Anda di halaman 1dari 131

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN

PERJANJIAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH


DIBAWAH TANGAN (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)

TESIS

Oleh :

DOMITILA PATRICA SARERA


NIM. A2031211028

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PONTIANAK
2023
ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN
PERJANJIAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
DIBAWAH TANGAN (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)

TESIS

Telah Diuji Dihadapan Tim Penguji Yang Dinyatakan


Memenuhi Persyaratan Akademik Untuk Memperoleh
Gelar Magister Kenotariatan

Oleh :

DOMITILA PATRICA SARERA


NIM. A2031211028

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PONTIANAK
2023
ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN
PERJANJIAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
DIBAWAH TANGAN (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)

TESIS

Lembar Persetujuan Dosen Pembimbing Tesis Telah Diuji Dihadapan


Tim Penguji Yang Dinyatakan Memenuhi Persyaratan Akademik
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Pada Tanggal : 22 Bulan Juni Tahun 2023

Oleh :

DOMITILA PATRICA SARERA


NIM. A2031211028

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Siti Rohani, S.H., M.Hum. Rachmawati, S.H., M.H.


NIP. 197509232000032001 NIP. 196411041989032001

Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UNTAN,

Dr. Rommy Patra, SH., M.H.


NIP. 198105212005011002
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh mahasiswa dengan identitas :

Nama : Domitila Patrica Sarera, S.H.


NIM : A2031211028
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN
PERJANJIAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH DIBAWAH
TANGAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak
Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)

Tesis Ini Telah Diuji Dan Berhasil Dipertahankan Di Hadapan Tim Penguji
Yang Ditetapkan Berdasarkan Keputusan Dekan Nomor : 3713/UN22.1/TD.06/2023
Pada Hari Kamis Tanggal, 22 Juni 2023

NO NAMA TIM PENGUJI KEDUDUKAN TIM TANDA


PENGUJI TANGAN

1 Dr. Siti Rohani, S.H.,M.Hum Ketua Tim Penguji/


197509232000032001 Pembimbing I
Penata Tingkat 1/III/d
2 Rachmawati, S.H., M.H Sekretaris Tim
196411041989032001 Penguji/
Pembina/IV/a Pembimbing II
3 Dr. Ibrahim Sagio, S.H., M.Hum
196203071988101001 Penguji I
Pembinam Tingkat 1/IV/b
4 Hj. Erni Djun’atuti, S.H., M.H
196106051986022001 Penguji II
Pembina/IV/a
5 Irma Nur’afifah, S.H
- Penguji III
Notaris/PPAT

Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UNTAN,

Dr. Rommy Patra, SH., M.H.


NIP. 198105212005011002
PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Domitila Patrica Sarera, S.H.

NIM : A2031211028

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pontianak, 06 Juni 2023


Yang Menyatakan

Domitila Patrica Sarera, S.H.


NIM A2031211028

i
ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN JUAL
BELI HAK ATAS TANAH DIBAWAH TANGAN (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)
ABSTRAK

Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau yang biasa dikenal dengan istilah PPJB
merupakan suatu bentuk perjanjian yang muncul dari kebutuhan hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Perjanjian Pengikatan Jual Beli digolongkan pada
perjanjian obligatoir. Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kekuatan pembuktian yang lebih
kuat, sebaliknya Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dibawah tangan tidak
memiliki kekuatan pembuktian yang sama kuatnya seperti Perjanjian Pengikatan
Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kendati
demikian, Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dibawah tangan tetap
memiliki kekuatan hukum yang sah selama dokumen tersebut memenuhi
persyaratan hukum yang berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Nomor
92/Pdt.G/2021/PN.Ptk dan kedudukan hukum PPJB yang dibuat dibawah tangan
berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.
Metode penelitian yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif (yuridis normatif). Penelitian ini menggunakan Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach)
dan akan di Analisis menggunakan metode analisis yang bersifat kuantitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa kedudukan hukum
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dibawah tangan berdasarkan Putusan
Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk sama dengan akta autentik,
dikarenakan sudah terpenuhinya syarat sahnya jual beli menurut UUPA yakni
syarat materiil dan formil yang bersifat tunai, terang, dan riil. Kekuatan mengikat
jual beli tersebut juga sudah memenuhi syarat sahnya suatu perjajian yang termuat
dalam Pasal 1320 KUHPer dan peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas
harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad
baik. Dalam melaksanakan proses jual beli haruslah didaftarkan dan dilakukan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dibuktikan dengan adanya Akta Jual
Beli sehingga memiliki kekuatan hukum dan menjadi alat bukti yang kuat
sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.

Kata kunci : Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Akta dibawah Tangan, Kekuatan
Hukum, Peralihan Hak Atas Tanah

ii
ANALYSIS OF THE POWER OF LEGAL EVIDENCE OF PPJB (SALE
BINDING AGREEMENTS) MADE UNDER THE HANDS (Case Study of
Pontianak Court Decision Number 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)

ABSTRACT

The Sale and Purchase Binding Agreement, commonly known as the PPJB, is
a form of agreement that arises from legal needs that develop in society. The
binding sale and purchase agreement is classified as an obligatory agreement. The
binding sale and purchase agreement made before a notary or land deed official
has stronger evidentiary power, on the other hand, a binding sale and purchase
agreement made underhand does not have the same strong evidentiary force as the
binding sale and purchase agreement made before a notary or land deed official.
Nevertheless, a binding sale and purchase agreement made underhand still has
legal force as long as the document meets the applicable legal requirements. This
study aims to find out and analyze the judge's considerations in deciding case
number 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk and the legal position of PPJB, which was made
privately based on Court Decision Number 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.
The research method that the authors use in this study is normative legal
research (normative juridical). This study uses a statutory approach (statute
approach) and a case approach (case approach) and will be analyzed using
quantitative analytical methods.
The results of the research and discussion show that the legal position of the
sale and purchase binding agreement made underhand based on Court Decision
Number 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk is the same as an authentic deed due to the
fulfillment of the legal requirements of buying and selling according to the
UUPA, namely the material and formal requirements of cash, clear, and real. The
binding power of the sale and purchase also fulfills the legal requirements of an
agreement contained in Article 1320 of the code of civil law, and the transfer of
land rights based on a legally binding sale and purchase agreement occurs if the
buyer has paid the land price in full, has taken control of the object of the sale and
purchase, and is carried out in good faith. In carrying out the sale and purchase
process, it must be registered and carried out before the Land Deed Making
Officer, as evidenced by the existence of the sale and purchase deed, so that it has
legal force and becomes strong evidence as long as it is not proven otherwise.

Keywords : sale and purchase binding agreement, deed under the hand, legal
force, transfer of land rights

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian yang dilakukan pada penulisan

tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Judul tesis ini adalah

“ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN HUKUM PPJB (PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI) YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN (Studi

Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)”. Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi

persyaratan guna memperoleh gelar Magister Kenoratiatan (M.Kn) pada Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.

Dalam penulisan tesis ini, penulis sadar bahwa tanpa bantuan dari berbagai

pihak, tesis ini tidak akan terwujud sebagaimana adanya sekarang ini. Oleh karena

itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu

penyelesaian tesis ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih yaitu kepada

yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. Garuda Wiko, S.H., M.Si, FCBArb, selaku Rektor Universitas

Tanjungpura Pontianak.

2. Ibu Dr. Hj. Sri Ismawati, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Tanjungpura Pontianak.

3. Bapak Dr. Rommy Patra, S.H., M.H, selaku Ketua Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.

iv
4. Ibu Chandra Maharani, S.H., M.H, selaku Sekretaris Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.

5. Ibu Dr. Siti Rohani, S.H.,M.Hum, selaku Pembimbing I, yang penuh

kesabaran telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna

memberikan bimbingan dan pengarahan demi perbaikan dalam tesis ini.

6. Ibu Rachmawati, S.H., M.H selaku Pembimbing II, yang penuh kesabaran

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan

bimbingan dan pengarahan demi perbaikan dalam tesis ini.

7. Bapak Dr. Ibrahim Sagio, S.H., M.Hum, selaku Penguji I, yang penuh

kesabaran telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna

memberikan masukan dan saran demi perbaikan dalam tesis ini.

8. Ibu Hj. Erni Djun’atuti, S.H., M.H , selaku Penguji II, yang penuh kesabaran

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan

masukan dan saran demi perbaikan dalam tesis ini.

9. Ibu Irma Nur’afifah, S.H., selaku Penguji III, yang penuh kesabaran telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan masukan

dan saran demi perbaikan dalam tesis ini.

10. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, yang telah memeberikan banyak

ilmunya, sehingga penulis mendapatkan pengetahuan yang kelak akan penulis

gunakan dimasa depan.

v
11. Bapak dan Ibu Staf administrasi dan akademik pada Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, yang telah

banyak membantu selama masa perkuliahan dan penyelesaian studi penulis.

12. Rekan-rekan Mahasiswa/i pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak Angkatan V Tahun Akademik

2021-2023 atas segala bantuan dan kerjasamanya selama menjalani studi,

semoga cita-cita kita semua dapat terwujud.

13. Orang tua dan saudara penulis yang banyak memberikan doa serta dorongan

agar dapat menyelesaikan tesis ini.

14. Pihak-pihak lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang telah

memberi dukungan dan bantuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi

pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Tanjungpura Pontianak.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari pihak

manapun demi kesempurnaan tesis ini agar lebih bermanfaat bagi pembaca

khususnya penulis.

Pontianak, 06 Juni 2023

Penulis

Domitila Patrica Sarera, S.H.


NIM A2031211028

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.....................................i

ABSTRAK.....................................................................................................ii

ABSTRACT...................................................................................................iii

KATA PENGANTAR.................................................................................iv

DAFTAR ISI...............................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah............................................................1

1.2 Perumusan Masalah...................................................................7

1.3 Keaslian Penelitian....................................................................7

1.4 Tujuan Penelitian.....................................................................10

1.5 Manfaat Penelitian...................................................................10

1.6 Kerangka Pemikiran................................................................11

1.6.1 Kerangka Teoritik........................................................11

1.6.2 Kerangka Konseptual...................................................21

1.7 Metode Penelitian....................................................................24

1.7.1 Spesifikasi Penelitian...................................................25

1.7.2 Pendekatan Penelitian..................................................27

vii
1.7.3 Sumber dan Jenis Data Penelitian................................28

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data..........................................29

1.7.5 Teknik Analisis Data...................................................30

1.7.6 Sistematika Penelitian..................................................31

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL

BELI.............................................................................................................33

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian.......................................33

2.1.1 Pengertian Perjanjian...................................................33

2.1.2 Syarat Sah Perjanjian...................................................35

2.1.3 Asas-Asas Perjanjian...................................................40

2.2 Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Hak Atas Tanah...............49

2.2.1 Pengertian Umum Tentang Jual Beli Hak Atas

Tanah...............................................................49

2.2.2 Unsur-Unsur Jual Beli Hak Atas Tanah......................53

2.2.3 Prosedur Jual Beli Hak Atas Tanah.............................56

2.2.4 Subyek dan Objek Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Hak Atas Tanah...............................................62

2.2.5 Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas

Tanah...............................................................64

2.3 Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah................................68

2.3.1 Sistem Pendaftaran Tanah...........................................75

2.3.2 Prosedur Peralihan Hak Atas Tanah............................79

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..............83

viii
3.1 Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri dalam

Memutuskan Perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk..............83

3.2 Analisis Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli Dibawah

Tangan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.............................................................97

BAB IV PENUTUP.......................................................................109

4.1 Kesimpulan............................................................................109

4.2 Saran......................................................................................111

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya jual beli di Indonesia bukanlah hal yang baru, karena jual

beli telah dilakukan sejak zaman dahulu kala. Jual beli biasanya dilakukan

dengan adanya perjanjian atau yang dikenal dengan perjanjian jual beli. Jual

beli tidak tunduk pada hukum perdata tetapi tunduk pada hukum adat yang

terdapat dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang sering disebut UUPA.

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah atau biasa disebut juga

dengan perjanjian pengikatan jual beli, yaitu suatu perjanjian bantuan yang

berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas sesuai

dengan kehendak para pihak. Pada umumnya suatu perjanjian pengikatan jual

beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh para

pihak sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan

akhir dari perjanjian ini.

Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi “jual beli adalah suatu perjanjian, dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan”.1

1
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 397.

1
2

Tetapi faktanya dalam melakukan suatu perjanjian jual beli sering

kali para pihak tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang dilakukan

merupakan suatu perbuatan hukum yang mana dapat menimbulkan

kecurangan dari salah satu pihak atau salah satu pihak dapat mengingkari

perjanjian tersebut. Unsur pokok dalam suatu perjanjian jual beli adalah

barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kesepakatan

yang sudah dilakukan dengan harga dan barang yang menjadi objek jual beli.

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang sah, lahir apabila kedua

belah pihak telah setuju dengan harga dan barang yang sudah disepakati. Jika

terdapat perjanjian yang tidak memenuhi syarat Subjektif, maka perjanjian

tersebut dapat dibatalkan begitu pula dengan perjanjian yang tidak memenuhi

syarat Objektif maka perjanjian itu juga dapat dianggap batal. Dapat

dibatalkan dalam hal ini yang dimaksud adalah salah satu pihak dapat

memintakan pembatalan, tetapi perjanjian itu dengan sendiri tetap mengikat

kedua belah pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak

yang berhak untuk meminta pembatalan tersebut.

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah merupakan implementasi dari

asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak secara bebas dapat

menentukan kehendaknya. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Perjanjian Jual

Beli sering kali ditemukan dalam praktek sehari-hari di dalam masyarakat

maupun di bidang kenotariatan.

Secara teori dan doktrin, Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah

digolongkan pada perjanjian obligatoir, sehingga unsur perjanjian maupun


3

syarat sahnya perjanjian termasuk asas-asas hukum perjanjian pada umumnya

harus dipenuhi.2 Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah antara para pihak dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu perjanjian yang dibuat di bawah tangan atau

dapat pula dilakukan melalui suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris atau

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat dihadapan

Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah disebut akta autentik, pengertian

akta autentik terdapat didalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi “suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

dibuatnya”.3

Sedangkan Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat di

bawah tangan menurut Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

berbunyi “sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang

ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat

urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa peran-taraan

seorang pegawai umum”.4

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah dapat dibuat dihadapan

Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah atau dibawah tangan, tergantung

pada keinginan kedua belah pihak. Namun, terdapat permasalahan dalam

2
Herlien Budiono, 2018, Demikian Akta Ini: Tanya Jawab Mengenai Pembuatan
Akta Notaris Di Dalam Praktik, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm 115.
3
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 456.
4
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 456.
4

pembuktian hukum terkait kekuatan Perjanjian Jual Beli yang dibuat dibawah

tangan.

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat dihadapan

Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kekuatan pembuktian

yang lebih kuat dibandingkan dengan Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah

yang dibuat dibawah tangan. Hal ini dikarenakan Notaris atau Pejabat

Pembuat Akta Tanah memiliki kekuatan sebagai pejabat yang dapat

memastikan bahwa perjanjian yang dibuat telah memenuhi semua persyaratan

yang ditetapkan oleh hukum.

Sebaliknya, Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat

dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sama kuatnya

seperti Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat dihadapan

Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kendati demikian, Perjanjian Jual

Beli Hak Atas Tanah yang dibuat dibawah tangan tetap memiliki kekuatan

hukum yang sah, selama dokumen tersebut memenuhi persyaratan hukum

yang berlaku.

Oleh karena itu, dalam tesis ini akan dilakukan analisis terhadap

kekuatan pembuktian dari Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat

dibawah tangan. Dalam analisis ini, akan dikaji peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah yang

dibuat dibawah tangan.


5

Kasus yang terjadi dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri

Pontianak nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk antara JP melawan RS. Penulis

ambil sebagai contoh. Adapun kronologi kasus tersebut sebagai berikut :

Kasus ini bermula pada tanggal 08 Desember 1988 RS

menawarkan tanah dan bangunan rumahnya agar dibeli oleh JP, lalu JP

menyanggupi kepada RS. Pada tanggal 09 Desember 1988, RS dan JP

membuat Perjanjian jual beli/ Penyerahan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

1547/Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung (sekarang), terdaftar atas

nama RS Yang terletak di Jalan Mat Sainin, Gang Pajajaran VI No. 122,

PERUMNAS II, RT. 003, RW 012, Kelurahan Sungai Beliung, Kecamatan

Pontianak Barat, Kota Pontianak.

Perjanjian jual beli/ Penyerahan pada tanggal 09 Desember 1988

yang dilakukan oleh JP dengan RS dengan dibawah tangan tidak

menggunakan akta otentik yang di buat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta

Tanah. Perjanjian jual beli/Penyerahan tersebut dilakukan dengan perjanjian

dibawah tangan dikarenakan sertifikat HGB 1547/Sungai jawi Luar masih

dalam proses kredit pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang

Pontianak yang baru akan berakhir pada bulan 6 tahun 2008.

Kesepakatan antara JP dan RS Bahwa JP membayar senilai

Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah) dengan ketentuan sisa angsuran di bank BTN

akan dilanjutkan dan menjadi tangung jawab JP sampai lunas. Kemudian

sejak 09 Desember 1988 JP yang melakukan pembayaran sisa angsuran

kredit sertifikat HGB 1547/sungai jawi luar dengan luas 90 m2 gambar situasi
6

3834/1987 terdaftar an. RS. JP telah melunasi angsuran kredit sertifikat Hak

Guna Bangunan Nomor 1547/Sungai Jawi Luar, luas 90 m2, gambar situasi

No 3834/1987 Terdaftar an. RS pada tahun 2006. setelah JP melunasi

Sertifikat HGB 1547/Sungai Jawi Luar maka JP mengambil sertifiakt tersebut

dari Bank BTN dan JP ingin melakukan balik nama sertifikat ke Badan

Pertanahan Nasional Kota Pontianak namun di tolak oleh BPN kota

Pontianak Karena jual beli Tersebut hanya di bawah tangan dan Pihak BPN

menyarankan untuk mencari JP supaya bisa melakukan Jual beli dengan AJB

di PPAT.

JP berusaha mencari informasi keberadaan dari RS namun sampai

gugatan ini di ajukan JP tidak mengetahui keberadaan RS. Untuk kepastian

Hukum kepemilikan agar BPN Kota Pontianak Bisa melakukan balik nama

Sertifikat HGB 1547/Sungai Jawi Luar dengan luas 90 m2 ke atas nama JP.

Tanah dan bangunan dengan sertifikat HGB 1547/Sungai Jawi Luar terdaftar

an. RS sejak 09 Desember 1988 dalam Penguasaan JP.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “ANALISIS

KEKUATAN PEMBUKTIAN HUKUM PPJB (PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI) YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)”.
7

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, Penulis merumuskan

masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri dalam

Memutuskan Perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk ?

2. Bagaimana Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah

Dibawah Tangan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk ?

1.3 Keaslian Penelitian

Untuk menjamin orisinalitas substansi penelitian pada tesis ini,

penulis berusaha menemukan tesis yang memiliki substansi penelitian serupa

sebagai pembanding yang mendekati kesamaan pada judul tesis-tesis sebagai

berikut :

1) Tesis atas nama Nur Susanti yang berjudul “Praktek Jual Beli Tanah Di

Bawah Tangan Dan Akibat Hukumnya Di Kecamatan Bae Kabupaten

Kudus”. (Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro Semarang 2008). Dimana permasalahan yang

menjadi obyek penelitian dalam tesis ini adalah mengapa pada saat ini

masih ada jual beli tanah di bawah tangan di Kecamatan Bae Kabupaten

Kudus dan bagaimanakah akibat hukumnya serta bagaimanakah cara

penyelesaian terhadap jual beli tanah di bawah tangan dan caranya untuk

memperoleh alat bukti berupa sertipikat.5 Hasil dari penelitian tesis ini
5
Nur Susanti, 2008, Praktek Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan Dan Akibat
Hukumnya Di Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, , UNDIP INSTITUTIONAL
8

yaitu di Kecamatan Bae yang masih terdapat praktek jual beli tanah di

bawah tangan yaitu Desa Bacin dan Desa Gondangmanis. Kedua desa

tersebut masyarakatnya masih melakukan jual beli tanah di bawah

tangan. Hal ini dikarenakan keterbatasan biaya, waktunya lebih cepat dan

prosesnya tidak memakan waktu yang lama. Akibat hukum dari jual beli

tanah di bawah tangan di Kecamatan Bae tetap sah, sedangkan untuk

legalitasnya belum sah karena tidak ada sertipikat serta cara penyelesaian

jual beli tanah di bawah tangan di Kecamatan Bae Kabupaten Kudus

terdapat tiga cara yaitu melalui kepercayaan, selembar kwitansi dan

dihadapan Kepala Desa. Untuk memperoleh alat bukti berupa sertipikat,

PPAT membuat akta jual beli terlebih dahulu. Kemudian dibuat sertipikat

tanah yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, Sedangkan tesis ini membahas tentang

pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara dan bagaimana

Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Dibawah

Tangan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.

2) Tesis atas nama Firdansyah yang berjudul “Pelaksanaan Jual Beli Tanah

Secara Di Bawah Tangan Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus Di

Kecamatan X Koto Kab.Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat)”.

(Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Andalas 2021). Dimana permasalahan yang menjadi obyek penelitian

dalam tesis ini adalah mengapa masyarakat masih cenderung melakukan

REPOSITORY (UNDIP-IR), diakses pada tanggal 02 Juli 2023


http://eprints.undip.ac.id/18337/
9

jual beli tanah dibawah tangan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bagaimanakah proses

pelaksanaan jual beli tanah dibawah tangan di Kecamatan X Koto

Kabupaten Tanah Datar dan apakah akibat hukum terhadap pembeli yang

perolehan tanahnya melalui jual beli di bawah tangan. 6 Hasil dari

penelitian tesis ini yaitu masyarakat masih melakukan jual beli tanah

secara dibawah tangan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 didominasi karena alasan- alasan sebagai berikut

umumnya tanah-tanah yang menjadi objek jual beli tersebut belum

bersertipikat; prosedur jual beli tanah dibawah tangan, mudah, cepat dan

biayanya terjangkau; untuk melakukan jual beli tanah dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang mereka harus mengurus

sertipikat hak atas tanahnya terlebih dahulu. Hal ini menurut mereka akan

membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang lebih besar

sehingga mereka menempuh jalan yang dirasa cepat yaitu dengan

melakukan jual beli di bawah tangan yang sah menurut hukum adat saja;

jual beli tanah secara dibawah tangan berdasarkan ketentuan hukum adat

dianggap cukup memberikan perlindungan hukum. Proses pelaksanaan

jual beli tanah dibawah tangan di Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah

Datar, ternyata dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut

persiapan; pelaksanaan jual beli dan ijab qabul; penandatanganan surat


6
Deliana Permata Sari, 2021, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Secara Di Bawah
Tangan Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Kecamatan X Koto Kab.Tanah Datar
Propinsi Sumatera Barat), SCHOLAR UNAD, diakses pada tanggal 02 Juli 2023
http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/68482
10

Keterangan Jual Beli tanah oleh Para Pihak, Para saksi penjual dan

pembeli, Kepala Jorong, Ninik Mamak/Penghulu Suku penjual dan

pembeli dan diketahui oleh Ketua KAN dan Wali Nagari; pencatatan dan

registrasi surat keterangan jual beli tanah oleh Sekretariat KAN. Serta

akibat hukum terhadap pembeli yang perolehan tanahnya melalui jual

beli di bawah tangan yaitu jual beli tanah di bawah tangan yang

dilakukan masyarakat Nagari Koto Laweh dan Nagari Pandai Sikek

Kecamatan X Koto adalah sah menurut hukum karena telah memenuhi

syarat-syarat subjektif dan syarat objektif menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dan telah memenuhi pula syarat-syarat riil, tunai dan

terang menurut hukum adat; mempunyai kekuatan pembuktian yang

lemah. Walaupun jual beli di bawah tangan itu, sah menurut hukum.

Pembuktian surat di bawah tangan, hanya mempunyai kekuatan

pembuktian formal, apabila tanda tangan serta pernyataan yang

tercantum dalam surat tersebut itu diakui dan dibenarkan, maka surat di

bawah tangan itu sebenarnya sudah memiliki kekuatan dalam

pembuktian. Sedangkan tesis ini membahas tentang pertimbangan hukum

hakim dalam memutuskan perkara dan bagaimana Kekuatan Pembuktian

Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Dibawah Tangan Berdasarkan

Putusan Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini

berdasarkan permasalahan diatas adalah :


11

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam

memutuskan perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan pembuktian Perjanjian

Jual Beli dibawah tangan berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan

lebih memperkaya ilmu pengetahuan bagi penulis baik di bidang hukum

pada umumnya maupun bidang kenotariatan khususnya mengenai

kekuatan hukum dalam perjanjian jual beli hak atas tanah, kemudian

diharapkan juga dapat digunakan sebagai referensi yang dapat ikut

menunjang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum

perdata dan kenotariatan. Bagi masyarakat hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan proses

jual beli dalam hal perjanjian jual beli hak atas tanah.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai

kekuatan pembuktian dalam perjanjian jual beli hak atas tanah. Hasil

penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat yaitu


12

memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai

kekuatan pembuktian perjanjian jual beli hak atas tanah.

1.6 Kerangka Pemikiran

1.6.1 Kerangka Teoritik

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

ketidakbenarannya.

Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus

dianggap sebagai petunjuk untuk menganalisis dari hasil penelitian

yang telah dilakukan. Teori menguraikan jalan pikiran menurut

kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang

telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu

menerangkan masalah tersebut. Teori merupakan suatu penjelasan yang

berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena

menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.7

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk

memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.8

Menurut Meuwissen, tugas teori hukum adalah memberikan

suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-

pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian


7
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 134.
8
Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, hlm. 3.
13

menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya

memberikan suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran

metode untuk praktek hukum.9

Untuk menganalisis permasalahan yang dikaji dalam

penelitian ini, adapun teorinya yaitu:

a. Teori Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang dalam “Kamus Besar

Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan

kebenaran peristiwa atau keterangan nyata”.10 Pembuktian merupakan

suatu tindakan atau perbuatan untuk membuktikan kebenaran atas

suatu peristiwa yang telah terjadi.

Menurut Riduan Syahrani pembuktian adalah penyajian alat-alat

bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu

perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang

dikemukakan.11

Menurut Sudikno Mertokusumo membuktikan mengandung


beberapa pengertian, yaitu:
a. Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian
tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif
sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :

9
B.Arif Sidharta, Meuwissen, 2007, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 31.
10
Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Pusat:
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 229.
11
H. Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 83.
14

1) Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga


bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2) Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga
disebut conviction raisonee.
3) Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata),
tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim
yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan.12

Jadi dapat dikatakan bahwa dalam suatu proses perdata, salah satu

tugas hakim adalah menyelediki apakah suatu hubungan hukum yang

menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Membuktikan

dalam arti yuridis tidak lain hanya memberi dasar-dasar yang cukup

kepada hakim yang memeriksa perkar yang bersangkutan guna

memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Sebagai tujuan akhir dari pembuktian ini tidak lain adalah putusan

hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.

b. Teori Perlindungan Hukum

Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah tercantumkan


dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, diantaranya
menyatakan prinsip, “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar)”. “Unsur utama negara hukum adalah pengakuan dan
perlindungan fundamental rights tentang fundamental atau hak asasi
manusia. Tujuan dari perlindungan hukum adalah untuk melindungi
hak asasi manusia yang dilanggar oleh orang lain, dan perlindungan
tersebut diberikan kepada masyarakat untuk menikmati semua hak
yang diberikan oleh undang-undang”.13

Menurut Satijipto Raharjo perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang

12
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam,
Yogyakarta: Liberty, hlm. 127.
13
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.76.
15

dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.14 Sedangkan menurut Setiono Perlindungan Hukum adalah

tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan

sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan

hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga

memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia.15

Dapat dikatakan bahwa teori perindungan hukum adalah

prinsip-prinsip yang mendasari sistem hukum dalam melindungi hak-

hak dan kebebasan individu, serta menjamin keadilan dalam

masyarakat. Teori perlindungan hukum juga seringkali terkait dengan

hak asasi manusia, teori ini berpendapat bahwa sistem hukum harus

melindungi dan menghormati hak-hak manusia termasuk hak atas

kehidupan, kebebasan pribadi dan lain sebagainya.

c. Teori Kepastian Hukum

Kepastian merupakan salah satu ciri yang tidak dapat dipisahkan

dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

kepastian akan kehilangan makna karena tidak bisa lagi digunakan

sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri

merupakan salah satu tujuan dari hukum.

14
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 53.
15
Setiono, 2004, Supremasi Hukum, Surakarta: UNS, hlm. 3.
16

Menurut Sudikno Mertokusumo kepastian hukum adalah

jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut

hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat

dilaksanakan.16

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan

bunyinya, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum

dilaksanakan. Penciptaan kepastian hukum dalam peraturan

perundang undangan, memerlukan persyaratan yang berkenaan

dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.17

Menurut pendapat Gustav Radbruch kepastian hukum


adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum tentang hukum
itu sendiri). Adapun empat hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum, diantaranya :
a) Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-
undangan (gesetzliches Recht).
b) Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu
rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim,
seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”.
c) Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah
dijalankan.
d) Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.18
Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum diungkapkan
oleh Roscoe Pound, seperti yang dikutip di dalam buku yang berjudul
Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter Mahmud Marzuki dimana
kepastian hukum mengandung dua pengertian, diantaranya:
1. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
2. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu

16
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengntar, Yogyakarta:
Liberty, hlm. 160.
17
Fernando M Manulang, 2007, Hukum Dalam Kepastian, Bandung: Prakarsa, hlm.
95.
18
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Undang- Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman
Awal, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 292-293.
17

individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau


dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan
hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga
adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu
dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah
diputus.19

d. Teori Kekuatan Hukum

Menurut Jimly Asshiddiqie kekuatan hukum suatu norma hukum

tergantung pada sumber keabsahannya. Sumber keabsahan hukum

dapat berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, putusan

pengadilan, dan doktrin hukum.20 Sedangkan menurut Satjipto

Rahardjo kekuatan hukum suatu norma hukum tidak hanya

tergantung pada keabsahan sumbernya, tetapi juga pada kemampuan

norma tersebut untuk dipatuhi oleh masyarakat.21

Dapat dikatakan bahwa kekuatan hukum adalah kemampuan suatu

norma hukum atau peraturan untuk mempengaruhi perilaku dan

keputusan masyarakat serta pemerintah dalam suatu negara. Kekuatan

hukum dapat dilihat dan diukur dari tingkat kepatuhan masyarakat dan

pemerintah terhadap norma hukum tersebut, serta efektivitas dari para

penegak hukum dalam mengatasi pelanggaran terhadap norma hukum

tersebut.

19
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, hlm.137.
20
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Jakarta:
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 330.
21
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, hlm.
100.
18

e. Teori Perjanjian

Teori perjanjian adalah konsep dalam hukum yang merujuk pada

pembentukan kesepakatan antara para pihak untuk menciptakan

hubungan hukum yang saling mengikat.

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 22 Sedangkan

menurut M. Yahya Harahap suatu perjanjian adalah suatu hubungan

hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan

kekuatan hukum pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksankan prestasi.23

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.24 Maksud dari pasal ini adalah bahwa sebuah persetujuan

merupakan suatu perbuatan dilakukan oleh satu orang dengan orang

lain atau lebih dan mengikatkan dirinya kepada orang lain.

Selain pasal diatas juga terapat Pasal 1338 Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata yang mengatur perjanjian yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan- alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik“.25

22
Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intersema, hlm. 122.
23
Syahmin AK, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hlm.1.

24
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 381.
25
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 383.
19

Asas Konsensualitas yang dijelaskan dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian bahwa suatu

perjanjian harus dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara kedua

belah pihak. Tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak tidak

akan terjadi sebuah perjanjian, karena dalam perjanjian tidak boleh

ada yang dirugikan. Terdapat pihak yang menuntut hak, dan juga

terdapat pihak yang harus memenuhi tuntutan tersebut.26

f. Jual Beli

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya

undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan

perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam

perjajian jual beli, para pihak diberikan kebebasan dalam membuat

klausula atau pasal-pasal atau isi perjanjian yang dikehendakinya

sesuai dengan nama dari perjanjian tersebut.

Hukum adat memuat pengertian dari jual beli merupakan

perbuatan pemindahan hak yang sifatnya tunai, rill dan terang. Sifat

tunai berarti berarti penyerahan hak pembayaran harganya dilakukan

pada saat yang sama. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan

kontrak jual beli dimuka. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan

26
Op. Cit, Syahmin AK, hlm. 66.
20

oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.

Dengan dilakukannya jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat

terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara

sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak

membuktikan telah terjadi pemindahan dari hak penjual kepada

pembelinya dengan disertai pembayaran harganya.27

Pengertian jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata pasal 1457 adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang

satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan

pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli

menurut UUPA adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak

milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada

pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada

penjual jual-beli yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah dari

penjual kepada pembeli itu termasuk hukum agraria.

Dalam pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

berbunyi “jual beli itu dinggap telah terjadi antara kedua belah pihak,

seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang

kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum

diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. 28

Yang artinya bisa dikatakan bahwa jual beli termasuk suatu

perjanjian konsensuil dimana secara sederhana dapat dikatakan bahwa

27
Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 3
28
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 397.
21

pada dasarnya setiap penerimaan yang diwujudkan dalam bentuk

pernyataan penerimaan, baik yang dilakukan secara lisan maupun

yang dibuat dalam bentuk tertulis menunjukkan saat lahirnya

perjanjian. Tujuan dari diadakannya suatu proses jual beli adalah

untuk mengalihkan hak milik atas kebendaan yang dijual.

g. Perjanjian Jual Beli

Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian jual beli

adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju

memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan

sejumlah uang yang disebut harga.29

Perjanjian jual beli adalah persetujuan di mana penjual


mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang
sebagai milik (en eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren)
pembeli mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan. Ada
tiga hal yang tercantum dalam definisi ini, yaitu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan barang kepada pembeli dan menjaminnya, serta
membayar harga.30
Menurut Subekti sebagaimana dikutip dari Salim dalam
bukunya berjudul Hukum Kontrak (Teori dan Praktik Penyusunan
Kontrak) disebutkan bahwa di dalam hukum Inggris, perjanjian jual
beli (contract of sale) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sale
(actual sale) dan agreement to sell, hal ini terlihat dalam Section 1
ayat (3) dari Sale of Goods Act 1893. Sale adalah suatu perjanjian
sekaligus dengan pemindahan hak milik (compeyance), sedangkan
agreement to sell adalah tidak lebih dari suatu koop overeenkomst
(perjanjian jual beli) biasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Apabila dalam suatu sale si penjual melakukan wanprestasi
maka si pembeli dapat menggunakan semua upaya dari seorang
pemilik, sedangkan dalam agreement to sell, si pembeli hanya
mempunyai personal remedy (kesalahan perorangan) terhadap si
penjual yang merupakan pemilik dari barangnya (penjual) jauh pailit,
barang itu masuk boedel kepailitan. Dalam hukum Inggris terlihat
29
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perjanjian, Bandung: PT Alumni, hlm.
243.
30
Salim, 2014, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 48.
22

bahwa ada perbedaan prinsip antara sale dan agreement sell. Sale
terdiri atas perjanjian jual dan pemindahan hak milik, agreement to
sell belum tentu ada penyerahan hak milik.31

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian jual

beli ialah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan

pembeli, di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk

menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima

harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak

menerima objek tersebut. Sedangkan unsur unsur yang tercantum

dalam perjanjian jual beli adalah adanya subjek hukum (yaitu penjual

dan pembeli), adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli dan

adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan

pembeli.

1.6.2 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan konsep-konsep dasar yang

berkaitan dengan konsep-konsep yang terkandung dalam judul

penelitian yang dijabarkan dalam permasalahan dan tujuan penelitian.

Konsep-konsep dasar ini akan dijadikan pedoman dalam rangka

mengumpulkan data dan bahan-bahan hukum yang dibutuhkan dalam

penelitian ini untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

Konsep-konsep dasar lazimnya diperoleh setelah dilakukan penelusuran

bahan-bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian yang berupa

kajian pustaka menyangkut permasalahan dan tujuan dari penelitian ini.


31
Ibid, hlm. 49.
23

Penelitian ini akan mengkaji mengenai “ANALISIS YURIDIS

KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK ATAS

TANAH DIBAWAH TANGAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan

Negeri Pontianak Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk)”. Untuk membahas

judul tersebut telah dibuat 2 (dua) variabel penelitian yang akan dikaji

lebih jauh, yakni Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri

dalam Memutuskan Perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk dan

Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Dibawah

Tangan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk

sebagai variabel kedua.

Pada variabel pertama adalah Pertimbangan Hukum Hakim

Pengadilan Negeri dalam Memutuskan Perkara akan dikaji mengenai

pertimbangan hukum hakim terkait fakta-fakta perkara, bukti-bukti

yang diajukan dan analisis isi dokumen putusan.

Pada variabel kedua adalah Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual

Beli Hak Atas Tanah Dibawah Tangan akan dikaji mengenai kekuatan

pembuktian Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Dibawah Tangan.

Kajian terhadap aturan-aturan yang berkaitan kemudian dikombinasikan

dengan doktrin-doktrin yang ada sehingga akan didapatkan gambaran

yang jelas mengenai variabel yang dikaji. Pada variabel kedua ini,

penulis akan membahas mengenai Kekuatan Pembuktian, Jual Beli,

Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Jual Beli Dibawah Tangan.


24

Dari kajian atas variabel pertama dan variabel kedua tersebut

diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait

dengan pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara dan

kekuatan pembuktian Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah dibawah

tangan serta dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan

hukum yang lebih baik dalam sistem peradilan.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian Ilmiah menurut Fred N. Kerlinger adalah “Scientific


research is a systematic, controlled empirical and critical investigation of
propositions about the presumed relationship about various phenomena”.
Menurut Kerlinger, penelitian adalah suatu penyelidikan yang sistematis,
terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan
dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira
terdapat antara fenomena-fenomena itu.32
Pandangan lain dikemukakan oleh Parsons bahwa pada
prinsipnya penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inquiry) secara sistematis
dengan penekanan bahwa pencarian itu dilakukan terhadap masalah-masalah
yang dapat dipecahkan. Selanjutnya, oleh Dewey dijelaskan bahwa penelitian
adalah transformasi yang terkendalikan atau terarah dari situasi yang dikenal
dalam kenyataan-kenyataan yang ada padanya dan hubungannya, seperti
mengubah unsur dari situasi orisinal menjadi suatu keseluruhan yang bersatu-
padu.33
Peter Mahmud Marzuki, mendefinisikan penelitian hukum
adalah “suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”. Suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, hal ini sesuai dengan
karakter ilmu hukum.34
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan
metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistim,

32
Fred N, Kerlinger, 2000, Asas-Asas Penelitian Behavioral (terjemahan),
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 17
33
Moh. Nazir, 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 13.
34
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 35.
25

sedangkan konsisten bearti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam


suatu kerangka tertentu.35

Soerjono Soekanto juga membagi penelitian hukum menjadi dua macam,

yaitu :

a. Penelitian hukum normatif; dan

b. Penelitian hukum empiris.36

Sedangkan Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa menurut fokus


kajiannya, penelitian hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tipe, yakni :
a) Penelitian hukum normatif (normatif law research);
b) Penelitian hukum normatif-empiris, yang dapat disebut juga penelitian
hukum normatif-terapan (applied law research);
c) Penelitian hukum empiris (empirical law research).37

Metode merupakan proses dan cara untuk memecahkan suatu masalah,

sedangkan penelitian adalah memeriksaan dengan hati-hati, taat dan selesai

terhadap suatu tanda untuk menambah ilmu pengetahuan. Dengan kata lain

metode penelitian dapat dikatakan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara

untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi didalam melakukan

penelitian.

1.7.1 Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian

yuridis normatif. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan (law in the books)

35
Sorjoeno Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm.
42.
36
Ibid,hlm.13-14
37
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, hlm. 52-54.
26

atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.38

Menurut E. Saefullah Wiradipradja penelitian hukum normatif


merupakan “penelitian hukum yang mengkaji norma hukum positif
sebagai obyek kajiannya”. Dalam penelitian hukum normatif, hukum
tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang bersifat utopia semata
tetapi telah terlembaga dan telah ditulis dalam bentuk norma, asas dan
lembaga hukum yang ada. Penelitian hukum normatif disebut juga
sebagai penelitan hukum dogmatik yang mengkaji, memelihara dan
mengembangkan bangunan hukum positif dengan bangunan logika.39

Ahmad Mukti Fajar ND dan Yulianto menjelaskan pengertian

penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan

hukum sebagai norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai

asas-asas, norma, kaidah, dari perundang-undangan, putusan

pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).40

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif

adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab

permasalahan hukum yang dihadapi.41

Sedangkan menurut Seorjono Soekanto dan Sri Mamudji,


menjelaskan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder).
Dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan (di samping adanya penelitian hukum sosiologis atau
empiris yang terutama meneliti data primer). 42 Soerjono Soekanto dan
38
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, Jakarta: UI-Press,
hlm. 43.
39
E. Saefullah Wiradipradja, 2015, Penuntun Praktis Metode Penelitian dan
Penulisan Karya Ilmiah, Bandung: Keni Media, hlm.5.
40
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitiam Hukum
Normatif dan Penelitian Hukum Empiris, Yogyakarta: Pustaka Plajar, hlm. 34.
41
Peter Mahmud Marzuki (Peter Mahmud I), 2005, Penelitian Hukum: Edisi Revisi,
Jakarta: Kencana Prenada Media group, hlm. 47.
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2015, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan singkat (Edisi Ctakan ke 17), Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 15.
27

Sri Mamudji juga menguraikan jenis penelitian hukum normatif atau


kepustakaan mencakup :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal;
d. Penelitian perbandingan hukum; dan
e. Penelitian sejarah hukum.43

Berdasarkan pendapat para ahli dapat diartikan bahwa penelitian

hukum normatif adalah proses penelitian untuk meneliti dan mengkaji

tentang hukum sebagai norma, aturan, asas hukum, prinsip hukum,

doktrin hukum, teori hukum dan kepustakaan lainnya untuk menjawab

permasalahan hukum yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti

melakukan penelitian terhadap kekuatan pembuktian perjanjian jual beli

hak atas tanah.

1.7.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum menggunakan berbagai pendekatan, dengan

tujuan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu

yang diteliti. Untuk memecahkan masalah yang menjadi pokok bahasan

dalam penelitian hukum diperlukan pendekatan dalam penelitian

hukum.

Johnny Ibrahim membagi pendekatan penelitian hukum normatif


menjadi tujuh pendekatan, yang meliputi :
a. Pendekatan perundang-undangan;
b. Pendekatan konseptual;
c. Pendekatan analitis;
d. Pendekatan perbandingan;
e. Pendekatan historis;
f. Pendekatan filsafat;
g. Pendekatan kasus.44

43
Ibid, hlm. 14.
28

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum


menurut Peter Mahmud Marzuki ada 5 pendekatan adalah sebagai
berikut;
a. Pendekatan undang-undang (statute approach),
b. Pendekatan kasus (case approach),
c. Pendekatan historis (historical approach),
d. Pendekatan komparatif (comparative approach), dan
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach).45
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach).

Menurut Irwansyah Pendekatan undang-undang (statute approach)


dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undang dan
yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang
dihadapi. Pendakatan ini merupakan penelitian yang mengutamakan
bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undang sebagai bahan
acuan dasar dalam melakukan penelitian. 46 Dan Pendekatan kasus (case
approach) dilakukan dengan melakukan telaah yang berkaitan dengan
isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus
yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah
pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan, sehingga
dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum
yang dihadapi.47
1.7.3 Sumber dan Jenis Data Penelitian

Soerjono Soekanto tidak menggunakan bahan hukum, tetapi

menggunakan istilah data sekunder atau data kepustakaan, yang

didalamnya mengandung istilah bahan hukum. Sedangkan Peter

Mahmud Marzuki menggunakan istilah bahan hukum dan tidak

menggunakan kata data.48


44
Johnny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian hukum Normatif, Malang:
Bayu Media Publishing, hlm. 300.
45
Op.Cit, Peter Mahmud Marzuki, hlm. 93.
46
Irwansyah, 2021, Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel,
Yogyakarta: Mirra Buana Media, hlm. 133.
47
Ibid, hlm. 138.
48
Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram: Mataram University
Press, hlm. 59.
29

Data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa bahan-bahan

hukum sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

dan terdiri dari :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 05 Tahun 1960;

3) Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah;

4) Putusan Pengadilan Negeri Pontianak.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu :

1) Buku-buku yang berkaitan;

2) Jurnal Hukum;

3) Makalah-makalah dan hasil penelitian lainnya;

4) Teori-teori hukum dan pendapat sarjana melalui literatur yang

dipakai.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti, berasal dari Kamus Hukum dan

Ensiklopedia yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum

normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan


30

hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun

bahan hukum tersier dan atau bahan non-hukum.

Menurut Abdulkadir Muhammad dalam penelitian

hukum normatif dikenal tiga jenis metode pengumpulan data

sekunder, yaitu:

1) Studi pustaka (bibliography study);

2) Studi dokumen (document study): dan

3) Studi arsip (file or record study).49

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik

pengumpulan dokumen yang akan menghasilkan data sekunder yang

diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan studi putaka yang

terkait. Studi Pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai

hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara

luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.50

Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan

hukum primer, hukum sekunder dan hukum tersier dalam penelitian

ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen/pustaka atau

penelitian pustaka (library research) yaitu dengan cara

mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan, dokumen-

dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan

masalah penelitian.

49
Op. Cit. Abdulkadir Muhammad, hlm. 81-84.
50
Op.Cit, Muhaimin, hlm. 65.
31

1.7.5 Teknik Analisis Data

Dalam suatu penelitian sebelumnya perlu disusun secara

sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur

logika ilmiah yang sifatnya kualitatif. Menurut Salim HS dan Erlies

Septiana Nurbani Analisis Kualitatif merupkan analisis data yang

tidak menggunakan angka, melainkan memberi gambaran-gambaran

(deskripsi) dengan kata-kata atau temuan-temuan, dan karenanya ia

lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data dan bukan kuantitas.51

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode analisis yang bersifat kualitatif yaitu dengan cara melakukan

interprestasi (penafsiran) terhadap bahan-bahan hukum yang telah

diolah.

Seluruh bahan hukum yang telah dikumpulkan, kemudian akan

dipilih atau dipilah dan diolah selanjutnya ditelaah dan dianalisis

sesuai dengan isu hukum yang dihadapi, untuk kemudian menarik

suatu kesimpuan. Penarikan kesimpulan menggunakan metode

penyimpulan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit

yang dihadapi.

1.7.6 Sistematika Penelitian

Dalam penulisan tesis ini Penulis membagi penulisan

sebagai berikut :
51
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 19.
32

BAB I : Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang

Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Keaslian Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Kerangka Pemikiran yang terdiri dari

Kerangka Teoritik dan Kerangka Konseptual,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian

BAB II : Pada bab ini berisikan pembahasan yang

dilakukan Penulis atas penelusuran bahan-bahan

pustaka, konsep-konsep dasar dan teori-teori

yang penulis anggap releven dengan penulisan

tesis ini, yaitu terdiri : Tinjauan Umum Tentang

Perjanjian Tinjauan Umum Tentang Jual Beli

Hak Atas Tanah dan Dasar Hukum Peralihan

Hak Atas Tanah.

BAB III : 1. Pada bab ini adalah memuat penjabaran

atau pembahasan hasil penelitian Penulis

yang dipaparkan secara sistematis sesuai

dengan rumusan masalah yang menjadi

objek penelitian penulis, yaitu terdiri dari

Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan

Negeri dalam Memutuskan Perkara

Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk dan

Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual


33

Beli Hak Atas Tanah Dibawah Tangan

Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk.

BAB IV : Pada bab ini merupakan bagian yang memuat

paparan singkat berupa kesimpulan Penulis

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

Penulis disertai saran atau rekomendasi yang

dibuat dan diberikan berdasarkan kesimpulan

Penulis.

Bagian Akhir : terdiri dari Daftar Pustaka yang memuat

informasi mengenai referensi-referensi yang

digunakan penulis dan lampiran-lampiran yang

Penulis pandang perlu untuk disertakan dalam

Penelitian Tesis ini.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

2.1.1 Pengertian Perjanjian

Selain undang-undang sebagai sumber perikatan, perjanjian

juga termasuk sumber dari perikatan. Hal ini diatur dalam ketentuan

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena

undang-undang”.52

Perikatan yang lahir karena perjanjian mempunyai

perbedaan dengan perikatan yang lahir dari undang-undang, perikatan

yang lahir karena perjanjian mempunyai sifat sukarela dan kebebasan

dari para pihak, pihak diberikan kebebasan untuk membuat suatu

perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak.

Berbeda dengan perikatan yang timbul akibat dari undang-

undang, bahwa lain pada perjanjian yang melahirkan perikatan, maka

disini dapat lahir perikatan antara orang atau pihak yang satu dengan

pihak yang lainya, tanpa orang-orang yang bersangkutan

menghendakinya atau lebih tepat, tanpa memperhitungkan kehendak

mereka.53
52
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 378.
53
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung: Alumni,
hlm. 40.

34
35

Pengertian Perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1313 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata merumuskan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
54
orang lain atau lebih”. Definisi perjanjian yang dirumuskan di dalam

Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut dianggap

kurang lengkap, sehingga beberapa ahli hukum mencoba merumuskan

definisi perjanjian yang lebih lengkap, antara lain :

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.55 Menurut KRMT

Tirtodiningrat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan

kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang- undang.56 Menurut

Setiawan dalam buku Pokok-pokok Hukum Perikatan, Perjanjian

adalah perbuaan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih.57

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad definisi


perjanjian dalam Pasal 1313 kurang lengkap dan memiliki beberapa
kelemahan antara lain:
a. Rumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena
kata “mengikatkan‟ hanya datang dari salah satu pihak;
54
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 381.
55
Subekti R, 2009, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, hlm. 84.
56
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsiobalitas dalam
Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, hlm. 43.
57
R.Setiawan, 2008, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bima Cipta, hlm. 14.
36

b. Definisi tersebut terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan


diri terbatas dalam lapangan hukum harta kekayaan, sehingga dapat
pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum
keluarga;
c. Tanpa menyebut tujuan, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak
mengikatkan diri. Sehingga dari kekurangan-kekurangan tersebut,
beliau melengkapi definisi perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan.58

Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian tersebut di atas,

maka dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu hubungan

hukum antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan

kewajiban dan mengikat para pihak yang membuatnya. Dan dapat

disimpulkan bahwa perjanjian merupakan tindakan hukum yang

mempunyai tujuan yang jelas, yaitu dengan melaksanakan perjanjian

sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati oleh para pihak

dalam perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan

dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak

bertentangan dengan kepentingan umum.

2.1.2 Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan yang mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.

Perjanjian tersebut hanya dapat dilakukan apabila memenuhi unsur dan

syarat sah suatu perjanjian dimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :


58
Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Citra
Aditya Bakti, hlm. 80-81.
37

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.”59

Terdapat syarat subyektif dan syarat obyektif sebagai syarat

sahnya perjanjian.

Syarat Subyektif yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata)

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung

pengertian bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian antara

satu pihak dengan pihak lain harus bersepakat mengenai hal-hal

pokok suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan

apabila dalam perjanjian terdapat 3 (tiga) unsur seperti berikut :

1. Unsur paksaan (dwang) adalah paksaan terhadap badan, paksaan

terhadap jiwa, serta paksaan lain yang dilarang oleh undang-

undang;

2. Unsur kekeliruan (dwaling) adalah kekeliruan terhadap orang

(subjek hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek hukum);

3. Unsur penipuan (bedrog) adalah suatu perjanjian yang tidak

mengandung kebebasan bersepakat karena tidak mengandung

unsur paksaan atau unsur kekeliruan dan unsur penipuan dapat

59
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 381.
38

dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun

sebagaimana di maksud pada pasal 1454 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

Kata sepakat harus timbul dari hati nurani setiap pihak yang

melakukan perjanjian tanpa ada suatu paksaan apapun dari pihak

lain. Perjanjian dianggap cacat apabila mengandung paksaan atau

intimidasi, mengandung penipuan yang timbul dari sebuah

kejahatan tipu muslihat serta mengandung kekhilafan atau

kekeliruan terhdap obyek maupun subyek perjanjian atau biasa

disebut error in persona. Kesepakatan yang telah terjadi karena

adanya paksaan dan hal hal lain yang disebutkan diatas bisa

dibatalkan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata)

Kata cakap adalah seseorang yang dianggap mampu

melakukan perjanjian. Pihak yang dianggap cakap merupakan

pihak yang telah dewasa usianya yaitu usia 21 tahun, apabila usia

dibawah 21 tahun telah menikah maka telah dianggap cakap

melakukan sebuah perjanjian, Seseorang yang mengadakan

perjanjian haruslah cakap menurut hukum yakni berumur 21 tahun,

selain itu seseorang itu tidak boleh sedang ditaruh dalam

pengampuan (curatale) yaitu orang yang telah dewasa tetapi

dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila dan boros.


39

Syarat Obyektif

c. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata)

Suatu hal tertentu adalah mengenai objek hukum atau

mengenai bendanya yang diperjanjikan. Dalam membuat perjanjian

antara para pihak itu haruslah ada objeknya, apakah menyangkut

benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak atau tidak

bergerak. Objek tersebut berupa barang yang dapat

diperdagangkan. Barang-barang yang menjadi obyek merupakan

barang yang tidak dilarang dalam Undang- undang. Selain

mengenai benda juga pada pokok perjanjian atau isi perjanjian

haruslah tidak bertentangan dengan hukum suatu pekerjaan.

Apabila tidak terdapat objek dalam sebuah perjanjian makan

perjanjian tersebut batal demi hukum.

d. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata)

Suatu sebab yang halal mengandung pengertian bahwa pada

benda objek hukum yang menjadi pokok perjanjian atau isi

perjanjian haruslah tidak bertentangan dengan hukum dan

ketertiban umum. Sahnya kausa yang halal merupakan persetujuan

yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian. Apabila obyek yang

ada dalam sebuah perjanjian adalah illegal dan bertentangan


40

dengan norma- norma yang ada, bertentangan dengan kesusilan,

dan bertengan dengan Undang-undang maka perjanjian tersebut

batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi

semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Angka 1

dan angka 2 disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut

mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan angka 3 dan

angka 4 merupakan syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi

hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah

ada. Dan jika yang tidak dipenuhi syarat subjektif, maka akibat hukum

dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak

memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang

tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat

perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim.

Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum

selama belum dibatalkan oleh hakim.

Selain syarat di atas, pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat


beberapa unsur perjanjian yaitu:
1. Unsur esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam
perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan
dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli
secara elektronik;
2. Unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam
perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian,
seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian;
41

3. Unsur accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para


pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi
“barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.60
2.1.3 Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas. Asas hukum

bukanlah hukum yang konkrit, melainkan merupakan latar belakang

peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstark.61

Asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya


atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang
terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundangan dan putusan hakim yang merupakan
hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat hukum
dan peraturan yang konkrit tersebut.62
Asas-asas yang terpenting adalah :
1. Asas Kepribadian (Pasal 1315 jo 1340 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata);
2. Asas Konsensualisme (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata);
3. Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).63

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara

hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjan yang dibuat

menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata terdapat beberapa asas yang menjadi pedoman

dan patokan, serta menjadi batasan atau rambu dalam mengatur dan

membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi

perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan


60
R. Subekti, 2014, Aneka Perjanjian Cetakan Ke XI, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 20.
61
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta:
Liberty, hlm. 33.
62
Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 8.
63
Djaja S. Meliala, 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung: Nuansa
Aulia, hlm. 173.
42

pelaksanaan atau pemenuhannya. Adapun asas-asasnya adalah sebagai

berikut :

1. Asas Kepribadian (Personality)

Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa

seseorang yang membuat perjanjian dengan orang lain hanyalah

untuk para pihak yang membuatnya saja. Pihak ketiga tidak akan

terikat dalam perjanjian tersebut. Asas tersebut dapat di lihat dalam

Pasal 1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan

“Pada umumnya tak seorang dapat mengikakan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk

dirinya sendiri”.64 Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk

mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk

kepentingan dirinya sendiri.

Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

berbunyi “Suatu Perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya”.65 Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian

yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang

membuatnya.

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya

sebagaimana dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang menyatakan “Lagi pun diperboehkan juga untuk

64
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 381.
65
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 383.
43

meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak

ke tiga, apabila sutu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang

untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya

kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”.66

Pasal ini mengkontruksikan bahwa seseorang dapat


mengadakan Perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Karena suatu
perjanjian itu hanya berlaku bagi yang mengadakan perjanjian itu
sendiri, maka pernyataan tersebut dapat dikatakan menganut asas
kepribadian dalam suatu perjanjian.67
Menurut Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata membedakan 3 (tiga) golongan yang tersangkut dalam
suatu perjanjian yaitu :
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
2. Para ahli mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya;
3. Pihak ketiga.68

2. Asas Konsensualisme

Kata konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti

kesepakatan. Asas konsensualisme merupakan asas yang

menyatakan umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup

dengan adanya kesepakatan yang merupakan persesuaian kehendak

antara masing-masing pihak. Asas ini dapat ditemukan dalam pasal

1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mensyaratkan

adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.

Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian

pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan

adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan

66
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 381.
67
I Ketut Oka Setiawan, 2015, Hukum Perikatan, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 47.
68
Ibid, hlm. 47.
44

persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh

kedua belah pihak. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya

kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi

mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah

bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak

untuk memenuhi kontrak tersebut.

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan


asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang ada
dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
terlihat pada istilah “kesepakatan” dimana menurut asas ini
perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Di sini
yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of
mind) sebagai inti dari hukum kontrak.69

Asas konsensualisme merupakan roh dari perjanjian. Hal ini

tersimpul dari kesepakatan kedua belah pihak, namun demikian

pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan

wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya

cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya

perjanjian.70

Dengan demikian, asas konsensualisme yang tersimpul dari

ketentuan Pasal 1320 Angka 1 (tentang kesepakatan atau

toestemming), yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir

dengan adanya kata sepakat, kehendaknya juga di interprestasi

semata-mata secara gramatikal.

69
Hernoko Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial Laksbang, Yogyakarta: Mediatama, hlm. 106.
70
Ibid, hlm. 111.
45

Pemahaman asas konsenualisme yang menekankan pada

“sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang

berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi

komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang

yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya

perbuatan”, sehingga dengan asumsi bahwa yang berhadapan

dalam berkontrak itu adalah para “gentelmen”, maka akan terwujud

juga “gentlemen agreement” diantara para pihak.

Apabila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada

dalam kerangka yang sebenarnya, dalam arti terjadi cacat

kehendak, maka dalam hal ini akan mengancam eksistensi kontrak

itu sendiri. Pada akhirnya, pemahaman terhadap asas

konsensualisme tidak terpaku sekedar berdasarkan pada kata

sepakat saja.

3. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak erat dengan isi suatu

perjanjian, terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas

yang sangat penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak

bebas, pancaran dari hak manusia.71

Asas keibebasan berkontrak adalah suatu asas yang


memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
71
I Ketut Oka Setiawan, 2015, Hukum Perikatan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 45.
46

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;


dan
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.72
Dengan asas ini para pihak yang membuat dan mengadakan

perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat

kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja,

selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut

bukanlah sesuatu yang terlarang.73

Unsur-unsur kebebasan yang terkandung dalam asas kebebasan


berkontrak terdiri dari :
1) Kebebasan dari setiap orang untuk mengadakan atau tidak
mengadakan perjanjian;
2) Kebebasan dari setiap orang untuk mengadakan perjanjian
dengan siapapun;
3) Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian;
4) Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian;
5) Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembentukan
perjanjian.74
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada
seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan
dengan perjanjian diantaranya :
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau
tidak;
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.75

Asas kebebasan berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam

suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian,

72
Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 9.
73
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 46.
74
C.S.T. Kansil, 2003, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum (Jilid 2), Jakarta:
Balai Pustaka, hlm. 22.
75
Riduan Syahrani, 2004, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:
Alumni, hlm. 15.
47

sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan

dan kepatutan. Asas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.

Pengertian asas ini terlihat pada Pasal 1338 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”.76 Pada pasal ini menunjukan bahwa perjanjian yang

disepakati oleh kedua belah pihak yang bersangkutan mengikat

kedua belah pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini

sangat wajar agar kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika

perjanjian dibuat adalah asas kesepakatan kedua belah pihak, maka

pembatalannya pun harus atas kesepakat kedua belah pihak.

Asas kebebasan berkontrak mengandung beberapa macam

unsur, yaitu :

a) Peseorangan bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan

perjanjian;

b) Perseorangan bebas untuk mengadakan perjanjian dengan

siapapun juga;

c) Mengenai isi, syarat dan luasnya perjanjian orang bebas

menentukan.

76
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 383.
48

Mendasar kepada unsur-unsur tersebut maka dapat dikatakan

bahwa masyarakat diperkenankan untuk membuat perjanjian

apapun asalkan dibuat secara sah seperti yang diatur dalam Pasal

1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu

perjanjian akan mengikat para pihak yang membuatnya, sebagai

suatu undang-undang. Dengan perkataan lain, selama perjanjian itu

tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan,

merugikan kepentingan umum dan ketertiban, maka diperbolehkan.

4. Asas Kepastian Hukum (Pact Sunt Servanda)

Suatu perjanjian merupakan perwujudan hukum sehingga

mengandung kepastian hukum. Hal ini tersirat dalam Pasal 1338

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya suatu


perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya, setiap orang yang membuat
kontrak terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak
tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dengan janji
tersebut mengikat pada pihak sebagaimana mengikatnya undang-
undang.77

Asas kepastian hukum ini dapat dipertahankan

sepenuhnya apabila di dalam suatu perjanjian kedudukan para

pihak seimbang dan masing-masing pihak cakap untuk melakukan

perbuatan hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat

perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

5. Asas Itikad Baik

77
A. Qiram Syamsudin Meliala, 2010, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Yogyakarta,: Liberty, hlm. 19.
49

Asas itikad baik mengandung arti bahwa dalam pembuatan dan

pelaksanaan perjanjian haruslah dilandaskan dengan niat yang baik

untuk melaksanakan kewajiban dari masing-masing pihak dan tidak

merugikan satu sama lain. Asas itikad baik dapat disimpulkan dari

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ayat 3 yang

berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik”.78 di dalam hukum perjanjian itikad baik mempunyai dua

pengertian, yaitu subyektif dan obyektif.

Pengertian subyektif artinya yang didasarkan pada sikap batin

seseorang. Ukuran subyektif ini diperlukan pada saat perjanjian

akan dibuat. Itikad baik dalam arti subyektif diatur dalam pasal

1963, pasal 1965 dan pasal 1977 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, sedangkan Obyektif yaitu suatu perjanjian yang dibuat

haruslah dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma

kepatutan dan undang-undang. Ukuran obyektif ini dipakai untuk

menilai pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian

yang dibuat oleh para pihak. Keharusan pelaksanaan perjanjian

dengan itikad baik dalam arti obyektif ini terdapat pada pasal 1338

ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas itikad baik

ini, hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan

perjanjian, jangan sampai perjanjian tersebut melanggar kepatutan

dan keadilan.

78
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 383.
50

2.2 Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Hak Atas Tanah

2.2.1 Pengertian Umum Tentang Jual Beli Hak Atas Tanah

A. Pengertian Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata

Jual beli termasuk salah satu jenis perjanjian atau

perikatan yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tentang Perikatan.

Dalam hal jual beli tanah dapat dilihat didalam Pasal

1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bunyi “jual-beli

adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk mennyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain

untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.79

Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

berbunyi “jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah

pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat

tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu

belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. 80

Dan Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

berbunyi “hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah

kepada si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan

menurut pasal 612, 613 dan 616 ”. 81

79
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 397.
80
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 397.
81
Kitab Undang-Undang Pidana dan Perdata, hlm. 397.
51

Jual beli merupakan suatu perbuatan dimana seseorang

melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki

secara sukarela. dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu

perjanjian, satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

tanah dan pihak lainnya untuk membayar harga-harga yang telah

ditentukan. Pada saat kedua pihak itu telah mencapai kata sepakat,

maka jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah belum

diserahkan atau harganya belum dibayar.

Akan tetapi sekalipun “jual beli” itu telah dianggap

terjadi, namun hak atas tanah itu belum berpindah kepada pembeli.

Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan

hukum lain yang berupa penyerahan yang caranya ditetapkan

dengan suatu peraturan lain lagi.

Dapat dikatakan bahwa jual beli tanah menurut Hukum

Perdata terdiri dari atas dua bagian yaitu perjanjian jual belinya dan

penyerahan haknya, keduanya terpisah satu dengan lainnya.

Sehingga, walaupun hal yang pertama sudah selesai biasanya

dengan akta notaris, tapi kalau hal yang kedua belum dilakukan,

maka status tanah tersebut masih tetap hak milik penjual.

B. Pengertian Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA)

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang bersifat


52

nasional. Undang-Undang tersebut lebih dikenal dengan sebutan

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)


disebutkan : “ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-
peratumn yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar hukum agama”.82

Berdasarkan pasal di atas dapat dikatakan bahwa hukum agraria

yang baru didasarkan atas hukum adat yang disesuaikan dengan

asas-asas yang ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),

karena dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menganut

sistem dan asas hukum adat maka perbuatan jual beli tersebut

adalah merupakan jual beli yang riil yang tunai. Akan tetapi

pelaksanaan dari jual beli itu sendiri sudah tidak lagi dihadapan

Kepala Desa karena setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan

dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria seperti

dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Dibuatnya akta jual beli tanah dihadapan pejabat yang ditunjuk

oleh Menteri Agraria tersebut, maka jual beli itu selesai, dan

selanjutnya peralihan hak atas tanah itu oleh pembeli didaftarkan

ke Kantor Pertanahan. Pendaftaran peralihan hak atas-tanah

tersebut untuk menjamin kepastian hukum.

82
Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
53

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang


Pokok Agraria (UUPA) yang menyebutkan :
1. Hak atas tanah demikian pula setiap peralihan hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat
pembuktian yang kuat hak atas tanah serta sahnya peralihan
dan pembebanan hak tersebut mengenai hapusnya.83
C. Pengertian Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan

perbuatan pemindahan hak yang sifatnya tunai, riil, dan terang.

Jual beli menurut hukum adat menurut Wiryono Projodikoro


adalah bukan hanya persetujuan belaka antara kedua belah pihak
melainkan merupakan suatu penyerahan hak atas barang atau benda
dengan syarat membayar harga. Pada waktu diadakan persetujuan
diantara kedua belah pihak biasanya menurut hukum adat
diberikannya panjar oleh pembeli kepada penjual dan ini
dimaksudkan supaya ada kekuatan antara kedua belah pihak.84
Ada dua macam jual beli tanah dalam hukum adat yaitu :
1. Perbuatan hukum bersifat sepihak yaitu suatu kelompok orang
mendiami tempat dan membuat rumah diatas tanah itu,
membuka tanah pertanian, menggubur orang di tempat itu dan
lain-lain. Perbuatan hukum ini adalah hanya dari satu pihak.
2. Perbuatan hukum bersifat dua pihak. Intinya adalah peralihan
hak atau penyerahan hak dengan pembayaran kontan.Untuk
menjalankan jual beli dibutuhkan bantuan kepala persekutuan
yang bertanggung jawab atas sahnya perbuatan hukum itu,
maka perbuatan tersebut harus terang dan tunai.85
Jual beli tanah dalam hukum adat itu antara lain :
a. Menjual gade artinya mereka yang menerima tanah
mempunyai hak untuk mengerjakan tanah itu dan mempunyai
hak penuh untuk memungut penghasilan dari tanah. Ia hanya
terikat oleh janjinya bahwa tanah itu hanya dapat ditebus oleh
yang menjual gade. Pada umumnya tanah dikembalikan dalam
keadaan pada waktu tanah itu diserahkan.

83
Pasal 23 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
84
Wiryono Projodikoro, 2000, Hukum antar golongan di Indonesia, Bandung:
Sumur, hlm.73.
85
Ibid, hlm 84.
54

b. Menjual lepas artinya pembeli mendapat hak milik atas tanah


yang dibelinya. Pembayaran dilakukan dihadapan kepada
persekutuan.
c. Menjual tahunan adalah suatu bentuk menyewakan tanah yang
terdapat di Jawa yang lamanya tidak dapat ditentukan.
d. Pemberian tanah (secara hibah atau warisan ) Memberikan
tanah dimana hak milik segera dialihkan baik kepada ahli
warisnya maupun pada orang lain dan baik yang memiliki
tanah masih hidup maupun pemilik tanah sudah meninggal
dunia.86
2.2.2 Unsur-unsur Jual Beli Hak Atas Tanah

Unsur-unsur daam pelaksanaan Jual Beli yang terpenting yaitu

sebagai berikut :

1. Barang yang diperjual-belikan

Barang yang diserahkan dalam persetujuan jual beli adalah

barang berwujud benda atau zaak. Barang adalah segala sesuatu

yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan.

Menurut ketentuan Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, hanya barang-barang yang biasa diperniagakan saja yang

boleh dijadikan objek persetujuan. Jika para pihak melakukan

transaksi jual-beli maka yang harus diserahkan kepada pembeli

yaitu barang yang berwujud atau hak atas tanah.

Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

mengenal beberapa macam barang yang dapat dijadikan sebagai

objek perjanjian yaitu :

a. Barang yang berwujud dan barang yang tidak tak berwujud

(Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

86
Ibid, hlm 85.
55

b. Barang yang bergerak dan barang yang tidak tak bergerak

(Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

c. Barang yang bergerak yang dapat dihabiskan, dan barang yang

tidak bergerak yang dapat dihabiskan karena dipakai (Pasal

505 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

diatur mengenai penyerahan barang yang telah diperjual belikan

yaitu sebagai berikut :

a) Penyerahan barang-barang bergerak yang dilakukan dengan

penyerahan nyata oleh atau atas nama pemilik atau dengan

penyerahan kunci-kunci bangunan tempat barang itu berada

(Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

b) Penyerahan barang-barang tidak bergerak dilakukan dengan

pengumuman akta yang bersangkutan dengan perbuatan yang

lengkap dari akta otentik atau surat keputusan hakim

dilingkungan tempat barang tidak bergerak yang harus

diserahkan (Pasal 616 dan 620 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata);

c) Penyerahan barang tidak berwujud dilakukan dengan membuat

akta otentik atau dibawah tangan yang melimpahkan hak-hqk

atas barang kepada orang lain (Pasal 613 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata).

2. Harga
56

Harga merupakan jumlah yang harus dibayar oleh pihak

pembeli dalam bentuk uang karena dalam sistem jual beli merupak

terang dan tunai yang mana terang yaitu barang yang dijual beli

kan jelas dan nampak barangnya sedangkan tunai yaitu transaksi

jual beli langsung dilakukan secara lunas dalam pelaksaan jual beli.

Dalam transaksi jual beli dapat dilakukan dengan memakai metode

pembayaran sebagai berikut :

a. Jual Beli melalui pembayaran Tunai

Metode jual beli dimana pembayaran tunai seketika ini

merupakan bentuk yang sangat klasik, tetapi sangat lazim

dilakukan dalam melakukan jual. Jual Beli secara Tunai

dilakukan pelunasan pada saat barang diserahkan kepada

pembeli dan pada saat itu juga pembayaran dilakukan secara

lunas.

b. Jual Beli melalui pembayaran Cicil atau Kredit

Jual Beli cicil dilakukan pembayaran secara bertahap

dilakukan oleh pembeli walaupun pembayaran belum lunas

tetapi barang yang dijual sudah diserahkan oleh pembeli.dalam

pandangan Hukum jual beli dan peralihan proses transakasi

jual beli sudah terjadi secara sempurna sementara pembayaran

yang belum lunas tersebut dianggap sebagai utang piutang

berdasarkan kesepakatan para pihak.

c. Jual Beli melalui Pemesanan atau Indent


57

Merupakan metode jual beli perumahan dimana dalam

melakukan transaksi jual beli setelah indent atau pemesanan

(pengikatan pendahuluan) dilakukan, maka kedua belah pihak

akan membuat suatu perjanjian pengikatan jual beli yang berisi

mengenai hak-hak dan kewajiban keduanya yang dituangkan

dalam akta pengikatan jual beli.

2.2.3 Prosedur Jual Beli Hak Atas Tanah

a. Prosedur Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA)

Prosedur jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) dengan peraturan pelaksanaannya, dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Calon pembeli dan penjual sepakat untuk melakukan jual beli


dan menentukan sendiri segala sesuatunya, tentang tanah dan
harganya.
2. Calon pembeli dan penjual datang sendiri atau memberikan
surat kuasa kepada orang lain, menghadap Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), Notaris, Camat, atau pejabat lainnya yang
diangkat oleh pemerintah.
3. Dalam hal tanah yang akan dijual itu belum dibukukan (belum
bersertifikat), maka diharuskan kehadiran Kepala Desa atau
seorang anggota Pemerintah Desa yang disamping akan
bertindak sebagai saksi, juga menjamin bahwa tanah yang akan
dijual itu memang betul adalah milik penjual dan ia berwenang
untuk menjualnya.
4. Dalam hal tanah yang akan dijual itu sudah dibukukan (sudah
ada sertifikat) dihadiri dua orang saksi, tidak harus Kepala Desa
dan anggota pemerintah desa. Tetapi apabila Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) menganggap perlu (jika ada keraguan
tentang wewenang orang yang melakukan jual beli itu), maka
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat meminta kehadiran
58

Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa dari tempat


letak tanah yang akan dijual
5. Jika tanah yang dijual telah dibukukan, penjual harus
menyerahkan sertifikat, tetapi kalau belum dibukukan sebagai
gantinya harus dibuat surat keterangan dari Kepala Kantor
Pertahanan yang menyatakan bahwa tanah itu belum dibukukan
6. Setelah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merasa cukup
persyaratan, tidak ada halangan ataupun sengketa dan tidak
ragu-ragu lagi, maka PPAT membuat Akta Jual Beli Tanah
tersebut.
7. Selanjutnya dengan telah adanya akta tersebut, maka Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) menguruskan pendaftaran sampai
mendapat sertifikat. 87

Prosedur jual beli tanah dimulai dengan datang menghadapnya

para pihak baik penjual maupun pembeli ke hadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan menyatakan maksudnya untuk

mengadakan jual beli tanah. Selanjutnya Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) meminta sertipikat hak atas tanah yang akan dijual

belikan, bukti identitas dan berkas kelengkapan lainnya dari para

pihak. Selanjutnya, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

melakukan pengecekan sertipikat ke Kantor Pertanahan setempat

untuk memastikan bahwa sertifikat tersebut bebas dari sitaan, tidak

sedang dalam sengketa dan tidak sedang menjadi tanggungan atas

suatu utang. Bila setelah dilakukan pengecekan ternyata sertifikat

tersebut “bersih”, selanjutnya dilakukan pembuatan akta jual beli.

Pembuatan akta tersebut dihadiri oleh para pihak yang

melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan

oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat

87
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan Pada Umumnya Cet-2,
Jakarta: PT Grafindo Persada, hlm. 19.
59

untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.

pelaksanaan jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

1) Pembuatan akta tersebut harus dihadiri oleh para pihak yang

melakukan jual beli atau kuasa yang sah dari penjual dan

pembeli serta disaksikan oleh dua orang saksi-saksi yang

memenuhi syarat sebagai saksi.

2) Akta dibuat dalam bentuk asli dalam dua lembar, yaitu lembar

pertama sebanyak satu rangkap disimpan oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan dan lembar kedua

sebanyak satu rangkap disampaikan kepada Kantor Pertanahan

untuk keperluan pendaftaran dan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dapat diberikan salinannya.

3) Setelah akta tersebut dibuat, selambat lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan,

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menyampaikan

akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.88

4) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menyampaikan

pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta

tersebut kepada para pihak yang bersangkutan. 89

88
Pasal 40 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
89
Pasal 40 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
60

b. Prosedur Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Prosedur jual beli tanah menurut Hukum Adat dapat dikatakan

mudah karena prosesnya tidak memakan waktu lama dan dengan

biaya yang murah, untuk melakukan transaksi jual beli tanah

menurut hukum adat pihak penjual dan pembeli bisa melakukan

prosedur sebagai berikut :

1. Pihak penjual dan pembeli telah melakukan pertemuan


sebelumnya untuk menentukan harga dari jual beli tanah
tersebut.
2. Untuk ukuran tanah sendiri, biasanya masyarakat adat tidak
melakukan pengukuran saat penjualan, tetapi luas tanah tersebut
telah ditaksir ukurannya
3. Setelah harga disepakati, pihak penjual dan pembeli membawa
saksi masing-masing untuk kemudian melakukan akad atau ijab
qobul terkait jual beli tanah tersebut. Transaksi jual beli tanah
sendiri biasanya dilakukan di hadapan Kepala Desa atau petugas
Desa terkait.
4. Akad atau ijab qobul itu sendiri kemudian ditanyakan kepada
para saksi, apakah akad atau ijab qobul tersebut sah atau tidak.
5. Setelah sah, maka kedua pihak akan menandatangani kwitansi
sebagai bukti atas dilaksanakannya transaksi jual beli tanah.
6. Setelah ditandatangani kemudian penjual menyerahkan sertifikat
hak milik atas tanah tersebut kepada pembeli. Tidak setiap
daerah transaksinya dilakukan dihadapan Kepala Desa atau
petugas Desa, ada yang hanya cukup dihadiri oleh saksi dari
masing-masing pihak sudah dianggap sah transaksi jual beli
tanah tersebut.90
2.2.4 Subjek dan Objek pada Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah

Subjek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban dalam hukum,


yang terdiri atas:
1) Manusia atau pribadi kodrati, merupakan orang yang diberikan
wewenang dan berkedudukan sebagai subjek hukum;
2) Badan hukum atau pribadi hukum, merupakan subjek hukum yang
tidak mempunyai wujud secara fisik, tetapi dalam hukum dianggap
sebagai sesuatu yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Terdiri

90
Op.Cit, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, hlm.21.
61

dari dua macam yaitu: Badan Hukum Publik (misalnya Negara)


dan Badan hukum Privat (Perseroan Terbatas, Koperasi, dll).91

Persamaan antara manusia (pribadi kodrati) dengan Badan hukum

adalah sama-sama merupakan subjek hukum dan dapat melakukan

perbuatan hukum, salah satunya adalah membuat suatu perjanjian.

Perjanjian Jual Beli dibutuhkan untuk mengikat kata sepakat yang telah

dicapai oleh penjual dan calon pembeli serta untuk mengantisipasi

keadaan yang merugikan salah satu pihak setelah terjadinya perbuatan

hukum jual beli. Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan jual beli

suatu objek yang telah disepakati. Dalam hal ini para pihak belum

melakukan jual beli secara riil.

Pada umumnya, pihak yang berkepentingan dalam pembuatan

perjanjian pengikatan jual beli menghendaki perbuatan hukum jual beli

sebagai akhir dari hubungan yang mereka lakukan. Oleh karena itu

subjek dari Perjanjian Jual Beli adalah penjual dan calon pembeli yang

sepakat untuk membeli dan menjual objek dari perbuatan hukum jual

beli. Tentunya, penjual dan calon pembeli yang mengikatkan diri dalam

Perjanjian Jual Beli harus memenuhi syarat cakap untuk membuat

perikatan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1330 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

Suatu objek yang diperjanjikan haruslah dijelaskan dalam suatu

perjanjian agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merugikan

kepentingan salah satu pihak. Objek perjanjian jual beli dapat berupa
91
C.S.T Kansil, 2003, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia:
Pengantar Hukum Indonesia Jilid 2, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 118.
62

benda bergerak maupun benda tetap. Benda adalah segala sesuatu yang

jadi bagian alam kebendaan yang dapat dikuasai dan bernilai bagi

manusia serta yang oleh hukum dianggap sebagai sesuatu yang utuh.

Beberapa persyaratan yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata terhadap objek tertentu dari suatu perjanjian,
khususnya jika objek perjanjian tersebut berupa benda adalah sebagai
berikut:
d) Benda yang merupakan objek perjanjian haruslah benda yang dapat
diperdagangkan (Pasal 1332 Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata);
e) Pada saat perjanjian dibuat, minimal benda tersebut sudah dapat
ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata);
f) Jumlah benda tersebut boleh tidak tentu, asal saja jumlah tersebut
kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata);
g) Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada dikemudian
hari (Pasal 1334 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata);
h) Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih ada
dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata).92
2.2.5 Bentuk Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah

Perjanjian Jual Beli adalah sah apabila telah tercapai kesepakatan

diantara para pihak yang membuatnya. Kesepakatan yang dimaksud

dapat dituangkan dalam suatu akta tertulis maupun tidak tertulis. Akan

tetapi, untuk menjamin kepastian hukum di antara para pihak, akan

lebih baik apabila Perjanjian Jual Beli ditulis dalam suatu akta atau

surat perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Pihak

yang dimaksud disini adalah penjual dan calon pembeli.

Pembuatan Perjanjian Jual Beli dapat dilakukan oleh para pihak

yang terkait ataupun dilakukan dihadapan Notaris. Untuk membahas


92
Munir Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku
Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 72.
63

mengenai bentuk dari Perjanjian Jual Beli, akan diuraikan sebagai

berikut :

1) Perjanjian Jual Beli di Bawah Tangan

Perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tangan, dibuat secara

tertulis di atas kertas bermaterai dan ditandatangani oleh para pihak

dan saksi-saksi. Pihak-pihak yang dimaksudkan adalah penjual dan

calon pembeli. Mereka membuat suatu perjanjian yang isinya

ditentukan sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak dan

ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian tersebut

berisikan hal-hal yang disepakati oleh para pihak dan apa yang

diperjanjikan tersebut harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Dasar

hukum dari diperkenankannya para pihak untuk membuat dan

menentukan isi perjanjian sendiri adalah berdasarkan asas

kebebasan berkontrak yang diperbolehkan oleh hukum perikatan.

Akta bawah tangan terbagi menjadi tiga yaitu :

1. Akta biasa

Akta biasa adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa

didaftarkan maupun dilegalisasi notaris, akta tersebut

merupakan akta yang dibuat diatas putih dan hitam tanpa ada

kekuatan hukum yang kuat, Akta biasa tidak memiliki

pembuktian yang kuat sebagaimana pembuktinnya dapat

dibantah kebenarannya oleh hakim sehinggga para pihak lawan

yang mengajukan pembuktian atas akta tersebut.


64

2. Waarmerking

Menurut Tan Thong Kie waarmerking yaitu


seseorang memberikan kepada notaris akta yang sudah
ditandatangani. dalam hal ini notaris tidak lain hanya dapat
memberikan waarmeken dan yang hanya memberi tanggal
pasti atau date certain. waarmerken secara demikian tidak
mengatakan sesuatu mengenai siapa yang menandatangani dan
apakah penndatanganan memamahami isi akta.93

Waarmaking tidak memiliki pembuktian yang

sempurna karena isi dari perjanjian dibuat oleh para pihak

sendiri.

3. Legalisasi

Menurut Tan Thong Kie legalisasi adalah akta


dibawah tangan yang belum ditandatangani diberikan kepada
notaris dan di hadapan notaris ditandatangani oleh orangnya,
setelah isi akta dijelaskan oleh notaris kepadanya. dalam kasus
ini :
a. tanggal dan tanda tangan adalah pasti; dan
b. karena isi akta dijelaskan oleh notaris, maka
penandatanganan tidak dapat mengatakan bahwa ia tidak
mengerti apa yang ditandatangani (penting bagi orang-
orang buta huruf dan orang-orang yang pura-pura tidak
mengerti);
c. penanandatanganan adalah benar orang yag namanya
tertulis dalam keterangan ini.94

Akta legaliasi tidak memiliki pembuktian yang

sempurna tetapi hanya memiliki pembuktian yang kuat dengan

didasarkan pada tandatangan para pihak yang mana

tandatangan tersebut dilakukan didepan atau dihadapan Notaris

dan akta tersebut diberi nomor berdasarkan buku legalisasi di

kantor Notaris tersebut jadi akta legalisasi memiliki


93
Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: PT
Intersema, hlm. 519.
94
Ibid, hlm. 520.
65

pembuktian yang sempurna seperti akta otentik, akta dibawah

tangan kekuatan pembuktiannya berada ditangan Hakim untuk

pembuktian (Pasal 1881 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata).

2) Perjanjian Jual Beli dengan Akta Otentik

Pengertian akta otentik (Authentike Akte) menurut Pasal 1868

Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah “Suatu akta yang

dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang oleh

dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud

itu, di tempat dimana akta dibuat.”

Oleh karena perikatan ini dibuat oleh Notaris, maka segala

sesuatunya harus mengikuti Undang-undang Jabatan Notaris

(UUJN). Suatu akta otentik harus dibuat dihadapan atau oleh

pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi serta disertai pembacaan

oleh Notaris kemudian ditandatangani.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang


Jabatan Notaris yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 38 tentang Bentuk dan Sifat Akta
adalah sebagai berikut:
2. Setiap akta notaris terdiri dari:
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
3. Awal akta atau kepala akta memuat:
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun;
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris.
4. Badan akta memuat:
66

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,


pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang berkepentingan;
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
5. Akhir atau penutup akta memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.95

Kekuatan pembuktian akta otentik dapat dibedakan antara :


1. Kekuatan pembuktian lahir
Kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya;
yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta,
dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak
terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil
Kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan:
”Benarkah bahwa ada pernyataan?”. Jadi kekuatan pembuktian
formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh
yang bertandatangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian
formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat
dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat
dalam akta.
3. Kekuatan pembuktian materiil
Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan:
”Benarkah isi pernyataan di dalam kata itu?”. Jadi kekuatan
pembuktian ini memberi kepastian tentang materi suatu akta,
memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para
pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam
akta.96
95
Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
96
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia cetakan 1, edisi
ketujuh, Yogyakarta: Liberty, hlm. 160-161.
67

Akta Notaris merupakan alat bukti yang memiliki

kekuatan pembuktian terkuat dan terpenuh. Dengan arti lain akta

Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama

tidak ada bukti yang menyatakan sebaliknya. Akta otentik dapat

dibedakan atas: (a) Akta yang dibuat oleh pejabat (ambtelijke

acten, procesverbal acta, acta relaas); dan (b) Akta yang dibuat

dihadapan (acte tenoverstaan) pejabat oleh para pihak yang

memerlukannya (partij acten).

Kelebihan dari akta otentik dibandingkan dengan akta

yang dibuat di bawah tangan ialah grosse dari akta otentik dalam

beberapa hal mempunyai kekuatan pembuktian eksekutorial seperti

putusan hakim, sedangkan akta yang dibuat di bawah tangan tidak

mempunyai kekuatan pembuktian eksekutorial.97

2.3 Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah

Aturan mengenai pertanahan nasional pada awalnya dimuat dalam Pasal

33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diatur secara garis

besar dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-undang ini lebih dikenal

dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).98

97
G.H.S Lumban Tobing, 2012, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan 4, Jakarta:
Erlangga, hlm. 54.
98
Urip Santoso, 2014, Pendaftaran dan Peralihan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta:
Prenamedia Group, hlm. 1.
68

Sebagai suatu undang-undang yang mengatur secara garis besar dan

pokok-pokok, maka Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) kemudian

disusul dengan berbagai peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 dan kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Adapun peraturan hukum yang menjadi dasar dari pendaftaran hukum

yang menjadi dasar dan pendaftaran tanah adalah :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

guna merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10

tahun 1961.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan

Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Pendaftaran tanah yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan


pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang secara tegas mengatur pengertian
pendaftaran tanah, yaitu : “Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun
termasuk pemberian surat tanda haknya bagi bidang- bidang tanah yang
69

sudah ada haknya dan milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya”.99
Adapun tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 adalah :
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan bidang rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang brekentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.100

Di Indonesia setiap hak atas tanah, termasuk hak milik atas tanah didaftar

dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data fisik dan data

yuridis bidang tanah yang bersangkutan, yang dicatat pada surat ukur.

Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya dalam surat ukur

merupakan bukti bahwa hak atas tanah serta pemegang haknya dan bidang

tanah yang diuraikan dalam surat ukur telah terdaftar berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan

kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi pemerintah

maupun pemegang hak atas tanah.

Ketentuan tentang kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan


pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dalam Pasal
19 UUPA, yaitu :
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan -
ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
99
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
100
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
70

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat


pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak
mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.101

Pendaftaran tanah bertujuan memberikian kepastian hukum dan

perlindungan hukum kepada pemeghang hak atas tanah, dengan alat bukti

yang dihasilkan pada proses pendaftaran tanah berupa buku tanah dan

sertifikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur.102

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan menentukan, bukan hanya
sekedar sebagai pelaksana ketentuan Pasal 19 UUPA, tetapi lebih dari itu
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjadi tulang punggung yang
mendukung berjalannya administrasi pertanahan sebagai salah satu program
Catur Tertib Pertanahan dan Hukum Pertanahan di Indonesia.103

Peralihan hak atas tanah merupakan perpindahan hak atas tanah dari

pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru secara sah

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum yang mengatur

mengenai peralihan hak atas tanah dapat kita temui dalam ketentuan Pasal 37

ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pasal 37 ayat (1) menyatakan sebagai berikut “Peralihan hak atas tanah
dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika

101
Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
102
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,
Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, hlm. 8.
103
Op.Cit., Urip Santoso, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah,
Prenamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 5.
71

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”104

(1) Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Akta PPAT (Pejabat

Pembuat Akta Tanah)

Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam beberapa peraturan

perundang-undangan, terutama dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang tersebut mengatur mengenai peran dan kewenangan

PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dalam pembuatan akta-akta tanah,

termasuk peralihan hak atas tanah. PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

adalah pejabat yang memiliki wewenang untuk membuat akta tanah,

termasuk akta jual beli, hibah, tukar menukar, pemberian hak

tanggungan, serta akta-akta lain yang berkaitan dengan hak atas tanah.

Pada dasarnya, peralihan hak atas tanah melalui Akta PPAT (Pejabat

Pembuat Akta Tanah) dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak

yang terlibat dalam transaksi, yang kemudian direkam dan dibuatkan akta

oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Akta PPAT (Pejabat Pembuat

Akta Tanah) ini merupakan bukti sah yang menunjukkan peralihan hak

atas tanah dari penjual ke pembeli atau dari pemberi hak kepada

penerima hak.

Selain Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, terdapat juga

peraturan-peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci mengenai


104
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
72

prosedur dan tata cara pembuatan akta tanah oleh PPAT (Pejabat

Pembuat Akta Tanah), seperti Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan-peraturan ini memberikan dasar hukum bagi PPAT

(Pejabat Pembuat Akta Tanah) dalam melaksanakan tugasnya untuk

membuat akta tanah yang sah dan mengatur persyaratan, prosedur, serta

ketentuan lain yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah melalui

Akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

(2) Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Karena Risalah Lelang

Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam beberapa peraturan

perundang-undangan, terutama dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Undang-Undang Pokok Agraria mengatur mengenai hukum agraria di

Indonesia, termasuk peralihan hak atas tanah. Pasal 16 ayat (2) Undang-

Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah

melalui lelang dilakukan berdasarkan risalah lelang yang dibuat oleh

pejabat yang berwenang. Risalah lelang ini merupakan dokumen yang

berisi informasi mengenai lelang, termasuk identitas pihak-pihak yang

terlibat, deskripsi tanah yang dilelang, harga, syarat-syarat lelang, dan

hasil lelang.
73

Selain Undang-Undang Pokok Agraria, hukum peralihan hak atas

tanah karena risalah lelang juga dapat diatur oleh peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan lelang, seperti Peraturan Menter!

Keuangan Republik Indonesia Nomor 27 /PMK.06/2016 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Lelang peraturan ini mengatur mengenai

mekanisme lelang yang berlaku di Indonesia dan memberikan dasar

hukum bagi proses lelang yang dilakukan secara transparan dan adil.

Peralihan hak atas tanah karena risalah lelang juga dapat diatur dalam

peraturan-peraturan daerah atau ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di

wilayah masing-masing.

(3) Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Karena Putusan Pengadilan

Dasar hukum peralihan hak atas tanah karena putusan pengadilan

terdapat dalam beberapa peraturan, antara lain :

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA). UUPA mengatur mengenai hak milik, hak

guna usaha, hak pakai, dan hak sewa atas tanah. Ketika terjadi putusan

pengadilan yang mengakibatkan peralihan hak atas tanah, pihak-pihak

yang terlibat dalam putusan tersebut harus mematuhi ketentuan UUPA

dalam melaksanakan peralihan hak.

2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai

kekuasaan, kewenangan, dan prosedur hukum yang berlaku di


74

pengadilan. Putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum yang

mengikat dan dapat menjadi dasar untuk peralihan hak atas tanah.

3. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai

Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Dalam prakteknya, peralihan hak atas tanah karena putusan

pengadilan umumnya dilakukan melalui proses eksekusi putusan, di

mana pengadilan memerintahkan pelaksanaan putusan yang mengatur

peralihan hak atas tanah kepada pihak yang berhak. Pihak yang

berwenang melaksanakan eksekusi putusan, misalnya Pengadilan Negeri

atau Panitera Pengadilan Negeri, akan melakukan tindakan-tindakan

yang diperlukan untuk mewujudkan peralihan hak tersebut.

2.3.1 Sistem Pendaftaran Tanah

Sistem Pendaftaran Tanah yang digunakan Indonesia yaitu sistem

pendaftaran hak atas tanah. Dengan adanya buku tanah sebagai

dokumen yang memuat data fisik dan data yuridis yang diterbitkan

dalam bentuk sertipikat tanah sebagai surat tanda bukti sah tentang hak

yang didaftar.

Dalam pendaftaran tanah dikenal adanya dua macam sistem

pendaftaran tanah, yaitu Sistem pendaftaran akta (registration of deeds)

dan Sistem pendaftaran hak (registration of titles). Sistem pendaftaran


75

tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan

penyajian yuridisnya, serta bentuk dan tanda buktinya.105

1. Sistem pendaftaran akta (registration of deeds)


Dalam sistem pendaftaran akta ini, akta-akta yang didaftar oleh
pejabat pendaftaran tanah (PPT). Disini Pejabat pendaftaran tanah
bersifat pasif, maksudnya bahwa ia tidak melakukan pengujian
kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali
terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka
dalam sistem ini data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam
akta-akta yang bersangkutan.
2. Sistem pendaftaran hak (registration of titles)
Dalam sistem pendaftaran hak ini, setiap penciptaan hak baru dan
perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan, juga
harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan
pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar melainkan haknya.
Data tanah disimpan dalam buku tanah (register). Dalam pendaftaran
hak ini, pejabat pendaftaran tanah (PPT) harus bersikap aktif dalam
memindahkan data. Sebagai tanda bukti hak, maka diterbitkan
sertipikat, yang merupakan salinan register, yang terdiri dari salinan
buku tanah yang dilampiri surat ukur yang dijilid menjadi satu dalam
sampul dokumen.
Sehingga sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia
adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles), sebagaimana
digunakan dalam penyelenggaraan tanah menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, bukan sistem
pendaftaran akta. Hal tersebut tampak adanya buku tanah sebagai
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan
disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti.106

Di Indonesia juga ada dua sistem publikasi yang dikenal dalam

pelaksanaan pendaftaran yaitu :

a. Sistem Positif

Dalam sistem positif sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian

yang mutlak maksudnya data yang terdaftar dalam buku tanah tidak

dapat diganggu gugat. Dengan melakukan pendaftaran tanah

105
Boedi Harsono, 2004, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-
peraturan Hukum Tanah Edisi Revisi, Jakarta:Penerbit Djambatan, hlm. 474-476.
106
Ibid, Halaman 477
76

menciptakan suatu hak yang tidak dapat diganggu gugat dan untuk

memastikannya adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup

dilihat buku tanahnya.107

Ciri pokok sistem positif bahwa pendaftaran tanah / pendaftaran

hak atas tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang

terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun

ia ternyata bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut,

menurut sistem politik ini hubungan hukum antara hak dari orang

yang namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi hak

sebelumnya terputus sejak hak tersebut didaftarkan.

Kelebihan dari sistem positif ini adalah :

(1) Adanya kepastian dari buku tanah;

(2) Peranan aktif dari pejabat balik nama tanah;

(3) Mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat tanah mudah

dimengerti oleh orang awam.108

Sistem positif ini memberikan suatu jaminan yang mutlak

terhadap buku tanah, kendati ternyata bahwa pemegang buku

sertipikat bukanlah pemilik sebenarnya, oleh karena itu pihak ketiga

yang beritikad baik yang bertindak berdasarkan bukti tersebut

mendapatkan jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala

107
Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda
Bukti Hak Atas Tanah, Jakarta: BP. Cipta Jaya, hlm. 121.
108
Bachtiar Effendi, 2013, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya, Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 32
77

keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut adalah

tidak benar.

Kelemahan dalam sistem positif ini adalah :

1. Peranan aktif pejabat balik nama tanah akan memakan waktu

yang lama;

2. Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan

haknya oleh karena kepastian dari buku tanah itu sendiri;

3. Wewenang Pengadilan diletakkan dalam wewenang

administratif.109

b. Sistem Negatif

Menurut sistem ini sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat maksudnya keterangan yang tercantum dalam sertipikat

mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh Hakim sebagai

keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat bukti

yang membuktikan sebaliknya. Seperti yang ditentukan dalam Pasal

19 ayat (2) huruf c UUPA “Pemberian surat-surat tanda bukti hak,

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.

Ciri pokok sistem negatif yaitu asas Nemo Plus Juris yaitu

melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan

orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang

hak sebenarnya. Ciri pokok lainnya dari sistem negatif ini bahwa

pejabat balik nama walaupun pasif artinya pejabat yang

109
Ibid, hlm. 33.
78

bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari

surat-surat yang diserahkan kepadanya.

Kelebihan dari sistem negatif adalah adanya perlindungan

kepada pemegang hak sejati. Kelemahan dari sistem negatif adalah :

1) Peranan pasif pejabat balik nama yang menyebabkan timpang

tindih sertipikat tanah;

2) Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah

sedemikan rupa sehingga kurang dimengerti oleh para orang

awam.110

Berdasarkan hal tersebut diatas sistem yang dipakai UUPA

adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif, pengertian

negatif disini adalah bahwa adanya keterangan-keterangan yang ada

itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan

sedangkan pengertian unsur positif ialah bahwa adanya peranan aktif

dari petugas pelaksana pendaftaran tanah dalam hal penelitian

terhadap hak-hak atas tanah yang didaftar tersebut.

2.3.2 Prosedur Peralihan Hak Atas Tanah

Menurut Ranuhandoko dilihat dari sudut pandang konsep


kepemilikan, maka bagi pihak yang secara hukum memiliki hak atas
tanah, baik yang telah didaftarkan maupun belum didaftarkan dapat
mengalihkan hak atas tanah yang dimilikinya. Mengalihkan hak atas
tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada
pihak lain dengan pemindahan yang dimaksud, maka secara otomatis
haknya akan berpindah. Hak (right) yang dimaksud adalah hubungan
hukum yang melekat sebagai pihak yang berwenang atau berkuasa
untuk melakukan tindakan hukum. Didalam terminologi hukum kata-

110
Ibid, hlm. 34.
79

kata “right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk melakukan
sesuatu tindakan secara hukum.111

Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan

Nasional dan Pembuatan Akta Tanah dilakukan oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2)

Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 yang dinyatakan bahwa:

“didalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Badan

Pertanahan Nasional dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah dan

Peraturan Perundang-Undangan yang berangkutan”. 112

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mempunyai peranan yang

sangat penting dalam proses pendaftaran tanah, terutama menyangkut

peralihan hak atas tanah. Hal ini dapat dimaklumi karena peralihan

hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 37

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ada macam-macam (jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan

perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak

melalui lelang hanya didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang

dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang

menurut ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku).

Peralihan hak atas tanah pada umumnya dilakukan melalui jual


beli hak atas tanah. Untuk tanah yang belum bersertifikat, proses
111
Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 487
112
Pasal 6 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
80

peralihan hak atas tanah dilakukan dengan tahap-tahap yaitu sebagai


berikut :
(1) Pertama kali membayar uang muka pendaftaran tanah melalui pos
atau secara tunai apabila letak tanahnya berada ditempat
kedudukan Kantor Pertanahan, sekaligus meminta surat
keterangan pendaftaran tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Dengan surat keterangan tersebut dinyatakan bahwa tanah
dimaksud memang belum ada sertifikat;
(2) Selanjutnya para pihak datang menghadap PPAT yang
berwenang, tugasnya meliputi daerah mana letak tanah itu berada.
Kemudian PPAT meminta kepada pihak penjual untuk
menyerahkan bukti haknya dan kepada calon pembeli dimintakan
untuk menunjukkan identitasnya kewarganegaraan Indonesia;
(3) Tahap berikutnya adalah pembuatan akta PPAT. Pada tahap ini
jual beli hak atas tanah dilakukan dihadapan PPAT dengan
mengisi formulir akta yang telah tersedia, setelah di isi akta
dibacakan dan dijelaskan oleh PPAT kepada para pihak, yang
kemudian pihak-pihak menandatangani akta tersebut, demikian
pula dengan saksi-saksi yang terdiri dari Kepala Desa dan salah
seorang perangkat desa yang bersangkutan dan diikuti oleh PPAT
sendiri;
(4) Akta jual beli, bukti hak dan warkah lainnya oleh PPAT
disampaikan kepada Kantor Pertanahan jika diinginkan, maka
warkah peralihan hak atas tanah tersebut dapat dibawa sendiri
oleh pembeli dengan memberikan tanda bukti penerima.113

Sedangkan untuk tanah yang sudah ada sertifikatnya, proses


peralihan hak atas tanah dilakukan sebagai berikut :
1) Pertama kali harus membayar uang muka pendaftaran tanah ke
Kantor Pertanahan. Jika kedudukan PPAT jauh dari tempat
Kantor Pertanahan, maka biaya dapat disetorkan melalui pos
wesel dan apabila uang tersebut belum disetorkan, maka akta
PPAT belum boleh diberi tanggal dan nomor. Hal ini berarti
tanggal dan nomor PPAT tidak boleh terlebih dahulu dari tanggal
pembayaran uang muka pendaftaran di Kantor Pertanahan;
2) Pemilik dan calon pembeli bersama-sama dengan dua orang saksi
menghadap PPAT untuk melaksanakan jual beli hak atas tanah;
3) Pemilik hak atas tanah menyerahkan sertifikat tanah yang asli
tanah yang menjadi objek jual beli dan calon pembeli
memperlihatkan bukti-bukti Kewarganegaraannya, dengan
diserahkannya sertifikat asli, maka akan tercegah perbuatan
hukum lain yang mungkin terjadi atas sertifikat yang sama,
misalya pada suatu Kantor PPAT yang lain diadakan pengikatan
sebagai jaminan hutang ;
113
Kardino, 2008, Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Djambatan, hlm.
48.
81

4) Jika PPAT meragukan tentang keaslian sertifikat tersebut maka


PPAT dapat meminta surat keterangan tentang keabsahan
sertifikat pendaftaran tanah dari Kepala Kantor Pertanahan;
5) Setelah itu para pihak melaksanakan perjanjian jual beli hak atas
tanah di depan di depan PPAT, dalam hal ini maka PPAT
membantu para pihak mengisi formulir akta sesuai dengan
kesepakatan tanah mereka;
6) Akta PPAT yang sudah dibuat itu selanjutnya dibacakan
dihadapan para pihak, jika tidak ada lagi keberatan atau
perbuatan-perubahan maka dilakukan penandatanganan oleh para
pihak diikuti para saksi-saksi dan PPAT sendiri. Mengenai saksi-
saksi yang ikut menandatangani akta tersebut jika PPAT
memanggap perlu maka dapat dimintakan supaya akta tersebut
diselesaikan oleh Kepala Desa dan seseorang angggota
Pemerintah Desa dimana letak tahan itu berada atau dapat pula
mengambil saksi-saksi ari Pegawai Kator PPAT sendiri, hal ini
dimaksudkan untuk memperlancar dan meringankan beban para
pihak;
7) Tahap berikutnya adalah PPAT mengirimkan warkah peralihan
hak tersebut kepada Kantor Pertanahan untuk proses balik nama
dari penjual kepada pembeli.114

Setelah pembuatan akta PPAT selesai dilaksanakan dan warkah

pengalihan hak atas tanah telah diterima oleh Kantor Pertanahan.

Kekuatan hukum akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT

itu dianggap sah. Menurut hukum apabila syarat-syarat peralihan itu

telah dipenuhi (bersifat materil artinya hukum yang memuat

peraturan-peraturan yang mengatur tentang peralihan hak) sebab

peralihan hak atas tanah dihadapan PPAT termasuk syarat sah yang

kuat dan akta dari PPAT tersebut merupakan alat bukti untuk suatu

peralihan hak atas tanah.

114
Ibid, hlm. 51.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri dalam

Memutuskan Perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk

TENTANG DUDUK PERKARA

Menimbang, bahwa Penggugat melalui surat gugatan bertanggal 16 April

2021 yang telah diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Pontianak pada tanggal 20 April 2021 dalam Register Nomor

92/Pdt.G/2021/PN Ptk, telah mengajukan gugatan sebagai berikut :

Bahwa pada tanggal 08 Desember 1988 Tergugat menawarkan tanah dan

bangunan rumahnya agar dibeli oleh Penggugat, lalu Penggugat menyanggupi

kepada Tergugat.

Bahwa pada tanggal 09 Desember 1988, Penggugat dan Tergugat

membuat Perjanjian jual beli/ Penyerahan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

1547/Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung (sekarang),terdaftar atas

nama RAMLI SINAGA (Tergugat) Yang terletak di Jalan Mat Sainin, Gang

Pajajaran VI No. 122, PERUMNAS II, RT. 003, RW 012, Kelurahan Sungai

Beliung, Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak.

Bahwa Perjanjian jual beli/ Penyerahan pada tanggal 09 Desember 1988

yang di lakukan oleh Penggugat dengan Tergugat dengan dibawah tangan

tidak menggugankan akta otentik secara Notaris.

83
84

Bahwa Perjanjian jual beli/Penyerahan tersebut dilakukan dengan

perjanjian dibawah tangan dikarenakan sertifikat HGB 1547/Sungai jawi Luar

masih dalam proses kredit pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang

Pontianak yang baru akan berakhir pada bulan 6 tahun 2008.

Bahwa kesepakatan antara Penggugat dan tergugat Bahwa Penggugat

membayar senilai Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah) dengan ketentuan sisa

angsuran di bank BTN akan dilanjutkan dan menjadi tangung jawab

Penggugat sampai lunas.

Bahwa sejak 09 Desember 1988 Penggugat yang melakukan pembayaran

sisa angsuran kredit sertifikat HGB 1547/sungai jawi luar dengan luas 90 m2

gambar situasi 3834/1987 terdaftar an.Ramli Sinaga (Tergugat);

Bahwa Penggugat telah melunasi angsuran kredit sertifikat Hak Guna

Bangunan Nomor 1547/Sungai Jawi Luar, luas 90 m2, gambar situasi No

3834/1987 Terdaftar an. Ramli Sinaga (Tergugat) pada tahun 2006.

Bahwa setelah Penggugat melunasi Sertifikat HGB 1547/Sungai Jawi

Luar maka Penggugat mengambil sertifiakt tersebut dari Bank BTN dan

Penggugat ingin melakukan balik nama sertifikat ke Badan Pertanahan

Nasional Kota Pontianak namun di tolak oleh BPN kota Pontianak Karena

jual beli Tersebut hanya di bawah tangan dan Pihak BPN menyarankan untuk

mencari Tergugat supaya bisa melakukan Jual beli dengan AJB di PPAT.

Bahwa Penggugat berusaha mencari informasi keberadaan dari Tergugat

namun sampai gugatan ini di ajukan Penggugat tidak mengetahui keberadaan

Tergugat.Untuk kepastian Hukum kepemilikan agar BPN Kota Pontianak


85

Bisa melakukan balik nama Sertifikat HGB 1547/Sungai Jawi Luar dengan

luas 90 m2 ke atas nama Penggugat.

Bahwa tanah dan bangunan dengan sertifikat HGB 1547/Sungai Jawi

Luar terdaftar an.Ramli Sinaga (tergugat) sejak 09 Desember 1988 dalam

Penguasaan Penggugat.

Bahwa oleh karena gugatan ini didukung oleh bukti-bukti yang

keabsahannya sulit untuk disangkal ka penggugat berdasarkan hal-hal yang

telah Penggugat uraikan diatas.

DALAM POKOK PERKARA

Penggugat mohon kehadapan ketua Pengadilan Negeri Pontianak

atau Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, berkenan

memutuskan dengan amar putusan sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan bahwa Perjanjian jual beli antara Pengugat dan Tergugat

tertanggal 09 Desember 1988 sah dan berkekuatan hukum;

3. Menyatan bahwa Penggugat adalah pembeli yang sah dan beritikad baik

atas sebidang tanah berikut bangunan rumah yang berdiri diatasnya yang

terletak di Jalan Mat Sainin, Gang Pajajaran VI No. 122, PERUMNAS II,

RT. 003, RW 012, Kelurahan Sungai Beliung, Kecamatan Pontianak

Barat, Kota Pontianak, dikenal dengan Sertifikat hak guna bangunan

Nomor 1547/Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung (sekarang)

gambar situasi 3834/1987 luas 90 m2 terdaftar atas nama pemilik

Tergugat (Ramli Sinaga) agar sertifikat HGB 1547/Sungai jawi luar


86

gambar situasi 3834/1987 luas 90 m2 terdaftar atas nama pemilik (Ramli

Sinaga) bisa dibalik nama ke atas nama Penggugat;

4. Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada

tergugat; Atau : Jika pengadilan berpendapat lain mohon kiranya

memberikan putusan yang seadil-adilnya menurut ketentuan hukum serta

perundang-undangan yang berlaku.

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa karena Tergugat telah dipanggil secara patut namun

tidak datang menghadap persidangan dan tidak pula menyuruh wakil atau

kuasanya yang sah untuk itu dan ternyata tidak hadirnya Tergugat tersebut

dipersidangan bukan disebabkan oleh suatu halangan yang sah maka terhadap

Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan perkara ini diputus dengan

Verstek;

Menimbang, bahwa dalam surat gugatannya, pada pokoknya Penggugat

mendalilkan sebagai atas sebidang tanah berikut bangunan rumah yang

berdiri diatasnya yang terletak di Jalan Mat Sainin, Gang Pajajaran VI No.

122, Perumnas II, RT. 003, RW 012, Kelurahan Sungai Beliung, Kecamatan

Pontianak Barat, Kota Pontianak, dikenal dengan Sertifikat hak guna

bangunan Nomor 1547/Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung (sekarang)

gambar situasi 3834/1987 luas 90 m2 terdaftar atas nama pemilik Tergugat

(Ramli Sinaga) berdasarkan Perjanjian Jual Beli/ Penyerahan Sertifikat Hak

Guna Bangunan No. 1547/Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung


87

(sekarang) tanggal 09 Desember 1988 yang dilakukan antara Penggugat dan

Tergugat;

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 283 RBg Penggugat dibebani

kewajiban untuk membuktikan dalil dalil gugatannya;

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya, Penggugat

telah mengajukan bukti surat P-1 sampai dengan P-8 dan 2 (dua) orang saksi

yang telah memberikan keterangan sebagaimana terurai di atas;

Menimbang, bahwa setelah mencermati keseluruhan alat bukti surat (P-1

s/d P- 8) yang bersesuaian dengan keterangan saksi saksi, Majelis mendapati

fakta fakta tetap yang terbukti dalam perkara ini yaitu :

- Bahwa pada tanggal 09 Desember 1988 Penggugat dan Tergugat ada

membuat Perjanjian Jual Beli di bawah tangan atas sebidang tanah

berikut bangunan yang terletak di Jalan Mat Sainin, Gang Pajajaran VI

No. 122, Perumnas II, RT. 003, RW 012, Kelurahan Sungai Beliung,

Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak.

- Bahwa jual beli tersebut disertai dengan Penyerahan Sertifikat Hak Guna

Bangunan No. 1547/ Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung

(sekarang) terdaftar atas nama Ramli Sinaga (Tergugat) dari Tergugat

kepada Penggugat;

- Bahwa kemudian atas dasar jual beli tersebut, Penggugat meneruskan

pembayaran cicilan atas rumah tersebut sampai dengan pelunasannya;


88

- Bahwa jual beli tersebut dibuat dan diketahui oleh Djaya Manaf Djolang,

SH Ketua RT setempat saat itu yang turut membubuhkan tanda tangan

nya sebagai saksi dalam surat perjanjian jual beli tersebut;

- Bahwa tanah dan bangunan tersebut dijual oleh Tergugat kepada

Penggugat adalah karena Tergugat pindah tugas ke Bandung karena

mutasi pekerjaan sebagai Pegawai Kantor Dinas Bea dan Cukai.

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan menyampaikan penilaian

yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan terhadap hasil pembuktian

yang dikemukakan oleh Penggugat;

Menimbang, bahwa peralihan hak atas tanah dapat terjadi melalui

pemindahan hak dengan cara jual-beli, warisan, hibah, tukar menukar, lelang,

peralihan hak karena penggabungan atau peleburan dan pemindahan hak

lainnya. Setiap peralihan hak milik atas tanah wajib didaftarkan pada kantor

pertanahan setempat. Pendaftaran pemindahan atau peralihan hak tersebut

bertujuan agar pihak ketiga mengetahui bahwa sebidang tanah tersebut telah

dilakukannya jual beli.

Menimbang, bahwa ada 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu

beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah

tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya

melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak

atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya

melalui jual beli. Bahwa ketentuan hukum tentang peralihan hak atas tanah

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang


89

Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP

No. 24 Tahun 1997).

Menimbang, bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016

tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung

Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dalam

bagian B Rumusan Hukum Kamar Perdata, Perdata Umum pada angka 7

mengatur hal sebagai berikut: “Peralihan hak atas tanah berdasarkan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli

telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan

dilakukan dengan itikad baik.” Bahwa berdasarkan hal tersebut dapat

dipahami walaupun hanya berdasarkan PPJB, selama pembeli telah

membayar lunas harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah

tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak

atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi.

Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas

maka menurut Majelis fakta fakta hukum yang diperoleh dari pembuktian

yang diajukan oleh Penggugat telah memenuhi kehendak yang ditentukan

oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran

Tanah (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24

Tahun 1997) serta isi Rumusan Hukum Kamar Perdata, Perdata Umum pada

angka 7 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang


90

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun

2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan sehingga cukup

alasan bagi Majelis untuk mengabulkan seluruh petitum surat gugatan

Penggugat;

Menimbang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,

oleh karena jangka waktu dan formalitas panggilan menurut hukum telah

diindahkan dengan sepatutnya serta gugatan tersebut tidak melawan hukum

dan beralasan, maka Tergugat yang telah dipanggil dengan patut akan tetapi

tidak datang menghadap di persidangan dan tidak menyuruh orang lain

menghadap sebagai wakilnya, harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan a quo

patut untuk dikabulkan seluruhnya dengan verstek;

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan

seluruhnya dengan verstek maka Tergugat ada di pihak yang kalah sehingga

Tergugat patut dihukum untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam

perkara ini yang besarnya akan disebutkan dalam diktum putusan;

Menimbang, bahwa terhadap alat - alat bukti yang diajukan oleh

Penggugat yang tidak disebutkan dan dipertimbangkan dalam uraian putusan

secara mutatis mutandis patut untuk dinyatakan tidak relevan dan

dikesampingkan serta tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;

Memperhatikan ketentuan Pasal 125 HIR/ 149 RBg dan Peraturan

Perundang Undangan lain yang bersangkutan.

MENGADILI
91

1) Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut akan tetapi

tidak hadir;

2) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dengan verstek;

3) Menyatakan bahwa Perjanjian jual beli antara Pengugat dan Tergugat

tertanggal 09 Desember 1988 sah dan berkekuatan hukum;

4) Menyatan bahwa Penggugat adalah pembeli yang sah dan beritikad baik

atas sebidang tanah berikut bangunan rumah yang berdiri diatasnya yang

terletak di Jalan Mat Sainin, Gang Pajajaran VI No. 122, PERUMNAS II,

RT. 003, RW 012, Kelurahan Sungai Beliung, Kecamatan Pontianak

Barat, Kota Pontianak, dikenal dengan Sertifikat hak guna bangunan

Nomor 1547/Sungai Jawi Luar (dahulu) Sungai Beliung (sekarang)

gambar situasi 3834/1987 luas 90 m2 terdaftar atas nama pemilik

Tergugat (Ramli Sinaga) agar sertifikat HGB 1547/Sungai jawi luar

gambar situasi 3834/1987 luas 90 m2 terdaftar atas nama pemilik (Ramli

Sinaga) bisa dibalik nama ke atas nama Penggugat;

5) Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada

tergugat sejumlah Rp. 335.000,- (tiga ratus tiga puluh lima ribu rupiah).

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelediki

apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada

atau tidak. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain hanya memberi dasar-

dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkar yang bersangkutan

guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Sebagai


92

tujuan akhir dari pembuktian ini tidak lain adalah putusan hakim yang

didasarkan atas pembuktian tersebut.

Sahnya jual beli ditentukan oleh terpenuhinya syarat-syarat materiil yaitu

a. Syarat-syarat umum bagi sahnya suatu perbuatan hukum (Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata);

b. Pembeli memenuhi syarat bagi pemegang hak atas tanahnya;

c. Tidak dilanggar ketentuan Landreform;

d. Dilakukan secara tunai, terang, dan nyata. (Keputusa MA 123/K/1970)

Persoalan menyangkut kepada siapa salah satu pihak dibebani

pembuktian tersebut adalah masalah “beban pembuktian” (bewijslast).

Didalam proses acara perdata, Hakim terikat kepada perundang-undangan,

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 163 HIR/283 RBg yang

menentukan setiap orang yang menyatakan mempunyai suatu hak atau

peristiwa guna meneguhkan haknya atau untuk menyangkal/membantah hak

orang lain, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut atau adanya

peristiwa tersebut.

Perjanjian jual beli di bawah tangan dilakukan dengan itikad tidak

baik, maka hal ini mengakibatkan suatu perikatan menjadi tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat, dalam arti seketika batal demi hukum dan

dianggap tidak pernah ada perikatan tersebut karena tidak lagi memenuhi

unsur-unsur Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu tidak

ada kehendak yang bebas. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ketentuan


93

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Semua persetujuan

yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat

ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena

alasan alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus

dilaksanakan dengan itikad baik”.

Dipandang dari segi pihak yang berperkara, alat bukti adalah alat

atau upaya yang digunakan untuk meyakinkan hakim di muka sidang

pengadilan. Menurut sistem HIR dan RBg. Hakim terikat dengan alat-alat

bukti yang sah, yang diatur oleh undang-undang, ini berarti hakim hanya

boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur oleh

undang-undang.

Menurut ketentuan Pasal 164 HIR-284 RBg, ada lima macam alat

bukti dalam perkara perdata yaitu :

1) Bukti Surat

Putusan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk menjelaskan bahwa

bahwa penggugat dalam membuktikan gugatanya dengan melengkapi

berkas yaitu foto copy Surat Jual Beli/Penyerahan, foto copy Surat

Perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah antara Bank Tabungan Negara

dengan Ramli Sinaga No. 39/C/PP.Ptk./Jkt/1995, foto copy Surat

Perjanjian Jual Beli Rumah dan Penyerahan Penggunaan Tanah Nomor

123, foto copy Surat Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1574, foto copy

Surat Izin Mendirikan Bangunan No. 648/378/RG/84-623/B93, foto copy


94

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan, foto

copy Surat Formular Penyetoran Bank BTN, serta Surat Pernyataan

Djaya Manaf Djolang, SH sebagai mantan Ketua RT sebagai salah

seorang saksi yang ikut menandatangani surat perjanjian jual beli antara

Penggugat dan Tergugat. Keabsahan bukti yang diajukan dibuktikan

dengan pengakuan tanda tangan para pihak dalam suat perjanjian.

Apabila para pihak mengakui surat bukti yang diajukan dipengadilan

maka surat dibawah tangan tersebut setara dengan akta otentik yang

dikeluarkan PPAT/Notaris. Agar akta di bawah tangan dapat dijadikan

alat bukti maka harus memenuhi syarat formil dan materiil. Menurut M.

Yahya Harahap syarat formil dan materiil akta di bawah tangan sebagai

berikut :

Syarat formil akta di bawah tangan :

a) Bersifat partai;

b) Pembuatannya tidak di hadapan pejabat;

c) Harus bermaterai;

d) Ditanda tangani kedua belah pihak.

Syarat materiil akta di bawah tangan:

(a) Isi akta di bawah tangan berkaitan langsung dengan apa yang

diperkarakan;

(b) Isi akta di bawah tangan itu tidak bertentangan dengan hukum,

kesusilaan, agama dan ketertiban umum;

(c) Sengaja diperbuat untuk alat bukti.


95

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan sama dengan

akta otentik, jika isi dan tandatangan diakui oleh pihak lawan. Hanya

dapat disingkirkan jika isinya bertentangan dengan hukum, ada unsur

paksaan dalam pembuatan atau ada penipuan. Jika isi dan tandatangan

yang ada dalam akta di bawah tangan itu disangkal oleh pihak lawan,

maka akta di bawah tangan itu mempunyai nilai kekuatan yang sama

dengan bukti permulaan. Akibat dari penyangkalan ini secara berdiri

sendiri tidak cukup membuktikan dalil gugat, harus disempurnakan

dengan alat bukti yang lain seperti saksi atau sumpah tambahan.

Pada umumnya akta di bawah tangan tidak mempunyai

kekuatan bukti lahir, karena tanda tangan dapat dimungkiri. Sedangkan

kekuatan bukti formil dan materiil sama dengan akta otentik.

2) Bukti dengan saksi-saksi

Menurut ketentuan Pasal 1895 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dinyatakan “Pembuktian dengan saksi diperkenankan dalam

segala hal kecuali oleh peraturan perundang ditentukan lain.

3) Persangkaan

Persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada

alat bukti lainnya dengan demikian juga satu persangkaan saja bukanlah

merupakan alat bukti.

4) Pengakuan

Pasal 174-176 HIR/311-313 RBg. Dibedakan menjadi Pengakuan

di muka sidang dan Pengakuan di luar sidang.


96

5) Sumpah

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat,

diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan

dengan mengingat sifat maha kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa

yang memberi keterangan atau janji atau keterangan yang tidak benar

akan dihukum oleh Tuhan.

Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak

tanpa perantara seorang pejabat umum. Tulisan di bawah tangan

membutuhkan pengakuan kebenaran atas tulisan tersebut dari para pihak dan

saksi-saksi lain. Namun jika tanda tangan dalam tulisan di bawah tangan itu

sudah diakui oleh para pihak, maka tulisan tersebut berkekuatan mengikat dan

sempurna sebagai alat bukti.

Menimbang bahwa pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata menyatakan “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak

yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”, dan pasal 1458 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “Jual beli dianggap telah

terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai

kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu

belum diserahkan dan harganya belum dibayar”.

Setelah kedua belah pihak mengakui adanya surat Perjanjian Jual

Beli pada dasarnya perjanjian bawah tangan tersebut sudah sama dengan akta

otentik, oleh sebab itu dalam memberikan keadilan, perlindungan, kepastian


97

serta kekuatan hukum dengan menggunakan pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana bunyinya diatas.

Perjanjian Jual Beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan,

maka biasanya di dalam Perjanjian Jual Beli tersebut akan termuat janji janji

dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat

yang apabila semua ketentuan tersebut atau syarat-syarat tersebut telah

dipenuhi maka jual beli hak atas tanah yang disepakati dalam perjanjian jual

beli dapat dilakukan.

Adapun perlindungan hukum terhadap para pihak khususnya

pembeli dalam perjanjian jual beli yang dilakukan di bawah tangan, Pihak

Pembeli dalam Perjanjian Jual Beli sebenarnya sudah mempunyai

perlindungan hukum Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap

pemenuhan hak semua pihak dalam jual beli selain sesuai perlindungan

hukum yang diberikan oleh kekuatan akta otentik juga dapat berlandaskan

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta niat baik dari para

pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat Sedangkan

perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum yang

diberikan apabila telah terjadi permasalahan adalah pihak yang dirugikan

dalam perjanjian jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum

dengan mengajukan gugatan perdata untuk menjamin kepastian hukum

Perjanjian Jual Beli ke Pengadilan Negeri sehingga diharapkan mendapat

putusan yang seadil-adilnya. Perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat

merupakan sesuatu yang urgent.


98

Jadi bisa dikatakan bahwa dasar hukum hakim dalam memutuskan

perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk dengan mempertimbangkan bahwa

peralihan hak atas tanah dapat terjadi melalui pemindahan hak dengan cara

jual-beli, setiap peralihan hak milik atas tanah wajib didaftarkan pada kantor

pertanahan setempat. Pendaftaran pemindahan atau peralihan hak tersebut

bertujuan agar pihak ketiga mengetahui bahwa sebidang tanah tersebut telah

dilakukannya jual beli. Ketentuan hukum tentang peralihan hak atas tanah

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang

Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman

Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dalam bagian B Rumusan Hukum Kamar

Perdata, Perdata Umum pada angka 7 mengatur hal sebagai berikut:

“Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta

telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.” Bahwa

berdasarkan hal tersebut dapat dipahami walaupun hanya berdasarkan

Perjanjian Jual Beli selama pembeli telah membayar lunas harga tanah

tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan

itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada

pembeli telah terjadi.


99

3.2 Analisis Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli Dibawah Tangan

Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk

Mengenai akta di bawah tangan, ada beberapa hal yang perlu diketahui,

yaitu dalam Pasal 1877 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan

bahwa, jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, maka hakim

harus memerintahkan supaya kebenaran daripada tulisan atau tanda tangan

tersebut diperiksa di muka pengadilan. Perbedaan pokok antara akta otentik

dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta

tersebut.

Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa

perundang-undangan sebagai berikut :

1) Pasal 101 ayat b Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan

akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan

sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum

di dalamnya;

2) Pasal 1874 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa

yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang

ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga

dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang

pejabat umum.
100

Terdapat setidaknya dua kekurangan atau kelemahan akta di bawah

tangan yaitu pertama, ketiadaan saksi yang membuat akta di bawah tangan

tersebut akan kesulitan untuk membuktikannya. Kedua, apabila salah satu

pihak memungkiri atau menyangkali tandatangannya, maka kebenaran akta di

bawah tangan tersebut harus dibuktikan kebenarannya di muka pengadilan.

Karena kekurangan atau kelemahan inilah menjadi salah satu pertimbangan

mengapa masyarakat dari waktu ke waktu semakin banyak menggunakan akta

otentik untuk berbagai transaksi yang dilakukannya.

Jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) tetap sah meskipun hanya berdasarkan kwitansi. Hal itu didasarkan

pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126.K/Sip/1976 tanggal 4

April 1978 yang memutuskan bahwa “untuk sahnya jual beli tanah, tidak

mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”.

Tulisan di bawah tangan membutuhkan pengakuan kebenaran atas tulisan

tersebut dari para pihak dan saksi-saksi lain. Namun jika tanda tangan dalam

tulisan di bawah tangan itu sudah diakui oleh para pihak, maka tulisan

tersebut berkekuatan mengikat dan sempurna sebagai alat bukti, akan tetapi

pemerintah telah menafsirkan terhadap sengketa yang akan ditimbulkan

oleh sebab itu pada ketentuan mendasarnya pasal 37 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi ”peralihan hak atas tanah

dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar,

hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak


101

karena lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang

dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Hal ini diberlakukan demi menjaga kepastian dan

perlindungan hukum bagi setiap pelaku perjanjian serta mewujudkan

peralihan hak yang sesuai dengan hukum.

Keabsahan jual beli tanah jika ditinjau dari Undang-Undang ataupun

Peraturan Pemerintah, jual beli tanah yang dianggap sah yaitu jual beli tanah

dilakukan di hadapan pejabat pembuat akta tanah atau jual beli dengan akta

otentik yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.

Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dalam

Pasal 1313 yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih”. Sumber terpenting perikatan yang dilakukan melaui kegiatan jual

beli tersebut adalah perjanjian, karena melalui suatu perjanjian pihak-pihak

dapat membuat segala macam perikatan sesuai dengan asas kebebasan

berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Perjanjian tidak boleh dibuat secara bebas, artinya perjanjian harus

memenuhi syarat- syarat tertentu, untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam suatu perjanjian,

syarat adanya kesepakatan adalah hal yang sangat penting untuk terpenuhi.

Kesepakatan yang dilakukan secara tertulis dilakukan dengan akta autentik

dan akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah suatu akta yang dibuat
102

oleh para pihak tanpa dilakukan di hadapan notaris atau pejabat umum.

Kekuatan mengikat para pihak dalam akta dibawah tangan adalah sama

dengan akta autentik, jadi perjanjian tersebut sah dalam arti tidak

bertentangan dengan Undang-undang.

Jadi apabila suatu perjanjian telah memenuhi syarat- syarat tersebut, maka

perjanjian tersebut adalah sah kecuali berdasarkan persetujuan kedua belah

pihak dan berdasarkan alasan yang ditetapkan Undang-Undang. Pasal 1457

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Jual beli

adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk meyerahkan suatu kebendaan, dari pihak yang lain untuk membayar

harga yang telah dijanjikan.” Dari Pasal 1457 tersebut maka dapatlah ditarik

suatu kesimpulan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya

ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau

mempunyai kekuataan hukum) pada detik tercapainya sepakat penjual dan

pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yaitu barang dan

harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat

konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi : “Jual beli dianggap telah terjadi kedua belah

pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga

meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayàr”.

Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya

“Obligatoir” saja, artinya, jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru
103

memberikan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan

kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang

yang dijual. Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang

bersumber pada hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli

bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan perjanjian obligatoir.

Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan

hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :

1) Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh

pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.

2) Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek

perbuatan hukum.

3) Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan

hak tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai

bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut.

Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walapun tanah belum

diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih

diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahan yang caranya

ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi. Selanjutnya menurut ketentuan

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perikatan yang

dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak

dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan

apapun yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan


104

baik. Berlaku sebagai undang-undang artinya bahwa perjanjian itu mempunyai

kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada

pihak-pihak yang membuatnya. Apabila pihak-pihak dalam perjanjian tersebut

melanggar, maka pihak tersebut dianggap telah melanggar undang-undang

sehingga diberi akibat hukum tertentu. Pengertian tidak dapat ditarik kembali

berarti bahwa perjanjian itu dengan tanpa alasan yang cukup menurut undang-

undang tidak dapat ditarik dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan para

pihak. Sedangkan untuk pelaksanaan dengan itikad baik mengandung arti

bahwa perjanjian itu dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Perjanjian Jual Beli jika dilihat dari sudut pandang hukum perdata bahwa

suatu perjanjian yang telah dibuat dan telah disepakati para pihak, maka

perjanjian tersebut sudah menjadi hukum bagi kedua pihak yang berkaitan.

Perjanjian ketika sudah disepakati bersama maka akan menimbulkan hak dan

kewajiban kepada para pihak yang telah sepakat. Dalam kaitannya dengan

Perjanjian Jual Beli juga mengikat para pihak yang bertandatangan dalam

perjanjian tersebut. Jika terjadi suatu masalah dikemudian hari setelah

dilakukannya transaksi jual beli tanah, tetapi dibuatkan Perjanjian Jual Beli

maka perjanjian tersebut dapat menjadi pegangan bagi si pembeli untuk

membuktikan bahwa tanah tersebut sudah di beli dengan di buktikan oleh

saksi-saksi yang tercatat dalam Perjanjian Jual Beli tersebut.

Terkait jual beli yang dilakukan dengan Perjanjian Jual Beli baik secara

lunas maupun cicilan. Keterbatasan Perjanjian Jual Beli tersebut kembali


105

pada subtansi hukumnya sendiri, Perjanjian Jual Beli diterbitkan hanya

sebagai penanda bahwa adanya keterikatan atau kesepakatan untuk

melakukan jual beli, akan tetapi substansi pemindahan hak belum tertera

didalamnya. Tidak adanya substansi tersebut menjadikan Perjanjian Jual Beli

tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran peralihan hak ke BPN.

Tetapi terkait dengan Perjanjian Jual Beli yang dimaksud dalam tulisan

ini ialah Perjanjian Jual Beli dengan pembayaran cicilan berdasarkan asas

kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Suatu

perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah

pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Konsep hukum seperti ini sesungguhnya tidak bertentangan dan dapat

diterima terhadap perjanjian dengan objek hak atas tanah. Salah satu sifat

yang penting dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya bersifat obligatoir saja,

artinya jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak

dan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli

hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.

Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah

berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan. Dari


106

penjelasan pasal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli tanah dibawah

tangan hanya mempunyai kekuatan pembuktian formal, yaitu bila tanda

tangan pada akta itu diakui (dan ini sebenarnya sudah merupakan bukti

pengakuan) yang berarti pernyataan yang tercantum dalam akta itu diakui dan

dibenarkan.

Berdasarkan hal tersebut maka isi akta yang diakui, adalah sungguh

sungguh pernyataan pihak pihak yang bersangkutan, apa yang masih dapat

disangkal ialah bahwa pernyataan itu diberikan pada tanggal yang tertulis

didalam akta itu, sebab tanggal tidak termasuk isi pernyataan pihak pihak

yang bersangkutan.

Mengingat pendaftaran hak atas tanah, bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak, maka

dalam setiap peralihan hak atas tanah para pihak haruslah mendapatkan

kepastian hukum dan perlindungan hukum. Tujuan lain pendaftaran tanah

adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap

mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam rangka memberikan kepastian

hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini

diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat,

yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA.

Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang

sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat

harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam pembuatan hukum sehari-
107

hari maupun dalam sengketa di Pengadilan. Oleh karena itu perlu adanya

perlindungan hukum bagi para pihak untuk dapat memberikan kepastian

hukum dan menjaga pemenuhan kepentingan serta hak-hak masing-masing

pihak.

Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah telah menegaskan bahwa dalam hal atas suatu

bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau

badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara

nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah

itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut dalam waktu 5 (lima)

tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara

tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kantor Pertanahan yang

bersangkutan maupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai

penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat tidak di hadapan

pejabat yang berwenang. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para

pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal

oleh para pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal

kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga

sesuai Pasal 1857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akta di bawah

tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu

akta otentik.
108

Pada dasarnya terdapat dua cara peralihan hak atas tanah yaitu beralih dan

dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada

perbuatan hukum yang dikukan oleh pemiliknya, sedangkan dialihkan

menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pemiliknya.

Contoh peralihan hak atas tanah karena beralih misalnya yaitu pewarisan,

sedangkan untuk peralihan hak atas tanah karena dialihkan misalnya yaitu

melalui jual beli. Peralihan hak atas tanah melalui jual beli biasanya

dilakukan dengan Perjanjian Jual Beli, setelah dilaksanakannya kewajiban-

kewajiban sebagaimana Perjanjian Jual Beli maka dibuatlah Akta Jual Beli

(AJB).

Dalam jual beli tanah dikenal dengan asas terang dan tunai sebagai syarat

dalam proses jual beli tanah. Syarat terang yaitu perjanjian jual beli harus

dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dan disaksikan oleh dua orang

saksi. Sedangkan, syarat tunai yaitu adanya dua perbuatan yang dilakukan

secara bersamaan yaitu pemindahan hak dari penjual kepada pembeli dan

pembayaran harga jual beli dari pembeli kepada penjual.

Perjanjian Jual Beli adalah perjanjian yang dibuat antara penjual dan

pembeli dalam rangka menjual dan membeli suatu properti, seperti rumah

atau tanah. Perjanjian Jual Beli merupakan salah satu tahap dalam proses jual

beli properti sebelum akad jual beli (AJB) dilakukan.

Dalam Kasus ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika dilihat dari syarat

sahnya perjanjian maka Perjanjian Jual Beli tersebut dapat dikatakan sah dan
109

mengikat para pihak. Karena telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian

yaitu:

a. adanya kesepakatan para pihak, dalam Perjanjian Jual Beli tersebut

dilakukan dan didasarkan pada kesepakatan para pihak yang merupakan

pernyataan kehendak sebagaimana diuraikan dalam Perjanjian

Pengikatan Jual beli tersebut;

b. Kecakapan, dalam Perjanjian Jual Beli tersebut para pihak selain cakap

dalam arti dewasa (umur) akan tetapi juga cakap dalam arti mempunyai

kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum di dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli tersebut;

c. Suatu Hal Tertentu, dalam Perjanjian Jual Beli tersebut terdapat hal

tertentu yang merupakan kewajiban atau prestasi para pihak untuk

melakukan apa yang diperjanjikan pada perjanjian pengikatan jual beli

tersebut;

d. Kausa yang halal, dalam Perjanjian Jual Beli tersebut kausa yang halal

juga terpenuhi. Karena di dalam pengikatan jual beli tersebut tidak ada

aturan perundang-undangan yang dilanggar dan tidak bertentangan

dengan ketertiban umum dan kesusilaan

Berdasarkan amar putusan diatas maka Perjanjian Jual Beli telah dianggap

sah dan memiliki kekuatan hukum yang tetap dan bisa dilakukan balik nama

maka perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama dengan

dengan akta autentik.


110

Hal ini juga didukung ketentuan dalam Perdata Umum Angka 7 Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan

Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai

Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA

4/2016) yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah berdasarkan PPJB

secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta

telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.

Atas ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa walaupun belum

dibuat AJB, selama pembeli telah membayar lunas harga tanah serta

menguasai tanah, maka secara hukum peralihan hak atas tanah telah terjadi,

sehingga hak atas tanah tersebut telah menjadi hak dari pembeli. Hal ini

selaras dengan asas tunai sebagai syarat dalam proses jual beli tanah, dimana

pemindahan hak dilakukan secara bersamaan, ketika pembeli telah melunasi

pembayaran maka secara otomatis hak atas tanah berpindah kepada pembeli.

Dengan demikian akta di bawah tangan pada Perjanjian Jual Beli yang

dibuat di Bawah Tangan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan

suatu akta otentik.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Kekuatan

Pembuktian Hukum PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) Yang Dibuat

Dibawah Tangan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk), terkait pokok rumusan masalah dalam penelitian ini,

maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk dengan

mempertimbangkan bahwa peralihan hak atas tanah dapat terjadi melalui

pemindahan hak dengan cara jual-beli, setiap peralihan hak milik atas

tanah wajib didaftarkan pada kantor pertanahan setempat. Pendaftaran

pemindahan atau peralihan hak tersebut bertujuan agar pihak ketiga

mengetahui bahwa sebidang tanah tersebut telah dilakukannya jual beli.

Ketentuan hukum tentang peralihan hak atas tanah diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno

Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan

Tugas Bagi Pengadilan dalam bagian B Rumusan Hukum Kamar

Perdata, Perdata Umum pada angka 7 mengatur hal sebagai berikut:

109
110

“Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli

(PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga

tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad

baik.” Bahwa berdasarkan hal tersebut dapat dipahami walaupun hanya

berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli selama pembeli telah

membayar lunas harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah

tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan

hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi.

2. Kedudukan hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dibawah

tangan berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 92/Pdt.G/2021/PN.Ptk

sama dengan akta autentik, dikarenakan sudah terpenuhinya syarat

sahnya jual beli menurut UUPA yakni syarat materiil dan formil yang

bersifat tunai, terang, dan riil. Kekuatan mengikat jual beli tersebut sudah

memenuhi syarat sahnya suatu perjajian yang termuat dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan berdasarkan Perdata Umum

Angka 7 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung

Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

(selanjutnya disebut SEMA 4/2016) yang menyatakan bahwa peralihan

hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli secara hukum

terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah

menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. Selain itu,

Perjanjian Pengikatan Jual Beli juga dapat diatur dalam bentuk perjanjian
111

lain, seperti perjanjian jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli yang

disusun berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dengan

demikian akta di bawah tangan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli

yang dibuat di Bawah Tangan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor

92/Pdt.G/2021/PN.Ptk memperoleh kekuatan pembuktian yang sama

dengan suatu akta otentik.

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang akan diberikan penulis

adalah sebagai berikut :

1. Dalam melaksanakan proses jual beli haruslah didaftarkan dan dilakukan

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dibuktikan dengan

adanya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) sehingga memiliki kekuatan hukum dan menjadi alat

bukti yang kuat sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.

2. Karena pelaksanaan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah

satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain, yaitu dari penjual

kepada pembeli tanah. Dimana dalam proses pelaksanaannya tidak

mungkin dilaksanakan balik nama tanpa melibatkan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, maka Berdasarkan ketentuan perbuatan hukum jual beli

tanah yang dilakukan dihadapan PPAT dibuktikan dengan Akta jual beli

tanah yang dibuat oleh PPAT.


112

3. Perlu adanya aturan secara khusus yang mengatur mengenai syarat-syarat

dapat dilakukannya Perjanjian Jual Beli dan dalam hal apa saja Perjanjian

Jual Beli dapat dilakukan, serta mengenai kedudukan sertipikat hak atas

tanah tersebut. Sehingga dengan diaturnya Perjanjian Jual Beli dalam

aturan khusus, paling tidak dapat memberikan rasa aman bagi para pihak

dan bagi pihak pembeli khususnya.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

A. Qiram Syamsudin Meliala, 2010, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta


Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya


Bakti, Bandung.

---------------, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti,


Bandung.

Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence)
Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda


Bukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta.

---------------, 2009, Peralihan Hak atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta.

Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsiobalitas dalam


Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta.

Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum


Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.

Arif Sidharta, Meuwissen, 2007, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu


Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama,
Bandung.

Bachtiar Effendi, 2013, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan


Pelaksanaannya, Penerbit Alumni, Bandung.

C.S.T Kansil, 2003, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia:
Pengantar Hukum Indonesia Jilid 2, Balai Pustaka, Jakarta.

Djaja S. Meliala, 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia,
Bandung.

E. Saefullah Wiradipradja, 2015, Penuntun Praktis Metode Penelitian dan


Penulisan Karya Ilmiah, Keni Media, Bandung.

Fernando M Manulang, 2007, Hukum Dalam Kepastian, Prakarsa, Bandung.


Fred N, Kerlinger, 2000, Asas-Asas Penelitian Behavioral (terjemahan),
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

G.H.S Lumban Tobing, 2012, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan 4,


Erlangga, Jakarta.

H. Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap M. Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya


di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---------------, 2018, Demikian Akta Ini: Tanya Jawab Mengenai Pembuatan


Akta Notari Di Dalam Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hernoko Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas


Dalam Kontrak Komersial Laksbang, Mediatama, Yogyakarta.

I Ketut Oka Setiawan, 2015, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta.

Irwansyah, 2021, Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktik Penulisan


Artikel, Mirra Buana Media, Yogyakarta.

J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Alumni,


Bandung.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I,


Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta.

Johny Ibrahim, 2008, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media Publishing, Malang.

Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bahasa


Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Pusat..

Kardino, 2008, Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Djambatan, Jakarta.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---------------, 2004, Perikatan Pada Umumnya Cet-2, PT Grafindo Persada,


Jakarta.
Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung.

Moh. Nazir, 2003, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Muchtar Rudianto, 2010, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai


Perjanjian Pendahuluan, Rajawali Press, Jakarta.

Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press,


Mataram.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Munir Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)
Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Kencana


Prenada Media group, Jakarta.

---------------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,


Jakarta.

R.Setiawan, 2008, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bima Cipta, Bandung.

Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Riduan Syahrani, 2004, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung.

Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak),
Sinar Grafika, Jakarta.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

---------------, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta.

Setiono, 2004, Supremasi Hukum, UNS, Surakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2015, Penelitian Hukum Normatif


Suatu Tinjauan singkat (Edisi Ctakan ke 17), Rajawali Pers, Jakarta.
Sorjoeno Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, UI-Press,
Jakarta.

Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intersema, Jakarta.

---------------, 2009, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

---------------, 2014, Aneka Perjanjian Cetakan Ke XI, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam,


Liberty, Yogyakarta.

---------------, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengntar, Liberty, Yogyakarta.

Syahmin AK, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, PT
Intersema, Jakarta.

Urip Santoso, 2014, Pendaftaran dan Peralihan Hak-hak Atas Tanah,


Prenamedia Group, Jakarta.

Wiryono Projodikoro, 2000, Hukum antar golongan di Indonesia, Sumur,


Bandung.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan


Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan


Tata Usaha Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendataran Tanah.


Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil


Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

C. JURNAL

Firdansyah, 2022, Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas


Tanah Yang Belum Bersertifikat Oleh Ppat/Notaris Di Kota Banda
Aceh, UMSU REPOSITORY, diakses pada tanggal 08 Februari 2023.

Galuh Hapsari, 2018, Kedudukan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli


(PPJB) Dalam Hal Terjadi Sengketa, DSpace, diakses pada tanggal
08 Februari 2023.

Herlien Budiono, 2004, Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak, Majalah
Renvoi edisi tahun I No 10, tanggal 09 Februari 2023..

Selamat Lumban Gaol, 2020, Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual


Beli Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Dalam
Rangka Peralihan Hak Atas Tanah Dan Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik Van Omstandigheden), Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,
Volume 11 No. 1, diakses pada tanggal 08 Februari 2023

Anda mungkin juga menyukai