Anda di halaman 1dari 154

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

KORUPSI NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN


PENGIKATAN JUAL BELI TANAH

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-


TPK/2017/PN.Sby)

TESIS

Oleh:

ADHITYA FIRMANSYAH

NIM. E2B017048

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI TANAH

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-


TPK/2017/PN.Sby)

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister


pada Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:

ADHITYA FIRMANSYAH

NIM. E2B017048

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020

i
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby)

Adhitya Firmansyah
NIM : E2B017048

Telah dipertahankan di depan tim penguji


Tanggal, 21 Februari 2020

1. Prof. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum. ........................


Pembimbing I
2. Dr. Sulistyandari, S.H,, M.Hum. ........................
Pembimbing II
3. Prof. Tri Lisiani Prihatinah, S.H., M.A., Ph.D. ........................
Penguji
4. Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H. ........................
Penguji
5. Dr. Dwi Hapsari Retnaningrum, S.H., M.Hum. ........................
Penguji

Purwokerto, 21 Februari 2020

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Dekan Fakultas Hukum Koordinator Program Studi
Magister Kenotariatan

Prof. Dr. Ade Maman Suherman, SH, M.Sc Dr. Sulistyandari, SH, M.Hum
NIP. 19670711 199512 1 001 NIP. 19600526 198703 2

ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Adhitya Firmansyah
NIM : E2B017048
Program Pendidikan : Magister Kenotariatan
Fakultas : Fakultas Hukum
Judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN
JUAL BELI TANAH (Analisis Putusan Pengadilan
Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby)
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa tesis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya
akui sebagai tulisan saya, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan di
sebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa tesis ini hasil
plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik
yang saya peroleh terkait dengan tesis ini.

Purwokerto, 21 Februari 2020

Adhitya Firmansyah

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada :

➢ Bapakku
➢ Mamahku
➢ Adikku
➢ Keluarga besar Marnoto Mashar

iv
RINGKASAN
Adhitya Firmansyah, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Jenderal Soedirman, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Tanah (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby), Komisi Pembimbing, Ketua Prof. Dr. Agus Raharjo, S.H.,
M.Hum dan Anggota Dr. Sulistyandari, SH, M.Hum.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik,
notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam membuat akta tidak luput
dari kesalahan atau kekeliruan sehingga terjadi permasalahan dalam akta yang
dibuatnya, pada kasus notaris bernama Rosidah dipidana karena kasus korupsi
penjualan tanah TKD dengan mengeluarkan akta PPJB, sehingga notaris dituntut
pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi.
Tujuan penelitian adalah mengkaji pertanggungjawaban pidana terhadap
tindak pidana korupsi notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli
tanah dan menganalisis penafsiran hakim terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Jabatan Notaris tentang prinsip kehati-hatian notaris pada putusan
nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode yuridis normatif, dianalisis secara normatif kualitatif.
Hasil penelitian pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pindana
korupsi, terhadap perbuatan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU Tipikor unsur
kerugian negara terpenuhi, karena hakim menitik beratkan pada akibat yang timbul
dari tanah TKD yang beralih fungsi menjadi perumahan sehingga tidak dapat
dimanfaatkan dan tidak menerima penghasilan atas pengelolaan tanah TKD, maka
notaris dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya walaupun terhadap
perjanjiannya yaitu PPJB belum terjadi adanya levering sedangkan penafsiran
hakim dalam putusan nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby yaitu, notaris dalam
membuat akta bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi, akta
yang dimaksud adalah akta PPJB dan surat kuasa mutlak atas tanah TKD, sehingga
notaris dianggap tidak melaksanakan Pasal 16 ayat 1 UUJN yaitu bekerja secara
saksama, namun hakim tidak menjelaskan tentang bagaimana bekerja secara
seksama agar menjadi sebuah solusi hukum bagi para notaris dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian. Sedangkan menurut doktrin secara prosedur sebagian sudah
dilaksanakan oleh notaris dengan mengecek data-data penghadap, memberikan
tenggang waktu dalam pembuatan akta, memenuhi syarat formil dalam teknik
pembuatan akta pengikatan jual beli, namun terhadap objek faktanya bertentangan
dengan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu hal tertentu, hal tersebut disebabkan
notaris tidak mengecek objek dari pengikatan jual beli, karena terdapat perbedaan
alamat pada 112 SHM seluas lebih kurang 10 hektar dengan yang ada di siteplan di
mana ada tanah kas desa seluas 28.842 m² atau 2,8 hektar sehingga bertentangan
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan
Aset Desa, sekalipun ada tanda tangan bupati pada siteplan dan surat keputusan,
namun hal tersebut seharusnya tidak bisa dijadikan dasar, sehingga notaris dapat
disimpulkan tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian.
Kata Kunci : notaris, tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban pidana,
prinsip kehati-hatian, perjanjian pengikatan jual beli.

v
SUMMARY
Adhitya Firmansyah, Notary Masters Program, Faculty of Law, General
Soedirman University, Criminal Liability for Notary Corruption In Making Deed
of Land Purchase Binding Agreement (Analysis of Decision of Surabaya District
Court Number: 62 / Pid.Sus-TPK / 2017 / PN.Sby ), Supervising Commission,
Chair Prof. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum and Member Dr. Sulistyandari, SH,
M.Hum.
Notary is a public official who is authorized to make an authentic deed, notary
in carrying out their duties and positions in making a deed not escape from mistakes
or mistakes so that problems occur in the deed he made, in the case of a notary
named Rosidah convicted for corruption of TKD land sales by issuing PPJB deed ,
so that the notary is charged with criminal liability for corrupt acts.
The purpose of this study is to examine criminal liability for notary corruption
in the drafting of the land purchase agreement agreement and analyze the judge's
interpretation of Article 16 paragraph (1) letter a of the Notary Position Act
concerning the principle of notary caution in decision number: 62 / Pid .Sus-TPK /
2017 / PN.Sby. The method used in this study is a normative juridical method,
analyzed normatively qualitatively.
The results of criminal liability research on corruption acts, on corruption in
Article 3 of the Anti-Corruption Act the element of state losses are fulfilled, because
the judge focuses on the consequences arising from TKD land that are converted
into housing so that they cannot be utilized and do not receive income from
management TKD land, then the notary may be held liable for the criminal even
though the agreement is PPJB, there has not been any levering, whereas the
interpretation of the judge in the decision number: 62 / Pid. SUS-TPK / 2017 / PN.
criminal corruption, the deed in question is the PPJB deed and the absolute power
of attorney for TKD land, so that the notary is deemed not to implement Article 16
paragraph 1 of the UUJN namely to work carefully, but the judge does not explain
how to work carefully in order to become a legal solution for the notaries in apply
the precautionary principle an. Whereas according to the doctrine, the procedure
has been partly carried out by a notary by checking the data of the user, giving a
grace period in making the deed, fulfilling the formal requirements in the technique
of making the sale and binding agreement, but the object of the fact is contrary to
Article 1320 of the Civil Code namely a certain matter, This is due to the notary not
checking the object of the binding sale and purchase, because there are differences
in address on 112 SHM covering an area of approximately 10 hectares with those
in siteplan where there is a village cash estate area of 28,842 m² or 2.8 hectares so
that it conflicts with the Minister of Home Affairs Regulation Number 1 of 2016
concerning Village Asset Management, even though there is a regent's signature on
the siteplan and a decree, but this should not be used as a basis, so the notary can
be concluded not to implement the precautionary principle.
Keywords: notary, corruption, criminal liability, prudential principles,
binding purchase agreement.

vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, atas limpahan
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby). Adapun tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari
sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan
ketulusan hati. Dalam penulisan Tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada
kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Prof. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum.. selaku Dosen pembimbing I, yang telah
meluangkan waktu dan kesabarannya untuk membimbing penulis, serta
mengarahkan penulis menjadi lebih baik dalam membuat karya ilmiah ini,
semoga beliau selalu sehat dan semangat dalam membentuk generasi
intelektual bangsa.
3. Dr. Sulistyandari, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Ketua
Program Studi Magister Kenotariatan yang telah meluangkan waktu dan
kesabarannya untuk membimbing penulis, serta mengarahkan penulis menjadi
lebih baik dalam membuat karya ilmiah ini, semoga beliau selalu sehat dan
semangat dalam membentuk generasi intelektual bangsa.
4. Prof. Tri Lisiani Prihatinah, S.H., M.A., Ph.D., selaku Dosen Penguji yang
yang telah berkenan menguji pada seminar proposal dan ujian tesis yang

vii
bersedia memberikan berbagai saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan tesis ini.
5. Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H., selaku Penguji sekaligus Wakil Dekan Bidang
Akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah
berkenan menguji pada seminar proposal dan ujian tesis yang bersedia
memberikan berbagai saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
tesis ini.
6. Dr. Dwi Hapsari Retnaningrum, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penguji yang
telah berkenan menguji pada seminar proposal dan ujian tesis dan bersedia
memberikan berbagai saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
tesis ini.
7. Segenap Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Sudirman.
8. Bapakku Sukhari, S.Pd, Mamahku Eny Ismiati dan Adikku Fitria Aprilia
Rahmah yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat dan kasih
sayangnya kepada penulis selama masa studi dan proses pembuatan tesis
sampai selesai study.
9. Keluarga Besar Marnoto Mashar, yaitu Mamah Risah, Mas Arif Rachman,
Mba Erna, Mba Elvia, Endah Nadia Putriani yang selalu memberikan
dukungan, doa, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis selama masa
studi dan proses pembuatan tesis sampai selesai studi.
10. Sahabat penulis terutama Yurissa, Eko, Isnen, Ozan, Binar, Dias, Teguh, Obbi,
Mas Agung, Tante Nina dan seluruh teman-teman angkatan 2017 Magister
Kenotariatan.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.
Purwokerto, 21 Februari 2020
Penulis,

Adhitya Firmansyah
NIM. E2B017048

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i

LEMBAR JUDUL ................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN / PENGESAHAN ...................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .................................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv

RINGKASAN ..........................................................................................................v

SUMMARY ........................................................................................................... vi

PRAKATA ............................................................................................................ vii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................1

B. Rumusan Masalah .....................................................................................8

C. Tujuan Penelitian .......................................................................................8

D. Manfaat Penelitian ....................................................................................8

E. Originalitas Penelitian ................................................................................9

F. Alur Pikir .................................................................................................15

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana ....................................................................16


B. Tindak Pidana Korupsi ............................................................................22
C. Penafsiran Hukum ....................................................................................26
D. Syarat Sah Perjanjian ...............................................................................29
E. Perjanjian Pengikatan Jual Beli ...............................................................30
F. Jabatan Notaris .........................................................................................32
G. Prinsip Keati-hatian .................................................................................34
H. Kerugian Negara ......................................................................................36

ix
I. Tanah Kas Desa .......................................................................................38
BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ..................................................................................40


B. Spesifikasi Penelitian ...............................................................................41
C. Sumber Data.............................................................................................41
D. Metode Pengumpulan Data ......................................................................42
E. Metode Penyajian Data ............................................................................42
F. Analisis Data ............................................................................................42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ........................................................................................44


1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby. .............................................................................44
B. Pembahasan
1. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Notaris
Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah.......109
2. Penafsiran hakim terhadap pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Jabatan Notaris tentang prinsip kehati-hatian notaris pada putusan
nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby.............................................129
BAB V SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan............................................................................................138
2. Saran ..................................................................................................139
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................140

LAMPIRAN

x
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Notaris merupakan salah satu profesi yang dituntut professional dalam
menjalankan profesinya. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.1 Notaris sebagai pejabat umum
(openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani
tanggungjawab atas perbuatanya sehubungan dengan pekerjaanya dalam membuat
akta tersebut.
Jabatan notaris diatur dengan suatu undang-undang yaitu, dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), merupakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-
undang yang mengatur tentang jabatan notaris, sehingga dapat tercipta suatu
unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah Negara
Repubik Indonesia. Berdasarkan pada nilai moral dan etik notaris, maka jabatan
notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak
memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembangannya sebagai panggilan
hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi
kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia
pada umumnya dan martabat notaris pada khususnya. Kedudukan notaris yang
indenpendent dan tidak memihak, maka akta yang dihasilkan merupakan suatu

1
Habib Adjie, 2017, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2014
tetang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama,
Bandung, hlm. 1.

1
2

kepastian dan jaminan hukum yang pasti. Seorang notaris tidak bisa diintervensi
oleh kemauan salah satu pihak, sehingga mengabaikan kepentingan pihak lainnya,
sehingga seorang notaris tidak boleh menodai kepercayaan yang telah diberikan
oleh undang-undang.
Notaris adalah jabatan kepercayaan (vertrouwens ambt) dan adanya hak
istimewa yakni hak ingkar atau verschoningrecht oleh karena itu seseorang bersedia
mempercayakan sesuatu kepadanya sebagai seorang kepercayaan (vertrouwens
persoon). Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara,
notaris merupakan salah satu profesi yang mempunyai karateristik tersendiri
dibandingkan profesi lain seperti advokat, jaksa, arbirter, dan hakim. Menempatkan
notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas, yang sengaja
dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi. Jabatan notaris merupakan
suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara, setiap wewenang yang diberikan
kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat
berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya.2
Kewenangan yang di maksud adalah notaris sebagai openbaar ambtenaar
diberi wewenang oleh negara untuk membuat akta otentik berdasarkan UUJN,
dalam hukum kenotariatan dikenal dua akta yaitu :3
1. Akta Partij atau akta para pihak yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris.
Artinya, akta yang dibuat berdasar keterangan atau perbuatan pihak yang
menghadap notaris, dan keterangan atau perbuatan itu agar di konstatir oleh
notaris untuk dibuatkan akta.
2. Akta Relaas atau akta pejabat yaitu akta yang dibuat oleh notaris sebagai
pejabat umum yang memuat uraian secara otentik tentang semua peristiwa
atau kejadian yang dilihat, dialami, dan disaksikan oleh notaris sendiri.
Misalnya berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (untuk selanjutnya
disebut sebagai RUPS).

2
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hlm. 13
3
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan
Akta, Mandar Maju, Bandung, hlm. 7.
3

Berdasarkan pada ke dua jenis akta tersebut, kesalahan dari isi akta di karenakan
adanya pihak yang menyelundupkan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan akta tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian secara materil,
walaupun secara lahiriah dan formalnya sudah sesuai dengan ketentuan yang sudah
ditentukan oleh undang-undang maka akta yang mempunyai salah satu unsur
kesalahan tersebut langsung dapat batal secara hukum, karena berdasarkan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang syarat sahnya perjanjian
yaitu:
Syarat subjektif
1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan
Syarat Objektif
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal
Suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum, artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 4
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang notaris dalam menjalankan
pelayanannya harus berhati-hati, kesalahan karena kelalaian yang dibuatnya dapat
menimbulkan masalah hukum di kemudian hari, sehingga notaris dapat
diperhadapkan pada proses peradilan, notaris harus memberikan keterangannya
ataupun menyerahkan fotokopi minuta akta. Seiring dengan itu sebagai pejabat
umum, notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan dan didasarkan
pada aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada
notaris dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap wajib
dilakukan sebagai bahan dasar untuk dituangkan dalam akta.
Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan sebagaiamana penerapan Pasal 16
Ayat (1) huruf a UUJN, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya wajib
bertindak seksama dan penuh kehati-hatian. Permasalahan yang terjadi dalam

4
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Perikatan yang lahir dari Undang-Undang, Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 53
4

proses pembuatan akta autentik disebabkan karena dalam UUJN tidak mengatur
secara jelas prinsip-prinsip atau langkah-langkah notaris untuk bekerja lebih
berhati-hati dalam proses pembuatan akta, sehingga notaris tidak memiliki
pedoman dan tuntunan yang berguna untuk mencegah terjadinya kejahatan dalam
akta autentik yang dibuat oleh notaris.
Kekaburan norma dalam UUJN tersebut dapat dilihat dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf a disebutkan mengenai kewajiban notaris yaitu dalam menjalankan
jabatannya, notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Kewajiban notaris di atas menyebutkan bahwa, notaris dalam menjalankan
kewajibannya membuat akta autentik berkewajiban untuk bertindak secara
saksama, namun tidak memberi penjelasan pengertian dan contoh kewajiban notaris
harus bertindak saksama dari Pasal tersebut. Kondisi norma yang demikian disebut
sebagai kekaburan norma atau vague van normen.5 Aarnio dalam buku I Made
Pasek Diantha mengatakan bahwa interpretation in turn has been understood as a
linguistic matter atau penafsiran disebabkan karena faktor bahasa. Oleh karena itu,
penting pula dicatat bahwa dalam ilmu hukum dikenal adagium yang berbunyi in
claris non fit interpretation yang artinya kalau undang-undang sudah jelas tidak
perlu dilakukan interpretasi.
Berpikir secara a contrario, maka justru adagium inilah yang sesungguhnya
merupakan landasan pokok bagi relevansi interpretasi bila undang-undang tidak
jelas.6 Menurut Pitlo apabila dalam bahasa atau kata-kata dalam suatu peraturan
perundang-undangan tersebut tidak jelas maka digunakan metode interpretasi
gramatikal, berarti menangkap arti atau teks bahasa dalam undang-undang
tersebut.7 Tidak adanya penjelasan baik secara khusus maupun umum dalam Pasal
16 ayat (1) huruf a UUJN, notaris harus bertindak “saksama” dalam membuat akta

5
I Made Pasek Diantha, 2015, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Dalam Justifikasi Teori
Hukum), Cetakan ke-1, Prenada Media Group, Denpasar, hlm. 118
6
Ibid, hlm. 119-120
7
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Malang, hlm. 64
5

autentik tersebut, berakibat dalam praktek menimbulkan permasalahan hukum


dengan penafsiran masing-masing berbeda tentang prinsip hati-hatian.
Kasus yang terjadi pada notaris bernama Rosidah berawal dari relokasi
mandiri korban lumpur lapindo yang diadakan pada tahun 2009. Warga
mengadakan relokasi mandiri yaitu 600 Kartu Keluarga membentuk paguyuban
yang bernama Pagarekontra diketuai Sunarto. Selanjutnya mereka melakukan
pembebasan 10 hektar tanah yang terdiri dari 101 Sertfikat Hal Milik (SHM) dan
11 Surat Keputusan (SK) Gurbernur.Sunarto dan kepala desa datang ke Rosida
melakukan transaksi jual tanah tersebut. Jual beli dilakukan dibalai desa, dan
dibuatkan akta pengikatan jual beli disertai kuasanya.
Februari 2009 ditindak lanjuti akta jual beli dari petani ke Sunarto selaku
ketua paguyuban. Karena tidak punya pengalaman membuat perumahan, maka
paguyuban meminta bantuan Pemerintah Kabupaten dan Provinsi, kemudian
pemerintah menunjukan DPD Real Estate Indonesia (REI) Jatim. Juni 2009 terbit
nota kesepakatan paguyuban dan REI yang isinya, paguyuban membantu sosialisasi
kepada warga mengenai pembangunan perumahan, sementara REI
menyelenggarakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perumahan
sebanyak 640 unit. Kemudian REI mengurusi dan memastikan bukti adanya
kepemilikan tanah dan bangunan diatasnya sesuai peraturan yang berlaku. Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Timur mendukung pendanaan yang dilakukan
DPD REIndalam pengadaan lahan, konstruksi dan KPR bersusidi.
November 2009 Paguyuban dan DPD REI mendatangi kekantor Notaris
Rosida menerangkan tanah tersebut, akan distribusikan ke warga pengungsian yang
akan dievakuasi, dengan alasan pemilik stand pasar porong akan menempatinya.
Kemudian DPD REI membawa siteplan kepada Rosida sebagai bahan
dilakukannya akta pengikatan jual beli antara Sunarto (ketua paguyuban), Warga
dan PT Gala Bumi Perkasa (yang membangun perumahan). Berdasarkan siteplan,
paguyuban mengundi warga yang menempati blok rumah tersebut dan hasilnya
diserahkan kepada Rosida untuk membuat akta pengikatan jual beli sebagai alamat
dari blok perumahan tersebut.
6

Dasar akta pengikatan jual beli antara sunarto dengan petani, alasannya 101
Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 11 Surat Keputusan (SK) Gurbernur menjadi 446
akta, dan ternyata 160 akta, alamatnya menujuk letak diatas Tanah Kas Desa (TKD)
rencananya 101 SHM dan 11 SK Gurbernur yang belum digabung akan digabung
atas nama Sunarto dan dipecah atas nama warga, karena sebagian dari bangunan
tersebut belum lunas.
Masalah muncul pada tahun 2015, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo mulai
melakukan penyelidikan terhadap perkara ini dan tahun 2016 perkara ini mengikat
menjadi penyidikan, yang menjadi padangan Kejari Sidoarjo adalah Tanah Kas
Desa (TKD) telah berfungsi menjadi perumahan Renojoyo, sehingga notaris
Rosidah didakwa turut serta membantu melakukan penyimpangan tindakan korupsi
penjualan TKD di desa Renojoyo Porong Sidoarjo.
Kutipan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby hakim meyatakan dalam pokok perkara bahwa terdakwa
Rosidah, terbukti secara sah tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian,
menyalahgunakan kewenangan yang menimbulkan kerugian negara dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama sama
sebagaimana dalam dakwaan subsider, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan serta
denda sejumlah Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Berdasarkan kronologis kasus diatas permasalahan hukum yang timbul
didalam kasus ini adalah dari total 446 akta pengikatan jual beli, di mana 160 akta
alamatnya menujuk letak diatas Tanah Kas Desa (TKD) dianggap sebagai
perbuatan tindak pidana korupsi karena menayalahgunakan kewenangan atas
jabatannya yang menimbulkan kerugian negara dan tidak melaksanakan prinsip
kehati-hatian, atas pembuatan perjanjian pengikatan jual beli (untuk selanjutnya
disebut sebagai PPJB) tersebut yang objeknya menujukan alamat Tanah Kas Desa
(TKD) sehingga notaris dituntut pertanggungjawaban pindana terhadap tindak
pidana korupsi.
7

Menurut penulis terdapat kejanggalan atas putusan tersebut diatas,


pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi notaris disebabkan
karena membuat PPJB atas 160 akta yang dianggap bermasalah, sekalipun Tanah
Kas Desa (TKD) tersebut merupakan aset negara, karena berdasarkan Pasal 1 ayat
26 ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Pengelolaan Aset Desa: Tanah Desa adalah tanah yang dikuasai dan atau dimiliki
oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan/atau
untuk kepentingan sosial. Tanah Kas Desa merupakan tanah negara, yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah. Tanah Kas Desa (TKD) tidak dapat diperjualbelikan tanpa
persetujuan seluruh warga desa namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi
hak mengelolanya.
Berdasarkan objeknya sekalipun bertentangan dengan undang-undang,
seharusnya PPJB tersebut batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat sah
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu jika suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya
adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan, karena akta yang dibuat adalah perjanjian pengikatan
jual beli, menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah
perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya
bebas, pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian
pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat
sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokok. 8 Berdasarkan
penjelasan tersebut diatas seharusnya belum ada pemindahan hak atas Tanah Kas
Desa, di karenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut
antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, atau belum
terjadinya pelunasan harga.
Sedangkan untuk prinsip kehati-hatian notaris apakah dalam putusan nomor :
62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby benar-benar tidak dilaksanakan oleh notaris rosida,
sehingga timbul permasalahan hukum pertanggungjawaban pidana terhadap tindak

8
Herlien Budiono, 2004, artikel Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak Majalah Renvoi, edisi
tahun I, No 10, Bulan Maret. Hlm. 57
8

pidana korupsi dan bagaimana penafsiran hakim terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Jabatan Notaris tentang prinsip kehati-hatian notaris pada putusan
nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas
penulis tertarik menulis sebuah tulisan ilmiah dalam bentuk Tesis yang berjudul
“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Notaris Dalam
Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah” (Analisis Putusan
Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi
notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli tanah ?
2. Bagaimana penafsiran hakim terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Jabatan Notaris tentang prinsip kehati-hatian notaris pada putusan
nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam suatu
penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi, maupun untuk
memenuhi kebutuhan perorangan9. Dalam penelitian ini tujuan yang akan dicapai
adalah :
1. Untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi
notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli tanah.
2. Untuk menganalisis penafsiran hakim terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Jabatan Notaris tentang prinsip kehati-hatian notaris pada
putusan nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby.

D. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

9
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hlm. 109
9

1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan melengkapi bahan
pustaka di bidang hukum khususnya di bidang Hukum Kenotariatan
yakni mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
korupsi notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli
tanah.
b. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat bagi
penegak hukum dan masyarakat pada umumnya, khususnya bagi pihak
Notaris / PPAT.

E. Originalitas Penelitian
Penulis menggunakan pembanding penelitian-penelitian terdahulu baik
mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi notaris
dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli tanah, 6 (enam) diantaranya
adalah
1. Nama Ibnu Sajadi, Magister Kenotariatan, Universitas Sebelas Maret
Judul Penelitian Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Akta Notaris Yang
Dibuatnya Atas Penghadap Yang Tidak Dapat Membaca Dan
Menulis
Rumusan
Masalah
Hasil Penelitian Notaris bertanggungjawab atas akta yang dibuat di hadapannya
baik yang dibubuhi tanda tangan maupun yang menggunakan cap
jempol dengan disertai keterangan bahwa para pihak telah
mengetahui mengapa salah satu pihak menggunakan cap jempol.
Akta otentik yang dibuat notaris baik yang menggunakan
tandatangan maupun dengan cap jempol akta tetap sah asal Notaris
memberikan alasan yang jelas tentang sebab para pihak tidak
membubuhkan tanda tangannya. Alasan yang dikemukakan
tersebut merupakan pengganti tanda tangan yang dinamakan
“surrogaat”. Akta tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan
sempurna.
2. Nama Kunni Afifah, Magister Kenotariata, Univeristas Islam Indonesia
10

Judul Penelitian Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara
Perdata Terhadap Akta yang dibuatnya
Rumusan 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban Notaris secara perdata
Masalah terhadap akta-akta yang dibuatnya? ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi Notaris terhadap
akta-akta yang dibuatnya terkait pertanggungjawaban Notaris
secara perdata ?
Hasil Penelitian 1. Pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi
sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Notaris. Namun sebelum Notaris dijatuhi
sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat
dibuktikan bahwa telah adanya kerugian yang ditimbulkan
dari perbuatan melawan hukum Notaris terhadap para pihak.
2. Bentuk perlindungan hukum bagi Notaris terhadap akta-akta
yang dibuatnya terkait pertanggungjawaban Notaris secara
perdata adalah adanya Majelis Kehormatan Notaris yang
bersifat independen, dalam hal ini keberadaan MKN tidak
merupakan sub bagian dari pemerintah yang mengangkatnya.
MKN dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan
suatu keputusan tidak dipengaruhi oleh pihak atau lembaga
lainnya, sehingga dalam hal ini keputusan yang dihasilkan
oleh MKN ini tidak dapat diganggu gugat.
3. Nama Lidya, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara
Judul Penelitian Analisis Yuridis Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta
Yang Batal Demi Hukum Sesudah Berakhirnya Masa Jabatannya
Rumusan 1. Bagaimanakah tugas dan wewenang Notaris sebagai Pejabat
Masalah Umum menurut UUJN Nomor 2 Tahun 2014 ?
2. Bagaimanakah peraturan pertanggung jawaban werda notaris
terhadap akta yang pernah dibuatnya?
3. Bagaimanakah penyebab dan tanggung jawab werda notaris
terhadap akta yang batal demi hukum sesudah berakhir masa
jabatannya ?
Hasil Penelitian 1. Notaris sangat terikat oleh Undang-Undang Jabatan Notaris
dan harus selalu berlandaskan Undang-Undang Jabatan
Notaris dalam setiap tindakannya dalam membuat akta yang
merupakan produknya. UUJN telah mengatur tentang bentuk
dari suatu akta notaris yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal
38 UUJN Nomor 2 Tahun 2014.
2. Pertanggungjawaban notaris tidak dijelaskan secara rinci
dalam UUJN sehingga sampai kepada batas usia pensiun dan
sampai seorang notaris meninggal dunia tanggung jawab tetap
melekat pada notaris.
11

3. Notaris yang telah memasuki masa wreda (pensiun) atau telah


berakhir masa jabatannya tetap bertanggung jawab dan dapat
digugat oleh para pihak yang dirugikan tersebut. Hal ini
disebabkan karena UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2
Tahun 2014 tidak menegaskan secara eksplisif tentang batas
waktu dari pertanggung jawaban Notaris atas akta yang telah
dibuatnya.
4. Nama Cut Era Fitriyeni, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala
Judul Penelitian Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta
Sebagai Bagian Dari Protokol Notaris
Rumusan
Masalah
Hasil Penelitian UUJN tidak mengatur bagaimana prosedur dan cara penyimpanan
minuta akta dan juga tidak mengatur bagaimana tanggung jawab
notaris terhadap kehilangan, musnah ataupun hilangnya minuta
akta yang berada dalam penyimpanannya. Oleh karena itu
Masyarakat tidak mendapat kepastian dan perlindungan hukum
atas kerugian yang mereka alami akibat pelanggaran notaris
terhadap ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf b dan i, karena
seharusnya notaris menyimpan minuta akta sebagai bagian
protokol notaris dalam keadaan yang aman dan pantas layaknya
sebuah surat berharga.
5. Nama Wibby Yuda Prakoso, Gunarto, Magister Kenotariatan,
Universitas Islam Sultan Agung
Judul Penelitian Tanggung Jawab Dan Akibat Hukum Dari Akta Notariil Yang
Dibuat Oleh Notaris Pengganti Setelah Masa Jabatannya Selesai
Rumusan
Masalah
Hasil Penelitian 1. Tanggung Jawab Notaris ataupun Notaris Pengganti memiliki
Tanggung Jawab yang sama atas Akta yang telah dibuatnya,
hal tersebut tertuang dalam Pasal 65 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris.
2. Apabila kelalaian Notaris ataupun Notaris Pengganti dalam
membuat Akta tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan
oleh UndangUndang maka kekuatan pembuktian Akta
Autentik/Akta Notariil menjadi terdegradasi menjadi Akta
dibawah tangan, dimana Akta dibawah tangan berlaku jika
para pihak yang bersangkutan mengakui Akta tersebut.
3. Notaris dan Notaris Pengganti selaku Pejabat Umum yang
diberi wewenang seharusnya memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang
membutuhkan jasanya serta harus bersifat Netral dan tidak
memihak salah satu pihak.
4. Notaris dan Nortaris Pengganti dalam hal pembuatan Akta
harulah sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Undang-
12

Undang dan bekerja dengan teliti serta kehati-hatian, agar


Akta Autentik yang dibuat dihadapan Notaris ataupun Notaris
Pengganti tidak terdegradasi menjadi Akta dibawah tangan,
sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi para
pihak/penghadap, agar Akta tersebut bisa menjadi berguna
bagi para pihak/penghadap.
6. Nama Muhammad Tiantanik Citra Mido, I Nyoman Nurjaya, Rachmad
Safa’at, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Judul Penelitian Tanggung Jawab Perdata Notaris terhadap Akta yang Dibacakan
oleh Staf Notaris di Hadapan Penghadap
Rumusan 1. Apa alasan Notaris menyerahkan kewajiban membacakan akta
Masalah kepada staf Notaris di hadapan penghadap ?
2. Apa implikasi hukum terhadap akta Notaris yang dibacakan
oleh staf Notaris di hadapan penghadap ?
3. Bagaimana tanggung jawab perdata Notaris terhadap akta
yang dibacakan oleh staf Notaris di hadapan penghadap ?
Hasil Penelitian 1. Notaris menyerahkan kewajiban membacakan akta kepada
staf Notaris di hadapan para penghadap didasarkan dari
perintah Notaris kepada staf Notaris secara lisan, untuk
mengerjakan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Notaris
sebagai pejabat umum mempunyai kewenangan atribusi yang
bersumber dan diberikan langsung oleh Undang-undang, serta
diangkat secara delegasi oleh pejabat pemerintah untuk
menjalankan jabatannya.
2. Implikasi hukum terhadap akta Notaris yang dibacakan oleh
staf Notaris di hadapan penghadap, jika kewajiban
membacakan akta di hadapan penghadap tidak terpenuhi oleh
Notaris dan kemudian menimbulkan kerugian bagi para pihak
hingga berakibat pada gugatan pengadilan.
3. Tanggung jawab perdata Notaris terhadap akta yang dibacakan
oleh staf Notaris di hadapan penghadap apabila
mengakibatkan kerugian bagi orang atau pihak yang
bersangkutan maka Notaris tersebut dapat digugat secara
perdata sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Serta
Notaris harus bertanggung jawab secara tanggung renteng
antara Notaris dan staf kantor Notaris sesuai ketentuan Pasal
1367 KUHPerdata.
7. Nama Adhitya Firmansyah, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan,
Universitas Jenderal Soedirman
Judul Penelitian Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Tanah (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor :
62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby)
Rumusan 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak
Masalah pidana korupsi notaris dalam pembuatan akta perjanjian
pengikatan jual beli tanah?
13

2. Bagaimana penafsiran hakim terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf


a Undang-Undang Jabatan Notaris tentang prinsip kehati-
hatian notaris pada putusan nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby ?

Hasil Penelitian 1. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pindana korupsi,


pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pelaku tindak
pidana yang melakukan kesalahan, kesalahan dalam perkara ini
akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh notaris dalam
pembuatan akta PPJB dan objek tersebut menunjukan pada
alamat Tanah Kas Desa yang merupakan tanah negara,
berdasarkan analisa perbuatan tindak pidana korupsi pada Pasal
3 UU Tipikor unsur kerugian negara terpenuhi karena hakim
menitik beratkan pada akibat yang timbul dari tanah TKD yang
beralih fungsi menjadi perumahan sehingga tidak dapat
dimanfaatkan dan tidak menerima penghasilan atas
pengelolaan tanah TKD, maka notaris dapat dituntut
pertanggungjawaban pidananya walaupun terhadap
perjanjiannya yaitu PPJB belum terjadi adanya levering.
2. Penafsiran hakim dalam putusan nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby yaitu, notaris dalam membuat akta
bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi,
akta yang dimaksud adalah akta pengikatan jual beli dan surat
kuasa mutlak atas Tanah Kas Desa (TKD), sehingga notaris
dianggap tidak melaksanakan Pasal 16 ayat 1 UUJN yaitu
bekerja secara saksama, namun hakim tidak menjelaskan
tentang bagaimana bekerja secara seksama agar menjadi
sebuah solusi hukum bagi para notaris dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian. Sedangkan menurut doktrin secara
prosedur sebagian sudah dilaksanakan oleh notaris dengan
mengecek data-data penghadap, memberikan tenggang waktu
dalam pembuatan akta, memenuhi syarat formil dalam teknik
pembuatan akta pengikatan jual beli, namun terhadap objek
faktanya bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu
kausa yang halal artinya menyangkut isi perjanjian itu sendiri,
hal tersebut dikarenakan notaris tidak mengecek isi perjanjian
yang di dalamnya terdapat perbedaan alamat pada 112 SHM
seluas lebih kurang 10 hektar dengan yang ada di siteplan di
mana ada tanah kas desa seluas 28.842 m² atau 2,8 hektar dan
bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa yaitu : Kekayaan
desa yang berupa tanah desa / TKD tidak diperbolehkan
dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain,
kecuali diperlukan untuk kepentingan umum, sekalipun ada
tanda tangan bupati pada siteplan dan surat keputusan, namun
hal tersebut seharusnya tidak bisa dijadikan dasar, sehingga
14

notaris dapat disimpulkan tidak melaksanakan prinsip kehati-


hatian.
Ke enam penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang peneliti ajukan
dilihat dari sisi rumusan masalah, tujuan dan hasil penelitian. Penulis meneliti dari
sudut pandang hukum kenotariatan khususnya pertanggungjawaban pidana
terhadap tindak pidana korupsi notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan
jual beli tanah, sedangkan Ibnu Sajadi menitik beratkan penelitian pada tanggung
jawab notaris terhadap keabsahan akta notaris yang dibuatnya atas penghadap yang
tidak dapat membaca dan menulis, Kunni Afifah menitik beratkan penelitian pada
tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi notaris secara perdata terhadap akta
yang dibuatnya, Lidya menitik beratkan penelitian pada analisis yuridis tanggung
jawab werda notaris terhadap akta yang batal demi hukum sesudah berakhirnya
masa jabatannya, Cut Era Fitriyeni menitik beratkan penelitian pada Tanggung
Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta Sebagai Bagian Dari Protokol
Notaris, Wibby Yuda Prakoso, Gunarto, menitik beratkan penelitian pada tanggung
jawab dan akibat hukum dari akta notariil yang dibuat oleh notaris pengganti setelah
masa jabatannya selesai dan Muhammad Tiantanik Citra Mido, I Nyoman Nurjaya,
Rachmad Safa’at, menitik beratkan penelitian pada tanggung jawab perdata notaris
terhadap akta yang dibacakan oleh staf notaris di hadapan penghadap. Dengan
demikian penelitian ini merupakan asli hasil karya penulis dan bukan hasil tiruan
dari peneliti sebelumnya, namun enam penelitian yang terdahulu akan dijadikan
sebagai bahan acuan bagi penulis sepanjang ada kaitannya dan sependapat dengan
penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini
akan saling melengkapi satu sama lain.
15

F. Alur Pikir

Kewenangan Notaris
Membuat Akta

Perjanjian Pengikatan
Jual Beli

Tanah Kas Desa

Bagaimanakah pertanggungjawaban Tindak Pidana Bagaimana penafsiran hakim


pidana terhadap tindak pidana korupsi Korupsi terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a
notaris dalam pembuatan akta perjanjian Undang-Undang Jabatan Notaris
pengikatan jual beli tanah? tentang prinsip kehati-hatian notaris
pada putusan nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby ?
Pertanggungjawaban pidana

Prinsip Kehati-hatian
Jabatan Notaris

Kerugian Negara
Penafsiran Hukum

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap


Tindak Pidana Korupsi Notaris Dalam
Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Tanah
16

BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu
bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya
bertentangan/berlawanan hukum karena perbuatannya sendiri yang membuat orang
tersebut bertanggungjawab. Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan
terhadap pelaku (deliquent) adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat
orang tersebut harus bertanggungjawab10. Menurut Moeljatno “orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia
dapat dipidana”.11 Wirjono Prodjodikoro terkait tentang kapan harus ada sanksi
pidana, menyatakan bahwa:
“Norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan
hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi
hukum administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata
pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya apabila sanksi
hukum administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai
tujuan meluruskan neraca. Selanjutnya kemasyarakatan, maka baru diadakan
juga sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (terakhir) atau ultimum
remidium. Melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi persepsi masyarakat,
hal itu adalah perbuatan dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan
yang merugikan masyarakat padahal marnpu untuk mengetahui makna (jelek)
perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk
berbuat demikian. Dengan demikian, perbuatan tersebut memang sengaja
dilakukan, dan celaannya dapat berupa: kenapa melakukan perbuatan yang
dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat. Orang juga dapat
dicela karena melakukan perbuatan pidana, jika dia, meskipun tak sengaja
dilakukan, tapi terjadinya perbuatan tersebut dimungkinkan karena dia alpa
atau lalai terhadap kewajiban-kewajiban yang dalam hal tersebut, oleh
masyarakat dipandang seharusnya, (sepatutnya) dijalankan olehnya. Disini
celaan tidak berupa kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti
(mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tapi
berupa kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya

10
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2012, Terjemahan Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Cet. ke-2, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm. 56
11
Moeljatno, 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 155
17

(sepatutnya) dilakukan olehnya dalam hal itu, sehingga karenanya


masyarakat dirugikan”.12

Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar
dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak mempunyai
kesalahan. Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai
“toereken-baarheid”, “criminal reponsibilty”, “criminal liability”,
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukannya itu.13
Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang
terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Pada hakikatnya pertanggung
jawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.14 Kesepakatan
menolak tersebut dapat berupa aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis yang lahir
dan berkembang dalam masyarakat. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada
pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan yang menjadi
salah satu unsur pertanggungjawaban ini dapat dilakukan atas dasar kesengajaan
dan karena kelalaiannya, untuk selanjutnya pengertian kesengajaan (dolus) dan
kelalaian (culpa) serta alasan penghapusan pidana atas pertanggung jawaban pidana
akan dijelaskan sebagai berikut :
1) Kesengajaan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP)
tidak memberikan petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, namun
pengertian kesengajaan dapat di ambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting)
artinya memori penjelasan dalam Crimineel Wetboek Kitab Undang-Undang

12
Wirjono Prodjodikoro, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
hlm. 15
13
S.R Sianturi, 2006, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan PenerapanyaCet IV, Alumni
Ahaem-Peteheam, Jakarta, hlm .245
14
Chairul Huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggung
Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana, Jakarta, hlm. 71.
18

Hukum Pidana Tahun 1809, yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai


“menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens), ini sama degan pasal 18
KUHP Swiss yang bunyinya “Whoever commits an act knowingly and
willingly commits the act with intent”. Jadi dapat dikatakan, bahwa sengaja
berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja mengehendaki perbuatan itu dan di
samping itu mengetahuiatau menyadari tentang apa yang dilakukan itu15.
Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu16:
a) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus);
b) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan; dan
c) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, seseorang mendapatkan pidana
tergantung pada dua hal yaitu : 17
a) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata
lain, harus ada unsur melawan hukum sehingga harus ada unsur obyektif;
b) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan
atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat
di pertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.
Masalah pertanggung jawaban pidana berkaitan erat dengan dengan unsur
kesalahan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman Pasal 6 ayat (2) disebutkan:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang- undang mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah
atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Ketentuan Pasal tersebut dapat jelas bahwa unsur kesalahan sangat
menentukan akibat dari perbuatan seseorang, yaitu, berupa penjatuhan

15
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip,
Semarang. Hlm. 102
16
Moeljatno, Op.Cit, Hlm. 177
17
Martiman Prodjohamidjojo, 1997, Memahami dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 31
19

pidana. Unsur kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan


sebuah pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana, tetapi dalam hal
mendefinisikan kesalahan oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat,
“pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup
pertanggungjawaban pembuat tindak pidana”18. Adanya pandangan yang
berbeda mengenai definisi kesalahan maka mengakibatkan adanya perbedaan
penerapan, mengenai definisi kesalahan menurut Mezger memberikan
definisi kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana19. Batin yang salah
(guilty mind, mens rea) ini adalah kesalahan yang merupakan sifat subjektif
dari tindak pidana karena berada di dalam diri pelaku oleh karena itu
kesalahan memiliki dua segi.Dari beberapa pengertian para ahli di atas,
kesalahan dapat dibagi dalam pengertian berikut :20
a) Kesalahan psikologis: menurut Sudarto pada kesalahan psikologis,
“kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara si
pembuat dengan perbuatannya.” dilihat dalam kesalahan psikologis ini
adalah batin dari pelaku, berupa kehendak atas perbuatannya;
b) Kesalahan normatif: pada kesalahan normatif kesalahan seseorang tidak
ditentukan berdasarkan batin si pembuat saja, disamping itu terdapat
penilaian normatif perbuatannya. Penilaian normatif adalah “penilaian
dari luar mengenai hubungan antara pembuat dan perbuatannya.” Yang
Penilaian dari luar tersebut merupakan penilaian yang terdapat dalam
masyarakat.
Pendapat diatas dapat dikatakan bahwa, kesalahan mengandung unsur
pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan
yang dimaksud adalah pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk
menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur,
yaitu:

18
Chairul Huda, Op.Cit, Hlm. 74.
19
Mezger dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana, Jakarta. Hlm. 70.
20
Sudarto, 2003, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung. Hlm. 72.
20

a) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;


b) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk
kesalahan;
c) Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
2) Kealpaan (culpa)
Culpa terletak di antara sengaja dan kebetulan. Kelalaian dapat
didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan
perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan
dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang atau pelaku dapat
tidak melakukan perbuatan itu sama sekali21. Dalam culpa atau kealpaan,
unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan
yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang
ditimbulkan dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat
di hukum dan dilarang oleh undang-undang. Pada umumnya, kealpaan
(culpa) dibedakan atas :22
a. Culpa dengan kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan
atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha
untuk mencegah, tetap saja timbul akibat tersebut.
b. Culpa tanpa kesadaran, dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan
atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam
oleh undang-undang. 23
Berdasarkan atas perbedan antara kedua hal diatas sebagai berikut : Culpa
dengan kesadaran ini ada jika yang melakukan perbuatan itu ingat akan akibat
yang berbahaya itu. Tetapi, tetap saja ia berani melakukan tindakan itu karena

21
Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 49
22
Moeljatno, 1993, Asas-asas hukum pidana, Jakarta: Rineka cipta, hlm. 210
23
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9709/SKRIPSI%20LENGKAPPIDA
NA-ANDI%20ASRIANA.pdf?sequence=1,diakses hari, 08 Mei 2019 pukul 23.09
21

ia tidak yakin bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan bertindak
demikian kalau ia yakin bahwa itu akan timbul.
3) Alasan Penghapusan Pidana
Alasan penghapusan pidana dibagi menjadi 2 (dua) alasan yakni sebagai
berikut :
a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada
diri orang itu; dan
b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
di luar orang itu.
Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka
dibedakan 2 (dua) jenis alasan penghapusan pidana, yakni :24
a. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik. Oleh karena sifat
melawan hukumnya perbuatan dihapuskan, maka si pembuat tidak dapat
dipidana. Kalau tidak ada unsur melawan hukum maka tidak mungkin
ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP). ialah pasal
49 ayat 1 (pembelaan terpaksa), pasal 50 (melaksanakan peraturan
undang-undang dan pasal 51 ayat 1 (melaksanakan perintah jabatan).
b. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si-pembuat, dalam arti si-pembuat
tidak dapat dicela, dengan perkataan lain si-pembuat tidak dapat
dipersalahkan, atau tidak dapat dipertanggung jawabkan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Dengan demikian di sini ada
alasan yang menghapuskan kesalahan si-pembuat, sehingga tidak
mungkin ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP
ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggung-jawab), pasal 49 ayat 2
(noodweer exces), pasal 51 ayat 2 (dengan iktikad baik melaksanakan
perintah jabatan yang tidak sah).

24
Soedarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, hlm. 139
22

Alasan penghapus pidana di luar KUHP yang diakui dalam hukum pidana
positif muncul melalui doktrin dan yuriprudensi yang menjadi sangat penting
dalam pengembangan hukum pidana, karena dapat mengisi kekosongan
hukum yang ada dan disebabkan oleh perkembangan masyarakat.
Perkembangan dalam hukum pidana sangat penting bagi hakim untuk
menghasilkan putusan yang baik dan adil. Sedangkan yurisprudensi melalui
metode penafsiran dan penggalian hukum tidak tertulis rechvinding sangat
berharga bagi ilmu hukum yang pada akhirnya akan menjadi masukan untuk
pembentukan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum).25

B. Tindak Pidana Korupsi


Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan.Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk
tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa
melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-
kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib dicantunkan
dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun daerah.26
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam
undangundang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengsn
kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normative

25
Saryono Hanadi dan M.I. Wiwik Yuni Hastuti, 2010, Penerapan Dasar Penghapus Pidana
Perkara Korupsi Kajian Putusan Nomor 199/PiD.B/2008/Pn.PWT, Jurnal Yudisial, Volume
III Nomor 02, Komisi Yudisial, hlm. 128
26
P.A.F. Lamintang, 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung,
hlm. 7
23

mengenai kesalahan yang yang dilakukan.27 Tindak pidana adalah perbuatan


melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana
terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingaan umum.28 Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar
tertentu, sebagai berikut:
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara
lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan
“pelanggaran”itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi
seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara
keseluruhan.
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam bentuk pidana formil dan
tindak pidana materiil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan
perbuatan tertentu.
3. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur didalam KUHP antara
lain sebagai berikut : Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan
sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan
matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan
Pasal 360 KUHP.
4. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif
juga disebut perbuatan materiil adalah perbuatan untuk mewujudkannya

27
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia
Jakarta, hlm. 22
28
P.A.F. Lamintang Op.cit, hlm. 16
24

diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya


pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak pidana
pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana
murni yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana
yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya
diatur dalam Pasal 224, Pasal 304 dan Pasal 552 KUHP. Tindak pidana tidak
murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,
tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandug
unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam
Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut
meninggal.29
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak
pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak
pidana formil dan tindak pidana materiil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana
tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif. Bilamana telah dikemukakan
tindak pidana dan unsur-unsurnya maka pembahasan akan dilanjutkan dengan
tindak pidana korupsi.
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang
disalin ke berbagai bahasa. Misalya disalin ke dalam bahasa inggris menjadi
corruption atau corrupt, dalam bahasa prancis menjadi corruption dan dalam
bahasa belanda disalin menjadi corruptive (korruptie).30 Berdasarkan pengertian-
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa “korupsi” adalah suatu perbuatan
tercela dan merupakan penyakit masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 40 (empat
puluh) dari pasal dan ayat Hukum Pidana Materiil di kelompokkan kedalam 7
(tujuh) Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yaitu diantaranya tipe tindak

29
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia
Jakarta, hlm. 25-27
30
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 7. Dikutip dari Adami
Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
1.
25

pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara” yakni Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7
ayat (1) huruf a dan c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 12
huruf i, Pasal 12A, dan Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 junctoUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.31
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 harus diakui merupakan pasal yang paling
sering digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menjerat pelaku korupsi.
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) Pasal 2 ayat (2) menyebutkan :
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”.

Pasal 3 menyebutkan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada
padanya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).”

Disamping itu pula perlu dikemukakan antara lain :


Pasal 5 yang menyebutkan :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang :

31
Ermansjah Djaja, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Berdasarkan UU RI
No.30 Tahun 1999 jo. No.20 Tahun 2001, Mandar Maju Bandung, hlm. 147-149
26

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau


penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya atau.
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6 nya menyebutkan :


1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahundan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu pada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

C. Penafsiran Hukum
Penafsiran merupakan proses, cara, perbuatan menafsirkan upaya untuk
menjelaskan arti sesuatu yg kurang jelas (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Secara
istilah (terminology) upaya mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang
tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang
dimaksud oleh pembuat Undang-undang dan berhubungan erat dengan soal bahasa,
yang terpakai untuk mewujudkan dalam kata-kata beberapa pengertian hukum,
dalam membicarakan hal-hal yang mengenai hukum, di antara orang-orang yang
saling memperdebatkan suatu hal pengertian hukum, harus ada katasepakat tentang
27

arti kata-kata yang dipergunakan.32 Maka perlulah adanya istilah hukum yang
tertentu dan mendapat pengesahan dari masyarakat umum dari dunia pengetahuan
ilmu hukum khususnya. Istilah hukum yang akan disusun selalu ada perbedaan
faham di antara para ahli hukum dalam mengartikan sesuatu atau beberapa
peraturan hukum, oleh karena peraturan hukum pada umumnya dapat
dimengertikan benar-benar, tidak cukup ditinjau dari sudut arti kata-kata yang
dipakai saja, melainkan membutuhkan pengetahuan tentang beberapa hal, di
antaranya yang terpenting ialah soal maksud dan soal tujuan dari peraturan hukum
itu.
Penafsiran hukum Trusto Subekti menjelaskan bahwa setiap penafsiran
hukum pada hakekatnya hanya menafsirkan apa yang dikehendaki oleh para
pembentuk undang-undang, oleh karena itu suatu penafsiran dibatasi sendiri oleh
undang-undang itu sendiri, yaitu oleh materi peraturan perundangundangan yang
bersangkutan, tempat perkara diajukan dan menurut jamannnya33. Ketentuan
undang-undang tidak dapat diharapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa.
Apabila ketentuan Undang-undang yang bersifat abstrak dan umum harus diberi
arti, harus dijelaskan atau harus ditafsirkan, termasukmemberikan penafsiran
terhadap sahnya perkawinan. Seperti diketahui bahwa ada beberapa macam-macam
penafsiran hukum. Sedangkan menurut Ridwan Halim, penafsiran hukum ialah
suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik
dalam arti memperluas maupun membatasi/mempersempit pengertian hukum yang
ada, dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang
sedang dihadapi34. Soedikno Mertokususmo menjelaskan ada beberapa macam
metode penafsiran hukum adalah sebagai berikut35:
1. Interpretasi bahasa Interpretasi gramatikal ini merupakan metode interpretasi
paling sederhana menurut dengan mengetahui makna menurut bahasa, susun
kata atau bunyinya.

32
Wirjono Prodjodikoro, 1983, Azas-Azas Hukum Perdata, sumur Bandung, Bandung, hlm. 14
33
Trusto Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. 131
34
A Ridwan Halim,2005, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Gahalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 81
35
Trusto Subekti, Ibid, hlm. 131
28

2. Interpretasi teleologis/sosiologis, interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu


menafsirkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan dengan kemungkinan
adanya perkembangan dalam masyarakat dan disesuaikan dengan situasi
social yang baru.
3. Interpretasi sistematis, metode penafsiran dengan cara menghubungkan satu
Undangundang dilihat sebagai bagian dari keseluruhan system perundang-
undangan.
4. Interpretasi historis, metode penafsiran dengan menggunakan sejarah
Undangundang yang bersangkutan (sejarah terjadinya), dan ada dua macam
penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan
penafsiran menurut sejarah hukum.
5. Interpretasi komparatif, metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan
atau penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.
6. Interpretasi futuristis, metode penafsiran yang bersifat antisipasi dengan
berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
7. Interpretasi restriktif dan ekstensif, metode penafsiran ini merupakan
penafsiran yang bersifat membatasi (restriktif) dan yang bersifat memperluas
(ekstensif) sebagaimana yang disebutkan secara gramatikal.
8. Metode argumentasi, metode penafsiran yang dilakukan apabila peraturannya
tidak jelas (kekosongan hukum) dengan penemuan hukum.
9. Argumenteum per analogiam, metode penafsiran dengan menggunakan
analogi, maka suatu peristiwa serupa dengan yang diatur dalam undang-
undang diperlakukan sama.
10. Penyempitan hukum, metode penafsiran dengan membentuk
pengecualianpengecualian dari peraturan yang bersifat umum kemudian
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan
penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
11. Argumentum a contrario, metode penafsiran dengan berdasarkan pada
perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang (metode kebalikannya).
29

12. Penemuan hukum bebas Penemuan hukum bebas ini sebetulnya tidak
termasuk dalam interpretasi, tetapi merupakan metode penemuan hukum
dengan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit dan
tidak berdasarkan atas suatu undang-undang (kekosongan hukum).
Menafsirkan perbuatan melawan hukum oleh notaris yang menerbitkan
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah kas desa dengan menggunakan penafsiran
sistematis yaitu penafsiran dengan cara menghubung-hubungkan satu undang-
undang dilihat merupakan bagian dari keseluruhan system perundang-undangan,
dan penafsiran secara gramatikal mengenai definisi perjanjian pengikatan jual beli.
Suatu peraturan hukum pada umumnya tidak boleh berdiri sendiri, melainkan ada
hubungan dengan peraturan hukum lain. Beberapa peraturan hukum bersama-sama
merupakan suatu rangkaian dengan peraturan antara satu dengan yang lainnya, dan
saling menambah dan menyempurnakan masing-masing. Maka dalam hal ini
peraturan-peraturan hukum itu sebagai suatu rangkaian. Peraturan hukum baru
dapat dimengerti benar-benar, apabila lain-lain peraturan hukum yang ada
hubungan, ditinjau dan dipelajarijuga. Penafsiran hukum seperti ini dapat disebut
sebagai penafsiran secara systematic.36

D. Syarat Sah Perjanjian


Suatu perjanjian dapat dikatakan perjanjian yang sah apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu, sehingga perjanjian itu dapat dilakukan dan diberi akibat
hukum (legaly concluded contract). Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu
perjanjian adalah sah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :37
a. Kesepakatan kehendak pihak-pihak yang membuat perjanjian
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian
c. Suatu hal tertentu dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian, yang
diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau
tertentu.
d. Kausa yang halal artinya menyangkut isi perjanjian itu sendiri.

36
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 14
37
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke-III, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 228
30

Keempat syarat tersebut merupakan syarat mutlak yang harus ada atau
dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian
dianggap tidak penah ada. Syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan
kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat Subyektif sedangkan
syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat
Obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat subyektif tidak
terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya,
dalam arti bahwa salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian itu
dibatalkan, apabila salah satu pihak ada yang dirugikan atau ada pihak yang tidak
cakap. Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Kata sepakat berarti para pihak yang
mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju atau sekata mengenai hal-hal yang
pokok dalam perjanjian yang diadakan itu yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu juga dikehendaki oleh pihak lain atau mereka menghendaki sesuatu yang
sama secara bertimbal balik.

E. Perjanjian Pengikatan Jual Beli


Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan
perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan
perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak
melanggar peraturan perundang- undangan, ketertiban umum dan kesusilaan38.
Pengertian perjanjian pengikatan jual beli dapat dilihat dengan cara memisahkan
kata dari perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli.
Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkan
pengikatan jual beli pengertiannya menurut R. Subekti dalam bukunya adalah
perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli
dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara

38
R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung. Hlm. 73
31

lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya
pelunasan harga39.
Sedangkan menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah
perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya
bebas40. Pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang
dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya.
Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka kedudukan perjanjian
pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan berfungsi untuk
mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan
dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya
perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono dari
yang menyatakan perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau
menyelesaikan suatu hubungan hukum41. Bahwa perjanjian pengikatan jual beli
berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan
penegasan untuk melakukan perjanjian utamanya, serta menyelesaikan suatu
hubungan hukum apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan
jual beli telah dilaksanakan seutuhnya.
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian
pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janji-
janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat- syarat yang
disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual
belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun
pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual
beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat
ditanda tangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) seperti janji untuk

39
R. Subekti, Op.cit. Hlm. 75
40
Herlien Budiono, 2004, artikel Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak Majalah Renvoi, edisi
tahun I, No 10, Bulan Maret. Hlm. 57
41
Ibid, Hlm 58
32

melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagimana


diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli
sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan
pejabat pembuat akta tanah (PPAT).42
Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga
dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi
apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penadatanganan
akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), baik karena lokasi
yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Pemberian kuasa tersebut
biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah
di pejabat pembuat akta tanah (PPAT) telah terpenuhi, sebagai perjanjian yang lahir
karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-
undangan maka perjanjian pengikatan jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu.
Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan
jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan
yang bentuknya bebas.43

F. Jabatan Notaris
Notaris sebagai oejabat umum (openbaar ambtenaar) notaris berwenang
membuat akta otentik, sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat
dibebani tanggung jawab atas perbuatannya / pekerjaannya dalam membuat akta
otentik. Tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab
profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya :44
1. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta dibuatnya, dalam hal ini
adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat
aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang

42
Ibid, Hlm 59
43
Herlien Budiono Op.Cit., Hlm. 60
44
Kunni Afifah, 2017, Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata
Terhadap Akta yang Dibuatnya, Jurnal Lex Renainssance, Magister Kenotariatan, Univeristas
Islam Indonesia, hlm. 151
33

menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak
melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain
menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu
adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya
kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas,
yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undangundang, tetapi juga
melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan
kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan tersebut:
a. Melanggar hak orang lain.
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.
c. Bertentangan dengan kesusilaan.
d. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri
dan harta orang lain dalampergaulan hidup sehari -hari.
Tanggung jawab notaris dalam ranah hukum perdata ini, termasuk
didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan
tambahan notaris yang diberikan oleh Undang-Undang Perpajakan.
2. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta dibuatnya. Pidana dalam hal
ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris dalam kapasitasnya
sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks
individu sebagai warga negara pada umumnya.
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN).
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah
jabatan notaris.
Tanggung Jawab notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang
dibuat dan berindikasi perbuatan pidana sangat diperlukan meskipun ranah
pekerjaan notaris dalam ranah hukum perdata dan hukum administrasi serta
pertanggungjawaban moral dan etika namun terhadap akta yang dibuat dan
berindikasi perbuatan pidana maka notaris harus bertanggung jawab secara pidana,
mulai pemeriksaan dalam proses penyidikan hingga proses pembuktian di
34

persidangan dan melaksanakan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum


tetap. Tuntutan tanggung jawab ini muncul sejak terjadinya sengketa berkaitan
dengan akta yang telah dibuat dengan memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan
pidana meliputi : 45
1. Perbuatan manusia.
2. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas
legalitas, nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak
atau belum dinyatakan dalam aturan undang-undang).
3. Bersifat melawan hukum.
Tanggung jawab notaris dalam pembuktian perkara pidana di persidangan
dapat terjadi manakala akta tersebut menjadi permasalahan sehingga mewajibkan
notaris tersebut memberikan keterangan dan kesaksiannya berkaitan dengan aspek
formil maupun materiil akta.

G. Prinsip Kehati-Hatian Notaris


Prinsip kehati-hatian notaris dalam menjalankan jabatannya maka diperlukan
kehati-hatian dari notaris itu sendiri dalam menerima suatu pekerjaan atau klien.
Ketika notaris ragu tentang keterangan yang diberikan oleh para pihak, sebagai
notaris berhak dan berkewajiban menggali informasi yang lebih banyak lagi karena
notaris hanya mendapat bukti formil saja. Bisa juga ketika mendapat suatu
perjanjian yang bisa merugikan salah satu pihak maka dapat digali informasinya
agar akta yang dibuat menjadi sempurna, jika notaris masih ragu maka notaris bias
menolak klien tersebut jika informasi yang diberikan dianggap bias menyesatkan
dan menimbilkan masalah dikemudian hari, oleh karena itu, notaris berhak menolak
suatu pekerjaan tapi penolakan tersebut bukan berdasaran jumlah materi.46
Penerapan prinsip kehati-hatian notaris, apabila terjalin hubungan yang baik,
saling pengertian antara notaris dan para pihak, pelanggaran hukum dapat dihindari.

45
Ibid,. Hlm. 152
46
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Notaris
dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 86
35

Langkah-langkah yang harusnya diterapkan untuk mengantisipasi hambatan di


dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan tugas-tugas notaris
sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai
anggota dari perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus
dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.
Kewajiban dan larangan notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
yakni dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal (17) serta Kode Etik
Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) yaitu Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Penerapan
Prinsip Kehati-hatian ini wajib dilaksanakan dalam pembuatan akta notaris yaitu
dengan :47
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yan
diperlihatkan kepada notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut.
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para
pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan
atau kehendak para pihak tersebut.
5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk
minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
jabatan notaris.
Selama seorang pejabat notaris menjalankan ketentuan-ketentuan dengan
konsisten maka notaris akan dapat menjamin terlaksananya tindakan-tindakan
kehati-hatian bagi dirinya sendiri sebagai seorang pejabat umum. Untuk mencegah

47
Ibid,. Hlm. 86
36

notaris terjerat dalam permasalahan hukum, adapun bentuk-bentuk prinsip kehati-


hatian yang dapat dilaksanakan Notaris dalam proses pembuatan akta meliputi :48
1. Melakukan Pengenalan Terhadap Identitas Penghadap.
2. Memverifikasi secara cermat data subjek dan objek penghadap.
3. Memberikan tenggang waktu dalam pengerjaan akta autentik.
4. Bertindak hati-hati, cermat dan teliti dalam proses pembuatan akta.
5. Memenuhi segala syarat teknik pembuatan akta notaris.
6. Melaporkan kepada Pihak yang berwajib apabila terjadi indikasi Pencucian
Uang dalam Transaksi di Notaris.
Dalam menjalankan jabatannya, notaris dapat “mempengaruhi” klien dalam
menentukan pilihan untuk menentukan tindakan hukumnya. Sebetulnya selain
pengaruh notaris terhadap para kliennya, notaris pun bisa dipengaruhi oleh faktor
di luar notaris. Walaupun seharusnya notaris bersikap konservatif dan pragmatis,
yaitu kehati-hatian dan tidak mengambil resiko, tidak dapat dipungkiri bahwa
pengaruh notaris terhadap kliennya sedikit banyak akan bergantung pada, baik ilmu
yang dimilikinya, pribadi, watak, maupun karakter notarisnya sendiri. Interaksi
terjadi antara perilaku notaris dan perbuatan hukum klien.

H. Kerugian Negara
1. Pengertian Kerugian.
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 1365 dan Pasal 1366
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada umumnya kerugian dapat
dibedakan atas:
1) Kerugian material, yaitu kerugian yang dapat dinilai dengan uang dan
wajar jika ganti ruginya berwujud uang;
2) Kerugian immaterial, yaitu kerugian yang tidak berwujud dan
besarnya kerugian tidak dapat dinilai dengan uang.

48
Sam Dwi Zulkarnaen, 2008, Prinsip Kehati-Hatian Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam
Melaksanakan Jabatannya, Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Hlm.
75
37

b. Menurut Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa kerugian terdiri dari


:49
1) Kerugian yang bersifat mengurangi kekayaan orang (verlies);
2) Kerugian yang bersifat menghilangkan suatu keuntungan.9
c. Kerugian Menurut Hukum Perdata Hukum perdata bagian 4 mencakup
Pasal 1243 sampai Pasal 1252 selengkapnya berjudul “penggantian biaya,
kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan”.
Hal ini menunjukan dua hal : Pertama ungkapan “penggantian biaya, kerugian,
dan bunga“, mempunyai makna khas yang akan dibahas dibawah. Kedua,
ungkapan “karena tidak dipenuhinya suatu perikatan” mempunyai makna ganti
rugi yang timbul akibat cidera janji (wanprestatie), pada pasal-pasal tersebut
akan ditemukan istilah debitor, kreditor, atau perikatan lainya (sewa, upah,
bunga sepanjang hidup, dan lain-lain) ini merupakan perbedaan penting antara
kerugian negara (dalam hukum administrasi negara) dan kerugian keuangan
negara (dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi)
yang merupakan kerugian di sektor publik.
2. Pengertian Kerugian Negara/Daerah.
a. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (UU BPK): “Kerugian Negara/Daerah adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai.”
b. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian
Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai.”
c. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

49
Wirjono Prodjodikoro, 1973, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hlm. 52
38

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : “Yang dimaksud dengan “secara


nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah
dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Dari rumusan pasal tersebut dapat dilihat unsur-unsur kerugian negara sebagai
berikut :
a. Unsur kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya.
b. Akibat perbuatan melawan hukum
c. Sengaja maupun tidak sengaja,
Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka, unsur perbuatan melawan
hukum juga mencakup pengertian melawan hukum secara materil.50

I. Tanah Kas Desa


Tanah Kas Desa merupakan salah satu kekayaan desa yang merupakan bagian
dari salah satu aset desa. Menurut Pasal 1 angka 5 ketentuan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, bahwa: “Aset
Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli milik Desa, dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) atau
perolehan hak lainnya yang sah.” Jenis aset desa diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Pengelolaan Aset Desa yang terdiri dari:
a) Kekayaan asli desa;
b) Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban APBDesa;
c) Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
d) Kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak/
dan/atau diperoleh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undang;

50
Hernold Ferry Makawimbang, 2014, Kerugian Keuangan Negara (Dalam Tindak Pidana
Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif), Thafa Media, Yogyakarta, hlm. 5
39

e) Hasil kerja sama desa; dan


f) Kekayaan desa yang berasal dari perolehan lain yang sah.
Tanah Kas Desa merupakan kekayaan desa, yang di kelola oleh Pemerintah Desa.
Kekayaan asli desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a) Tanah kas desa;
b) Pasar desa;
c) Pasar hewan;
d) Tambatan perahu;
e) Bangunan desa;
f) Pelelangan ikan yang dikelola oleh desa;
g) Pelelangan hasil pertanian;
h) Hutan milik desa;
i) Mata air milik desa;
j) Pemandian umum; dan
k) Lain-lain kekayaan asli desa.
Pasal 1 butir 26 ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2016 tentang Pengelolaan Aset Desa: Tanah Desa adalah tanah yang dikuasai dan
atau dimiliki oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa
dan/atau untuk kepentingan sosial. Tanah Kas Desa merupakan Tanah Negara, yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah. Tanah Kas Desa tidak dapat diperjualbelikan
tanpa persetujuan seluruh warga desa namun boleh disewakan oleh mereka yang
diberi hak mengelolanya. Pihak yang menjadi hak adalah Pemerintah Desa untuk
menggarapnya sebagai Pendapatan Asli Desa.
40

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif. Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. 51 Peneliti
melakukan studi mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
korupsi notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli tanah pada
Putusan Nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian yuridis ini ada 3 pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut
52
paut dengan permasalahan (isu hukum ) yang sedang dihadapi.
Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan mempelajari
konsestensi / kesesuaian antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 dengan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.
2. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang menggunakan
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam Ilmu
Hukum. Pendekatan konseptual dilakukan apabila peneliti tidak beranjak

51
Peter Mahmud Marzuki, 2009 ,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hlm.
27
52
Ibid, Hlm. 93.
41

dari aturan hukum yang ada, hal ini dilakukan karena memang belum ada
aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.
3. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus
terkait dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi kajian pokok di dalam
pendekatan kasus adalah rasio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan
hakim sebagai dasar memutus perkara untuk sampai kepada suatu putusan53.
Penelitian dalam hal ini mengkaji Putusan Nomor : 62/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Sby terkait pertanggungjawaban pidana terhadap tindak
pidana korupsi notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli
tanah.

B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum positif yang menyangkut permasalahan
yang sedang diteliti.54

C. Sumber Data
Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Sekunder yang dilakukan
dengan menghimpun bahan-bahan berupa:
1. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan- peraturan
yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

53
Ibid, Hlm. 94.
54
Soemitro Ronny Hanitijo, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 11
42

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Mahkamah


Agung (SEMA ) RI Nomor 4 Tahun 2016, Putusan Pengadilan Negeri
Nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan
ilmiah lainnya, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum
sepanjang relevan dengan objek penelitian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, majalah dan jurnal.

D. Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder dan metode yang
digunakan untuk proses pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan, internet
browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah skripsi, tesis, disertasi, dan studi
dokumen, kemudian data tersebut ditelaah dan diidentifikasi tentang relevansinya
dengan penelitian sehingga dapat menjadi satu kesatuan.

E. Metode Penyajian data


Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang
disusun secara sistematis, logis, rasional, dimana data sekunder yang diperoleh
disesuaikan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti.

F. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan
metode analisis normatif kualitatif, menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
dalam hal ini memberikan pendapatnya bahwa normatif kualitatif yaitu dilakukan
dengan cara menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma-norma
hukum, teori-teori, serta doktrin hukum dan kaidah yang relevan dengan pokok
43

permasalahan. 55 Penelitian ini penulis menganalisis dalam bentuk kalimat yang


teratur, runtut logis, tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian dilakukan
pembahasan yang dihubungkan dengan teori pertanggungjawaban pidana dan
penafsiran hukum. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara
induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2010, Penelitian Hukum Normatif, PT.Grafindo Media
Pratama, Jakarta, hlm. 98.
44

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby.

a. Identitas Terdakwa :
Nama Lengkap : ROSIDAH, SH.;
Tempat Lahir : Sidoarjo;
Umur/Tanggal Lahir : 45 tahun / 02 April 1972;
Jenis Kelamin : Perempuan;
Tempat Tinggal : Jalan Diponegoro 145 Sidoarjo;
Pekerjaan : Notaris/PPAT;
b. Kronologis :
1) Bahwa Sunarto memperkenalkan diri sebagai Ketua Paguyuban Rakyat
Reno Kenongo Menolak Kontrak (Pagarekontrak), yang menyuruh warga
Reno Kenongo yang menjadi korban lumpur Lapindo;
2) Bahwa Sunarto datang ke Kantor terdakwa, bersama Kades Abdul
Rochman, Kasun Masyudi, dan Panitia Paguyuban Pagarrekontrak yang
diketuai Pak Sunarto, keperluannya Sunarto akan membeli tanah di
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo dengan transaksi yang
banyak 10 hektar;
3) Bahwa tanah tersebut untuk merelokasi pengungsi korban luapan lumpur
Lapindo yang berada di tempat penampungan sementara di Pasar Baru
Porong;
4) Bahwa sebenarnya awalnya terdakwa menolak untuk membuatkan akte
tersebut, karena belum pernah pengalaman menangani transaksi jual beli
tanah dengan jumlah yang banyak;
5) Bahwa lalu mereka menceritakan kondisi keadaan korban luapan lumpur
Lapindo, di tempat penampungan sementara di Pasar Baru Porong;
45

6) Bahwa kalau soal honor terdakwa dapat honor, tapi sebagai Notaris/PPAT
punya idealisme sendiri, apalagi jika berurusan dengan developer mereka
sering ribet dan memaksakan kehendaknya sendiri;
7) Bahwa akte-akte yang sudah dibuat : Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara
: Petani Pemilik Sawah selaku penjual kepada Sunarto selaku pembeli waktu
sekitar Bulan November-Desember 2008. Disertai Kuasa Menjual dari
Petani pemilik sawah selaku pemberi kuasa kepada Sunarto selaku penerima
Kuasa Menjual;
8) Bahwa Kasun Masyudi yang sampaikan sertifikatnya, lalu terdakwa cek
bersih ke Kantor Pertanahan hasilnya bersih, sertifikat yang diberikan dari
petani ke pak narto ada 112 Sertifikat Hak Milik (SHM), itu saksi buat
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dulu, kalau langsung dibuatkan Akte
Jual Beli (AJB), selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditandatangani akte yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akte
yang terdakwa buat berikut dokumen-dokumennya untuk didaftarkan, selain
itu harus bayar pajak, kalau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)nihil jadi tidak dikenakan biaya;
9) Bahwa kalau langsung ke AJB banyak yang harus dilakukan, termasuk
dalam 7 (tujuh) hari kerja wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan
membayar pajak;
10) Bahwa akhirnya dari PPJB dan Surat Kuasa Menjual tersebut di AJB kan
pada sekitar bulan Februari 2009, Akte Jual Beli antara Sunarto sebagai
penjual kepada Sunarto selaku pembeli;
11) Bahwa AJB tersebut termasuk 22 bidang tanah SHM atas nama Sunarto
yang terletak disebelah Barat, yang merupakan bagian dari 112 SHM yang
terdakwa buatkan AJB dan sudah selesai balik nama atas nama Sunarto, tapi
terdakwa tidak tahu kalau itu calon tanah pengganti, tidak ada AJB lain yang
terdakwa proses selain itu;
12) Bahwa setelah AJB ada akte berikutnya, karena ada SK Gubernur Provinsi
Jawa Timur Soekarwo, setelah AJB ditransaksikan lagi karena akan
dibangun perumahan, sertifikat dijadikan jaminan kredit maka dibuat lagi
46

Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Sunarto, Developer PT. Gala Bumi
Perkasa yang diwakili Pak Raja Sirait dengan petani;
13) Bahwa data-data yang diberikan kepada terdakwa antara lain : KTP suami
isteri, atau waris kalau asal tanah dari warisan, Surat Keterangan Lurah atau
Camat, KK, SPPT PBB, SHM asli, pada waktu data-data diserahkan tidak
ada bukti kepemilikan berbentuk Leter C, semuanya 112 tersebut SHM jadi
terdakwa membuatkan 112 akte PPJB dan Surat Kuasa Menjual kemudian
menjadi 112 Akte Jual Beli, luasannya tidak sama, dan terdakwa tidak tahu
berapa luasan tanah seluruhnya;
14) Bahwa sebelum dilaksanakan pembuatan PPJB pihak DPD Real Estate
Indonesia (REI) Nur Wahid, bersama Pak Narto datang mereka katakan
akan melaksanakan jual beli tanah kavling, ditunjukan barang bukti oleh
terdakwa site plan tanah-tanah kavling, yang ada lingkaran ada
bangunannya dengan harga yang berbeda-beda karena ada yang membeli
lebih dari satu kavling, kata Pak Narto itu gambar atas nama 112 SHM-
SHM;
15) Bahwa terdakwa tidak pernah sama sekali ke lapangan untuk meninjau
lokasi, terdakwa ke Kantor Desa Kedungsolo sekitar bulan Juni 2009 untuk
keperluan transaksi jual beli antara petani ke Pak Narto, terdakwa hadir
bersama 2 (dua)orang karyawan terdakwa dan Pak Eki suami terdakwa,
yang hadir Pak Narto, perangkat desa Kedungsolo, Sekjen REI Pak
Nurwahid;
16) Bahwa itupun atas permintaan Kades Abdul Rochman karena para petani
kesulitan datang ke Kantor terdakwa karena bekerja, sehingga AJB
terdakwa kerjakan seharian sampai malam ;
17) Bahwa IJB nya dibuat dan ditandatangani sekitar bulan November 2009,
ijin-ijin dan sertifikat akan diurus oleh REI, terdakwa hanya buatkan IJB-
nya, saat itu belum balik nama;
18) Bahwa waktu itu sudah terdakwa tanyakan kepada Kepala BPN terdakwa
lupa namanya, katanya dibiarkan saja IJB nya nanti akan dibuatkan
diskresinya, waktu terdakwa tanyakan pengurusan balik namanya oleh
47

Kepala BPN dikatakan : iya, iya saya uruskan, betul itu dibantu, dan balik
nama atas nama Sunarto selesai pada tahun 2015, alas haknya AJB dan di
AJB sudah ada batas-batas tanahnya tertulis batas-batas sesuai dengan AJB
dari nomor 18 sampai dengan 118 tertanggal 26 Februari 2009;
19) Bahwa IJB, SKUM dan AJB dibuat dihadapan terdakwa selaku
Notaris/PPAT dan dibacakan kepada para pihak, waktu penandatanganan
dokumen sudah terdakwa siapkan di kantor, para pihak tinggal tandatangan
saja;
20) Bahwa tidak disebutkan batas-batas tanah, Pak Sunarto sendiri yang
membawa dan menunjukan bidang tanah kavling berdasarkan site plan yang
didapat dari Pak Nur Wahid, tidak ada batas-batas, hanya ditunjukan alamat
tersebut sesuai site plan, tidak ada di site plan ada keterangan ada TKD,
terdakwa juga tidak pernah membuat IJB di tanah TKD;
21) Bahwa yang SHM belum digabung, sedangkan yang 11 masih IJB karena
masih bentuk SK Gubernur;
22) Bahwa selain itu tidak ada acara lain misalnya rapat-rapat, terdakwa
melakukan penelitian data sudah dapat dari cek bersih di 112 SHM
keterangannya dari hasil cek bersih di Kantor Pertanahan sudah clear;
23) Bahwa pembeli tanah kavlingnya sejumlah 649, 476 yang datang
tandatangan PPJB dan Surat Kuasa Menjual, sudah diajukan permohonan
untuk penggabungan SHM pada tanggal 18 September 2016 berikut dengan
permohonan pemecahan sertifikatnya ke Kantor Pertanahan, selebihnya
belum buat PPJB;
24) Bahwa proses terdakwa pending karena jadi masalah hukum dan Pak Narto
sudah jadi Tersangka, terdakwa pernah diundang sendiri oleh BPN katanya
: akan dilakukan pensertifkatan atas nama warga diluat tanah TKD, dari Pak
Narto langsung pecah atas nama warga, sudah biarkan IJB nya, buat akte
pelepasan dari Pak Narto langsung ke warga Renojoyo, lalu terdakwa
siapkan perkavlingnya, BPN akan melakukan pensertifkatan karena
Presiden yang akan menyerahkan sertifikatnya, saya sarankan persatuan
48

kalau kolektif, Ibu siap menyelesaikan sampai malam, akhirnya terdakwa


kerjakan seharian sampai malam dan ada 6 (enam) yang belum selesai;
25) Bahwa belum sempat diukur oleh petugas ukur Kantor Pertanahan, sudah
diperiksa oleh penyidikan Kejaksaan; Bahwa kalaupun ada pengukuran oleh
petugas ukur BPN, itu bukan atas permohonan penggabungan atau
pemecahan yang terdakwa ajukan, tapi atas permintaan Kejaksaan;
26) Bahwa waktu antara AJB dengan penggabungan dan pemecahan 112 SHM
makan waktu lama karena warga Renojoyo baru melunasi rumahnya,
sehingga bisa diproses; Bahwa 112 SHM tersebut termasuk 22 SHM atas
nama Sunarto, luasnya lebih kurang 10 hektar tapi detailnya terdakwa tidak
pernah menghitung, kalau dihitung-hitung tinggal menghitung saja : karena
terdiri dari 476 kavling dengan luas 8 x 15 m² maka 476 dikalikan 8 x 15 m²
luasnya sama dengan 57.120 m² atau 5,7120 hektar ditambah 22 SHM
seluas 29.000 m² sama dengan 86.120 m² sama dengan 8,6120 hektar, kalau
dikalikan dengan luas kavling seluruhnya 649 kavling x (8 x 15m²) sama
dengan 77.880 m² ditambah 29.000 m² sama dengan 106.880 m² atau 10,688
hektar, tapi terdakwa tidak menghitung, mereka yang menunjukan gambar
kavling yang ada disite plan rencana pembangunan perumahan;
27) Bahwa terdakwa meyakini gambar kavling di site plan tersebut sebagai
dasar pembuatan PPJB dan SKUM, karena ada tandatangan dan cap/stempel
resmi Bupati Sidoarjo Win Hendarso dan Gubernur Provinsi Jawa Timur
Soekarwo, ditandatangani oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Cipta Karya
dan Tata Ruang Kabupaten Sidoarjo Ir. Sulaksono, Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daaerah (BAPPEDA) Sidoarjo Ir. Kamdani,
M.Si., dan berdasarkan alas hak 112 SHM, jadi terdakwa tidak melakukan
validasi kebenaran materilnya lagi;
28) Bahwa terdakwa tidak diberitahu oleh Kepala Desa Kedungsolo Abdul
Rochman maupun Kepala Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo
Masyhudi kalau ada Tanah Kas Desa (TKD) Kedungsolo;
29) Bahwa atas masing-masing tanah kavling tersebut, sudah diterbitkan SPPT
PBB pada bulan Desember 2015;
49

30) Bahwa atas permintaan Pak Narto harus balik nama, tapi terbentur biaya
pengurusan, pengurusan tidak sekaligus tapi bertahap menunggu biaya;
31) Bahwa 112 SHM diatas namakan Sunarto bukan paguyuban, karena
paguyuban Pagar Rekontrak yang berbentuk perkumpulan belum didaftar
sebagai badan hukum hanya ada akte pendiriannya saja sesuai Akte Notaris
Nurbaya Linta, SH Nomor 05 tanggal 19 Juni 2007;
32) Bahwa selain itu ada larangan kepemilikan lahan oleh perseorangan
maksimal 2 (dua) hektar, sementara obyek tanah yang ditransaksikan
luasnya 10 hektar, tapi sudah balik nama atas nama Sunarto tahun 2015,
masih berdasarkan AJB yang terdakwa buat;
33) Bahwa semua itu terdakwa konsultasikan terlebih dulu kepada Kepala
Kantor BPN, atas saran dan alasan tersebut terdakwa sampaikan kepada
Sunarto dan karena sudah ada dibantu oleh Gubernur Provinsi Jawa Timur
Soekarwo proses penyelesaiannya;
34) Bahwa terdakwa punya karyawan bernama Nuris Safitri dan Chayati di
Kantor terdakwa Notaris/PPAT Rosidah di Jalan Diponegoro Nomor 145
Sidoarjo;
35) Bahwa terdakwa tidak tahu ada TKD, terdakwa tahu ada TKD setelah sejak
diproses hukum, saat itu sudah diurus oleh pihak REI, saksi tahu Desember
2015 saat proses pengurusan, semua sudah diurus oleh REI, sebelum kasus
ini mencuat;
36) Bahwa sekitar bulan Oktober 2015 setelah pelunasan Pak Susilo dan Pak
Narto datang kepada terdakwa, akan melanjutkan penggabungan dan
pemecahan sertifikat;
37) Bahwa REI kemudian menyerahkan dokumen-dokumen surat antara lain
SK Kepala Desa Kedungsolo, Ijin Lokasi dari Bupati Sidoarjo, kepada
terdakwa untuk terdakwa lanjutkan prosesnya, terdakwa minta site plan,
untuk diproses ke Kantor BPN;
38) Bahwa terdakwa memproses lagi sekitar bulan Oktober 2015, setelah Pak
Narto dan Pak Susilo dari DPD REI katanya itu diproses saja, karena
sebagian besar sudah dilunasi BPN bilang ya sudah dilakukan
50

penggabungan, setelah diterima BPN lalu disarankan spilt atau pemecahan


PBB, didalamnya ada permohonan IMB, disetujui split atau pemecahan
PBB atas nama warga Renojoyo;
39) Bahwa ada 101 AJB dengan rincian dari 100 SHM dan 11 SK Gubernur,
setelah itu dibuatkan PPJB dan SKUM tapi belum ditutup dengan AJB
karena pembayaran warga Renojoyo belum lunas, sehingga belum
ditindaklanjuti menjadi AJB sebagai syarat balik nama kepada masing-
masing warga Renojoyo sesuai kavling;
40) Bahwa terdakwa tidak tahu tentang tanah TKD dan tidak pernah diberitahu
tentang TKD Blok Waru dan Blok Kretek di Dusun Kedungkampil Desa
Kedungsolo;
41) Bahwa tidak ada yang mempersoalkan TKD tersebut, BPN pun akhirnya
tidak melanjutkan proses;
42) Bahwa terdakwa tahu penandatangan pelepasan hak diluar tanah TKD di
Kejaksaan Negeri Sidoarjo sekitar bulan Desember 2016, waktu terdakwa
dipanggil oleh BPN;
43) Bahwa kasus ini mencuat sekitar bulan Oktober 2016, tanggal 15 November
2016 penyelidikan; Bahwa terdakwa tidak pernah ke lapangan, tidak tahu
tentang tanah pengganti, tidak tahu Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
143/850/PMD tanggal 27 Maret 2008, yang isinya pada angka 1 : pada
prinsipnya tidak keberatan tanah kas desa dilepas, untuk kepentingan
relokasi perumahan penduduk, khususnya yang terkena bencana lumpur
Lapindo yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana fasilitas umum.
Angka 2 : prosedur pelepasan tanah kas desa sebagaimana dimaksud pada
angka 1, harus sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan
Desa;
44) Bahwa Terdakwa tidak pernah sama sekali ditunjukan lokasi TKD oleh
Abdul Rahman dan diberi fotocopy kretek TKD oleh Masyhudi;
45) Bahwa pada saat membuat IJB antara Sunarto dan warga Renokenongo,
sertifikat itu belum balik nama atas nama Sunarto, semua itu membutuhkan
51

proses, karena pada saat itu selain terkendala biaya, tanah yang dibeli juga
seluas 10 (sepuluh) Ha ada batas kepemilikan perorangan terkait dengan
luas tanah, tetapi setelah Terdakwa konsultasikan kepada pihak Kantor
Pertanahan Sidoarjo, ada diskresi untuk warga lumpur lapindo
diperbolehkan karena akan segera dipecah-pecah sertifikat ke warga dan
ingin segera mendirikan rumah tinggal yang mendapat fasilitas dan bantuan
dari Pemerintahan Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan REI, baru balik
nama sertifikat atas nama Sunarto sekitar tahun 2012;
46) Bahwa Terdakwa mendapat dokumen-dokumen dari REI pada Desember
2015 untuk proses pensertifikatan dan saya sampaikan semua kepada
Kantor Pertanahan (BPN) Sidoarjo pada saat Penggabungan Sertifikat dan
pada prinsipnya BPN siap membantu, karena semua saya konsultasikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Sidoarjo pada waktu itu;
47) Bahwa sebenarnya secara riil dari biaya yang terdakwa terima dari pengurus
Pagarekontrak antara lain dari Yudo Wintoko, sesuai kuitansi yang telah
ditunjukan sejumlah total Rp. 536.000.000,-, untuk pengurusan ini akta
selaku Notaris dan PPAT yang jumlahnya total seribu lebih akta, dengan riil
uang yang diterima sangat tidak sesuai, sejumlah Rp 59.174.780,- tetapi
Terdakwa sebagai orang asli Sidoarjo, senang bisa membantu warga korban
lapindo;
48) Bahwa yang terima uang sejumlah tersebut Eki suami terdakwa, biaya-biaya
pengurusan sesuai rincian tersebut termasuk untuk bayar pajak, BPHTB
tidak ada karena nihil;
49) Bahwa untuk 11 (sebelas) akta IJB yang alas haknya SK Gubernur,
kelanjutannya sudah diurus menjadi sertifikat atas nama Saksi Sunarto yang
ditindaklanjuti dengan proses penggabungan 112 (seratus dua belas)
sertifikat sebelum dipecah ke atas nama warga renojoyo;
50) Bahwa yang dijadikan alas hak dari akta IJB yang dibuat berdasarkan akta
AJB No. 18/2009 – 118/2009 adalah bagian dari 10 (sepuluh) Ha tanah dan
semuanya adalah sertifikat sebagaimana yang diterangkan para pihak dan
didalam AJB tersebut ada nama pemegang hak dan nomor sertifikat;
52

51) Bahwa sesuai keterangan Saksi Abdul Rochman, Saksi Saturi, Saksi
Masyudi, Saksi Basuni lahan TKD yang terletak di Blok Waru dan Kretek
Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo luasnya kurang lebih 28.842 m² atau 2,8 hektar, sedangkan luas
lahan petani lebih kurang 10 hektare terdiri dari 112 SHM, jadi luas
seluruhnya hampir lebih kurang 13 hektar.
52) Bahwa peta terlampir dimaksud antara lain memuat peta gambar sejumlah
649 kavling bidang tanah dengan rincian, sebagai berikut :
NAMA PROYEK
Pembangunan Perumahan
RENO JOYO
Oleh : PT. GALA BUMIPERKASA.
LOKASI PROYEK
Desa : KEDUNG SOLO
Kecamatan : PORONG
Kabupaten : Sidoarjo
NAMA GAMBAR SKALA
BLOK PLAN (RENCANA TAPAK) 1 : 1000
RENCANA PEMANFAATAN TANAH
NO BLOK UNIT M2 NO BLOK UNIT M2
1 A 24 2688 10 K 20 2240
2 333 1 124
1 134
2 B 15 1680 11 L 40 4480
1 204 4 993
1 176
3 D 33 3696 12 M 40 4480
3 372 4 993
4 E 36 4032 13 N 40 4480
4 496 4 993
53

5 F 36 4032 14 O 40 4480
4 496 4 993
6 G 36 4032 15 P 40 4480
4 496 4 993
7 H 36 4032 16 Q 40 4480
4 496 4 993
8 I 36 4032 17 R 40 4480
4 496 4 993
9 J 18 2016 18 S 18 2016
1 124 1 124
1 132 1 164
Jumlah 299 34.064 Jumlah 350 43.110
REKAPITULASI LUASAN TOTAL
NO KETERANGAN LUASAN (M2) PROSENTASE LUAS
1 KAV. EFEKTIF 77.174 78.32%
2 FASUM & JLN 21.359 21.68%
GRAND TOTAL 98.533 100%
PEMOHON
PT. GALA BUMIPERKASA
(ttd dan stempel/cap perusahaan)
Drs. RAJA SIRAIT
Direktur Utama
Sidoarjo,
Mengetahui
Kadis PU, Cipta Karya dan Tata Ruang
Kabupaten Sidoarjo
(ttd dan stempel/cap instansi)
Ir. SULAKSONO
Pembina Utama Muda
NIP. 19620129 1989031005
54

Sidoarjo,
Mengetahui
Kepala Bappeda
Kabupaten Sidoarjo
(ttd dan stempel/cap instansi)
Ir. KAMDANI, M.Si
Pembina Utama Muda
NIP. 19620129 1989031005
Sidoarjo,
Menyetuji
Bupati Sidoarjo
(ttd dan stempel/cap instansi)
H. WIN HENDARSO

KETERANGAN :

BLOK JUMLAH SAT


BLOK A 26 UNIT

BLOK B 17 UNIT

BLOK C 36 UNIT

BLOK D 40 UNIT

BLOK E 40 UNIT

BLOK F 40 UNIT

BLOK G 40 UNIT

BLOK H 40 UNIT

BLOK I 40 UNIT

BLOK J 20 UNIT
55

BLOK K 22 UNIT

BLOK L 44 UNIT

BLOK M 44 UNIT

BLOK N 44 UNIT

BLOK O 44 UNIT

BLOK P 44 UNIT

BLOK Q 44 UNIT

BLOK R 44 UNIT

BLOK S 44 UNIT

JUMLAH TOTAL 649 UNIT

c. Dakwaan :
Atas perbuatan Terdakwa, Penuntut Umum memberikan dakwaan kepada
Terdakwa, sebagai berikut :
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal
3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah dirubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke – 1
KUHP;

d. Pertimbangan Hukum Hakim :


Majelis Hakim mempertimbangkan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20
56

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke – 1
KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut
melakukan perbuatan itu ;
Bahwa atas unsur-unsur tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkannya
sebagai berikut :

1. Setiap orang
1.1 Menimbang, bahwa Penuntut Umum mengajukan orang perorangan
sebagai Terdakwa dalam perkara ini yaitu : ROSIDAH, SH., dengan
identitas yang lengkap dan jelas tertera dalam surat dakwaan, dan
Terdakwa tidak mengingkari identitas tersebut yang dibacakan pada
awal persidangan. Terdakwa dihadapkan ke persidangan dalam
keadaan sehat jasmani dan rohani, dan Terdakwa telah
memperhatikan dan mengerti dakwaan yang diajukan Penuntut
Umum sesuai pasal 155 KUHAP, dengan demikian orang yang
dimaksud sebagai ROSIDAH, SH., adalah Terdakwa sebagaimana
yang dihadapkan oleh Penuntut Umum dipersidangan dan bukan
orang lain;
1.2 Menimbang, bahwa Terdakwa ROSIDAH, SH., adalah perorangan
yang bertindak dalam jabatan dan kedudukannya sebagai Notaris
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : C-
1346.HT.03.01-TH 1999 dan pada tanggal 28 Mei 2002, diangkat
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)berdasarkan
57

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 6-X-202


tanggal 28 Mei 2002, yang berkedudukan hukum di Kabupaten
Sidoarjo. Oleh karena itu Terdakwa adalah sebagai orang
perseorangan yang mempunyai jabatan atau kedudukan sebagai
Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
1.3 Menimbang, bahwa Terdakwa sebagai Notaris, sesuai keterangan
Ahli Nurwahjuni, S.H.M.H.CN, serta Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, Pasal 15
Ayat (1) : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang Undang. (2) Notaris
berwenang pula : a. mengesahkan tandatangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus; b. membukukan surat-surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus; c. membuat copy dari asli surat-surat
dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d.
melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; e.
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; g.
membuat akta risalah lelang. (3) Selain Republik Ind kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
1.4 Menimbang, bahwa Terdakwa sebagai Notaris, sesuai keterangan
Ahli Nurwahjuni, S.H.M.H.CN, serta Undang-Undang Republik
58

Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, antara lain


mempunyai kewajiban sesuai Pasal 15 Ayat (1)sebagai berikut : a.
bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat
akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari Protokol Notaris; c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta,
atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya. Penjelasan huruf d : Yang
dimaksud dengan alasan untuk menolaknya adalah alasan yang
mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan
darah atau semenda dengan Notaris atau dengan suami/isterinya
sendiri, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak
untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh
undangundang;
1.5 Menimbang, bahwa Terdakwa sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), sesuai keterangan Ahli Nurwahjuni, S.H.M.H.CN, serta
sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah Pasal 97 yang pada intinya mengatur sebagai berikut ini :
Persiapan Pembuatan Akta : (1)Sebelum melaksanakan pembuatan
akta terkait pemindahan dan atau pembebanan hak atas tanah, wajib
terlebih dahulu melakukan pemeriksaan mengenai kesesuaian
sertipikat hak atas tanah dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan dengan memperlihatkan sertipikat asli. (2)Pemeriksaan
sertipikat dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh PPAT.
(3)Apabila sertipikat “sesuai” dengan daftar-daftar yang ada di
kantor Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan/Pejabat yang
ditunjuk membubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat : Telah
diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan. Jika
59

cheking ini dilakukan oleh PPAT, maka akan dapat diketahui batas-
batas tanah secara pastinya termasuk keberadaan Tanah Kas Desa,
yang pastinya pula tidak akan dikeluarkan SKPT oleh kantor
pertanahan. Jika tanah yang akan dibeli terdapat permasalahan, akan
berujung pada jaminan kelancaran proses balik nama di kantor
pertanahan setempat. Dalam hal demikian PPAT wajib nenolak
membuatkan akta IJB/PPJB atas dasar Pasal 16 ayat (1) huruf e,
khususnya di Bagian Penjelasannya : Notaris wajib memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya, karena ada hal lain yang tidak
dibolehkan oleh undang-undang;
1.6 Menimbang, bahwa Terdakwa sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), sesuai keterangan Ahli Dr. Yagus Suyadi, S.H.,M.Si.
(Kepala Bagian Perundangundangan dari Kementerian Agraria dan
Tata Ruang), serta sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1997 Jo. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997
dalam ketentuan itu Akta yang dibuat oleh PPAT dijadikan dasar
untuk melakukan perubahan data pendaftaran tanah yaitu peralihan
pencatatan artinya dicatat dalam daftar umum di kantor pertanahan
baru mengikat kepada pihak ketiga. Apabila terjadi peralihan hak
atas TKD, sesuai Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah Pasal 39 ayat (1) : PPAT menolak untuk membuat akta jika :
b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan : 1) surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal
24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah
tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2); dan 2) surat
keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk
tanah yang terletak didaerah yang jauh dari kedudukan Kantor
60

Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan


dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. salah satu atau para
pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan
atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak
berhak atau memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d.
salah satu atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum
memindahkan hak; atau e. untuk perbuatan hukum yang akan
dilakukan belum memperoleh ijin Pejabat atau instansi yang
berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 39 ayat (1) huruf d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah tersebut tidak termasuk yang dicabut
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Perundang- undangan
Mengenai Pertanahan;
1.7 Menimbang, bahwa sesuai keterangan Ahli Moch. Andi Soelistiono,
SSTP, MSi, Kasubbag Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten
Sidoarjo, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun
2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, tanggal 31
Januari 2007, diatur : Kekayaan desa yang berupa tanah desa / TKD
tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada
pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum. Pelepasan
hak kepemilikan tanah desa/ TKD dilakukan setelah mendapat ganti
rugi sesuai dengan harga yang menguntungkan desa dengan
memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli
tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di desa setempat. Pelepasan
hak kepemilikan tanah desa/ TKD ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Desa. Keputusan Kepala Desa sebagaimana tersebut di atas,
61

diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD, mendapat ijin tertulis


dari Bupati/ Walikota dan Gubernur;
1.8 Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan alat bukti berupa
: bukti surat, keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa,
maka sepanjang mengenai jati diri Terdakwa telah lengkap dan jelas,
maka dengan demikian sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h
KUHAP, unsur “setiap orang” telah terpenuhi;

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2.1 Menimbang, bahwa unsur ini bersifat alternatif, yaitu apabila salah
satu terpenuhi maka unsur yang lain tidak perlu dibuktikan;
2.2 Menimbang, bahwa dengan tujuan dalam tindak pidana adalah salah
satu bentuk dari kesengajaan. Tindak pidana korupsi terjadi apabila
terdapat kesengajaan seseorang. Kesengajaan merupakan inti
perbuatan (animus homis est anima scripta). Kesengajaan harus
dilihat berdasarkan kasus per kasus (animus ad se omne jus ducit),
walaupun kesengajaan terkadang lebih diperhitungkan daripada
kejadian yang sesungguhnya (in maleficiis voluntas spectator, non
exitus);
2.3 Menimbang, bahwa bentuk kesengajaan dalam hukum pidana pada
pokoknya terdiri dari kesengajaan : sebagai maksud (pada dasarnya
seseorang mempunyai kehendak bebas (wilstheori) untuk
melakukan perbuatan dan mencapai akibat dari perbuatannya);
sebagai kepastian atau keharusan; sebagai kemungkinan, (pada
dasarnya seseorang pada kedua kesengajaan ini telah ada bayangan
yang terang akibat dari perbuatannya akan tercapai, oleh karena itu
seseorang tersebut akan menyesuaikan perbuatannya dengan
akibatnya agar tercapai teori bayangan (voorstelen theorie). Dengan
bentuk variasi dari ketiga kesengajaan tersebut berupa kesengajaan :
bersyarat (dolus eventualis); tidak berwarna (opzetkleurloos);
62

dengan tingkat pengetahuan yang tinggi (dolus directus); untuk


melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi akibat yang timbul
tidak dikehendaki, tapi seseorang bertanggungjawab atas segala
akibatnya; yang harus didasarkan pada obyek tertentu (dolus
determinatus); yang ditujukan kepada sembarang orang, tidak
mempedulikan siapa yang akan menanggung akibat dari
perbuatannya yang dilarang hukum (dolus indeterminatus);
diobyektifkan (ada tidaknya kesengajaan harus disimpulkan dari
perbuatan yang tampak); untuk melakukan suatu perbuatan yang
dilarang dan menghendaki akibat yang satu atau akibat yang lain
(dolus alternativus); yang ditujukan kepada seseorang, tapi tindakan
yang dilakukan lebih dari satu untuk mencapai tujuan tersebut (dolus
generalis); untuk melakukan sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba
(dolus repentinus); yang muncul seketika dengan memperhatikan
situasi dan kondisi (hastemut); yang dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu (dolus premeditatus atau beratene mut); yang
ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan dilakukan (dolus
antecendens); terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi (dolus
subsequens); yang dilakukan dengan niat jahat (dolus malus).
Persyaratan adanya dolus malus identik dengan kesengajaan
berwarna;
2.4 Menimbang, bahwa tujuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
sama dengan : arah, halauan (jurusan), yang dituju, maksud, tuntutan
(yang dituntut), maka dengan tujuan sama dengan kesengajaan
dengan maksud (opzet als oogmerk);
2.5 Menimbang, bahwa dengan tujuan adalah merupakan salah satu
bentuk kesengajaan sebagai maksud (opzet al oogmerk).
Kesengajaan adalah merupakan bentuk dari kesalahan. Dipidananya
seseorang sesuai ketentuan pasal 191 ayat (1)KUHAP jo pasal 193
ayat (1) KUHAP jo pasal 197 (1) h KUHAP jo pasal 6 (2) UU Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidaklah cukup
63

perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal yang


didakwakan. Untuk mendapat keyakinan seseorang yang dapat
dianggap bertanggungjawab secara pidana haruslah terdapat
penyataan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya, sesuai azas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan
(Geen Straf Zonder Schuld);
2.6 Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan unsur lebih lanjut,
Majelis memandang perlu untuk mempertimbangkan pendapat para
ahli yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa yang pada
pokoknya menyatakan bahwa di dalam pembuatan partij acte/ akta
pihak notaris hanya bertanggungjawab pada kepala atau awal dan
akhir atau penutup akta. Notaris tidak bertanggungjawab pada badan
akta yang merupakan tanggungjawab para penghadap. Notaris tidak
berkewajiban untuk mencari kebenaran materiil dari apa yang
disampaikan oleh para penghadap yang dituangkan dalam badan
akta. Sebagaimana telah disitir Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
bahwa notaris hanya berkewajiban untuk mengkonstatir kehendak
para penghadap;
2.7 Menimbang, bahwa Ahli Prof Dr. Nur Basuki Minarno, SH, MH
menyampaikan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa
kesalahan (geen straaf zonder schuld);
2.8 Menimbang, bahwa ketentuan tersebut dalam interpretasi
argumentum per a contrario, dapat dimaknai bahwa apabila
seseorang melakukan kesalahan, maka orang tersebut dapat
dipidana, sehingga majelis hakim berpendapat seorang notaris pun
dapat dipidana apabila dalam menjalankan jabatannya dia
melakukan kesalahan (schuld) yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana;
2.9 Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut majelis
mempertimbangkan apakah dalam menjalankan jabatannya sebagai
notaris, Terdakwa telah melakukan kesalahan (schuld) yang dapat
64

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana ? Oleh karena itu


harus dibuktikan bahwa terdakwa melakukan kesalahan;
2.10 Menimbang, bahwa kesalahan dalam suatu tindak pidana adalah
merupakan perhubungan keadaan jiwa atau kehendak Terdakwa
dengan terwujudnya unsurunsur tindak pidana karena perbuatannya,
sehingga adanya hubungan batin antara kehendak Terdakwa dengan
perbuatannya berupa kemampuan bertanggungjawab;
2.11 Menimbang, bahwa kesalahan dapat dinilai dari “kesengajaan”
(opzet)yaitu : “menghendaki dan mengetahui” (wilens en wetens).
Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan
menimbulkan akibat. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui
atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu salah atau melawan
hukum, karena dilarang untuk dilakukan oleh hukum;
2.12 Menimbang, bahwa dengan demikian kesalahan adalah unsur
subyektif yang melekat pada bathin Terdakwa, yang menentukan
arah dari perbuatan Terdakwa. Sesuai azas hukum, perbuatan jahat
dimulai dari pikiran yang jahat. Unsur batin tersebut berupa
pengetahuan Terdakwa tentang perbuatannya dilarang oleh hukum.
Akan tetapi walaupun keadaan jiwa atau pikiran Terdakwa
mengetahui perbuatannya dilarang oleh hukum, tapi Terdakwa tetap
menghendaki akibatnya terwujud, sehingga Terdakwa dapat
dihukum karena perbuatan tadi. Kesalahan haruslah dinilai oleh
orang lain bukan oleh Terdakwa itu sendiri;
2.13 Menimbang, bahwa walaupun merupakan unsur subyektif (bathin),
kesalahan dapat dinilai secara obyektif dengan memperhatikan
segala keadaan lahir yang terjadi yang menyertai perbuatan
Terdakwa atau kesengajaan yang diobyektifkan (ada tidaknya
kesengajaan harus disimpulkan dari perbuatan yang tampak);
2.14 Menimbang, bahwa oleh karena itu dari unsur subyektif tersebut
dapat diobyektifkan dengan menilai secara obyektif rangkaian
65

perbuatan-perbuatan Terdakwa yang merupakan perbuatan yang


saling berkaitan dan mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas),
sebagaimana fakta-fakta hukum tersebut diatas. Sebab suatu
perbuatan atau tindakan sudah merupakan bentuk pernyataan
kehendak yang diwujudkan. Perbuatan atau tindakan yang
diwujudkan menunjukan tingkatan kemampuan berpikir dari
Terdakwa. Terhadap perbuatan atau tindakannya tersebut dapat
menentukan kehendaknya. Oleh karena itu pada dasarnya hukum
tidak menghiraukan apa yang ada dalam pikiran seseorang, tetapi
hukum mengatur perilaku atau perbuatan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Rangkaian perbuatan sesuai fakta hukum tersebut
diatas dapat menunjukan keadaan sikap bathin Terdakwa yang
menunjukan Terdakwa mengetahui dan menghendaki (wetten en
willen) akibat dari perbuatannya terwujud, dilaksanakan oleh diri
sendiri dan atau orang lain, mempunyai sifat melawan hukum, dapat
dijadikan petunjuk sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d jo
ayat 2 KUHAP. Walaupun sistem hukum pidana menganut azas
monisme, dimana antara niat dan tingkah laku tidak dapat
dipisahkan, akan tetapi pengetahuan Terdakwa tidak perlu
dibuktikan karena sistem Kitab Undang-undang Hukum Pidana
menganut azas kesengajaan tidak berwarna (opzetcolourless),
dengan diberlakukannya semua orang dianggap mengetahui hukum
(teori fiksi hukum) sesuai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik jo Peraturan Presiden Nomor
33 Tahun 2012 Tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi
Hukum Nasional. Sehingga dari perbuatan-perbuatannya tersebut
itulah, kemudian disimpulkan tentang adanya pikiran atau kehendak
untuk melakukan tindak pidana dalam batin Terdakwa sesuai
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 813 K/Pid/1987 tanggal 29
Juni 1989;
66

2.15 Menimbang, bahwa siapa yang menyebabkan timbulnya keadaan


terlarang, dia wajib mengakhiri keadaan terlarang itu, jika tidak ada
tindakan mengakhiri keadaan terlarang itu, maka dialah yang harus
bertanggungjawab dan dipidana atas penciptaan keadaan terlarang
itu;
2.16 Menimbang, bahwa dengan demikian dari rangkaian fakta-fakta
hukum tersebut diatas terdapat perbuatan Terdakwa tersebut yang
berkaitan dan mempunyai hubungan sebab akibat
(kausalitas)dengan kesalahan Terdakwa yang pada pokoknya
sebagai berikut : Terdakwa sebagai Notaris/PPAT pernah diberitahu
oleh Saksi Abdul Rochman, Saksi Saturi, Saksi Masyudi, Saksi
Basuni, dengan ditunjukan atau diserahkan dokumen untuk
keperluan jual beli berupa fotocopy peta gambar yang ada Tanah Kas
Desa Kedungsolo, melalui pegawai Notaris/PPAT Rosidah, SH.,
yaitu Nuris Safitri dan Chayati;
2.17 Menimbang, bahwa keterangan tersebut dibantah oleh Terdakwa,
Terdakwa tidak tahu ada tanah TKD, tahunya ada masalah tanah
TKD setelah meletus persoalan ini;
2.18 Menimbang, bahwa karena ada perbedaan keterangan antara saksi
Abdul Rachman yang bersesuaian dengan Saksi Basuni, Saksi
Masyhudi dan Saksi Saturi yang bertentangan dengan Saksi Sunarto
yang bersesuaian dengan keterangan Terdakwa, mengenai
pengetahuan Terdakwa atas keberadaan Tanah Kas Desa tersebut,
majelis mempertimbangkan keterangan para saksi tersebut dengan
mempedomani pasal 185 ayat (6) KUHAP, dengan memperhatikan
persesuaian antara saksi satu dengan saksi lain, antara saksi dengan
alat bukti yang lain dan alasan yang mungkin dipergunakan oleh
saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, mempertimbangkan
adanya fakta dipersidangan keterangan Sunarto adalah orang yang
terlibat dalam proses pelepasan hak atas tanah dan terdakwa dengan
membuat akta otentik berupa Perikatan Jual Beli dan Kuasa untuk
67

Menjual tanah dari Sunarto kepada masing masing warga renojoyo


khususnya yang di atas tanah TKD yang kemudian bermasalah.
Majelis berkesimpulan Sunarto memiliki kepentingan dan motivasi
untuk memberikan keterangan tertentu, agar Terdakwa terhindar dari
masalah, dan berkaitan dengan kedudukannya sebagai terdakwa
dalam berkas terpisah dimana sebagai terdakwa dia punya
kepentingan untuk menyangkal tindakan yang didakwakan
terhadapnya berbeda dengan keterangan saksi Abdul Rachman dan
kawan-kawan dimana majelis hakim tidak melihat adanya
kepentingan mereka untuk memberikan keterangan tertentu,
sehingga majelis berkesimpulan keterangan saksi yang
menerangkan bahwa terdakwa mengetahui keberadaan Tanah Kas
Desa lebih dapat dipercaya;
2.19 Menimbang, bahwa selain itu dari fakta hukum tersebut, sesuai
dengan perbuatan Terdakwa lainnya yang pada pokoknya secara
formal administrasi pada tanggal 18 November sampai dengan 15
Desember 2008, Nuris Safitri, S.Kom dan Chayati selaku pegawai
Notaris/PPAT Rosidah, SH., telah menerima asli SHM atas 112
bidang tanah dari 56 petani. Kemudian mengajukan permohonan
check bersih atas 112 SHM dari penjual tersebut. Salah satu dari
SHM tersebut yaitu pada Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 90
Desa Kedungsolo. Terdapat keterangan tentang tanah tersebut
dengan Luas : 1.310 m². Asal Persil : Pemberian Hak. Surat
Keputusan Gubernur KDH Propinsi Jawa Timur tanggal 13-3-1971
Nomor : I/Agr/23/XI/HM/01.G/1971. Nama Pemegang Hak Parto
Tahal dengan peralihan karena Warisan tanggal pencatatan pada
tanggal 15 Februari 1983 kepada ahli waris Makyum, Selar,
Riduwan, Muapah, dan Muanah, karena jual beli dengan tanggal
pencatatan 6 September 1994 kepada Fatoni, karena jual beli dengan
pencatatan pada tanggal 10 Juli 2009 kepada Sunarto, karena jual
beli dengan pencatatan pada tanggal 23 November 2015 kepada
68

Sunarto. Gambar Situasi Tanggal 31 Agustus 1981 Nomor


2900/1981. Uraian Batas (Tanah 00654) : Utara : Parit. Timur : Hak
Milik No. 91. Selatan : Parit. Barat : Sawah Desa. Hasil : Telah
diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan Kabupaten
Sidoarjo tanggal 18-11-2008. Dengan demikian secara formal
terdapat SHM Nomor 90 Desa Kedungsolo yang berbatasan dengan
Sawah Desa. Hal tersebut bersesuaian dengan keterangan Saksi
Abdul Syakur, salah satu dari 56 petani yang menjual tanahnya
kepada Saksi Sunarto. Saksi pernah punya tanah 4 (empat) are milik
orang tua saksi di Dusun Kedungkampil, batas-batasnya sebelah
selatan sungai, sebelah utara sungai kali kanal, sebelah timur jalan,
sebelah barat ada batas tanah lain tanah ganjaran milik desa. Tanah
ganjaran tersebut pernah dikerjakan oleh Pak Mardi Nurkiat, Saksi
juga kerjakan tanah ganjaran disitu ditanami padi pernah juga
ditanami tebu;
2.20 Menimbang, bahwa selain itu karena Saksi Sunarto awam dengan
jual beli tanah, maka Saksi Sunarto memerlukan Notaris/PPAT, lalu
Saksi Sunarto diajak oleh Kades Kedungsolo Saksi Abdul Rochman
ke Notaris/PPAT Rosidah, SH. Disampaikan keperluan Saksi
Sunarto akan membeli tanah di Kedungsolo Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo dengan transaksi yang banyak 10 hektar atas
nama Pagarekontrak. Awalnya Terdakwa Rosidah, SH., menolak
untuk membuatkan akte tersebut, karena belum pernah pengalaman
menangani transaksi jual beli tanah dengan jumlah yang banyak.
Tapi Saksi Sunarto dan pengurus Pagarekontrak lainnya
menceritakan kondisi keadaan korban luapan lumpur Lapindo, di
tempat penampungan sementara di Pasar Baru Porong. Kalau soal
honor Terdakwa Rosidah, SH., dapat honor, tapi Terdakwa Rosidah,
SH., sebagai Notaris/PPAT punya idealisme sendiri, apalagi jika
berurusan dengan developer selain ribet mereka sering memaksakan
kehendaknya sendiri;
69

2.21 Menimbang, bahwa pada bulan November 2008, Terdakwa Rosidah,


SH., menjelaskan kalau langsung Akta Jual Beli (AJB) banyak yang
harus dilakukan, termasuk dalam 7 (tujuh) hari kerja wajib
didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan membayar pajak, sementara
masih ada kekurangan persyaratan dan pembayaran belum lunas.
Selain itu dijelaskan oleh Notaris/PPAT Terdakwa Rosidah, SH.,
112 SHM tidak dapat dibalik namakan atas nama Paguyuban Rakyat
Renokenogo Menolak Kontrak (PAGAREKONTRAK), karena
sebagai perkumpulan sesuai Akte Pendirian pada Notaris Nurbaya
Linta, SH. Nomor 05 tanggal 19 Juni 2007, belum didaftarkan
sebagai Badan Hukum. Selanjutnya Saksi Sunarto menerima
penjelasan tersebut sehingga diketikan form Pengikatan Jual Beli
(PJB) dari Pihak Penjual 56 petani dengan 112 SHM kepada Pembeli
Sunarto dan Surat Kuasa Untuk Menjual (SKUM) dari pemberi
kuasa 56 Petani untuk menjual tanah sebagaimana 112 SHM kepada
Sunarto selaku penerima kuasa menjual, oleh Nuris Safitri, S.Kom
dan Chayati. Selanjutnya Saksi Sunarto memberikan biaya untuk
mengurus PIJB + KUASA + AJB (Petani ke Sunarto) dan diterima
oleh Terdakwa Rosidah, SH melalui suami Terdakwa Pak Eki,
sesuai kuitansi sejumlah Rp. 96.000.000,- (sembilan puluh enam juta
rupiah). Pada tanggal 5 Januari 2009, Terdakwa Rosidah, SH. selaku
Notaris, membuatkan dan menandatangani Pengikatan Jual Beli dan
Kuasa untuk Menjual yang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari akta Pengikatan Jual Beli tertanggal hari ini, yang
dibuat dihadapan saya Notaris. Untuk menjual atau dengan cara lain
melepaskan hak/memindahkan kepada siapa saja, termasuk kepada
Penerima Kuasa sendiri. Selanjutnya Terdakwa Rosidah, SH.,
menanyakan kepada Kepala BPN lupa namanya, katanya dibiarkan
saja IJB nya nanti akan dibuatkan diskresinya, lalu Terdakwa
Rosidah, SH., tanyakan pengurusan balik namanya, oleh Kepala
BPN dikatakan : iya, iya saya uruskan, betul itu dibantu, dan balik
70

nama atas nama Sunarto. Pada tanggal 26 Februari 2009, Terdakwa


Rosidah, SH., membuat Akte Jual Beli dari nomor 18/2009 sampai
dengan 118/2009, antara Saksi Sunarto sebagai Pihak Pertama
selaku Penjual kepada Pihak Kedua Saksi Sunarto selaku Pembeli,
antara lain terhadap : Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 90 Desa
Kedungsolo. Uraian Batas (Tanah 00654) : Utara : Parit. Timur : Hak
Milik No. 91. Selatan : Parit. Barat : Sawah Desa;
2.22 Menimbang, bahwa sekitar bulan Oktober 2009 setelah pelunasan
Pak Susilo dan Saksi Sunarto datang kepada Notaris/PPAT
Terdakwa Rosidah, SH., dengan keperluan akan melanjutkan proses
balik nama. DPD REI Jawa Timur Wilayah Sidoarjo melalui Pak
Susilo kemudian menyerahkan dokumen-dokumen surat antara lain
SK Kepala Desa Kedungsolo, Ijin Lokasi dari Bupati Sidoarjo,
kepada Terdakwa Rosidah, SH. untuk Terdakwa lanjutkan
prosesnya, Terdakwa minta site plan, untuk diproses ke Kantor
Pertanahan Kabupaten Sidoarjo. Kata Saksi Sunarto dan Pak Susilo
dari DPD REI : itu diproses saja, karena sebagian besar sudah
dilunasi. Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo bilang ya sudah
dilakukan penggabungan. Setelah diterima Kantor Pertanahan
Kabupaten Sidoarjo lalu disarankan spilt atau pemecahan PBB,
didalamnya ada permohonan IMB, disetujui split atau pemecahan
PBB atas nama warga Renojoyo. Saksi Sunarto memberikan biaya
Rp. 140.000.000,- kepada Terdakwa Rosidah, SH., untuk
memproses PIJB + Kuasa (Sunarto, Warga Korban Lapindo, PT.
Gala Bumi Perkasa) 476 PIJB (Perjanjian Ikatan Jual Beli) 476
Kuasa Menjual sama dengan 952 Akta. Dibelanjakan untuk
fotocopy, materai, 3 Salinan (Salinan untuk PT/REI, BPN,
Dispenda) 150 x 476 sama dengan Rp. 71.400.000,-. Pada bulan
November 2009, Nuris Safitri, S.Kom dan Chayati mempersiapkan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dari 112 SHM atas nama
Sunarto berikut Kuasa untuk Menjual yang merupakan bagian yang
71

tidak dapat dipisahkan dari akta Pengikatan Jual Beli tertanggal hari
ini, yang dibuat dihadapan saya Notaris. Untuk menjual atau dengan
cara lain melepaskan hak/memindahkan kepada siapa saja, termasuk
kepada Penerima Kuasa sendiri. PIJB dari masing-masing lebih
kurang 476 Pembeli sesuai alamat kavling bidang tanah berdasarkan
site plan kepada Sunarto;
2.23 Menimbang, bahwa Terdakwa Rosidah, SH., mempercayai site plan
tersebut benar karena ada tanda tangan Bupati Sidoarjo. Selanjutnya
dibuatkan PJB Saksi Sunarto selaku Penjual kepada masing-masing
476 warga Renojoyo selaku Pembeli. Serta dibuatkan Kuasa untuk
Menjual dari Saksi Sunarto selaku Pemberi Kuasa Menjual kepada
Penerima Kuasa Menjual yaitu masing-masing 476 warga Renojoyo.
Pembuatan Kuasa menjual dari Saksi Sunarto ke Warga, kuasa untuk
proses balik nama. Di PJB sudah ada batas-batas tanahnya tertulis
batas-batas sesuai dengan AJB dari nomor 18 sampai dengan 118
tertanggal 26 Februari 2009. Terdakwa ROSIDAH, SH. selaku
Notaris, menandatangani Pengikatan Jual Beli (PJB), antara Saksi
Sunarto, selaku pemilik sebagai Pihak Pertama berdasarkan akta Jual
Beli, yang dibuat dihadapan saya selaku Pejabat Pembuat Akte
Tanah (PPAT). Dengan Pihak Kedua diantaranya para warga Reno
Joyo. Sedangkan Pihak Ketiga Drs. Raja Sirait, Direktur Utama PT.
Gala Bumi Perkasa, bertindak untuk dan atas nama PT. Gala Bumi
Perkasa, sebagai Pihak Ketiga. Yang melaksanakan pembangunan
rumah dan fasilitasnya, termasuk jalan, masjid, dan pengadaan
listrik. Apabila terjadi pelunasan maka pihak kedua berhak atas
sertifikatnya. Apabila belum lunas maka sertifikat akan disimpan di
kantor Notaris. Selain itu pada hari Senin, sejak tanggal 9 November
2009, Terdakwa ROSIDAH, SH., selaku Notaris membuat Kuasa
yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akta
Pengikatan Jual Beli, yang dibuat dihadapan saya Notaris (Terdakwa
Rosidah, SH.)., antara Saksi Sunarto dan Drs. Raja Sirait selaku
72

Pemberi Kuasa kepada Hari Setiadi, selaku Penerima Kuasa Khusus.


Untuk menjual atau dengan cara lain melepaskan hak/memindahkan
kepada siapa saja, termasuk kepada Penerima Kuasa sendiri bidang
tanah. Yang dimiliki oleh Pihak Pertama berdasarkan akta Jual Beli,
yang dibuat dihadapan saya selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), dengan nomor berturut-turut : 18/2009 – 118/2009.
Tertanggal 26 Februari 2009;
2.24 Menimbang, bahwa Pengikatan Jual Beli dan Kuasa untuk Menjual
ditanda tangani di Kantor Terdakwa Rosidah, SH. sebagai Notaris,
secara bertahap perkelompok 10 orang dihadapan Terdakwa
Rosidah, SH., ditandatangani terlebih dahulu oleh masing-masing
warga korban lumpur Lapindo pada Perumahan Renojoyo Desa
Kedungsolo. Kemudian ditandatangani oleh Saksi Sunarto pada sore
harinya setelah pulang kerja dari PT. Charoen Pokphand Jaya Farm
di Gempol, dihadapan Terdakwa Rosidah, SH. sebagai Notaris;
2.25 Menimbang, bahwa Saksi Sunarto memberikan sejumlah uang
kepada Terdakwa Rosidah, SH., sejumlah Rp. 300.000.000,- untuk
biaya pengurusan Penggabungan dan Rencana Pensertifikatan ke
atas nama Warga Korban Lapindo Reno Kenongo, dengan rincian
biaya yang telah dibelanjakan untuk : 1. penggabungan + izin
Perubahan Penggunaan Tanah Rp. 26.682.720,-. 2. Blanko untuk
Pemberkasan Pensertifikatan ke atas nama warga Rp. 27.530.000,-.
3. Materai Rp. 42.000.000,-. PPH/Pajak Penjual Rp. 186.862.500,-.
Operasional (Fotocopy, Transport, dll) Rp. 50.000.000,-. Total Rp.
476.825.220,-. Sehingga uang yang diterima Terdakwa Rosidah,
SH., dari saksi Sunarto sejumlah Rp. 96.000.000,+ Rp.
140.000.000,- + Rp. 300.000.000,- sama dengan Rp. 536.000.000,-.
Pengeluaran Rp. 476.825.220,-. Selisih lebih Rp. 59.174.780,-;
2.26 Menimbang, bahwa sejak tanggal 23 November 2015, Terdakwa
Rosidah, SH., sebagai PPAT mengurus pengajuan permohonan balik
nama SHM dari atas nama Saksi Sunarto kepada lebih kurang 476
73

warga Perumahan Reno Joyo sesuai dengan alamat bidang kavling,


berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 24/2009 dari nomor 18/2009
sampai dengan 118/2009 tanggal 26 Februari 2009, sesuai Daftar
Isian (DI) 301 No.63125/2015 Tgl.23-11-2015 yang diterima oleh
Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten Sidoarjo Jarot Widya Muliawan, SH.CN., sebagaimana
tertulis dalam tanggal pencatatan, penghapusan, biaya dan
No.Daft.Pengh., pada masing-masing SHM yang diajukan oleh
Terdakwa Rosidah, SH., sebagai PPAT. Pada tanggal 14 Januari
2015, Saksi Sunarto mengirimkan surat Permohonan Informasi
Peruntukan Lahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong, kepada
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo. Tanggal 4 Desember 2015, pengajuan permohonan
pelayanan mutasi PBB P2 nomor pelayanan 2015.0015.193 dengan
NOP 35.15.040.011.012.0001.0 atas nama Sunarto masih sedang
dalam proses penyelesaian, sesuai surat keterangan Nomor :
973/2483/404.3.15/2015 Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Kabupaten Sidoarjo Djoko Sartono, SH.M.Si..
Pada tanggal 04 Januari 2016, Kepala Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sidoarjo Djoko Sartono,
SH.M.Si., menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan Tahun 2016. Letak Objek Pajak KO Reno Joyo
A-15, RT.000 RW.00 Kedungsolo, Porong, Sidoarjo. Antara lain
kepada nama dan alamat wajib pajak Farida KO Reno Joyo A-15,
RT.000 RW.00 Kedungsolo, Porong, Sidoarjo, kepada warga Reno
Joyo Kedungsolo, Porong, Sidoarjo;
2.27 Menimbang, bahwa sejak tanggal 28 Januari 2016, Saksi Sunarto
mengajukan permohonan Pemecahan/Penggabungan Hak. Bersama
Ekky Tri Hastaryo, SH., dalam hal ini bertindak selaku kuasa dari
Saksi Sunarto mengajukan permohonan Pemecahan/Penggabungan
Hak;
74

2.28 Menimbang, bahwa oleh karena itu terdapat persesuaian dari


rangkaian perbuatan-perbuatan Terdakwa tersebut, Terdakwa
mengetahui adanya tanah TKD Kedungsolo sebelum dibuat akta
pengikatan jual beli dari Sunarto kepada masing masing warga
Renojoyo, khususnya yang diatas tanah kas desa , dapat dibuktikan
dari : 1. pemberitahuan secara lisan dari Saksi Abdul Rochman,
Saksi Saturi, Saksi Masyhudi dan Saksi Basuni, 2. Sertifikat Hak
Milik (SHM) Nomor 90 Desa Kedungsolo. Uraian Batas (Tanah
00654) : Utara : Parit. Timur : Hak Milik No. 91. Selatan : Parit.
Barat : Sawah Desa berikut Peta Gambar Ukur. 3. Terdakwa
meminta dokumen serta site plan kepada REI Pak Susilo dan Saksi
Sunarto waktu REI tidak mampu untuk menyelesaikan balik nama
kepada para warga Renojoyo. Site plan tersebut merupakan lampiran
dari Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor : 188/1027/404.1.3.2/2009
Tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan
Perumahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo Atas Nama PT. Gala Bumi Perkasa tanggal 12 Juni 2009,
yang antara lain mempertimbangkan pada huruf a : Bahwa
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 16 Tahun
2003 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Sidoarjo, lokasi tanah yang dimohon peruntukannya
adalah perumahan; b. Bahwa status tanah yang dimohon untuk
rencana pembangunan Perumahan oleh PT. Gala Bumi Perkasa
adalah Tanah Kas Desa (TKD) dan Gogol SK, yang terletak di Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo dan para
pemilik tanah tidak keberatan melepaskan tanahnya untuk rencana
pembangunan perumahan; MEMUTUSKAN : Menetapkan
KESATU : Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan
Perumahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo Atas Nama PT. GALA BUMIPERKASA. KEDUA :
Pemberian Izin Lokasi dimaksud pada Diktum KESATU seluas ±
75

10.000 M² yang terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong


Kabupaten Sidoarjo (sebagaimana peta terlampir), dengan
ketentuan-ketentuan antara lain sebagai berikut : 1. Perolehan tanah
untuk Tanah Gogol SK harus dilakukan secara langsung antara
pihak-pihak yang berkepentingan melalui pelepasan hak yang
dilaksanakan dengan pembuatan akte pelepasan hak di hadapan
pejabat yang berwenang dengan pemberian ganti kerugian yang
bentuk dan besarnya ditentukan secara musyawarah sebagai dasar
untuk proses Pemberian Hak. 2. Perolehan tanah untuk Tanah Kas
Desa (TKD) harus mengikuti ketentuan dan regulasi yang ada;
2.29 Menimbang, bahwa dengan demikian Terdakwa sesuai kapasitasnya
sebagai orang yang memiliki pengatahuan yang lebih mengetahui
ada tanah kas desa dalam lahan yang diperjualbelikannya padahal
proses pelepasan tanah kas desa tersebut belum dilakukan sesuai
ketentuan yang berlaku. Tapi Terdakwa tetap melanjutkan
perbuatannya untuk Pengikatan Jual Beli (PJB)disertai Kuasa untuk
Menjual (KUM)atas fisik tanah kas desa yang kemudian dibeli oleh
masing masing warga Perumahan Renojoyo seolah-olah tanah
tersebut masuk dalam tanah dari 56 petani dan 112 SHM sesuai
Pengikatan jual beli yang menyebutkan yang dimiliki oleh pihak
pertama Sunarto berdasarkan akta jual beli, yang dibuat dihadapan
saya, selaku pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dengan nomor
berturut-turut : 18/2009 118/2009 tertanggal 26 Februari 2009 .
Selanjutnya Terdakwa melakukan perbuatan pengurusan
penggabungan dan pemecahan sertifikat serta balik nama kepada
para warga Reno Joyo. Tindakan Terdakwa tersebut adalah
dilakukan dengan tujuan sengaja yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai pengetahuan lebih (dolus directus), untuk
menguntungkan orang lain Saksi Sunarto;
2.30 Menimbang, bahwa dengan demikian Nota Pembelaan Pribadi
Terdakwa mengenai : perbuatan yang didakwakan kepada saya
76

bukan merupakan suatu tindak pidana, karena tidak ada niat jahat
saya serta perbuatan pidana yang didakwakan tersebut kehilangan
sifat melawan hukumnya, patut dikesampingkan. Oleh karena niat
Terdakwa, dapat dilihat dari perbuatannya yang nampak secara
obyektif, sebab suatu perbuatan atau tindakan Terdakwa sudah
merupakan bentuk perwujudan (manifetasi)pernyataan kehendak
Terdakwa;
2.31 Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan alat bukti berupa
: bukti surat, keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa,
maka unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi dalam pasal ini sesuai ketentuan pasal 197
ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada


padanya karena jabatan atau kedudukan ;
3.1 Menimbang, bahwa unsur ini juga mengandung sifat alternatif, yaitu
apabila salah satu terpenuhi maka unsur yang lain tidak perlu
dibuktikan;
3.2 Menimbang, bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
“salah” berarti tidak benar, tidak betul, keliru, menyimpang dari
yang seharusnya. “Guna” berarti faedah, manfaat, fungsi.
“Kewenangan” adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk
melakukan sesuatu. “Kesempatan” berarti keleluasaan, peluang
untuk melakukan sesuatu. “Sarana” berarti alat, media, segala
sesuatu yang dapat dipakai dalam mencapai maksud atau tujuan.
“Jabatan” berarti fungsi, pekerjaan (tugas)dalam organisasi atau
pemerintahan. “Kedudukan” berarti tingkatan, martabat, status
dalam melakukan pekerjaan;
3.3 Menimbang, bahwa dengan demikian menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan. Mengandung pengertian : melakukan
77

perbuatan secara keliru atau secara tidak benar atau menyimpang


dari yang seharusnya. Dalam menjalankan fungsi, hak dan
kekuasaan. Dengan adanya keleluasaan atau peluang. Dengan
menggunakan alat, media, atau segala sesuatu yang dapat dipakai
dalam mencapai maksud atau tujuan untuk melakukan sesuatu, yang
dipunyai karena fungsi pekerjaan (tugas) dalam organisasi atau
pemerintahan, sesuai tingkatan, martabat, status dalam melakukan
pekerjaan tersebut;
3.4 Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor : 572
K/Pid/2003, tanggal 12 Februari 2004 halaman 570 dan 572 :
Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa dari segi doktrin hukum
administrasi negara, kewenangan pengambilan kebijaksanaan oleh
pejabat atau diskresioner bukanlah bersifat sebebas-bebasnya tanpa
batas, sebab Hakim masih dapat melakukan penilaian terbatas
(marginale toetsing), terhadap penilaian pelaksanaan diskresioner
tersebut, yaitu penilaian apakah ada penyalahgunaan wewenang
(abuse of power) atau kesewenangwenangan (willekeuir) pada diri
pejabat yang bersangkutan, pada waktu melaksanakan kewenangan
diskresioner tersebut. Justru dalam pemeriksaan perkara inilah akan
dibuktikan apakah ada sifat penyalahgunaan wewenang atau
kesewenang-wenangan diskresionernya, sehingga kalau memang
ada maka perbuatannya menjadi tidak legal dan karenanya bersifat
melawan hukum. Perbuatan “menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan”, merupakan salah satu bentuk atau wujud dari perbuatan
melawan hukum baik formil maupun materil, maka dengan tidak
terbuktinya unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, hal
tersebut berarti bahwa unsur melawan hukum tidak terbukti,
demikian sebaliknya;
78

3.5 Menimbang, bahwa dalam diri Terdakwa sesuai kapasitas dan


kualitasnya mempunyai kemampuan untuk membeda-bedakan,
menentukan dan memilih mana perbuatan yang baik dan buruk
(Putusan Mahkamah Agung Nomor : 42/K/PID/2009, tanggal 18
Agutus 2010). Selain itu Terdakwa dalam kedudukannya harus
sudah mengetahui dan patut harus menduga, perbuatannya
harus/wajib memenuhi undang-undang atau tidak melanggar
undang-undang. Akan tetapi perbuatan Terdakwa yang menciptakan
keadaan atau kejadian yang mempunyai sifat melawan hukum,
menjadi titik awal bahkan kemudian meluas serta masuk kewilayah
perbuatan pidana Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan
timbulnya kerugian Negara. Terdakwa dapat diminta
pertanggungjawaban menurut hukum pidana (Putusan Mahkamah
Agung Nomor : 1144/K/PID/2006, tanggal 13 September 2007,
halaman 163, 166 dan 166 c.1)jo Pasal 7 jo 8 Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 jo Pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung jo UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 jo SEMA Nomor 07 Tahun 2012 jo SEMA Nomor 04
Tahun 2014 jo Hasil Rumusan Rapat Kamar Pidana Mahkamah
Agung, tanggal 8 s/d 10 Maret 2012 huruf C angka 10 pendapat ke-
1 : Sekalipun modus operandinya masuk wilayah peraturan
perundangan lain, akan tetapi bila unsur-unsur pasal tindak pidana
korupsi telah terpenuhi, maka UU Tipikor dapat diterapkan;
3.6 Menimbang, bahwa dalam kasus perkara tindak pidana korupsi di
dalam menganalisis hukum, haruslah dilakukan secara proporsional
dan bobot pembahasannya tidak lebih didominasi pada aspek hukum
perdata atau administrasi, memang benar perbuatan yang dilakukan
Terdakwa bertitik berat pada aspek administrasi atau perjanjian yang
berada didalam ranah hukum administrasi atau perdata. Akan tetapi
79

hal tersebut bukanlah satu-satunya obyek pembahasan, tetapi


hanyalah merupakan bahagian dari sebuah obyek pembahasan, oleh
karena itu seharusnya memberikan porsi yang lebih besar pada aspek
hukum pidana (Tipikor)didalam proses peradilan pidana perkara
tindak pidana korupsi, sehingga tidak keluar dari tracknya, yaitu
menitik beratkan pada ranah hukum pidana dalam hal ini tindak
pidana korupsi (Putusan Mahkamah Agung Nomor :
1144/K/PID/2006, tanggal 13 September 2007, hlm. 161-162) ;
3.7 Menimbang, bahwa “menyalahgunakan wewenang, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
mengandung tindak pidana apabila : a. Terdakwa dengan sengaja
salah di dalam menafsirkan struktur dan sistem hukum tentang tata
kelola, tata usaha, tata laksana, tata kerja, cara kerja atau alat kerja
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dan menggunakan
kesalahan tersebut untuk melaksanakan pekerjaan. Sehingga dapat
mengakibatkan perbuatan, keadaan atau kejadian yang dilarang oleh
hukum. b. Terdakwa dengan sengaja melaksanakan pekerjaan
dengan memanfaatkan adanya kekosongan atau kelemahan struktur
dan sistem hukum tentang tata kelola, tata usaha, tata laksana, tata
kerja, cara kerja atau alat kerja yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan. Sehingga dapat mengakibatkan perbuatan, keadaan atau
kejadian yang dilarang oleh hukum. Menyimpang dari tujuan semula
diberikannya wewenang;
3.8 Menimbang, bahwa sesuai fakta-fakta hukum tersebut diatas
terdapat perbuatan, kejadian dan keadaan Terdakwa karena jabatan
atau kedudukannya, sebagai Notaris/PPAT, mempunyai wewenang,
kewajiban dan larangan sesuai :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
tentang jabatan Notaris, Pasal 15 Ayat (1) : Notaris
berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
80

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki


oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang Undang. (2)Notaris
berwenang pula : mengesahkan tandatangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat dibawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat
copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan
kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; e. memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f.
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; g.
membuat akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
tentang jabatan Notaris, antara lain mempunyai kewajiban
sesuai Pasal 16 Ayat (1)sebagai berikut : a. bertindak jujur,
saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat akta
dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris; c. mengeluarkan Grosse Akta,
Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
81

Penjelasan huruf d : Yang dimaksud dengan alasan untuk


menolaknya adalah alasan yang mengakibatkan Notaris tidak
berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda
dengan Notaris atau dengan suami/isterinya sendiri, salah
satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk
melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan
oleh undang-undang;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 Jo. Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 dalam
ketentuan itu Akta yang dibuat oleh PPAT dijadikan dasar
untuk melakukan perubahan data pendaftaran tanah yaitu
peralihan pencatatan artinya dicatat dalam daftar umum di
kantor pertanahan baru mengikat kepada pihak ketiga.
Apabila terjadi perlaihan hak atas TKD, sesuai Pasal 39 ayat
(1) huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 39 ayat (1)
: PPAT menolak untuk membuat akta jika : b. mengenai
bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan : 1) surat bukti hak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam pasal 24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang
menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum
bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang
terletak didaerah yang jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. salah satu
atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 tidak berhak atau memenuhi syarat untuk
82

bertindak demikian; atau d. salah satu atau para pihak


bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada
hakikatnya berisikan perbuatan hukum memindahkan hak;
atau e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum
memperoleh ijin Pejabat atau instansi yang berwenang,
apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 39 ayat (1) huruf d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah tersebut tidak termasuk
yang dicabut berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2015 Tentang
Pencabutan Perundang-undangan Mengenai Pertanahan;
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 97 yang pada intinya
mengatur sebagai berikut ini : Persiapan Pembuatan Akta :
(1)Sebelum melaksanakan pembuatan akta terkait
pemindahan dan atau pembebanan hak atas tanah, wajib
terlebih dahulu melakukan pemeriksaan mengenai
kesesuaian sertipikat hak atas tanah dengan daftar-daftar
yang ada di Kantor Pertanahan dengan memperlihatkan
sertipikat asli. (2)Pemeriksaan sertipikat dilakukan untuk
setiap pembuatan akta oleh PPAT. (3)Apabila sertipikat
“sesuai” dengan daftar-daftar yang ada di kantor Pertanahan,
maka Kepala Kantor Pertanahan/Pejabat yang ditunjuk
membubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat : Telah
diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan. Jika
cheking ini dilakukan oleh PPAT, maka akan dapat diketahui
batas-batas tanah secara pastinya termasuk keberadaan
Tanah Kas Desa, yang pastinya pula tidak akan dikeluarkan
83

SKPT oleh kantor pertanahan. Jika tanah yang akan dibeli


terdapat permasalahan, akan berujung pada jaminan
kelancaran proses balik nama di kantor pertanahan setempat.
Dalam hal lain demikian PPAT wajib nenolak membuatkan
akta IJB/PPJB atas dasar Pasal 16 ayat (1) huruf e, khususnya
di Bagian Penjelasannya : Notaris wajib memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya, karena ada hal lain
yang tidak dibolehkan oleh undang-undang;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007
Tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, tanggal 31
Januari 2007, diatur : Kekayaan desa yang berupa tanah desa
/ TKD tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak
kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk
kepentingan umum. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa/
TKD dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai dengan
harga yang menguntungkan desa dengan memperhatikan
harga pasar dan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Penggantian
ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah
lain yang lebih baik dan berlokasi di desa setempat.
Pelepasan hak kepemilikan tanah desa/ TKD ditetapkan
dengan Keputusan Kepala Desa. Keputusan Kepala Desa
sebagaimana tersebut di atas, diterbitkan setelah mendapat
persetujuan BPD, mendapat ijin tertulis dari Bupati/
Walikota dan Gubernur;
6. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 143/850/PMD, yang
ditandatangani oleh Ayip Muflich Direktur Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Ditujukan kepada : 1.
Gubernur Jawa Timur 2. Bupati Sidoarjo, dengan tembusan
kepada : 1. Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan). 2. Ketua
DPRD Provinsi Jawa Timur di Surabaya. 3. Ketua DPRD
84

Kabupaten Sidoarjo di Sidoarjo. 4. Kepala Bawasda Provinsi


Jawa Timur di Surabaya. 5. Kepala Biro Tapem Provinsi
Jawa Timur di Surabaya. 6. Kepala Bawasda Kabupaten di
Sidoarjo. 7. Kepala Badan/Dinas PMD dan Kabag.
Pemerintahan Desa Kabupaten Sidoarjo. Isi surat
diberitahukan hal-hal sebagai berikut angka 1 : pada
prinsipnya tidak keberatan tanah kas desa dilepas, untuk
kepentingan relokasi perumahan penduduk, khususnya yang
terkena bencana lumpur Lapindo yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana fasilitas umum. Angka 2 : prosedur
pelepasan tanah kas desa sebagaimana dimaksud pada angka
1, harus sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Kekayaan Desa, yaitu : a. Pelepasan tanah kas
desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa setelah
mendapat persetujuan BPD dan izin tertulis dari Bupati dan
Gubernur Jawa Timur. b. harga ganti rugi tanah kas desa
harus menguntungkan desa dengan memperhatikan harga
pasar dan nilai jual obyek pajak (NJOP). c. Hasil Ganti Rugi
berupa uang dalam tenggang waktu yang cukup diupayakan
semaksimal mungkin untuk pengadaan tanah yang lebih baik
dan berlokasi di desa yang bersangkutan. d. Dalam hal yang
tersebut pada huruf c tidak terpenuhi, tanah pengganti dapat
diusahakan di Desa yang berdekatan, tetapi melalui proses
musyawarah dan mendapat persetujuan BPD bagi desa yang
memerlukan tanah pengganti. Angka 3. Berdasarkan
ketentuan tersebut agar terlebih dahulu dilakukan pendataan
mengenai lokasi dan jumlah tanah kas desa yang terkena
Lumpur Lapindo, lokasi dan jumlah tanah kas desa yang
akan dipergunakan untuk relokasi perumahan penduduk
yang terkena bencana Lumpur Lapindo yang dilengkapi
85

dengan prasarana dan sarana fasilitas umum. Angka 4. Pada


waktu mengajukan izin pelepasan tanah kas desa kepada
Gubernur Jawa Timur, data pelepasan tanah kas desa
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a,b dan huruf c
serta angka 3 harus dilampirkan dan tembusanya
disampaikan kepada Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa;
7. Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
593/1304/SJ Perihal Pelepasan Tanah Kas Desa di
Kabupaten Sidoarjo, ditujukan kepada : 1. Gubernur Jawa
Timur 2. Bupati Sidoarjo. Disampaikan hal-hal sebagai
berikut : 1. Bahwa pembangunan relokasi pemukiman
sebagai akibat Lumpur Lapindo beserta seluruh prasarana
pendukungnya yang menggunakan Tanah Kas Desa seluas
118,5 Ha yang terletak di 14 Desa Kecamatan Sukodono,
Kecamatan Taman, dan Kecamatan Krian, serta
pembangunan jalan Tol yang juga menggunakan Tanah Kas
Desa seluas 14,60 Ha yang terletak di 8 Desa pada
Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin, dan
Kecamatan Jabon pada prinsipnya dapat dilaksanakan. 2.
Terhadap Tanah Pengganti Tanah Kas Desa, berhubungan
Tanah yang tersedia di Desa Induk sangat terbatas, maka
dapat diganti pada Desa/Kecamatan lain dalam wilayah
Kabupaten Sidoarjo. Dalam penetapan tanah pengganti
Tanah Kas Desa tersebut agar memperhatikan : a. Tanah
pengganti luasnya sama atau lebih. b. Tanah pertanian yang
produktif. c. Tanah pengganti dapat memberikan pendapatan
bagi Desa. 3. Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan Tukar
Guling Tanah Kas Desa tersebut mempedomani hal-hal
sebagai berikut : a. Segera melakukan langkah-langkah
kongkrit bagi penetapan tanah pengganti; b. Menyelesaikan
86

Administrasi penyerahan Tanah Kas Desa yang digunakan


untuk pembangunan dengan Berita Acara; c. Melakukan
proses sertifikasi tanah pengganti tersebut menjadi milik
Desa; d. Selambat-lambatnya 8 (delapan) bulan seluruh
proses Administrasi penyerahan Tanah Kas Desa, tanah
pengganti Tanah Kas Desa dan sertifikasinya telah
terselesaikan; Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor :
188/1027/404.1.3.2/2009 Tentang Pemberian Izin Lokasi
Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan di Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Atas
Nama PT. Gala Bumi Perkasa tanggal 12 Juni 2009, yang
antara lain mempertimbangkan pada huruf a : Bahwa
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor
16 Tahun 2003 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Sidoarjo, lokasi tanah yang dimohon
peruntukannya adalah perumahan; b. Bahwa status tanah
yang dimohon untuk rencana pembangunan Perumahan oleh
PT. Gala Bumi Perkasa adalah Tanah Kas Desa (TKD) dan
Gogol SK, yang terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo dan para pemilik tanah tidak
keberatan melepaskan tanahnya untuk rencana pembangunan
perumahan; MEMUTUSKAN : Menetapkan KESATU :
Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan
Perumahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT. GALA
BUMIPERKASA. KEDUA : Pemberian Izin Lokasi
dimaksud pada Diktum KESATU seluas ± 10.000 M² yang
terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo (sebagaimana peta terlampir), dengan ketentuan-
ketentuan antara lain sebagai berikut : 1. Perolehan tanah
untuk Tanah Gogol SK harus dilakukan secara langsung
87

antara pihak-pihak yang berkepentingan melalui pelepasan


hak yang dilaksanakan dengan pembuatan akte pelepasan
hak di hadapan pejabat yang berwenang dengan pemberian
ganti kerugian yang bentuk dan besarnya ditentukan secara
musyawarah sebagai dasar untuk proses Pemberian Hak. 2.
Perolehan tanah untuk Tanah Kas Desa (TKD) harus
mengikuti ketentuan dan regulasi yang ada;
3.9 Menimbang, bahwa dari perbuatan Terdakwa selaku Notaris/PPAT
tersebut, menyimpang dari diberikannya kewenangan, kewajiban
dan larangan Terdakwa selaku Notaris/PPAT, sebagaimana diatur
dalam peraturan tersebut diatas, yang pada pokoknya sebagai
Notaris Terdakwa harus bertindak secara seksama dan memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Jabatan
Notaris, kecuali ada alasan untuk menolaknya karena terdapat hal
lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang, yaitu tanah TKD
diperjualbelikan. Selain itu Terdakwa sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) telah menyimpang dari larangan untuk membuat akta
tanah dimana : salah satu atau para pihak yang akan melakukan
perbuatan hukum, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian karena obyek tanah merupakan tanah TKD yang
tidak dapat diperjualbelikan. Terdakwa selaku PPAT tidak menolak
membuatkan akta yang pada pokoknya menerangkan : salah satu
atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang
pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum mengalihkan hak.
Perbuatan hukum yang akan mengalihkan hak atas tanah tersebut
belum memperoleh ijin dari Badan Permusyawaratan Desa
(BPD)Kedungsolo, ijin dari Bupati Sidoarjo dan Ijin dari Gubernur
Jawa Timur sebagai Pejabat yang berwenang, dimana izin tersebut
diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu Permendagri Nomor 04 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Pengelolaan Kekayaan Desa jo Surat Keputusan Bupati Sidoarjo
88

Nomor : 188/1027/404.1.3.2/2009 Tentang Pemberian Izin Lokasi


Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan di Desa Kedungsolo
Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT. Gala Bumi
Perkasa;
3.10 Menimbang, bahwa penyimpangan tersebut terjadi karena adanya
penyesatan (misrepresentation), penyelundupan hukum,
penyembunyian kenyataan (concealment of facts), akal-akalan
(subterfuge) dan pengelakan peraturan (illegal
circumvention)(Muladi, SH., dan Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Penerbit
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, September 2013, hlm. 47
dan 65), dengan menjadikan batas-batas tanah pada Akte Jual Beli
atas 112 SHM dari 56 petani kepada Saksi Sunarto, sebagai batas-
batas tanah yang dituangkan dalam Pengikatan Jual Beli (PJB) dan
Kuasa untuk Menjual (KUM). Senyatanya batas-batas tanah kavling
tersebut terletak diatas tanah TKD Blok Kretek dan Blok Waru
Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo. Dengan dilakukan
Pengikatan Jual Beli (PJB) dan Kuasa Untuk Menjual (KUM) dari
Saksi Sunarto kepada warga Renojoyo tersebut, maka PJB dan KUM
yang tidak dinyatakan batal demi hukum atau dibatalkan oleh suatu
putusan pengadilan tersebut, sebagai akta otentik dijadikan dasar
oleh warga Renojoyo untuk menguasai tanah dan membangun
rumah, mengajukan penerbitan SPPT PBB, yang diurus oleh
Terdakwa. Oleh Terdakwa (termasuk juga melalui Ekky Tri
Hastaryo, SH.), bidang-bidang tanah kavling tersebut tetap
dimohonkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo untuk balik
nama dari atas nama Saksi Sunarto kepada masingmasing warga
Renojoyo pemilik kavling bidang tanah eks TKD. Sehingga balik
nama 112 SHM tersebut tidak dapat diproses, khususnya hingga
sekarang tidak dapat diterbitkan SHM atas nama warga Renojoyo
yang terletak diatas tanah TKD Blok Watu dan Kretek Dusun
89

Kedungkampil Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten


Sidoarjo;
3.11 Menimbang, bahwa didalam batas-batas tanah yang dimuat dalam
112 SHM dan KUM tersebut terdapat antara lain SHM Nomor 90
Desa Kedungsolo. Gambar Situasi Tanggal 31 Agustus 1981 Nomor
2900/1981. Uraian Batas (Tanah 00654) : Utara : Parit. Timur : Hak
Milik No. 91. Selatan : Parit. Barat : Sawah Desa. Dengan Riwayat
asal usul tanah : Nama Pemegang Hak Parto Tahal dengan peralihan
hak atas tanah karena Warisan dengan tanggal pencatatan pada
tanggal 15 Februari 1983 kepada ahli waris Makyum, Selar,
Riduwan, Muapah, dan Muanah. Peralihan hak atas tanah karena jual
beli dengan tanggal pencatatan 6 September 1994 kepada Fatoni.
Peralihan hak atas tanah karena jual beli dengan pencatatan pada
tanggal 10 Juli 2009 kepada Sunarto. Peralihan hak atas tanah karena
jual beli dengan pencatatan pada tanggal 23 November 2015 kepada
Sunarto. Keadaan tersebut sesuai dengan keterangan Saksi Abdul
Syakur, yang memilik tanah 4 are berdasarkan alas hak SHM di
Dusun Kedungkampil dengan batas-batas : sebelah selatan sungai,
sebelah utara sungai kali kanal, sebelah timur jalan, sebelah barat
ada batas tanah lain tanah ganjaran milik desa;
3.12 Menimbang, bahwa dengan demikian Nota Pembelaan Pribadi
Terdakwa mengenai kewenangan Terdakwa sebagai Notaris/PPAT
sebatas menuangkan keterangan para pihak ke dalam akte notariil
dan Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa sebatas kebenaran
formal, patut dikesampingkan karena kondisi tersebut bukan tanpa
syarat, sebab disertai dengan batasan-batasan oleh peraturan
perundang-undangan berupa : harus bertindak seksama, dapat
menolak untuk membuatkan akta jika terdapat hal lain yang tidak
dibolehkan oleh undang-undang, Misalnya : jika salah satu atau para
pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan
tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian,
90

salah satu atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum
memindahkan hak, untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan
belum memperoleh ijin Pejabat atau instansi yang berwenang,
apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku. Dengan kata lain jabatan
Terdakwa sebagai Notaris/PPAT sudah dibatasi secara formal, akan
tetapi senyatanya Terdakwa tetap melakukan perbuatan yang telah
diatur secara formal tersebut, sehingga memasuki wilayah tindak
pidana korupsi;
3.13 Menimbang, bahwa dengan demikian Nota Pembelaan Pribadi
Terdakwa mengenai perbuatan pidana kehilangan sifat melawan
hukumnya karena : (1) Kepentingan umum atau masyarakat
terlayani; (2) Terdakwa tidak mendapat keuntungan (3). Negara
tidak dirugikan, patut dikesampingkan karena hal tersebut sudah
direvisi sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun
2012 huruf B angka 4 : Mengenai alasan pemaaf dan pembenar
diluar ketentuan undang-undang. Pada prinsipnya tidak dibenarkan
alasan pemaaf dan pembenar diluar ketentuan undang-undang.
Alasan pembenar dan pemaaf sudah merupakan asas yang diatur
dalam KUHP (kembali kepada asas);
3.14 Menimbang, bahwa dengan demikian Nota Pembelaan Pribadi
Terdakwa maupun Penasehat Hukum Terdakwa mengenai agar
Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, karena merupakan
wilayah hukum perdata. Patut dikesampingkan karena sesuai Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 : huruf A angka 8 :
dalam hal terjadi tindak pidana/korupsi yang ada kaitannya dengan
perkara yang sedang diperiksa secara perdata, maka putusan Perdata
tidak mengikat sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1956 : Pengadilan dalam pemeriksaan
perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam
91

pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu


hak perdata tadi;
3.15 Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan alat bukti berupa
: bukti surat, keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa,
maka unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam pasal ini,
sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;

4. Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;


4.1 Menimbang, bahwa unsur ini merupakan pilihan atau alternatif,
sehingga Majelis Hakim cukup membuktikan salah satunya saja.
Apabila salah satunya terpenuhi dan terbukti maka unsur pasal ini
dapat melengkapi unsur pasal lainnya, dan Majelis Hakim tidak
perlu membuktikan yang lainnya ;
4.2 Menimbang, bahwa dalam Penjelasan Umum Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, yang dipisahkan atau
yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (a) berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara baik di tingkat pusat maupun di daerah ; (b) berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat/lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan
Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara ;
4.3 Menimbang, bahwa pasal 1 angka 1 jo pasal 2 Undang-undang
Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan
92

“keuangan negara” adalah semua hak dan kewajiban negara yang


dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut meliputi : a. hak
Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban Negara untuk
menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan
membayar tagihan pihak ketiga; c. penerimaan Negara; d.
pengeluaran Negara, e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah; g.
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah; h. kekayaan
pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah ;
4.4 Menimbang, bahwa dalam pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, ditentukan bahwa
kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai;
4.5 Menimbang, bahwa kerugian keuangan negara dapat terjadi antara
lain karena : 1. pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau
barang, yang seharusnya tidak dikeluarkan. 2. pengeluaran kekayaan
negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih besar dari yang
seharusnya menurut kriteria yang berlaku. 3. hilangnya kekayaan
negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya diterima
termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu atau barang
fiktif. 4. penerimaan kekayaan negara dapat berupa uang atau
barang, yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya
93

diterima, termasuk diantaranya penerimaan barang rusak atau


kualitas tidak sesuai dengan spesifikasi/kriteria. 5. timbulnya
kewajiban negara yang seharusnya tidak ada. 6. timbulnya
kewajiban yang lebih besar dari yang seharusnya. 7. hilangnya suatu
hak negara yang seharusnya dimiliki. 8. hak negara lebih kecil dari
yang seharusnya diterima (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
62/PUU-XI/2013, hari Kamis tanggal 18 September 2014, hlm. 211-
212);
4.6 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara
adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan azas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
masyarakat ;
4.7 Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUUXIV/2016 tanggal 8 Desember 2016, unsur merugikan
keuangan Negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential
loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata
(actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi;
4.8 Menimbang, bahwa sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
4 Tahun 2016 tanggal 9 Desember 2016 huruf A angka 6 : Instansi
yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara adalah
Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan
konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat
Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit
pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan
atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal
94

tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya


kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara;
4.9 Menimbang, bahwa dengan demikian BPK secara atributif
konstitusional berwenang melakukan penghitungan dan menyatakan
atau mendeclare adanya kerugian keuangan Negara, berupa
pendapat atau opini auditor Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP)(unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian
(WDP)(qualified opinion), Tidak Wajar (TW) (adversed opinion),
dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) (disclaimer of opinion).
Walaupun hasil audit terutama audit regular mencapai standar opini
WTP secara administratif, akan tetapi didalamnya secara materiil
dapat mengandung tindak pidana. Oleh karena itu Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/Inspektorat/Satuan Kerja
Perangkat Daerah secara delegatif tetap berwenang melakukan
pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara, walau tidak
berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan
Negara, dalam arti menyatakan atau mengumumkan opini auditor
berupa WTP, WDP, TW atau TMP. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 186 KUHAP jo Pasal 179 KUHAP jo Pasal 197 ayat (1) huruf
h KUHAP, yang berwenang menyatakan terpenuhi adanya kerugian
negara sesuai KUHAP adalah Majelis Hakim. Dalam hal tertentu
secara delegatif berdasarkan Pasal 7 jo Pasal 8 = Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan jo Pasal 79 UU Nomor : 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5
Tahun 2004 jo UU Nomor : 3 Tahun 2009 jo Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 huruf A angka 6 : Hakim
berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian
Negara dan besarnya kerugian Negara. Selain itu sesuai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 8
Desember 2016, unsur merugikan keuangan Negara harus dipahami
benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat
95

diterapkan dalam tindak pidana korupsi. Dalam perkara ini tukar


guling atau pergeseran antara tanah TKD Kedungsolo yang berlokasi
di Blok Waru dan Blok Kretek Dusun Kedungkampil Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo dengan calon
tanah pengganti TKD sebagaimana 22 SHM atas nama Sunarto dan
telah disita oleh Kejaksaan Negeri Sidoarjo, belum pernah dibalik
nama menjadi atas nama tanah kas desa Kedungsolo, sehingga telah
terjadi perbuatan yang telah selesai dilakukan secara penuh atau
sempurna (voltoid). Karena Tanah Kas Desa Kedungsolo telah
beralih fungsi menjadi Perumahan yang dikuasai Pembeli tanah dan
bangunan di atas tanah TKD sehingga tanah tersebut tidak dapat
dimanfaatkan sebagaimana mestinya yaitu Para Perangkat Desa
tidak lagi menerima penghasilan atas tanah kas desa. Dengan
demikian Pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa yang berkaitan
dengan kerugian Negara dan kewenangan menghitung kerugian
Negara hanya pada BPK patut dikesampingkan;
4.10 Menimbang, bahwa sesuai fakta hukum tersebut diatas terdapat
perbuatan, keadaan dan kejadian Terdakwa, sesuai keterangan Ahli
Suyitno, SH. MSi, sebagai Pegawai Negeri di Kantor Inspektorat
Kabupaten Sidoarjo, berdasarkan Surat Tugas Nomor :
800/122/404.4/2017, selaku Pengendali Tekhnis, yang
melaksanakan audit perhitungan kerugian keuangan negara dalam
perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Pelepasan Tanah Kas Desa
Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo seluas sekitar
2,8 Ha yang digunakan Perumahan tanpa ada pelepasan dari
Pemerintah Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo. Terdapat temuan dimana Saksi Sunarto menjual Tanah Kas
Desa (TKD)lokasi di Blok Waru dan Blok Kretek Dusun
Kedungkampil Desa Kedungsolo seluas 28.834 m kepada pihak eks
warga Desa Renokenongo korban lumpur Lapindo secara pribadi
tidak sesuai prosedur Permendagri Nomor : 4 Tahun 2007, karena
96

hanya dilakukan di tingkat Pemerintah Desa oleh Kepala Desa, tanpa


Ijin tertulis dari Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jawa Timur.
Akibatnya terjadi Kerugian Negara cq. Pemerintah Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Rp.
5.766.800.000,00 (lima miliar tujuh ratus enampuluh enam juta
delapan ratus ribu rupiah). Dalam melakukan penghitungan tersebut
Ahli Suyitno, SH. MSi, sesuai dengan keterangan Ahli Susanto,
S.SiT serta menggunakan penilaian yang didapatkan dari Ahli Irfan
Yusa, SE Appraisal dari Kantor Toto Suharto & Rekan Business &
Property Valuation;
4.11 Menimbang, bahwa oleh karena itu maka unsur “yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam
pasal ini serta sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP,
telah terpenuhi;

5. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut


melakukan perbuatan itu ;
5.1 Menimbang, bahwa di dalam suatu tindak pidana yang mengandung
“pengambilan bagian” atau “penyertaan” khususnya kaitannya
dalam perkara ini adalah penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
yang telah terumus secara jelas dan tegas tentang “kualitas
keikutsertaan Terdakwa” atau “kualifikasi bentuk penyertaan” yang
disesuaikan dengan perbuatan atau peranan Terdakwa di dalam
mewujudkan suatu tindak pidana, berupa yang melakukan, yang
menyuruh melakukan yaitu orang yang , yang turut serta melakukan;
5.2 Menimbang, bahwa penyertaan (deelneming aan strafbare feiten)
berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain
melakukan suatu tindak pidana. Dalam tindak pidana korupsi yang
pada umumnya dilakukan secara sistematis, terstruktur dan meluas,
peran seseorang atau lebih saling kait mengkait;
97

5.3 Menimbang, bahwa mereka yang turut serta melakukan adalah


mereka yang bersama-sama dengan sengaja melakukan tindak
pidana. Dalam pelaksanaan tindak pidana itu yang paling utama
adalah adanya kerja sama yang erat di antara mereka itu, sehingga
tiap-tiap peserta tidak harus melakukan perbuatan-perbuatan
pelaksanaan;
5.4 Menimbang, bahwa kerja sama dilakukan secara sadar dengan
mengetahui (weten) tindakannya mempunyai sifat dilarang oleh
hukum, akan tetapi Terdakwa tetap menghendaki (willens)
tindakannya diwujudkan. Kesengajaan (opzet) dapat dinilai karena
Terdakwa memang menghendaki dan mengetahui (met willens en
wetens), perbuatan itu dilarang tetapi tetap dilakukannya (Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 572 K/Pid/2003 pada hari Kamis
tanggal 12 Februari 2004 halaman 571). Tindakan yang diwujudkan
tersebut harus berkaitan bagian per bagian, jika kerja sama bagian
per bagian itu tidak ada maka tindak pidana tidak dapat diwujudkan;
5.5 Menimbang, bahwa tiap orang yang dikualifikasikan sebagai turut
serta melakukan tindak pidana, tidak harus memenuhi seluruh unsur
rumusan tindak pidana. Ada semacam pembagian kerja dengan
tanggung jawab yang dibebankan kepada kelompok secara bersama-
sama. Seorang yang turut serta tidak diisyaratkan untuk secara tuntas
memenuhi semua unsur rumusan tindak pidana, terlebih lagi sifat
delik dalam pasal ini adalah delik formil, dengan demikian
pertanggungjawaban pidananya sama dengan orang yang
melakukan. Hal ini terjadi karena sistem pertanggungjawaban dalam
hukum pidana menganut paham setiap orang yang terlibat bersama-
sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan
dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian
melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan
yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya;
98

5.6 Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7


Maret 2012 Nomor 2547 K/PID.SUS/2011 halaman 234-236,
dinyatakan : dalam perbuatan yang dilakukan dalam kelompok
secara bersama-sama dengan telah terjadinya penyerahan sejumlah
uang, oleh salah seorang dari bagian dari kelompok tersebut. Serta
dari pihak penerima telah ada salah seorang dari bagian kelompok
tersebut yang menerima, dalam perkara ini maka perbuatan tersebut
telah selesai dilakukan. Dalam penyertaan perbuatan tersebut
haruslah dipandang sebagai perbuatan dalam kelompok secara
bersama-sama, yang memperlihatkan kerjasama yang erat. Tanpa
peran Terdakwa tidak akan mungkin perbuatan tersebut terwujud.
Tanpa perlu terdakwapun menggerakan anggota kelompok yang lain
karena telah terjadi kerjasama yang erat yang cukup diketahui oleh
masing-masing anggota kelompok termasuk Terdakwa, berupa
kesepakatan diam-diam yang saling mengetahui mereka
bekerjasama. Tidak perlu kesepakatan itu diperjanjikan terlebih
dahulu baik secara lisan ataupun tertulis, karena kejahatan tidak akan
diperjanjian secara lisan maupun tertulis (Putusan Mahkamah
Agung RI tanggal 7 Maret 2012 Nomor 2547 K/PID.SUS/2011,
halaman 233);
5.7 Menimbang, bahwa dengan demikian terjadinya perbuatan
Terdakwa dalam perkara ini tidak dapat dilakukan tanpa peran dari
Saksi Sunarto, karena terdapat kerjasama yang sangat erat antara
satu dengan yang lainnya dengan niat dan tujuan yang sama, untuk
saling melengkapi melakukan perbuatan atau tindakan dalam
mewujudkan terjadinya ikatan jual beli;
5.8 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah
terbukti bahwa tindakan terdakwa tersebut dilakukan lebih dari satu
orang dan dengan tujuan yang sama yaitu untuk terwujudnya
pengikatan jual beli tanah dan kuasa untuk menjual agar terjadi
peralihan hak atas tanah yang mencakup pula tanah kas desa (TKD);
99

5.9 Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “mereka melakukan,


yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan
itu”, dalam pasal ini serta sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf
h KUHAP, telah terpenuhi;
5.10 Menimbang, bahwa mengenai pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, Majelis Hakim akan
berpedoman pada Pasal 7 jo Pasal 8 Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
jo Pasal 79 UU Nomor : 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5 Tahun 2004
jo UU Nomor : 3 Tahun 2009 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor
5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam
Tindak Pidana Korupsi tanggal 31 Desember 2014 :
1. Pasal 1 : Dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah
kerugian negara yang diakibatkan;
2. Pasal 2 : Hasil korupsi yang telah disita terlebih dahulu oleh
penyidik harus diperhitungkan dalam menentukan jumlah
uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana;
3. Pasal 4 ayat (1) : Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan
secara bersamasama dan diadili secara berbarengan, pidana
tambahan uang pengganti tidak dapat dijatuhkan secara
tanggung renteng;
4. Pasal 4 ayat (2) : Apabila harta benda yang diperoleh masing-
masing terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya,
uang pengganti dapat dijatuhkan secara proporsional dan
obyektif sesuai dengan peran masing-masing terdakwa
dalam tindak pidana korupsi yang dilakukannya;
100

5. Pasal 5 : Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak


pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah
dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti tetap dapat
dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain
tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak
pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak
pidana pencucian uang;
6. Pasal 6 : Uang pengganti hanya dapat dijatuhkan terhadap
terdakwa dalam perkara yang bersangkutan;
5.11 Menimbang, bahwa sesuai fakta-fakta hukum, dari kerugian
keuangan Negara cq Pemerintah Desa Kedungsolo Kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo yang dinilai dengan uang sejumlah Rp.
5.766.800.000,00 (lima miliar tujuh ratus enampuluh enam juta
delapan ratus ribu rupiah), diperoleh Saksi Sunarto dan bersedia
mengembalikan tanah seluas 29.890 M2 disebelah barat tanah milik
petani, atas nama Sunarto, yang diperoleh dari perkara ini, terdiri
dari 22 (dua puluh dua) bidang tanah dengan pemilik asal :
Nomor
Nomor Sertipikat Letak Tanah Atas Nama
Urut
1 M.96 Desa Kedung Solo RABAWI

2 M.97 Desa Kedung Solo SALEKAH

3 M.98 Desa Kedung Solo KASNAWI

PANUJI bin
4 M.772 Desa Kedung Solo
KURNIAWAN

5 M.749 Desa Kedung Solo MAKHRUF

6 M.100 Desa Kedung Solo MUNALI

7 M.101 Desa Kedung Solo SAMANAH

8 M.102 Desa Kedung Solo ATIM bin SANAPUN


101

9 M.103 Desa Kedung Solo NASIKAN

10 M.104 Desa Kedung Solo MADRALI

11 M.105 Desa Kedung Solo KEMAD

12 M.106 Desa Kedung Solo BOK DULKASAN

13 M.107 Desa Kedung Solo UMI KALSUM

14 M.90 Desa Kedung Solo PARTO TAHAL

15 M.91 Desa Kedung Solo HARSONO

16 M.92 Desa Kedung Solo SUHADAK

17 M.93 Desa Kedung Solo BAKIR

18 M.94 Desa Kedung Solo RUKAYAH

19 M.95 Desa Kedung Solo SIRAP

20 M.101 Desa Kedung Solo Sertipikat Hilang

21 M.108 Desa Kedung Solo Sertipikat Hilang

22 M.99 Desa Kedung Solo Sertipikat Hilang

5.12 Menimbang, bahwa tanah calon pengganti Tanah Kas Desa (TKD)
Kedungsolo tersebut oleh Ahli Irfan Yusa, SE., berdasarkan surat
dari Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Nomor : 745 / O.5.30 / Fd.1
/ 1 / 2017 Perihal : Permintaan Appraisal yang ditujukan kepada
Kepala Kantor KJPP Toto Suharto dan Rekan, telah dihitung
dibandingkan dengan nilai Aset Tanah Kas Desa (TKD) Kedungsolo
Kecamatan Porong pada waktu Ahli melaksanakan tugas penilaian,
dengan luas tanah 28.834 m2 sejumlah Rp 5.766.800.000,00 (Lima
miliar tujuh ratus enampuluh enam juta delapan ratus ribu rupiah).
Nilai pengganti Tanah Kas Desa (TKD) Kedungsolo Kecamatan
102

Porong pada waktu Ahli melaksanakan tugas penilaian, dengan luas


tanah 29.890 m2 sejumlah Rp. 5.978.000.000,00 (lima milyar
sembilan ratus tujuhpuluh delapan juta rupiah). Dengan demikan
dari segi obyek, lokasi, klasifikasi tanah dan harga, nilai harga calon
tanah pengganti TKD Kedungsolo, sudah masuk kriteria dan
kualifikasi dapat dijadikan pengganti Tanah Kas Desa
(TKD)Kedungsolo, bahkan lebih menguntungkan karena lebih luas
dan sudah bersertifikat;
5.13 Menimbang, bahwa kriteria dan kualifikasi dapat dijadikan
pengganti Tanah Kas Desa (TKD) Kedungsolo sesuai dengan ;
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 04 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Daerah;
2. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 143/850/PMD, yang
ditandatangani oleh Ayip Muflich Direktur Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Isi surat diberitahukan
hal-hal sebagai berikut angka angka 2 : b. harga ganti rugi
tanah kas desa harus menguntungkan desa dengan
memperhatikan harga pasar dan nilai jual obyek pajak
(NJOP);
3. Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
593/1304/SJ Perihal Pelepasan Tanah Kas Desa di
Kabupaten Sidoarjo. Disampaikan hal-hal sebagai berikut :
Angka 2. Dalam penetapan tanah pengganti Tanah Kas Desa
tersebut agar memperhatikan : a. Tanah pengganti luasnya
sama atau lebih. b. Tanah pertanian yang produktif. c. Tanah
pengganti dapat memberikan pendapatan bagi Desa. 3.
Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan Tukar Guling Tanah
Kas Desa tersebut mempedomani hal-hal sebagai berikut : a.
Segera melakukan langkah-langkah kongkrit bagi penetapan
tanah pengganti; b. Menyelesaikan Administrasi penyerahan
Tanah Kas Desa yang digunakan untuk pembangunan
103

dengan Berita Acara; c. Melakukan proses sertifikasi tanah


pengganti tersebut menjadi milik Desa; d. Selambat-
lambatnya 8 (delapan)bulan seluruh proses Administrasi
penyerahan Tanah Kas Desa, tanah pengganti Tanah Kas
Desa dan sertifikasinya telah terselesaikan;
4. Surat Bupati Sidoarjo kepada Menteri Dalam Negeri Nomor
: 143/380/404.1.1.1/2008 Perihal : Permohonan Pelepasan
Tanah Kas Desa;
5. Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor :
188/1027/404.1.3.2/2009 Tentang Pemberian Izin Lokasi
Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan di Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Atas
Nama PT. Gala Bumi Perkasa, yang mempertimbangkan
pada huruf b. Bahwa status tanah yang dimohon untuk
rencana pembangunan Perumahan oleh PT. Gala Bumi
Perkasa adalah Tanah Kas Desa (TKD) dan Gogol SK, yang
terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo. MEMUTUSKAN : Menetapkan KESATU :
Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan
Perumahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT. GALA
BUMIPERKASA. KEDUA : Pemberian Izin Lokasi
dimaksud pada Diktum KESATU seluas ± 10.000 M² yang
terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo (sebagaimana peta terlampir), dengan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut : Angka 2. Perolehan tanah untuk
Tanah Kas Desa (TKD) harus mengikuti ketentuan dan
regulasi yang ada. Angka 9. Penggunaan tanah hanya
dibenarkan untuk keperluan pembangunan Perumahan.
Angka 11. Diwajibkan mengajukan rencana tapak (site
plan)kepada Bupati Sidoarjo untuk mendapatkan persetujuan
104

dengan melampirkan fotokopi bukti penguasaan tanah, serta


diwajibkan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
dan izin-izin lainnya kepada Dinas/Instansi terkait sesuai
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Angka 20. Keputusan ini tidak mengurangi hak keperdataan
bagi pemilik tanah yang berada dalam lokasi dan tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain kecuali atas persetujuan Bupati
Sidoarjo;
5.14 Menimbang, bahwa dengan demikian peralihan hak keperdataan
pemilik tanah warga Renojoyo, diluar tanah pengganti tanah seluas
29.890 M2 terletak di sebelah Barat tanah milik petani, atas nama
Saksi Sunarto, yang diperoleh dari perkara ini, terdiri dari 22 (dua
puluh dua) bidang tanah dengan pemilik asal tersebut diatas, sesuai
ketentuan Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah serta berpedoman kepada Surat
Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor : 188/1027/404.1.3.2/2009
Tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan
Perumahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo Atas Nama PT. Gala Bumi Perkasa KEDUA : Angka 20
dapat dilanjutkan proses kepemilikannya;
5.15 Menimbang, bahwa oleh karena itu tidak dijatuhkan pidana
tambahan kepada Terdakwa berupa pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, sesuai pasal 18 ayat (1) huruf
b UU No. 31/1999 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun
2014, karena telah dikenakan pidana tambahan kepada Saksi Sunarto
sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU No. 31/1999 jo Pasal
19 UU No. 31/1999;
5.16 Menimbang, bahwa mengenai status barang bukti berupa tanah
sebagaimana dalam tuntutan pidana Penuntut Umum, dengan
memperhatikan ketentuan tersebut di atas, dan dengan mengingat
105

fakta bahwa tanah Kas Desa Kedungsolo telah dikuasai oleh Para
Pembeli yaitu sebagian warga perumahan Renojoyo yang
menempati tanah TKD sehingga tanah tersebut tidak dapat lagi
dimanfaatkan sebagai Tanah Kas Desa Oleh Perangkat desa sebagai
tanah ganjaran, serta untuk menghindarkan adanya kerugian Negara,
tanpa bermaksud menetapkan kepemilikan atas tanah tersebut
karena hal itu merupakan kewenangan Majelis Hakim perdata, maka
majelis menetapkan barang bukti tersebut dirampas untuk Negara
sebagai pengganti tanah kas desa
5.17 Menimbang, bahwa oleh karena itu, perbuatan Terdakwa telah
memenuhi unsurunsur pasal tersebut diatas, serta terpenuhinya
unsur-unsur tindak pidana korupsi tersebut tidak terlepas dari peran
serta dari Terdakwa, serta tidak ada kehendak dari Terdakwa untuk
mengakhiri keadaan terlarang yang diciptakannya, sehingga
perbuatan tersebut menjadi sempurna (voltoid), maka dalam
perbuatan Terdakwa tersebut terdapat kesalahan Terdakwa, yang
kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana;
5.18 Menimbang, bahwa mengenai pembelaan Terdakwa maupun
Penasehat Hukum Terdakwa, telah dipertimbangkan bersama-sama
unsur pasal tersebut diatas;
5.19 Menimbang, bahwa mengenai kemampuan bertanggungjawab dari
Terdakwa, dalam persidangan Majelis Hakim tidak menemukan hal-
hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik
sebagai alasan pembenar, yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya, berupa keadaan darurat (noodtoestand)(pasal 48 KUHP),
pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat (1) KUHP), melaksanakan
ketentuan undang-undang (pasal 50 KUHP)dan menjalankan
perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang (sah)
(pasal 51 ayat (1) KUHP). Serta tidak ditemukan adanya alasan
pemaaf yang menghapus kesalahan Terdakwa yaitu tidak mampu
bertanggungjawab (pasal 44 KUHP), daya paksa (overmacht)mutlak
106

dan relatif (pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui


batas (noodweer exces)(pasal 49 ayat (2) KUHP), atau menjalankan
perintah yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat (2) KUHP).
Serta tidak ditemukan adanya hilangnya hak menuntut oleh penuntut
umum oleh karena kedaluwarsa atau lewat waktu, sebagaimana
diatur dalam pasal 78 KUHP. Sehingga secara hukum Terdakwa
mempunyai kemampuan bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannnya dalam perkara ini dan harus dijatuhi pidana yang
setimpal dengan kesalahannya, sebagai pertanggungjawaban pidana;
5.20 Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mempunyai kemampuan
bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana;
5.21 Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah
dikenakan penahanan yang sah, maka sesuai ketentuan pasal 22 ayat
(4) KUHAP masa penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan;
5.22 Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan dengan jenis
penahanan Rutan, maka Majelis Hakim berpedoman kepada
pengertian dalam pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP jo Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober
2010 yang memuat pemidanaan dapat langsung dieksekusi jo
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 pada hari
Kamis, tanggal 22 November 2012 dengan Pemohon PUU H. Parlin
Riduansyah, yang membedakan kata ditahan atau tetap dalam
tahanan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k yang berarti sebagai
perintah untuk melakukan eksekusi putusan yang bersifat
pemidanaan atau yang berarti juga adalah suatu proses untuk
melaksanakan putusan pemidanaan sesuai dengan sanksi pidana
yang dijatuhkan. Kalau terdakwa dijatuhi hukuman penjara
sementara terdakwa berada di luar, maka kepada jaksa diperintahkan
untuk “menahan” terdakwa dan selanjutnya menyerahkannya
107

kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Kalau terdakwa ditahan


pada waktu pidana dijatuhkan, maka kepada jaksa diperintahan
untuk tetap menempatkan terdakwa dalam tahanan, dan selanjutnya
putusan dieksekusi dengan mengubah status tahanan terdakwa
menjadi narapidana. Demikian pula halnya jika kepada terdakwa
dijatuhi hukuman mati, sementara terdakwa berada di luar, maka
kepadanya diperintahkan untuk ditahan untuk menjalani eksekusi
hukuman mati. Kalau terdakwa berada dalam tahanan, maka
penahanan itu dilanjutkan sampai eksekusi hukuman mati
dilaksanakan. Hal itu berbeda maknanya dengan istilah penahanan
sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 21, Pasal 26, Pasal
27, dan Pasal 28 KUHAP, yang mengartikan penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Terlebih
Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim pada tingkat pertama
tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menahan karena telah
habis kewenangannya untuk menahan jo Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 44
/KMA/SK/III/2014 Tentang Pemberlakuan Template Putusan angka
5 dan Standar Penomoran Perkara Peradilan Umum tanggal 20
Maret 2014 beserta lampirannya. Sehingga kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk tetap menahan dalam arti menempatkan Terdakwa di
Lembaga Pemasyarakatan;
5.23 Menimbang, bahwa barang bukti sesuai pasal 46 ayat (2) KUHAP
dan pasal 194 KUHAP, akan ditentukan dalam amar putusan ini;
5.24 Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana, maka kepada Terdakwa harus dibebani juga untuk
membayar biaya perkara dengan berpedoman kepada pasal 222 ayat
(1)KUHAP jo Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor :
KMA/155/X/1981 dan Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman
108

Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 angka 27 tentang Tambahan


Pedoman Pelaksanaan KUHAP : Pasal 197 ayat (1) huruf i,
menetapkan bahwa dalam putusan pengadilan harus ditentukan
kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah
yang pasti. Sebagai pedoman ditetapkan bahwa biayabiaya perkara
minimal Rp. 500,- dan maksimal Rp. 10.000,- dengan penjelasan
Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa maksimal Rp.
10.000,- itu adalah Rp. 7.500,- bagi pengadilan tingkat pertama dan
Rp. 2.500,- bagi pengadilan tingkat banding, yang besarnya akan
ditentukan dalam amar putusan ini;
5.25 Menimbang, bahwa dalam hal penjatuhan pidana, Majelis Hakim
perlu memperhatikan ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun yang
meringankan sebagai berikut :
a. Keadaan yang memberatkan :
1. Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program
pemerintah dalam upaya melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi di segala bidang, serta merusak sendi-sendi
pemerintahan yang baik dan bersih;
2. Perbuatan Terdakwa menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada Notaris/PPAT;
3. Perbuatan Terdakwa menjadi contoh yang buruk bagi
masyarakat dan keluarga;
b. Keadaan yang meringankan :
1. Terdakwa belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan
keluarga;
2. Kerugian Negara berupa barang tidak bergerak tanah
pengganti eks Tanah Kas Desa (TKD)Blok Waru dan Kretek
Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo telah dikembalikan
oleh Saksi Sunarto;
109

e. Amar Putusan :
1. Menyatakan Terdakwa ROSIDAH, SH., tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-
sama sebagaimana dalam dakwaan primer;
2. Membebaskan Terdakwa ROSIDAH, SH., dari dakwaan primer tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa ROSIDAH, SH., terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama
sama sebagaimana dalam dakwaan subsider;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua)tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sejumlah Rp.
50.000.000,(lima puluh tus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu)
bulan;
5. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah NIHIL;
6. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
7. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
8. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.
5.000,(lima ribu rupah);
B. Pembahasan

1. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Notaris


Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah.
Notaris merupakan pejabat umum yang mempunyai tugas dan kewajiban
untuk memberikan pelayanan dan konsultasi hukum kepada masyarakat. Bantuan
hukum yang dapat diberikan oleh seorang notaris adalah dalam bentuk membuat
alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan autentik, yaitu berupa akta autentik
ataupun kewenangan lain sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Akta
autentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh, mempunyai peranan penting dalam
setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai hubungan
bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain,
110

diperlukan adanya pembuktian tertulis berupa akta autentik.56 Hal ini sejalan
dengan perkembangan tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan
ekonomi dan sosial, baik pada tingkat regional, nasional, maupun internasional.
Akta autentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban para pihak akan
menjamin kepastian hukum sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya
sengketa. Pasal 1 angka 7 UUJN menyebutkan bahwa akta notaris adalah akta
autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam undang-undang ini. Ketentuan ini merupakan penegasan dari
Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta autentik adalah suatu akta
yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta
dibuatnya. Notaris dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, dituntut untuk
memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan yang profesional, untuk
mewujudkan 2 (dua) sisi pekerjaan yang mengandung banyak risiko, diperlukan
pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab yang tinggi.
Oleh karena itu dalam praktik, notaris diwajibkan untuk senantiasa menjunjung
tinggi hukum serta bertindak sesuai dengan sumpah jabatan.
Salah satu produk akta yang dibuat oleh notaris adalah akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (untuk selanjutnya disebut sebagai PPJB), menurut Herlien
Budiono perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi
sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas57. Pengertian yang
diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian pengikatan jual
beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum
dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Sebagaimana telah
diterangkan tentang pengertiannya, maka kedudukan perjanjian pengikatan jual beli
sebagai perjanjian pendahuluan berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan
memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian
pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya. Hal yang

56
G.H.S. Lumban Tobing, 1982, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 2
57
Herlien Budiono, 2004, artikel Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak Majalah Renvoi, edisi
tahun I, No 10, Bulan Maret. Hlm. 57
111

sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono dari yang menyatakan perjanjian
bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan,
memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum58.
Dengan demikian jelas bahwa perjanjian pengikatan jual beli berfungsi sebagai
perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan penegasan untuk
melakukan perjanjian utamanya, serta menyelesaikan suatu hubungan hukum
apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli telah
dilaksanakan seutuhnya.
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian
pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janji-
janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat- syarat yang
disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual
belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun
pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual
beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat
ditanda tangani dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) seperti janji untuk
melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana
diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh
pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani
dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT)59. Dalam pembuatan perjanjian
ikatan jual beli, haruslah memenuhi unsur syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal
1320 KUHPerdata, dikatakan syarat sahnya suatu perjanjian adanya kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu
pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang adalah merupakan
unsur dari sahnya suatu perjanjian, keempat unsur tersebut digolongkan kedalam:
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yaitu kesepakatan mereka
yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau
sering disebut unsure Subyektif.

58
Ibid, Hlm 58
59
Ibid, Hlm 59
112

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek


perjanjian yaitu suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak
terlarang atau sering disebut unsure obyektif.
Apabila masing-masing unsur tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian
maka akibat hukum pada perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan atau batal demi
hukum.
Berdasarkan hasil penelitan pada putusan Pengadilan Negeri Surabaya
Nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby, tersebut diatas penulis menghubungkan
antara konsepsi PPJB yang dibuat notaris dengan pertimbangan hakim dalam hal
tindak pidana korupsi notaris, pada pengertiannya istilah korupsi berasal dari
bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa.
Misalya disalin ke dalam bahasa inggris menjadi corruption atau corrupt, dalam
bahasa prancis menjadi corruption dan dalam bahasa belanda disalin menjadi
corruptive (korruptie).60 Berdasarkan bahasa belanda itulah lahir kata korupsi
dalam bahasa Indonesia. Corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam
bahasa belanda itu mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. 61 Pengertian
tersebut diatas sejalan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari 40 (empat puluh) Pasal di
kelompokkan kedalam 7 (tujuh) Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yaitu
diantaranya tipe tindak pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara” yakni
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a dan c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 huruf a, Pasal 12 huruf i, Pasal 12A, dan Pasal 17 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.62
Majelis Hakim mempertimbangkan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

60
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 7. Dikutip dari Adami
Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
1.
61
S. wojowasito, 1999, kamus umum belanda Indonesia, PT. Ichtiar baru, Jakarta, hlm. 128.
62
Ermansjah Djaja, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Berdasarkan UU RI
No.30 Tahun 1999 jo. No.20 Tahun 2001, Mandar Maju Bandung, hlm. 147-149
113

telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Tipikor) Jo Pasal 55
ayat (1) Ke – 1 KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap orang;
Menimbang, bahwa Terdakwa ROSIDAH, SH., adalah perorangan
yang bertindak dalam jabatan dan kedudukannya sebagai Notaris berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : C-1346.HT.03.01-TH 1999
dan pada tanggal 28 Mei 2002, diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :
6-X-202 tanggal 28 Mei 2002, yang berkedudukan hukum di Kabupaten
Sidoarjo. Oleh karena itu Terdakwa adalah sebagai orang perseorangan yang
mempunyai jabatan atau kedudukan sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT);
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan alat bukti berupa :
bukti surat, keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa, maka
sepanjang mengenai jati diri Terdakwa telah lengkap dan jelas, maka dengan
demikian sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, unsur “setiap
orang” telah terpenuhi;

b. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
Menimbang, bahwa karena ada perbedaan keterangan antara saksi
Abdul Rachman yang bersesuaian dengan Saksi Basuni, Saksi Masyhudi dan
Saksi Saturi yang bertentangan dengan Saksi Sunarto yang bersesuaian
dengan keterangan Terdakwa, mengenai pengetahuan Terdakwa atas
keberadaan Tanah Kas Desa tersebut, majelis mempertimbangkan keterangan
para saksi tersebut dengan mempedomani Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dengan
memperhatikan persesuaian antara saksi satu dengan saksi lain, antara saksi
dengan alat bukti yang lain dan alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi
114

untuk memberi keterangan yang tertentu, mempertimbangkan adanya fakta


dipersidangan keterangan Sunarto adalah orang yang terlibat dalam proses
pelepasan hak atas tanah dan terdakwa dengan membuat akta otentik berupa
Perikatan Jual Beli dan Kuasa untuk Menjual tanah dari Sunarto kepada
masing masing warga renojoyo khususnya yang di atas tanah TKD yang
kemudian bermasalah. Majelis berkesimpulan Sunarto memiliki kepentingan
dan motivasi untuk memberikan keterangan tertentu, agar Terdakwa terhindar
dari masalah, dan berkaitan dengan kedudukannya sebagai terdakwa dalam
berkas terpisah di mana sebagai terdakwa dia punya kepentingan untuk
menyangkal tindakan yang didakwakan terhadapnya berbeda dengan
keterangan saksi Abdul Rachman dan kawan-kawan di mana majelis hakim
tidak melihat adanya kepentingan mereka untuk memberikan keterangan
tertentu, sehingga majelis berkesimpulan keterangan saksi yang menerangkan
bahwa terdakwa mengetahui keberadaan Tanah Kas Desa lebih dapat
dipercaya;
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan alat bukti berupa :
bukti surat, keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa, maka unsur
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dalam Pasal ini sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h
KUHAP, telah terpenuhi;

c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada


padanya karena jabatan atau kedudukan;
Menimbang, bahwa sesuai fakta-fakta hukum tersebut diatas terdapat
perbuatan, kejadian dan keadaan Terdakwa karena jabatan atau
kedudukannya, sebagai Notaris/PPAT, mempunyai wewenang, kewajiban
dan larangan sesuai :
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan Notaris, Pasal 15 ayat 1 :
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
115

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh


yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang Undang.
2) Notaris berwenang pula :
a. mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
c. membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat
aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; g. membuat
akta risalah lelang.
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan Notaris, antara lain mempunyai kewajiban sesuai Pasal 16 Ayat
1
1) Dalam menjalankan jabatanya notaris wajib :
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum;
116

b. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya


sebagai bagian dari protokol notaris;
c. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta
berdasarkan minuta akta;
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
Penjelasan huruf d :
Yang dimaksud dengan alasan untuk menolaknya adalah alasan
yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya
hubungan darah atau semenda dengan Notaris atau dengan
suami/isterinya sendiri, salah satu pihak tidak mempunyai
kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain
yang tidak dibolehkan oleh undang-undang;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 Jo. Peraturan Menteri


Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 dalam ketentuan itu Akta yang
dibuat oleh PPAT dijadikan dasar untuk melakukan perubahan data
pendaftaran tanah yaitu peralihan pencatatan artinya dicatat dalam
daftar umum di kantor pertanahan baru mengikat kepada pihak ketiga.
Apabila terjadi peralihan hak atas TKD, sesuai Pasal 39 ayat (1) huruf
d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 39 ayat (1) : PPAT menolak untuk
membuat akta jika : b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar,
kepadanya tidak disampaikan : 1) surat bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang
tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan,
atau untuk tanah yang terletak didaerah yang jauh dari kedudukan
Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. salah satu atau para
pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau
117

salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak


atau memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. salah satu atau
para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada
hakikatnya berisikan perbuatan hukum memindahkan hak; atau e. untuk
perbuatan hukum yang akan dilakukan belum memperoleh ijin Pejabat
atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 39 ayat (1) huruf d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah tersebut tidak termasuk yang dicabut
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10
Tahun 2015 Tentang Pencabutan Perundang-undangan Mengenai
Pertanahan;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal
97 yang pada intinya mengatur sebagai berikut ini : Persiapan
Pembuatan Akta :
1) Sebelum melaksanakan pembuatan akta terkait pemindahan dan
atau pembebanan hak atas tanah, wajib terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah dengan
daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan
memperlihatkan sertipikat asli.
2) Pemeriksaan sertipikat dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh
PPAT.
3) Apabila sertipikat “sesuai” dengan daftar-daftar yang ada di kantor
Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan/Pejabat yang ditunjuk
membubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat :
Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan.
Jika cheking ini dilakukan oleh PPAT, maka akan dapat
diketahui batas-batas tanah secara pastinya termasuk
keberadaan Tanah Kas Desa, yang pastinya pula tidak akan
dikeluarkan SKPT oleh kantor pertanahan. Jika tanah yang akan
118

dibeli terdapat permasalahan, akan berujung pada jaminan


kelancaran proses balik nama di kantor pertanahan setempat.

Dalam hal lain demikian PPAT wajib nenolak membuatkan akta


IJB/PPJB atas dasar Pasal 16 ayat (1) huruf e, khususnya di Bagian
Penjelasannya :
Notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya,
karena ada hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang;
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, tanggal 31 Januari 2007, diatur
: Kekayaan desa yang berupa tanah desa / TKD tidak diperbolehkan
dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali
diperlukan untuk kepentingan umum. Pelepasan hak kepemilikan tanah
desa/ TKD dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai dengan harga
yang menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Penggantian ganti rugi berupa uang
harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik dan
berlokasi di desa setempat. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa/
TKD ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Keputusan Kepala
Desa sebagaimana tersebut di atas, diterbitkan setelah mendapat
persetujuan BPD, mendapat ijin tertulis dari Bupati/ Walikota dan
Gubernur;
f. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 143/850/PMD, yang
ditandatangani oleh Ayip Muflich Direktur Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa. Ditujukan kepada :
1. Gubernur Jawa Timur
2. Bupati Sidoarjo,
Dengan tembusan kepada :
1. Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan).
2. Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur di Surabaya.
3. Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo di Sidoarjo.
119

4. Kepala Bawasda Provinsi Jawa Timur di Surabaya.


5. Kepala Biro Tapem Provinsi Jawa Timur di Surabaya.
6. Kepala Bawasda Kabupaten di Sidoarjo.
7. Kepala Badan/Dinas PMD dan Kabag.
8. Pemerintahan Desa Kabupaten Sidoarjo.
Isi surat diberitahukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pada prinsipnya tidak keberatan tanah kas desa dilepas, untuk
kepentingan relokasi perumahan penduduk, khususnya yang
terkena bencana lumpur Lapindo yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana fasilitas umum.
2. Prosedur pelepasan tanah kas desa sebagaimana dimaksud pada
angka 1, harus sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Kekayaan Desa, yaitu :
a. Pelepasan tanah kas desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Desa setelah mendapat persetujuan BPD dan izin tertulis dari
Bupati dan Gubernur Jawa Timur.
b. Harga ganti rugi tanah kas desa harus menguntungkan desa
dengan memperhatikan harga pasar dan nilai jual obyek pajak
(NJOP).
c. Hasil Ganti Rugi berupa uang dalam tenggang waktu yang
cukup diupayakan semaksimal mungkin untuk pengadaan
tanah yang lebih baik dan berlokasi di desa yang bersangkutan.
d. Dalam hal yang tersebut pada huruf c tidak terpenuhi, tanah
pengganti dapat diusahakan di Desa yang berdekatan, tetapi
melalui proses musyawarah dan mendapat persetujuan BPD
bagi desa yang memerlukan tanah pengganti.
3. Berdasarkan ketentuan tersebut agar terlebih dahulu dilakukan
pendataan mengenai lokasi dan jumlah tanah kas desa yang terkena
Lumpur Lapindo, lokasi dan jumlah tanah kas desa yang akan
dipergunakan untuk relokasi perumahan penduduk yang terkena
120

bencana Lumpur Lapindo yang dilengkapi dengan prasarana dan


sarana fasilitas umum.
4. Pada waktu mengajukan izin pelepasan tanah kas desa kepada
Gubernur Jawa Timur, data pelepasan tanah kas desa sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf a,b dan huruf c serta angka 3 harus
dilampirkan dan tembusanya disampaikan kepada Ditjen
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
g. Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 593/1304/SJ
Perihal Pelepasan Tanah Kas Desa di Kabupaten Sidoarjo, ditujukan
kepada :
1. Gubernur Jawa Timur
2. Bupati Sidoarjo.
Disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa pembangunan relokasi pemukiman sebagai akibat Lumpur
Lapindo beserta seluruh prasarana pendukungnya yang
menggunakan Tanah Kas Desa seluas 118,5 Ha yang terletak di 14
Desa Kecamatan Sukodono, Kecamatan Taman, dan Kecamatan
Krian, serta pembangunan jalan Tol yang juga menggunakan
Tanah Kas Desa seluas 14,60 Ha yang terletak di 8 Desa pada
Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin, dan Kecamatan
Jabon pada prinsipnya dapat dilaksanakan.
2. Terhadap Tanah Pengganti Tanah Kas Desa, berhubungan Tanah
yang tersedia di Desa Induk sangat terbatas, maka dapat diganti
pada Desa/Kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Dalam penetapan tanah pengganti Tanah Kas Desa tersebut agar
memperhatikan :
a. Tanah pengganti luasnya sama atau lebih.
b. Tanah pertanian yang produktif.
c. Tanah pengganti dapat memberikan pendapatan bagi Desa.
3. Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan Tukar Guling Tanah Kas
Desa tersebut mempedomani hal-hal sebagai berikut :
121

a. Segera melakukan langkah-langkah kongkrit bagi penetapan


tanah pengganti;
b. Menyelesaikan Administrasi penyerahan Tanah Kas Desa
yang digunakan untuk pembangunan dengan Berita Acara;
c. Melakukan proses sertifikasi tanah pengganti tersebut menjadi
milik Desa;
d. Selambat-lambatnya 8 (delapan) bulan seluruh proses
Administrasi penyerahan Tanah Kas Desa, tanah pengganti
Tanah Kas Desa dan sertifikasinya telah terselesaikan;
Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor : 188/1027/404.1.3.2/2009
Tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan
di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT.
Gala Bumi Perkasa tanggal 12 Juni 2009, yang antara lain
mempertimbangkan pada huruf :
a. Bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 16
Tahun 2003 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Sidoarjo, lokasi tanah yang dimohon peruntukannya adalah
perumahan;
b. Bahwa status tanah yang dimohon untuk rencana pembangunan
Perumahan oleh PT. Gala Bumi Perkasa adalah Tanah Kas Desa (TKD)
dan Gogol SK, yang terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo dan para pemilik tanah tidak keberatan melepaskan
tanahnya untuk rencana pembangunan perumahan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan KESATU :
Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan di Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT. GALA
BUMIPERKASA.
KEDUA :
Pemberian Izin Lokasi dimaksud pada Diktum KESATU seluas ± 10.000 M²
yang terletak di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo
122

(sebagaimana peta terlampir), dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai


berikut :
1. Perolehan tanah untuk Tanah Gogol SK harus dilakukan secara
langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan melalui pelepasan
hak yang dilaksanakan dengan pembuatan akte pelepasan hak di
hadapan pejabat yang berwenang dengan pemberian ganti kerugian
yang bentuk dan besarnya ditentukan secara musyawarah sebagai dasar
untuk proses Pemberian Hak.
2. Perolehan tanah untuk Tanah Kas Desa (TKD) harus mengikuti
ketentuan dan regulasi yang ada;
Menimbang, bahwa dari perbuatan Terdakwa selaku Notaris/PPAT
tersebut, menyimpang dari diberikannya kewenangan, kewajiban dan
larangan Terdakwa selaku Notaris/PPAT, sebagaimana diatur dalam
peraturan tersebut diatas, yang pada pokoknya sebagai Notaris Terdakwa
harus bertindak secara seksama dan memberikan pelayanan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang Jabatan Notaris, kecuali ada alasan untuk
menolaknya karena terdapat hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-
undang, yaitu tanah TKD diperjualbelikan. Selain itu Terdakwa sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah menyimpang dari larangan untuk
membuat akta tanah di mana : salah satu atau para pihak yang akan melakukan
perbuatan hukum, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak
demikian karena obyek tanah merupakan tanah TKD yang tidak dapat
diperjual-belikan. Terdakwa selaku PPAT tidak menolak membuatkan akta
yang pada pokoknya menerangkan, salah satu atau para pihak bertindak atas
dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan
hukum mengalihkan hak. Perbuatan hukum yang akan mengalihkan hak atas
tanah tersebut belum memperoleh ijin dari Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) Kedungsolo, ijin dari Bupati Sidoarjo dan Ijin dari Gubernur Jawa
Timur sebagai Pejabat yang berwenang, di mana izin tersebut diperlukan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Permendagri
Nomor 04 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa jo
123

Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor : 188/1027/404.1.3.2/2009 Tentang


Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan di Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT. Gala
Bumi Perkasa;
Menimbang, bahwa penyimpangan tersebut terjadi karena adanya
penyesatan (misrepresentation), penyelundupan hukum, penyembunyian
kenyataan (concealment of facts), akal-akalan (subterfuge) dan pengelakan
peraturan (illegal circumvention) (Muladi, SH., dan Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Penerbit Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, September 2013, hlm. 47 dan 65), dengan
menjadikan batas-batas tanah pada Akte Jual Beli atas 112 SHM dari 56
petani kepada Saksi Sunarto, sebagai batas-batas tanah yang dituangkan
dalam Pengikatan Jual Beli (PJB) dan Kuasa untuk Menjual (KUM).
Senyatanya batas-batas tanah kavling tersebut terletak diatas tanah TKD Blok
Kretek dan Blok Waru Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo. Dengan
dilakukan Pengikatan Jual Beli (PJB) dan Kuasa Untuk Menjual (KUM) dari
Saksi Sunarto kepada warga Renojoyo tersebut, maka PJB dan KUM yang
tidak dinyatakan batal demi hukum atau dibatalkan oleh suatu putusan
pengadilan tersebut, sebagai akta otentik dijadikan dasar oleh warga
Renojoyo untuk menguasai tanah dan membangun rumah, mengajukan
penerbitan SPPT PBB, yang diurus oleh Terdakwa. Oleh Terdakwa (termasuk
juga melalui Ekky Tri Hastaryo, SH.), bidang-bidang tanah kavling tersebut
tetap dimohonkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo untuk balik
nama dari atas nama Saksi Sunarto kepada masing-masing warga Renojoyo
pemilik kavling bidang tanah eks TKD. Sehingga balik nama 112 SHM
tersebut tidak dapat diproses, khususnya hingga sekarang tidak dapat
diterbitkan SHM atas nama warga Renojoyo yang terletak diatas tanah TKD
Blok Watu dan Kretek Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo Kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo;
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan alat bukti berupa :
bukti surat, keterangan saksi-saksi, dan keterangan Terdakwa, maka unsur
124

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya


karena jabatan atau kedudukan dalam Pasal ini, sesuai ketentuan Pasal 197
ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;

d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;


Menimbang, bahwa dengan demikian BPK secara atributif
konstitusional berwenang melakukan penghitungan dan menyatakan atau
mendeclare adanya kerugian keuangan Negara, berupa pendapat atau opini
auditor Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)(unqualified opinion), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP)(qualified opinion), Tidak Wajar (TW)
(adversed opinion), dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) (disclaimer of
opinion). Walaupun hasil audit terutama audit regular mencapai standar opini
WTP secara administratif, akan tetapi didalamnya secara materiil dapat
mengandung tindak pidana. Oleh karena itu Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP)/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah secara
delegatif tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan
keuangan Negara, walau tidak berwenang menyatakan atau men-declare
adanya kerugian keuangan Negara, dalam arti menyatakan atau
mengumumkan opini auditor berupa WTP, WDP, TW atau TMP. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP jo Pasal 179 KUHAP jo Pasal
197 ayat (1) huruf h KUHAP, yang berwenang menyatakan terpenuhi adanya
kerugian negara sesuai KUHAP adalah Majelis Hakim. Dalam hal tertentu
secara delegatif berdasarkan Pasal 7 jo Pasal 8 = Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 79
UU Nomor : 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5 Tahun 2004 jo UU Nomor : 3
Tahun 2009 jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 huruf
A angka 6 : Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya
kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara. Selain itu sesuai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 8 Desember 2016,
unsur merugikan keuangan Negara harus dipahami benar-benar sudah terjadi
atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.
125

Dalam perkara ini tukar guling atau pergeseran antara tanah TKD Kedungsolo
yang berlokasi di Blok Waru dan Blok Kretek Dusun Kedungkampil Desa
Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo dengan calon tanah
pengganti TKD sebagaimana 22 SHM atas nama Sunarto dan telah disita oleh
Kejaksaan Negeri Sidoarjo, belum pernah dibalik nama menjadi atas nama
tanah kas desa Kedungsolo, sehingga telah terjadi perbuatan yang telah
selesai dilakukan secara penuh atau sempurna (voltoid). Karena Tanah Kas
Desa Kedungsolo telah beralih fungsi menjadi Perumahan yang dikuasai
Pembeli tanah dan bangunan di atas tanah TKD sehingga tanah tersebut tidak
dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya yaitu Para Perangkat Desa tidak
lagi menerima penghasilan atas tanah kas desa. Dengan demikian Pembelaan
Penasehat Hukum Terdakwa yang berkaitan dengan kerugian Negara dan
kewenangan menghitung kerugian Negara hanya pada BPK patut
dikesampingkan.
Menimbang, bahwa sesuai fakta hukum tersebut diatas terdapat
perbuatan, keadaan dan kejadian Terdakwa, sesuai keterangan Ahli Suyitno,
SH. MSi, sebagai Pegawai Negeri di Kantor Inspektorat Kabupaten Sidoarjo,
berdasarkan Surat Tugas Nomor : 800/122/404.4/2017, selaku Pengendali
Tekhnis, yang melaksanakan audit perhitungan kerugian keuangan negara
dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Pelepasan Tanah Kas Desa
Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo seluas sekitar 2,8 Ha
yang digunakan Perumahan tanpa ada pelepasan dari Pemerintah Desa
Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Terdapat temuan di
mana Saksi Sunarto menjual Tanah Kas Desa (TKD)lokasi di Blok Waru dan
Blok Kretek Dusun Kedungkampil Desa Kedungsolo seluas 28.834 m kepada
pihak eks warga Desa Renokenongo korban lumpur Lapindo secara pribadi
tidak sesuai prosedur Permendagri Nomor : 4 Tahun 2007, karena hanya
dilakukan di tingkat Pemerintah Desa oleh Kepala Desa, tanpa Ijin tertulis
dari Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jawa Timur. Akibatnya terjadi Kerugian
Negara cq. Pemerintah Desa Kedungsolo Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo Rp. 5.766.800.000,00 (lima miliar tujuh ratus enampuluh enam juta
126

delapan ratus ribu rupiah). Dalam melakukan penghitungan tersebut Ahli


Suyitno, SH. MSi, sesuai dengan keterangan Ahli Susanto, S.SiT serta
menggunakan penilaian yang didapatkan dari Ahli Irfan Yusa, SE Appraisal
dari Kantor Toto Suharto & Rekan Business & Property Valuation.
Menimbang, bahwa oleh karena itu maka unsur “yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam Pasal ini serta sesuai
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;

e. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut


melakukan perbuatan itu ;
Menimbang, bahwa dengan demikian terjadinya perbuatan Terdakwa
dalam perkara ini tidak dapat dilakukan tanpa peran dari Saksi Sunarto,
karena terdapat kerjasama yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya
dengan niat dan tujuan yang sama, untuk saling melengkapi melakukan
perbuatan atau tindakan dalam mewujudkan terjadinya ikatan jual beli;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti
bahwa tindakan terdakwa tersebut dilakukan lebih dari satu orang dan dengan
tujuan yang sama yaitu untuk terwujudnya pengikatan jual beli tanah dan
kuasa untuk menjual agar terjadi peralihan hak atas tanah yang mencakup
pula tanah kas desa (TKD);
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “mereka melakukan, yang
menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu”, dalam Pasal
ini serta sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;
Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap unsur-unsur tindak pidana korupsi
diatas, terkait perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara,
merujuk pada definisi kerugian keuangan negara dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : “Yang
dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”.
Menurut penulis pertimbangan hakim, terkait pengitungan kerugian oleh ahli
Suyitno, SH. MSi, sebagai Pegawai Negeri di Kantor Inspektorat Kabupaten
127

Sidoarjo, berdasarkan Surat Tugas Nomor : 800/122/404.4/2017, selaku Pengendali


Tekhnis, yang melaksanakan audit perhitungan kerugian negara dalam perkara
dugaan Tindak Pidana Korupsi Pelepasan Tanah Kas Desa Kedungsolo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo seluas sekitar 2,8 Ha, sebagai dasar hakim untuk
menilai adanya suatu kerugian keuangan negara karena sesuai dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa :
Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara
adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional
sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang
melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak
berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara.
Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya
kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Berdasarkan hasil penelitian yang dihubungkan dengan (SEMA) RI Nomor 4
Tahun 2016, hakim menyatakan adanya kerugian negara, karena Tanah Kas Desa
Kedungsolo telah beralih fungsi menjadi Perumahan yang dikuasai Pembeli tanah
dan bangunan di atas tanah TKD sehingga tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya yaitu para perangkat desa tidak lagi menerima penghasilan
atas tanah kas desa. Selanjutnya berkaitan perbuatan tindak pidana korupsi pada
Pasal 3 UU Tipikor tentang unsur kerugian negara menurut penulis tepenuhi
walaupun menurut hukum kebendaan, pada saat PPJB itu dibuat, belum beralih,
karena hanya baru niat dan akan dilakukan tindakan hukum yang lainnya dan harus
dilanjutkan dengan AJB atau diperlukan levering, menurut penulis hakim menitik
beratkan pada akibat yang timbul dari tanah TKD yang beralih fungsi menjadi
perumahan sehingga tidak dapat dimanfaatkan dan tidak menerima penghasilan atas
pengelolaan tanah TKD.
Selanjutnya bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
korupsi notaris, merujuk pada definisi pertanggungjawaban pidana yang
dikemukakan Simons sebagai suatu keadaan psikis, sehingga penerapan suatu
ketentuan pidana dari sudut pandang umum dan pribadi dianggap patut, dapat
128

ditarik kesimpulan bahwa inti pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah


keadaan psikis jiwa seseorang dan hubungan antara keadaan psikis dengan
perbuatan yang dilakukan.63 Perihal kesalahan yang menjadi salah satu unsur
pertanggungjawaban ini dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena
kelalaiannya, untuk selanjutnya pengertian kesengajaan (dolus) dan kelalaian
(culpa) sebagai berikut :
a. Kesengajaan (dolus)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP)
tidak memberikan petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, namun
pengertian kesengajaan dapat di ambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting)
artinya memori penjelasan dalam Crimineel Wetboek Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Tahun 1809, yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai
“menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens).
b. Culpa
Culpa terletak di antara sengaja dan kebetulan. Kelalaian dapat didefinisikan
sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan
sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan
akibat yang dilarang oleh undang-undang atau pelaku dapat tidak melakukan
perbuatan itu sama sekali. 64

Berdasarkan penjelasan diatas apabila dihubungkan dengan


pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pindana korupsi, pertanggungjawaban
pidana ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan,
kesalahan dalam perkara ini akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh notaris dalam
pembuatan akta PPJB dan objek tersebut menunjukan pada alamat Tanah Kas Desa
yang merupakan tanah negara, berdasarkan analisa perbuatan tindak pidana korupsi
pada Pasal 3 UU Tipikor unsur kerugian negara terpenuhi maka menurut penulis
notaris dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya walaupun terhadap
perjanjiannya yaitu PPJB belum terjadi adanya levering.

63
Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
hlm. 122
64
Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 49
129

2. Penafsiran hakim terhadap pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan


Notaris tentang prinsip kehati-hatian notaris pada putusan nomor :
62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby.
Prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan
atau dilaksanakan oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai
pejabat umum. Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan Notaris untuk selalu
berhati- hati dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam arti harus selalu konsisten
dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang kenotariatan
berdasarkan profesionalisme dan iktikad baik. Dalam UUJN tidak disebutkan
secara jelas mengenai Prinsip kehati- hatian, namun sebagaimana halnya seorang
hakim yang tidak boleh menolak suatu perkara yang dihadapkan padanya sesuai
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, maka
Notaris berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN disebutkan “Dalam
menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban memberikan pelayanan sesuai
dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk
menolaknya”.65
Demi kepentingan dan perlindungan hukum dari Notaris di dalam
menjalankan tugasnya, maka seorang notaris harus menguasai segala peraturan
yang berkaitan dengan tugas jabatannya, hal ini tidak lain adalah agar akta yang
dibuat Notaris tidak cacat hukum, yang dapat mengakibatkan akta tersebut batal
demi hukum atau dapat dibatalkan. Begitu juga terhadap pihak-pihak yang
membutuhkan jasanya atau yang meminta untuk dibuatkan akta, maka mereka juga
harus dapat berlaku jujur dan tidak mengada-ada dalam pembuatan akta yang
diinginkan, dengan demikian, antara Notaris dan para pihak yang membutuhkan
jasa notaris harus memiliki integritas dan moralitas yang tinggi demi terwujudnya
perlindungan dan kepastian hukum. Oleh karena itu, tidak ada alasan apapun juga
bagi notaris untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan
jabatannya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Hal ini mengandung

65
Habib Adjie, Ibid, hlm. 35.
130

arti, bahwa segala perbuatan dan tindakan yang dibuat dalam rangka pembuatan
akta otentik harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pada Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2004 Junto Undang – Undang
Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
UUJN), Pasal 16 ayat (1) dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

Berikut tabel pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian.

Para Penghadap / Dokumen Hukum, Informasi


Pengguna Jasa Notaris sebagai dasar untuk melakukan
perbuatan hukum

Notaris

Identifikasi

Verifikasi

Prinsip kehati-hatian dapat dilihat pada kata “saksama” dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf a, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut pada UUJN. seorang notaris
dalam bekerja memang harus berhati-hati, “saksama” berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut sebagai KBBI) adalah teliti, cermat, tepat
benar, jitu66. Menurut habib adjie penerapan prinsip kehati-hatian ini wajib
dilaksanakan dalam pembuatan akta notaris yaitu dengan: 67

66
https://kbbi.web.id/saksama
67
Habib Adjie Op.Cit,. Hlm. 86
131

a. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang


diperlihatkan kepada notaris.
b. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut.
c. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para
pihak tersebut.
d. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan
atau kehendak para pihak tersebut.
e. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk
minuta.
f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
jabatan notaris.
Menurut Sam Dwi Zulkarnaen, terkait penerapan prinsi-kehati-hatian dalam
pembuatan akta notaris yaitu :68
a. Melakukan Pengenalan Terhadap Identitas Penghadap.
b. Memverifikasi secara cermat data subjek dan objek penghadap.
c. Memberikan tenggang waktu dalam pengerjaan akta autentik.
d. Bertindak hati-hati, cermat dan teliti dalam proses pembuatan akta.
e. Memenuhi segala syarat teknik pembuatan akta notaris.
f. Melaporkan kepada Pihak yang berwajib apabila terjadi indikasi Pencucian
Uang dalam Transaksi di Notaris.
Berdasarkan kedua doktin tersebut diatas tersebut penulis memberikan
gambaran tentang prinsip kehati-hatian notaris, yaitu :
a. Mengecek identitas pihak-pihak seperti KTP, yang membuat akta autentik,
agar mencegah pemalsuan identitas terhadap akta yang dibuat notaris.;
b. Memeriksa data-data subyek dari para pihak apakah berwenang dan cakap
atau tidak dalam melakukan perbuatan hukum sehingga dapat memenuhi
syarat sahnya dari suatu akta seperti, apakah pihak yang bertindak sudah

68
Sam Dwi Zulkarnaen, Op.Cit,hlm. 75
132

berurumur minimal 18 Tahun atau telah menikah menurut Pasal 39 ayat 1


huruf a UUJNP. Sedangkan bagian dari proses memvalidasi data obyek
adalah merupakan bagian proses dalam memeriksa dokumen-dokumen obyek
yang dibawa oleh penghadap;
c. Dalam mengerjakan suatu akta agar menghasilkan akta yang baik sepatutnya
notaris memberikan tenggang waktu dalam proses pembuatan akta agar tidak
terburu-buru dan dapat bekerja secara cermat serta teliti sehingga tidak
menimbulkan kesalahan dalam proses pembuatan akta notaris;
d. Memenuhi segala syarat teknik pembuatan akta notaris untuk membuat akta
notariil yang jauh dari indikasi permasalahan hukum tentunya notaris harus
memenuhi syarat formal dan syarat materil dari pembuatan akta notaris
berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris ketentuan mengenai syarat
formal dalam pembuatan akta diatur dalam Pasal 38 UUJN-P, sedangkan
syarat materil yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta autentik diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata;
Kasus yang terjadi pada notaris Rosidah, berdasarkan hasil penelitian pada
putusan nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby. yang terbukti melakukan tindak
pidana korupsi akibat menyalahgunakan wewenang dan tidak melaksanakan
kewajiban notaris yaitu tentang prinsip kehati-hatian notaris, dengan membuat akta
PPJB yang isinya mengakibatkan Tanah Kas Desa (TKD) beralih fungsi menjadi
lahan perumahan. Perbuatan ini dianggap merugikan keuangan negara karena TKD
sudah beralih fungsi. Penafsiran hakim tentang notaris tidak melaksanakan prinsip
kehati-hatian dapat dilihat pada pertimbangan hakimnya yaitu :
Menimbang, bahwa dari perbuatan Terdakwa selaku Notaris/PPAT tersebut,
menyimpang dari diberikannya kewenangan, kewajiban dan larangan
Terdakwa selaku Notaris/PPAT, sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut
diatas, yang pada pokoknya sebagai Notaris Terdakwa harus bertindak secara
seksama dan memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
undang Jabatan Notaris, kecuali ada alasan untuk menolaknya karena terdapat
hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang, yaitu tanah TKD
diperjualbelikan. Selain itu Terdakwa sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) telah menyimpang dari larangan untuk membuat akta tanah di mana
: salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum, tidak
berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian karena obyek
tanah merupakan tanah TKD yang tidak dapat diperjual-belikan. Terdakwa
133

selaku PPAT tidak menolak membuatkan akta yang pada pokoknya


menerangkan, salah satu atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat
kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum mengalihkan
hak. Perbuatan hukum yang akan mengalihkan hak atas tanah tersebut belum
memperoleh ijin dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kedungsolo, ijin
dari Bupati Sidoarjo dan Ijin dari Gubernur Jawa Timur sebagai Pejabat yang
berwenang, di mana izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu Permendagri Nomor 04 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa jo Surat Keputusan Bupati Sidoarjo
Nomor : 188/1027/404.1.3.2/2009 Tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk
Keperluan Pembangunan Perumahan di Desa Kedungsolo Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo Atas Nama PT. Gala Bumi Perkasa.
Terkait hasil penelitian diatas apa bila merujuk pada teori penafsiran hukum
menurut Ridwan Halim, penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya
menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun
membatasi/mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka
penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
69
Hakim dalam menafsirkan prinsip kehati-hatian dalam kasus tersebut, menilai
notaris Rosidah tidak bekerja secara seksama karena telah membuatkan
membuatkan akta yang bertentangan dengan undang-undang, akta yang dimaksud
adalah akta pengikatan jual beli dan surat kuasa mutlak atas Tanah Kas Desa
(TKD).
Penulis menganalisis berdasarkan doktrin dan hasil penelitian, untuk
menyimpulkan, apakah ketidak hati-hatian notaris Rosidah benar tidak
dilaksanakan atau tidak, oleh karena itu dapat dilihat sebagai berikut :
a. Mengecek identitas pihak-pihak seperti KTP, yang membuat akta autentik,
agar mencegah pemalsuan identitas terhadap akta yang dibuat notaris.
Hasil Penelitian :
Bahwa data-data yang diberikan kepada terdakwa antara lain : KTP
suami isteri, atau waris kalau asal tanah dari warisan, Surat Keterangan Lurah
atau Camat, KK, SPPT PBB, SHM asli, pada waktu data-data diserahkan
tidak ada bukti kepemilikan berbentuk Leter C, semuanya 101 tersebut SHM
jadi terdakwa membuatkan 101 akte PPJB dan Surat Kuasa Menjual untuk

69
A Ridwan Halim, Op.,Cit, hlm. 81
134

kemudian akan menjadi 101 Akte Jual Beli, luasannya tidak sama, dan
terdakwa tidak tahu berapa luasan tanah seluruhnya;
b. Memeriksa data-data subyek dari para pihak apakah berwenang dan cakap
atau tidak dalam melakukan perbuatan hukum sehingga dapat memenuhi
syarat sahnya dari suatu akta seperti, apakah pihak yang bertindak sudah
berurumur minimal 18 Tahun atau telah menikah menurut Pasal 39 ayat 1
huruf a UUJNP. Sedangkan bagian dari proses memvalidasi data obyek
adalah merupakan bagian proses dalam memeriksa dokumen-dokumen obyek
yang dibawa oleh penghadap.
Hasil Penelitian :
Menimbang bahwa selain itu tidak ada acara lain misalnya rapat-rapat,
terdakwa melakukan penelitian data sudah dapat dari cek bersih di 101 SHM
keterangannya dari hasil cek bersih di Kantor Pertanahan sudah clear.
Menimbang bahwa terdakwa meyakini gambar kavling di site plan
tersebut sebagai dasar pembuatan PPJB dan SKUM, karena ada tandatangan
dan cap/stempel resmi Bupati Sidoarjo Win Hendarso dan Gubernur Provinsi
Jawa Timur Soekarwo, ditandatangani oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum,
Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Sidoarjo Ir. Sulaksono, Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sidoarjo Ir.
Kamdani, M.Si., dan berdasarkan alas hak 112 SHM, jadi terdakwa tidak
melakukan validasi kebenaran materilnya lagi;
Menimbang bahwa Terdakwa Rosidah, SH., menanyakan kepada Kepala
BPN lupa namanya, katanya dibiarkan saja IJB nya nanti akan dibuatkan
diskresinya, lalu Terdakwa Rosidah, SH., tanyakan pengurusan balik
namanya, oleh Kepala BPN dikatakan : iya, iya saya uruskan, betul itu
dibantu, dan balik nama atas nama Sunarto.
Menimbang bahwa sekitar bulan Oktober 2009 setelah pelunasan Pak
Susilo dan Saksi Sunarto datang kepada Notaris/PPAT Terdakwa Rosidah,
SH., dengan keperluan akan melanjutkan proses balik nama. DPD REI Jawa
Timur Wilayah Sidoarjo melalui Pak Susilo kemudian menyerahkan
dokumen-dokumen surat antara lain SK Kepala Desa Kedungsolo, Ijin Lokasi
135

dari Bupati Sidoarjo, kepada Terdakwa Rosidah, SH. untuk Terdakwa


lanjutkan prosesnya, Terdakwa minta site plan, untuk diproses ke Kantor
Pertanahan Kabupaten Sidoarjo. Kata Saksi Sunarto dan Pak Susilo dari DPD
REI : itu diproses saja, karena sebagian besar sudah dilunasi. Kantor
Pertanahan Kabupaten Sidoarjo bilang ya sudah dilakukan penggabungan.
Setelah diterima Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo lalu disarankan spilt
atau pemecahan PBB, didalamnya ada permohonan IMB, disetujui split atau
pemecahan PBB atas nama warga Renojoyo.
Menimang bahwa Terdakwa Rosidah, SH., mempercayai site plan
tersebut benar karena ada tanda tangan Bupati Sidoarjo. Selanjutnya
dibuatkan PJB Saksi Sunarto selaku Penjual kepada masing-masing 476
warga Renojoyo selaku Pembeli.
c. Dalam mengerjakan suatu akta agar menghasilkan akta yang baik sepatutnya
notaris memberikan tenggang waktu dalam proses pembuatan akta agar tidak
terburu-buru dan dapat bekerja secara cermat serta teliti sehingga tidak
menimbulkan kesalahan dalam proses pembuatan akta notaris.
Hasil Penelitian :
Bahwa kalau langsung ke AJB banyak yang harus dilakukan, termasuk
dalam 7 (tujuh) hari kerja wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan
membayar pajak;
d. Memenuhi segala syarat teknik pembuatan akta notaris untuk membuat akta
notariil yang jauh dari indikasi permasalahan hukum tentunya notaris harus
memenuhi syarat formal dan syarat materil dari pembuatan akta notaris
berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris ketentuan mengenai syarat
formal dalam pembuatan akta diatur dalam Pasal 38 UUJN-P, sedangkan
syarat materil yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta autentik diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Hasil Penelitian :
Menimbang, bahwa dari perbuatan Terdakwa selaku Notaris/PPAT
tersebut, menyimpang dari diberikannya kewenangan, kewajiban dan
larangan Terdakwa selaku Notaris/PPAT, sebagaimana diatur dalam
136

peraturan tersebut diatas, yang pada pokoknya sebagai Notaris Terdakwa


harus bertindak secara seksama dan memberikan pelayanan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, kecuali ada alasan untuk
menolaknya karena terdapat hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-
undang, yaitu tanah TKD diperjualbelikan;
Dilihat dari kedudukan notaris sebagai seorang pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik sebagaimana telah ditegaskan dalam ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, penafsiran hakim dalam putusan
nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby dengan doktrin tentang prinsip kehati-
hatian yaitu :
a. Menurut penafsiran hakim notaris dalam membuat akta bertentangan dengan
undang-undang tindak pidana korupsi, akta yang dimaksud adalah akta
pengikatan jual beli dan surat kuasa mutlak atas Tanah Kas Desa (TKD),
sehingga notaris dianggap tidak melaksanakan Pasal 16 ayat 1 UUJN yaitu
bekerja secara saksama, namun tidak menjelaskan tentang bagaimana bekerja
secara seksama agar menjadi sebuah solusi hukum bagi para notaris untuk
dapat bekerja secara hati-hati.
b. Menurut doktrin secara prosedur sebagian sudah dilaksanakan oleh notaris
dengan mengecek data-data penghadap, memberikan tenggang waktu dalam
pembuatan akta, memenuhi syarat formil dalam teknik pembuatan akta akta
pengikatan jual beli, namun terhadap objek faktanya bertentangan dengan
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu hal tertentu artinya yang diperjanjikan
haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, hal
tersebut disebabkan notaris tidak mengecek objek dari pengikatan jual beli
yang di dalamnya tidak jelas, karena terdapat perbedaan alamat pada 112
SHM seluas lebih kurang 10 hektar dengan yang ada di siteplan di mana ada
tanah kas desa seluas 28.842 m² atau 2,8 hektar hal tersebut bertentangan
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Pengelolaan Aset Desa yaitu : Kekayaan desa yang berupa tanah desa / TKD
tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain,
kecuali diperlukan untuk kepentingan umum, sekalipun ada tanda tangan
137

bupati pada siteplan dan surat keputusan, namun hal tersebut seharusnya tidak
bisa dijadikan dasar, sehingga notaris dapat disimpulkan tidak melaksanakan
prinsip kehati-hatian.
Oleh karena itu pentingnya memahami prinsip kehati-hatian sekalipun tidak
dijelaskan dalam penjelasan UUJN terkait notaris harus bekerja secara seksama
dalam pembuatan akta notaris dengan prinsip kehati-hatian, notaris dapat
menggunakan pedoman doktrin-doktrin hukum terkait bekerjanya notaris secara
hati-hati agar tidak muncul seperti kasus notaris Rosidah dikemudian hari.
Selanjutnya hakim seharusnya menjelaskan uraian tentang bagaimana bekerja
secara seksama, agar menjadi solusi hukum, bagi para notaris dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian.
138

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian yang telah dijabarkan dalam hasil peneltian dan pembahasan
dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pindana korupsi,
pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang
melakukan kesalahan, kesalahan dalam perkara ini akibat dari kelalaian yang
dilakukan oleh notaris dalam pembuatan akta PPJB dan objek tersebut
menunjukan pada alamat Tanah Kas Desa yang merupakan tanah negara,
terhadap perbuatan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU Tipikor unsur
kerugian negara terpenuhi karena hakim menitik beratkan pada akibat yang
timbul dari tanah TKD yang beralih fungsi menjadi perumahan sehingga tidak
dapat dimanfaatkan dan tidak menerima penghasilan atas pengelolaan tanah
TKD, maka notaris dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya walaupun
terhadap perjanjiannya yaitu PPJB belum terjadi adanya levering.
2. Penafsiran hakim dalam putusan nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Sby yaitu,
notaris dalam membuat akta bertentangan dengan undang-undang tindak pidana
korupsi, akta yang dimaksud adalah akta pengikatan jual beli dan surat kuasa
mutlak atas Tanah Kas Desa (TKD), sehingga notaris dianggap tidak
melaksanakan Pasal 16 ayat 1 UUJN yaitu bekerja secara saksama, namun hakim
tidak menjelaskan tentang bagaimana bekerja secara seksama agar menjadi
sebuah solusi hukum bagi para notaris dalam menerapkan prinsip kehati-hatian.
Sedangkan menurut doktrin secara prosedur sebagian sudah dilaksanakan oleh
notaris dengan mengecek data-data penghadap, memberikan tenggang waktu
dalam pembuatan akta, memenuhi syarat formil dalam teknik pembuatan akta
pengikatan jual beli, namun terhadap objek faktanya bertentangan dengan Pasal
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu hal tertentu artinya yang diperjanjikan
haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, hal tersebut
disebabkan notaris tidak mengecek objek dari pengikatan jual beli yang di
dalamnya tidak jelas, karena terdapat perbedaan alamat pada 112 SHM seluas
139

lebih kurang 10 hektar dengan yang ada di siteplan di mana ada tanah kas desa
seluas 28.842 m² atau 2,8 hektar hal tersebut bertentangan dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa
yaitu : Kekayaan desa yang berupa tanah desa / TKD tidak diperbolehkan
dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan
untuk kepentingan umum, sekalipun ada tanda tangan bupati pada siteplan dan
surat keputusan, namun hal tersebut seharusnya tidak bisa dijadikan dasar,
sehingga notaris dapat disimpulkan tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian.
B. Saran
1. Pentingnya memahami prinsip kehati-hatian sekalipun tidak dijelaskan dalam
penjelasan UUJN terkait notaris harus bekerja secara seksama dalam pembuatan
akta notaris dengan prinsip kehati-hatian, notaris dapat menggunakan pedoman
doktrin-doktrin hukum terkait bekerjanya notaris secara hati-hati agar tidak
muncul seperti kasus notaris Rosidah dikemudian hari.
2. Hakim seharusnya menjelaskan uraian tentang bagaimana bekerja secara
seksama, agar menjadi solusi hukum, bagi para notaris dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian.
140

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adjie, Habib dan Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris
Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.
___________, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
___________, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia
(Kumpulan Notaris dan PPAT), Citra Aditya Bakti, Bandung.
___________, 2017, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Berdasarkan UU
No. 2 Tahun 2014 tetang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 7. Dikutip
dari Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Diantha, I Made Pasek, 2015, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Dalam
Justifikasi Teori Hukum), Cetakan ke-1, Prenada Media Group, Denpasar.
Djaja, Ermansjah, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Berdasarkan UU RI No.30 Tahun 1999 jo. No.20 Tahun 2001, Mandar Maju
Bandung.
Halim, A Ridwan,2005, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Gahalia
Indonesia, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1991, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 7. Dikutip
dari Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
___________, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia
Indonesia Jakarta.
Hanitijo, Soemitro Ronny, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Hiariej, Eddy O.S., 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta.
141

Huda, Chairul, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada
Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana, Jakarta.
Lamintang, P.A.F., 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya,
Bandung.
Makawimbang, Hernold Ferry, 2014, Kerugian Keuangan Negara (Dalam Tindak
Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif), Thafa Media,
Yogyakarta.
Mamuji, Sri dan Soerjono Soekanto, 2010, Penelitian Hukum Normatif,
PT.Grafindo Media Pratama, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke-III, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moeljatno, 1993, Asas-asas hukum pidana, Rineka cipta, Jakarta.
___________, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
___________, 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Priyatno, Dwidja dan Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1973, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.
___________, 1983, Azas-Azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung.
___________, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum
Progresif, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Malang.
Safa’at, M. Ali dan Jimly Asshiddiqie, 2012, Terjemahan Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum, Cet. ke-2, Konstitusi Press, Jakarta.
Sianturi, S.R, 2006, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet IV,
Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta.
142

Soedarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip,


Semarang.
___________, 1990, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum Undip, Semarang.
___________, 2003, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,
Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Tobing, G.H.S. Lumban, 1982, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.
Umar, Dzulkifli dan Jimmy P, 2012, Kamus Hukum Dictionary Law Cetakan I,
Gramedia Press, Surabaya.
Widjaja, Kartini Muljadi dan Gunawan, 2005, Perikatan yang lahir dari Undang-
Undang, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Wojowasito, S, 1999, kamus umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar baru, Jakarta.
B. Jurnal
Cut Era Fitriyeni,, 2012, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta
Akta Sebagai Bagian Dari Protokol Notaris”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
Nomor 58, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.
Ibnu Sajadi, 2015, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Akta Notaris
Yang Dibuatnya Atas Penghadap Yang Tidak Dapat Membaca Dan Menulis”,
Jurnal Repertorium, Volume II Nomor 2, Magister Kenotariatan, Universitas
Sebelas Maret.
Kunni Afifah, 2017, “Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris
secara Perdata Terhadap Akta yang Dibuatnya”, Jurnal Lex Renainssance,
Magister Kenotariatan, Univeristas Islam Indonesia.
Lidya Christin Natalia Rodearni Saragih, 2017, “Analisis Yuridis Tanggung Jawab
Werda Notaris Terhadap Akta Yang Batal Demi Hukum Sesudah
Berakhirnya Masa Jabatannya”, Jurnal Hukum, Volume 21, Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.
Muhammad Tiantanik Citra Mido, I Nyoman Nurjaya, Rachmad Safa’at, 2018,
“Tanggung Jawab Perdata Notaris terhadap Akta yang Dibacakan oleh Staf
143

Notaris di Hadapan Penghadap”, Lentera Hukum, Volume 5 Issue 1, Fakultas


Hukum, Universitas Brawijaya.
Saryono Hanadi dan M.I. Wiwik Yuni Hastuti, 2010, “Penerapan Dasar Penghapus
Pidana Perkara Korupsi Kajian Putusan Nomor 199/PiD.B/2008/Pn.PWT”,
Jurnal Yudisial, Volume III Nomor 02, Komisi Yudisial.
Wibby Yuda Prakoso, Gunarto, 2017, “Tanggung Jawab Dan Akibat Hukum Dari
Akta Notariil Yang Dibuat Oleh Notaris Pengganti Setelah Masa Jabatannya
Selesai”, Jurnal Akta, Volume 4 Nomor 4, Magister Kenotariatan,
Universitas Islam Sultan Agung.
C. Artikel
Budiono, Herlien, 2004, artikel Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak Majalah
Renvoi, edisi tahun I, No 10, Bulan Maret.
Subekti, Trusto, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
D. Tesis
Sam Dwi Zulkarnaen, 2008, “Prinsip Kehati-Hatian Notaris Sebagai Pejabat Umum
Dalam Melaksanakan Jabatannya”, Tesis Program Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia.
E. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
F. Internet
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9709/SKRIPSI%20LEN
GKAPPIDANA-ANDI%20ASRIANA.pdf?sequence=1,diakses hari, 08 Mei
2019 pukul 23.09

Anda mungkin juga menyukai