Anda di halaman 1dari 87

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM

MEMBUAT AKTA HAK TANGGUNGAN


BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 1996 TENTANG
HAK TANGGUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Guna memperoleh gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :
MUHAMMAD IDHAM KHOLID
NPM. 0217048901

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2022
ii

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM


MEMBUAT AKTA HAK TANGGUNGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 1996 TENTANG
HAK TANGGUNGAN

Oleh :
MUHAMMAD IDHAM KHOLID
NPM. 0217048901

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Guna memperoleh gelar Sarjana
Pada Program Studi Ilmu Hukum

Pekalongan, 30 Juni 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.H.Taufiq.SH.MHum. Esmara Sugeng.SH.Mhum.


NPP. 111098120 NPP. 111099124

Dekan Fakultas Hukum,

Dr.H.Taufiq.SH.MHum.
NPP. 111098120
iii

PENGESAHAN
Judul : Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan
Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan
Nama Mahasiswa : MUHAMMAD IDHAM KHOLID
Nomor Pokok Mahasiswa : 0217048901
Pembimbing I : Dr.H.Taufiq.SH.MHum.
Pembimbing II : Esmara Sugeng.SH.Mhum.
Diujikan tanggal :

Telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana


Pada Program Studi Ilmu Hukum

Pekalongan, 30 Juni 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.H.Taufiq.SH.MHum. Esmara Sugeng.SH.Mhum.


NPP. 111098120 NPP. 111099124

Dekan Fakultas Hukum,

Dr.H.Taufiq.SH.MHum.
NPP. 111098120
iv

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya :

Nama : MUHAMMAD IDHAM KHOLID


Nomor Pokok Mahasiswa : 0218051271
Program Studi : Ilmu Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa :


1. Skripsi yang saya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di Fakultas Hukum
Universitas Pekalongan (UNIKAL) maupun di Perguruan Tinggi lain;
2. Skripsi ini murni gagasan, rumusan, dan penialian saya sendiri, kecuali
arahan dan saran pembimbing dan penguji;
3. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis telah dicantumkan dalam
daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila


dikemudian hari terdapat penyimpangan dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Pekalongan
(UNIKAL).

Pekalongan, 30 Juni 2022


Yang menyatakan,

MUHAMMAD IDHAM KHOLID


0218051271
v

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO

Karya ini akan saya persembahkan kepada:

▪ Ayah dan Ibuku sebagai tanda baktiku dan cintaku terhadap beliau.

▪ Kakak Ida dan segenap keluarga besarku, yang tak henti memberi semangat

dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini.

▪ Teman-teman saya satu angkatan Fakultas hukum 2017 yang senantiasa

mendukung dan menginspirasi saya di setiap langkah.

▪ Para sahabat dkk yang selalu ada dikala saya merasa lelah dan terima kasih

selalu menularkan hal-hal positif dalam persahabatan kita

▪ Para Dosen berserta jajaran Fakultas Hukum Universitas Pekalongan.

Semoga karya ini dapat menjadi kebanggaan bagi kalian semua.

MOTTO :

“TIME IS YOUR LIFE”


vi

ABSTRAK

Pihak yang berkewajiban untuk pemenuhan suatu prestasi


dinamakan debitor, sedangkan pihak yang berhak untuk menuntut adanya
sualu prestasi dinamakan kreditor. Prestasi tersebut dapal berupa
menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Namun dalam perkembanganya banyak
permasalahan yang terjadi terutama berupa Kewenangan Pejabat Pembuat
Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-
Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
.
Dari perumusan masalah Kewenangan Pejabat Pembuat Akta
Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-
Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tersebut
dilakukan penelitian dengan Metode penelitian yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan metode pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka Penelitian ini
dilakukan guna untuk mendapatkan bahan-bahan berupa teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang berhubungan
dengan pokok bahasan.

Setelah dilakukan penelitian Kewenangan Pejabat Pembuat Akta


Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-
Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan di dapat sebuah
kesimpulan yaitu Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan yaitu Sebagaimana yang tercantum pada
UU No. 4 Tahun 1996 menerangkan pemberian hak jaminan dilaksanakan
lewat dua mekanisme yang terdiri dari membuat Akta Pembebanan Hak
Tanggungan (APHT) dari PPAT, setelah itu dilanjut mendaftarkan Hak
Jaminan yang dilakukan Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan
merupakan hal yang krusial dikarenakan hal tersebut adalah bukti adanya
hak jaminan yang diberikan. Dan Kekuatan hukum Akta Hak Tanggungan
oleh PPAT apabila dalam pembuatannya ada kesalahan atau kelalaian
Informasi dan prosedur yang dilakukan oleh PPAT yaitu alam Pendaftaran
Hak Tanggungan dengan elektronik seperti pada PMATR/BPN No. 5
Tahun 2020 tugas PPAT adalah membuat APHT yang kemudian
menyampaikan akta tersebut kedalam sistem HT-el terakhir 7 hari kerja
sesudah pengesahan akta. Apabila terdapat kesalahan dalam sertifkat HT-el
bukan merupakan tanggung jawab PPAT karena dalam PMATR/BPN No.
5 Tahun 2020 yang melakukan pendaftaran HT-el adalah pemohon dalam
hal ini merupakan kreditur.

Kata Kunci : Kewenangan, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan, Akta Hak
Tanggungan
vii

ABSTRACT

The party who is obliged to fulfill an achievement is called the debtor,


while the party who has the right to demand an achievement is called the
creditor. The achievement can be in the form of giving up an item, doing
an action, or not doing an action. However, in its development, many
problems occurred, especially in the form of the Authority of Land Deed
Making Officials in Making Mortgage Deeds Based on Law No. 4 of 1996
concerning Mortgage Rights.
.
From the formulation of the problem of the Authority of Land Deed
Making Officials in Making Mortgage Deeds Based on Law No. 4 of 1996
concerning Mortgage Rights, research was carried out with the research
method that will be used in this study is the method of normative juridical
approach, namely library law research conducted by method of researching
library materials or secondary data This research was conducted in order to
obtain materials in the form of theories, concepts, legal principles and
legal regulations related to the subject matter.

After doing research on the Authority of Land Deed Making Officials


in Making Mortgage Deeds Based on Law No. 4 of 1996 concerning
Mortgage Rights, a conclusion can be drawn that is the Authority of Land
Deed Making Officials in Making Mortgage Deeds Based on Law No. 4 of
1996 concerning Mortgage Rights namely As stated in Law no. 4 of 1996
explains that the granting of collateral rights is carried out through two
mechanisms consisting of making a Mortgage Deed (APHT) from the
PPAT, after which it is continued to register the Guarantee Rights which is
carried out by the Land Office. Mortgage registration is crucial because it
is proof of the guarantee rights provided. And the legal force of the
Mortgage Deed by PPAT if in its manufacture there is an error or
omission. Information and procedures carried out by PPAT are in the
electronic registration of Mortgage Rights as in PMATR/BPN No. 5 of
2020 the task of PPAT is to make APHT which then submits the deed into
the HT-el system, the last 7 working days after the ratification of the deed.
If there is an error in the HT-el certificate, it is not the responsibility of
PPAT because in PMATR/BPN No. 5 of 2020 who registers HT-el is the
applicant in this case is a creditor.

Keywords: Authority, Land Deed Maker Official and, Mortgage Deed


viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul : “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan”
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk
menyelesaikan program studi Strata-1 (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Pekalongan. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan
dan masih banyak kekurangannya. Penulis turut mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca.
Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Bapak Dr, Taufiq,SH. MHum, selaku Dekan Dan Penguji Universitas

Pekalongan.

2. Bapak Esmara Sugeng, SH. MHum, selaku Dosen Penguji Universitas

Pekalongan.

3. Bapak Dr, Taufiq,SH. MHum dan Esmara Sugeng, SH. MHum selaku

pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan bimbingan dan arahan,

sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh anggota Tim Penguji Proposal yang telah meluangkan waktunya

untuk menilai kelayakan proposal dan Tim penguji skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk menguji skripsi penulis dalam rangka

menyelesaikan studi di Strata-1 (S1) Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pekalongan.Seluruh Dosen-dosen S1 Fakultas Hukum Unikal


ix

yang dari awal telah memberikan pengetahuan kepada Penulis tentang Ilmu

Hukum.

5. Seluruh staf Program studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Pekalongan yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan administrasi-

administrasi selama perkuliahan.

6. Orang tua, Kekasihku, saudara-saudaraku dan kerabat-kerabat tanpa

terkecuali, terima kasih atas doa dan semangatnya.

7. Semua teman-teman Strata-1 (S1) Ilmu Hukum Universitas Pekalongan yang

selalu saling memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini,

terimakasih untuk semuanya.

8. Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para

Pembaca.

Pekalongan, 30 Juni 2022

MUHAMMAD IDHAM KHOLID


0217048901
x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ............................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6
E. Metode Penelitian ......................................................................... 7
1. Metode Pendekatan .................................................................. .8
2. Spesifikasi Penelitian ............................................................... .8
3. Lokasi Penelitian .................................................................... .9
4. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 10
5. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 10
6. Teknk Penerlitian Sampel ........................................................ 11
7. Metode Analisis Data ................................................................ 11
8. Metode Penyajian Data ............................................................ 11
F. Sistematika Penelitian ................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A Tinjauan umum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 17
B Tinjauan Umum Tenlang Akta ………………………….…… 30

C Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah …. 38


BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat
xi

Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No


57
4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.…….

B Kekuatan hukum Akta Hak Tanggungan oleh PPAT apabila

dalam pembuatannya ada kesalahan atau kelalaian Informasi

dan prosedur yang dilakukan oleh PPAT. ……………


68
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ...........................................................................70
B. Saran ............................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 76
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................................................77
LAMPIRAN – LAMPIRAN ............................................................................78
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan ekonomi sebagai bagian pembangunan nasional

merupakan salah satu upaya untuk mcwujudkan kesejahteraan rakyat yang

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 1 Dalam rangka

memelihara kesinambungan pembangunan tersebut. Mengingat pcntingnya

dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya

jika pemberi dan penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat

perlindungan melalui suatu lembga hak jaminan yang kuat dan dapat

memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang bcrkepentingan.

Dalam Pasal 51 UUPA disebutkan bahwa sudah disediakan lembaga hak

jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak

Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband.2

Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997

telah banyak memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap

perekonomian nasional. Banyak permasalahan hukum yang timbul dalam

kehidupan masyarakat diantaranya dalam hal utang piutang antara debitor

dan kreditor, dimana dalam hubungan keduanya mempunyai hubungan

timbal balik yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. 3

1
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
2
Efendi Perangin,1991, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali
Pers.Jakarta, hlm. 2
3
Ibid.Hlm 3
2

Pihak yang berkewajiban untuk pemenuhan suatu prestasi

dinamakan debitor, sedangkan pihak yang berhak untuk menuntut adanya

sualu prestasi dinamakan kreditor. Prestasi tersebut dapal berupa

menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, atau tidak

melakukan suatu perbuatan. Dengan adanya hak dan kewajiban tersebut,

menyebabkan debitor harus memenuhi kewajiban sebagaimana meslinya.

Namun dapat saja dikemudian hari dikarenakan sesuatu hal maka debitor

tidak dapal memenuhi prestasi. Dalam hal ini dapat dikatakan debitor telah

melakukan wanprestasi yang berarti lalai atau alpa atau cidera janji. Dengan

kata lain debitor telah melanggar perjanjian. Wanprestasi dapat berupa

antara lain:4

1. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sepenuhnya

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Berdasarkan sebuah perjanjian yang disepakati bersama jika debitor

tidak memenuhi prestasi secara suka rela atau dinyatakan wanprestsi, maka

debitor memiliki hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya terhadap harta

kekayaan debitor yang dijadikan jaminan. Dalam Pasal 1131 KUH Perdata

dinyatakan: "Segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang

tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya".

4
Pasal 1131 KUH Perdata
3

Dalam perjanjian kredit pada bank, dimana bank sebagai kreditor

akan memberikan pinjaman kepada debitor dengan adanya jaminan terlebih

dahulu. Dalam pemberian kredit ini bank menghendaki adanya suatu

jaminan atau agunan yang dapat digunakan sebagai pelunasan utang

bilamana dikemudian hari debitor wanprestasi. Jaminan berfungsi menutupi

resiko pembayaran kredit, dalam arti untuk mengamankan pemberian kredit

maka jaminan yang ideal menurut R. Subekti adalah:5

1. Yang dapat secara mudah membantu pcrolehan kredit oleh pihak yang

memerlukannya

2. Yang tidak melemahkan potensi pencari kredit dalam melakukan

usahanya

3. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa

barang jaminan setiap waktu terscdia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu

dapat mudah diuangkan untuk melunasi utang si penerima kredit. '

Menurut Effendi Perangin, "benda yang paling umum dipergunakan

sebagai jaminan adalah tanah"6, hal ini karena tanah merupakan barang

jaminan yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan

fasilitas kredit. Sebab tanah pada umumnya mudah dijual atau mudah

dipindahtangankan, harganya terus meningkat, mempunyai bukti hak, sulit

digelapkan, dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak

istimewa pada kreditor. Sehingga keberadaan jaminan tanah merupakan

5
R . Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni,
Bandung, 1988, hal. 29
6
Efendi Perangin,1991, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali
Pers.Jakarta, hlm. 5
4

jaminan yang sesuai dengan adanya keterkaitan dengan kredit yang

dijadikan Hak tanggungan. Undang-Undang Pokok Agragia (UUPA)

sebagai peraturan dasar dalam bidang agrarian. Dalam UUPA, apa yang

dimaksud dengan pengertian Hak Tanggungan tidak dijumpai, selain dalam

Pasal 51 yang mengatakan bahwa Hak Tanggungan itu akan diatur dengan

Undang-undang dan dalam Pasal 25, 33, dan 59 dikatakan bahwa Hak

Miiik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan

utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Maksud dari Pasal 51 UUPA itu

baru terpenuhi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah. 7

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut

dinyatakan bahwa Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak

Tanggungan, adalah hak jaminan yarg dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

bendabenda Iain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan utang tertcnlu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditor tertentu terhadap kredito-kreditor lain.

Jadi berdasarkan ketentuan Undang-undang 1 lak I'anggungan ini,

dimungkinkan adanya tanah dan bangunan, ataupun tanaman atau hasil

7
K. Wantjik Saleh,1985, Hak Anda Alas Tanah, Ghalia indonesia, Jakarta, hlm. 55
5

karya yang terdapat di atas tanah itu untuk jaminan terpisah dari tanahnya

(sesuai dengan perkataan berikut atau tidak berikut). Hal ini terjadi apabila

kepemilikan antara tanah dan bangunan, tanaman atau hasil karya tersebut

tidak dimiliki oleh satu orang. Hak Tanggungan atas tanah menurut UU

No. 4 Tahun 1996 mempunyai ciri-ciri antara lain:

A. Merupakan perjanjian accesoir, untuk mengadaan perjanjian pokok

yang berwujud perjanjian pinjam-meminjam uang. Karena merupakan

perjanjian accesoir maka adanya tergantung pada perjanjian pokok

B. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali

diperjanjikan, Ini diatur dalam ketentuan asal 2 UUHT

C. Lebih didahulukan pemenuhan piutangnya dari pada piutang yang lain

{droit de preference) diatur dalam Pasal 6 UUHT

D. Mempunyai sifat zaaksgevolg, yaitu bahwa hak tanggungan ini

senantiasa mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu

berada atau dikenal dengan istilah droit de suite yang diatur dalam

Fasal 7 UUHT

Hak tanggungan hanya bcrisi hk-hak untuk pelunasan utang dan

tidak mengandung hak-hak untuk menguasai atau memiliki bendanya,

namun memberikan hak untuk diperjanjikan menjual atas kckuasaan sendiri

obyek hak tanggungan bila debitor wanprestasi.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-undang Nomor 4

tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda

Yang berkaitan Dengan Tanah menyebutkan dalam pembebanan hak


6

tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain "janji bahwa

pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak unluk menjual atas

kekuasaannya sendiri objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji".8

Dengan adanya janji tersebut, maka bank pemegang hak tanggungan

berdasarkan akta hak tanggungan dapat menuntut pelunasan utangnya

dengan jaian melelang barang yang menjadi jaminan debitor cidera janji

atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Selanjulnya

menurut Pasal 11 ayat (2) tersebut dengan adanya janji untuk menjual atau

melelang seperti demikian, maka penjualan atau pelelangan dapat dilakukan

tanpa keputusan hakim yaitu dengan jalan eksekusi iangsung. Ini berarti

pelelangan teradap benda-benda jaminan dapat dilakukan dengan

mengandalkan atau berdasarkan pada kekuatan akta hak tanggungan tanpa

melalui gugat menggugat dimuka hakim.

Penelitian Terdahulu dilakukan oleh Dewi Tantini Wardaningsih

dengan judul Tanggungjawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Pembebanan

Hak Tanggungan (APHT) dengan jaminan milik anak di bawah umur

membahas tentang Studi ini bertujuan untuk mengetahui Tanggung Jawab

PPAT dalam Pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)

dengan Penjamin Anak di Bawah Umur. Rumusan masalah yang diajukan

yaitu:1). Bagaimana pelaksanaan perjanjian Akta Pembebanan Hak

Tanggungan (APHT) dengan anak di bawah umur, 2). Bagaimana tanggung

jawab PPAT dalam pelaksanaan perjanjian Akta Pembebanan Hak

8
Ibid.
7

Tanggungan (APHT) dengan anak di bawah umur. Penelitian ini termasuk

tipologi penelitian yuridis-empiris yaitu penelitian hukum mengenai

pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara perilaku

nyata pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Data

penelitian ini diperoleh dari dua cara yaitu: 1). Data primer, yakni data

utama, dimana peneliti melakukan wawancara kepada pihak yang terkait

dengan permasalahan yang akan diteliti, 2). Data sekunder, yakni data yang

diperoleh secara tidak langsung tetapi berkaitan dengan data empiris dan

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, sekunder, dan

tersier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat yuridis seperti perundang-undangan dan perjanjian.

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang tidak mempunyai kekuaatan

mengikat secara yuridis seperti rancangan undang-undang dan putusan

pengadilan, sedangkan bahan hukum tersier adalah pelengkap data primer

dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedi. Analisis Penelitian ini diolah

melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, kemudian diolah

dengan langkahlangkah tahapan pemeriksaan data, penandaan data,

rekonstruksi data, dan sistemasi data. Hasil studi ini menunjukkan bahwa

terdapat prosedur-prosedur yang diperhatikan dalam rangka tanggung jawab

PPAT dalam Pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)

dengan Penjamin Anak di Bawah Umur. 9

9
dewi tantini wardaningsih,2020, tanggungjawab ppat dalam pembuatan akta pembebanan hak
tanggungan (apht) dengan jaminan milik anak di bawah umur, program studi kenotariatan program
magister fakultas hukum universitas islam indonesia
8

Penelitian juga dilakukan oleh Purna Noor Aditama Tanggung

Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Memberikan Perlindungan

Hukum Bagi Para Pihak Pada Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli

membahas tentang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang

tanggung jawab dan upaya-upaya PPAT dalam memberikan perlindungan

hukum bagi para pihak dalam proses peralihan Hak Atas Tanah melalui jual

beli. PPAT sebagai pejabat umum pembuat akta tertentu khususnya akta

peralihan hak tanah, harus memiliki kemampuan khusus di bidang

pertanahan, mengingat akta tersebut bisa digunakan sebagai alat bukti yang

menerangkan telah terjadi perbuatan hukum pengalihan hak. Jenis penelitian

ini bersifat yuridis normatif, dengan menggunakan metode kualitatif,

sedangkan untuk mengkaji permasalahan hukum, digunakan bahan hukum

primer, dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan, bentuk

tanggung jawab dan upaya-upaya PPAT dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap para pihak, dalam peralihan hak jual beli, dilakukan sejak

awal perjanjian, proses perjanjian jual beli, hingga peralihan hak

dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang terkait ke PPATan. Kewajiban

penjual terlindungi jika obyek jual beli telah dibayar lunas oleh pembeli,

dan hak pembeli terlindungi jika proses peralihan hak sampai dengan

namanya tercantum dalam sertifikat, dan menerima sertifikat yang sudah

atas nama pembeli. Agar bisa memberikan penyuluhan hukum, serta contoh

akibat hukum jika para pihak tidak memenuhi persyaratan peralihan hak

sesuai dengan apa yang dijelaskan PPAT harus menguasai dan memahami
9

semua ketentuan yang berlaku terkait dengan peralihan hak melalui jual

beli.10 Oleh sebab itu, penelitian ini dipilih judul: “KEWENANGAN

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM MEMBUAT AKTA

HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 4

TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN“

B. PERUMUSAN MASALAH

Setelah mengungkapkan hal-hal di atas, maka penulis berkeinginan

untuk meneliti, mempelajari serta membahas tentang Kewenangan Pejabat

Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan

Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan . Adapun

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam

Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4

Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ?

2. Bagaimana kekuatan hukum Akta Hak Tanggungan oleh PPAT

apabila dalam pembuatannya ada kesalahan atau kelalaian Informasi

dan prosedur yang dilakukan oleh PPAT?

C. TUJUAN PENELITIAN

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan

manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan

10
Jurnal Ilmiah Purna Noor Aditama Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Pada Peralihan Hak Atas Tanah 2 No. 1 VOL.
3 Januari 2018: 189 - 205
10

tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Agar mengetahui dan memahami Kewenangan Pejabat Pembuat Akta

Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-

Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

2. Agar mengetahui dan memahami Kekuatan hukum Akta Hak

Tanggungan oleh PPAT apabila dalam pembuatannya ada kesalahan

atau kelalaian Informasi dan prosedur yang dilakukan oleh PPAT.

D. MANFAAT PENELITIAN

Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau segi yang saling berkaitan

yakni dari segi teoritis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat

berharap akan dapat memberikan manfaat :

1. Manfaat Akademis

a. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai Kewenangan

Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak

Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan

b. Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat

digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis
11

4. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada

umumnya dan pada khususnya tentang Kewenangan Pejabat

Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan

Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan

5. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas

tentang Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam

Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No

4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

6. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan

bagi penulis, khususnya bidang hukum perdata dan memenuhi

syarat kelulusan S1 ilmu hukum.

E. METODE PENELITIAN

Agar Penelitian ini sesuai dengan memenuhi standar ilmiah, Penelitian

ini dilakukan dengan beberapa metode11. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan metode–metode sebagai berikut:

a. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,2007 Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, , Hlm 1
12

kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan

kepustakaan atau data sekunder belaka Penelitian ini dilakukan guna untuk

mendapatkan bahan-bahan berupa teori-teori, konsep-konsep, asas-asas

hukum serta peraturan hukum yang berhubungan dengan pokok bahasan.

Ruang lingkup penelitian hukum normatif menurut Soerjono Soekanto

meliputi: 12

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara vertikal dan

horisontal.

d. Perbandingan hukum.

e. Sejarah hukum.

Berdasarkan 5 tipe penelitian ini maka peneliti lebih berfocus kepada

penelitian terhadap sistematika hokum berkaitan dengan judul Kewenangan

Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan

Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian yang dilakukan disini tergolong dalam

penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang dimaksud untuk

memberikan data yang seteliti mungkin dengan memberikan bahasan yang

lebih mendalam tentang Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam

12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 63.
13

Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan13

3. Jenis dan Sumber Data

Sumber data penelitian ini berasal dari :

a. Bahan Hukum Primer

Sumber data primer adalah Pengambilan data berdasarkan

sejumlah keterangan dan fakta yang secara langsung diperoleh selama

penelitian, yaitu data yang didapat dari kegiatan penelitian tentang

Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta

Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan serta Perolehan sumber data berupa tanya

jawab yang langsung di peroleh dari responden.

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh tidak

secara langsung dari yang memberikan atau informasi, akan tetapi

sumber data ini diperoleh melalui studi kepustakaan yang meliputi

Peraturan Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang

berkaitan dengan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam

Membuat Akta Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4

Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan serta catatan diskusi, kuliah

maupun wawancara dengan para pihak yang memiliki keterkaitan atau

13
Peter Mahmud, 2016 , Penelitian Hukum, kencana, Jakarta Hal 244
14

pengetahuan terkait obyek penelitian serta Pengambilan data berupa

gambar yang diperoleh langsung pada saat penelitian di Kantor Notaris

di Kabupaten Pekalongan.

a. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang digunakan meliputi :

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia

2. Kamus hukum

3. Data-data elektronik yang berkaitan dengan Kewenangan Pejabat

Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak Tanggungan

Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan .

4. Metode Analisis Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Analisa Data Kualitatif Normatif yang dilakukan sebuah reduksi

data.14 Reduksi data adalah bagian dari analisis, suatu bentuk analisis

pemusatan perhatian yang mempertegas, penyederhanaan, pengabstrakan,

dan transformasi data kasar yang diperoleh dari studi pustaka, serta

membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa

sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.

5. Metode Penyajian data

14
Maman, Rahman, 1999, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, Semarang : IKIP Semarang
Press. Hlm 45
15

Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang

memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat suatu

penyajian data peneliti akan mengerti apa yang akan terjadi dan

memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun

tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Setelah itu dilakukan

Penarikan kesimpulan, Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang

ditarik dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data.

Pada dasarnya makna data harus di uji validitasnya supaya kesimpulan

yang diambil menjadi lebih baik.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan di harapkan dapat bermanfaat bagi pembaca yang di buat

dengan terperinci dan sistematis agar para pembaca mudah dan dapat

memahami maknanya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan

yang saling berhubungan satu dengan yang lain, dapat dilihat sebagai

berikut:

1. Bagian Awal Skripsi

Bagian awal skripsi terdiri dari sampul, lembar berlogo, halaman

judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto

dan persembahan, prakata, sari, daftar isi, daftar singkatan dan tanda

teknis, dan daftar lampiran.

2. Bagian Pokok
16

Bagian pokok skripsi terdiri dari lima bab, yakni pendahuluan,

tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan

penutup.

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan memuat mengenai gambaran umum penelitian skripsi

yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan

pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tentang acuan yang di jadikan pembahasan Pengertian,

Syarat-syarat dan Larangan Jabatan Notaris dan Tinjauan Umum

Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang Kedudukan dan Ketentuan Hukum Akta

Hak Tanggungan Yang dibuat Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

dan Akibat hukum jika terjadi permasalahan terhadap Akta Hak

Tanggungan Yang dibuat Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

BAB IV : Simpulan dan saran

Bab ini merupakan hasil pembahasan dari keseluruhan skripsi ini

yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai saran-saran dari

penulis.
17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dimuat dalam

beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu berdasarkan Pasal 1

angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah

(UUHT), menyebutkan bahwa, “Pejabat Pembuat Akta Tanah,

selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang

untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak

Tanggungan, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.15

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta

Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta tanah”.16

15
Pasal Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.
16
Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
18

Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa “Pejabat

Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.17

Pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 bahwa

yang dimaksud dengan “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya

disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

Keberadaan Jabatan PPAT dapat ditemukan di pasal 26 ayat (1) UUPA

dan Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa jual beli, tukar

menukar, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang menginstruksikan

kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia yang akan diatur dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang

kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

UUPA memang tidak menyebut secara tegas tentang Jabatan PPAT,

17
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
19

namun penyebutan tentang adanya pejabat yang akan bertindak untuk

membuat akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai tanah,

dinyatakan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961,

sebagai peraturan pelaksanaan UUPA. Dari semua Peraturan Perundang-

undangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum. Namun dalam peraturan

perundang-undangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud

dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang yang

diangkat oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani

masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu.18

2. Macam – macam PPAT

Macam-macam PPAT menurut ketentuan dari Pasal 1 PP 37

tahun 1998 adalah terdiri dari : 19

a Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan

rumah susun.

b PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena

jabatannnya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta

PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 486.
19
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia; Kumpulan Tulisan Tentang
Notaris dan PPAT (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 77.
20

c PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang

ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan

membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan

program atau tugas pemerintah tertentu. Jadi di wilayah Republik

Indonesia ada 3 macam PPAT yaitu :

I. PPAT Umum diangkat

II. PPAT Sementara ditunjuk

III. PPAT Khusus ditunjuk

Diberhentikan oleh Menteri merupakan suatu penyelesaian dari

ada seseorang diangkat sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai

Notaris di kota lain, sehingga menurut ketentuan ini yang bersangkutan

berhenti sebagai PPAT, sungguhpun kalau masih ada lowongan di kota

yang bersangkutan diangkat sebagai Notaris, dapat saja diangkat kembali

sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai Notaris. Hal ini

sebagai suatu solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan

kemudian sebagai Notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan

tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan Notarisnya dan

usahanya untuk diangkat sebagai PPAT ditempat yang bersangkutan

sebagai Notaris tidak dapat dikabulkan oleh Kepala BPN hanya disuruh

berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai Notaris di

tempat ditunjuk sebagai PPAT.

PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan

Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang


21

bersangkutan, sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah

kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya,

tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan

tugasnya di daerah kerjanya yang baru. Untuk keperluan pengangkatan

sumpah, PPAT wajib lapor kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai

pengangkatannya sebagai PPAT, apabila laporan tersebut tidak

dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum.

Sebagai bukti telah dilaksanakannya pelantikan dan pengangkatan

sumpah jabatan, dibuatkan suatu Berita Acara Pelantikan dan Berita

Acara Sumpah Jabatan yang disaksikan paling kurang dua orang saksi.

Setelah PPAT mengangkat sumpah wajib menandatangani surat

pernyataan kesanggupan pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan

keputusan pengangkatannya.20

3. Dasar Hukum PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat

Akta Tanah mengalami perubahan sehingga menjadi Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 dan sebagai ketentuan

pelaksanaannya terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

20
Ibid hlm. 81.
22

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah

diundangkan pada tanggal 5 Maret 1998, dibuat dengan pertimbangan

untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah didalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria

dengan memerintahkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan

pendaftaran tanah. Dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut

didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah telah menetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.

Selanjutnya diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 2016 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah pada

tanggal 22 Juni 2016, dibuat dengan pertimbangan untuk meningkatkan

peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta untuk meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat atas pendaftaran tanah, maka perlu

melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat

Akta Tanah.
23

Perubahan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

dilakukan karena peraturan sebelumnya tidak sesuai lagi dengan

perkembangan zaman sedangkan kehidupan berbangsa dan bernegara

semakin maju. Sehingga dengan majunya zaman, diperlukan adanya

perubahan dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat meng-

cover kehidupan berbangsa dan berbangsa.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, diundangkan pada tanggal 16 Mei 2006 sebagai

pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Menurut Budi Harsono, dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 1 angka 1 disebutkan

PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat

akta-akta otentik mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan

rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak

Tanggungan. Pejabat umum adalah orang yang diangkat oleh instansi

yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang

atau kegiatan tertentu.21

21
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cetakan Kesembilan. Jakarta. Penerbit Djambatan. Hlm 72.
24

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa,

“PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”

Hak atas tanah merupakan wewenang yang diberikan kepada

pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari

tanah yang menjadi haknya. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada

pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan

tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang

diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut

UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.22

4. Tugas, Kewenangan, Hak dan Kewajiban PPAT

a. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, seorang PPAT

mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan hukum tentang Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Kewajiban

PPAT, selain tugas pokok ialah menyelenggarakan suatu daftar dari

akta-akta yang dibuatnya dan menyimpan asli dari akta-akta yang

22
Jayadi Setiabudi. 2015. Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta Perizinannya.
Yogyakarta. Penerbit Buku Pintar. Hlm. 19.
25

dibuatnya. Untuk menjaga dan mencegah agar PPAT dalam

menjalankan jabatannya tersebut tidak menimbulkan akibat yang

memberi kesan bahwa pejabat telah mengganggu keseimbangan

kepentingan para pihak. Ketentuan ini dibuat agar PPAT dapat

menjalankan tugas sebaik-baiknya demi melayani kepentingan umum

agar melaksanakan rasa kemandirian dan tidak memihak.23

b. Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diangkat untuk suatu

daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia. PPAT yang diberhentikan

dengan tidak hormat dari jabatannya diatur melalui Keputusan

Pemberhentian oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik

Indonesia. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan oleh Menteri Agraria

dan Tata Ruang Republik Indonesia berdasarkan usulan Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kanwil

BPN Provinsi. Pemberhentian PPAT karena alasan melakukan

pelanggaran ringan dan pelanggaan berat dilakukan setelah PPAT

yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengajukan

pembelaan diri kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik

Indonesia. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bertugas pokok

melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat

akta sebagai bukti telah dilakukannnya perbuatan hukum tertentu

23
6Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994),
hlm. 6-7.
26

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,

yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum. Perbuatan

hukum yang dimaksud diatas adalah jual-beli, tukar-menukar, hibah,

pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama,

pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik,

pemberian hak tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan hak

tanggungan.24

c. Hak dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional

Nom.or 1 Tahu.n 2006 mengenai Ketentuan Pelaksan.aan Peratur.an

Pemerintah Pasal 2 Nomor 37 Tah.un 1998 yang mengatur tent.ang

Peraturan Pejabat Pem.buat Akta Tanah menya.takan bahwa PPAT

memiliki tugas pokok guna melak.sanakan Sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat ak.ta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum ter.tentu terhadap ha katas tanah

maupun Hak Milik Atas Satua.n Rumah Susun yang dapat dijadikan

dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang

diakibatkan oleh beb.erapa macam hal di antaranya jual beli, tukar

menu.kar, hib.ah, pemasukan ke dalam perusahaan, pembagian hak

bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pak.ai atas tanah, Hak

Milik, Hak Tanggungan, dan Pemberian kuasa membebankan Hak

24
A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1999),
hlm. 180
27

Tanggungan. PPAT memiliki peran yang cukup besar berkaitan

dengan pelayanan masyarakat dan peningkatan sumber pendapatan

negara yang membantu pembangunan negara. PPAT memiliki

kewenangan terbatas, yaitu menangani permasalahan pembuatan akta

yang berhubungan erat dengan tanah, dan memiliki lingkup kerja

yang cukup terbatas. Peraturan Pemerintah Pasal 2 Angka 1 Nomor

37 Tahun 1988 menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas terkait

pembuatan akta tanah sebagai bukti pendaftaran tanah. PPAT wajib

bertindak mandiri, jujur, netral/tidak berpihak, serta bertanggung

jawab terhadap akta yang telah dibuat yang dapat digunakan sebagai

bukti dan memiliki kekuatan dan kepastian hukum (Febrina, 2019).

Hubungan pejabat dengan pejabat lainnya bagaikan dua sisi mata

uang, disatusisi jabatan bersifat tetap (lingkungan pekerjaan tetap) dan

pada sisi yang lain bahwa jabatan dapat berjalan sebagai pendukung

hak dan kewajiban sehingga yang menempati atau melaksanakan

jabatan adalah yang menjalankan hak dan kewajiban.25

Tanggungjawab PPAT dalam menjalankan profesi tersebut

dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam kelompok yaitu tanggungjawab

etik atau tanggung jawab yang berhubungan dengan etika profesi,

serta tanggungjawab hukum. Tangg.ungjawab hukum yang dimaksud

adalah tanggungjawab yang berdasarkan pada hukum administrasi

hukum perdata, hukum pidana maupun hukum. Dalam menjalankan

25
Ngadino. (2019). Ketentuan Umum Tata Cara Pem.buatan dan Pengisian Akta PPAT.
Semarang:UPT Penerbitan Universitas PGRI Semarang. Hlm 56
28

kewajibannya ada kemungkinan terjadinya suatu kekeliruan yang

bersifat administratif yang biasa disebut dengan maladministrasi.

Sehingga pada kondisi seperti ini pertanggungjawaban administratif

dapat diajukan terhadap pejabat PPAT yang bersangkutan. PPAT

wajib bersikap teliti dan hati-hati dalam tugasnya membuat akta

otentik. PPAT wajib memiliki kemampuan profesional berkaitan

dengan teori maupun praktek. Salah satu jenis tolak ukur dari adanya

suatu kelalaian yang mungkin dilakukan pejabat PPAT adalah saat

salah satu pihak mengalami kerugian maupun konsekuensi.

Berdasarkan Peraturan. Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor.1

Tahun 2016 berkaitan dengan Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabtan Pejabat

Pembuat Akta-Tanah menyatakan bahwa penyimpangan terhadap

syarat baik formiil maupun materil yang dijalankan oleh pejabat

PPAT termasuk dalam jenis pelanggaran yang cukup berat. Berkaitan

dengan pelanggaran yang terjadi, seoarng Kepala Badan Pertahanan

Nasional Indonesia dapat dikenakan sanksi administratif yaitu

pemberhentian secara tidak hormat.

Pertanggung jawaban secara administratif juga termasuk hal

yang penting bagi PPAT. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 62

Nomor 24 tahun-1997 berkaitan tentang Pendaftaran Tanah yang

mengatur bahwa PPAT yang mengabaikan .ketentuan dan petunjuk

yang diberikan oleh. Menteri atau Pejabat. yang ditunjuk dalam


29

menjalankan tugasnya akan menerima tindakan administratif.

Beberapa jenis tindakan administratif yang dapat terjadi di antaranya,

teguran. tertulis hingga pemberhentian dari jabatan sebagai PPAT dan

diikuti penuntutan ganti rugi oleh pihak yang bersangkutan (Efendi,

1999). Sehingga dalam menjalankan tanggung jawabnya perlu selalu

menjunjung tinggi kode etik serta menghindari terjadinya

pelanggaran. Sebagai sanksi administratif berkaitan dengan

pelanggaran terhadap kode etik dikenakan beberapa macam sanksi, di

antaranya Teguran; Peringatan; Pemberhentian sementara. dari

keanggotaan PPAT; Pemberhentian / Pemecatan. dari keanggotaan

PPAT; Pemberhentian secara tidak hormat. dari keanggotaan. PPAT;

Sanksi Administratif. yaitu denda26

B. Tinjauan Umum Tenlang Akta

1. Pengertian Akta

Istilah akta dalam bahsa Belanda disebut "acte" dan dalam

istilah Inggris disebut "AcE atau "Deed*. Menurut R. Subekti dan

Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus I lukum. bahwa kata akta

merupakan bentuk jamak dari kata "Actum" yang berasal dari balisa latin

yang berarti perbuatan-pcrbuatan.Yang dimaksud dengan akta menurut

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, adalah:27

26
Toedjasaputro. (1995). Etika Pr.ofrsi Notaris Dan Profesi Hukum. Semarang: Aneka Ilmu Hlm
22
27
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramila, Jakarta, 1990, him. 9
30

1. Perbuatan handeling atau perbuatan hukum {rechthandeling) itulah

pengertian yang luas, dan

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau digunakan sebagai bukti

perbuatan hukum tersebut yaitu berupa tulisan yang ditunjuk kepada

pembuktian sesuatu. 28

Menurut Abdulkadir Muhammad, akta adalah; "Surat yang

bertanggal dan diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa

yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang digunakan untuk

pembuktian"29

Akta menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip

Kartawinata adalah: "Surat-surat yang dibuat dengan sengaja untuk

dipergunakan sebagai alat bukti, karena suatu akta merupakan bukti

bahwa suatu kejadian hukum yang telah dilakukan".30

Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah: "Surat yang

diberi tanda tangan yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau

perikatan. yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian"."31

Dari beberapa defenisi akta tersebut, dapat diketahui bahwa

tidak semua surat dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat

28
victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akia Dalam Pembuktian Dan
EksUiusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, him. 26
29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,2000,
him. 119
30
Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek.
Mandar Maju. Bandung, 1990, him. 58
31
"Opcit Abdul Kadir. Hlm 123
31

tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru dapat dikatakan

akta. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut adalah:32

1. Surat itu harus ditandatangani

Keharusan ditandatangani suatu surat untuk dapat dikatakan

akta tercantum dalam akta, tercantum dalam Pasal 1869 KUH Perdata

yang berbunyi: "Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak

cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena cacat dalam

bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun

demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan

jikadilandatangani oleh pihak. Tujuan dari keharusan ditandatangani

suatu surat untuk dapat disebutakta adalah untuk memberikan ciri atau

untuk mengindividualisasikan sebuah akta, dengan setiap orang tidak

mungkin memiliki tanda tangan yang sama.

2. Surat itu hams memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau

perikatan

Hal diatas sesuai dengan peruntukan sesuatu akta sebagai alat

bukti pembuktiandemi keperluan siapa akta ilu dibuat, surat tersebut

harus berisikan sesuatu keteranganyang dapat menjadi bukti yang

dibutuhkan dengan memuat peristiwa hukum yang menjadi dasar dari

suatu hak atau perikatan.

32 32
victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akia Dalam Pembuktian Dan
EksUiusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, him. 29
32

3. Surat itu dipergunakan sebagai alat bukti

Syarat ketiga agar suatu surat dapat disebut suatu akta adaiah

surat itu hams dipemntukkan sebagai alat bukti. Jadi segaia surat-surat

yang tidak dipemntukkan menjadi bukti yang tidak dibuat untuk

dipakai sebagai alat pembuktian bukan akta. Dalam hukum acara

perdata bukti tulisan adalah bukti yang utama, bukti tulisan yang

dimaksud adalah dalam bentuk akta. Pasal 1867 KUH Perdata

berbunyi: "Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta)

otentik maupun dengan tulisan (akta) di bawah tangan" Dari isi Pasal

1867 KUH Perdata tersebut, akta dapat dibedakan menjadi:

a. Akta Otentik

Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR yang

bersamaan bunyinya dengan Pasal 285 RBg, yang berbunyi:33

Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh alau

dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan

bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan

mereka yang mendapalkan hak dari padanya tentang yang tercantum

di dalamnya dan bukan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi

yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan dengan

perihal akta itu. Defenis akta otentik ini dapat dijumpai dalam Pasal

1868 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: "Suatu akta

adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-

33
Lilian Tedjosaputro, Eika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing,
Yogyakarta. 1995, him. 31
33

undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa

untuk itu ditempat akta itu dibuat". Dalam pembuatan akta-akta

otentik mengenai tindakan-tindakan, perjanjian-peijanjian dan

keputusan-keputusan harus dibuat oleh notaries apabila:

a. Hal tersebut dikehendaki oleh mereka atau pihak-pihak yang

berkepenlingan

b. Oleh perundang-undangan umum hal-ha! tersebut harus

dinyatakan dalam akta otentik."

b. Akta di bawah tangan

kata "di bawah tangan" merupakan terjernahan harfiah dari

bahasa aslinya bahasa Belanda "Onderhandsch Acte". Menurut

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, akta di bawah

tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk

pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta,

dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang

dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidakdibuat

oleh atau dihadapan pejabat umum pembuat akta."34

Menurut Abdulkadir Muhammad, akta di bawah tangan

dikatakan akta tidak otentik karena tidak dibuat oleh atau dihadapan

pejabat yang berwenang untuk itu, melainkan dibual sendiri oleh

pihak yang bcrkepenlingan dengan tujuan untuk dijadikan alal

34
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, Pradnya
Paramila, .lakarta, 1997, him. 63
34

bukti. Lilian Tedjosaputro berpendapat bahwa akta di bawah tangan

adalah akta yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum.'

Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan seorang pejabat,

sehingga akta tersebut hanya dibuat antara para pihak yang

bcrkepenlingan. Suatu akta di bawah tangan terutama yang

berisikan perjanjian membayar sejumlah uang tunai atau

menyerahkan sesuatu benda dengan nilai tertentu, maka akta

tersebut harus ditulis seluruhnya oleh penandatangan dengan huruf-

huruf atau diberi keterangan bahwa si penandatngan menyelujui

jumlah atau banyaknya yang yang harus dipenuhi. Apabila

ketentuan tersebut tidak dipenuhi dan akta tersebut disangkai

kebenarannya, maka akta di bawah tangan tersebut hanya berfungsi

sebagai permuiaan pembuktian yang masih memerlukan alat bukti

tambahan.

3. Kedudukan Hukum Akta

Hukum pembuktian diperlukan demi terciptanya kepastian

hukum disamping itu hukum pembuktian juga diperlukan untuk

mencegah timbulnya perbuatan main hakim sendiri diantara pihak yang

saling berperkara, khususnya dalam mempertahankan kebenaran atas

hak yang dimilikinya dipengadilan. Oleh sebab itu pembuktian ini


35

merupakan bagian yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara

dipengadilan.35

Pembuktian dalam perkara perdata bertujuan untuk tercapainya

kebenaran formal lai halnya dengan pembuktian dalam perkara pidana

adalah dengan tercapainya kebenaran materiil. Pembuktian perkara

perdata mengenal alat – alat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal

1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Tulisan yang dibuat secara

khusus yang dibuat sedemikian rupa agar menjadi suatu alat bukti yang

sah dan akurat disebut sebagai akta (acte). Akta adalah tulisan khusus

yang dibuat agar menjadi suatu alat bukti tertulis.14 A.Pitlo mengartikan

akta itu sebagai surat – surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai

sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk kepentingan

siapa surat itu dibuat.36

Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mengatur

mengenai pengertian akta otentik yaitu : “Suatu akta otentik, adalah

suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa

untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”. Berkaitan tentang

pengertian akta otentik tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Pasal 1870

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta otentik

memberikan kepada para pihak yang membuatnya suatu bukti yang

35
Dedy Pramono, Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku Pejabat Umum
menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 12 Nomor 3, Desember2015,
hlm. 250.
36
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 52
36

sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Jika sesuatu akta hendak

memperoleh status otentisiteit, hal mana terdapat pada akta notaris, maka

menurut pasal 1868 KUHPerdata37

4. Kekuatan Hukum akta

Keotentikan Akta Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam

UUHT antara lain dalam Pasal 10 ayat (2) berbunyi: "Pemberian Hak

Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan oleh PPAT..."

Dalam ketentuan Paal I angka 5 disebutkan: "Akta Pemberian

Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian hak

tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan

piutangnya". Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4: "Pejabat Pembuat Akta

Tanah yang selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi

wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan hak atas tanah dan akia pemberian kuasa membebankan

hak tanggungan menurut perturan perundang-undangan yang berlaku".

Menurut ketentuan Pasal I angka 4 dan 5 tersebut bentuk akta hak

tanggungan yang ditentukan undang-undang adalah berbentuk akta

PPAT. Di dalam ketentuan Pasal 17 UUHT disebutkan bahwa: bentuk

dari Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku tanah hak

tanggungan dan hal Iain-Iain yang berkaitan dengan tata cara pemberian

dan pendaftaran hak tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan

37
Ibid.Hlm 62
37

berdasarkan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria. Adapun kemudian berdasarkan ketentuan Pasal

17 lercbul ditetapkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3

Tahun 1996 tentang Benluk Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak

Tanggungan, dan Sertifikat Hak tanggungan

C. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

1. Pengertian Hak Tanggungan Atas Tanah

Untuk mengetahui pengertian Hak Tanggungan adalah bertitik tolak

dari Undang-Undang Pokok Agragia (UUPA) sebagai peraturan dasar dalam

bidang agrarian. Dalam UUPA, apa yang dimaksud dengan pengertian Hak

Tanggungan tidak dijumpai, selain dalam Pasal 51 yang mengatakan bahwa Hak

Tanggungan itu akan diatur dengan Undang-undang dan dalam Pasal 25, 33, dan

59 dikatakan bahwa Hak Miiik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dapat

dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Maksud dari Pasal 51

UUPA itu baru terpenuhi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah. 38

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut

dinyatakan bahwa Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak

38
K. Wantjik Saleh,1985, Hak Anda Alas Tanah, GHlmia indonesia, Jakarta, hlm. 55
38

jaminan yarg dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda Iain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertcnlu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kredito-kreditor

lain.

Jadi berdasarkan ketentuan Undang-undang 1 lak I'anggungan ini,

dimungkinkan adanya tanah dan bangunan, ataupun tanaman atau hasil karya

yang terdapat di atas tanah itu untuk jaminan terpisah dari tanahnya (sesuai

dengan perkataan berikut atau tidak berikut). Hal ini terjadi apabila kepemilikan

antara tanah dan bangunan, tanaman atau hasil karya tersebut tidak dimiliki

oleh satu orang. Hak Tanggungan atas tanah menurut UU No. 4 Tahun 1996

mempunyai ciri-ciri antara lain:39

b. Merupakan perjanjian accesoir, untuk mengadaan perjanjian pokok yang

berwujud perjanjian pinjam-meminjam uang. Karena merupakan perjanjian

accesoir maka adanya tergantung pada perjanjian pokok

c. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali

diperjanjikan, Ini diatur dalam ketentuan asal 2 UUHT

d. Lebih didahulukan pemenuhan piutangnya dari pada piutang yang lain

{droit de preference) diatur dalam Pasal 6 UUHT

e. Mempunyai sifat zaaksgevolg, yaitu bahwa hak tanggungan ini senantiasa

mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada atau dikenal

dengan istilah droit de suite yang diatur dalam Fasal 7 UUHT

39
Ibid Hlm 57
39

f. Hak tanggungan hanya bcrisi hk-hak untuk pelunasan utang dan tidak

mengandung hak-hak untuk menguasai atau memiliki bendanya, namun

memberikan hak untuk diperjanjikan menjual atas kckuasaan sendiri obyek

hak tanggungan bila debitor wanprestasi.

Berdasarkan pada ketentuan Undang-undang Hak Tanggungan tersebut,

maka dapat diketahui bahwa hak tanggungan adalah perjanjian accesoir, bersifat

droit de suite, mempunyai kedudukan prefrensi dan hanya untuk pelunasan saja.

Terlihat ciri-ciri tersebut di atas di dalamnya mengandung sifat-sifat utama dari

hak kebendaan yaitu dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga, selalu

mengikuti bendanya dan juga berlakunya asas spesialitas dan publisitas.

Undang-undang Hak Tanggungan berlaku juga terhadap pembebasan

hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik alas Satuan Rumah Susun,

lermasuk yang didirikan di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. Scsuai Pasal

12 dan Pasal 13 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS) yang

berkenaan dengan penjaminan rumsah susun beserta lanah tempal bangunan

itu sendiri juga harus tunduk pada peraturan undang-undang Hak Tanggungan

tersebut, sehingga penjaminan dengan fiducia tidak berlaku lagi. Di samping itu

dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan ini, dinyatakan pula bahwa

ketentuan yang mengatur mengenai creditverband serta ketentuan yang

mengatur mengenai hipotik yang berlaku seiama ini, sepanjang yang

berhubungan dengan tanah sudah tidak berlaku lagi.

Pembebanan rumah beserta lanag yang haknya dimiliki oleh pihak yang

sama dengan adanya Undang-undang Hak Tanggungan dibebani dengan Hak

Tanggungan. Dengan demikian unluk jaminan terhadap hak alas tanah, berikut
40

atau tidak bcrikut benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan

tanahnya berlaku Hak Tanggungan. Sedangkan fiducia dan hipolik dapat

diberldkukan untuk penjaminan bukan tanah. Dcngau adanya Undang-undang

Hak Tanggungan, satu-satunya lembaga jaminan atas tanah yang berlaku adalah

Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-undang Hak Tanggungan (UU No. 4

Tahun 1996).

2. Subyek Hak Tanggungan Atas Tanah

Dalam hak tanggungan juga terdapat subyek hukum yang menjadi hak

tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberian hak tanggungan. Yang

dimaksud dengan subyek hak tanggungan ini adalah pihak-pihak yang terlibat

dalam perjanjian pembenanan hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak

tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu:

a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjamin obyek hak

tanggungan

b. Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak

tanggungan sebaga jaminan dari piutang yang diberikannya.

Yang dapat menjadi subyek hak tanggungan selain warga negara

Indonesia, dengan ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai salah satu

obyek hak tanggungan, bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat

menjadi subyek hak tanggungan, apabila memenuhi syarat. Jika hak pakai itu

oleh warga negara asing, dimana hak pakai itu menurut Undang-undang Hak

Tanggungan juga dapat menjadi obyek Hak Tanggungan, ada persyaratan untuk

menjadi subyek Hak Pakai yang harus dipenuhi. Demikian juga kalau warga
41

negara asing tersebut mengajukan permohonan kredit dengan hak pakai atas

tanah negara sebagai jaminan, harus memenuhi persyaratan antara lain:40

1) Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu

2) Mempunyai Usaha di Indonesia

3) Kredit dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara

Republik Indonesia.

Dalam kaitannya dengan kedudukan selaku kreditor, Undang-undang

Hak Tanggungan mcnegaskan bahwa seorang warga negara asing maupun

badan hukum asing juga dapat menjadi pemegang hak tanggungan karena hak

tanggungan tidak ada kaitannya dengan pemilikan obyek secara serta merta.

Undang-undang Hak Tanggungan memuat ketentuan mengenai subyek Hak

Tanggungan dalam Pasal 6 dan Pasal 9, yaitu:

a) Pihak Pemberi Hak Tanggungan

Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (I) UUHT menyebutkan bahwa pemberi

Hak Tanggungan adalah: "Orang perorangan atau badan hukum yang

mempunyaikewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek

hak tanggungan yang bersangkutan". Selanjutnya di dalam ketentuan ayat (2)

dinyatakan bahwa "Kewenangan unluk melakukan perbuatan hukum

terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan

dilakukan". Ini berarti bahwa hak tanggungan hanya dapal diletakan oleh

orang yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani. Menurut

UUPA mengenai siapa yang boleh memberikan hak tanggungan ini dibalasi,

40
Ibid.Hlm 66
42

ini disebabkan karena adanya syaral-syaral bagi subyek Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Menurut UUPA yang dapat

mempunyai Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum

yang ditetapkan pemerintah berdasarkan ketentuan PP No. 38 Tahun 1963,

yaitu:

1. Bank-bank yang didirikan pemerintah

2. Perkumpulan-perkumpulan koerasi pertanian yang didirikan

berdasarkan UUNo. 79 tahun 1958

3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri

setelah mendengar Menteri Agama

4. Badan-badan social yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Agraria

setelah mendengar Menteri Sosial.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang dapat menjadi pemberi hak

tanggungan atas tanah Hak Milik adalah perseorangan Warga Negara

Indonesia dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Yang dapat

mempunyai Hak Guna Bangunan menurut UUPA adalah Warga Negara

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ketentuan ini diatur Pasal 46 ayat

(1) UUPA. Pemberian Hak Tanggungan dari Hak Guna Bangunan adalah

Warga Negara Indnesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indnesia. Yang dapat mempunyai Hak Guna

Usaha menurut UUP adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum

yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Hal ini diatur dalam Pasal 30 UUPA. Dengan demikian yang dapat

memberikan Hak Tanggungan dari Hak Guna Usaha adalah Waga Negara
43

Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia. Selain itu yang dapat dibebani dengan Hak

Tanggungan adalah Hak Pakai berdasarkan Pada Pasal 4 ayat (2) UUHT. Ini

adalah terobosan yang dilakukan UUHT untuk mengantisipasi

perkembangan kebutuhan masyarakat. Yang dapat mempunyai Hak Pakai

Atas Tanah Negara menurut Pasal 42 UUPA adalah Warga Negara Indonesia,

Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Menurut penjelasan UUHT, Hak Pakai tersebut adalah Hak Pakai yang

didatarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan aas tanah negara. Sebagaian dari

Hak Pakai yang didaftar tersebut menurut sifat dan kenyataannya dapat

dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perorangan dan

Badanbadan Hukum Perdata. Jadi yang dapal mempunyai Hak Pakai Atas

Tanah Negara sehingga dapat memberikan Hak Tanggungan adalah orang

perorangan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Perdata Indonesia.

b) Pihak Pemegang/Penerima Hak Tanggungan

Yang dimaksud dengan pihak pemegang Hak Tanggungan adalah

orangorang atau Badan Hukum yang memegang Hak Jaminan atas

piutangnya atau kreditor dalam perjanjian pokok. Maka pemegang Hak

Tanggungan adalah orang perorangan atau Badan Hukum yang

berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dalam Pasal 9 UUHT

menyebutkan bahwa subyek hukum yang menjadi pihak yang berpiutang


44

dapat berupa lembaga keuangan bank, lembaga keuangan non bank, badan

hukum lainnya atau perorangan. 41

Menurut AP Parlindungan, oleh karena kreditor tersebut tidak

mungkin mengaku obyek hak tanggungan tersebut, maka bleli saja bank atau

lembaga keuangan asing alau lembaga keuangan non bank asing dan

perorangan lain sebagai kreditor/ Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada

persyaratan khusus bagi pemegang/penerima hak tanggungan, bisa orang

asing dan bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di Indonesia

maupun di luar negeri. Berarti sebagai pihak yang memegang Hak

Tanggungan dapat siapa saja, dalam arti dapat siapa saja sebagai subyek

hukum untuk menjadi pemegang Hak Tanggungan karena kedudukannya

sebagai pihak yang berpiutang atau kreditor. Baik itu Warga Negara

Indonesia atau Warga Negara Asing ataupun Badan Hukum Indonesia

maupun Badan Hukum Asing asalkan ia adalah pihak yang berpiutang atau

kreditor.42

3. Obyek Hak Tanggungan Atas Tanah

Berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan, obyek yang dapat

dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-

benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-undang Hak

Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak

Tanggungan adalah sebagai berikut:43

41
Dedy Pramono, Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku Pejabat Umum
menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 12 Nomor 3, Desember2015,
hlm. 213
42
Ibid Hlm 143
43
Ibid Hlm 146
45

2. Hak milik

3. Hak Guna Usaha

4. Hak Guna Bangunan

5. Hak Pakai Alas Tanah Negara, yang menurut sifatnya dapat

dipindahtangankan

6. Hak-hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah

ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut,

7. dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini

pembebannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan yang bersangkutan.

Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan kesatuan

dengan tanah tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak alas tanah,

pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapal

dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Peberian Hak Tanggungan

yang bersangkutan oleh pemilik atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya

dengan akta otentik. Menurut penjelasan Pasal 4 UUHT, ada 2 (dua) unsur

mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah:

a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar

umum, dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan

kedudukan diutamakan (preferen) yang diberikan kepada kreditor

pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada

Catalan menganai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat

hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat

mengetahuinya (asas publisitas).


46

b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga

apabila diperlukan harus dapat segera direalisasikan untuk membayar

utang yang dijamin pelunasannya.

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

ditegaskan bahwa terhadap tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan dan

tanahtanah yang digunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci

lainnya, walaupun memenuhi kedua persyaratan tersebut, karena kekhususan

sifat dan tujuan penggunaannya, tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tersebut juga dijelaskan bahwa Hak Pakai Atas Tanah Negara yang diberikan

kepada orang perorangan dan Badan-badan Hukum Perdata, karena memeuni

kedua syarat tersebut di atas, dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.

Hak Milik alas lanah adalah turun-lemurun, terkuat dan lerpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6

dan Pasal 20 ayat (1) UUPA. Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang yang

dibebani Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 25 UUPA.

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

Iangsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal

29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau petemakan sebagaimana diatur

Pasal 28 ayat (1) UUPA. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 33 UUPA.

c. Obyek Hak Tanggungan

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang dapat menjadi pemberi

hak tanggungan atas tanah Hak Milik adalah perseorangan Warga Negara
47

Indonesia dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Yang dapat

mempunyai Hak Guna Bangunan menurut UUPA adalah Warga Negara

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ketentuan ini diatur Pasal 46 ayat (1)

UUPA. Pemberian Hak Tanggungan dari Hak Guna Bangunan adalah Warga

Negara Indnesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

dan berkedudukan di Indnesia. Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha

menurut UUP adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan

menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hal ini diatur dalam

Pasal 30 UUPA. Dengan demikian yang dapat memberikan Hak Tanggungan dari

Hak Guna Usaha adalah Waga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu

yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah Hak Pakai berdasarkan

Pada Pasal 4 ayat (2) UUHT. Ini adalah terobosan yang dilakukan UUHT untuk

mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat. Yang dapat mempunyai

Hak Pakai Atas Tanah Negara menurut Pasal 42 UUPA adalah Warga Negara

Indonesia, Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

d. Kekuatan Hukum Akta Hak Tanggungan Yang Dibuat Oleh PPAT

Hak Tanggungan adalah perjanjian ikutan/accesoir dari suatu perjanjian

pokok. Perjanjian pokoknya adalah suatu perjanjian hutang piutanc atau kredit.

Hutang piutangnya dapat sudah direalisir atau mungkin belum direalisir. Dengan

demikian maka suatu perjanjian krredit yang telah disepakati dan

ditandatangani walaupun kreditnya belum cair dapat menjadi perjanjian pokok

sualu Hak Tanggungan. Artinya Hakt Tanggungan sudah dapat dibebankan

berdasarkan pada perjanjian kredit tersebut.


48

Pembebanan Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Hak

Tanggungan yang di dalam ketentuan UUHT disebut dengan Akta Pemberian

Hak Tanggungan (APHT) yang selanjutnya didaftarkan di Kanlor Pertanahan.

Dimana dalam Akta Hak Tanggungan tersebut dengan jelas dinyatakan

perjanjian pokok tersebut Di dalam penjelasan umum UUHT angka 1 pada alinea

kedua disebutkan bahwa: "mengingat pentingnya kedudukan dan perkreditan

tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika peberian dan

penerimaaan kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui

suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat pula memberikan kepastian

hukum bagi pihak yang berkepenlingan.

Selanjulnya di dalam penjelasan umum angka 3 sebagaimana telah disebutkan

sebeiumnya dinyatakan bahwa: "Ciri-ciri dari lembaga hak jaminan atas tanah

yang kuat adalah:

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya

b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu

berada

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengiuti pihak

ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepenlingan

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Dengan adanya perlindungan hukum terhadap debitor, kreditor dan

pihak ketiga akan memberikan suatu kekuatan hukum yang dapat menjadi suatu
49

patokan atau pedoman bagi pihak-pihak tersebut dala membebankan Hak

Tanggungan diantara mereka

e. Kedudukan Hukum Akta Hak Tanggungan Yang Dibuat Oleh PPAT

Perjanjian yang merupakan perikatan antara kreditor dengan debitor

atau pihak ketiga yang isinya menjamin pelunasan utang yang timbul dari

pemberian kredit, iazimnya disebut sebagai "Perjanjian Jaminan Kredit". Sifat

perjanjian ini lazim dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir,

yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok,

mengabdi pada perjanjian pokok. Suatu perjanjian jaminan tida akan ada apabila

tidak ada perjanjian pokok atau dengan kata lain perjanjian jaminan itu selalu

menyertai perjanjian pokok. Tetapi sebailknya perjanjian pokok tida selalu

menimbulkanperjanjian jaminan.

Dengan demikian perjanjian jaminan kredit ini dibuat atau ada,

karena adanya perjanjian yang mendahului, yaitu perjanjian kredit, Sesuai

dengan tujuannya, perjanjian jamiman kredit memang dibuat untuk menjamin

kewajiban dari debitor yang ada dalam perjanjian kredit, yailu melunasi kredit

tersebut. Jadi lanpa adanya perjanjian kredil. perjanjian jaminan kredit tidak

akan ada. Dalam ilmu hukum, kedudukan dari perjanjian kredil adalah

merupakan perjanjian pokok (principal). Sedangkan kedudukan dari perjanjian

jaminan kredit tersebut adalah sebagai perjanjian ikutan atau tambahan

(accessoir).

Konsekuansi hukumnya adalah apabila suatu perjanjian kredil telah

dinyatakan tidak berlaku atau gugur, akibatnya perjanjian jaminan kredit

sebagai perjanjian ikutan secara otomalis menjadi gugur. Jadi kedudukan


50

perjanjian jaminan kredit sebagai perjanjian yang accessoir ini akan menjamin

kuatnya lembaga jaminan tersebutbagi keamanan pemberian kredit leh

kreditor.

Hak tanggungan dapat dibebankan lebih dari satu kali terhadap

obyek yang sama untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang dan untuk

beberapa kreditor. Hal ini menimbulkan adanya tingkatan-tingkatan bagi

pemegang Hak Tanggungan. Peringkat Hak Tanggungan tersebut ditentukan

menurut tanggal pendaflarannya pada Kantor Pertanahan. Jasa penyaluran

kredit melalui bank cukup diminati oleh para pelaku '"konomi dalam menunjang

laju usahanya. Untuk mengamankan dana yang disalurkan melalui perjanjian

kredit, diperlukan perjanjian tambahan, yaitu berupa perjanjian jaminan.

Meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang disempumakan

dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan

bahwa jaminan bukan merupakan syarat mutlak dalam prolehan kredil, namun

pada hakekatnya pihak Bank sering meminta jaminan. Praktek mcnunjukkan

bahwa para kreditor lebih mcnyukai jaminan yang bersifat kebendaan berupa

tanah, karena lebih memberikan rasa aman.

Sehubungan dengan hal tersebut Undang-undang Nomor 5 Tahun

I960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa Hak

Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan

dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 25, 33, dan 39 UUPA). Untuk

pengaturan lebih lanjut mengenai Hak Tanggungan diamanatkan melalui Pasal

51 UUPA.
51

Selanjutnya Pasal 57 UUPA menentukan bahwa seiama undang-

undang yang dimaksud oleh Pasal 51 belum terbentuk, maka diberlakukan

ketentuan-ketentuan hipotek dan creditverband sebagai pelengkapnya. Dengan

adanya ketentuan dalam pasal peralihan tersebut, sejak mulai berlakunya UUPA

kecuali mengenai obyeknya yang sudah ditunjuk sendiri oleh UUPA, terhadap

Hak Tanggungan diberlakukan ketentuan-ketentuan hipotek dan creditverband.

Diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan pada tanggal 9 April 1996

sebagai pelaksanaan amanat UUPA, merupakan upaya penyesuaian di bidang

konscpsi dan administrasi hak-hak atas lanah, khususnya di bidang pengamanan

penyediaan dana melalui pemberian kredil. Hak Tanggungan pada dasarnya

adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun

kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan

hasil karya yang merupakan satu kesatuan sengan tanah yang dijadikan jaminan.

Searah dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum pertanahan

kita, maka benda-benda yang terletak di atas tanah yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah, bukan merupakan bagian dari tanah. Oleh karena itu,

setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah, tidak dengan sendirinya

meliputi benda-benda tersebut.

Hal ini terlihat kontradiktif bila dibandingkan dengan bunyi judul

Undangundang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah yang mencantumkan kata-

kata

"Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah". Berdasarkan

rumusan judul tersebut terkesan bahwa UUHT telah meninggalkan hukum adat

sebagai dasar hukum tanah nasional dan menggantinya dengan asas perlekatan.
52

Idealnya jaminan kebendaan bagi tanah harus berada dalam kerangka dan dasar

pemikiran UUPA, yaitu hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal.

Undangundang Hak Tanggungan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA

secara substansial banyak mengambil alih ketentuan hipotek dan creditverband

yang diatur dalam Buku II BW. Kenyataan tentang adanya inkonsistensi asas

tersebut berimplikasi pada kepastian hukum, terutama peran Hak Tanggungan

sebagai pengaman dalam perjanjian kredit bank.

f. Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan

Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap. Eksekusi dimulai dengan

teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak

tanggungan. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani

Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka

hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah

tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban,

kepada pembeli lelang. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah

tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat

(11) HIR. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk

menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan

Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui

pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak

tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak

tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama

telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11
53

ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila

ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk

membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang

bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap

membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli

dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut

dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap

harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan

keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.44

44
https://www.pn-kabanjahe.go.id/2015-06-06-01-33-28/eksekusi-hak-tanggungan.html diakses
pada 13 November 2021
54

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak

Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang

Hak Tanggungan.

Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mengatur

mengenai pengertian akta otentik yaitu : “Suatu akta otentik, adalah suatu akta

yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau

dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana

akta itu dibuatnya”. Berkaitan tentang pengertian akta otentik tersebut

dijelaskan lebih lanjut oleh Pasal 1870 Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata bahwa suatu akta otentik memberikan kepada para pihak yang

membuatnya suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.

Jika sesuatu akta hendak memperoleh status otentisiteit, hal mana terdapat

pada akta notaris, maka menurut pasal 1868 KUHPerdata45 Keotentikan Akta

Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam UUHT antara lain dalam Pasal 10

ayat (2) berbunyi: "Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan

Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT..."

Dalam ketentuan Pasal I angka 5 disebutkan: "Akta Pemberian Hak

Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan

45
Ibid.Hlm 62
55

kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya".

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4: "Pejabat Pembuat Akta Tanah yang

selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk

membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah

dan akia pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut perturan

perundang-undangan yang berlaku". Menurut ketentuan Pasal I angka 4 dan 5

tersebut bentuk akta hak tanggungan yang ditentukan undang-undang adalah

berbentuk akta PPAT. Di dalam ketentuan Pasal 17 UUHT disebutkan bahwa:

bentuk dari Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku tanah hak

tanggungan dan hal Iain-Iain yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan

pendaftaran hak tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan

peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Adapun

kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 17 lercbul ditetapkan Peraturan

Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 tentang Benluk Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan,

Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak tanggungan

Hukum pembuktian diperlukan demi terciptanya kepastian hukum

disamping itu hukum pembuktian juga diperlukan untuk mencegah timbulnya

perbuatan main hakim sendiri diantara pihak yang saling berperkara,

khususnya dalam mempertahankan kebenaran atas hak yang dimilikinya


56

dipengadilan. Oleh sebab itu pembuktian ini merupakan bagian yang sangat

penting dalam pemeriksaan perkara dipengadilan.46

Pembuktian dalam perkara perdata bertujuan untuk tercapainya

kebenaran formal lai halnya dengan pembuktian dalam perkara pidana adalah

dengan tercapainya kebenaran materiil. Pembuktian perkara perdata mengenal

alat – alat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata,Tulisan yang dibuat secara khusus yang dibuat

sedemikian rupa agar menjadi suatu alat bukti yang sah dan akurat disebut

sebagai akta (acte). Akta adalah tulisan khusus yang dibuat agar menjadi suatu

alat bukti tertulis. A.Pitlo mengartikan akta itu sebagai surat – surat yang

ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan

oleh orang, untuk kepentingan siapa surat itu dibuat.47 Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) pertama kali terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1961 perihal

Pendaftaran Tanah disebut “Penjabat”. Pada Pasal 19 regulasi ini ditentukan,

tiap kesepakatan yang memiliki maksud mengubah hak tanah, memberi hak

tanah baru, malkukan pegadaian tanah atau melakukan pinjaman uang nemun

hak tanah menjadi tanggungan, wajib memiliki bukti berupa akta yang

pembuatannya oleh serta di depan penjabat yang diberi tanggungjawab dari

Menteri Agraria.48

46
Dedy Pramono, Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku Pejabat Umum
menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 12 Nomor 3, Desember2015,
hlm. 250.
47
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 52
48
Ngadino. (2019). Ketentuan Umum Tata Cara Pembuatan dan Pengisian Akta PPAT. UPT
Penerbitan Universitas PGRI Semarang Press.
57

Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998 perihal Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) yaitu administratur diamanatkan dalam pembuatan akta asli perihal

kegiatan hukum tentang hak tanah atau hak milik dari rumah susun. Boedi

Harsono dalam bukunya menjelaskan maksud dari pejabat umum yaitu orang

yang dilantik dari Lembaga yang berkuasa, bertugan untuk melakukan

pelayanan masyarakat pada suatu sektor atau aktivitas.49

Pasal 2 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 menjelaskan tugas utama dari

PPAT yaitu menjalankan secara parsial aktivitas pendaftaran tanah melalui

pembuatan akta yang menjadi bukti sudah melalui proses suatu hukum perihal

hak dari tanah atau Hak Milik Dari Rumah Susun, setelah itu akan jadi acuan

untuk melakukan listing untuk mengubah data listing tanah yang disebabkan

proses hukum itu.Aktivitas hukum sebagai yang dibebankan berarti, ada pada

Pasal 2 ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998 terdiri dari penjualan pembelian,

pertukaran, pemberian, pendapatan pada perusahaan (inbreng), dibaginya hak

seluruhnya, diberikannya hak untuk gedung atau hak penggunaan dari tanah

hak kepunyaan, diberikannya hak jaminan serta wewenang memberikan hak

jaminan.Selaras tugas PPAT yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan

tugas dari PPAT antara lain mengerjakan akta dari hak jaminan. Pasal 1 angka

1 UU No. 4 Tahun 1996 perihal Hak Tanggungan Dari Tanah Beserta Benda-

Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyebutkan hak jaminan merupakan

hak tanggungan yang diberikan ke hak dari tanah seperti pada UU No. 5

49
Harsono, B. (2003). Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
58

Tahun 1960 perihal Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, barang lain yang

menjadi satu dengan tanah atau bukan, melunasi suatu peminjaman,

pemberian kedudukan yang paling utama pada kreditor tertentu pada kreditor

lain. Secara umum hak tanggungan memiliki unsur-unsur pokok antara lain :50

a. Memberi kewenangan pada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya;

b. Merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang;

c. Utang yang dijaminkan merupakan suatu utang tertentu;

d. Yang menjadi objek yaitu hak dari tanah yang cocok;

e. Mampu diberikan dari tanah maupun pada barang lain pada tanah yang jadi

satu dengan tanah yang dijaminkan .

Sebagaimana yang tercantum pada UU No. 4 Tahun 1996

menerangkan pemberian hak jaminan dilaksanakan lewat dua mekanisme

yang terdiri dari membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dari

PPAT, setelah itu dilanjut mendaftarkan Hak Jaminan yang dilakukan Kantor

Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan hal yang krusial

dikarenakan hal tersebut adalah bukti adanya hak jaminan yang diberikan.51

Setelah APHT dibuat oleh PPAT, maka dalam waktu 7 hari kerja

PPAT harus mendaftarkan APHT yang dilengkapi dengan dokumen

pendukung lain pada Kantor Badan Pertanahan Nasional daerah tersebut yang

merupakan organisasi pengusahaan negara yang kuasanya mengerjakan tugas

yang berhubungan dengan pertanahan di sektor pemerintahan (Sutedi, 2012).

50
Anggraeni, S. Z., & Marwanto, M. (2020). Kewenangan dan Tanggung Jawab Hukum Pejabat
Pembuat Akta Tanah Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Acta
Comitas.
51
Nufus, N. H. (2010). Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Tanah Yang Belum
Bersertifikat Universitas Diponegoro.
59

Seperti pada Pasal 40 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997 perihal Pendaftaran Tanah

berisi, paling lambat 7 hari kerja dari tanggal disahkannya akta yang

berhubungan, PPAT harus memberikan akta yang telah dibuat beserta

dokumen yang berhubungan pada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

Saat ini setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria serta Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2020 perihal

Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik, pelayanan hak

jaminan tidak lagi berjalan manual dengan mendatangi Kantor Pertanahan

setempat melainkan pendaftarannya lewat perangkat elektronik. Pasal 1 angka

7 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020 menjelaskan arti pemberian layanan hak

jaminan saling berhubungan dengan cara elektronik, kemudian dikatakan

menjadi Pelayanan HT-el merupakan tahapan pemberian layanan hak jaminan

untuk memelihara data listing tanah yang diadakan lewat perangkat elektronik

yang saling terhubung.52

Tugas PPAT pada Pelayanan HT-el antara lain melakukan

pemberian Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) pada Kantor

Pertanahan lewat sistem HT-el yang diadakan Kementerian. Tahap

penyampaian APHT yang dikerjakan PPAT antara lain:

1) PPAT melakukan login di website yang sudah terintegrasi yang disediakan

oleh Kementerian ATR/BPN dengan memasukan username dan password

sebagaimana yang telah didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat;

52
Wawancara dengan ibu Catur Novianti, SH sebagai Notaris di Kabupaten Pekalongan
60

2) PPAT melengkapi data sebagaimana tercantum pada Akta Pembebanan

APHT, Sertifikat Hak Atas Tanah dan dokumen lain yang diperlukan

meliputi Kartu Tanda Penduduk (KTP) debitur, Kartu Keluarga (KK)

debitur, Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemberi persetujuan, Kartu Tanda

Penduduk (KTP) Saksi, PBB, Salinan Perjanjian Kredit dan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) kemudian mengunggah APHT,

Sertifikat Hak Atas Tanah serta dokumen lain sebagimana telah disebutkan;

3) PPAT mengerjakan serta menandatangani surat yang menyatkaan

tanggungjawab keaslian dokumen elektronik sebagaimana yang telah

diunggah dan kemudian mengunggah surat pernyataan tersebut;

4) PPAT mengunggah Surat Pengantar Akta kemudian menandatangani dan

cap jabatan Surat Pengantar Akta tersebut, lalu mengunggahnya kembali.

Sebelum melakukan penyampaian APHT sebagaimana tercantum pada PP

No. 24 Tahun 1997 PPAT mengecek Sertifikat Hak Atas Tanah dengan

Buku Tanah yang terdapat pada Kantor Pertanahan.

Berdasarkan uraian diatas setelah berlakunya PMATR/BPN No. 5

Tahun 2020 pelayanan pendaftaran HT tidak lagi dilaksanakan secara

konvensional melainkan secara elektronik melalui sistem elektronik

sebagaimana yang telah ditentukan dalam PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020.

Selaras dengan hal tersebut mengakibatkan kembalinya fungsi PPAT dalam

kegiatan pendaftaran tanah yang memiliki tugas sebatas menyampaikan akta

yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan dalam hal ini PPAT hanya

memiliki kewajiban untuk menyampaikan APHT yang dibuatnya melalui


61

sistem HT-el dengan menjamin kebenaran data yang disampaikannya melalui

sistem HT-el. 53

B. Kekuatan hukum Akta Hak Tanggungan oleh PPAT apabila dalam

pembuatannya ada kesalahan atau kelalaian Informasi dan prosedur

yang dilakukan oleh PPAT.

Pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian diubah

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 bahwa yang dimaksud dengan

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat

umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun”. Keberadaan Jabatan PPAT dapat ditemukan di

pasal 26 ayat (1) UUPA dan Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa jual

beli, tukar menukar, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang menginstruksikan kepada

pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diganti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. UUPA memang tidak menyebut

53
Wawancara dengan ibu Catur Novianti, SH sebagai Notaris di Kabupaten Pekalongan
62

secara tegas tentang Jabatan PPAT, namun penyebutan tentang adanya pejabat

yang akan bertindak untuk membuat akta terhadap perbuatan hukum tertentu

mengenai tanah, dinyatakan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10

tahun 1961, sebagai peraturan pelaksanaan UUPA. Dari semua Peraturan

Perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum. Namun dalam peraturan

perundang-undangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan

pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang yang diangkat oleh

instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang

atau kegiatan tertentu.54

Berdasarkan pada ketentuan Undang-undang Hak Tanggungan

tersebut, maka dapat diketahui bahwa hak tanggungan adalah perjanjian

accesoir, bersifat droit de suite, mempunyai kedudukan prefrensi dan hanya

untuk pelunasan saja. Terlihat ciri-ciri tersebut di atas di dalamnya

mengandung sifat-sifat utama dari hak kebendaan yaitu dapat dipertahankan

terhadap siapa pun juga, selalu mengikuti bendanya dan juga berlakunya asas

spesialitas dan publisitas.

Undang-undang Hak Tanggungan berlaku juga terhadap pembebasan

hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik alas Satuan Rumah Susun,

lermasuk yang didirikan di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. Scsuai

Pasal 12 dan Pasal 13 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS)

54
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 486.
63

yang berkenaan dengan penjaminan rumsah susun beserta lanah tempal

bangunan itu sendiri juga harus tunduk pada peraturan undang-undang Hak

Tanggungan tersebut, sehingga penjaminan dengan fiducia tidak berlaku lagi.

Di samping itu dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan ini,

dinyatakan pula bahwa ketentuan yang mengatur mengenai creditverband

serta ketentuan yang mengatur mengenai hipotik yang berlaku seiama ini,

sepanjang yang berhubungan dengan tanah sudah tidak berlaku lagi.

Pembebanan rumah beserta lanag yang haknya dimiliki oleh pihak

yang sama dengan adanya Undang-undang Hak Tanggungan dibebani dengan

Hak Tanggungan. Dengan demikian unluk jaminan terhadap hak alas tanah,

berikut atau tidak bcrikut benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan

tanahnya berlaku Hak Tanggungan. Sedangkan fiducia dan hipolik dapat

diberldkukan untuk penjaminan bukan tanah. Dcngau adanya Undang-undang

Hak Tanggungan, satu-satunya lembaga jaminan atas tanah yang berlaku

adalah Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-undang Hak Tanggungan

(UU No. 4 Tahun 1996).55

Dalam hak tanggungan juga terdapat subyek hukum yang menjadi hak

tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberian hak tanggungan. Yang

dimaksud dengan subyek hak tanggungan ini adalah pihak-pihak yang terlibat

dalam perjanjian pembenanan hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak

tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu:

55
Wawancara dengan ibu Catur Novianti, SH sebagai Notaris di Kabupaten Pekalongan
64

a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjamin obyek hak

tanggungan

b. Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak

tanggungan sebaga jaminan dari piutang yang diberikannya.

Yang dapat menjadi subyek hak tanggungan selain warga negara

Indonesia, dengan ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai salah

satu obyek hak tanggungan, bagi warga negara asing juga dimungkinkan

untuk dapat menjadi subyek hak tanggungan, apabila memenuhi syarat. Jika

hak pakai itu oleh warga negara asing, dimana hak pakai itu menurut Undang-

undang Hak Tanggungan juga dapat menjadi obyek Hak Tanggungan, ada

persyaratan untuk menjadi subyek Hak Pakai yang harus dipenuhi. Demikian

juga kalau warga negara asing tersebut mengajukan permohonan kredit

dengan hak pakai atas tanah negara sebagai jaminan, harus memenuhi

persyaratan antara lain:56

4) Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu

5) Mempunyai Usaha di Indonesia

6) Kredit dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara

Republik Indonesia.

Dalam kaitannya dengan kedudukan selaku kreditor, Undang-undang

Hak Tanggungan mcnegaskan bahwa seorang warga negara asing maupun

badan hukum asing juga dapat menjadi pemegang hak tanggungan karena hak

tanggungan tidak ada kaitannya dengan pemilikan obyek secara serta merta.

56
Ibid.Hlm 66
65

Undang-undang Hak Tanggungan memuat ketentuan mengenai subyek Hak

Tanggungan dalam Pasal 6 dan Pasal 9, yaitu:

a) Pihak Pemberi Hak Tanggungan

Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (I) UUHT menyebutkan bahwa

pemberi Hak Tanggungan adalah: "Orang perorangan atau badan hukum

yang mempunyaikewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

obyek hak tanggungan yang bersangkutan". Selanjutnya di dalam ketentuan

ayat (2) dinyatakan bahwa "Kewenangan unluk melakukan perbuatan

hukum terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak

tanggungan dilakukan". Ini berarti bahwa hak tanggungan hanya dapal

diletakan oleh orang yang berkuasa memindahtangankan benda yang

dibebani. Menurut UUPA mengenai siapa yang boleh memberikan hak

tanggungan ini dibalasi, ini disebabkan karena adanya syaral-syaral bagi

subyek Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Menurut UUPA yang dapat mempunyai Hak Milik adalah Warga Negara

Indonesia dan Badan Hukum yang ditetapkan pemerintah berdasarkan

ketentuan PP No. 38 Tahun 1963, yaitu:

5. Bank-bank yang didirikan pemerintah

6. Perkumpulan-perkumpulan koerasi pertanian yang didirikan

berdasarkan UUNo. 79 tahun 1958

7. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri

setelah mendengar Menteri Agama


66

8. Badan-badan social yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Agraria

setelah mendengar Menteri Sosial.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang dapat menjadi pemberi

hak tanggungan atas tanah Hak Milik adalah perseorangan Warga Negara

Indonesia dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Yang dapat

mempunyai Hak Guna Bangunan menurut UUPA adalah Warga Negara

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ketentuan ini diatur Pasal 46

ayat (1) UUPA. Pemberian Hak Tanggungan dari Hak Guna Bangunan

adalah Warga Negara Indnesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indnesia. Yang dapat mempunyai

Hak Guna Usaha menurut UUP adalah Warga Negara Indonesia dan

Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 30 UUPA. Dengan

demikian yang dapat memberikan Hak Tanggungan dari Hak Guna Usaha

adalah Waga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu yang dapat

dibebani dengan Hak Tanggungan adalah Hak Pakai berdasarkan Pada

Pasal 4 ayat (2) UUHT. Ini adalah terobosan yang dilakukan UUHT untuk

mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat. Yang dapat

mempunyai Hak Pakai Atas Tanah Negara menurut Pasal 42 UUPA

adalah Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Asing yang mempunyai

perwakilan di Indonesia. Iga Gangga Santi Dewi dalam bukunya


67

menyebutkan lembaga jaminan hak atas tanah Hak Tanggungan memiliki

kriteria antara lain:57

1. Droit de preferent berarti memberi kedudukan atau mendahului

pemegang, seperti pada Pasal 1 angka 1 serta Pasal 20 ayat (1) UUHT.

Kreditur preferent menjadi pemilik Hak Tanggungan memiliki hak

menjual lewat lelang umum tanah yang menjadi tanggungan namun

haknya mendulukan kreditur lain;

2. Droit de suite berarti menjadi pengikut objek yang jaminannya di tangan

objek yang ada, sesuai dengan Pasal 7 UUHT. Kriteria ini adalah jaminan

istimewa untuk kepentingan pemilik Hak Tanggungan;

3. Pemenuhan asas spesialitas serta publisitas, mengakibatkan mempu

terikatnya orang ketiga serta diberikannya dengan pasti hukum oleh pihak

yang memiliki kepentingan;

4. Mudah serta pasti dilaksanakan eksekusinya. Jika debitur

wanprestasi/cidera janji, langsung dilaksanakan lelang objek yang menjadi

tanggungan Hak Tanggungan dengan tidah harus dilakukannya gugatan di

pengadilan.

Berdasarkan Pasal 7 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020 yang

merupakan pengguna sistem HTel termasuk kreditor serta PPAT atau pihak

lain yang dipilih Kementerian. Kreditor yaitu perorangan atau badan hukum

57
Santi Dewi, I. G., & Ardani, M. N. (2020). Kebijakan Penjaminan Tanah Melalui Hak
Tanggungan di Indonesia (Studi Penjaminan Hak Tanggungan Elektronik di Kabupaten Badung
Provinsi Bali). Law, Development and Justice Review
68

seperti pada peraturan perundang-undangan. Awalnya ketika belum

dilakukannya tahap penjaminan HT-el dilaksanakan, pemakai wajib listing di

sistem HT-el seperti pada Pasal 8 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020.

Sistem HT-el sebagaimana disebutkan merupakan perangkat

elektronik saling terhubung yang dibuat oleh anggota teknis yang memiliki

tugas di sektor data serta informasi guna proses melakukan layanan HT-el

seperti pada Pasal 1 angka 8 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020. Sistem

elektronik seperti pada Pasal 1 angka 6 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020

merupakan sistem serta tahapan elektronik yang memiliki fungsinya

melakukan persiapan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,

penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman serta/atau penyebaran

informasi elektronik. Jenis pelayanan HT-el yang mampu diberikan lewat

perangkat HT-el berdasarkan Pasal 6 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020, antara

lain:58

a. Mendaftar hak tanggungan;

b. Mengalihkan hak tanggungan;

c. Mengubah nama kreditor;

d. Menghapus hak tanggungan; serta

e. Memperbaiki data.

Pada proses penjaminan HT-el, PPAT saat ini menyampaikan APHT

serta berkas lainnya yang berkaitan dengan penjaminan Hak Tanggungan

melalui Kantor Pertanahan secara online. Seperti yang ada pada PMATR/BPN

58
Wawancara dengan ibu Catur Novianti, SH sebagai Notaris di Kabupaten Pekalongan
69

No. 5 Tahun 2020, yang mampu melakukan pendaftaran Hak Tanggungan di

Kantor Pertanahan yaitu kreditor. Didasarkan pada hal tersebut sesuai dengan

ketentuan PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020 maka PPAT tidak dapat

mengerjakan listing Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan hal

tersebut dapat diartikan dalam hal ini tugas pokok PPAT yaitu membuat

APHT serta memberikan akta tersebut pada Kantor Pertanahan guna

mendaftar perawatan data. Pada jaminan HT-el PPAT harus mengunggah file

secara online APHT beserta berkas kelengkapan lainnya terakhir 7 hari

sesudah pengesahan APHT kepada Kantor Pertanahan. Dalam rangka

penjaminan Hak Tanggungan secara elektronik, PPAT bebas dari kewajiban

mewakili pemohon (kreditor) untuk melakukan listing Hak Tanggungan pada

Kantor Pertanahan. Agar pengembalian kegunaan serta kekuasaan PPAT

menjadi administratur umum yang memiliki tugas pokok menciptakan akta

tentang aktivitas hukum dengan objek tanah, tidak menjalankan tugas kode

etik PPAT diluar pekerjaan utamanya.59

Selaras dengan hal yang telah diuraikan sebelumnya pendaftaran

HT-el dilakukan oleh kreditor. Sehingga dalam hal ini apabila terdapat

kesalahan dalam sertifikat HT-el maka bukan merupakan tanggungjawab

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sebagaimana dijelaskan di teori

tanggungjawab hukum suatu individu memiliki tenggungjawab secara hukum

dari aktivitas tertentu atau membawa tanggungjawab hukum berarti orang

tersebut memiliki tanggungjawab atas suatu hukuman apabila aktivitasnya


59
Santi Dewi, I. G., & Ardani, M. N. (2020). Kebijakan Penjaminan Tanah Melalui Hak
Tanggungan di Indonesia (Studi Penjaminan Hak Tanggungan Elektronik di Kabupaten Badung
Provinsi Bali). Law, Development and Justice Review
70

tidak sesuai dengan regulasi yang ada . Pada hal ini pendaftaran HT-el bukan

merupakan tanggungjawab dari PPAT sehingga PPAT tidak memiliki

tanggungjawab atas kesalahan yang ada pada sertifikat Hak Tanggungan

Elektronik.60

Pasal 19 PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020 menjelaskan jika adanya

salah pada pengajuan layanan HT-el yang baru disadari sesudah sertifikat HT-

el dibuat, pemilik sertifikat HT-el dalam hal ini adalah kreditor dapat

mengajukan perbaikan lewat perangkat HT-el terakhir 30 (tiga puluh) hari dari

tanggal sertifikat HT-el terbit. Sehingga berdasarkan uraian diatas apabila

terdapat kesalahan pada sertifikat HT-el pemilik HT-el tidak dapat meminta

pertanggungjawaban kepada PPAT. Karena berdasarkan PMATR/BPN No. 5

Tahun 2020 PPAT hanya bertugas untuk menyampaikan APHT melalui

sistem HT-el sedangkan yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan Hak

Tanggungan adalah pemohon (kreditor). Oleh karena itu dalam hal ini yang

bertanggung jawab dan yang dapat mengajukan permohonan perbaikan atas

kesalahan yang terdapat dalam sertifikat HT-el adalah pemohon (kreditor)

yang juga merupakan pemilik sertifikat HT-el, PPAT tidak dapat mengajukan

perbaikan atas kesalahan sertifikat HT-el karena hal tersebut bukan

merupakan kewenangannya.61

60
Kelsen, H. (2006). Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Raja Grafindo Persada.
61
Wawancara dengan ibu Catur Novianti, SH sebagai Notaris di Kabupaten Pekalongan
71

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Hak

Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan yaitu Sebagaimana yang tercantum pada UU No. 4 Tahun

1996 menerangkan pemberian hak jaminan dilaksanakan lewat dua

mekanisme yang terdiri dari membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan

(APHT) dari PPAT, setelah itu dilanjut mendaftarkan Hak Jaminan yang

dilakukan Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan hal

yang krusial dikarenakan hal tersebut adalah bukti adanya hak jaminan

yang diberikan.

2. Kekuatan hukum Akta Hak Tanggungan oleh PPAT apabila dalam

pembuatannya ada kesalahan atau kelalaian Informasi dan prosedur yang

dilakukan oleh PPAT yaitu alam Pendaftaran Hak Tanggungan dengan

elektronik seperti pada PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020 tugas PPAT

adalah membuat APHT yang kemudian menyampaikan akta tersebut

kedalam sistem HT-el terakhir 7 hari kerja sesudah pengesahan akta.

Apabila terdapat kesalahan dalam sertifkat HT-el bukan merupakan

tanggung jawab PPAT karena dalam PMATR/BPN No. 5 Tahun 2020 yang

melakukan pendaftaran HT-el adalah pemohon dalam hal ini merupakan

kreditur. Sehingga hal tersebut menjadi tanggung jawab kreditur atas


72

kelalaiannya saat menginput data dalam sistem HT- el selaku pihak yang

melakukan pendaftaran HT-el.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, maka dapat

disarankan sebagai berikut:

1. Sangat diperlukan suatu undang-undang yang mengatur mengenai jabatan

PPAT seperti halnya Undang-Undang Jabatan Notaris, sehingga kepastian

hukum mengenai akta PPAT menjadi lebih jelas keotentikannya.

2. Apabila terjadi kekosongan blangko akta, PPAT tidak perlu menggunakan

fotokopi blangko lagi karena akan membuat kepastian hukum akta tersebut

menjadi semakin lemah. PPAT dapat menyalin atau mengetik ulang isi

contoh akta PPAT sebelumnya sebagai salah satu solusi pada saat terjadi

kekosongan blangko akta karena pada dasarnya sebagai pejabat umum

PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik sendiri seperti

halnya notaris.

3. Dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai jabatan PPAT

tersebut diharapkan akan memperjelas mengenai bentuk akta yang dibuat

oleh PPAT. Sehingga tidak perlu lagi menggunakan blangko akta yang

sampai sekarang masih sering menimbulkan perbedaan pendapat

mengenai keotentikannya.
73

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Bandung: Penerbit


Mandar Maju, 1999),
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta, 1986,
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung,2000,
Anggraeni, S. Z., & Marwanto, M. (2020). Kewenangan dan Tanggung
Jawab Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelaksanaan
Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Acta Comitas.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2003),
Dedy Pramono, Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku
Pejabat Umum menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia, Lex
Jurnalica, Volume 12 Nomor 3, Desember2015,
dewi tantini wardaningsih,2020, tanggungjawab ppat dalam pembuatan akta
pembebanan hak tanggungan (apht) dengan jaminan milik anak di
bawah umur, program studi kenotariatan program magister fakultas
hukum universitas islam indonesia
Efendi Perangin,1991, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit,
Rajawali Pers.Jakarta,
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia; Kumpulan
Tulisan Tentang Notaris dan PPAT (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2009),
Harsono, B. (2003). Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
Jayadi Setiabudi. 2015. Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta
Perizinannya. Yogyakarta. Penerbit Buku Pintar
K. Wantjik Saleh,1985, Hak Anda Alas Tanah, Ghalia indonesia, Jakarta,
Kelsen, H. (2006). Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Raja Grafindo
Persada.
Lilian Tedjosaputro, Eika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana,
Bigraf Publishing, Yogyakarta. 1995, Martiman Prodjohamidjojo,
Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, Pradnya
Paramila, .lakarta, 1997,
Maman, Rahman, 1999, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, Semarang
: IKIP Semarang Press.
Ngadino. (2019). Ketentuan Umum Tata Cara Pem.buatan dan Pengisian
Akta PPAT. Semarang:UPT Penerbitan Universitas PGRI Semarang.
Ngadino. (2019). Ketentuan Umum Tata Cara Pembuatan dan Pengisian Akta
PPAT. UPT Penerbitan Universitas PGRI Semarang Press.
Nufus, N. H. (2010). Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Tanah
Yang Belum Bersertifikat Universitas Diponegoro.
Peter Mahmud, 2016 , Penelitian Hukum, kencana, Jakarta
74

R . Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum


Indonesia, Alumni, Bandung, 1988,
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramila, Jakarta,
1990,
Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori Dan Praktek. Mandar Maju. Bandung, 1990,
Santi Dewi, I. G., & Ardani, M. N. (2020). Kebijakan Penjaminan Tanah
Melalui Hak Tanggungan di Indonesia (Studi Penjaminan Hak
Tanggungan Elektronik di Kabupaten Badung Provinsi Bali). Law,
Development and Justice Review
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,2007 Penelitian Hukum Normatif-Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996),.
Toedjasaputro. (1995). Etika Pr.ofrsi Notaris Dan Profesi Hukum. Semarang:
Aneka Ilmu
victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akia Dalam
Pembuktian Dan EksUiusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992,

Jurnal Ilmiah:
Jurnal Ilmiah Purna Noor Aditama Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta
Tanah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Pada
Peralihan Hak Atas Tanah 2 No. 1 VOL. 3 Januari 2018: 189 – 205

Undang-Undang:
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pasal Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan
Tanah.

Wawancara :
Wawancara dengan ibu Catur Novianti, SH sebagai Notaris di Kabupaten Pekalongan

Internet:
https://www.pn-kabanjahe.go.id/2015-06-06-01-33-28/eksekusi-hak-
tanggungan.html diakses pada 13 November 2021
75

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama Lengkap : Muhammad Idham Kholid

8. Tempat, tanggal lahir : Pekalongan, 07 Juni 1997

9. Alamat Rumah : Kelurahan Bligo RT013 RW05 Nomor 56,

Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan.

10. Jenis Kelamin : Laki-Laki

11. NPM : 0217048901

12. Jurusan/Program Studi : Hukum / Ilmu Hukum

13. Perguruan Tinggi : Universitas Pekalongan

14. No. Telepon

a. Rumah :

b. HP : 082328616165

15. Riwayat Pendidikan :

- MIS Bligo Tahun 2003-2009

- MTSs Walisongo Pekajangan Tahun 2009-2012

- SMK Muhammadiyah Bligo Tahun 2012-2015


76

10. Motto Hidup : “ TIME IS YOUR LIFE”

Pekalongan, 30 Juni 2022

Anda mungkin juga menyukai