Anda di halaman 1dari 53

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN NIET ONVANTKELIJKE

VERKLRAARD DALAM PERKARA WANPRESTASI


( Studi Putusan Nomor : 4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. )

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Skripsi Pada Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo

OLEH:

A.P.ANHAR KALAMULLAH JOENOES


H1A116508

BAGIAN HUKUM PERDATA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan di hadapan

panitia Ujian Skripsi pada program studi ilmu hukum bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

JUDUL PENELITIAN : Analisis Yuridis Terhadap Putusan Niet Onvantkelijke

Verklraard Dalam Perkara Wanprestasi (Studi Putusan

Nomor: 4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. )

NAMA : A.P.Anhar Kalamullah Joenoes

NOMOR STAMBUK : H1A116508

PROGRAM STUDI : Hukum Perdata

Kendari, 2023

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jabalnur, S.H.,M.H. Rahman Hasima, S.H.,M.H.


NIP. 19740111 200312 1 044 NIP. 19890305 201504 1 003

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL-------------------------------------------------------------------------i

HALAMAN PERSETUJUAN-------------------------------------------------------------ii

DAFTAR ISI ----------------------------------------------------------------------------------iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah -------------------------------------------------------------5

B. Rumusan Masalah --------------------------------------------------------------------13

C. Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------------------------13

D. Manfaat Penelitian -------------------------------------------------------------------13

E. Keaslian Penelitian -------------------------------------------------------------------13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Gugatan Sederhana-----------------------------------------------16

1. Pengertian Gugatan Sederhana --------------------------------------------------16

2. Dasar Hukum Gugatan Sederhana-----------------------------------------------17

B. Tinjauan Umum Putusan Niet Onvankelijke Verklraard ------------------------22

C. Tinjauan Umum Perjanjian ---------------------------------------------------------24

1. Pengertian Perjanjian -------------------------------------------------------------24

2. Pengikatan Perjanjian Pembiayaan Dengan Pola Bagi Hasil Antara

Debitur Dan Kreditur di PT. Sarana Sultra Ventura-----------------------------25

D. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi--------------------------------------------30

1. Pengertian Wanprestasi ----------------------------------------------------------30

2. Jenis-Jenis Wanprestasi ----------------------------------------------------------34

iii
BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian -----------------------------------------------------------------------35

B. Pendekatan Penelitian ---------------------------------------------------------------35

C. Sumber Bahan Hukum ---------------------------------------------------------------36

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ---------------------------------------------37

E. Analisis Bahan Hukum --------------------------------------------------------------38

BAB IV PEMBAHASAN

Pertimbangan Hakim Memutus Pada Putusan Niet Onvantkelijke Verklraar

Dalam Perkara Wanprestasi Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang-

Undangan--------------------------------------------------------------------------------

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan--------------------------------------------------------------------------

B. Saran----------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan dalam masyarakat seringkali merupakan suatu proses

interaksi sosial sehingga bisa menyebabkan sengketa antar individu. Sengketa

yang terjadi dalam masyarakan biasanya lebih dikenal dengan istilah sengketa

perdata. Pada umumnya, pihak yang bersangkutan dalam sengketa perdata yakni

tergugat ataupun penggugat keduanya memiliki kaitan hukum. Oleh karena itu,

penggugat dan tergugat bisa saling menggugat agar dipenuhinya kaitan hukum

tersebut, contohnya dalam sengketa wanprestasi, jika Pengugat ada melakukan

pelanggaran perjanjian maka Tergugat boleh mengajukan gugatan kembali kepada

Penggugat selama tidak menyimpang dari hukum yang berlaku. Dalam gugatan

adapun para pihak dapat berupa seseorang ataupun sekelompok orang, baik yang

merupakan badan hukum ataupun yang bukan badan hukum. Pihak yang

mengajukan tuntutan disebut penggugat, sedangkan pihak yang dituntut disebut

tergugat ataupun apabila lebih dari satu orang disebut para tergugat.

Gugat menggugat merupakan sesuatu masalah yang urgen dalam

penerapan hukum material, karena persoalan tersebut bukan hanya kebutuhan para

praktisi hukum saja, tetapi juga merupakan kebutuhan masyarakat pada umumnya

bilamana terjadi permasalahan hukum di antara mereka. Meskipun demikian,

segala sesuatu yang berkaitan dengan apa dan bagaimana gugat menggugat

tersebut dibuat dan dilaksanakan, tidak semua masyarakat memahaminya,

sehingga masyarakat yang membutuhkan bantuan pada perkaranya dimungkinkan

5
untuk meminta bantuan kepada orang lain, baik secara formal maupun secara

tidak formal.

Kebutuhan akan pengembangan dan penerapan serta penegakan hukum

secara umum dan pelaksanaan hukum formil secara khusus sangat didambakan

oleh masyarakat saat sekarang ini, terlebih di masa yang akan datang seiring

dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gugatan di atur dalam pasal 118 HIR ayat (1)/pasal 142 Reachtsreglemen

Voor de Buitengewesten yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat

pertama harus dimasukkan kepada pengadilan negeri dengan surat permintaan

yang ditandatangani oleh penggugatan atau kuasanya. Sehubungan dengan hal

gugat menggugat, dalam praktiknya sering terjadi penolakan oleh hakim terhadap

surat gugatan dari seorang penggugat maupun tergugat.

Hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum untuk dapat menerimam,

memeriksa, dan mengadili suatu perkara, sesuai dengan pasal 10 ayat (1)

UndangUndang Nomor 48 tahun 2009 jo. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi

Hakim untuk dapat menemukan hukum, baik melalui hukum tertulis maupun

tidak tertulis untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai

seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab.1

Terdapat dua metode penemuan hukum yaitu interpretasi dan konstruksi.

Dengan dua metode tersebut, dalam memutuskan perkara, Hakim dapat

menghasilkan beberapa jenis putusan, diantaranya putusan yang Niet Onvankelijk


1 ?
Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum oleh Hakim. Jakarta : Sinar grafika, 2010, h.26

6
Verklaart (N.O) yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterima, karena ada

alasan yang dibenarkan oleh hukum. Beberapa alasan yang menyebabkan tidak

iterimanya gugatan pengguagat, dengan kemungkinan: 1) Gugatan tidak

berdasarkan hukum. Jadi kalau tidak ada dasar hukum dari gugatan diajukan,

maka gugatan gugatan tersebut tidak dapat diterima. 2) Gugatan tidak memiliki

kepentingan hukum secara langsung yang melekat pada diri penggugat. 3)

Gugatan kabur (obscuur libel). 4) Gugatan masih prematur, gugatan belum

semestinya karena ketentuan undang-undang belum terpenuhi. 5) Gugatan Nebis

In Idem; gugatan yang diajukan oleh penggugat sudah pernah diputus oleh

pengadilan yang sama, dengan objek sengketa yang sama dan pihak yang

bersengketa juga sama. 6) Gugatan salah alamat (eror in persona). 7) Gugatan

telah lampau batas atau daluwarsa. 8) Pengadilan tidak berwenang mengadili.2

Adapun kasus yang akan dianalisis yakni pada putusan Niet Onvankelijk

Verklaart (N.O) perkara gugatan sederhana Nomor: 4/Pdt.G.S/2022/PN. Adl.

Adapun kasusnya akan penulis uraikan sebagai berikut :

1. Tergugat I dan II telah mengajukan permohonan kredit kepada PT. Sarana

Sultra Ventura dan disetujui oleh isterinya sejumlah Rp. 86.000.000,-

(delapan puluh enam juta rupiah). Yang dibuktikan dengan surat

permohonan kredit dan surat persetujuan Isteri tanggal 2 Juni 2020

2. Kemudian dari permohonan pinjaman yang diajukan oleh Tergugat I dan

II kepada PT. Sarana Sultra Ventura telah disampaikan bahwa

permohonan kredit yang diajukan Tergugat I dan II tersebut telah disetujui

2 ?
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Jaka
rta: Kencana, 2012, h. 229.

7
maksimal 86.000.000,- (delapan puluh enam juta rupiah). Yang dibuktikan

dengan Surat Konfirmasi Nomor : 015/SSV/OL/VI/2020 tanggal 04 Juni

2020

3. Selanjutnya setelah Permohonan di setujui dibuatlah Perjanjian

Pembiayaan antara Penggugat dan Tergugat I dan II, agar terdapat

hubungan hukum dimana Penggugat sebagai pihak Kreditur/pemberi

Fasilitas Pembiayaan dan pihak Tergugat I dan II berkedudukan sebagai

Debitur/penerima Fasilitas Pembiayaan. Dibuktikan dengan Akta

Perjanjian Pembiayaan Usaha Produktif Nomor : 62 tanggal 09 Juni 2020

4. Selanjutnya setelah perjanjian dibuat maka dibuatkan Kwitansi tanggal 10

Juni 2020 yang membuktikan bahwa Tergugat I dan II telah menerima

uang pencairan Kredit/pinjaman sebesar Rp. 86.000.000,- (delapan puluh

enam juta rupiah).

5. Setelah itu sesuai dengan aturan dibuatkan Kwitansi pembayaran biaya

Provisi dan Administrasi tanggal 10 Juni 2020 yang membuktikan bahwa

Tergugat I dan II telah melakukan pembayaran Biaya Provisi dan

Administrasi atas pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil masing-masing Rp.

860.000,- (delapan ratus enam puluh ribu rupiah) jadi total keseluruhan

adalah Rp. 1.720.000,- ( satu juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah)

kepada Penggugat

6. Selanjutnya Tergugat menyerahkan Asli BPKB Nomor polisi DW 8901

AE, Merek Mitsubishi, Type Fuso FM 517, Jenis mobil beban, Model

Truck, Tahun pembuatan 1995, Isi Silinder 7545 CC, Nomor Rangka :

8
FM517-036141, Nomor Mesin 66D16C-547365, Bahan Bakar : Solar,

Warna Coklat Kenari, Nomor BPKB : A-2915302, tercatat atas nama

JUFRI. Untuk menjamin pelunasan kredit/pembiayaan.

7. Kemudian jaminan BPKB tersebut dilakukan pengikatan oleh notaris

sebagaimana Akta Jaminan Fidusia Nomor : 63 tanggal 9 Juni 2020. Yang

membuktikan bahwa Penggugat telah mengikatkan akta jaminan fidusia ke

notaris A. WIDYA ARUNG RAYA, SH., M.Kn.

8. Kemudian selanjutnya untuk berjaga-jaga agar penggugat memiliki

kekuatan hukum dan dasar apabila debitur wanprestasi maka dibuatkan

Kuasa Menjual dari Pemilik Jaminan kepada PT. Sarana Sultra Ventura

tanggal 8 Juni 2020. Yang nantinya akan membuktikan bahwa benar

Tergugat I dan II memberikan kuasa penuh kepada Penggugat untuk

melakukan penjualan agunan atau dengan cara apapun mengalihkan

dan/atau melepaskan hak atas 1 (satu) unit kendaraan dengan identitas

sebagai berikut: Nomor polisi DW 8901 AE, Merek Mitsubishi, Type Fuso

FM 517, Jenis mobil beban, Model Truck, Tahun pembuatan 1995, Isi

Silinder 7545 CC, Nomor Rangka : FM517-036141, Nomor Mesin

66D16C-547365, Bahan Bakar : Solar, Warna Coklat Kenari, Nomor

BPKB : A-2915302, tercatat atas nama JUFRI. Yang diikat secara Fidusia.

9. Selanjutnya dibuatkan juga surat Pernyataan dari Pemilik Jaminan tanggal

8 Juni 2020. Yang akan membuktikan Bahwa benar untuk menjamin

pelunasan kredit/pembiayaan, Tergugat I dan II telah memberikan surat

pernyataan untuk menyerahkan barang jaminan secara sukarela dan tanpa

9
ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun agunan 1 (satu) unit

kendaraan dengan identitas sebagai berikut: Nomor polisi DW 8901 AE,

Merek Mitsubishi, Type Fuso FM 517, Jenis mobil beban, Model Truck,

Tahun pembuatan 1995, Isi Silinder 7545 CC, Nomor Rangka : FM517-

036141, Nomor Mesin 66D16C-547365, Bahan Bakar : Solar, Warna

Coklat Kenari, Nomor BPKB : A-2915302, tercatat atas nama JUFRI.

Yang diikat secara Fidusia.

10. Kemudian angsuran baru berjalan 3 bulan tepatnya pada bulan oktober

debitur melakukan wanprestasi yakni debitur tidak membayar kewajiban

tagihan mulai bulan Oktober 2020 hingga sampai dengan diajukannya

gugatan yakni dibulan November 2022, maka bentuk wanprestasi yang

dilakukan oleh debitur tidak melakukan apa yang disanggupi untuk

dilakukan. Bahwa atas kelalaian debitur tidak membayar angsuran selama

3 bulan berturut-turut dan/atau tidak berturut-turut yang harus dilunasi

selambat-lambatnya jatuh tempo pembayaran yakni tanggal 10 tiap

bulannya. Debitur telah wanprestasi terhadap pembayaran yang jatuh

tempo tiap bulannya selama 26 bulan mulai tagihan dibulan Oktober 2020

hingga tagihan bulan November 2022, debitur belum menyelesaikan

tunggakannya sehingga upaya kreditur yang telah dilakukan adalah dengan

pemberian surat peringatan tanggal 17 Februari 2021, surat peringatan II

tanggal 1 Maret 2021, dan surat peringatan III tanggal 5 April 2021,

kemudian kreditur juga melakukan kunjungan kerumah debitur untuk

mencari solusi penyelesaian dan semua upaya yang telah kreditur lakukan

10
tidak diindahkah oleh debitur hingga upaya terakhir yang kreditur lakukan

adalah megajukan gugatan sederhana di pengadilan Negeri Andoolo

karena debitur tidak beritikad baik lagi.

Namun Hakim tunggal yang memeriksa perkara gugatan sederhana

tersebut dalam pertimbangannya menilai bahwa gugatan tersebut adalah gugatan

prematur hakim beranggapan bahwa gugatan yang diajukan terlalu dini karena

belum melampaui batas waktu untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu yang

disepakati dalam perjanjian. Jika melihat pertimbangan hakim tersebut

menimbulkan kerugian terhadap penggugat, karena pada umumnya lembaga

pembiayaan bank ataupun nonbank sebagai kreditur apabila harus menunggu

sampai dengan schedule (jadwal pembayaran) selesai baru dapat mengajukan

gugatan, akan menimbulkan kerugian berupa lamanya uang kreditur tertinggal di

debitur sehingga uang tersebut tidak dapat disalurkan lagi dan ditambah dengan

menunggaknya debitur mengakibatkan nilai NPI (Non Performing Investments)

meningkat.

Sehingga untuk mengantisipasi resiko tersebut dituangkan dalam

perjanjian yang dimana jatuh tempo pembayaran tersebut adalah tiap bulan, tiga

bulan dan enam bulan tergantung dari kesepakatan dalam perjanjian. Akan tetapi

hakim yang memeriksa perkara tersebut mempunyai pertimbangan lain. Apabila

pertimbangan tersebut digunakan oleh hakim-hakim yang menangani perkara

utang piutang dilembaga keuangan, maka akan menimbulkan kerugian bagi

pelaku usaha yang bergerak dibidang keuangan karena akan menunggu lama

untuk bisa melakukan gugatan atas wanprestasi.

11
Kemudian lebih lanjut apabila kita melihat Yurisprudensi terkait dengan

kasus yang sama dalam putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2022/PN kdi. Yang berbunyi

“pada petitum angka 3 tentang pembayaran utang pokok dan bagi hasil yang

belum jatuh tempo, pengadilan berpendapat bahwa kewajiban pembayaran hutang

secara lunas seluruhnya atau sisanya secara seketika dan sekaligus terhadap utang

pokok yang belum jatuh tempo tidaklah bertentangan dengan hukum sehingga

dapat dikabulkan namun terhadap kewajiban bagi hasil yang belum jatuh tempo

menurut pengadilan kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan lagi kepada para

tergugat mengingat bagi hasil tersebut dapat dikenakan terhadap pemakaian utang

pokok pada bulan berjalan sementara bulan berjalan yang dimaksudkan belum

terlaksana karena belum jatuh tempo sebagaimana mestinya yakni berakhir pada

bulan September 2024, dengan demikian Petitum angka 3 patut dikabulkan

sebagian”.3Bahwa berdasarkan yurisprudensi tersebut gugatan Pemohon tidaklah

bertentangan dengan hukum sebagaimana yang didalilkan dalam pertimbagan

hukum putusan Nomor: 4/Pdt.G.S/2022/PN Adl. yang mengacu pada pasal 1243

jo. Pasal 1238 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Melihat permasalahan tersebut maka dipandang perlu dilakukan penelitian

mengenai analisis yuridis terhadap putusan hakim tersebut yang menyatakan

gugatan tidak dapat diterima (niet on vankelijk veerklaard). Selain menimbulkan

kerugian diatas keadaan ini menimbulkan kerugian dari segi waktu dan biaya bagi

Penggugat. Waktu dan biaya terbuang sia-sia tanpa memperoleh hasil

penyelesaian positif. Dari hal-hal tersebut diatas, muncul keinginan Penulis untuk

meneliti dengan judulnya “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Niet


3 ?
Putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2022/PN kdi.

12
Onvantkelijke Verklraard Dalam Perkara Wanprestasi (Studi Putusan Nomor

: 4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. )”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi

permasalahan apakah pertimbangan hakim memutus pada putusan niet

onvantkelijke verklraard dalam perkara wanprestasi sudah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

pertimbangan hakim memutus pada putusan niet onvantkelijke verklraard dalam

perkara wanprestasi sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau

tidak

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diberikan pada penelitian ini adalah:

1. Diharapkan dapat memberikan masukkan bagi perkembangan ilmu hukum,

khususnya dalam perkara gugat menggugat dan juga mengenai putusan.

2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai

perkara gugat menggugat dan juga mengenai putusan.

E. Keaslian Penelitan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, terdapat beberapa karya

penelitian yang memiliki kemiripan dengan peneitian ini, antara lain :

13
1. Skripsi Affi Nurul Laily, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maulana Malik

Ibrahim Malang Tahun 2015 dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan

Niet Onvankelijk Verklaard (N.O) Dalam Perkara Istbat Nikah Kumulasi

Gugat Cerai (Studi Kasus Perkara No : 2295/Pdt.G/2013/PA.Mlg.)”. Penelitian

ini bertujuan mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim dan metode

penemuan hukum oleh Hakim dalam perkara Nomor 2295/Pdt.G/2013/PA.Mlg.

yang diputus dengan putusan tidak diterima (Niet Onvankelijk Verklaard/NO).

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris dengan menggunakan

pendekatan kasus. Sedangkan penelitian penulis kasusnya terfokus pada

gugatan sederhana perkara wanprestasi (studi putusan nomor :

4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. ).

2. Skripsi Ray Andre Lambok Petrus Lumbanraja Tahun 2019 dengan judul

“Analisis Hukum Terhadap Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvankelijk

Verklaard) Dalam Perkara Perbuatan Melanggar Hukum (Studi Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 740/Pdt.G/2016/Pn.Jkt.Sel)”. Hasil

penelitian berkesimpulan bahwa : Putusan Niet Onvankelijk Verklaard adalah

putusan yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima karena cacat

formil. Dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 740/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel),

hakim memberikan pertimbangan bahwa gugatan Penggugat terdapat cacat

formil berupa error in persona, yang seharusnya menarik pihak lain sebagai

Tergugat. Penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul

skripsi Analisis Hukum Terhadap Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet

Ontvankelijk Verklaard) Dalam Perkara Perbuatan Melanggar Hukum (Studi

14
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 740/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel).

Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif. Teknik pengumpulan bahan hukum

yang dilakukan yaitu dengan studi kepustakaan dan studi dokumen. Penulisan

skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan pendekatan perundang-

undangan, pendekatan kasus dan pendekatan analitis. Penelitian penulis

berbeda dengan penelitian tersebut dimana penelitian penulis terfokus kepada

analisis yuridis terhadap putusan niet onvantkelijke verklraard dalam perkara

wanprestasi (studi putusan nomor : 4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. ) sedangkan

penelitian diatas fokusnya kepada perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan pada penelitian yang saya uraikan, penelitian diatas perkara

yang diteliti adalah terkait gugatan dipengadilan Agama yakni Studi Kasus

Perkara No : 2295/Pdt.G/2013/PA.Mlg. kemudian kasus yang kedua penelitian

diatas fokusnya kepada perbuatan melawan hukum Studi Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan Nomor 740/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel. Maka penelitian

penulis tersebut memiliki pebedaan karena penelitian penulis kasusnya terfokus

pada gugatan sederhana perkara wanprestasi (studi putusan nomor :

4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. ). Sehingga penulis menyimpulkan bahwa belum ada

penelitian yang memfokuskan pada analisis yuridis terhadap putusan niet

onvantkelijke verklraard dalam perkara wanprestasi (studi putusan nomor :

4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. ).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Gugatan Sederhana

15
1. Pengertian Gugatan Sederhana

Menurut Black Law Dictionary, disebutkan bahwa Small Claims

Court adalah a court that informally and expeditiously adjudicates claimss

that seek damages below a specified monetary amount, usually claimss to

collect small accounts or debts, also termed small-debts court; conciliation

court. Dapat diartikan sebagai pengadilan yang bersifat informal (di luar

mekanisme peradilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang cepat untuk

mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang

nilai gugatannya kecil.4

Adapun menurut John Baldwin, Small Claims Court dalah suatu

pengadilan yang bersifat informal, sederhana dan biaya murah serta

mempunyai kekuatan hukum. Small Claims Court adalah untuk pengadilan

yang menyediakan formalitas bagi masyarakat yang ingin menuntut sejumlah

uang tanpa harus menyewa seorang pengacara dan materi gugatan tidak besar,

selain itu pemeriksaan perkaranya yang tidak rumit dan bersifat sederhana

yang tidak membutuhkan uang yang banyak seperti mengajukan perkara ke

pengadilan umum.5

Small Claims Court dapat menyelesaikan perkara gugatan dengan

waktu yang cepat, murah dan menghindari proses berperkara yang kompleks

dan formal. Small Claims Court merupakan suatu lembaga hukum yang

4 ?
Briyan A. Garner, 2004, Blacks’s Law Dictionary, Edisi kedelapan, West Publishing, St.
Paul dalam Efa Laila Fakhirah, dalam jurnal “Mekanisme Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya
Ringan”, Mimbar Hukum, Volume 25 No 2 Juni 2013
5 ?
John Baldwin, 2003, Small Claims Court in the Coity Courts in England and Wales,
Oxford University Press, dalam jurnal karya Efa Laela Fakhriah, Eksistensi Small Claims Court
Dalam Mewujudkan Tercapainta Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, Universitas
Padjajaran, Bandung.

16
dimaksudkan untuk memberikan solusi yang cepat dan ekonomis untuk

menyelesaikan sengketa yang tidak membutuhkan biaya yang mahal.

Gugatan sederhana atau istilah popular small claims court (SCC)

sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019

tentang perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015

Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana merupakan tata cara

pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan

materiil paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) yang

diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.

Penyelesaian dengan gugatan sederhana hanya bisa digunakan untuk

perkara ingkar janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum.

2. Dasar Hukum Gugatan Sederhana

Gugatan sederhana di Indonesia tergolong baru, keberadaannnya

secara yuridis formal ditandai dengan diundangkannya Peraturan Mahmakah

Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian

Gugatan Sederhana. Perma ini ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad

Hatta Ali dan mulai berlaku pada saat diundangkan pada tanggal 7 Agustus

2015 melalui Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1172.

PERMA Nomor 2 Tahun 2015 terdiri dari 9 (sembilan) Bab dan 33 (tiga

puluh tiga) pasal.

Selang 4 (empat) tahun kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan

peraturan penyempurna dari PERMA Nomor 2 Tahun 2015 yaitu PERMA

Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas PERMA Nomor 2 Tahun

17
2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang diundangkan

pada tanggal 20 Agustus 2019. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan

penyelesaian Gugatan Sederhana yang dari tahun ke tahun jumlahnya

semakin meningkat karena mendapat respon yang positif dari masyarakat

pencari keadilan khususnya dari sektor perbankan.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015

sebagaiamana telah dirubah melaui PERMA Nomor 4 Tahun 2019

merupakan langkah besar Mahkamah Agung yang bertujuan untuk

memberikan kemudahan bagi para pencari keadilan khususnya masyarakat

kecil yang ingin mendapatkan keadilan namun terkendala dengan proses

penyelesaian perkara yang lama dan biaya yang mahal.

Apalagi beredar di masyarakat tentang istilah “memperjuangkan

kambing tetapi kehilangan kerbau”. Selain itu peraturan tentang gugatan

sederhana diharapkan dapat mengurangi volume perkara di Mahkamah

Agung yang dari tahun ke tahun semakin menumpuk. Namun ada satu hal

yang tak kalah penting dari tujuan dikeluarkanya peraturan tentang gugatan

sederhana yaitu untuk menwujudkan penyelesaian perkara secara sederhana,

cepat dan biaya ringan sehingga visi dan misi dari Mahkamah Agung bisa

terwujud.

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan salah

satu asas di peradilan umum. Hal ini sesuai dengan amanat dari Pasal 4 Ayat

(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

“Bahwa pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi

18
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Di sini penulis akan memberikan

penjelasan dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagai

berikut:

a. Asas Sederhana

Sederhana bermakna pemeriksaan dan penyelesaian perkara

dilakukan dengan cara efisien dan efektif dengan cara atau prosedur yang

jelas, mudah dimengerti, dipahami dan tidak rumit atau tidak berbelit-belit.

Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau

diperlukan dalam beracara di pengadilan semakin baik. Banyaknya

formalitas dan tahapan-tahapan yang harus ditempuh yang sulit untuk

dipahami akan menimbulkan berbagai penafsiran atau pendapat yang tidak

seragam, sehingga tidak akan menjamin keragaman atau kepastian hukum

yang ada pada gilirannya akan menyebabkan keengganan atau ketakutan

untuk beracara di muka pengadilan.6

Keserdehanaan beracara dan kesederhanaan peraturan-peraturan

hukum acara akan mempermudah, sehingga akan mempercepat jalannya

peradilan. Kesederhanaan berarti kesederhanaan prosedur peradilan yang

tidak berbelitbelit atau formalitas-formalitas. Kesederhanaan rumusan

berarti rumusan peraturan yang menggunakan bahasa hukum yang

sederhana dan mudah dipahami tanpa meninggalkan bahasa hukum yang

tepat.

6 ?
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia edisi keenam, Yogyakarta:
Liberty, 2006, h. 154.

19
b. Asas Peradilan Cepat

Peradilan cepat adalah menyangkut jalannya peradilan dengan

ukuran waktu atau masa acara persidangan berlangsung. Hal ini berkaitan

dengan masalah kesederhanaan prosedur atau proses persidangan diatas.

Apabila prosedurnya terlalu rumit akan berakibat memakan waktu yang

lebih lama. Penyelesaian perkara yang memakan waktu terlalu lama

berpotensi akan menimbulkan masalahmasalah baru, misalnya berubahnya

kondisi atau keadaan objek sengketa yang tentunya akan membawa

pengaruh pada saat eksekusi dilakukan nantinya.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6

Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan

Pengadilan Negeri tanggal 21 Oktober 1992, ditetapkan oleh Mahkamah

Agung, tenggang waktu penyelesaian paling lambat 6 (enam) bulan

dengan ketentuan apabila tenggang waktu tersebut terlampaui harus

melaporkan keterlambatan kepada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah

Agung. Namun proses peradilan yang cepat tidak senantiasa mengurangi

ketepatan dalam pemeriksaan dan penilaian terhadap hukum dan keadilan.

c. Asas Biaya Ringan

Biaya ringan adalah biaya perkara yang serendah mungkin,

sehingga dapat dipikul oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam

pemeriksaan dan penyelesaiaan perkara tidak mengorbankan ketelitian

dalam mencari kebenaran dan keadilan. Biaya perkara yang tinggi akan

membuat orang enggan untuk berperkara di pengadilan, mengenai biaya

20
ringan dalam berperkara merupakan hal yang diidam-idamkan oleh para

pencari keadilan. Hal tersebut rasional, jika dilihat seseorang ingin

menuntut haknya namun masih dibebani biaya yang tinggi, meskipun di

sisi lain soal menuntut atau tidak terserah kepada pihak yang

bersangkutan. Hal tersebut sesuai dengan asas bahwa berperkara harus

dikena biaya, akan tetapi jika disesuaikan dengan asas biaya ringan, maka

seyogyanya Pengadilan juga tidak menetapkan biaya perkara yang sangat

tinggi. Karena biaya perkara yang tinggi akan menyebabkan kebanyakan

pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada

pengadilan.

B. Tinjauan Umum Putusan Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard

Putusan niet ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai

putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat

diterima karena mengandung cacat formil. M. Yahya Harahap dalam bukunya

Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang

mungkin melekat pada gugatan, antara lain:7

1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak

memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;


7 ?
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. h. 811

21
2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;

3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis

consortium;

4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel, ne bis in idem, atau melanggar

yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.

Lebih lanjut juga menjelaskan bahwa menghadapi gugatan yang

mengandung cacat formil, putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan tegas

mencantumkan dalam amar putusan “Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima

(niet ontvankelijke verklaard/NO)”8

Pengadilan memiliki kewajiban untuk melakukan pemeriksaan terhadap isi

gugatan apakah dapat dilanjutkan atau tidak, setelah penggugat menyiapkan

gugatan dan menyerahkannya kepengadilan. Sedangkan alasanalasan pengadilan

membuat keputusan tidak dapat diterimanya suatu gugatan (Niet Onvankelij

Verklanard) yaitu sebagai berikut (Yahya, Hukum Acara Perdata, 2004) :

a. Gugatan Tidak Berdasarkan Hukum

Penggugat membuat gugatan tidak berdasarkan pada hukum. Biasanya

gugatan tersebut terjadi karena tidak terpenuhinya unsur dalam gugatan

seperti unsur formil dan materil, baik legal standing gugatan, tidak ditanda

tangani atau cap jempol dan dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Selain

itu bisa disebabkan masalah yang disengketakan telah terjadi lewat waktu

untuk diajukan gugatan (kadaluwarsa), atau perkara tersebut

dipersengketakan tapi tidak pernah terjadi (Premature).

b. Gugatan in Persona
8 ?
Ibid

22
Yang dimaksud gugatan in persona dimana suatu gugatan dialamatkan

dengan orang yang tidak tepat atau kesalahan penyebutan para pihak atau

kurangnya para pihak serta identitas para pihak tidak lengkap dan salah.

c. Gugatan Obscuur liber

Salah satu penyebab ditolaknya gugatan adalah Gugatan tidak jelas atau

kabur (Obscuur Libel) karena tidak menguraikan dasar hukum (Rechtgrond)

dan fakta hukum maupun sebaliknya, Objek yang disengketakan tidak jelas,

penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri

sendiri, tidak adanya korelasi antara posita dengan petitum serta Petitum tidak

terperinci, namun hanya berbentuk kompositur atau ex aequo et bono.

d. Gugatan tidak sesuai kompetensi absolut atau relative

Gugatan diajukan penggugat kepada Pengadilan tidak memiliki kompetensi

absolut atau relative untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut hal ini

diatur sebagaimana pada Pasal 118 HIR.

e. Gugatan nebis in idem

Gugatan tersebut tidak bisa diajukan kembali karena telah diperiksa dan

diputus sebelumnya oleh hakim.

C. Tinjauan Umum Pejanjian

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah suatu hal yang penting karena menyangkut

kepentingan para pihak yang membuatnya. Setiap perjanjian hendaknya dibuat

secara tertulis agar diperoleh kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian

hukum dapat terwujud.9


9
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta : Intermasa, 1979, h.1.

23
Sehubungan dengan perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata memberikan

definisi sebagai berikut

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang


atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313

KUH Perdata bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan

dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan

suatu hal dalam lapangan harta kekayaan10.

Definisi perjanjian yang telah diuraikan di dalam Pasal 1313 KUH

Perdata, terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan menurut para sarjana.

Menurut Setiawan rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga

sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak

saja. Sangat luas karena dengan digunakanya perkataan “perbuatan” tercakup

juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan

itu menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi

tersebut ialah:11

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 KUH Perdata

10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1992. Citra
Aditya Bakti, h.78.
11
R Setiawan dalam Johanes dan Lindawaty Sewu, Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, ,
Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Jakarta: Aditama, 2004. h. 41.

24
c. Sehingga perumusanya menjadi “perjanjian adalah perbuatan hukum,

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih”

2. Pengikatan Perjanjian Pembiayaan Dengan Pola Bagi Hasil Antara

Debitur Dan Kreditur di PT. Sarana Sultra Ventura

PT. Sarana Sultra Ventura tidak langsung menerima calon Debitur

yang mengajukan proposal kepadanya. PT. Sarana Sultra Ventura terlebih

dahulu meneliti prospek dan kelayakan usahanya, sehingga Debitur yang

memiliki kriteria-kriteria tertentulah yang dapat menerima bantuan fasilitas

dana dari PT. Sarana Sultra Ventura. Hal ini bertujuan agar PT. Sarana Sultra

Ventura tidak mengalami kerugian dan masalah dengan adanya pemberian

fasilitas dana tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, PT. Sarana

Sultra Ventura juga memperoleh keuntungan dari adanya pemberian fasilitas

dana tersebut sehingga Debitur harus memenuhi kriteria- kriteria yang

diminta oleh PT. Sarana Sultra Ventura.12

Untuk mendapatkan investasi dari Kreditur, maka calon Debitur harus

terlebih dahulu mengikuti prosedur yang ada, proses pendanaan dalam PT.

Sarana Sultra Ventura adalah sebagai berikut:13

a. Calon Debitur mengajukan proposal dan permohonan dilengkapi semua

keterangan yang diperlukan berupa studi kelayakan (feasibility study)

mengenai calon Debitur.

12 ?
Wawancara dengan Andy Sugianto selaku Legal Officer PT. Sarana Sultra Ventura.
pada 10 Februari 2023
13 ?
Ibid.

25
b. Setelah mendapat permohonan tersebut, PT. Sarana Sultra Ventura

melakukan kajian awal yang dilaksanakan oleh Venture Capital Officer

(VCO) terhadap permohonan atau proposal dari calon Debitur tersebut.

Dalam tahap ini VCO PT. Sarana Sultra Ventura menilai secara

sepintas prospek dari usaha calon Debitur, apakah secara bisnis

mempunyai prospek yang bagus atau tidak. Pada tahap awal ini juga

VCO PT. Sarana Sultra Ventura meminta atau melihat syarat-syarat

yang dilampirkan oleh calon Debitur dalam permohonan, yaitu berupa

surat izin usaha, izin pendirian usaha, izin industri dan surat lainnya

yang sifatnya mendasar dan yang terus dimiliki oleh suatu badan usaha.

Syarat-syarat ini bersifat mutlak dan mengikat calon Debitur karena

apabila syarat-syarat ini tidak lengkap maka PT. Sarana Sultra Ventura

tidak akan melaksanakan investasinya terhadap usaha calon Debitur

tersebut walaupun secara bisnis usahanya mempunyai prospek yang

cukup bagus. Apabila menurut VCO setelah mempelajari proposal yang

diajukan oleh calon Debitur secara bisnis tidak menguntungkan maka

VCO PT. Sarana Sultra Ventura memberitahukan hasil kajian tersebut

kepada calon Debitur secara lisan, sebaliknya apabila usaha calon

Debitur itu menurut VCO mempunyai prospek yang bagus maka

proposal tersebut akan diproses lebih lanjut. Jangka waktu untuk kajian

awal ini berlangsung maksimal 15 hari.

c. VCO yang terdiri minimal 4 (empat) orang yaitu kepala bagian legal

dan SDM, administrasi, investasi dan appraisal melakukan kajian yang

26
lebih mendalam terhadap proposal calon Debitur. Dalam tahap ini VCO

mengkaji beberapa aspek dari usaha calon Debitur yang meliputi:

a) Aspek hukum, termasuk perizinan usaha dan lain-lain

b) Aspek keuangan

c) Apek usaha itu sendiri meliputi kualitas dan kapasitas produksi,

pemasaran, sumber daya manusia, proyeksi, prospek serta resiko calon

Debitur

d) Kelayakan semua aspek yang menyangkut usaha calon Debitur

d. VCO melakukan survei ke lapangan untuk mencocokkan data yang ada

dalam proposal dengan keadaan di lapangan. Dalam survei ini VCO

melihat segala aspek yang berkaitan dengan usaha calon Debitur baik

berupa tenaga kerja, pemasaran, transportasi, termasuk faktor

lingkungan usaha tersebut, kemudian mencocokkan data yang tertera

dalam proposal. Pada tahap survei ini VCO juga bertemu langsung

dengan pemilik calon Debitur serta mewawancarainya apabila

diperlukan. Dalam tahap ini apabila VCO menemukan sesuatu yang

berbeda dari yang tertera dalam proposal atau keterangan pemilik calon

Debitur menyimpang dengan kenyataan, maka VCO mencatat

semuanya dalam catatan hasil survei.

e. VCO kemudian mengadakan rapat dengan dewan direksi. Dalam rapat

ini akan diputuskan apakah PT. Sarana Sultra Ventura menerima,

menolak atau menangguhkan untuk sementara waktu investasi terhadap

proposal yang diajukan oleh calon Debitur. Dalam hal proposal calon

27
Debitur ditolak, maka alasan penolakan itu menurut pihak PT. Sarana

Sultra Ventura biasanya disebabkan:

1) Prospek usahanya tidak jelas

2) Tidak memiliki dokumen yang lengkap

3) Pangsa pasar dari usaha calon Debitur tidak jelas

f. Dalam hal proposal ditangguhkan, maka pihak PT. Sarana Sultra

Ventura akan terlebih dahulu membina calon Debitur yang

bersangkutan. Menurut PT. Sarana Sultra Ventura pertimbangan dalam

memilih calon Debitur menjadi prioritas utama karena PT. Sarana

Sultra Ventura tetap berpegang kepada prinsip bisnis sebagai tujuan

dari PMV itu sendiri.

g. Apabila hasil rapat antara VCO dan dewan direksi diputuskan bahwa

PT. Sarana Sultra Ventura menerima proposal dari calon Debitur, maka

PT. Sarana Sultra Ventura memanggil pemilik calon Debitur tersebut ke

kantor PT. Sarana Sultra Ventura. Pemanggilan tersebut dimaksudkan

supaya pemilik calon Debitur tersebut dapat diwawancarai oleh Direksi

PT. Sarana Sultra Ventura dan selain itu PT. Sarana Sultra Ventura

dapat lebih mengetahui secara lebih mendalam mengenai motivasi,

karakter ataupun segala sesuatu tentang diri calon Debitur menyangkut

usahanya. Akan tetapi tidak semua calon Debitur dipanggil untuk

diwawancarai oleh direksi PT. Sarana Sultra Ventura. Pemanggilan

pemilik calon Debitur biasanya dilakukan hanya terhadap calon Debitur

28
yang mengajukan permohonan investasi sebesar Rp. 100.000.000,-

(seratus juta rupiah) ke atas.

h. Apabila semua syarat dan prosedur yang ditetapkan oleh PT. Sarana

Sultra Ventura telah dipenuhi oleh pihak calon Debitur dan direksi PT.

Sarana Sultra Ventura telah menyetujui pembiayaan terhadap usaha

calon Debitur, maka tahap selanjutnya adalah penandatanganan

perjanjian pembiayaan antara pihak PT. Sarana Sultra Ventura dengan

calon Debitur. Penandatanganan perjanjian tersebut dilaksanakan di

hadapan notaris yang telah ditentukan oleh PT. Sarana Sultra Ventura.

i. Setelah penandatanganan perjanjian antara PT. Sarana Sultra Ventura

dengan calon Debitur dilakukan, maka calon Debitur tersebut telah sah

menjadi Debitur dari PT. Sarana Sultra Ventura. PT. Sarana Sultra

Ventura wajib menyerahkan fasilitas dana yang telah disepakati dan

Debitur wajib untuk membayar seluruh jumlah fasilitas dana yang telah

diberikan tersebut ditambah dengan imbalan jasa bagi hasil yang telah

disepakati di dalam perjanjian. Dengan kata lain, antara keduanya

terdapat hak dan kewajiban seiring dengan adanya perjanjian tersebut.

j. Untuk menjamin pembiyaan sewaktu waktu mengalami pembayaran

macet maka pembiyaan tersebut wajib dijaminkan harta benda yang

bernilai dengan pembiyaan yang telah diberikan baik itu berupa tanah,

kendaraan, alat berat yang diikat secara fidusia ataupun hak tanggungan

melalui notaries yang telah disepakati.14

14
Ibid

29
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka selanjutnya dilakukan

pengikatan antara debitur dan kreditur yang dibuat dan ditandatangani bersama

dihadapan notaris yang telah ditunjuk oleh PT. Sarana Sultra Ventura sehingga

menghasilkan sebuah perjanjian dengan nama Akta Perjanjian Pembiayaan

Dengan Pola Bagi Hasil. Didalam akta tersebut termuat kesepakatan-kesepakatan

mengenai jadwal pembayaran, jatuh tempo pembiayaan, jaminan, wanprestasi dan

lain sebagainya.15

D. Tinjauan Umum Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara

kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat

terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.16

Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi

kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah

diperjanjikan. 17

Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUH Perdata, yang

menyatakan bahwa:

“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu


perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

15
Ibid
?

16
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008 h.180.
17
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 12.

30
Kata lain wanprestasi juga dapat diartikan suatu perbuatan ingkar janji

yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian,

isi ataupun melaksanakan tetapi terlambat atau melakukan apa yang

sesungguhnya tidak boleh dilakukannya. Mengenai pengertian dari

wanprestasi, menurut Ahmadi Miru wanprestasi itu dapat berupa perbuatan:

1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi.

2) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.

3) Terlambat memenuhi prestasi.

4) Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu

dapat berupa:

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali Sehubungan dengan debitur yang

tidak memenuhi prestasi maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi

sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur

masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi

prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi

prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat

diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama

sekali.18

18
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Liberty,
1985, h.26.

31
Abdul kadir Muhammad, menyatakan wanprestasi terjadi dikarenakan

adanya 2 (dua) kemungkinan yaitu:

1) Keadaan memaksa (overmacht / force mejeur).

2) Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun lalai.

Overmacht adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat

diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi seorang debitur untuk

melakukan prestasinya sebelum ia lalai untuk apa dan keadaan mana tidak

dapat dipersalahkan kepadanya. Overmacht di bagi dua yaitu:

1) Overmacht mutlak adalah apabila prestasi sama sekali tidak dapat

dilaksanakan oleh siapapun.

2) Overmacht yang tidak mutlak adalah pelaksanaan prestasi masih

dimungkinkan, hanya memerlukan pengobanan dari debitur.

Kesengajaan maupun lalai, kedua hal tersebut menimbulkan akibat

yang berbeda, dimana akibat akibat adanya kesengajaan, sidebitur harus lebih

banyak mengganti kerugian dari pada akibat adanya kelalaian.

Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur dinyatakan

wanprestasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:

1) Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dalam disesalkan.

2) Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu

orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul.

Maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat

menduga keadaan demikian akan timbul.

32
3) Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, artinya

bukan orang gila atau lemah ingatan.19

Apabila seorang dalam keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa

perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat minta pembatalan

perikatan. Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian

debitur yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan

perjanjian, sehingga putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak

“declaratoir”. Malahan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan

“discretionair” artinya ia berwenang menilai wanprestasi debitur. Apabila

kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil hakim berwenang untuk menolak

pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus diluluskan.20

2. Jenis-Jenis Wanprestasi

Mengenai wanprestasi, Adapun Jenis-jenis Wanprestasi yaitu sebagai

berikut:21

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur

yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi

prestasi sama sekali.

19
Sri Soedewi Masyohen Sofwan, Hukum Acara Perdata Indonesia dalam Teori dan
Praktek, Yogyakarta: Liberty, 1981, h.15
20
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT.Intermasa, 1982, h. 148.
21
J. Satrio, 1999, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h 84.

33
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur

masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi

prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi

prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat

diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama

sekali.

Menurut Subekti, Jenis wanprestasi ada empat macam yaitu: 22

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana

dijanjikannya;

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, yaitu dengan meneliti bahan

kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma

hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum,

22
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IV, Pembimbing Masa, Jakarta, h 59.

34
kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-

undangan dan bahan hukum lainnya.23

B. Pendekatan Penelitian

Suatu penelitian menggunakan beberapa pendekatan sebagai satu kesatuan

yang utuh, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptualapproach)24.

Penelitian tersebut menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan

konsep antara lain;

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk

mencari dan menemukan kerangka hukum dalam menentukan suatu Analisis

Yuridis Terhadap Putusan Niet Onvantkelijke Verklraard Dalam Perkara

Wanprestasi dengan menggunakan beberapa perundang-undangan yang

relevan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek

voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23), Herzien Inlandsch

Reglement (H.I.R), Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.B.G.), Perma

No.4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Perma No.2 Tahun 2015 Tentang Tata

Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, dan Putusan Nomor :

4/PDT.G.S/2022/PN. Adl.

2. Pendekatan Kasus (Case Approach) adalah pendekatan kasus dilakukan

dengan cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang sedang dihadapi

23
Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu Media
Publishing, 2005, hal. 336
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, EdisiRevisi, Cetakan ke-8, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013. hal.35

35
dan telah menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus ini

dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain.

3. Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah merupakan pendekatan

melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

pendekatan konsep maladministrasi, wewenang, perizinan, serta konsep

tanggung jawab dan gugat. Selanjutnya, penelitian ini menguji khususnya

dalam Konsep tersebut juga secara universal menelaah pandangan-pandangan

hukum dari berbagai negara25.

C. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer, adalah hukum yang

mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-

undangan.26 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor

Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23), Herzien Inlandsch Reglement

(H.I.R), Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.B.G) , Perma No.4 Tahun

2019 Tentang Perubahan Perma No.2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara

Penyelesaian Gugatan Sederhana, dan Putusan Nomor : 4/PDT.G.S/2022/PN. Adl.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau

karya ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar

hukum yang erat kaitannya dengan obyek penelitian.27

25
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal.137
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 55.
27 ?
Ibid

36
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia,

dan lain-lain.28

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi

pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan

menelaah bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, bulletin

ilmiah, jurnal ilmiah dsb). Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur

inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan

sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi

kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelaah,

mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya terhadap

putusan niet onvantkelijke verklraard dalam perkara wanprestasi. Selanjutnya

adalah rekonstruksi bahan (reconstructing) yaitu menyusun ulang bahan hukum

secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

Dan langkah terakhir adalah sistematis bahan hukum (systematizing) yakni

menempatkan bahan hukum berurutan menurut kerangka sistematika bahasan

berdasarkan urutan masalah.29

E. Analisis Bahan Hukum

28 ?
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006, hal. 296.
29 ?
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004, hal.126

37
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menginventarisasi

peraturan perundang-perundangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi

obyek kajian. Metode Analisis yang digunakan menuntut beberapa persyaratan

yakni penelitian tersebut objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan. Objektif

berarti prosedur dan kriteria pemilihan data, pengkodean serta cara interpretasi

harus didasarkan pada aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Sistematis berarti

inklusi dan ekslusi atau kategori harus berdasarkan aturan yang konsisten. Dapat

digeneralisasikan, berarti tiap temuan harus memiliki relevansi teoritis.30

BAB IV

PEMBAHASAN

30 ?
Agus S Ekomadyo, Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) dalam
Penelitian, Journal Itenas, No. 2 Vol. 10 Agustus 2006, hal. 53.

38
Pertimbangan Hakim Memutus Pada Putusan Niet Onvantkelijke

Verklraard Dalam Perkara Wanprestasi Sudah Sesuai Dengan Peraturan

Perundang-Undangan

Seseorang yang hendak melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri

khususnya pada perkara perdata harus memiliki dasar gugatan yang cukup dan

layak untuk diajukan, tanpa dasar gugatan, sebuah gugatan bisa dinyatakan tidak

dapat diterima atau N.O (Niet Ontvankelijke Verklaard) oleh hakim. Tidak dapat

diterimanya gugatan oleh hakim artinya tidak ada persidangan, karena pokok

perkara dari gugatan yang diajukan belum diperiksa oleh Majelis Hakim. Jika

tidak ada persidangan artinya tidak ada tuntutan hak yang dapat dipenuhi.

Hukum materiil tidak dapat dilaksanakan dan tidak dapat berjalan dengan

sendirinya tanpa ada penegakan hukum formal. Hukum formal inilah yang

mengatur tata cara bagaimana menegakkan hukum materiil. Hukum formal inilah

yang kemudian disebut dengan hukum acara perdata.31

Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya

mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan jaminan atas

pelaksanaan putusannya itu.32 Jaminan atas pelaksanaan putusan itulah yang

dikenal dengan pelaksanaan eksekusi. Dengan demikian hukum acara perdata

lebih menjamin kepastian hukum untuk mempertahankan hak, karena di dalamnya

terdapat eksekusi yang menjamin terlaksananya hak yang disengketakan yang

dilakukan oleh lembaga pengadilan, dan memiliki kekuatan yang dapat

memaksakan para pihak yang bersengketa.


31
Harun Badriyah, Prosedur Gugatan Perdata, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hal. 16
32
Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988,
hal. 2.

39
Tahap terakhir dalam beracara di pengadilan adalah pembacaan putusan.

Setelah proses pemeriksaan perkara di persidangan dilaksanakan, hakim akan

menjatuhkan putusan berdasarkan apa yang dituntut oleh pihak penggugat. Dalam

Pasal 53 Ayat (1) diatur bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim

bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

Putusan kemudian diucapkan di depan persidangan dan terbuka untuk

umum agar dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 13

Ayat (2) UU Kekuassan Kehakiman. Dalam Pasal 50 Ayat (1) UU Kekuasaan

Kehakiman bahwa putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan,

juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili. Kemudian Ayat (2) mengatur bahwa putusan pengadilan harus

ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

Pertimbangan hukum merupakan intisari putusan yang berisi analisis,

argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa

perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan

undang-undang pembuktian. Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan

tergugat memenuhi syarat formil dan materil, alat bukti pihak mana yang

mencapai batas minimal pembuktian, dan dalil gugat apa saja dan dalil bantahan

apa saja yang terbukti, sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para

pihak dalam putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor: 4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl.

40
dalam perkara gugatan sederhana. Hakim tunggal menguraikan pertimbangan

hukum yang melatarbelakangi gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.

Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada uraian berikut:

Hakim yang memriksa perkara tersebut mempertimbangkan maksud dan

tujuan gugatan Penggugat pada pokoknya adalah pengggugat menyatakan para

Tergugat telah melakukan ingkar janji/ Wanprestasi kepada Penggugat dan

dihukum untuk membayar lunas pinjaman/kreditnya kepada Penggugat.

Kemudian hakim mempertimbangkan materi pokok gugatan Penggugat, dan

terlebih dahulu dipertimbangkan mengenai aspek formil dari gugatan itu sendiri

yakni setelah Hakim mempelajari dan mencermati gugatan Penggugat yang mana

mendalilkan bahwa Tergugat memiliki Pinjaman sejumlah Rp. 86.000.000,

(delapan puluh enam juta rupiah) dengan angsuran setiap bulannya baik pokok

maupun bagi hasilnya adalah Rp3.465.000,00 (tiga juta empat ratus enam puluh

lima ribu rupiah). Jumlah tersebut diangsur sebanyak 36 (tiga puluh enam) kali

selambat-lambatnya tanggal 10 pada tiap bulan angsuran sampai dengan bulan

Juni 2023 namun Tergugat tidak membayar angsuran sejak oktober 2020 hingga

saat ini.

Selanjutnya hakim mencermati Perjanjian Pembiayaan Usaha Produktif ,

maka dapat diketahui bahwa hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat

adalah hubungan hutang-piutang atau kredit sebagaimana Akta Perjanjian

Pembiayaan Usaha Produktif No.62 tanggal 9 Juni 2020 yang dibuat di Notaris.

Kemudian hakim menimbang, bahwa dalam Surat Pengakuan Hutang tersebut,

Penggugat telah mendapatkan fasilitas kredit dari Tergugat berupa fasilitas kredit

41
dengan plafond sejumlah Rp86.000.000, (delapan puluh enam juta rupiah) dengan

jangka waktu kredit 36 (tiga puluh enam) bulan dan akan berakhir pada tanggal 10

Juni 2023 (jatuh tempo) dengan jaminan BPKB Mobil nomor: N112O2NIll/95

An. pemilik H. Tawakal.

Berdasarkan pertimbangan hakim diatas, oleh karena perjanjian Kredit

antara Penggugat dengan Tergugat akan berakhir atau jatuh tempo pada tanggal

10 Juni 2023, sedangkan gugatan a quo diajukan di Kepaniteraan Pengadilan

Negeri Andolo pada tanggal 18 Oktober 2022 maka Hakim berpendapat bahwa

gugatan yang diajukan oleh Penggugat masuk kategori gugatan Prematur.

Selanjutnya hakim mengutip buku M. Yahya Harahap, S.H. yang berjudul Hukum

Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan

Pengadilan (terbitan Sinar Grafika, Jakarta), dalam ranah hukum perdata dikenal

Exceptio Dilatoria adalah gugatan Penggugat belum dapat diterima untuk

diperiksa sengketanya di Pengadilan karena masih prematur dalam artian gugatan

yang diajukan masih terlampau dini. Sifat atau keadaan prematur melekat pada:

a. Batas waktu untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu yang disepakati

dalam perjanjian belum sampai; atau

b. Batas waktu untuk menggugat belum sampai, karena telah dibuat penundaan

pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan

debitur;

Kemudian hakim berpendapat hal ini berkesesuaian dengan Pasal 1243 jo.

Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUH Perdata") yang

menyatakan bahwa "Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak

42
dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah

dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang

harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam

waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan". Pasal 1238 KUH Perdata

"Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau

berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini

mengakibatkan debitur harus dianggap Lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan";

Selanjutnya hakim menarik pendapat berdasarkan bunyi pasal tersebut,

maka Para Tergugat belum dapat digugat ke Pengadilan atas wanprestasi jika

Tergugat tersebut tidak pernah dinyatakan lalai berdasarkan ketentuan Pasal 1238

KUH Perdata. Jika Penggugat menggugat tanpa Para Tergugat pernah dinyatakan

lalai, baik melalui surat perintah maupun berdasarkan batas waktu dalam

perjanjian, maka pengadilan tidak dapat menerima gugatan tersebut.

Sehingga hakim mengambil putusan, bahwa dalam gugatan yang bersifat

prematur, menjadi dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan negative dalam

bentuk gugatan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklraard) dan oleh

karena Gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, maka terhadap pokok

perkara tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut;

Analisis penulis terhadap putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor:

4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. dalam perkara gugatan sederhana, bahwa hakim tunggal

yang memeriksa perkara gugatan sederhana Nomor:4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl.

43
Telah keliru dalam menafsirkan maksud jatuh tempo pembiayaan dimana hakim

menganggap bahwa schedule (jadwal pembayaran) pembiayaan merupakan jatuh

tempo pembiayaan. Apabila melihat dari perjanjian yang telah dibuat dan

ditandatangani bersama dihadapan notaris dalam Akta Perjanjian Pembiayaan

Usaha Produktif Nomor 62 Tanggal 09 Juni 2020, dimana jatuh tempo

pembayaran sesuai dengan pasal 7 (ayat 2 dan 3) yang berbunyi “Pasal 7 (Ayat 2)

pembayaran / pembagian keuntungan / bagi hasil dibayarkan kepada Kreditur

setiap bulan, dimulai pada bulan pertama setelah pencairan fasilitas pembiayaan

pertama kali dilakukan atau sesuai dengan jadwal pembayaran yang dimuat secara

tertulis dan disepakati secara bersama oleh kreditur dan debitur (“Jadwal

Pembayaran”), ke rekening kreditur sebagaimana disebutkan pada pasal 9

perjanjian pembiayaan ini. (Ayat 3) Debitur wajib mengembalikan jumlah pokok

Fasilitas Pembiayaan kepada Kreditur yang dilakukan setiap bulan, selama jangka

waktu 36 (tiga puluh enam) bulan dengan besar angsuran pokok sesuai dengan

yang tercantum dalam jadwal pembayaran yang terlampir dalam perjanjian

pembiayaan ini, dimulai pada bulan pertama setelah pencairan dana Fasilitas

pembiayaan pertama kali dilakukan. Sebagaimana terlampir dalam bukti P-14

Realisasi pembayaran An. Firdaus Toba.

Bahwa hal tersebut telah memenuhi salah satu bentuk wanprestasi

sebagaimana dijelaskan dalam buku Prof. Subekti, S.H. yang berjudul Hukum

Perjanjian, bentuk wanprestasi adalah:

a. Apabila debitur tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.

44
b. Debitur melaksanakan janjinya akan tetapi tidak sebagaimana yang

diperjanjikan.

c. Debitur terlambat memenuhi perjanjian.

d. Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.33

Bila menggunakan parameter menurut Subekti tersebut di atas, maka

menentukan “cidera janji” atau wanprestasi hanya melihat klausul perjanjian saja.

Dalam hal perjanjian pembiayaan, maka cukup melihat fakta nasabah (debitur)

membayar sesuai jumlah angsuran dan pembayaran tersebut tepat waktu (tidak

terlambat).

Pandangan J. Satrio17 mengenai wanprestasi menurut pasal 15 ayat (3)

UU Nomor 42 Tahun 1999 ini, bahwa wanprestasi didasarkan pada pasal 1238

KUH Perdata, yaitu apabila debitur dalam keadaan lalai dan oleh karenanya

wanprestasi apabila sudah disomir (ditegur) tetapi tetap saja tidak memenuhi

kewajibannya dengan baik atau kelau ia demi perikatannya sendiri, harus

dianggap lalai setelah lewatnya waktu yang ditentukan.34

Berdasarkan pendapat para ahli hukum tersebut Hakim tunggal yang

memeriksa perkara gugagatan sederhana perkara Nomor :

4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. haruslah mengabulkan gugatan kreditur karena pada

faktanya oleh karena debitur tidak membayar kewajiban tagihan mulai bulan

Oktober 2020 hingga diposisi November 2022 maka bentuk wanprestasi yang

33
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Penerbit Intermasa, Cetakan ke-27, tahun 2014, h.
45
34
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-2, tahun 2020, h. 262

45
dilakukan oleh Termohon I dan II tidak melakukan apa yang disanggupi untuk

dilakukan. Berdasarkan hal tersebut Gugatan Pengugat dalam Perkara Gugatan

sederhana Nomor:4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. didasarkan pada perjanjian yang sah

yang dibuat dan disepakati bersama maka mengikat kedua belah pihak berlaku

sebagai Undang-Undang baik Penggugat maupun Tergugat I dan II, (Pasal 1338

KUHPerdata) atas kelalaian Tergugat I dan II dalam gugatan Tergugat tidak

memenuhi isi perjanjian maka Tergugat I dan II telah cidera janji, atau

Wanprestasi.35

Atas kelalaian Tergugat tidak membayar angsuran selama 3 bulan

berturut-turut dan/atau tidak berturut-turut yang harus dilunasi selambat-

lambatnya jatuh tempo pembayaran yakni tanggal 10 tiap bulannya. Tergugat I

dan II telah wanprestasi terhadap pembayaran yang jatuh tempo tiap bulannya

selama 26 bulan mulai tagihan dibulan Oktober 2020 hingga tagihan diposisi

bulan November 2022, Tergugat belum menyelesaikan tunggakannya sehingga

upaya penggugat yang telah dilakukan adalah dengan pemberian surat peringatan

tanggal 17 Februari 2021, surat peringatan II tanggal 1 Maret 2021, dan surat

peringatan III tanggal 5 April 2021, kemudian Penggugat juga melakukan

kunjungan kerumah Tergugat I dan II untuk mencari solusi penyelesaian dan

semua upaya yang telah di lakukan tidak diindahkan oleh Tergugat I dan II hingga

upaya terakhir yang Penggugat lakukan adalah mengajukan gugatan sederhana di

pengadilan Negeri Andoolo karena Tergugat I dan II tidak beritikad baik lagi36.

35
Wawancara dengan Andy Sugianto (Legal Officer PT. Sarana Sultra Ventura) tanggal
12 Juli 2023, Pukul 19:08 WITA
36
Wawancara dengan Andy Sugianto (Legal Officer PT. Sarana Sultra Ventura) tanggal
12 Juli 2023, Pukul 19:08 WITA

46
Kemudian lebih lanjut apabila kita melihat Yurisprudensi terkait dengan

kasus yang sama dalam putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2022/PN kdi. Yang berbunyi

“pada petitum angka 3 tentang pembayaran utang pokok dan bagi hasil yang

belum jatuh tempo, pengadilan berpendapat bahwa kewajiban pembayaran hutang

secara lunas seluruhnya atau sisanya secara seketika dan sekaligus terhadap utang

pokok yang belum jatuh tempo tidaklah bertentangan dengan hukum sehingga

dapat dikabulkan namun terhadap kewajiban bagi hasil yang belum jatuh tempo

menurut pengadilan kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan lagi kepada para

tergugat mengingat bagi hasil tersebut dapat dikenakan terhadap pemakaian utang

pokok pada bulan berjalan sementara bulan berjalan yang dimaksudkan belum

terlaksana karena belum jatuh tempo sebagaimana mestinya yakni berakhir pada

bulan September 2024, dengan demikian Petitum angka 3 patut dikabulkan

sebagian”. Bahwa berdasarkan yurisprudensi tersebut gugatan Penggugat tidaklah

bertentangan dengan hukum sebagaimana yang didalilkan dalam pertimbagan

hukum putusan Nomor: 4/Pdt.G.S/2022/PN Adl. yang mengacu pada pasal 1243

jo. Pasal 1238 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Pada dasarnya, kreditur telah tepat melakukan gugatan sebelum melakukan

eksekusi jaminan karena disini debitur telah melakukan wanprestasi. Mengenai

apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat pada

Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera

janji" (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan

perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

47
Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam

bentuk prestasi, yaitu:

1. Untuk memberikan sesuatu;

2. Untuk berbuat sesuatu; dan

3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta pendapat

J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan, dapat kita lihat bahwa

wujud wanprestasi bisa berupa:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2. Debitur keliru berprestasi;

3. Debitur terlambat berprestasi.37

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan

prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum

melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan

wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus

menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat

debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur

memenuhi prestasinya. Hal tersebut telah bersesuaian dengan Kreditur lakukan

yakni melakukan pemberian surat peringatan tanggal 17 Februari 2021, surat

peringatan II tanggal 1 Maret 2021, dan surat peringatan III tanggal 5 April 2021.

37
J. Satrio, 1992, Hukum Perikatan. Bandung : Alumni. h. 122

48
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor:

4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl. dalam perkara gugatan sederhana, bahwa hakim tunggal

49
yang memeriksa perkara gugatan sederhana Nomor:4/Pdt.G.S/2022/PN.Adl.

Telah keliru dalam menafsirkan maksud jatuh tempo pembiayaan dimana hakim

menganggap bahwa schedule (jadwal pembayaran) pembiayaan merupakan jatuh

tempo pembiayaan. Apabila kita melihat akta perjanjian yang telah dibuat bahwa

disepakati jatuh temponya adalah setiap bulannya. Bentuk-bentuk prestasi pada

Pasal 1234 KUHPer serta pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum

Perikatan, dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2. Debitur keliru berprestasi;

3. Debitur terlambat berprestasi.

Kemudian bentuk wanprestasi sebagaimana dijelaskan dalam buku Prof.

Subekti, S.H. yang berjudul Hukum Perjanjian, bentuk wanprestasi adalah:

a. Apabila debitur tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.

b. Debitur melaksanakan janjinya akan tetapi tidak sebagaimana yang

diperjanjikan.

c. Debitur terlambat memenuhi perjanjian.

d. Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Bila menggunakan parameter menurut Subekti tersebut di atas, maka

menentukan “cidera janji” atau wanprestasi hanya melihat klausul perjanjian saja.

Dalam hal perjanjian pembiayaan, maka cukup melihat fakta nasabah (debitur)

membayar sesuai jumlah angsuran dan pembayaran tersebut tepat waktu (tidak

terlambat). Pandangan J. Satrio17 mengenai wanprestasi menurut pasal 15 ayat

(3) UU Nomor 42 Tahun 1999 ini, bahwa wanprestasi didasarkan pada pasal 1238

50
KUH Perdata, yaitu apabila debitur dalam keadaan lalai dan oleh karenanya

wanprestasi apabila sudah disomir (ditegur) tetapi tetap saja tidak memenuhi

kewajibannya dengan baik atau kelau ia demi perikatannya sendiri, harus

dianggap lalai setelah lewatnya waktu yang ditentukan. Hal tersebut telah

bersesuaian dengan Kreditur lakukan yakni melakukan pemberian surat

peringatan, surat peringatan, dan surat peringatan III.

B. Saran

Hakim dalam memutus perkara haruslah lebih mempertimbangkan fakta yang

terjadi dilapangan agar tidak membuat kerugian kepada para pihak yang betul-

betul benar. Apabila hakim beranggapan bahwa jadwal pembayaran merupakan

jatuh tempo pembiaayaan sehingga gugatan diajukan harus menunggu jadwal

pembayaran tersebut selesai maka pihak kreditur sangatlah dirugikan karena tidak

dapat mengembalikan dananya yang telah terpakai dan harus menunggu hingga

akhir pembiayaan yang dimana sangat beresiko yakni rusaknya jaminan sehingga

tidak bisa menutupi utang yang telah tertunggak.

51
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Muhammad, Abdul Kadir, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet V,


Bandung: P.T Citra Aditya Bakti

Arto, Mukti, 2004, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet
V Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Asnawi, M.Natsir, 2014, Hermeunetika Putusan Hakim, yogyakarta : UII


Press

Hamzah, Andi, 1996, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta

Johni, Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif,


Malang : Bayu Media Publishing

Manan, Abdul, 2008, Penerapan hukum acara perdata di lingkungan


pengadilan agama , Jakarta: Kencana

----------------, 2012, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan


Peradilan Agama Jakarta: Kencana

Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana


Prenada Media Group

Mujahidin, Ahmad, 2012,Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama,


Bogor: Ghalia Indonesia,

Mertokusumo, Sudikno, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia edisi


keenam, Yogyakarta: Liberty

Publishing, Redaksi Bhafana, 2014, Kitab Undang-undang Hukum Acara


Pidana, t.tp. : Bhafana Publishing

Rifa’I, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim. Jakarta : Sinar


grafika

Soekanto, Soerjono dan Sri Mulyadi, 1995, Penelitian Hukum Normatif,


Suatu Tujuan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Syahrani, H. Riduan S.H., 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara


Perdata, P.T. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V
B. Peraturan Perundangan-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor


Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23),

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R),

Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.B.G) ,

Perma No.4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Perma No.2 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

Putusan Nomor: 4/PDT.G.S/2022/PN.Adl.

C. Sumber Lainnya

Briyan A. Garner, 2004, Blacks’s Law Dictionary, Edisi kedelapan, West


Publishing, St. Paul dalam Efa Laila Fakhirah, dalam jurnal
“Mekanisme Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan”,
Mimbar Hukum, Volume 25 No 2 Juni 2013

John Baldwin, 2003, Small Claims Court in the Coity Courts in England
and Wales, Oxford University Press, dalam jurnal karya Efa Laela
Fakhriah, Eksistensi Small Claims Court Dalam Mewujudkan
Tercapainta Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,
Universitas Padjajaran, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai