu
menimbulkan pertanggungjawaban terhadap notaris dan PPAT, dikarenakan
bentuk akta tidak sesuai dengan aturan yang mengaturnya. Sehingga tidak ada
kepastian hukum terhadap SKMHT tersebut.
Ketidakpastian hukum ini berlanjut dimana pada Tahun 2020 diundangkanlah
Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Pelayanan Hak
Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (selanjutnya disebut PERKABAN
HT-EL 2020) yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan hak tanggungan
yang memenuhi asas keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan
keterjangkauan untuk pelayanan publik, serta untuk menyesuaikan perkembangan
hukum, teknologi dan kebutuhan masyarakat. Pendaftaran hak tanggungan
dilakukan melalui sistem hak tanggungan yang terintegrasi secara elektronik.
Semua dokumen kelengkapan dan akta hak tanggungan disampaikan melalui
sistem elektronik mitra kerja yang terintegrasi secara elektronik. Oleh karena itu,
SKMHT sebagai salah satu dokumen kelengkapan pada pendaftaran hak
tanggungan dengan sistem elektronik, tidak dilakukan pengcekkan apakah
SKMHT dibuat oleh notaris atau oleh PPAT, sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Kantor Badan Pertanahan hanya bertugas memeriksa kesesuaian
dokumen kelengkapan hak tanggungan termasuk SKMHT, tidak mengkaji apakah
SKMHT ini sudah sesuai aturan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 atau UU
Jabatan Notaris 2016. Hal ini tentu tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi
notaris dan PPAT, maupun kreditur. Bagi Negara Hukum kepastian hukum
merupakan ciri yang tidak dapat terpisahkan dengan hukum, terutama untuk
norma tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, dalam istilah Latin Ubi
jus incertum, ibi jus nulum yang artinya di mana tidak ada kepastian hukum, di
situ tidak ada hukum.
Mengenai siapa yang bertanggungjawab terhadap SKMHT yang dibuat
dengan akta PPAT namun memakai penomoran, cap dan ditandatangani oleh
notaris juga menjadi suatu permasalahan. Akta notaris jelas menjadi tanggung
jawab notaris yang membuatnya dan PPAT bertanggung jawab terhadap akta
PPAT yang dibuatnya. Sedangkan terhadap SKMHT yang dibuat dalam bentuk
akta PPAT tapi nomor, cap dan tanda tangan notaris, siapa yang
bertanggungjawab jika terjadi suatu permasalahan. Pada beberapa kasus terhadap
SKMHT bentuk pengabungan ini, pertanggungjawabannya lebih banyak
dibebankan pada jabatan notaris dibandingkan dengan PPAT.
Mengatasi masalah-masalah yang muncul dilapangan dan tidak adanya
aturan/norma yang tegas mengenai hal ini sehingga menimbulkan inkosistensi
terhadap aturan dari SKMHT, yang dampaknya tidak adanya kepastian hukum
dan perlindungan hukum baik bagi notaris dan PPAT, badan pertanahan serta para
pihak, maka penulis tertarik untuk menelitian hal tersebut. Berdasarkan uraian
18
19
latar belakang tersebut diatas, maka penulis perlu melakukan penelitian dalam
bentuk disertasi dengan judul:
“KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN”
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis berusaha membatasi masalah dengan
mengindefikasikannya sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan terhadap kewenangan notaris dan PPAT dalam
pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan?
2. Bagaimana kepastian hukum terhadap kewenangan notaris dalam
pembuatam surat kuasa membebankan hak tanggungan?
3. Bagaimana tanggung jawab notaris dan PPAT dalam pembuatan surat
kuasa membebankan hak tanggungan?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian disertasi yang fokus pada pertanggungjawaban notaris sudah
banyak dilakukan dan penelitian ini bukanlah yang pertama kali. Namun,
penelitian disertasi mengenai kepastian hukum terhadap kewenangan notaris
dalam membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan belum penulis jumpai
dan temukan. Berdasarkan penelitian kepustakaan, ditemukan beberapa penelitian
terdahulu yang erat kaitannya dengan penelitian ini, diantarannya:
1. Aspek Hukum Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, oleh
Sjaifurrachman, pada Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya, Tahun 2011.
2. Tanggung Jawab Notaris setelah Berakhirnya Masa Jabatannya terhadap
Akta yang Dibuatnya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, oleh Irma Erlie Yuana, pada Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 2010.
3. Kepastian Hukum Jaminan Hak Atas Tanah Yang Tidak Terdaftar
(Unregistered) Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Sumatera Utara, oleh
Emmi Rahmiwita Nasution, Pada Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, Tahun 2017
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisa dan mengetahui pengaturan terhadap kewenangan
notaris dan PPAT dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak
tanggungan
2. Untuk menganalisa dan mengetahui kepastian hukum terhadap
kewenangan notaris dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak
tanggungan
3. Untuk menganalisa dan mengetahui tanggung jawab notaris dan PPAT
dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi konsep atau acuan bagi notaris,
PPAT, perbankkan dan Kantor Badan Pertanahan di seluruh Indonesia
19
20
22
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani (I), 2014, Buku Kedua : Penerapan Teori Hukum
pada Penelitian Disertasi dan Tesis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 207
23
Ibid, hlm. 211
24
Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 45
25
Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani (I), Op.Cit, hlm. 213
20
21
b. Teori Kewenangan
Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris,
yaitu authority of theory¸istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda
yaitu, theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jermannya, yaitu
theorie der autoritat. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu
teori dan kewenangan.27 Berkaitan dengan istilah wewenang dan
kewenangan, Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara
pengertian kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara
kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid).
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan28 yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang, sedangkan hanya mengenai suatu onderdeel (bagian) tertentu
saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
26
M. Luthfan Hadi Darus, Op.Cit, hlm. 47
27
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani (II), 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi dan Tesis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183
28
Menurut Marwan Effendi, Kekuasaan merupakan suatu kemampuan individu atau
kelompok untuk melaksanakan kemauannya meskipun harus menghadapi pihak-pihak yang
menentangnya. Kemampuan untuk dapat melaksanakan keinginan tersebut disebabkan oleh
kekuatan fisik, keunggulan psikologi, atau kemampuan intelektual. Kekuasaan seseorang akan
bertambah apabila ia mendapatkan sambutan dari suatu kelompok yang penuh pengabdian dalam
mewujudkan tujuannya, seperti partai politik atau kelompok lain tertentu. Lihat, Marwan Effendi,
Op.Cit, hlm. 61
21
22
29
W. Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96
30
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 35-35
31
Yudhi Setiawan, dkk, 2017, Hukum Administrasi Pemerintahan, Teori Dan Praktek,
Rajawali Press, Depok, hlm. 99-101
22
23
23
24
f. tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan
g. tidak boleh sering diubah-ubah
h. tidak ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
II. Metode Penelitian
Metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah cara atau
menuju suatu jalan.37 Penelitian berarti mencari kembali sesuatu. Yang dicari
dalam suatu penelitian adalah pengetahuan yang benar, di mana pengetahuan yang
benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan
tertentu.38 Penelitian hukum sebagai proses pengidentifikasi dan mengambil
informasi yang diperlukan untuk mendukung hukum pengambilan keputusan.
Dalam arti luas penelitian hukum termasuk setiap langkah dari suatu tindakan
yang diawali dengan analisis fakta-fakta masalah dan diakhiri dengan aplikasi dan
komunikasi hasil penelitian tersebut.39 Pada penelitian hukum disusun dengan
konsep hukum dalam mencari jawaban dari permasalahan, untuk mengemukan
kepastian hukum, maka pada penelitian ini digunakan metode sebagai berikut:
A. Pendekatan dan Sifat Penelitian
Penelitian disertasi ini menggunakan metode pendekatan hukum
Normatif40, yaitu suatu penelitian yang secara induktif41, yang berfungsi untuk
memberikan argument yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan dan
konflik norma.42
37
Suteki dan Galang Taufani, 2018, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan
Praktik), Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 148
38
Ibid, hlm. 125
39
Esmi Warassih, dkk, 2016, Penelitian Hukum Interdisipliner, Sebuah Pengantar Menuju
Sosial-Legal, Thafamedia, Yogyakarta, hlm. 136
40
Menurut Sidharta, kegiatan yuridis normatif menyangkut kegiatan menginventarisasi,
memaparkan, menginterpretasi, dan mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum
positif yang berlaku dalam suatu masyarakat atau negara tertentu dengan bersaranakan konsep-
konsep (pengertian-pengertian), kategori-kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi, dan metode-
metode yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut yang
keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk mempersiapkan upaya menemukan penyelesaian
yuridis terhadap masalah hukum (mikro maupun makro) yang mungkin terjadi didalam
masyarakat. Jadi, ilmu hukum secara langsung terarah untuk menawarkan alternatif penyelesaian
yuridis terhadap masalah hukum konkret. Alternatif penyelesaian yang ditawarkan itu dirumuskan
dalam bentuk sebuah putusan hukum yang disebut dengan proposisi hukum. Lihat, Shidarta, dkk,
2009, Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm.
142
41
Menurut Soetandyo, proses penalaran yang berangkat dari suatu kalimat pernyataan khusus
untuk tiba pada suatu simpulan yang akan dapat menjawab suatu pertanyaan. Berfungsi sebagai
proses pembentukan benar salahnya suatu pendapat tesis ataupun hipotesis mengenai masalah
tertentu. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press,
Malang, hlm. 103
42
I Made Pasek Diantha, 2016, Metode Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, hlm.
12
24
25
43
Menurut Suteki dan Galang Taufani, Metode deskriptif merupakan salah satu dari jenis-
jenis metode penelitian. Metode penelitian deskriptif mengumpulkan informasi aktual secara rinci
yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi permasalahan atau memeriksa kondisi dan
praktik-praktik yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menetukan apa yang
dilakukan oang lain dalam menghadapi permasalahan yang sama dan belajar dari pengalaman
mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Lihat, Suteki dan
Galang Taufani, Op.Cit, hlm. 133
44
Penelitian analisis ditujukan untuk menyelidiki secara terperinci aktivitas dan pekerjaan
manusia, hasil penelitian tersebut dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk keperluan
masa yang akan datang. Lihat, Moh. Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, hlm. 71
45
Penelitian perpustakaan adalah metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian. Lihat, Metika Zed, 2008, Metode Penelitian Kepustakaan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 3
46
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 181
47
Suteki dan Galang Taufani, Op.Cit, hlm. 216
25
26
Terhadap SKMHT sebagai akta otentik maka aturan dasarnya adalah Pasal
1868 KUHPerdata, yang menyatakan:50
“suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya.”
Pasal 1868 KUHPerdata inilah yang menjadi dasar bagi suatu akta otentik,
termasuk SKMHT. Jika suatu akta kuasa membebankan hak tanggungan
ataupun surat kuasa membebankan hak tanggungan tidak memenuhi Pasal
1868 KUHPerdata, maka akta kuasa membebankan hak tanggungan ataupun
surat kuasa membebankan hak tanggungan tersebut tidak dapat dianggap
sebagai akta otentik.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan membahas mengenai
pengaturan SKMHT pada ketentuan jabatan notaris dan jabatan PPAT:
48
Ibid, hlm. 217
49
Menurut Septiawan Santana, pada pendekatan kualitatif referensi (kajian pustaka) menjadi
syarat penting di dalam riset, dan membantu berbagai tujuan penelitian. Di dalam kualitatif,
peneliti mengkaji berbagai literatur, dan menggunakannya untuk menjelaskan apa yang terjadi di
dalam penelitiannya, sekaligus pula mendapatkan jawaban dari berbagai hal yang ditemukan
selama penelitian. Lihat, Setiawan Santana K, 2010, Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 10
50
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 475
26
27
27
28
atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.”
28
29
(2) Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT juga
membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan yang
merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam
pembuatan akta pemberian hak tanggungan.”
29
30
30
31
dibuatkan SKMHTnya oleh PPAT Kota Padang Pariaman. Ini salah satu
kelemahan SKMHT dengan akta PPAT.
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 pada Pasal 95 menyebutkan
bahwa akta yang dibuat oleh PPAT harus sesuai dengan lampiran pada
PERKABAN ini. Lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 di
dalamnya terdapat mengenai cara pembuatan SKMHT. Mengenai bentuk,
sifat, dan isi SKMHT diatur dan ditetapkan oleh Menteri ATR/BPN.
Namun sampai saat ini tidak pernah ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai bentuk, sifat, dan isi akta PPAT, termasuk
SKMHT. Lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 hanya
menjelaskan bagaimana cara pengisian akta PPAT. Pengisian formulir
blanko SKMHT yang dimaksud dalam Pasal 96 PERKABAN Nomor 8
Tahun 2012, adalah formulir yang telah disediakan oleh Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten. Terhadap SKMHT dan APHT jika pengisian formulir
tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Menteri maka
terhadap pendaftaran perubahan data pendaftaran tidak dapat dilakukan
oleh Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012 dilatarbelakangi untuk meningkatkan pelayanan dalam penyiapan
dan pembuatan akta PPAT yang dilakukan oleh PPAT. Peningkatan
pelayanan ini tidak hanya berlaku bagi PPAT, tetapi berlaku juga terhadap
PPAT pengganti, PPAT sementara dan PPAT khusus. PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012 ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2013. Sejak
mulai berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 ini maka peraturan-
peraturan yang bertentangan dengan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berdasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 maka semua blanko-
blanko yang dahulunya pernah dibagikan kepada PPAT, harus diserahkan
kembali pada Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat oleh PPAT.
Pengembalian blanko tersebut membuat PPAT dapat mencetak sendiri
blanko yang semula dicetak oleh badan pertanahan. Sehinga, sejak
berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 ini maka seluruh PPAT di
Indonesia berkewajiban menyerahkan sisa-sisa blanko yang terdapat
dikantor mereka.51 Blanko-blanko yang dikembalikan oleh PPAT,
termasuk sementara, PPAT pengganti dan PPAT khusus, akan dibuatkan
berita acara pengembalian blanko oleh Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten
setempat. Tanda terima ini menerangkan blanko akta PPAT apa saja yang
diserahkan dan berapa jumlahnya. Pada blanko PPAT terdapat nomor seri
pada dibagian atas blanko. Setiap blanko memiliki nomor seri yang
berbeda dari dari blanko lainnya. Nomor seri ini merupakan nomor kode
dari Badan Pertanahan Nasional. Nomor seri yang terdapat pada blanko
akta PPAT ini bertujuan untuk melacak keberadaan akta PPAT tersebut,
dengan adanya nomor seri maka Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten dapat
mengetahui keberadaan blanko oleh PPAT. Oleh karena itu pada saat
pemberian kembali blanko akta PPAT kepada Kantor Pertanahan
51
Wawancara dengan Notaris/PPAT SRI HUSNIATI NAJMI, SH, PPAT/Notaris di
Kabupaten Agam, pada tanggal 5 September 2020.
31
32
32
33
33
34
“hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam
hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang. Begitu pula
kuasa yang memberikan hipotik harus dibuat dengan akta otentik.”
Sebelum berlakunya UU Hak Tanggungan 1996, lembaga jaminan
untuk hak tanggungan disebut dengan hipotik. Namun setelah
berlakunya UU Hak Tanggungan 1996, untuk jaminan benda tidak
bergerak berupa tanah, diatur dan tunduk pada UU Hak Tanggungan
1996. Berdasarkan Pasal 1171 KUHPerdata tersebut diatas, disebutkan
bahwa untuk pemasangan hipotik sekarang disebut hak tanggungan
harus dibuat dengan akta otentik, begitu juga dengan kuasanya. Kuasa
yang dimaksud disini adalah SKMHT.
b. Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UU Hak Tanggungan 1996
“(1) Surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan
akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
dari pada membebankan hak tanggungan
b. Tidak memuat kuasa substitusi
c. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas
debitor apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.
(2) Kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik
kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis
jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah
yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta
pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sesudah diberikan.
(4) Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah
yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta
pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak
berlaku dalam hal surat kuasa membebankan hak tanggungan
diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang tidak diikuti
dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan dalam waktu
yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau
ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”
UU Hak Tanggungan 1996 lahir salah satu alasannya adalah karena
bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat
pada bidang ekonomi, sehingga dibutuhkan penyediaan dana yang
cukup besar, dan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberi
34
35
35
36
36
37
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.”
Pasal 16
“(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib:
a. Bertindak amanah,jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari protokol Notaris
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
minuta akta
d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta
berdasarkan minuta akta
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
g.menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika
jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut
dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah
minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap
buku
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar
wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k.mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan
l. Mempunyai capatau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m.membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan,dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
notaris
37
38
38
39
SKMHT yang dibuat oleh notaris dapat berupa minuta akta dan akta
in originali. Minuta akta merupakan akta asli yang memuat tanda tangan
penghadap, saksi dan notaris. Minuta akta akan disimpan oleh notaris
sebagai bagian dari reportorium notaris. Minuta akta hanya terdiri atas 1
(satu) rangkap. Para pihak akan menerima salinan akta. Salinan akta isi
samanya dengan apa yang diterangkan dalam minuta akta. Salinan akta
yang diterima para pihak hanya ditandatangani oleh notaris yang
bersangkutan.
Menurut Salim HS, yang dikutip dari Yudo Diharjo Lantanea, akta in
originali adalah akta notaris dimana semua tanda tangan, paraf dan catatan
pinggir (renvoi) dimuat dalam akta. Akta in originali tersebut hanya dibuat
sebanyak yang dibutuhkan dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-
kata sebagai berikut “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.
Misalnya bila dibuat dalam 3 (tiga) rangkap, maka hanya sebanyak itu saja
yang diberikan dan notaris tidak diwajibkan untuk menyimpannya.
Meskipun akta in originali ini diberi nomor bulanan dan dimasukkan
dalam buku daftar notaris (repertorium) serta diberi nomor repertorium.
Pada praktiknya dalam hal para pihak membutuhkan 3 (tiga) rangkap,
notaris akan menawarkan untuk membuat 1 (satu) rangkap tambahan
untuk disimpan, diarsipkan oleh notaris sehingga dalam hal dibutuhkan
dikemudian hari oleh pihak yang berkepentingan karena satu dan lain hal,
maka notaris tersebut dapat membuat fotokopi terhadap akta ini originali
yang disimpan oleh notaris tersebut. Pengecualian dalam hal akta in
originali yang diberi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa, hanya
dapat dibuat 1 (satu) rangkap.53
SKMHT dapat dibuat oleh notaris apabila objek dari SKMHT berada
di luar tempat kedudukan notaris. Oleh karena notaris mempunyai wilayah
jabatan yang meliputi seluruh propinsi dari tempat kedudukannya.
Misalnya objek SKMHT berada di Kabupaten Pariaman, sedangkan
tempat kedudukan notaris di Kota Pariaman. Berdasarkan hal tersebut
maka notaris berwenang untuk membuat SKMHT.
53
Salim HS (III), 2016, Teknik Pembuatan Akta Satu, Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,
Bentuk, Dan Minuta Akta, RajaGrapindo Persada, Jakarta, hlm.153
39
40
54
Pada sistem hak pun setiap penciptaan hak baru dan perbuatan hukum yang menimbulkan
perbuatan hak juga harus dibuktikan dengan akta (deeds), tetapi penyelenggaraan pendaftarannya
bukan aktanya, yang didaftarkan melainkan haknya. Akta merupakan sumber datanya. Lihat, I
Ketut Oka Stiawan, 2019, Hukum Pendaftaran Tanah Dan Hak Tanggungan, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 33
40
41
55
Fungsi akta PPAT adalah sebagai bukti, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum
yang bersangkutan. Dan karena perbuatan hukum itu sifatnya tunai, sekaligus membuktikan
pindahnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada penerima hak. Karena tata usaha PPAT
sifatnya tertutup untuk umum, pembuktian mengenai pindahnya hak tersebut berlakunya terbatas
pada para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan para ahli waris serta
orang-orang yang diberitahu oleh mereka. Baru setelah didaftarkan, diperoleh alat bukti yang
mempunyai kekuatan hukum yang berlaku terhadap pihak ketiga, karena tata usaha pendaftaran
tanah Kantor Pertanahan mempunyai sifat terbuka untuk umum. Lihat, Adrian Sutedi (I), Op.Cit,
hlm. 143
56
Prinsipnya perjanjian dari aspek namanya digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu perjanjian
nominaat dan perjanjian innominaat. Perjanjian nominaat merupakan perjanjian yang dikenal
dalam KUHPerdata, seperti jual beli, tukar menukar, dan pemberian kuasa. Sedangkan perjanjian
innominaat merupakan perjanjian yang tumbuh dan berkembang di dalam praktek karena adanya
asas kebebasan berkontrak. Seperti leasing, kontrak karya dan beli sewa. Lihat, Salim HS (IV),
2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1
57
Sutan Remi Sjahdeini (I), 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok,
dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggung), Alumni, Bandung, hlm. 104
41
42
semua objek dari SKMHT yang terletak di dalam wilayah jabatan notaris
tersebut. Hal ini berbeda dengan PPAT, dimana daerah kerja dari PPAT
adalah satu wilayah kerja dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
SKMHT yang dibuat oleh PPAT hanya terhadap objek dari SKMHT yang
terletak pada kabupaten/kota. Objek SKMHT yang terletak di luar daerah
kerja PPAT, maka PPAT tidak berwenang untuk membuat SKMHTnya.
Berdasarkan hal tersebut ruang lingkup pembuatan SKMHT oleh notaris lebih
luas dibandingkan SKMHT yang dibuat oleh PPAT.
Keempat terhadap kekuatan pembuktian dari SKMHT. SKMHT yang
dibuat oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai
akta yang terkuat dan terpenuhi pada hukum acara. Hal ini didasarkan karena
SKMHT memenuhi syarat akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata.
Sedangkan SKMHT yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT tidak memenuhi
unsur akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata. Dikarenakan akta
PPAT bentuk dan tata caranya tidak ditetapkan berdasarkan undang-undang,
melainkan hanya berdasarkan peraturan kepala badan. Oleh karena itu akta
PPAT hanya merupakan akta di bawah tangan.
Kelima mengenai kewajiban pelaporan akta. Salah satu kewajiban PPAT
sebagai membuat akta adalah melaporkan akta tersebut kepada instansi terkait,
termasuk SKMHT. PPAT harus melaporkan akta PPAT yang dibuatnya
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional, Kantor Pajak Pratama, dan Kantor Dinas Pendapatan
Daerah setempat. Pelaporan akta PPAT pada Kantor Pajak Pratama dan
Kantor Dinas Pendapatan Daerah berhubungan dengan besarnya pengenaan
pajak pribadi atas akta yang dibuat oleh PPAT tersebut. Prakteknya,
pembuatan SKMHT ini jarang dipungut biaya oleh PPAT, oleh karena
SKMHT tersebut, hanya dianggap pelengkap dari APHT. Hal ini menjadi
salah satu dasar dibuatnya SKMHT dengan akta notaris. Oleh karena
kewajiban pelaporan terhadap akta notaris hanya kepada Majelis Pengawas
Daerah di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. Sehingga SKMHT
tidak masuk dalam perhitungan pengenaan pajak seperti halnya akta PPAT
dan notaris tidak mempunyai kewajiban untuk melaporkan akta-akta yang
dibuatnya pada Kantor Pajak Pratama maupun Kantor Dinas Pendapatan
Daerah.
Notaris, PPAT, dan Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten serta
perbankkan sebagai pihak yang memiliki keterkaitan dengan hak tanggungan
mempunyai tanggung jawab masing-masing terhadap SKMHT. Tanggung
jawab tersebut tentu sesuai dengan jabatan dari masing-masing pihak yang
terkait dengan pembuatan SKMHT. Pada prakteknya bentuk dari SKMHT
yang dibuat oleh dan dihadapan notaris dan PPAT terdapat beraneka ragam.
Ada SKMHT yang dibuat oleh notaris dan PPAT yang sesuai dengan jabatan
dan aturannya masing-masing, adanya juga SKMHT yang bentuknya tidak
diketahui mengacu kepada aturan yang mana.
Oleh karena itu, terhadap SKMHT agar sesuai dengan aturan dan
ketentuan dari masing-masing jabatan dalam pembuatan, maka diperlukan
sinkronisasi dari SKMHT tersebut. sehingga terhadap SKMH memiliki
42
43
kepastian hukum bagi para pihak yang menghendaki SKMHT tersebut, notaris
yang membuatnya serta pihak ketiga yang terkait terhadap SKMHT. Sehingga
dikemudian hari notaris maupun PPAT yang membuat SKMHT sebagai dasar
pemasangan APHT tidak terjadi masalah hukum dan pertanggungjawaban
hukum baik perdata, pidana dan administrasi.
3. Pilihan Hukum Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan
Pilihan hukum biasanya terjadi dalam lapangan hukum kontrak, terutama
terhadap kontrak internasional, disaat para pihak menentukan substansi
perjanjian, hak, kewajiban, resiko serta forum penyelesaian sengketa mana
yang dipilih oleh para pihak. Pilihan hukum ini lahir karena adanya asas
kebebasan berkontrak. Begitu juga dalam hal pembuatan SKMHT, notaris dan
PPAT dapat memilih bentuk SKMHT yang akan mereka buat. Jika bertindak
selaku notaris maka SKMHT dibuat berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996
dan UU Jabatan Notaris 2014. Jika selaku PPAT maka SKMHT dibuat
berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012. Baik notaris maupun PPAT dapat memilih sendiri aturan dan cara
dalam pembuatan SKMHT.
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tertentu tidak melarang jika notaris
dan PPAT membuat SKMHT sesuai dengan keinginan masing-masing.
Beberapa Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ada yang menerima berkas serta
kelangkapan hak tanggungan apabila notaris membuat SKMHT berdasarkan
UU Jabatan Notaris 2014. Demikian juga halnya bagi PPAT, dimana Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota menerima berkas serta kelengkapan dari hak
tanggungan apabila SKMHT dibuat oleh PPAT. Dan juga ada beberapa
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang menerima pembuatan SKMHT
berdasarkan penggabungan UU Jabatan Notaris 2014 dan PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012.
Hal ini merupakan tanggung jawab dari PPAT beserta organisasinya
yaitu IPPAT untuk mendiskusikan dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat. PPAT maupun IPPAT dapat menjelaskan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota bahwa apa yang menjadi tanggung jawab dari PPAT terhadap
akta yang dibuatnya. Tentu hal ini akan dapat dicari jalan keluar oleh PPAT,
IPPAT dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. SKMHT hakekatnya adalah
perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak. SKMHT dalam
pembuatannya tentu berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak. Dimana
setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian.
Notaris dan PPAT sebagai pembuat akta otentik, yang dapat dijadikan sebagai
alat bukti. Alat bukti yang diinginkan para pihak adalah alah bukti adalah
yang sempurna dimata hukum. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah baik
notaris maupun PPAT dalam membuat suatu akta harus berpedoman pada
aturan yang berlaku terhadap akta tersebut, supaya akta yang dibuat notaris
dan PPAT pada dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna.
Demikian juga halnya terhadap pembuatan SKMHT, jika notaris dan
PPAT sudah menjalankan aturan yang berlaku untuk pembuatan SKMHT,
maka akan terciptanya kepastian hukum dan meminimalisir tanggung jawab
43
44
atas akta tersebut. Mengenai dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat pada saat pendaftaran hak
tanggungan ini dapat dicarikan solusinya dengan jalan menjelaskan duduk
aturan atau pun dasar hukum dari SKMHT tersebut. Yang terpenting notaris
maupun PPAT memahami terlebih dahulu aturan dan ketentuan yang harus
dipenuhi dalam pembuatan suatu akta baik itu akta PPAT maupun akta notaris
terutama mengenai SKMHT. Karena terhadap SKMHT memiliki aturan dan
ketentuan yang berbeda. Hal ini didasarkan karena kewenangan pembuatannya
juga berbeda. Akhirnya tanggung jawab dari SKMHT juga berbeda terhadap
notaris dan PPAT.
Berdasarkan hal tersebut maka sudah seharusnya notaris dan PPAT
mengetahui. Karena jabatan notaris dan PPAT adalah jabatan profesional yang
harus tunduk dan taat pada aturan yang berlaku. Notaris dan PPAT merupakan
penegak hukum yang mau tidak mau harus memahami aturan-aturan hukum
yang berlaku bagi notaris dan PPAT tersebut dalam menjalankan jabatan dan
kewenangannya. Notaris dan PPAT adalah seorang sarjana hukum serta
seorang magister dibidang kenotariatan, yang mememiliki kewenangan
memberikan penyuluhan hukum berdasarkan UU Jabatan Notaris 2014. Baik
itu hukum pada umumnya serta hukum kenotariatan pada khususnya,
termasuk didalamnya SKMHT.
Jika notaris dan PPAT sudah memahami dan menaati aturan ketentuan
mengenai SKMHT. Serta menjalani semua aturan dan ketentuan dalam
pembuatan SKMHT maka tentu notaris dan PPAT akan terhindar dari sanksi
maupun pertanggungjawaban yang akan dibebankan kepadanya. Ketaatan
pasti didasari akan adanya kepentingan, baik itu kepentingan bagi notaris
maupun kepentingan bagi PPAT. Menurut Achmad Ali,58 jenis menaati atau
tidak menaati, adalah karena adanya kepentingan. Jika seseorang seseorang
disodori keharusan untuk memilih, maka orang tersebut akan menaati aturan
hukum dan perundang-undangan, hanya jika dalam sudut pandangnya,
keuntungan-keuntungan dari suatu ketaatan ternyata melebihi biaya
(pengorbanan yang harus dikeluarkan). Mengenai ketaatan aturan ini
seharunya juga dipegang oleh notaris dan PPAT dalam pembuatan SKMHT.
SKMHT akan menjadi akta otentik dan terhadap akta tersebut akan ada
kepastian hukum dalam pelaksanaannya terutama terhadap pendaftaran hak
tanggungan. Sehingga notaris dan PPAT sebagai jabatan kepercayaan dapat
terlaksana.
Oleh karena kepastian hukum (rechtszekerhied/legal certainty)
merupakan asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan
penegakan hukum (rechtshandhaving, law enforcement).59 Tercapainya
kepastian hukum terhadap SKMHT tentu akan tercipta juga penegakan hukum
yang baik. Dimana notaris dan PPAT dalam pembuatan SKMHT telah
memenuhi syarat sahnya sebuah SKMHT baik syarat subjektif maupun
objektif. Sehingga SKMHT yang dibuat dihadapan notaris dan PPAT
58
Achmad Ali, Op.Cit, hlm. 350
59
Teguh Prasetyo dan Abdul Halam Barkatullah, 2012, Filasafat, Teori Dan Ilmu Hukum
Raja Grafindo Persada, Depok, hlm. 339
44
45
60
Degradasi adalah penurunan, tentang pangkat, mutu, moral, dan sebagainya, kemunduran,
kemerosotan, atau dapat juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih rendah. Lihat,
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
Gramedia, Jakarta, hlm. 304
45
46
Setelah mengkaji karakteristik akta notaris, maka ada beberapa akta notaris
dibidang pertanahan, ini tidak terlepas dari kewenangan notaris pada Pasal 15
ayat (2) huruf f, dimana notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan
dengan pertanahan, sehingga akta-akta yang menjadi kewenangan notaris
dalam bidang pertanahan ini dapat menjadi dasar pelaksanaan kegiatan
pendaftaran tanah yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum, sebagai mana
kewenangan dari PPAT. Menurut penulis akta notaris yang berkaitan dengan
pertanahan tersebut berupa :
a. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa (selanjutnya disebut dengan
PPJB dan Kuasa)
Perjanjian jual beli merupakan perjanjian bernama yang diatur secara
khusus dalam KUHPerdata yaitu Pasal 1457 KUHPerdata sampai Pasal
1540 KUHPerdata. Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian
jual beli merupakan perjanjian dimana satu pihak mengikat diri untuk
menyerahkan suatu benda dan pihak lainnya akan membayar harga atas
benda yang diserahkan tersebut. levering (penyerahan) terhadap benda yang
diperjualbelikan ini tergantung atas bendanya, apabila atas benda bergerak
maka penyerahannya adalah secara nyata atas benda tersebut, terhadap
benda bergerak tidak bertubuh (seperti piutang atas nama) maka
penyerahannya melalui akta otentik atau di bawah tangan, sedangkan
penyerahan atas benda tidak bergerak (tanah) penyerahannya melalui
pendaftaran peralihan hak atau balik nama. Jual beli atas benda tidak
bergerak atas tanah pelaksanaanya harus di hadapan pejabat yang berwenang
yaitu PPAT dengan akta jual beli. Apabila karena sebab tertentu jual beli
terhadap benda tidak bergerak (tanah) tidak dapat dilakukan di hadapan
PPAT maka jual beli dapat dilakukan di hadapan notaris dengan PPJB
sebagai dasar penyerahan tanah tersebut.
PPJB merupakan perjanjian yang tergolong perjanjian obligator.
Perjanjian obligator merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan (hak
dan kewajiban) bagi pihak yang membuatnya. PPJB merupakan perjanjian
pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat para pihak yang membuat
perjanjian sebelum dilaksanakannya perjanjian pokok yaitu akta jual beli
yang dibuat di hadapan PPAT. PPJB digolongkan sebagai hak perorangan
dikarenakan lahir dari penjanjian diantara para pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Hak perorangan adalah hak yang dimiliki dan hanya
dapat dilaksanakan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
PPJB dibuat pada prakteknya bisa dikarenakan belum lunasnya harga
jual beli, belum lengkapnya salah satu syarat untuk proses balik nama
seperti SPPT tahun berjalan belum ada ditangan penjual, atau disebabkan
karena sertipikat dalam proses balik nama dari nama penjual sebelumnya
pada kantor pertanahan setempat. PPJB dapat juga dibuat apabila belum
dilakukannya roya hak tanggungan, sedangkan pembeli telah melakukan
pembayaran sejumlah uang pada penjual. Banyak lagi alasan-alasan hukum
untuk dibuatnya PPJB terlebih dahulu sebelum masuk pada perjanjian
pokoknya, yaitu akta jual beli. Oleh karena PPJB dibuat sebagai perjanjian
46
47
47
48
Janji yang tidak dapat ditarik kembali pada PPJB dan kuasa atau akta
kuasa untuk menjual terhadap pembelian secara lunas bukan serta merta
menjadikan kuasa tersebut digolongkan sebagai kuasa mutlak. Sepanjang di
dalam PPJB dan kuasa atau akta kuasa untuk menjual tidak mengandung
unsur dari butir kedua atas intrusksi tersebut walaupun kuasanya tidak dapat
ditarik kembali, hal tersebut dikarenakan perjanjian tersebut tidak dalam
rangka perjanjian yang objeknya bukan tanah hak.
Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dan sebaiknya dicantumkan
didalam pembuatan akta PPJB oleh notaris sehubungan dengan Intruksi
Mendagri Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak 1982, adalah:61
a. Alasan yang jelas di dalam premisse mengenai dibuatnya akta PPJB
tersebut
b. Objek perjanjian dan harga tersebut yang akan dijualbelikan serta
cara pembayaran
c. Jaminan dari penjual terhadap kepemilikan atas persil dan tidak
adanya cacat tampak dan tidak tampak, tidak dijaminkan, dan tidak
dalam sengketa/sitaan
d. Janji atas penyerahan persil dalam keadaan pada hari PPJB
e. Janji penjual belum pernah memberikan kuasa kepada orang lain
mengenai persil yang akan dijual selain pada pembeli
f. Janji penjual (pemberi kuasa) tidak akan sendiri melakukan tindakan
hukum yang telah dikuasakan kepada pembeli (penerima kuasa)
tersebut
g. Janji lain yang khusus, misalnya, kewajiban pembayaran rekening
listrik, air, telepon, PBB, hingga tanggal pengosongan, tata cara
pengosongan, dan sebagainya
h. Pemberian kuasa secara umum yang tidak dapat ditarik kembali oleh
penjual kepada pembeli untuk mengurus persil selama belum
dilaksanakan jual beli
i. Pemberian kuasa dari penjual kepada pembeli yang tidak dapat
ditarik kembali untuk melakukan pelaksanaan jual beli di hadapan
PPAT (apabila syarat untuk jual beli telah dipenuhi), dengan
ketentuan bahwa yang diberi kuasa dibebaskan dari
pertanggungjawaban sebagai kuasa.
48
49
atas asas kepastian, dimana pelepasan hak atas tanah ini harus sesuai dengan
tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para
pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Pelepasan hak atas tanah didasarkan pada Pasal 131 ayat (3) Perment
ATR/BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa :
“(3) Pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun yang disebabkan oleh dilepaskannya hak tersebut oleh
pemegangnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan
permohonan dari pihak yang berkepentingan dengan melampirkan:
a.1) akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan
melepaskan hak tersebut, atau
2) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang
bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan
disaksikan oleh camat letak tanah yang bersangkutan, atau
3) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang
bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat didepan dan
disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan
b. persetujuan dari pemegang hak tanggungan apabila hak tersebut
dibebani hak tanggungan
c. sertipikat hak yang bersangkutan
berdasarkan ketentuan Pasal 131 ayat (3) Perment ATR/BPN Nomor 3
Tahun 1997 tersebut di atas bahwa pelepasan hak milik atas tanah dapat
dilakukan dengan akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah
dilepaskan oleh pemegang haknya, secara notariil atau bawah tangan.
Pelepasan hak atas tanah menyebabkan terputusnya hubungan hukum
antara pemilik tanah dengan tanahnya. Yang didasarkan dengan
penandatangan akta pelepasan hak di hadapan notaris, biasanya pemilik
tanah akan mendapat ganti kerugian yang telah mereka disepakati terlebih
dahulu. Pelepasan hak atas tanah tidak berarti hak atas tanah berpindah dari
pemegang haknya kepada pihak lain yang memberikan ganti kerugian,
melainkan hak atas tanah tersebut hapus dan kembali menjadi tanah negara
atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Pelepasan hak atas tanah
merupakan salah satu faktor penyebab hapusnya hak atas tanah dan bukan
pemindahan hak atas tanah. Dengan menjadinya tanah tersebut tanah negara
maka perusahaan swasta diwajibkan melakukan permohonan terhadap tanah
tersebut dengan jalan mengajukan permohonan hak baru pada kantor
pertanahan setempat.
Akta pelepasan hak yang dibuat di hadapan notaris memuat sekurang-
kurangnya mengenai:62
a. Judul akta pelepasan hak atas tanah
b. Nomor akta pelepasan hak atas tanah
c. Saat dilakukan pelepasan hak (pukul, hari, tanggal, bulan, dan tahun)
d. Nama notaris yang membuat akta pelepasan hak atas tanah
62
Urip Santoso (II), 2010, Pelepasan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Perusahaan
Swasta, Jurnal Perspektif, Vol. XV No.3, hlm. 332-333
49
50
e. Pihak yang melepaskan hak atas tanah, yaitu nama, tempat tanggal
lahir, pekerjaan, alamat, nomor kartu tanda penduduk.
f. Pihak yang menerima pelepasan hak atas tanah, yaitu nama, yaitu
nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, alamat, nomor kartu tanda
penduduk. Nama ini bertindak sebagai direktur dari perusahaan
swasta
g. Hak atas tanah yang dilepaskan oleh pemegang haknya, yaitu status
hak atas tanah, tanda bukti hak atas tanah (bersertipikat atau belum
bersertipikat), luas tanah (M2), letak tanah (jalan, kelurahan/desa,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), dan batas-batas atas tanah
yang dilepaskan (utara, selatan, timur, dan barat).
h. Besarnya ganti kerugian yang diserahkan oleh perusahaan swasta
kepada pemegang hak atas tanah.
i. Akibat hukum pelepasan atas hak atas tanah adalah hak atas tanah
menjadi tanah negara dan selanjutnya dapat diberikan kepada
perusahaan swasta yang memberi ganti kerugian.
j. Jaminan dari pihak yang melepaskan hak atas tanah, yaitu pihak
yang melepaskan hak atas tanah adalah benar-benar pemilik atau
pemegang hak atas tanah, tanah yang dilepaskan tidak sedang
dalam kedaaan sengketa (gugatan), tidak sedang dalam jaminan
kepada pihak lain, dan tidak sedang dalam sitaan pihak lain.
k. Pihak-pihak yang menandatangani akta pelepasan hak atas tanah,
yaitu notaris, pihak yang melepaskan hak atas tanah (pemilik atau
pemegang hak atas tanah), pihak yang menerima pelepasan hak atas
tanah (perusahaan swasta), 2 (dua) orang saksi.
50
51
51
52
64
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem
Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 44
65
Adrian Sutedi (II), 2017, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 27
52
53
UU Jabatan Notaris 2014 menjadi dasar dan pedoman bagi notaris dalam
menjalankan tugas dan kewenangan untuk membuat akta. PPAT juga
memiliki dasar dan pedoman dalam menjalankan jabatannya, yaitu PP Jabatan
PPAT 2016. UU Jabatan Notaris dan PP Jabatan PPAT 2016 dibentuk bukan
hanya sebagai instrumen untuk mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga
mengandung manfaat dan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu keadilan dan
kemanfaatan. Notaris maupun PPAT berwenang membuat akta yang tidak
diserahkan kewenangannya pada pejabat lain. Kepastian hukum terhadap akta
yang dibuat baik oleh notaris maupun PPAT tentu akan membawa
kemanfaatan dan keadilan bagi pihak yang menghendakinya.
Kewenangan notaris dan PPAT secara peraturan perundang-undangan
memang berbeda, namun ada kewenangan yang diamanatkan pada notaris,
juga diamanatkan pada PPAT. Notaris dan PPAT berwenang membuat
SKMHT. SKMHT sebagai sebuah kuasa harus memenuhi syarat, yaitu:
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada
membebankan hak tanggungan.
2. Tidak memuat kuasa substitusi
3. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang, dan
nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur
bukan pemberi hak tanggungan.
Ketidakpastian hukum terhadap SKMHT dikarenakan kewenangan
pembuatan SKMHT oleh 2 (dua) jabatan yang berbeda sehingga menjadikan
ketidaksikronisasian bentuk akta, jangka waktu berlakunya SKMHT, dan
akibat undangkannya PERKABAN HT-EL 2020. Hal ini menciptakan
ketidakpastian hukum terhadap SKMHT, sehingga tidak tercapainya
perlindungan hukum terhadap notaris, PPAT dan para pihak yang
berkepentingan terhadap SKMHT tersebut.
Pada SKMHT mencantumkan jangka waktu batas berlakunya SKMHT.
Jika dilihat tujuan dari pencantuman jangka waktu ini karena kreditur tidak
menginginkan atau membiarkan SKMHT tidak direalisasi menjadi APHT.
Jangka waktu terhadap SKMHT dimana hak atas tanahnya sudah terdaftar
wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
setelah SKMHT diberikan. Sedangkan mengenai hak atas tanah yang belum
terdaftar (belum bersertipikat) wajib diikuti dengan pembuatan APHT
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah SKMHT diberikan. SKMHT untuk
kredit tertentu seperti kredit kecil, kredit kepemilikan rumah sederhana, kredit
dengan program tertentu maka jangka SKMHT berlaku sampai saat
berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. Mengenai
jangka waktunya didasarkan pada perjanjian kredit dari SKMHT tersebut.
Kredit tertentu dalam hal ini kredit kecil, kredit kepemilikan rumah sederhana
dan kredit program tertentu seperti kredit usaha rakyat (KUR), jangka waktu
SKMHT adalah sampai kredit tersebut lunas. Hal ini dibuat karena bank
sebagai kreditur tidak langsung membebankan Hak Tanggungan pada saat
penandatanganan perjanjian kredit karena untuk menghemat biaya.
Penetapan jangka waktu yang begitu pendek ini, dapat membahayakan
kepentingan bank, karena tidak mustahil, kredit menjadi macet, sekalipun
53
54
kredit baru diberikan belum 3 (tiga) bulan. Kemacetan itu dapat terjadi bukan
oleh karena analisa bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit
itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan
keadaan ekonomi atau perubahan peraturan baik di dalam maupun di luar
negeri. Bila terjadi perubahan-perubahan tersebut, sudah barang tentu debitur
enggan memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka
waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk mengelak
dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali hutangnya atau berusaha
mengulur-ngulur waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah bank dapat
membebani hak tanggungan di atas tanah yang diagunkan untuk kreditnya
itu.66 Berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5) UU Hak Tanggungan 1996,
adanya tanah yang belum/tidak terdaftar (unregistered land) dapat dijadikan
agunan dengan SKMHT dalam hal jaminan kredit dengan syarat-syarat
tertentu. Pasal 15 ayat (4) dan (5) UU Hak Tanggungan 1996 ini tentu
berpotensi memberikan makna ketidakpastian.
Pada lembaga jaminan terutama terhadap jaminan yang tidak bergerak
dalam hal ini adalah tanah, perbankan tentu menginginkan hak atas tanah yang
sudah terdaftar sebagai jaminan karena ada adanya kepastian hukum terhadap
jaminan tersebut. Sedangkan untuk diikat dalam hak tanggungan dalam hal ini
APHT hanya terhadap hak atas tanah yang telah terdaftar. SKMHT dapat
dijadikan jaminan kredit tertentu dengan beberapa persyaratan. Pengertian ini
bermakna seolah-olah SKMHT adalah jaminan dalam pemberian kredit bank.
Padahal diketahui bahwa SKMHT yang dimaksudkan oleh undang-undang ini
pada dasarnya adalah merupakan surat kuasa biasa, bukan merupakan jaminan
kebendaan seperti jaminan kebendaan. Permasalah yang lain lagi dari isi Pasal
15 ayat (4) SKMHT, adalah jangka waktunya. Jangka waktu yang di tetapkan
yaitu 3 (tiga) bulan adalah suatu kepastian. Artinya apabila jangka waktu yang
dimaksudkan tidak terpenuhi maka berdasarkan Pasal 15 ayat (6) batal demi
hukum. Pembatasan waktu yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat (4) adalah
pasti sifatnya sehingga apabila jangka waktu yang ditetapkan tersebut tidak
dapat dipenuhi maka batal demi hukumlah permohonan hak tanggungan
tersebut dan tidak dapat dilanjutkan dengan pemasangan APHT. Oleh
karenanya adalah merupakan ketidakpastian bagi para pihak apabila Pasal 15
khususnya ayat (4) UU Hak Tanggungan 1996 digunakan oleh para pihak di
dalam perjanjian kredit khususnya kredit bank.
Terhadap SKMHT sebagai salah satu bentuk kuasa dan merupakan
perjanjian tentu aturan kuasa serta perjanjian yang terdapat pada KUHPerdata
menjadi pedoman bagi notaris dalam pembuatan SKMHT. SKMHT akan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan tidak
dapat ditarik kembali kecuali atas kehendak dan keinginan oleh pemberi dan
penerima kuasa, serta apa yang ada dan diperjanjikan dalam SKMHT tersebut
harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak dengan itikad baik (Pasal 1338
KUHPerdata). Itikat baik dalam sebuah perjanjian merupakan hal yang wajib.
66
Sutan Remi Sjahdeini (II), 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, hlm. 121
54
55
55
56
56
57
67
Salinan akta berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Jabatan Notaris 2014 adalah salinan kata
demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa "diberikan sebagai
salinan yang sama bunyinya".
68
Salim HS (III), Op.Cit, hlm. 154
69
Habib Adjie (II), 2014, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris Dan PPAT, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 47
57
58
Salah satu akta yang dapat dibuat dalam bentuk in original adalah akta
kuasa. SKMHT merupakan akta kuasa, jadi SKMHT dapat dibuat oleh
notaris dalam bentuk akta in originali. Berdasarkan hal tersbut diatas maka
SKMHT yang dibuat oleh notaris dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
minuta akta dengan memberikan salinan akta pada para pihak dan kedua
dapat dibuat dalam bentuk akta in originali, akta mana yang disimpan oleh
notaris dan diberikan pada para pihak adalah sama bunyinya.
SKMHT yang dibuat notaris dalam bentuk minuta akta pada bagian
kepala akta memuat judul “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”.
Setelah judul kemudian nomor akta. Nomor akta tergantung kelanjutan dari
nomor akta sebelumnya. Penomoran akta notaris dimulai dan diakhir setiap
bulannya. Pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun yang di cantukan dalam
SKMHT sesuai dengan waktu penandatangan SKMHT tersebut.
Selanjutnya mengenai frasa menghadap, berhadapan dan hadir tergantung
frasa yang digunakan oleh masing-masing notaris, karena pada prinsipnya
mempunyai pengertian dan makna yang sama. Yaitu para pihak yang hadir
secara nyata (fisik) di hadapan notaris. Setelah frasa menghadap kepada
saya, dilanjutkan dengan nama dan gelar notaris yang membuat SKMHT.
2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Bentuk Akta PPAT
PP Pendaftaran Tanah 1997 pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan,
bahwa bentuk, isi dan tata cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh
Menteri. Pada tahun 2013 untuk meningkatkan pelayanan pertanahan maka
PPAT, PPAT pengganti, PPAT sementara dan PPAT khusus, dapat
menyiapkan dan membuat blanko akta PPAT. Berdasarkan hal tersebut
maka lahirlah PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 2
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, menyebutkan bahwa :
“1. Dengan berlakunya peraturan ini:
a. blanko akta PPAT yang masih tersedia di kantor badan
pertanahan nasional atau masing-masing PPAT, PPAT penganti,
PPAT sementara atau PPAT khusus masih dapat dipergunakan
b. blanko akta PPAT sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila
PPAT tidak menggunakan lagi, wajib dikembalikan ke kantor
pertanahan setempat paling lambat 31 maret 2013.
c. pengembalian akta sebagaimana dimaksud pada huruf f,
dilakukan dengan membuat berita acara penyerahan blanko
PPAT dari PPAT yang bersangkutan kepada kepala kantor
pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
d. PPAT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada huruf b dan huruf c dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, ketentuan yang bertentangan
dengan peraturan ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
58
59
59
60
blanko akta PPAT adalah sebagai berikut, pertama, kertas yang digunakan
adalah kertas yang berwarna putih berupa HVS dengan berat 80 (delapan
puluh) gram sampai 100 (seratus) gram, dengan ukuran 29,7 cm x 42 cm
atau A3. Akta dicetak dengan huruf bookman old style, dengan ukuran
huruf 12 dan huruf harus berwarna hitam, tidak boleh memakai warna lain.
Untuk mencetak akta PPAT menggunakan tinta yang berwarna hitam dan
tinta tersebut tidak mudah luntur. Setiap lembar akta PPAT cetak bolak
balik atau timbal balik untuk setiap halamannya. Pada akta PPAT dibagian
atas terdapat kop akta PPAT. Memuat nama lengkap dan gelar PPAT.
Kemudian nomor dan tanggal surat keputusan pengangkatan PPAT oleh
Menteri ATR/BPN. Selanjutnya alamat kantor PPAT, nomor telepon, dan
faxismile dari kantor PPAT. Bagian bawah (footnote) akta PPAT pada
sebelah kanan memuat nama dan gelar PPAT dan di bagian bawah nama
memuat daerah kerja PPAT. bagian sebelah kiri bawah akta PPAT memuat
halaman dari akta PPAT.
Berdasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 selain ditentukan
mengenai spesifikasi akta PPAT juga mementukan spesifikasi sampul
untuk akta PPAT. Sampul akta PPAT menggunakan kertas karton yang
berwarna putih. Kertas karton tersebut memiliki berat antara 150 gram
sampai 250 gram. Sedangkan ukuran sampul akta PPAT adalah 29,7 cm x
42 cm atau A3. Pada sampul akta PPAT bagian depannya memuat, kop
PPAT pada bagian atas yang bertuliskan nama lengkap dan gelar PPAT.
Kemudian nomor dan tanggal surat keputusan pengangkatan PPAT oleh
Menteri ATR/BPN. Selanjutnya alamat kantor PPAT, nomor telepon, dan
faxismile dari kantor PPAT. selain memuat kop akta PPAT, pada bagian
tengah sampul akta PPAT memuat nama akta PPAT tersebut misalnya
“Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”. Pada bagian bawah dari
nama akta PPAT memuat nomor akta dari akta PPAT tersebut. Penulisan
judul dan nomor akta PPAT pada sampul akta PPAT menggunakan huruf
bookman old style dengan ukuran 28 dan berwarna hitam. Tinta yang
digunakan pada sampul akta PPAT adalah tinta yang berwarna hitam dan
tinta tersebut adalah tinta yang tidak mudah luntur.
PPAT diberikan kewenangan oleh Menteri dalam hal ini Menteri
ATR/BPN dalam menyiapkan blanko akta PPAT. Namun PPAT tidak dapat
secara bebas menambah atau pun mengurangi subtansi yang tercantum
dalam petunjuk pengisian blanko PPAT berdasarkan PERKABAN Nomor
8 Tahun 2012. Hal, ini, disebabkan subtansi yang tercantum dalam blanko
akta PPAT sudah distandarlisasi oleh Menteri ATR/BPN. Apabila PPAT
membuat akta PPAT yang diminta oleh para pihak, tidak sesuai dengan
bentuk dan tata cara pengisian blanko akta PPAT yang diatur berdasarkan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, maka kantor pertanahan setempat
dapat menolak pendaftaran terhadap akta yang dibuat oleh PPAT.
Akta PPAT berupa SKMHT yang dibuat oleh PPAT mengenai objek
hak tanggungan hanya untuk objek hak tanggungan yang berada pada
daerah kerja PPAT. apabila daerah kerja PPAT adalah kota A maka PPAT
tersebut hanya berwenang membuat SKMHT yang objek hak
60
61
61
62
02.-. Di bawah nomor SKMHT terdapat lembar pertama atau lembar kedua.
Kemudian hari, tanggal bulan dan tahun yang menunjukan pelaksanaan
penandatangan SKMHT. Dilanjutkan dengan frasa menghadap/hadir/
berhadapan dengan mencantumkan nama dan gelar notaris, kemudian
nomor SK pengangkatan notaris dan tanggal pengangkatan notaris tersebut.
Ketiga dilanjutkan dengan komparisi para penghadap baik pemberi
kuasa maupun penerima kuasa berupa, nama lengkap, tempat tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, alamat dan nomor induk
kependudukan. Kemudian nama debitur, jika debitur bukan pemberi kuasa
harus dijelaskan identitas debitur. Dilanjutkan dengan jumlah utang debitur.
Kemudian nama perseroan perbankan/non perbankan dan jenis akad/
perjanjian yang dibuat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa.
Keempat besar/jumlah dan peringkat hak tanggungan. Diikuti
kemudian uraian mengenai objek hak tanggungan atas objek yang
terdaftar/sertipikat dan terhadap objek hak tanggungan yang belum
terdapat/belum bersertipikat. Kelima janji-janji yang harus dipenuhi oleh
pemberi kuasa dan penerima kuasa baik terhadap objek hak tanggungan
maupun terhadap kewajiban masing-masing. Kemudian jangka waktu
lamanya SKMHT berlaku sampai pada penandatanganan APHT. Keenam
persetujuan dari pasangan suami/istri debitur. Ketujuh identitas saksi akta
berupa nama, tempat tanggal lahir, alamat dan nomor induk kependudukan.
Terakhir penandatanganan yang dilakukan oleh pemberi kuasa, penerima
kuasa, persetujuan dari suami/istri pemberi kuasa, para saksi, dan notaris.
Pada sampul akta memakai spesifikasi sampul akta PPAT. Pada
sampul tetap memakai kop sampul akta, tetapi nama dan SK, nomor SK,
tanggal SK, dan tempat kedudukan adalah bertindak selaku notaris. Di
bawah kop akta dibuat judul akta dan nomor SKMHT. Akta ini
ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan notaris sebanyak 2 (dua)
rangkap. Sedangkan salinan SKMHT tidak terdapat tanda tangan para
pihak, para saksi dan notaris hanya memuat kalimat yang diberikan sebagai
salinan yang sama bunyinya dan ditandatangani oleh notaris serta
distempel/cap dengan stempel/cap jabatan notaris.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa
banyaknya permasalahan SKMHT dilapangan, menimbulkan tidak adanya
kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang terkait dengan SKMHT. Untuk
adanya kepastian hukum terhadap SKMHT yang akhirnya akan memberikan
kemanfaatan dan rasa keadilan bagi setiap subjek hukum yang terkait dengan
SKMHT, maka tepat AKMHT menjadi kewenangan notaris. Sehingga tidak
ada lagi pembuatan SKMHT dengan model penggabungan akta notaris dengan
akta PPAT.
C. TANGGUNG JAWAB NOTARIS DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK
TANGGUNGAN
1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Alat Bukti Di Bawah
Tangan dan Alat Bukti Otentik
62
63
Akta otentik merupakan alat bukti terkuat dan penuh. Apa yang tertuang
pada akta otentik tersebut harus diterima oleh hakim. Kecuali para pihak dapat
membuktikan lain, dan hakim menyakini pembuktian tersebut. Hakim harus
menilai akta otentik sesuai apa adanya akta tersebut dan tidak perlu ditafsir
selain apa yang tertulis dalam akta tersebut. SKMHT jika memenuhi syarat
sebuah akta otentik berdasarkan 1868 KUHPerdata, Pasal 38 UU Jabatan
Notaris 2014 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, maka SKMHT
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. SKMHT sebagai akta
otentik pada peradilan perdata atau hukum acara perdata akan menjadi alat
bukti bagi para pihak. SKMHT sebagai akta notaris harus mempunyai
kemampuan pembuktian baik secara lahiriah, formal dan materil.
SKMHT mempunyai kekuatan kemampuan pembuktian lahiriah dimana
SKMHT tersebut dapat membuktikan sendiri keabsahannya sebagai akta
otentik. Jika dilihat dari luar SKMHT akan nampak sebagai akta otentik
karena memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
akta otentik. Sampai ada yang dapat membuktikan bahwa SKMHT tersebut
tidak sebagai akta otentik. Keotentikan SKMHT sebagai suatu alat bukti yang
sempurna pada peradilan acara perdata tampak pada parameter SKMHT
tersebut. Dimana SKMHT ditandatangani oleh notaris sebagai pejabat yang
yang berwenang membuatnya baik pada minuta SKMHT dan akta in originali.
Serta notaris dapat menjamin bahwa yang menandatangai SKMHT adalah para
pihak yang cakap dan berwenang dalam membuat SKMHT. Pukul, hari,
tanggal, bulan dan tahun dibuat dan dibacakannya SKMHT adalah pukul, hari,
tanggal, bulan dan tahun dimana para pihak yang datang menghadap pada
notaris dan menandatangani SKMHT tersebut.
Aspek lahiriah pada SKMHT harus dilihat apa adanya bukan dilihat ada
apanya. SKMHT secara lahiriah harus dipadang oleh hakim sebagai alat bukti
yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Jika ada para pihak dalam SKMHT
tersebut yang menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat dianggap sebagai bukti
akta otentik, maka pihak yang menyatakan hal tersebut harus dapat
membuktikan bahwa secara lahiriah SKMHT tidak akta otentik. SKMHT
mempunyai kekuatan dan kemampuan pembuktian formal, dimana SKMHT
memberikan kepastian bahwa apa yang kejadian dan fakta yang ada didalam
SKMHT tersebut adalah benar dan sesuai dengan prosedur pembuatan sebuah
akta. Apa yang tertuang di dalam SKMHT baik mengenai pukul, hari, tanggal,
bulan dan tahun dibuatnya akta, identitas para pihak, uraian dan jumlah objek
hak tanggungan, nilai utang dan nilai hak tanggungan adalah benar, sesuai
dengan pernyataan dan keinginan para pihak. Aspek formal terhadap SKMHT
ini dipermasalahkan oleh para pihak baik itu oleh pemberi maupun penerima
hak tanggungan, maka pihak yang mempermasalahkan harus membuktikan
ketidakbenaran yang tertuang dalam SKMHT tersebut.
Pihak yang mempermasalahkan SKMHT tersebut harus membuktikan atau
dikenal dengan juga dengan pembuktian terbalik. Jika pihak yang
mempermasalahkan SKMHT tidak dapat membuktikan peyangkalan terhadap
aspek formal tersebut, maka SKMHT tersebut harus diterima oleh semua
pihak. Siapa saja dapat melakukan penyangkalan terhadap aspek formal dari
63
64
SKMHT. Seperti para pihak yang ada dalam SKMHT, pihak ketiga yang
terkait dengan SKMHT maupun para ahli waris dari para pihak dalam SKMHT
tersebut.
SKMHT juga sebagai akta otentik juga mempunyai kemampuan
pembuktian secara meteril. Bahwa SKMHT dapat membuktikan kebenaran
atas pihak-pihak yang membuat SKMHT, maupun pihak-pihak yang
mendapatkan hak atas SKMHT tersebut. Ketiga pembuktian tersebut harus ada
dalam akta otentik. Apabila SKMHT dapat membuktikan kemampuan
pembuktian lahiriah, formal dan materil maka SKMHT merupakan akta otentik
yang memiliki kesempurnaan sebagai alat bukti. Tapi jika salah satu
pembuktian atas SKMHT tersebut disangkal oleh pihak maka akta otentik itu
akan menjadi akta di bawah tangan, dan hakim pada peradilan perdata akan
meminta pembuktian lain sebagai bukti tambahan. Berlakunya kekuatan
SKMHT sebagai akta di bawah tangan sejak adanya putusan hukum yang tetap
menyatakan bahwa akta tersebut merupakan akta di bawah tangan.
Akibat hukum dari SKMHT menjadi di bawah tangan adalah bahwa
SKMHT tetap sah dan mengikat, kecuali adanya putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa SKMHT tersebut menjadi batal dan tidak mengikat bagi
para pihak dan pihak yang terkait terhadap akta tersebut. Akibat hukum dari
kebatalan suatu akta notaris pada prinsipnya sama antara batal demi hukum,
dapat dibatalkan atau non existent yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan
hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak
mempunyai akibat hukum, perbedaannya pada waktu berlakunya kebatalan
tersebut, yaitu:70
1. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut
atau berdaya surut (ex tunc), dalam praktek batal demi hukum
didasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
2. dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana
pembatalan atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada
pihak tertentu yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat
dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku dan
mengikat selama sebelum ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut
3. Non existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau
non existent yang disebabkan tidak dipenuhinya essensialia dari suatu
perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur, atau semua unsur
dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara
dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan namun dalam praktek
tetap diperlukan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap dan implikasinya sama dengan batal demi hukum.
70
Sjaifurrachman, Op.Cit, hlm. 125-126
64
65
71
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak dapatnya
dilakukan penyidikan. Lihat, Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990,
Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hlm. 77
65
66
hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, maka penyidik berhak
membuka, memeriksa dan menyita SKMHT, tersebut. Pembukaan dan
penyitaan terhadap SKMHT tersebut harus dengan izin khusus yang diberikan
oleh ketua pengadilan negeri. Apabila SKMHT tersebut sesudah dibuka dan
diperiksa, ternyata bahwa SKMHT itu ada hubungannya dengan perkara yang
sedang diperiksa, maka SKMHT tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
Namun apabila SKMHT tersebut sesudah diperiksa ternyata tidak ada
hubungannya dengan perkara tersebut, SKMHT itu ditutup rapi dan segera
diserahkan kembali pada notaris dan PPAT setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas penyidik. Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas
kekuatan sumpah jabatan mengenai isi dari SKMHT yang dikembalikan. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 dan Pasal 48 KUHAPidana. Berdasarkan
Pasal 132 KUHAPidana, apabila diterima pengaduan bahwa sesuatu SKMHT
tersebut palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat memintakan keterangan mengenai hal
tersebut dari orang ahli. Jika timbul dugaan kuat bahwa SKMHT tersebut
merupakan surat palsu atau yang dipalsukan, maka penyidik dengan surat izin
ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat meminta kepada
pejabat penyimpan umum (pejabat umum yang dimaksud merupakan pejabat
yang berwenang atas arsip negara dalam hal ini notaris dan PPAT) supaya
notaris dan PPAT mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepada
penyidik untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
Mengenai pemeriksaan notaris dan PPAT dalam kasus pidana, dimana
notaris dan PPAT telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa,
sebaiknya pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan tata cara dari
pembuatan akta notaris dan PPAT, yaitu:72
a. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya
yang diperlihatkan pada notaris dan PPAT
b. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan
atau kehendak para pihak tersebut (tanya jawab)
c. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau
kehendak para pihak tersebut
d. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut
e. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris dan
PPAT, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan
dan pemberkasan untuk minuta
f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan notaris dan/atau PPAT
72
Habib Adjie (III), 2013, Saksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hlm. 77
66
67
2. Tanggung Jawab Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Berdasarkan UU Jabatan Notaris
2014 dan PP Jabatan PPAT 2016
Pengertian tanggung jawab secara harfiah adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).73 Tanggung jawab ini
dibebankan kepada setiap subjek hukum baik itu orang maupun badan hukum
yang melakukan perbuatan melawan hukum atau tindakan yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan.
Tanggung jawab tidak terbatas kepada subjek hukum secara individu
tetapi juga terhadap subjek hukum yang menyandang suatu profesi atau
jabatan. Notaris dan PPAT merupakan suatu profesi yang juga memiliki
tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, para pihak yang membuat akta
dihadapannya serta sosial. Terutama tanggung jawab terhadap undang-undang
yang mengatur jabatannya, norma-norma hukum positif serta tunduk pada kode
etik dari masing-masing profesinya. Notaris dan PPAT, bertanggung jawab
apabila dapat dibuktikan bahwa notaris dan PPAT tersebut bersalah. Terkait
dengan kesalahan notaris dan PPAT, maka yang digunakan adalah beroepsfout.
Beroepsfout merupakan istilah khusus yang ditujukan terhadap kesalahan,
kesalahan tersebut dilakukan oleh para profesional dengan jabatan-jabatan
khusus, yaitu dokter, advokat, notaris dan PPAT. Kesalahan-kesalahan tersebut
dilakukan dalam menjalankan suatun jabatan. Namun istilah kesalahan dalam
hal ini sifatnya objektif dalam pengertian istilah kesalahan ini dalam konteks
beroepsfout ditujukan kepada para profesional dalam menjalankan jabatannya.
Namun untuk mengkaji pengertian kesalahan pada beroepsfout dapat mengacu
pada definisi kesalahan pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana.74
Oleh karena itu baik notaris maupun PPAT dalam menjalankan
jabatannya membuat akta otentik tentu harus selalu berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya serta kode etik. Jangan
sampai notaris dan PPAT keluar dari rule-nya, yang menyebabkan timbul
tanggung jawab baik secara perdata, pidana, dan administrasi. Jika ditelaah
tanggung jawab notaris dan PPAT dalam membuat akta, terutama SKMHT,
adalah sebagai berikut:
a. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris
Tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan
akta, diantaranya, pertama, tanggung jawab notaris secara perdata atas akta
yang dibuatnya. Tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab
terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan
hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif.
Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada
pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang
merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur
73
https://kbbi.web.id/tanggung%20jawab, diakses pada Tanggal 15 Oktober 2020, Pukul
21.15 WIB
74
Sjaifurrachman, Op.Cit, hlm. 173
67
68
68
69
75
A‟an Efendi dan Freddy Poernomo, Op.Cit, hlm. 304-305
69
70
2) Terguran tertulis
3) Pemberhentian sementara, dikarenakan:
a) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang
b) Berada di bawah pengampuan
c) Melakukan perbuatan tercela
d) Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan
jabatan serta kode etik notaris
e) Sedang menjalani masa penahanan.
4) Pemberhentian dengan hormat
Berdasarkan pasal Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Jabatan Notaris
2014, notaris diberhentikan dengan hormat karena:
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan
hormat karena:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun
c. Permintaan sendiri
d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatan notaris secara terus menerus
lebih dari 3 (tiga) tahun
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf g.
(2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh
tujuh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang
bersangkutan.
5) Pemberhentian dengan tidak hormat, apabila:
a) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
Notaris yang dinyatakan pailit sudah tentu notaris tersebut
berada di bawah pengampuan. Subjek hukum yang berada di
bawah pengampuan secara hukum tidak dapat melakukan
perbuatan atau tindakan hukum.
b) Berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari
3 (tiga) tahun
c) Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat jabatan notaris
d) Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan
larangan jabatan
e) Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih
70
71
71
72
demi hukum maka akta notaris dianggap tidak pernah ada atau tidak
pernah dibuat oleh para pihak maka sesuatu yang tidak pernah ada atau
tidak pernah dibuat tidak dapat menjadi dasar tuntutan dalam pengajuan
ganti kerugian.
Pengganti kerugian pada pertanggungjawaban perdata sangat erat
kaitannya dengan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Perbuatan
melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian. Ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ini
mengisyaratkan adanya kesalahan. Kesalahan ini harus dibuktikan oleh
pihak yang menderita kerugian. Perbuatan melanggar hukum76 oleh
notaris tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum, namun
juga menyangkut perbuatan melanggar peraturan lain. Notaris dalam
membuat SKMHT tidak boleh melanggar aturan yang berkaitan dengan
UU Jabatan Notaris 2014, KUHPerdata mengenai lembaga kuasa pada
umumnya dan kesusilaan serta kesopanan.
Penggantian kerugian terhadap notaris harus dengan mendasarkan
pada hubungan hukum diantara para pihak yang datang menghadap pada
notaris dengan notaris tersebut. Apabila ada para pihak yang dirugikan
sebagai akibat langsung dari suatu akta notaris, maka yang bersangkutan
dapat menuntut secara perdata pada notaris. Dengan demikian tuntutan
ganti kerugian terhadap notaris tidak didasarkan atas penilaian atau
kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena melanggar ketentuan-
ketentuan menurut Pasal 84 UU Jabatan Notaris 2014 tetapi hanya dapat
didasarkan kepada hubungan hukum yang ada atau terjadi antara notaris
dengan para penghadap.77 Namun kasus yang banyak terjadi terhadap
notaris yang digugat atau turut tergugat dipengadilan pada umumnya
didasarkan pada terdegrasainya akta otentik menjadi akta di bawah
tangan bukan karena dirugikannya para pihak sebagai akibat langsung
dari suatu akta. Contonya SKMHT apabila terdapat kesalahan atau
kelalaian notaris dalam menempatkan para pihak, seperti tidak
berwenangnya seseorang sebagai pihak dalam SKMHT, maka
menyebabkan SKMHT tersebut tidak dapat dipasangkan APHT maka ini
dikategorikan tindakan melawan hukum dan notaris dapat dituntut ganti
kerugian, biaya dan bunga akibat kesalahan dan kelalaian notaris
tersebut.
76
Lihat, Sjaifurrachman, Op.Cit, hlm. 180, bahwa perbuatan melanggar hukum menurut
Samuel Cohen yang dikutif oleh Sjaifurrachman terdiri atas 4 kategori :
1. bertentangan dengan kewajiban sipelaku
2. melanggar hak subjektif orang lain
3. melanggar kaedah tata susila
4. bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang harusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap
harta benda orang lain.
77
Ibid, hlm.196
72
73
78
Yohanes Sogar Simamora, 2008, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Kontrak
Pemerintah Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, hlm. 10
73
74
79
I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hlm. 169
74
75
75
76
76
77
80
Sarwono, 2016, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9
77
78
78
79
terhadap akta PPAT dan APHT tidak ada pengaturan sanksi yang
tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
jabatan PPAT. Apakah akta PPAT dan APHT tersebut batal demi
hukum atau pun akta tersebut menjadi akta di bawah tangan tidak ada
pengaturan yang tegas tentang hal tersebut. Kantor Pertanahan
setempat tetap akan menerima akta PPAT dan APHT yang telah lewat
jangka waktu pendaftarannya, dan akan tetap melakukan pendaftaran.
Namun apabila dikemudian hari timbul masalah terhadap akta PPAT
dan APHT ini, maka segala tanggung jawab tetap menjadi tanggung
jawab dari PPAT sendiri. Apa jenis tanggung jawabnya tidak
ditetapkan dalam PP Jabatan PPAT 2016 dan PERKABAN Nomor 2
Tahuan 2012.
Menurut penulis mengenai hal ini, sangat besar peranan dari
Kantor Pertanahan Kabupaten Kota/Kabupaten setempat dengan MPP
Daerah PPAT dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
kerja PPAT dan akta PPAT. Lebih baik dilakukan pengawasan yang
sifatnya refentif sedari awal sehingga dapat mencegah resiko dan
pertanggungjawaban yang lebih besar dikemudian harinya.
3) Tanggung Jawab Pidana PPAT
Tanggung jawab pidana pada PPAT sama dengan tanggung jawab
pidana yang dibebankan pada notaris. Pada PP Jabatan PPAT 1998
maupun PP Jabatan PPAT 2016 tidak ada satu pasal pun yang
mengatur mengenai saksi pidana bagi PPAT yang menjalankan
jabatannya. Oleh karena itu jika terjadi pelanggaran terhadap pidana
oleh PPAT tetap merujuk pada KUHPidana. Pada KUHPidana pasal
yang sering dikenakan pada PPAT adalah Pasal 263, Pasal 264, Pasal
266, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 372 KUHPidana, yaitu :
1) Pasal 55 KUHPidana, mengenai penyertaan dalam suatu
perbuatan pidana
2) Pasal 56 KUHPidana, membantu dalam melakukan kejahatan
3) Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHPidana, mengenai memuat
surat palsu atau memalsukan surat
4) Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHPidana
5) Pasal 266 ayat (1) dan (2) KUHPidana
6) Pasal 372 KUHPidana, mengenai penggelapan
Prakteknya pertanggungjawaban pidana ini lah yang banyak
dikenakan pada PPAT, dibandingkan pada notaris. Hal ini salah
satunya disebabkan karena pada PPAT tidak adanya lembaga yang
menjadi benteng bagi PPAT apabila tersangkut proses peradilan,
penyidik, penuntut umum, atau pengadilan. PPAT juga tidak memiliki
hak imun berupa hak ingkar dimana kewajiban bagi pejabat umum
untuk merahasiakan aktanya. Pada notaris secara aturan jabatan,
notaris mendapatkan perlindungan melalui hak ingkar dan majelis
kehormatan notaris.
79
80
80
81
81
82
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan pembuatan SKMHT terhadap notaris didasarkan pada 15 UU
Hak Tanggungan 1996, Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 16 UU Jabatan
Notaris 2014, SKMHT dapat dibuat dalam bentuk minuta akta dan akta in
originali. Sedangkan pada PPAT, pengaturannya berdasarkan pada Pasal 15
UU Hak Tanggungan 1996, Pasal 2 UU Jabatan PPAT 2016 dan
PERKABAN Nomor 8 tahun 2012 dalam bentuk akta PPAT. Dengan
kewenangan 2 pejabat ini, prakteknya ada 3 bentuk SKMHT yaitu SKMHT
dalam bentuk akta notaris, SKMHT dalam bentuk akta PPAT dan SKMHT
dalam bentuk penggabungan akta notaris dan akta PPAT, sehingga tidak
terdapat kesikronisasian SKMHT. Agar tercapainya sikronisnisasi atas
SKMHT, maka pembuatan SKMHT menjadi kewenangan notaris dan
penyebutannya bukan SKMHT tetapi AKMHT. Hal ini didasarkan atas
pertama mengenai pengaturan perundang-undangan yang mengatur notaris
dan PPAT, Kedua mengenai kewenangan dan tugas. Ketiga, terkait dengan
wilayah kerja terhadap jabatan notaris dan PPAT dalam pembuatan
SKMHT. Keempat terhadap kekuatan pembuktian dari SKMHT dan kelima
kewajiban pelaporan SKMHT. Sehingga tidak ada lagi pembuatan SKMHT
dalam bentuk pencampuran akta notaris dan akta PPAT.
2. Ketidaksinkronisasian akta PPAT tersebut, maka timbul ketidakpastian
hukum terhadap SKMHT terhadap notaris, PPAT, perbankan dan pihak
yang berkepentingan serta ahli waris terhadap SKMHT. Hal ini
dikarenakan, pertama bentuk dan sifat SKMHT yang diterima oleh setiap
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berbeda. Sehingga berpengaruh kepada
kewenangan dari pembuat SKMHT tersebut, apakah menjadi kewenangan
notaris atau kewenangan PPAT. Ketiga pengenaan jangka waktu pada
SKMHT terutama bagi kredit kecil dan tanah yang tidak terdaftar. Apabila
jangka waktu yang dimaksudkan tidak terpenuhi maka SKMHT batal demi
hukum. Pembatasan waktu yang disebutkan adalah pasti sifatnya sehingga
apabila jangka waktu yang ditetapkan tersebut tidak dapat dipenuhi maka
batal demi hukumlah permohonan hak tanggungan. Keempat ditambah
82
83
83
84
DAFTAR PUSTAKA
A‟an Efendi dan Freddy Poernomo. 2017. Hukum Administrasi. Sinar Grafika.
Jakarta
Achmad Ali. 2015. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan
(Judicialprudence). Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence). Kencana. Jakarta
Adrian Sutedi. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika. Jakarta
___________. 2017. Sertifikat Hak Atas Tanah. Sinar Grafika. Jakarta
Ahmad Redi. 2018. Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sinar
Grafika. Jakarta
Ansorie Sabuan. Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad. 1990. Hukum Acara
Pidana. Angkasa. Bandung
Darji Darmodiharjo. 2007. Positivisme Hukum. Universitas Tarumanegara.
Jakarta
________________. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem
Hukum Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Esmi Warassih, dkk. 2016. Penelitian Hukum Interdisipliner, Sebuah Pengantar
Menuju Sosial-Legal. Thafamedia. Yogyakarta
Frans Magnis Suseno. 1988. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Kanisius. Jakarta
Habib Adjie. 2015. Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. PT.
Refika Aditama. Bandung
_________. 2014. Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris Dan PPAT. Citra
Aditya Bakti. Bandung
_________. 2013. Saksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik. Refika Aditama. Bandung
Herlien Budiono. 2014. Dasar-Dasar Pembuatan Akta Notaris. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung
____________. 2015. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, Di Bidang
Kenotariatan, Buku Ketiga. Citra Aditya Bakti. Bandung
____________. 2012. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
____________. 2016. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
Buku Kesatu. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
I Made Pasek Diantha. 2016. Metode Penelitian Hukum Normatif. Kencana.
Jakarta
I Ketut Oka Setiawan. 2019. Hukum Pendaftaran Tanah Dan Hak Tanggungan.
Sinar Grafika. Jakarta
Jimly Asshiddiqie, dan M.Ali Safa‟at. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Konstitusi Press. Jakarta
Jimly Ashiddiqie. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta.
Konstitusi Press
84
85
Krishna Djaya Darumurti. 2016. Diskresi Kajian Teori Hukum. Genta Publishing.
Yogyakarta
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori
Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
M. Luthfan Hadi Darus. 2017. Hukum Notariat Dan Tanggung Jawab Jabatan
Notaris. UII Press. Yogyakarta
Marwan Effendy. 2014. Teori Hukum, Dan Perpektif Kebijakan, Perbandingan,
Dan Harmonisasi Hukum Pidana. Referenci (Gaung Persada Press
Group). Jakarta
Metika Zed. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta
Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia. Jakarta
Philipus M. Harjon, dkk. 2019. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta
Romli Atmasasmita. 1989. Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana. Yayasan
LBH. Jakarta
Salim HS. 2016. Teknik Pembuatan Akta Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
_______. 2008. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Rajawali Press.
Jakarta
_______. 2016. Teknik Pembuatan Akta Satu, Konsep Teoritis, Kewenangan
Notaris, Bentuk, Dan Minuta Akta. RajaGrapindo Persada. Jakarta
_______. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Sinar
Grafika. Jakarta
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2014. Buku Kedua : Penerapan Teori
Hukum Pada Penelitian Disertasi Dan Tesis. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta
________________________________. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi Dan Tesis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sarwono. 2016. Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktek. Sinar Grafika. Jakarta
Setiawan Santana K. 2010. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
Sjaifurrachman. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan
Akta. Mandar Maju. Bandung
Shidarta, dkk. 2009. Metode Penelitian Hukum, Konstelasi Dan Refleksi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta
Soetandyo Wignjosoebroto. 2013. Hukum Konsep Dan Metode. Setara Press.
Malang
Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi
Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta
Sutan Remi Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan
Pokok, Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian
Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan). Alumni. Bandung
85
86
MAKALAH
Yohanes Sogar Simamora. 2008. Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam
Kontrak Pemerintah Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
86
87
KAMUS
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Keempat. Gramedia. Jakarta
WEBSITE
https://id.wikipedia.org/wiki/Surat
https://kbbi.web.id/tanggung%20jawab
87
88
DAFTAR RIWAYAT
A. Identitas Diri
B. Riwayat Pendidikan
FORMAL
Pendidikan Tahun Tamat Sekolah/
Masuk Universitas
Sekolah Dasar 1988 1993 SDN Belakang Balok, Bukittinggi
NON FORMAL
Pendidikan Tahun Masuk Tamat
Kursus Komputer Widyaloka Bukittinggi Mei 2003 Juni-2003
Kursus bahasa inggris di ELS Padang 2000 2003
88
89
C. Pengalaman Kerja
Bidang Kerja Instansi Masa Kerja
Pegawai/Magang/Asisten Kantor Notaris/PPAT Prof. DR. TH 2005 – 2006
Dosen Wiratni Achmadi, SH Bandung
Notaris Pengganti Kantor Notaris/PPAT Elfita Tahun 2003- 2004
Achtar, S.H. Bukittinggi
Magang Notaris Kantor Notaris/PPAT NASRUL, Tahun 2004 – 2006
S.H. Padang
Notaris Kantor Notaris Leny Agustan Tahun 2007 – 2011
Kabupaten Kampar Kampar
Notaris/PPAT Kantor Notaris/PPAT Leny Tahun 2011- sekarang
Agustan Kabupaten Agam Agam
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tahun 2018 -2020
Muhamdiyah Bukittinggi
Dosen Magister Kenotariatan Tahun 2015 – sekarang
Universitas Andalas Padang
D. Pengalaman/Pelatihan Organisasi
Pelatihan Tingkat Pelatihan Tahun/
Periode
Lembaga Advokasi Mahasiswa Sekretaris Advokasi 2000-2001
& Pengkajian Kemasyarakatan
Universitas Andalas
Lembaga Advokasi Mahasiswa Dewan Kehormatan 2003 - sekarang
& Pengkajian Kemasyarakatan
Universitas Andalas
Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Ketua Bidang Pendidikan dan 2004-2005
Universitas Padjadjaran Pengajaran
Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Ketua Bimbel Penerimaan 2005
Universitas Padjadjaran Mahasiswa baru
Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Koordinator PPMKN 2005
Universitas Padjadjaran
Pengurus Daerah INI Kabupaten Bendahara 2008
Kampar
Pengurus Daerah INI Sekretaris Umum 2013-2015
Bukittinggi
Pengurus Wilayah INI Komisi Perlindungan Anggota 2016-2019
SUMBAR
Pengurus Wilayah INI Koordinator Bidang Riset dan 2019-2022
SUMBAR Kebijakan Perundang-
Undangan
Kalam Center Pendiri 2013- sekarang
Yayasan Baabusaalam Hasdar Sekretaris Umum 2019 - Sekarang
Sekolah Ilmuwan Minangkabau Pendiri 2020 - sekarang
89
90
E. Buku/Jurnal/Tulisan
Judul Penerbit Tahun
TATA KELOLA KANTOR NOTARIS UII Press, Yogyakarta 2018
PANDUAN NOTARIS/PPAT DALAM UII Press, Yogyakarta 2018
MENGHADAPI GUGATAN PERDATA
F. Pelatihan/Seminar
90
91
G. Keluarga
Nama Status
Agustani Orang Tua
Anursyah Orang Tua
Dedek Astani, S.Pd., S.H., M.Kn Suami
Greymendra, S.T., M.M Adik
Angga Satria Adik
91