Anda di halaman 1dari 146

RATIO DECIDENDI PENJATUHAN PIDANA

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA


TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI PENELITIAN DI KEJAKSAAN TINGGI
KEPULAUAN RIAU)

TESIS

OLEH
ROY REMULUS JACK TOAR KUHON
NPM 74121038

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNIVERSITAS BATAM (UNIBA)
BATAM 2023
PERSETUJUAN PEMBIMBING

NAMA : ROY REMULUS JACK TOAR KUHON

NPM : 74121038

JURUSAN : MAGISTER ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : RATIO DECIDENDI PENJATUHAN PIDANA

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA TINDAK PIDANA

KORUPSI (STUDI PENELITIAN KEJAKSAAN TINGGI

KEPULAUAN RIAU)

Disetujui untuk disampaikan kepada panitia seminar proposal tesis,

Batam, 27 Oktober 2023

KOMISI PEMBIMBING

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. H.M. Soerya Respationo, S.H., MH Dr. Dahlan, S.H.,M.H


NIDN 1012095902 NIDN 8872690019

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum Ketua Program Studi

Dr. H.M. Soerya Resopationo, S.H.,M.H Dr. Hj. Erniyanti, S.Pd.,S.H.,M.H


NIDN 1005068804 NIDN 1020106702

i
PENGESAHAN PEMBIMBING

ii
PERNYATAAN PROGRAM MAGISTER

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Magister, baik di Universitas Batam (UNIBA)
maupun diperguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulisan ini merupakan murni dari gagasan, rumusan dan penelitian
saya sendiri dengan tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dan bimbingan
dari tim pembimbing dan tim penguji.
3. Dalam karya tulis tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yan telah
ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan
jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan daftar Pustaka.
4. Pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidak benaran pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
diperoleh karena karya tulis, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
berlaku di perguruan tinggi ini.

Batam, 05 Nopember 2023

Yang membuat pernyataan

REMULUS JACK TOAR KUHON

Npm: 74121038

iii
ABSTRAK
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi yang
mengarah pada timbulnya kerugian terhadap keuangan negara. Selain itu, tindak
pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana materiil yang menuntut adanya
pembuktian terhadap dapak yang dihasilkan dari kejahat tersebut, dalam hal ini
yang dimaksud adala kerugian keuangna negara. Maka berdasarkan pada teori
penghapusan pidana, sebuah pertanggungjawaban pidana dihapuskan bilamana
unsur materiil dalam suatu tindak pidana telah hilang. Artinya, dalam konteks
tindak pidana korupsi pertanggungjawaban terhadap pidana tersebut dapat hilang
bilamana pelaku mengembalikan kerugian keuangan negara. Namun dalam tataran
praktis, pelaku tindak pidana korupsi yang telah melakukan pengembalian terhadap
kerugian negara, tetap dijatuhi hukuman pokok dan hukuman tambahan yang diatur
dalam KUHP, termasuk perkara tindak pidana korupsi yang diputus dalam Putusan
Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG. Berangkat dari latar belakang tersebut,
penelitina ini bertujuan untuk: 1) mengetahui bagaimana eksistensi pengembalian
kerugian keuangan negara di Indonesia; 2) mengetahui bagaimana kronologi
penjatuhan Putusan Nomor: 15/Pi.Sus-TPK/2022/PN.TPG; dan 3) mengetahui
bagaimana ratio decidendi majelis hakim dalam Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-
TPK/2022/PN.TPG.
Penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kombinatif yang menggabungkan
aspek penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Adapun
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum
normatif meliputi: pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsepnya, dan
pendekatan kasus. Selain itu, penelitian ini juga mengarah pada pendekatan sosio
legal dalam aspek penelitian hukum empiris. Bahan hukum dalam penelitian ini
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Adapun penelitian ini menghasilkan sub pembahasan berikut: Pertama, pidana
pengembalian kerugian keuangan negara didudukkan sebagai pidana tambahan
dalam kerangka tindak pidana korupsi. Kedua, terpidana tindak pidana korupsi
berdasarkan pada Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG secara saha
tanpa adanya keraguan telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 yat
(1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketiga, berdasarkan pada pemeriksaan di persidangan, surat dakwaan JPU, dan
musyawarah majelis hakim, maka pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman
penjara, denda, dan pengembalian kerugian keuangan negara.
Kata Kunci: Pengembalian Kerugian Negara, Tindak Pidana Korupsi, Ratio
Decidendi

iv
ABSTRACT
Corruption is a form of economic crime that leads to losses to state finances. Apart
from that, the crime of corruption is a material crime that requires proof of the
impact resulting from the crime, in this case what is meant is state financial losses.
So based on the theory of criminal abolition, criminal liability is abolished when
the material elements in a criminal act have disappeared. This means that in the
context of criminal acts of corruption, responsibility for the crime can be lost if the
perpetrator recovers state financial losses. However, on a practical level,
perpetrators of criminal acts of corruption who have repaid state losses are still
subject to the basic punishment and additional penalties stipulated in the Criminal
Code, including cases of criminal acts of corruption which are decided in Decision
Number: 15/Pid.Sus-TPK/2022/ PN. TPG. Departing from this background, this
research aims to: 1) find out how the recovery of state financial losses in Indonesia
exists; 2) know the chronology of the handing down of Decision Number: 15/Pi.Sus-
TPK/2022/PN.TPG; and 3) know what the ratio of decisions of the panel of judges
is in Decision Number: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG.

This research falls into the combinative research category which combines aspects
of normative legal research and empirical legal research. The approach used in
this research is a normative legal approach including: statutory approach,
conceptual approach, and case approach. Apart from that, this research also leads
to a socio-legal approach in the aspect of empirical legal research. The legal
materials in this research include primary legal materials, secondary legal
materials, and tertiary legal materials.

This research produces the following sub-discussions: First, the crime of returning
state financial losses is placed as an additional crime within the framework of
criminal acts of corruption. Second, those convicted of criminal acts of corruption
based on Decision Number: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG legally without any
doubt have violated the provisions contained in Article 2 paragraph (1) of Law
Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Crime Corruption. Third, based
on the examination at trial, the prosecutor's indictment, and the deliberations of the
panel of judges, the perpetrators of criminal acts of corruption are sentenced to
prison, fines, and restitution of state financial losses.

Keywords: Return of State Losses, Corruption Crimes, Ratio Decidendi

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat serta hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian Tesis yang berjudul

“Racio Decedendi Penjatuhan Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam

Kerangka Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi (Studi Penelitian Kejaksaan

Tinggi Kepulauan Riau)” sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan

Program PascaSarjana (S2) Jurusan Ilmu Hukum Universitas Batam.

Dalam menyelesaikan penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan

pengarahan dari berbagai pihak baik orang tua, guru, dosen, dan teman-teman yang

mendorong memberikan semangat. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. (Hc) H. Rusli Bintang, selaku Ketua Umum Yayasan Griya

Husada Universitas Batam.

2. Ibu Prof. Hj. Indrayani, SE., MM., Ph.D selaku Rektor Universitas Batam.

3. Bapak Dr. H. M. Soerya Respationo, SH., MH selaku Pembimbing I dan

Dekan Fakultas Hukum Universitas Batam.

4. Ibu Dr. Hj. Erniyanti, S.Pd., S.H., M.H. Ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum.

5. Bapak Dr. Dahlan, S.H., M.H selaku Pembimbing II.

6. Bapak Dr. Fadlan, S.H., M.H Dosen & Staff lingkungkan kerja Fakultas

Hukum Universitas Batam.

7. Bapak Dr. Ramon Nofrial, S.H., M.H., selaku Dosen dan Penguji Fakultas

Hukum Universitas Batam.

vi
8. Bapak Dr. Parameshwara., S.E., S.H., M.H., C.A.C.P., C.R.B.C Dosen

Penguji Tesis.

9. Orang tua dan keluarga besar KUHON yang selalu mensuport dan memberi

semangat untuk penyusunan proposal & Tesis ini.

10. Untuk teman-teman seperjuangan dan sahabat Fakultas Hukum Universitas

Batam.

11. Kepada seluruh teman-teman sekelas Magister Ilmu Hukum Universitas

Batam.

12. Kepada kakak-kakak saya dan abang keluarga besar KUHON di

Tanjungpinang, Batam dan Jakarta.

13. Kepada sahabat-sahabat saya yang membantu menemani dan mensupport

dalam penulisan proposal & Tesis ini.

Batam, 27 Juli 2023

Roy Remulus Jack Toar


Kuhon
NPM. 74121038

vii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................................... ii

PERNYATAAN PROGRAM MAGISTER .......................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

ABSTRACT ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1

B. Perumusan Masalah ....................................................................................6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................7

D. Kegunaan/Manfaat Penelitian .....................................................................7

E. Keaslian Penelitian ......................................................................................8

F. Kerangka Teori Dan Kerangka Konsep ....................................................18

G. Metode Penelitian ......................................................................................35

1. Spesifikasi Penelitian ...........................................................................35

2. Metode Pendekatan ..............................................................................37

3. Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel .............................................38

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ....................................................38

5. Analisis Data ........................................................................................41

6. Jadwal Penelitian ..................................................................................42

H. Sistematika Penulisan ................................................................................42

viii
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................44

A. Asset Recovery ..........................................................................................44

B. Restorative Justice Dalam Kerangka Criminal Justice System .................60

C. Konsep Peringanan Pidana Dan Penghapusan Pidana ..............................69

BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISA .........................................................81

A. Eksistensi Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam Kerangka

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ..............................................81

B. Kronologi Penjatuhan Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam

Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG ......................................96

C. Ratio Decidendi Penjatuhan Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam

Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG ....................................113

BAB IV PENUTUP ...........................................................................................129

Kesimpulan .........................................................................................................129

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................131

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana khusus

yang masuk dalam kategori extra ordinary crime. Karena sifat kejahatannya

yang khusus dan luar biasa, maka dibutuhkan upaya comprehensive extra

ordinary measures dalam penegakannya. Salah satu bentuk upaya penegakan

hukum tindak pidana korupsi dalam tataran legal substance dilakukan dengan

merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30 jenis kejahatan. Selanjutnya,

dari 30 jenis kejahatan tersebut diabstraksi menjadi beberapa tindak pidana

berikut:

1. Kerugian keuangan negara

2. Suap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi

Ketujuh jenis tindak pidana korupsi tersebut dirumuskan dalam sebuah

norma berikut sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang secara

sistematis dan komprehensif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Dalam tataran empiris tujuan penegakan hukum terhadap tindak

1
2

pidana korupsi dirasa masih jauh dari panggang, mengingat kasus korupsi masih

bersifat fluktuatif dan cenderung tidak menunjukkan adanya penurunan yang

berarti. Hal ini dibuktikan dengan data yang diungkap oleh Indonesia Corruption

Watch yang menyatakan bahwa, terjadi peningkatan sebanyak 8,63% kasus

korupsi pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun 2021. Ironisnya, pada

semester awal tahun 2023 Komisi Pemberantas Korupsi (Selanjutnya disebut

KPK) menyebutkan terdapat 2.707 laporan dugaan tindak pidana korupsi dengan

1.058 kasus berada pada tahaap telaah dan pengkajian. Data tersebut

menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang bersifat

kriminogen dan multidimensi telah berada pada level kronis.

Korupsi sebagai salah satu tindak pidana tidak dapat berdiri sendiri,

keberadaannya harus diiringi dengan adanya pertanggungjawaban pidana. Hal

ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dengan

sendirinya harus dijatuhi sanksi pidana. Untuk dapat dijatuhi sanksi pidana,

maka harus ada pertanggungjawaban pidana terlebih dahulu. Van Hamel

mendefinisikan pertanggungjawaban pidana sebagai suatu keadaan normalitas

psychis dan kematangan yang membawa adanya kemampuan pada diri pelaku.

Sudarto menyatakan bahwa, agar seseorang memiliki aspek

pertanggungjawaban pidana, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi


1
: 1) Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat; 2) Adanya unsur

kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3) Adanya pembuat yang mampu

1
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan
Penerapannya, Jakarta: Rajawali Press, halaman. 22.
3

bertanggungjawab; 4) Tidak ada alasan pemaaf. Kesulitan dalam pembuktian

adanya pertanggungjawaban pidana inilah yang kadangkala menjadi salah satu

faktor tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi sanksi pidana atasnya. Namun

hal tersebut tidak mengurangi hakikat dari tindak pidana korupsi sebagai salah

satu perbuatan melanggar hukum yang bersifat kompleks dan sistemik.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pusat Edukasi Antikorupsi,

ditemukan bahwa, rata-rata terdapat 166 kasus korupsi dengan 223 terdakwa

setiap tahunnya. Angka tersebut terbilang kecil, mengingat jumlah kasus korupsi

yang tidak tercatat masih jauh lebih besar.2 Transparansi Internasional juga

mencatat bahwa, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mencapai angka 37

dan menjadikan Indonesia berada di peringkat ke-102.3 Mengetahui fakta

tersebut, maka upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan cara yang

luar biasa merupakan sebuah keniscayaan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi

merupakan instrument hukum utama di luar KUHP yang dijadikan pedoman

dalam penindakan kasus korupsi di Indonesia. Sejauh ini, undang-undang

tersebut mengatur tiga ketentuan pokok yang dapat dilakukan dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni upaya yang bersifat preventif,

represiv dan prosedur pemulihan kerugian melalui pengembalian kerugian

2
Pusat Edukasi Antikorupsi, “Kasus-Kasus Korupsi di Indonesia”,
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/kasus-kasus-korupsi-di-
idonesia, 12 Juli 2021.
3
“Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, 2004-2020”,
https://lokadat.beritagar.id/chart/preview/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2004-2020-
1611921280, 12 Juli 2021.
4

negara hasil TPK. Ketiga upaya tersebut merupakan langkah proporsional yang

diambil pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini

sesuai dengan prinsip pemidanaan itu sendiri, dimana pidana ditujukan tidak

sekedar untuk memberikan efek jera yang bersifat pembalasan kepada pelaku,

melainkan juga harus ditujukan sebagai upaya untuk mencegah agar perbuatan

yang serupa tidak dilakukan oleh masyarakat.

Pengembalian kerugian negara hasil TPK merupakan sebuah ketentuan

yang logis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, hal ini

dikarenakan, unsur utama dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian

keuangan negara yang dihasilkan karena tindak pidana tersebut. Sehingga

menjadi sebuah keniscayaan manakala pelaku tindak pidana korupsi dibebani

tanggungjawab untuk mengembalikan kerugian tersebut melalui pengembalian

kerugian negara sebagai sebuah bentuk konsekuensi yang patut untuk

dijatuhkan. Dari sudut pandang ini, maka dapat disimpulkan bahwa, sanksi

pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi pada dasarnya tidak

hanya dimaksudkan sebagai pembalasan, melainkan juga sebagai upaya

pemulihan atas setiap akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut.

Sebagai sebuah tindak pidana yang bersifat endemik, korupsi telah

menjadi penyakit akut yang mengkontaminasi seluruh lapisan masyarakat, baik

dari sisi vertical maupun horizontal. Bahkan, korupsi telah menjadi mascot

adanya pergeseran tindak pidana dari yang semula bersifat konvensional kini

menjadi transnasional karena melibatkan banyak pihak tanpa batasan territorial.

Karena sifatnya inilah, maka prosedur pengembalian kerugian negara hasil TPK
5

yang tidak hanya bersifat sektoral menemukan titik urgensinya dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi. Sejauh ini, Indonesia melalui ketentuan

berbagai peraturan perundang-undangan telah mengadakan kerjasama dengan

banyak negara dalam pengembalian kerugian keuangan negara melalui prosedur

pelacakan dan penyitaan aset yang berada di luar batas teritori negara Kegagalan

negara dalam melakukan pengembalian kerugian negara hasil TPK tersebut,

diakibatkan oleh adanya beberapa hal sebagai berikut 4: Pertama, sistem

penegakan hukum di Indonesia terutama peraturan perundang-undangan baik

yang berkaitan dengan hukum materiil maupun hukum formil belum dapat

memaksimalkan pengembalian kerugian negara tersebut. Kedua, adanya

subtitusi dari keharusan membayar uang pengganti dengan kurungan badan yang

lamanya tidak melebihi ancaman hukuman maksimum pidana pokoknya. Ketiga,

karakteristik tindak pidana korupsi yang pembuktiannya sangat detail dan

memakan waktu yang teramat panjang. Sementara di satu sisi, upaya koruptor

untuk menyembunyikan harta hasil tindak pidana korupsi sudah dilakukan sejak

korupsi itu terjadi. Kurang tanggapnya pemerintah dalam memberikan respond

terhadap hambatan tersebut menggiring pada munculnya sinisme masyarakat

terhadap upaya pemerintah dalam menindak kasus korupsi di Indonesia yang

semakin komplek. Terlebih pengembalian kerugian negara hasil TPK

merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi.

4
Adnan Topan Husoso, “Catatan Kritis atas Usaha Pengembalian kerugian negara Hasil
Tindak Pidana Korupsi dalam Perampasan Aset Hasil TPK”, Jurnal Legislasi Indonesia, 2010, hlm.
588.
6

Berangkat dari latar belakang di atas, penelitian ini memposisikan

pengembalian kerugian negara sebagai objek primair dalam penelitian ini. untuk

memfokuskan penelitian, maka uraian akan dikerucutkan pada keberadaan

Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan

Negeri Tanjung Pinang Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG. Sehingga

penelitian ini berjudul Ratio Decidendi Penjatuhan Pidana Pengembalian

Kerugian Negara Dalam Kerangka Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

(Studi Penelitian Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau).

B. Perumusan Masalah

Berpijak pada identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan yang akan dijadikan sebagai fokus kajian dalam tesis ini

melalui rumusan masalah berikut:

1. Bagaimana eksistensi pidana pengembalian kerugian negara dalam kerangka

penegakan hukum tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana kronologi penjatuhan pidana pengembalian kerugian negara

dalam putusan nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG?

3. Bagaimana ratio decidendi penjatuhan pidana pengembalian kerugian negara

dalam putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG?


7

C. Tujuan Penelitian

Berpedoman pada rumusan masalah sebagaimana yang diuraikan di atas,

maka penelitian ini diarahkan untuk dapat memenuhi tujuan-tuan berikut:

1. Mengkaji dan menelaah secara komprehensif terkait pidana pengembalian

kerugian negara, sehingga diketahui eksistensinya dalam upaya penegakan

hukum tindak pidana korupsi

2. Mendeskripsikan kronologi penjatuhan pidana pengembalian kerugian

negara dalam putusan nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG, sehingga

diketahui proses peradilan terhadap kasus tindak pidana korupsi secara

komprehensif

3. Menampakkan dan menganalisis ratio decidendi majelis hakim dalam

penjatuhan pidana pengembalian kerugian negara dalam putusan nomor:

15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG, sehingga diketahui probabilitas penggunaan

pidana pengembalian kerugian negara sebagai upaya premium remedium

dalam kerangka penegakan hukum tindak pidana korupsi

D. Kegunaan/Manfaat Penelitian

Penelitian yang dikristalkan dalam bentuk tesis ini diharapkan dapat

memberikan kegunaan/manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis

sebagai berikut:

1. Kegunaan/Manfaat Teoritis

Secara teoritis, dengan hadirnya penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam perkembangan


8

keilmuan hukum pidana, khususnya terkait dengan penegakan hukum tindak

pidana korupsi melalui pengembalian kerugian negara.

2. Kegunaan/Manfaat Praktis

Secara praktis, melalui penelitian ini iharapkan dapat menjadi instrumen

penguat bagi eksisnya kebijakan pengembalian kerugian negara dalam

kerangka penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dalam konstruksi ius

constituendum penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi

pembentuk undang-undang dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Terakhir, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yang

komprehensif oleh peneliti berikutnya yang menempatkan tindak pidana

korupsi dan pidana pengembalian kerugian negara sebagai objek kajian dalam

penelitiannya.

E. Keaslian Penelitian

Berikut ini akan disajikan beberapa penelitian terdahulu yang menempatkan

pengembalian kerugian keuangan negara sebagai objek dalam penelitian. Hal ini

penting untuk dijelaskan guna menghindari plagiat. Untuk itu akan disajikan

hasil verifikasi/pemeriksaan melalui sumber terkait mengenai keaslian

penelitian, dimaksud sebagaimana disajikan dalam table di bawah ini :

Judul Identitas Rumusan Masalah Temuan


Peneliti
Optimalisasi Penelitian 1. Bagamanakah praktik Praktik pengembalian
Pengembalian berupa tesis ini pengembalian kerugian kerugian keuangan
Kerugian ditulis oleh keuangan negara dalam negara dalam perkara
Keuangan Negara Arinto Kusumo perkara tindak pidana tindak pidana korupsi
Melalui Putusan sebagai tugas korupsi? dilaksanakan dengan
9

Serta Merta akhir dalam 2. Bagaimanakan mendasar pada tiga


Dalam Perkara Program optimalisasi aspek, yakni struktur
Tindak Pidana Magister Ilmu pengembalian kerugian hukum, substansi
Korupsi Hukum keuangan negara hukum, dan budaya
Fakultas melalui putusan serta hukum.
Hukum merta dalam perkara
Universitas tindak pidana korupsi? Optimalisasi
Lampung pengembalian kerugian
Tahun 2023 keuangan negara
melalui putusan serta
merta dalam perkara
tindak pidana korupsi
diformulasikan
permintaan Penuntut
Umum kepada Hakim
dalam surat tuntutannya
agar dapat menjatuhkan
putusan serta merta
dimana putusan tersebut
dapat diterapkan oleh
hakim dengan mendasar
pada teori putusan
hakim ratio decidendi.
Restorative Penelitian ini 1. Bagaimana sistem Aparat penyidikan dan
Justice Sebagai berupa disertasi peradilan pidana dalam penuntutan yang terlibat
Upaya Premium ini ditulis oleh kaitannya dengan dalam penegakan
Remedium dalam Fadil Zumhana pengembalian kerugian hukum tindak pidana
Upaya sebagai tugas keuangan negara? korupsi harus bekerja
Pengembalian akhir dalam 2. Bagaimana landasan dalam kerangka
Kerugian Program Studi flosofis pendekatan integrated ciriminal
Keuangan Negara Doktor Ilmu restorative justice justice system. Dalam
Hukum sebagai premium UU tentang Tindak
Fakultas remedium dalam upaya Pidana Korupsi,
10

Hukum pengembalian kerugian pengembalian kerugian


Universitas keuangan negara dan negara dapat dilakukan
Airlangga penerapannya dalam melalui mekanisme
Surabaya putusan pengadilan? hukum pidana maupun
Tahun 2015 hukum perdata. Sejauh
ini, sistem pidana yang
lebih mengedepankan
pada pendekatan
retributive justice
belum mampu
memenuhi tujuan yang
ingin dicapai oleh
pembentuk undang-
undang.

Pendekatan restorative
justice merupakan salah
satu alternatif
penyelesaian perkara
yang banyak
berkembang pada
negara dengan sistem
hukum common law.
Dimana secara filosofis
keberadaan pendekatan
restorative justice telah
sejalan dengan sila ke 4
dan ke 5 Pancasila.
Meskipun dalam tataran
praktis terdapat
beberapa kendala dan
kelemahan yang
mengakibatkan
11

pendekatan ini tidak


dapat digunakan secara
maksimal.
Problematika Penelitian ini 1. Apakah putusan Putusan Nomor:
Asset Recovery berupa jurnal nomor: 62/Pid.Sus/Tipikor/201
dalam yang ditulis 62/Pid.Sus/Tipikor/201 3/PN.PBR belum
Pengembalian oleh Ade 3/PN.PBR telah mampu mengembalikan
Kerugian Negara Mahmud berorientasi pada kerugian negara/daerah
Akibat Tindak Fakultas pemulihan (restorasi) sebagai korban karena
Pidana Korupsi: Hukum kerugian negara yang tidak memberikan
Kajian Putusan Universitas menjadi korban tindak pemulihan (restorasi)
Nomor: Islam Bandung pidana korupsi? terhadap kerugian
62/Pid.Sus/Tipiko dan 2. Bagaimana materiil yang diderita
r/2013/PN.PBR dipublikasikan problematika asset Dinas Kependudukan
dalam Jurnal recovery dalam dan Catatan Sipil
Yudisial, pengembalian kerugian Kabupaten Indragiri
Volume 11, negara akibat tindak Hulu
Nomor 3, pidana korupsi?
Desember Problematika
2018. pemulihan aset dalam
putusan a quo
dihadapkan pada
realitas
ketidakmampuan
terpidana untuk
membayar pidana
berupa uang pengganti
sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 Ayat (3)
UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Namun
12

senyatanya, diketahui
masih terdapat aset
tersembunyi milik
terpidana yang belum
dilakukan penyitaan
oleh aparat penegak
hukum.
Selanjutnya, perlu diuraikan pula persamaan dan perbedaan antara penelitian

terdahulu dengan penelitian yang penulis angkat. Uraian ini ditujukan untuk

memastikan bahwa tidak ada pengulangan penelitian. Berikut penulis sajikan

tabel persamaan dan perbedaan tersebut:

N Judul Persamaan Perbedaan


o
1 Optimalisasi Pengembalian Terdapat tiga Terdapat tiga perbedaan
Kerugian Keuangan Negara persamaan antara mendasar antara penelitian
Melalui Putusan Serta Merta penelitian A dan A dengan penelitian yang
Dalam Perkara Tindak Pidana pnelitian yang diangkat oleh penulis,
Korupsi (selanjutnya disebut diangkat oleh yakni:
penelitian A) penulis, yakni: Pertama, ruang lingkup
Pertama, kajian, dimana penelitian A
penelitian A dan berupaya mengkorelasikan
penelitian yang antara hukum acara pidana
ditulis penulis dan hukum acara perdata
menempatkan pada pemecahan isu yang
pengembalian dibahas dengan lokasi
kerugian penelitian yang
keuangan negara dilaksanakan d Bandar
sebagai objek Lampung pada tahun 2022.
primer dalam Adapun penelitian yang
penelitian. diangkat oleh penulis
menfokuskan kajian pada
13

Kedua, satu putusan pengadilan,


penelitian A dan dalam hal ini Putusan
penelitian yang Nomor:15/Pid.Sus-
ditulis penulis TPK/2022/PN.TPG.
menspesifikasika Artinya, ruang lingkup
n jenis penelitian kajian fokus pada konteks
pada penelitian hukum acara pidana yang
kombinatif yang dianalisis secara teoritis
memadukan melalui teori ratio
antara metode decidendi putusan hakim.
penelitian hukum Selain itu, untuk
normatif dan memastikan kajian bersifat
metode komprehensif, maka akan
penelitian hukum ditampilkan pula konsep
empiris. ideal pengembalian
Ketiga, meskipus kerugian keuangan negara
fokus kajian di beberapa negara.
Penelitian A pada Kedua, berdasarkan pada
optimalisasi kerangka pemikiran yang
pengembalian ditampilkan pada penelitian
kerugian A, diketaui bahwa pisau
keuangan negara, analisis yang digunakan
namun dalam adalah teori sistem hukum
analisa yang dan teori putusan hakim.
digunakan, Sedangkan pada penelitian
penelitian A ini, pisau analisi
menempatkan diklasifikasikan menjadi 3
teori putusan jenis, yakni: general thory,
hakim ratio middle theory, dan applied
decidendi theory. Penggolongan pisau
sebagai salah analisis pada tiga klaster
satu pisau tersebut ditujukan agar
analisisnya. analisis terhadap isu yang
14

Begitupula diangkat tidak hanya


dengan mengandung sifat
penelitian ini, komprehensif, melainkan
dimana teori pula sistematis dan
ratio decidendi kronologis.
diposisikan Ketiga, pendekatan
sebagai applied penelitian yang digunakan.
theory. Penelitian A merupakan
salah satu jenis penelitian
kompinatif, maka
pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan
normatif-empiris atau
applied law research.
Pendekatan ini dilakukan
dengan
mengimplementasikan
ketentuan hukum normatif
secara in action pada suatu
peristiwa hukum tertentu
yang terjadi dalam
masyarakat. Adapun
penelitian ini meskipun
menggunakan penelitian
kombinatif, akan tetapi
pendekatan yang digunakan
meliputi pendekatan dalam
penelitian normatif dan
pendekatan dalam
penelitian empiris.
pendekatan dalam
penelitian normatif
mencakup: pendekatan
15

perundang-undangan,
pendekatan kasus, dan
pendekatan konseptual.
Dalam konteks penelitian
empiris, pendekatan yang
digunakan adalah
pendekatan juridis
sociologis.
2 Restorative Justice Sebagai Satu-satunya Mengingat penelitian B
Upaya Premium Remedium persamaan yang merupakan sebuah disertasi
dalam Upaya Pengembalian terlihat secara dengan fokus kajian pada
Kerugian Keuangan Negara eksplisit antara wilayah filsafat hukum,
(selanjutnya disebut penelitian penelitian B maka dapat ditemukan
B) dengan perbedaan yang signifikan
penelitian yang antara penelitian B dengan
diangkat penulis penelitian yang diangkat
adalah posisi penulis. Perbedaan yang
pengembalian dimaksud adalah:
kerugian Pertama, penelitian B
keuangan negara memfokuskan kajian pada
sebagai objek wilayah lapisan filosofis
primer dalam sedangkan penelitian yang
penelitian. diangkat oleh penulis
berada pada lapisan teoritis.
Kedua, penelitian B tidak
melakukan spesifikasi
penelitian pada kasus
tertentu, melainkan
melakukan telaah pada
kasus secara general untuk
melihat asapek filosofis
dala penerapan pendekatan
restorative justice dalam
16

pengembalian kerugian
keuangan negara. adapun
penelitian yang diangkat
oleh penulis fokus pada
telaah terhadap putusan
nomor: 15/Pid.Sus-
TPK/2022/PN. TPG.
Ketiga, penelitian ini diolah
dan dikaji menggunakan
metode penelitian hukum
normatif, sedangkan pada
penelitian yang diangkat
oleh penulis mencoba
mngkombinasikan metode
penelitian hukum normatif
dan penelitian hukum
empiris. dengan perbedaan
metode yang digunakan
maka dapat dipastikan hasil
yang diperoleh akan
berbeda.
3 Problematika Asset Recovery Sebagaimana Terdapat beberapa
dalam Pengembalian Kerugian penelitian perbedaan yang nampak
Negara Akibat Tindak Pidana sebelumnya, antara penelitian C dengan
Korupsi: Kajian Putusan penelitian C dan penelitian yang diangkat
Nomor: penelitian yang oleh penulis:
62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.P diangkat oleh Pertama, penelitian C
BR (selanjutnya disebut sebagai penulis memfokuskan ruang
penelitian C) menempatkan lingkup kajian pada
pengembalian problematika pengembalian
kerugian kerugian keuangan negara
keuangan negara dengan fokus telaah pada
sebagai objek putusan nomor:
17

primer dalam 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/P


pembahasan. N. PBR. Sedangkan
Penelitian C penelitian yang diangkat
dalam konteks ini penulis memfokuskan
juga mefokuskan kajian pada ratio decidendi
penelitian pada hakim dalam putusan
putusan nomor: 15/Pid.Sus-
pengadilan TPK/2022/PN.TPG.
tentang tindak Kedua, penelitian C
pidana korupsi. menemukan fakta empiris
bahwasanya putusan yang
diangkat belum mampu
mengembalikan kerugian
negara sebagai korban
tindak pidana korupsi dan
realitas ditemukanya
probematika dalam
penegakan pidana
pengembalian kerugan
keuangan negara.
Sedangkan penelitian yang
diangkat penulis akan
menampakkan secara
teoritis konsep ideal
pengembalian kerugian
keuangan negara sebagai
salah satu bentuk pidana
bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Selain itu,
penelitian yang diangkat
penulis juga akan
memunculkan dasar
pertimbangan yang
18

dijadikan ratio oleh hakim


dalam penjatuhan pidana
pengembalian kerugian
keuangan negara.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah

penelitian. Dalam konteks penelitian hukum, kerangka teori memberikan

kemudahan bagi peneliti dalam memecahkan suatu permasalahan yang dikaji

melalui serangkaian konsep yang bersifat logis dan konsisten. Pada bagian

ini, penulis menguraikan kerangka teori ke dalam tiga domain, yakni grand

theory, middle theory, dan applied theory. Grand Theory didefinisikan

sebagai dasar lahirnya teori-teori lain yang memiliki sifat makro dan luas,

sehingga membutuhkan upaya perumusan pada level selanjutnya. Middle

theory atau dikenal pula dengan istilah supporting theory adalah teori yang

berada di level tengah yang menjadi pembahasan pada tingkat mikro dan

makro. Adapun yang dimaksud dengan applied theory adalah bagian akhir

dari teori yang siap untuk dikonseptualisasikan.5

5
Muhammad Nur, Dkk, “Implementation of Oversight Policy, Apparatus Competence and
Organizational Clture and Its Effect on Performance of Field Supervision Basic Education”,
International Journal Science and Society, No. 1, halaman. 201.
19

Berikut uraian dan sistematisasi kerangka teori yang digunakan dalam

penelitian ini:

a. Grand Theory

1) Teori Keadilan

Keadilan merupakan nilai dasar yang bersifat universal. Secara

yuridis keadilan adalah bagian dari implementasi penegakan hukum

dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi

manusia.6 Secara khusus pelaksanaan keadilan harus

mempertimbangkan keadilan hukum dan keadilan masyarakat. Hal ini

dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesenjangan antara

ketentuan normatif dengan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat. Upaya penegakan hukum yang memperhatikan

nilai-nilai keadilan menunjukkan kewibawaan suatu negara dalam

bidang peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak

(independent dan impartial).7

Dalam kerangka penegakan hukum pidana nilai keadilan tidak

hanya diperuntukkan bagi individu tertentu yang terkait dengan

permasalahan, lebih dari itu keadilan harus dapat pula dirasakan oleh

seluruh masyarakat. Meskipun keadilan senantiasa berada dalam

tataran yang abstrak sehingga perwujudannya tidak dapat ditentukan

6
Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime), Unimal Press,
Lhokseumawe, 2019, halaman. 136.
7
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi, Jakarta,
2005, halaman. 246.
20

dalam bentuk tertentu, akan tetapi dalam penerapan dan penegakan

hukum nilai keadilan menjadi suatu hal yang diniscayakan.

2) Teori Kepastian Hukum

Keberadaan asas kepastian hukum diartikan sebagai suatu

keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang

konkret bagi hukum yang bersangkutan. Kepastian hukum dapat pula

diartikan sebagai sebuah perlindungan bagi pencari keadilan terhadap

tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak penguasa. Pada

akhirnya, kepastian hukum merujuk kepada pemberlakuan hukum yang

jelas , tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.8

Kaitannya dengan penegakan hukum, kepastian merupakan salah

satu tujuan hukum dan merupakan upaya untuk menegakkan keadilan.

Wujud nyata kepastian adalah adanya pelaksanaan dan penegakan

hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang

melakukan. Pada titik tertentu, hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat digunakan sebagai pedoman

dalam perilaku manusia. Dalam tataran empiris, kepastian hukum erat

kaitannya dengan keberadaan peraturan perundang-undangan. Dimana

undang-undang yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu

bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalama hubungan dengan

8
R Tony Prayogo, 2016, “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 2, halaman. 194.
21

sesama indiviu, maupun dalam hubungannya dengan sesama

masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi batasan bagi masyarakat

dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Sehingga dengan adanya aturan dan pelaksanaan atas aturan tersebut

akan menimbulkan kepastian hukum.9

Dalam kerangka hukum pidana nilai kepastian hukum

diejawantahkan melalui keberadaan asas legalitas. Asas tersebut

menghendaki bahwa, tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana

sebuah perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang memuat tentang ketentuan pidana. Selain itu, nilai

kepastian hukum juga tercermin dalam setiap proses peradilan yang

harus dilakukan dengan didasarkan pada hukum acara yang berlaku.

Kepastian hukum dalam penegakan hukum pidana akan dapat

memberikan perlidungan kepada setiap individu dari tindakan yang

bersifat sewenang-wenang.

3) Teori Kemanfaatan

Kemanfaatan merupakan salah satu tujuan dari penegakan hukum

bilamana dalam hal ini hukum diposisikan sebagai perlindungan

terhadap kepentingan manusia. Dalam hal ini kemanfaatan diartikan

sebagai kebahagiaan, sehingga penilaian terhadap baik-buruk atau adil

tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu

memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sebaliknya, suatu

9
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, halaman.158.
22

tindakan dinilai salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan

kebalikan dari kebahagiaan, oleh karenanya, standar keadilan

hendaknya didasarkan pada nilai kegunaannya.

Dalam konteks penegakan hukum pidana, nilai kemanfaatan

dapat terwujud bilamana terdapat keserasian antara keadilan dan

manfaat yang diperoleh dari penegakan hukum pidana. Artinya,

penjatuhan pidana yang dilakukan terhadap seseorang tidak hanya

mengandung nilai keadilan atas perbuatan yang dilakukan, melainkan

pula harus mencerminkan nilai kemanfaatan dengan penjatuhan pidana

yang bersifat represif dan preventif sekaligus. Kemanfaatan hukum

menjadi salah satu hal yang patut untuk diperhatikan, mengingat semua

orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan

hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan

keresahan dalam masyarakat.

Selanjutnya, kemanfaatan hukum dapat dilihat dalam beberapa

bentuk berikut: Pertama, pemidanaan terhadap seseorang akan

bermanfaat bilamana pemidanaan tersebut dijatuhkan untuk dapat

memperbaiki diri pelaku tindak pidana. Kedua, pemidanaan yang

dijatuhkan harus dapat menghilangkan kemampuan pelaku tindak

pidana dalam melakukan tindak pidana di kemudian hari. Ketiga,


23

pemidanaan yang dijatuhkan kepada seseorang harus memberikan ganti

rugi kepada korban.10

b. Middle Theory

Dalam domain middle theory, peneliti menggunakan teori hukum

progresif. Teori hukum progressive menghendaki hukum harus terus

ditelaah melalui upaya-upaya yang bersifat progresif sehingga kebenaran

yang hakiki dapat tercapai. Teori ini lahir sebagai bentuk respon atas

penyelenggaraan penegakan hukum di Indonesia yang jauh dari panggang.

Hukum progresif berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa law in the

making atau hukum yang selalu berproses untuk menjadi.11 Dalam

implementasinya hukum progresive melampaui peraturan dan dokumen

hukum yang positivistik, sehingga penafsiran yang dilakukan didasarkan

pada kepentingan manusia, dan bukan semata-mata pada logika peraturan

saja. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hukum progresif

bertentangan dengan nilai kepastian hukum. Karena dalam

penyelenggaraannya hukum progresif menempatkan peraturan perundang-

undangan dan asas-asas non formal sebagai dasar dalam menyusun suatu

penafsiran.

Berikut beberapa ciri dari hukum progressif: pertama, hukum

mengikuti perkembnagan aspirasi masyarakat. Kedua, hukum harus

memihak pada kepentingan rakyat dan keadilan masyarakat. Ketiga,

10
Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
Erlangga, Surabaya, halaman. 11.
11
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal Hukum
Progresif, Vol. 1, No. 1, 2005, halaman.3-5.
24

hukum memiliki tujuan dalam mengantarkan manusia kepada

kesejahteraan dan kebahagiaan. Keempat, hukum selalu bergerak dalam

proses perubahan. Kelima, hukum menekankan kehidupan yang lebih baik

sebagai dasar hukum yang baik.12

Dalam kerangka hukum pidana, teori hukum progresif banyak

dijadikan sebagai dasar dalam penentuan pemidanaan bagi narapidana.

Terdapat dinamika yang jelas dalam proses pemidanaan dari waktu ke

waktu. Dimana sebelumnya pemidanaan ditujukan sebagai sarana

penjeraan, kini pemidanaan telah bergeser sebagai bentuk

pemasyarakatan. Pada tataran tertentu digunakan pula mekanisme

restorative justice dalam penegakan hukum pidana. Hal ini

mengindikasikan bahwa kecenderungan hukum pidana bergeser ke arah

pemerhatian terhadap kepentingan dan kesejahteraan masyarakat dalam

jangka panjang, sebagaimana ciri dari hukum progressif yang

mengedepankan keharmonisan dan kepentingan manusia.

c. Applied Theory

1) Teori Pemidanaan

Teori pemidanaan dalam hukum pidana dikelompokkan kedalam

tiga golongan besar : Pertama, teori absolut atau teori pembalasan

(retributive/ vergelding teorrien). Menurut teori ini pidana dijatuhkan

semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak

12
Deni Nuryadi, “Teori Hukum Progresif dan Penerapannya di Indonesia”, Jurnal Ilmiah
Hukum De Jure, Vol 1, No 2, 2016, halaman. 401.
25

pidana (quia peccatum est) dan pidana merupakan akibat mutlak yang

harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Jadi fungsi pidana dalam hal ini adalah pembalasan bagi orang yang

melakukan kejahatan dan memuaskan tuntutan keadilan, sehingga

keberadaan pemidanaan itu sendiri tergantung pada ada tidaknya

kejahatan.13Mengenai teori absolut ini Muladi dan Barda Nawawi Arief

menyatakan bahwa, pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada

sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan,

sehingga dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau

terjadinya kejahatan itu sendiri.14

Kedua, teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/ doel theorieen).

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan

absolut dan keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai

tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat

dan mengurangi frekuensi kejahatan. Karena tujuannya yang

bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori tujuan (utilitarian

theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah

membuat kejahatan (quia pecatum eas) melainkan agar orang tersebut

tidak melakukan kejahatan lagi (nepeccetur).15

Ketiga, teori gabungan. Menurut teori gabungan, tujuan pidana

selain membalas kesalahan penjahat pidana juga dimaksudkan untuk

13
Ibid., P. 11.
14
Ibid., p.10.
15
Ibid., p.18.
26

melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.16 HL Packer

menyebutkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah

terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau

perbuatan yang salah serta untuk mengenakan penderitaan atau

pembalasan yang layak kepada si pelanggar.17Teori gabungan dibagi

kedalam dua golongan. Pertama, teori-teori gabungan yang

menitikberatkan pembalasan tetapi membalas itu tidak boleh

melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat. Kedua, teori gabungan yang

menitikberatkan pada tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih

berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya

perbuatan yang dilakukan oleh terhukum.18

2) Teori Restorative Justice

Reostorative justice adalah suatu pemulihan hubungan dan

penebusan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana di luar

pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang

timbul dapat diselesaikan dengan baik. Mekanisme ini menghendaki

adanya keterlibatan pihak-pihak yang terkait dalam suatu tindak pidana

secara bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi dengan

16
Sholehuddin, Op. Ci., p. 12
17
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 14.
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., p.212.
27

mengedepankan pemulihan terhadap pelaku, korban, dan masyarakat.

Berikut beberapa prinsip dasar dalam restorative justice19:

a) Memprioritaska dukuungan dan penyembuhan korban

b) Pelaku pelanggaran bertanggungjawab atas apa yang mereka

lakukan

c) Dialog antara korban dan pelaku untuk mecapai pemahaman

d) Meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan

e) Pelaku kejahatan harus memiliki kesadaran tentang bagaimana cara

menghindari kejahatan di masa depan

f) Masyarakat diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam

mengintegrasikan dua belah pihak, yakni korban dan pelaku

Mekanisme restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui

diskresi dan diversi, yakni pengalihan dari proses peradilan pidana ke

luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian

melaluimusyawarah sudah menjadi kebiasaan di Indonesia,

dikarenakan masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

sosial dalam bermasyarakat, bahkan dalam konteks hukum adat di

Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana maupun

perdata.

Bagir Manan menyebutkan bahwa, penegakan hukum Indonesia

dewasa ini dapat dikatakan communis opinio doctorum yang

19
Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Works, Jessica Kingsley Publisher, London,
2007, halaman.25.
28

mengandung maksud bahwa penegakan hukum yang sekarang

dianggap telah gagal dalam mencapai tujuan yang diisyaratkan oleh

undang-undang.20 Oleh karena itu, diperkenankan penggunaan sebuah

alternatif penegakan hukum berupa restorative justice yang

mengedepankan pendekatan sosio kultural dan bukan hanya

pendekatan yang bersifat normatif.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang diteliti. Konsep yang dimaksud

dalam hal ini adalah salah satu unsur konkrit dari teori. Dalam konteks

penelitian ini, peneliti meletakkan beberapa variabel dengan definisi

operasioanl berikut sebagai kerangka konsep guna mempersempit dan

emmfokuskan cakupan penelitian.

a. Ratio Decidendi

Ratio decidendi beasal dari istilah rationes decidendi yang merupakan

bahasa Latin dengan maksud “alasan putusan”. Dalam bidang hukum,

yang dimaksud ratio dedidendi merujuk pada pengertian alasan atau

penalaran yang menjadi pokok suatu putusan. Pertimbangan hukum

seorang hakim berisi mengenai alasan atau argumentasi yang dijadikan

pertimbangan dalam suatu putusan yang akan dijatuhkan. Alasan atau

argumentasi tersebutlah yang kemudian dikenal dengan istilah ratio

20
Bagir Manan dalam Rudy Rizky, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam
Dekade Terakhir), Perum Percetakan Negara Indonesia, Jakarta, 2008), halaman. 4.
29

decidendi. Lebih lanjut, Kusumadji Pujosewojo mendefinisikan ratio

decidendi sebagai faktor-faktor yang sejati (material fact, faktor-faktor

yang esensial yang jutru mengakibatkna keputusan yang begitu).21

Menurut Goodherat ratio decidendi inilah yang menunjuk bahwa ilmu

hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskiptif.

Sedangkan putusan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat eskriptif.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, ratio decidendi merupakan

pertimbangan hakim yang dijadikan dasar pertimbangan oleh para

pembentuk undang-undang dan secara teoritis menjadi salah satu hal yang

penting dalam struktur putusan selain vonis.

Dalam pertimbangan hakim berisi mengenai argumen yang dibuat oleh

hakim dalam menanggapi pihak-pihak serta menjadikannya sebagai alasan

dasar dalam membuat sebuah putusan. Argumentasi yang dibuat hakim

merupakan sebuah argumetasi hukum. berikut beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pertimbangan hakim berdasarkan pada ketentuan Pasal

50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman:

1) Alasan-alasan yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian

dikualifisir menjadi fakta hukum

2) Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan

argumen-argumen pendukung

21
I.P.M. Ranuhandoko, 2003, Terminologi Hukum Inggris, Jakarta: Sinar Grafika, halaman.
475.
30

3) Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

dasar-dasar hukum yang diteapkan, atau sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili

4) Alasan hukum tak tertulis dapat berupa argumen osiologis dan filosofis

atau moral justice

5) Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar

Istilah ratio decidendi acapkali disejajarkan dengan istilah obiter dicta,

ppadahal keduanya memiliki perbedaan yang prinsipil. Dimana ratio

decidendi merujuk pada pendapat hukum tertulis atau proporsi yang

diciptakan oleh hakim dalam rangka penemuan hukum berkenaan dengan

kasus konkrit yang dihadapinya adapun obiter dicta adalah pendapat

hukum oleh hakim dalam rangka penemuan hukum yang tidak berkenaan

dengan kasus konkrit.22 Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan beberapa

langkah yang dilakukan oleh hakim dalam merumuskan pendapat hukum

pada saat sidang permusyawaratan hakim;

1) Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan sutau struktur kasus

yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai suatu kasusu yang

riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasarkan hukum pembuktian yang

sah)

2) Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum

yang relevan, sehinga ia dapat menetapkan perbuatan hukum kedalam

peristilahan yuridis

22
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra AdityaBhakti, halaman. 114.
31

3) Menyelesi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk

kemudian mencari tau kebijakan yang terkandung di dalam aturan

hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren

4) Menghubungkan struktur aturan dengan strktur kasus (fakta hukum)

secar silogisme deduktif

5) Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar

6) Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian

diterapkan sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum

putusan.23

b. Pengembalian Kerugian Negara

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

memaknai keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang. Keuangan negara juga diartikan sebagai segala

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.24

Adapun yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kekurangan uang,

surat berharga, dan barag yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat

perbuatan hukum baik sengaja maupun lalai. Pengertian ini menunjukkan

bahwa pengertian kerugian negara mengandung maksud yang luas

sehingga mudah dipahami dan ditegakkan bila terjadi pelanggaran dalam

pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, kerugian negara tidak boleh

23
Syarif Mappiase, 2015, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Prenada
Media Group, halaman 48.
24
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 Angka 1.
32

diperkirakan sebagaimana yang dikehendaki tetapi wajib dipastikan

berapa jumlah yang dialami oleh negara pada saat itu. Hal ini dimaksudkan

agar terdapat suatu kepastian hukum terhadap keuangan negara yang

mengalami kekurangan agar dibebani tanggungjawab bagi yang

menimbulkan kerugian negara.25

Selanjutnya, yang dimaksud dengan pengembalian kerugian keuangan

negara adalah proses pengembalian terhadap hak, hasil, atau keuntungan

yang berasal dari keuangan negara. Dalam konteks tindak pidana korupsi,

pengembalian kerugian negara harus dimaknai sebagai suatu sistem

penegakan hukum yang dapat dilakukan baik melalui sistem litigasi

maupun non litigasi. Pada pengembalian kerugian hasil tindak pidana

korupsi melalui jalur litigasi, tersangka kasus korupsi sudah pasti akan

melalui proses hukum di pengadilan terlebih dahulu sesuai instrumen

hukum yang berlaku. Proses peradilan ini membutuhkan waktu yang

cukup lama hingga pengadilan menetapkan putusan dan menjatuhkan

sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi. Dalam hal ini

pengadilan juga akan menjatuhkan hukuman tambahan berupa

pengembalian kerugian hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya

memulihkan kerugian negara akibat korupsi. Sedangkan pengembalian

kerugian hasil tindak pidana korupsi tanpa melalui pengadilan tidak

membutuhkan prosedur hukum yang panjang. Pengembalian kerugian

25
Muhaamd Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2011, halaman,
100.
33

melalui cara ini dapat dilakukan pada saat proses penyidikan, sehingga

pengembalian kerugian hasil tindak pidana korupsi tidak ditetapkan

sebagai sanksi melainkan hanya bersifat mengganti kerugian negara akibat

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.26

c. Penegakan Hukum

Penegakan hukum dimaknai dengan menitikberatkan pemaknaan pada

subjek dan objek dalam penegakan hukum. Dari sudut pandang subjek,

penegakan hukum diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertiannya

yang luas penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap

hubungan hukum. Semua subjek yang dimaksud adalah siapa saja yang

menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum

yang berlaku. Adapun penegakan hukum dalam pengertian yang sempit

diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk

menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan

sebagaimana seharusnya.27

Selain definisi yang didasarkan pada subjek, istilah penegakan hukum

dapat pula didefinisikan berdasarkan pada objeknya. Dalam definisi yang

luas penegakan hukum mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di

dalamnya norma yang bersifat formal maupun nilai-nilai keadilan yang

26
Ridwan Arifin, Utari, dkk, “Upaya Pengembalian Kerugian Korupsi yang Berada di Luar
Negeri (Asset recovery) dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia”,
Indonesian Journal Of Criminal Law Studies (IJCLS), Volume 1, Nomor 1, 2016, halaman. 302.
27
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2002, halaman 46.
34

hidup dalam masyarakat. Sedangkan dalam pengertian yang sempit,

penegakan hukum menyangkut penegakan peraturan yang bersifat formal

dan tertulis saja. Oleh karenaya, dalam konteks ini, penegakan hukum

disepadankan maknanya dengan istilah law enforcement.28

d. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi secara bahasa berasal dari bahasa Latin corruptus yang dalam

bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan jahat dimana pelaku

menggunakan kedudukan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi.29

Adapun definisi tindak pidana korupsi dapat diketahui melalui unsur-unsur

pembentuknya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni, suatu tindakan

penyalahgunaan kewenangan, jabatan, atau kedudukan yang bertujuan

untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang berakibat pada

kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang masuk

dalam kategori extraordinary crime. Dikatakan demikian, karena dalam

praktiknya korupsi menyebabkan kerusakan yang besar dan meluas bukan

hanya pada individu tertentu melainkan kepada negara. Selain itu, korupsi

merupakan kejahatan sistemik yang melanggar hak asasi manusia dan

mengancam ketertiban dunia.

28
Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
PT Citra Aditya Bakti, 2003, halaman 76.
29
Robert Kiltgaard, Ronald Maclean-Abaroa, Lindsey Parris, Penuntutan Pemberantasan
Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, halaman. 25
35

G. Metode Penelitian

Istilah metode penelitian hukum dapat dimaknai dengan terlebih dahulu

memberikan penafsiran atas variabel yang membentuk istilah tersebut. Pertama,

kata metode diartikan sebagai cara melakukan sesuatu dengan teratur. Kedua,

penelitian hukum sebagaimana yang telah dikemukakan di awal merupakan

suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu dengan jalan menganalisanya. Sehingga, metode penelitian hukum

secara sederhana diartikan sebagai cara atau langkah-langkah yang harus

ditempuh dalam sebuah penelitian hukum yang harus dilakukan secara

sistematis dan teratur.

Metode penelitian menjelaskan seluruh rangkaian kegiatan yang akan

dilakukan dalam rangka menjawab pokok permasalahan atau untuk

membuktikan asumsi yang dikemukakan. Metode penelitian merupakan cara

yang akan diterapkan peneliti dalam penelitian yang dilakukannya.

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini masuk dalam kategori penelitian hukum kombinatif, yakni

penelitian yang menggabungkan dua jenis penelitian hukum sekaligus, baik

itu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Istilah

penelitian hukum normatif dikenal dalam bahasa Inggris sebagai normatif

legal research, atau dalam bahasa Belanda sebagai normatif juridish

onderzoek. Penelitian hukum jenis ini merupakan penelitian internal dalam


36

disiplin ilmu hukum.30 Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum doktrinal. Disebut demikian, karena penelitian ini

dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan peraturan yang tertulis atau

bahan-bahan hukum. Selanjutnya, penelitian hukum normatif didefinisikan

sebagai proses penelitian untuk meneliti dan mengkaji tentang hukum sebagai

norma, aturan, asas hukum, prinsip hukum, doktrin hukum, teori hukum dan

kepustakaan lainnya untuk menjawab permasalahan hukum yang diteliti.

Penelitian hukum normatif biasanya hanya merupakan studi dokumen yakni

menggunakan sumber bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan,

keputusan/ketetapan pengadilan, kontrak/perjanjian, akad, asas dan prinsip

hukum, teori hukum, dan doktrin atau pendapat para ahli hukum.31 Penelitian

ini masuk dalam term penelitian hukum normatif karena mendasarkan

penelitian pada analisa secara yuridis terhadap peraturan perundang-

undangan yang ada, dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang

mengatur terkait dengan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian

keuangan negara. Selain itu, penelitian ini memiliki fokus kajian pada telaah

terhaap putusan pengadilan. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor:

15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG.

Adapun penelitian hukum empiris dalam bahasa Inggris dikenal dengan

istilah empirical legal research atau dalam bahasa Belanda disebut empirisch

juridisch onderzoek. Penelitian hukum empiris masuk dalam kategori

30
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, FH Undip, Semarang, 1999,
halaman. 15.
31
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram, 2020,
halaman, 47.
37

penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum dalam

masyarakat.32 dalam kancah penelitian hukum, penelitian hukum empiris

ditafsirkan sebagai suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk

melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum

di lingkungan masyarakat, termasuk di dalamnya menganalisis tentang

penerapan hukum dalam kenyataannya terhadap individu, kelompok,

masyarakat, dan lembaga hukum dalam masyarakat dengan menitikberatkan

pada perilaku individu atau masyarakat, organisasi atau lembaga hukum

dalam kaitannya dengan penerapan atau berlakunya hukum. Penelitian ini

dikatakan sebagai penelitian hukum empiris mengingat penggunaan data

primer dalam analisa terhadap topik yang di angkat, dalam hal ini adalah data

yang diperoleh dari Kejaksaan dan pengadilan yang mengadili perkara pada

putusan nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG.

2. Metode Pendekatan

Mengingat penelitian ini merupakan jenis penelitian gabungan, maka

pendekatan yang digunakan juga bersifat gabungan. Dalam konteks

pendekatan normatif, peneliti menggunakan beberapa jenis pendekatan,

seperti: pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan

pendekatan kasus. Pendekatan perundang-udangan adalah pendekatan yang

dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan

regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang dibahas. Pendekatan

32
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman. 20.
38

konseptual adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mendasarkan

analisa pada pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

dalam ilmu hukum. Terakhir, pendekatan kasus merupakan pendekatan yang

dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang

memiliki kekuatan hukum tetap.

Adapun dalam konteks pendekatan empiris, peneliti menggunakan

pendekatan juridis sociologis. Pendekatan juridis sosiologis diarahkan untuk

dapat melihat hubungan timbal balik antara masyarakat dan kaidah-kaidah

hukum di masyarakat, sehingga ditemukan faktor-faktor apa saja yang

memberikan pengaruh terhadap efektivitas suatu hukum.

3. Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel

a. Lokasi Penelitian

b. Populasi

c. Sampel

4. Teknik Pengumpulan Data dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan teknik pengumpulan data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui metode

wawancara. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka

dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan berpedoman

pada daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya dan dikembangkan


39

pada saat wawancara berlangsung. Penulis melakukan wawancara

langsung dengan narasumber mengenai permasalahan yang sedang diteliti

yakni ratio decidendi dalam putusan nomor: 15/Pid.Sus-

TPK/2022/PN.TPG.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3209

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Peberantasan Tindak

Pidana Korupsi Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140 Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3874

4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Lembaran Negara Tahun 2003 Nomoe 47 Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4286

5) Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG

6) Surat Edaran Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010 tentang Prioritas dan Pencapaian

dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi.

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan prosedur yaitu;


40

a. Studi Pustaka

Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan serangkaian kegiatan

seperti membaca, menelaah, mencatat, dan membuat ulasan bahan-bahan

pustaka yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti.

Dalam konteks ini bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas

peraturan perundang-undangan, risalah resmi, putusan pengadilan,

dan dokumen resmi negara lainnya. Secara general bahan hukum

primer didefinisikan sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif.

Penelitian ini menggunakan dua jenis bahan hukum primer, yakni

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap. Berikut bahan hukum primer yang

penulis gunakan:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

d) Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang terdiri atas

buku, jurnal hukum, pandangan para ahli, hasil penelitian hukum,


41

kamus hukum, ensiklopedia, dan sumber lain yang bersifat

dokumentatif. Bahan hukum sekunder difungsikan untuk dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sehingga

dibutuhkan keselarasan dan harmonisasi dari keduanya.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang difungsikan

sebagai penjelas dari bahan hukum primer dan sekunder. Pada

penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan adalah informasi

yang berasal dari internet dan ensiklopedia.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh tambahan informasi dengan

melakukan wawancara terhadap informan sedangkan alatnya berupa

pedoman pertanyaan. Adapun jenis wawancara yang digunakan adalah

wawancara berstruktur untuk memperoleh data yang diperlukan.

Wawancara dalam penelitian ini diposisikan sebagai data hukum primer.

5. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan cara

mendiskripsikan penelitian, kemudian melakukan komparasi antara data

dengan teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan, dimana

analisis dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data dan terakhir

penyajian data. Sedangkan penarikan kesimpulan akan digunakan metode

deduktif, yaitu penulis mengambil data-data, keterangan-keterangan,


42

pendapat-pendapat, yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara

khusus.

6. Jadwal Penelitian

Penelitian ini sudah dilakukan sejak bulan Februari 2023, adapun

rangkaian jadwal penelitian saat ini sedang berlangsung dan akan dilampirkan

di lampiran penelitian dalam setiap pelaksanaan kegiatan dan waktu

penelitianyang telah dilakukan.

Berikut time line penelitian yang penulis sajikan dalam bentuk tabel:

Angka (Bulan)
Kegiatan
6 7 8 9 10

Penyusunan Proposal

Penyusunan Instrumen

Inventarisir Bahan Hukum

Pelaksanaan Wawancara

Analisi Data dan Bahan Hukum

Finalisasi Tesis

H. Sistematika Penulisan

Adapun Sistimatika dalam Penulisan Tesis ini yakni adalah sebagai

berikut :
43

BAB I Pendahuluan, pada bab ini akan diuaraikan tentang latar

belakang, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangkan

konsep, keaslian penelitian, metode penelitian dan sistematika

penelitian.

BAB II Kajian Teori, pada bab ini berisi kaidah-kaidah pengaturan

hukum, mengenai beberapa teori berikut dengan kajian yang

dilakukan secara konseptual: Asset Recovery, Restorative Justice

dalam Kerangka Criminal Justice System, Relaksasi dalam

Hukum Pidana.

BAB III Hasil Penelitian dan Analisa, dalam bab ini akan diuraikan

tentang hasil penelitian dan analisa yang difokuskan untuk menjawab

rumusan masalah yang diajukan di awal. Jawaban atas rumusan

masalah yang dimaksud akan dikelompokkan menjadi tiga subbab

berikut: Eksistensi Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam

Kerangka Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Kronologi

Penjatuhan Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam Putusan

Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG, Ratio Decidendi Penjatuhan

Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam Putusan Nomor:

15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG

BAB V Penutup, berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan

pembahasan yang penulis uraikan secara keseluruhan dari tesis ini


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Asset Recovery

Kejahatan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap keuangan

negara dan rakyat dalam waktu yang bersamaan adalah korupsi. Oleh karena

itu, korupsi termasuk dalam kategori extraordinary crime. Perbuatan korupsi

menjadikan negara dan rakyat sebagai korban. Negara menjadi korban

dikarenakan perbuatan korupsi ini secara langsung akan mengakibatkan

terganggunya perekonomian negara.33

Pengambilan aset negara yang tidak benar ini telah mengakibatkan

kerugian terhadap rakyat dan/atau negara. Sehingga dalam penanganan kasus

korupsi ini poin utama yang harus dijadikan pijakan adalah pengembalian

kerugian negara negara yang telah diambil oleh para koruptor ini. Pada

dasarnya koruptur sudah dijatuhi pidana denda akan tetapi dalam penerapannya

para koruptor lebih memilih pidana kurungan. Hal ini mengakibatkan kerugian

negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ini tidak dapat dipulihkan.

Penegakan hukum dan pemulihan aset kejahatan seharusnya tidak dapat

dipisahkan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena dalam

pemberatasan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kerah

putih pengelolaan pengamanan hasil kejahatan adalah kebutuhan yang paling

mendasar. Seorang pelaku kejahatan kerah putih akan tetap berani menerima

33
Artidjo Alkostar, “Kerugian Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi”,
Varia Peradilan No. 275, Oktober 2008, halaman. 34-35.

44
45

resiko pidana kurungan sepanjang keluarganya masih makmur dengan

menikmati hasil dari tindakan korupsinya.34 Oleh karena itu, pidana korupsi

bukan pilihan yang bisa memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana

korupsi. Cara yang bisa menjadi alternatif dalam memberikan efek jera

terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah dengan merampas atau

mengambil kembali harta benda yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi.

Maka dari itu upaya pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya

melakukan pidana penjara terhadap pelaku korupsi. Akan tetapi, perlu adanya

instrumen hukum lainnya yang bisa memotong aliran hasil kejahatan tindak

pidana korupsi.35 Alternatif pidana yang bisa dilakukan adalah melakukan

pengembalian kerugian negara (Asset Recovery) negara yang telah dikorupsi,

sehingga koruptor tidak bisa lagi menikmati hasil-hasil dari tindak pidana

korupsi yang telah dilakukan.

Asset recovery (pemulihan aset) merupakan sebuah upaya penanganan

sebuah tindak pidana dengan tetap mempertahankan nilai aset yang telah

diambil dalam sebuah tindak pidana dan mengembalikan aset yang yang telah

diambil tersebut kepada korban kejahatan, termasuk juga kepada negara.

Pemulihan aset ini dilakukan dengan segala tindakan yang bersifat preventif

agar nilai aset tersebut tetap dapat dijaga dan tidak berkurang.36

34
Basrief Arief, “Pemulihan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, Workshop Pemulihan Aset
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Agustus 2014, halaman. 1.
35
Ibid, p. 2
36
Alyith Prakarsa Dan Rena Yulia, “Model Pengembalian kerugian negara (Asset Recovery)
Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal
Hukum PRIORIS Volume 6 Nomor 1, 2017, halaman. 38.
46

Pengembalian kerugian negara merupakan upaya penegakan hukum

yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi dalam rangka untuk

mencabut, merampas atau menghilangkan hak yang dimiliki atas segala aset

yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi. Aset yang diambil tidak sebatas

aset yang berada dalam negara korban tindak pidana korupsi, akan tetapi aset

hasil pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri juga dilakukan

pengambilan oleh negara korban tindak pidana korupsi.37 Hal ini dilakukan

dalam rangka pencegahan agar pelaku tindak pidana korupsi tidak melakukan

tindak pidana lainnya dengan aset hasil dari tindak pidana yang dilakukan.

Selain itu, pidana dengan pengembalian kerugian negara ini akan lebih

memberikan efek jera terhadap pelaku atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pengertian tersebut maka pengembalian kerugian negara

lebih menekankan kepada beberapa hal sebagai berikut:38

1. Pengembalian kerugian negara merupakan proses pencabutan,

penghilangan atau perampasan

2. Aset yang dikembalikan kepada negara sebagai korban tindak pidana

korupsi adalah aset dari hasil/keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak

pidana korupsi

3. Tujuan dari pengembalian kerugian negara ini adalah supaya pelaku tindak

pidana korupsi tidak dapat menggunakan hasil atau keuntungan dari tindak

37
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Kerugian Negara Hasil Korupsi, PT. Alumni,
Bandung, 2007, halaman. 105.
38
Ade Mahmud, “Problematika Asset Recovery Dalam Pengembalian Kerugian Negara
Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Yudisial Volume 11 No.3, 2018, halaman. 352.
47

pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana

lainnya

Selain itu, pengembalian kerugian negara hasil tindak pidana korupsi

juga memiliki beberapa unsur penting sebagai berikut:39

1. Pengembalian kerugian negara ini merupakan tindakan pengakan hukum

2. Penegakan hukum tersebut dilakukan melalui jalur pidana ataupun jalur

perdata

3. Dua jalur tersebut digunakan untuk melakukan pelacakan, pembekuan,

perampasan, penyitaan, penyerahan dan pengembalian kepada negara

korban tindak pidana korupsi

4. pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan dan

pengembalian dilakukan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi baik yang

berada di dalam negeri atau di luar negeri

5. Pengembalian kerugian negara ini dilakukan oleh negara korban tindak

pidana korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum negara

tersebut

Pengembalian kerugian negara ini merupakan hal penting dalam upaya

pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan esensinya yang mengupayakan

untuk mengembalikan semua aset hasil dari tindak pidana korupsi kepada

negara korban tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian negara ini juga

melindungi aset hasil tindak pidana korupsi untuk digunakan sebagai sarana

39
Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor (Solusi Pemberantasan Korupsi Di
Indonesia), Kompas, Jakarta, 2013, halaman. 162
48

untuk melakukan tindak pidana lainnya. Pengembalian kerugian negara ini

berdasar pada prinsip “berikan kepada negara apa yang menjadi haknya”,

seperti yang diketahui bersama bahwa dalam hak negara terkandung kewajiban

untuk memenuhi hak individu warga negara. Hal ini menjadikan prinsip

tersebut juga berarti bahwa “berikan kepada rakyat apa yang menjadi

haknya”.40 Sehingga dengan adanya pengembalian kerugian negara kepada

negara ini dapat untuk mendanai progam-progam pemerintah dalam rangka

membantu rakyat dan memberikan keadilan dan mencegah pejabat untuk

terlibat dalam lingkaran tindak pidana korupsi dimasa mendatang.41

Bagi negara berkembang seperti Indonesia pengembalian kerugian

negara negara yang telah dicuri merupakan aspek yang penting. Pengembalian

kerugian negara ini tidak hanya sebagai sebatas merestorasi aset aset yang telah

dicuri tetapi juga memiliki tujuan untuk memberikan penegakan terhadap

supremasi hukum di negara-negara berkembang.42 Hal ini sebagai sarana untuk

membuktikan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum. Sehingga

penegakan hukum di negara-negara berkembang ini dapat dilaksanakan dengan

baik.

Konvensi Internasional Anti Korupsi secara eksplisit telah memberikan

ketentuan terkait dengan pengembalian kerugian negara. Pasal 51 Konvensi

40
D. Ravena dan Kristian, Kebijakan Kriminal, Prenada Media Group, 2017, halaman. 176.
41
Mark V. Vlasic, Gregory Cooper, “Beyond The Duvalier Legacy: What New “Arab
Spring” Governments Can Learn From Haiti And The Benefits Of Stolen Asset Recovery”,
Northwestern Journal Of International Human Right, Vol. 10 No. 3, 2011, halaman. 19.
42
Bernadeta Maria Erna, “Peranan Jaksa Dalam Pengembalian kerugian negara Negara”,
Dalam Seminar Nasional Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Pengembalian kerugian
negara Hasil Koripsi Melalu Instrumen Hukum Perdata, FH Universitas Pasundan, Oktober 2013,
halaman. 2.
49

Anti Korupsi telah menerangkan bahwa secara teknis memungkinkan untuk

tuntutan baik secara perdata atau pidana untuk pengembalian kerugian negara

negara yang telah dicuri atau diambil dengan cara tindak pidana korupsi.

Dalam konvensi ini juga memberikan kemungkinan untuk dilakukan

perampasan atau pengembalian kerugian negara hasil tindak pidana korupsi

tanpa adanya pemidanaan dalam hal tersangka meninggal dunia, kabur atau

tidak hadir dalam kasus-kasus lain yang sama.43

Pengembalian kerugian negara negara dari hasil tindak pidana korupsi ini

dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

1. Pengembalian barang bergerak baik yang berwujud ataupun tidak berwujud

dan/atau barang tidak bergerak yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

dan/atau digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Termasuk juga

perusahan yang dimiliki oleh tersangka dimana tersangka tersebut

melakukan tindak pidana korupsi. Dan juga harga dari barang-barang yang

menggantikan barang tersebut. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 Huruf a

2. Pengembalian kerugian negara dengan cara pembayaran uang pengganti

yang mana jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai aset negara

yang telah dicuri. Apabila tersangka tidak bisa atau tidak berkenan untuk

membayar uang pengganti maka setelah satu bulan dari putusan pengadilan

yang telah memiliki kekuatan hukum tetap maka jaksa dalam melakukan

43
Alyith Prakarsa Dan Rena Yulia, op.cit, halaman. 39.
50

penyitaan kemudian melelang dengan tujuan untuk menutupi uang

pengganti tersebut

Kemudian mekanisme pengembalian kerugian negara ini dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut:44

1. Penelusuran Aset

Penelusuran aset berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia

Nomor PER-027/A/JA/10/2014 merupakan serangkaian tindakan mencari,

meminta, memperoleh dan menganalisa informasi tentang keberadaan dan

kepemilikan aset. Tindakan penelurusan aset ini perlu dimulai dengan

rencana penelusuran aset dengan melakukan penyusunan dengan cermat

terkait dengan keberadaan dan kepemilikan aset yang telah diambil oleh

terpidana tindak pidana korupsi

2. Pemblokiran

Berkaitan dengan melakukan pengamanan aset yang telah ditelusuri

merupakan atau diduga sebagai aset yang diperoleh melalui tindak pidana

korupsi selam proses penyidikan, penuntutan bahkan pemeriksaan di

pengadilan, maka penyidik, hakim atau jaksa meminta kepada bank untuk

melakukan pemblokiran simpanan milik tersangka. Hal ini sesuai dengan

Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang TIndak Pidana Korupsi.

3. Penyitaan

44
Rudy Hendra Pakpahan, “Pembaharuan Kebijakan Hukum Asset Recovery: Antara Ius
Constitutum Dan Ius Contituendum”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 16 No.6, 2019, halaman.
375-375.
51

Penyitaan ini dapat dilakukan terhadap harta benda milik pelaku yang

belum jelas asal perolehannya, apakah diperoleh dari tindak pidana korupsi

atau bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan hak kepada pelaku

untuk membuktikan bahwa pelaku (terdakwa) tidak melakukan tindak

pidana korupsi, dan sebaliknya memberikan pula kewajiban kepada pelaku

(terdakwa) untuk membuktikan bahwa sebagian atau seluruh harta

bendanya, harta benda isteri atau suami, dan anak maupun orang lain atau

korporasi bukanlah diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penyitaan ini

dilakukan Tindakan hukum berupa penyitaan aset dilakukan penyidikan

dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri

setempat sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Namun, apabila

dalam keadaan mendesak dan hanya atas benda bergerak maka penyitaan

dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum ada izin dari Ketua Pengadilan

Negeri setempat, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Prosedur

penyitaan yang demikian juga diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketentuan Pasal 38 ayat (1) menetapkan: “Penyitaan hanya dapat dilakukan

oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat”.45

45
Arizon Mega Jaya, “Perampasan Harta Kekayaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal
Cepalo Volume 2 Nomor 2, 2018, halaman. 52-53.
52

Pengembalian kerugian negara memang sangat penting saat ini

khususnya untuk diterapkan di Negara Indonesia. Sehingga Pengembalian

kerugian negara ini nantinya tidak lagi hanya sebatas sebagai alternatif pidana

terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Tetapi juga bisa menjadi pidana pokok

dalam upaya pemberantasan korupsi.

Kejahatan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap keuangan

negara dan rakyat dalam waktu yang bersamaan adalah korupsi. Oleh karena

itu, korupsi termasuk dalam kategori extraordinary crime. Perbuatan korupsi

menjadikan negara dan rakyat sebagai korban. Negara menjadi korban

dikarenakan perbuatan korupsi ini secara langsung akan mengakibatkan

terganggunya perekonomian negara.46

Pengambilan aset negara yang tidak benar ini telah mengakibatkan

kerugian terhadap rakyat dan/atau negara. Sehingga dalam penanganan kasus

korupsi ini poin utama yang harus dijadikan pijakan adalah pengembalian

kerugian negara negara yang telah diambil oleh para koruptor ini. Pada

dasarnya koruptur sudah dijatuhi pidana denda akan tetapi dalam penerapannya

para koruptor lebih memilih pidana kurungan. Hal ini mengakibatkan kerugian

negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ini tidak dapat dipulihkan.

Penegakan hukum dan pemulihan aset kejahatan seharusnya tidak dapat

dipisahkan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena dalam

pemberatasan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kerah

46
Artidjo Alkostar, “Kerugian Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi”,
Varia Peradilan No. 275, Oktober 2008, halaman. 34-35.
53

putih pengelolaan pengamanan hasil kejahatan adalah kebutuhan yang paling

mendasar. Seorang pelaku kejahatan kerah putih akan tetap berani menerima

resiko pidana kurungan sepanjang keluarganya masih makmur dengan

menikmati hasil dari tindakan korupsinya.47 Oleh karena itu, pidana korupsi

bukan pilihan yang bisa memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana

korupsi. Cara yang bisa menjadi alternatif dalam memberikan efek jera

terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah dengan merampas atau

mengambil kembali harta benda yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi.

Maka dari itu upaya pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya

melakukan pidana penjara terhadap pelaku korupsi. Akan tetapi, perlu adanya

instrumen hukum lainnya yang bisa memotong aliran hasil kejahatan tindak

pidana korupsi.48 Alternatif pidana yang bisa dilakukan adalah melakukan

pengembalian kerugian negara (Asset Recovery) negara yang telah dikorupsi,

sehingga koruptor tidak bisa lagi menikmati hasil-hasil dari tindak pidana

korupsi yang telah dilakukan.

Asset recovery (pemulihan aset) merupakan sebuah upaya penanganan

sebuah tindak pidana dengan tetap mempertahankan nilai aset yang telah

diambil dalam sebuah tindak pidana dan mengembalikan aset yang yang telah

diambil tersebut kepada korban kejahatan, termasuk juga kepada negara.

47
Basrief Arief, “Pemulihan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, Workshop Pemulihan Aset
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Agustus 2014, halaman. 1.
48
Ibid, p. 2
54

Pemulihan aset ini dilakukan dengan segala tindakan yang bersifat preventif

agar nilai aset tersebut tetap dapat dijaga dan tidak berkurang.49

Pengembalian kerugian negara merupakan upaya penegakan hukum

yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi dalam rangka untuk

mencabut, merampas atau menghilangkan hak yang dimiliki atas segala aset

yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi. Aset yang diambil tidak sebatas

aset yang berada dalam negara korban tindak pidana korupsi, akan tetapi aset

hasil pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri juga dilakukan

pengambilan oleh negara korban tindak pidana korupsi.50 Hal ini dilakukan

dalam rangka pencegahan agar pelaku tindak pidana korupsi tidak melakukan

tindak pidana lainnya dengan aset hasil dari tindak pidana yang dilakukan.

Selain itu, pidana dengan pengembalian kerugian negara ini akan lebih

memberikan efek jera terhadap pelaku atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pengertian tersebut maka pengembalian kerugian negara

lebih menekankan kepada beberapa hal sebagai berikut:51

1. Pengembalian kerugian negara merupakan proses pencabutan,

penghilangan atau perampasan

49
Alyith Prakarsa Dan Rena Yulia, “Model Pengembalian kerugian negara (Asset Recovery)
Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal
Hukum PRIORIS Volume 6 Nomor 1, 2017, halaman. 38.
50
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian kerugian negara Hasil Korupsi, PT. Alumni,
Bandung, 2007, halaman. 105.
51
Ade Mahmud, “Problematika Asset Recovery Dalam Pengembalian Kerugian Negara
Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Yudisial Volume 11 No.3, 2018, halaman. 352.
55

2. Aset yang dikembalikan kepada negara sebagai korban tindak pidana

korupsi adalah aset dari hasil/keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak

pidana korupsi

3. Tujuan dari pengembalian kerugian negara ini adalah supaya pelaku tindak

pidana korupsi tidak dapat menggunakan hasil atau keuntungan dari tindak

pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana

lainnya

Selain itu, pengembalian kerugian negara hasil tindak pidana korupsi

juga memiliki beberapa unsur penting sebagai berikut:52

1. Pengembalian kerugian negara ini merupakan tindakan pengakan hukum

2. Penegakan hukum tersebut dilakukan melalui jalur pidana ataupun jalur

perdata

3. Dua jalur tersebut digunakan untuk melakukan pelacakan, pembekuan,

perampasan, penyitaan, penyerahan dan pengembalian kepada negara

korban tindak pidana korupsi

4. pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan dan

pengembalian dilakukan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi baik yang

berada di dalam negeri atau di luar negeri

5. Pengembalian kerugian negara ini dilakukan oleh negara korban tindak

pidana korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum negara

tersebut

52
Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor (Solusi Pemberantasan Korupsi Di
Indonesia), Kompas, Jakarta, 2013, halaman. 162.
56

Pengembalian kerugian negara ini merupakan hal penting dalam upaya

pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan esensinya yang mengupayakan

untuk mengembalikan semua aset hasil dari tindak pidana korupsi kepada

negara korban tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian negara ini juga

melindungi aset hasil tindak pidana korupsi untuk digunakan sebagai sarana

untuk melakukan tindak pidana lainnya. Pengembalian kerugian negara ini

berdasar pada prinsip “berikan kepada negara apa yang menjadi haknya”,

seperti yang diketahui bersama bahwa dalam hak negara terkandung kewajiban

untuk memenuhi hak individu warga negara. Hal ini menjadikan prinsip

tersebut juga berarti bahwa “berikan kepada rakyat apa yang menjadi

haknya”.53 Sehingga dengan adanya pengembalian kerugian negara kepada

negara ini dapat untuk mendanai progam-progam pemerintah dalam rangka

membantu rakyat dan memberikan keadilan dan mencegah pejabat untuk

terlibat dalam lingkaran tindak pidana korupsi dimasa mendatang.54

Bagi negara berkembang seperti Indonesia pengembalian kerugian

negara negara yang telah dicuri merupakan aspek yang penting. Pengembalian

kerugian negara ini tidak hanya sebagai sebatas merestorasi aset aset yang telah

dicuri tetapi juga memiliki tujuan untuk memberikan penegakan terhadap

supremasi hukum di negara-negara berkembang.55 Hal ini sebagai sarana untuk

53
D. Ravena dan Kristian, Kebijakan Kriminal, Prenada Media Group, 2017, halaman. 176.
54
Mark V. Vlasic, Gregory Cooper, “Beyond The Duvalier Legacy: What New “Arab
Spring” Governments Can Learn From Haiti And The Benefits Of Stolen Asset Recovery”,
Northwestern Journal Of International Human Right, Vol. 10 No. 3, 2011, halaman. 19.
55
Bernadeta Maria Erna, “Peranan Jaksa Dalam Pengembalian Kerugian Negara”, Dalam
Seminar Nasional Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Pengembalian kerugian negara Hasil
Koripsi Melalu Instrumen Hukum Perdata, FH Universitas Pasundan, Oktober 2013, halaman. 2.
57

membuktikan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum. Sehingga

penegakan hukum di negara-negara berkembang ini dapat dilaksanakan dengan

baik.

Konvensi Internasional Anti Korupsi secara eksplisit telah memberikan

ketentuan terkait dengan pengembalian kerugian negara. Pasal 51 Konvensi

Anti Korupsi telah menerangkan bahwa secara teknis memungkinkan untuk

tuntutan baik secara perdata atau pidana untuk pengembalian kerugian negara

negara yang telah dicuri atau diambil dengan cara tindak pidana korupsi.

Dalam konvensi ini juga memberikan kemungkinan untuk dilakukan

perampasan atau pengembalian kerugian negara hasil tindak pidana korupsi

tanpa adanya pemidanaan dalam hal tersangka meninggal dunia, kabur atau

tidak hadir dalam kasus-kasus lain yang sama.56

Pengembalian kerugian negara negara dari hasil tindak pidana korupsi ini

dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

1. Pengembalian barang bergerak baik yang berwujud ataupun tidak berwujud

dan/atau barang tidak bergerak yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

dan/atau digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Termasuk juga

perusahan yang dimiliki oleh tersangka dimana tersangka tersebut

melakukan tindak pidana korupsi. Dan juga harga dari barang-barang yang

menggantikan barang tersebut. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 Huruf a

56
Alyith Prakarsa Dan Rena Yulia, op.cit, halaman. 39.
58

2. Pengembalian kerugian negara dengan cara pembayaran uang pengganti

yang mana jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai aset negara

yang telah dicuri. Apabila tersangka tidak bisa atau tidak berkenan untuk

membayar uang pengganti maka setelah satu bulan dari putusan pengadilan

yang telah memiliki kekuatan hukum tetap maka jaksa dalam melakukan

penyitaan kemudian melelang dengan tujuan untuk menutupi uang

pengganti tersebut

Kemudian mekanisme pengembalian kerugian negara ini dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut:57

1. Penelusuran Aset

Penelusuran aset berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik

Indonesia Nomor PER-027/A/JA/10/2014 merupakan serangkaian tindakan

mencari, meminta, memperoleh dan menganalisa informasi tentang

keberadaan dan kepemilikan aset. Tindakan penelurusan aset ini perlu

dimulai dengan rencana penelusuran aset dengan melakukan penyusunan

dengan cermat terkait dengan keberadaan dan kepemilikan aset yang telah

diambil oleh terpidana tindak pidana korupsi

2. Pemblokiran

Berkaitan dengan melakukan pengamanan aset yang telah ditelusuri

merupakan atau diduga sebagai aset yang diperoleh melalui tindak pidana

korupsi selam proses penyidikan, penuntutan bahkan pemeriksaan di

57
Rudy Hendra Pakpahan, “Pembaharuan Kebijakan Hukum Asset Recovery: Antara Ius
Constitutum Dan Ius Contituendum”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 16 No.6, 2019, halaman.
375-375.
59

pengadilan, maka penyidik, hakim atau jaksa meminta kepada bank untuk

melakukan pemblokiran simpanan milik tersangka. Hal ini sesuai dengan

Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang TIndak Pidana Korupsi.

3. Penyitaan

Penyitaan ini dapat dilakukan terhadap harta benda milik pelaku yang

belum jelas asal perolehannya, apakah diperoleh dari tindak pidana korupsi

atau bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan hak kepada pelaku

untuk membuktikan bahwa pelaku (terdakwa) tidak melakukan tindak

pidana korupsi, dan sebaliknya memberikan pula kewajiban kepada pelaku

(terdakwa) untuk membuktikan bahwa sebagian atau seluruh harta

bendanya, harta benda isteri atau suami, dan anak maupun orang lain atau

korporasi bukanlah diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penyitaan ini

dilakukan Tindakan hukum berupa penyitaan aset dilakukan penyidikan

dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri

setempat sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Namun, apabila

dalam keadaan mendesak dan hanya atas benda bergerak maka penyitaan

dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum ada izin dari Ketua Pengadilan

Negeri setempat, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Prosedur

penyitaan yang demikian juga diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.


60

Ketentuan Pasal 38 ayat (1) menetapkan: “Penyitaan hanya dapat dilakukan

oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat”.58

Pengembalian kerugian negara memang sangat penting saat ini

khususnya untuk diterapkan di Negara Indonesia. Sehingga Pengembalian

kerugian negara ini nantinya tidak lagi hanya sebatas sebagai alternatif pidana

terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Tetapi juga bisa menjadi pidana pokok

dalam upaya pemberantasan korupsi.

B. Restorative Justice dalam Kerangka Criminal Justice System

1. Pengertian restorative justice

Istilah restorative justice sering kali didengar pada praktek penegakan

hukum pidana. Dalam bahasa Indonesia istilah restorative justice disebut

dengan keadilan restoratif. Konsep restorative justice ini pada dasarnya

sudah dikenal lebih dari dua puluh tahun sebagai alternatif dalam

penyelesaian tindak pidana. John Braithwaite mengatakan bahwa konsep

restorative justice ini merupakan arah baru antara justice dan walfare model,

selain itu juga antara retribution dan rehabilitation.59 Restorative justice ini

telah diberlakukan dibeberapa negara Eropa, Amerika Utara, Australia.

Bahkan negara-negara tersebut telah menerapkan restorative justice pada

seluruh tahap proses peradilan pidana.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kongres Lima Tahunan yang

ke-5 di Jenewa pada tahun 1975 telah memberikan dukungan terhadap

58
Arizon Mega Jaya, “Perampasan Harta Kekayaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal
Cepalo Volume 2 Nomor 2, 2018, halaman. 52-53.
59
John Braithwaite, Restorative Justice And Responsive Regulation, University Press,
Oxford, 2002, halaman. 1.
61

pemberlakuan restorative justice sebagai alternatif dalam menyelesaikan

tindak pidana. PBB memberikan perhatian khusus terhadap pemberlakuan

keadilan restoratif ini dengan menekankan pada ganti rugi bagi korban

tindak pidana.60 Konsep kaadilan restoratif ini sebenarnya terinspirasi dari

praktek pemeliharaan perdamaian yang dilakukan oleh Suku Mori (Suku

asli Selandia Baru).61

Secara umum restorative justice mengandung pengertian pemulihan

hubungan dan penebusan kesalahan oleh pelaku kejahatan atau tindak

pidana atau melalui keluarganya kepada korban atau keluarga korban tindak

pidana tersebut tanpa melalui persidangan dengan tujuan supaya

permasalahan yang hukum yang ditimbulkan akibat perbuatan pidana dapat

diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan

diantara kedua belah pihak.62 Dengan adanya restorative justice ini

diharapkan penegakan hukum pidana dapat lebih tercapai dan mengandung

manfaat langsung khususnya kepada korban.

Selama ini di Indonesia dalam penegakan hukum pidana masih

menggunkan keadilan retributif. Keadilan retributif ini dirasa kurang

memberi manfaat karena dalam penyelesaiannya tidak melibatkan secara

langsung pelaku dan korban.63 Sedangkan dalam restorative justice ini

60
Zico Junius Fernando, “Pentingnya Restorative Justice Dalam Konsep Ius
Constituendum”, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Volume 5 Nomor 2, 2020,
halaman. 257.
61
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Gramedia, Jakarta, 2010, halaman. 196.
62
Hanafi Arief dan Ningrum Ambarsari, “Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam
Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Al ‘Adl Volume X Nomor 2, 2018, halaman. 172.
63
Ibid, p. 174
62

semua pihak yang terlibat dalam dalam tindak pidana tertentu berusaha

bersama-sama memecahkan masalah dengan tujuan untuk mencegah

terulangnya akibat tindak pidana tersebut dimasa yang akan datang. Karena

pada prinsip yang paling utama dalam restorative justice ini adalah

partisipasi secara langsung dari seluruh pihak yang terlibat tindak pidana

tersebut baik pelaku, korban ataupun masyarakat sebagai fasilitator

penyelesaian tindak pidana.64 Sehingga dalam penyelesaian tindak pidana

menggunakan restorative justice ini kontribusi dari setiap elemen yang

terlibat tindak pidana tersebut sangatlah dibutuhkan.

Tujuan utama dari restorative justice ini adalah untuk memperbaiki dan

memulihkan hubungan antara korban dan pelaku tindak pidana. Perbaikan

dan pemulihan ini harus didapatkan dari kedua belah pihak baik dari korban

dan pelaku. Dengan adanya pemulihan hubungan dari kedua belah pihak ini

diharapkan korban dapat menerangkan kepada pelaku jumlah kerugian yang

diderita dari perbuatan pelaku.65 Sedangkan pelaku juga diberi kesempatan

untuk menebus kerugian yang telah diderita korban baik dengan mekanisme

ganti rugi, kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Penerapan restorative justice menurut Liebmann harus memenuhi

beberapa prinsip yang harus dipenuhi.66 Prinsip tersebut adalah sebagai

berikut:

64
Apong Herliana dkk, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT.
Raja Grafindo, Jakarta, 2004 halaman 30
65
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, halaman. 88.
66
Marian Liebmann, Restorative Justice, How It Work, Jessica Kingsley Publisher, London
and Philadelphia, 2007, halaman. 205.
63

a. Memprioritas dukungan dan penyembuhan korban

b. Pelaku bertanggung jawab atas apa mereka lakukan

c. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman

d. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan

e. Pelaku pelanggar harus secara sadar tentang bagaimana cara menghindari

kejahatan di masa depan

f. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak

baik korban maupun pelaku

Prinsip-prinsip tersebut tidak dapat dilakukan apabila kedua belah pihak

tidak bertemu. Oleh karena itu, bertemunya kedua belah pihak dalam

melaksanakan restorative justice adalah hal yang harus dipenuhi terlebih

dahulu. Sedangkan menurut Susan Sharpe terdapat lima prinsip dalam

restorative justice sebagai berikut:67

a. Restorative justice haruslah mengandung partisipasi penuh dan

konsensus. Prinsip ini mengandung maksud bahwa harus adanya

pelibatan secara aktif dan langsung antara pelaku dan/atau keluarganya

serta korban dan/atau keluarganya, serta membuka peluang juga kepada

pihak ketiga yang merasa terganggu akibat perbuatan tindak pidana yang

telah dilakukan.

b. Restorative justice harus berusaha untuk menyembuhkan kerusakan atau

kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan. Pada prinsip ini

67
Mahmul Siregar, Pedoman Praktis Melindungi Anak Dengan Hukum Pada Situasi
Emergensi Dan Bencana Alam, Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), Jakarta, 2007, halaman.
89.
64

restorative justice diibaratkan sebagai seroang dokter yang mendiagnosa

pasien. Restorative justice yang mengharuskan untuk pelibatan secara

langsung antara pelaku dan korban maka dengan menggunakan

restorative justice ini dapat memberikan diagnosa yang tepat kepada

korban ataupun pelaku. Korban dapat dipulihkan sesuai dengan

kerugiaan yang diderita dari perbuatan pelaku. Sedangkan pelaku juga

dapat pemulihan karena pelaku dapat dibebaskan dari kebersalahan dan

ketakutannya.

c. Restorative justice memberikan pertanggungjawaban secara langsung

dari pelaku secara utuh. Bermakna bahwa segala penyelesaian tindak

pidana menggunakan restorative justice ini pelaku harus menunjukkan

fakta pengakuannya. Pengakuan harus dilakukan secara langsung dalam

mempertanggungjawabkan kesalah yang diperbuat serta memperbaiki

diri untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut

d. Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga

masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal.

Perbuatan tindak pidana akan mengakibatkan timbulnya stigma negatif

dari masyarakat. Restorative justice berusaha memulihkan hal tersebut

dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dan pelaku. Sehingga lebel

“pelaku” dan “korban” tidak melekat selamanya terhadap kedua belah

pihak. Karena pada dasarnya baik pelaku dan korban memiliki hak untuk

mencapai masa depan yang lebih baik lagi.


65

e. Restorative justice memberikan ketahanan kepada warga masyarakat

agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat diketahui bahwa prinsip utama

dari pemberlakuan restorative justice adalah pemulihan atau restorasi dari

setiap elemen yang terlibat dalam tindak pidana tersebut, baik dari pelaku,

korban ataupun masyarakat.68 Pemulihan terhadap tiga belah pihak ini

dalam peradilan biasa tidak dapat terpenuhi secara langsung. Bahkan korban

sebagai orang yang paling dirugikan dalam tindak pidana tidak dapat

dipenuhi pemulihannya secara langsung. Hal ini dikarenakan dalam

peradilan pidana peranan korban diambil alih oleh negara. Karena dalam

perkara pidana kejahatan dimaknai sebagai perbuatan yang merugikan

negara.

2. Restorative justice dalam kerangka criminal justice system

Konsep restorative justice pada dasarnya simpel. Restorative justice

tidak lagi memandang keadilan harus diterapkan berdasarkan pembalasan

yang setimpal dari korban kepada pelaku baik secara fisik ataupun psikis.

Namun, dalam konsep restorative justice keadilan dilakukan dengan

memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk

bertanggung jawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat.

Demi mewujudkan keadilan bagi korban ataupun pelaku sudah

seharusnya penegak hukum tidak hanya melihat hukum berdasarkan pasal-

68
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015,
halaman. 53.
66

pasal yang tertulis tetapi juga perlu untuk menerobos aturan (rule breaking).

Karena harus disadari bahwa saat ini hukum bukan lagi teks untuk mencapai

keadilan yang didambakan oleh masyarakat.

Di Indonesia sendiri pada dasarnya banyak hukum adat yang bisa

dijadikan sebagai sarana penerapan restorative justice. Akan tetapi,

keberadaannya belum diakui dan tidak dikodifikasikan dalam hukum

nasional. Pada prakteknya penyelesaian konflik dengan hukum adat lebih

bisa memberikan kepuasan kepada para pihak yang sedang berkonflik. Ide

restorative justice ini berkembang sebagai kritik terhadap sistem

pemenjaraan yang kurang efektif dalam menyelesaikan konflik sosial. Hal

ini dikarenakan tidak adanya pelibatan secara efektif dari semua pihak yang

sedang berkonflik.69

Pada perkembangan wacana pembaharuan hukum pidana ataupun

wacana teoritik diberbagai negara terdapat kecenderungan yang kuat untuk

menggunakan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah

pada bidang hukum pidana.70 Penyelesaian menggunakan mediasi ini

ditingkat Internasional sudah dikenal sejak lama. Seperti dalam konferensi

PBB ke-9 tahun 1995 yang berkorelasi dengan manajemen peradilan adalah

dokumen A/CONF 169/6 yang menyebutkan bahwa semua negara patut

69
Setyo Utomo, “Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice”,
Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Volume V Nomor 1, 2017, halaman.
86.
70
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka
Megister, Semarang, 2008, halaman. 5.
67

untuk menyelesaikan konflik dengan menggunakan mediasi, rekonsiliasi,

restitusi, dan kompensasi pada sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan di Indonesia diatur secara tegas dalam KUHAP (Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981. Dalam KUHAP ini terdapat sistem kekuasaan atau

kewenangan yang diberikan kepada negara untuk menegakkan hukum yakni

kepolisian, kejaksaan, hakim dan juga lembaga kemasyarakatan. Sistem

peradilan pidana disini dimaknai sebagai pemahaman bahwa pada

hakikatnya apa yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga kepolisian,

kejaksaan, hakim, dan juga lembaga kemasyarakatan adalah usaha yang

konkrit untuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak.

Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dirumuskan sebagai

sebuah upaya untuk merespon pembaharuan sistem peradilan pidana di

Indonesia yang menitikberatkan kepada pemenuhan pelibatan masyarakat

dan korban yang merasa disisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada

sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini.

Restorative justice harus dilaksanakan sebagai upaya harmonisasi antar

warga masyarakat bukan pada titik berat penghukuman. Unsur-unsur yang

harus dipenuhi dalam pelaksanaan restorative justice pada sistem peradilan

pidana adalah sebagai berikut:

a. Restorative justice merupakan suatu jenis keadilan yang merupakan

konsep hukum proses pidana yang diakui secara universal


68

b. Restorative justice memandang tindak pidana bukan lagi kejahatan

terhadap negara tetapi beralih pada kejahatan terhadap korban

c. Restorative justice memiliki fokus pada penderitaan atau kerugian yang

diderita oleh korban tidak lagi pada pemidanaan terhadap pelaku

d. Restorative justice dapat berupa dialog secara langsung ataupun tidak

langsung antara pihak pihak yang sedang berkonflik

e. Restorative justice tidak hanya berbentuk rekonsiliasi

Penegakan hukum menggunakan restorative justice sangat

membutuhkan dialog yang terjadi antara korban dan pelaku. Proses dialog

ini merupakan modal penting dalam penyelesaian konflik. Pada proses

dialog ini korban memaparkan apa yang telah diderita serta memaparkan

harapan-harapan terkait dengan pemenuhan hak dalam penyelesaian perkara

pidana ini. Adanya dialog ini diharapkan juga pelaku dapat tergugah hatinya

untuk melakukan intropeksi diri, kemudian dapat menyadari kesalahannya

dan dapat bertanggung jawab secara sadar sebagai konsekuensi tindak

pidana yang telah dilakukan. Sedangakan pada proses dialog ini masyarakat

dapat bertindak untuk memantau pelaksanaan hasil dialog tersebut.

Sehingga dalam restorative justice ini memiliki prinsip kerja sebagai

berikut:

a. Penanganan konflik

b. Berorientasi terhadap proses

c. Proses informal atau menghindari prosedur hukum yang terlalu ketat

d. Partisipasi aktif dan otonom dari semua pihak yang terlibat


69

Masalah utama dalam pelaksanaan konsep restorative justice pada sistem

peradilan pidana adalah terlatak pada mekanisme penyelesaian yang

ditawarkan antara restorative justice dan sistem penyelesaian pidana pada

sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini. Sistem peradilan pidana dengan

menggunakan konsep restorative justice mengedepankan perdamaian.

Berbanding terbalik dengan sistem peradilan pidana yang selama ini berjalan

yaitu pemenjaraan.

C. Konsep Peringanan Pidana dan Penghapusan Pidana

1. Konsep Peringanan Pidana

Istilah peringanan pidana tidak diatur secara eksplisit dalam

instrumentarium hukum pidana di Indonesia. Secara konseptual istilah ini

ditujukan untuk menyebut sebuah kebijakan yang diberlakukan dalam

penjatuhan pidana, dimana hakim memberikan putusan yang lebih ringan

dari tuntutan jaksa dengan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat faktual

dan hal-hal yang diatur secara yuridis dalam peraturan perundang-

undangan. Criminal Code of Republic Romania menetapkan batasan bagi

keadaan meringankan yang masuk dalam definisi judicial mitigation

circumstances sebagai berikut:

a. Upaya pelaku untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat keseriusan

dari tindak pidana

b. Keadaan-keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan,

yang mengurangi tingkat keseriusan dari tindak pidananya atau ancaman

bahaya dari pelakunya.


70

Adapun peringanan pidana yang dimaksud dapat berupa: pertama,

pengurangan 1/3 dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus

untuk tindak pidana tertentu. Kedua, untuk tindak pidana yang diancam

dengan pidana mati dan penjara seumur hidup, maka peringanan pidana

dapat diwujudkan dengan penjatuhan pidana penjara selama 15 tahun.

Ketiga, peringanan pidana berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih

berat ke jenis pidana yang lebih ringan.

Dasar-dasar diperingankannya pidana dibedakan atas dasar yang bersifat

umum dan dasar yang bersifat khusus. Dasar yang bersfat umum

diperuntukkan bagi tindak pidana umum, sedangkan dasar yang bersifat

khusus diperuntukkan pada tindak pidana khusus.71 Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, dasar peringanan pidana diuraikan sebagai berikut:

a. Percobaan

b. Membantu melakukan

c. Seorang ibu yang menempatkan anaknya untuk ditemukan atau

meninggalkan ankanya dengan tujuan untuk melepaskan diri dari anak

tersebut sesudah melahirkan sang anak karena rasa takut akan diketahui

orang, maka dalam hal ini tindakan tersebut merupakan dasar

diperingannya pidana yang bersifat khusus.

d. Seorang ibu yang dengan sengaja merampas nyawa anaknya tidak lama

setelah ia melahirkannya karena takut akan ketahuan melahirkan, maka

71
Aliftra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses, Jakarta,
2012, halaman. 35.
71

tindakan tersebut tergolong alasan diperingannya pidana yang bersifat

khusus

e. Seorang ibu yang secara terencana merampas nyawa anak yang baru saja

dilahirkan karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan, maka

tindakan tersebut diancam dengan pidana pembunuhan anak sendiri

dengan rencana. Akan tetapi hal yang demikian juga menjadi alasan

diperingankannya pidana dengan sifat khusus.

f. Pelaku pidana merupakan seorang anak yang usianya belum mencapai

16 tahun

g. Pada tindak pidana penganiayaan bilamana perbuatan yang dilakukan

tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekejaankorban, maka hal tersebut menjadi dasar diperingannya pidana

h. Penyerahan diri secara sukarela kepada pihak yang berwajib setelah

melakukan tindak pidana

i. Tindak pidana yang dilakukan oleh wanta hamil

j. Pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara

sukarela sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan

Uraian di atas merupakan alasan diperingannya pidana berdasarkan pada

ketentuan yuridis yang berkenaan dengan objektivitas perbuatan yang

dilakukan. Adapun dasar-dasar diperingannya pidana berdasarkan pada

kondisi faktual di persidangan yang berkenaan dengan subjektivitas pelaku

adalah sebagai berikut:

a. Terdakwa mengaku berterus terang sehingga memperlancar persidangan


72

b. Terdakwa mengakui bersalah

c. Merasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi

d. Terdakwa belum pernah dihukum

e. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga

f. Terdakwa telah menitipkan sejumlah uang sebesar kerugian negara yang

ditimbulkan akibat perbuatan terdakwa

Landasan diperingannya pidana berkenaan dengan hal-hal yang bersifat

faktual tersebut diatur dalam dalam Pasal 8 Ayat (2) Undang Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut menyatakan

bahwa, dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

pula memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Secara filosofis dan sosiologis terdapat beberapa hal yang menjadikan

kebijakan peringanan pidana patut dipertibangkan: pertama,

proporsionalitas penjatuhan pidana. Proporsionalitas yang dimaksud

mengacu pada dua hal, yakni: berkenaan dengan keseluruhan tingkat dari

skala pemidanaan, baik maksimum pidana maupun berat ringannya pidana

yang senyatanya dijatuhkan, dimana pidana tersebut merupakan

konsekuensi yang harus diterima oleh si pembuat dan bagaimana pidana

yang dijatuhkan terhadap seseorang pelaku apabila dibandingkan dengan

peristiwa lain yang kesalahannya sebanding dengannya.72 Kedua,

pertimbangan keadaan meringankan dalam penjatuhan pidana maksimum,

72
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenadamedia Group, Jakarta, halaman. 150-151.
73

sehingga pertimbangan keadaan meringankan ini dapat menghindarkan

terdakwa dai ancaman pidana maksimum. Ketiga, perimbangan keadaan

meringankan dalam penjatuhan pidana di bawah minimum khusus. Pidana

minimum khusus adalah ancaman pidana dengan adanya pembatasan

terhadap masa hukuman minimum dengan waktu tertentu, dimana pidana

minimum khusus ini hanya ada pada undang-undang tertentu di luar Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Konsep Penghapusan Pidana

Dalam kerangka hukum pidana, George P. Fletcher mengemukakan

bahwa terdapat tiga teori besar yang dijadikan alasan atau dasar dalam

penghapusan pidana. Teori yang dimaksud adalah: theory of pointless

punishment, theory of lesser evils, dan theory of necessary defense. Ketiga

teori tersebut dikemukakan dalam sebuah buku dengan judul Rethinking

Criminal Law.

Pertama, theory of pointless punishment yang berpijak pada asas

kemanfaatan sebagai alasan pemaaf dari sebuah pidana. Keberadaan ini

teori ini tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pemikiran Jeremy Bentham

yang menyatakan bahwa, pemidanaan haruslah bermanfaat. Kemnafaatan

yang dimaksud mencakup pada tiga klasterisasi, yakni: pemidanaan akan

sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan diri pada pelakunya,

pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan,

dan pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
74

Kedua, theory of lesser evils atau dieknal pula sebagai teori peringkat

kejahatan yang lebih ringan. Teori ini menyatakan bahwa sebuah perbuatan

dapat dibenarkan dengan berdasar pada dua alasan primer, yakni:

a. Meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan, namun perbuatan

tersebut harus dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih

besar, tegasnya tingkat bahya yang harus dihindari jauh lebih besar

daripada sekedar penyimpangan terhadap suatu peraturan perundang-

undangan.

b. Perbuatan yang melanggar aturan tersebut hanya merupakan satu-

satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk

menghindari bahaya atau ancaman yang akan timbul

Ketiga, theory of necessary defense atau dikenal pula sebagai teori

pembelaan yang diperlukan. Teori ini memperdebatkan empat hal yang

mendasar, sebagai berikut:

a. Penggunaan kekuatan yang diperbolehkan dalam situasi tertentu

b. Kewajiban untuk menghindari

c. Hak pihak ketiga untuk campur tangan

d. Membolehkan melawan untuk membebaskan diri dari serangan

Selanjutnya, sama halnya dengan peringanan pidana, konsep

penghapusan pidana juga dibedakan atas alasan penghapusan yang bersifat

umum alasan penghapusan pidana yang bersifat khusus. Berikut penjelasan

dari masing-masing alasan penghapusan pidana:

a. Alasan penghapusan pidana yang bersifat umum


75

Alasan penghapusan pidana yang bersifat umum diklasterisasikan

menjadi dua, yakni alasan penghapusan pidana umum menurut undang-

undang dan alasan penghapusan pidana umum di luar undang-undang.

1) Alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang

a) Tidak mampu bertanggungjawab: Pasal 44 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana menyebutkan bahwa, tidak mampu

bertanggungjawab : (1) barangsiapa yang melakukan perbuatan

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan

karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena

penyakit tidak dipidana; (2) jika ternyata bahwa perbuatan tidak

dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya

cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim

dapat emmerintahkan supaya orang tersebut dimasukkan ke dalam

rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan;

b) Daya paksa: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak

memberikan definisi yang tegas terkait dengan istilah daya paksa,

akan tetapi berkenaan dengan istlah tersebut muncul beberapa

postulat yang dapat dijadikan sebagai acuan, sebagai berikut: (1)

keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh

hukum; (2) keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang

perlu; (3) keadaan terpaksa melindungi apa yang harus dperbuat;

(4) keadaan terpaksa tdak ditahan oleh hukum, perbuatan yang


76

dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa

maka perbuatan tersebut dianggap sah.

c) Keadaan darurat: secara prinsipil Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana tidak memberikan pembedaan tentang keadaan darurat dan

daya paksa, keduanya dianggap sema sehingga pembentukan

KUHP meyakini bahwa tidak perlu memberikan ketentuan

tambahan terkait dengan keadaan darurat.73 Meskipun demikian,

Van Bammelan dan Van Hattum memberikan penjelasan terkait

dengan perbedaan antara keadaan darurat dan daya paksa,

menurutnya tipe daya paksa dalam arti sempit, si pelaku berbuat

dan atau tidak berbuat disebabkan satu tekanan psikis oleh orang

lain atau keadaan. Bagi si pelaku tidak ada penentuan kehendak

secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang

sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang

sebenarnya tidak ingin dia lakukan. Dalam keadaan darurat, si

pelaku ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa

atau mendorong pelaku untuk melakukan pelangaran terhadap

undang-undang.74

d) Pembelaan terpaksa: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

mengatur bahwa, barang siapa terpaksa melakukan perbuatan

untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan

73
Jan Rammelink,
74
Eddy OS Hiariej
77

seketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun

orang lain, tidak dipidana.

e) Pembelaan terpaksa melampaui batas: pembelaan jenis ini dapat

terjadi dalam dua bentuk, yaitu: (1) orang yang menghadapi suatu

serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat

kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan; (2)

orang yang melakukan pebelaan terpaksa megalami goncangan

jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya

drastic untuk membela diri. Berkenaan dengan dua jenis

pembelaan terpaksa melampaui batas tersebut, kemudian Sudarto

menyebutkan bahwa terdapat tiga syarat dalam pembelaan terpaksa

tersebut: kelampauan batas yang diperlukan, pembelaan dilakukan

sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, dan

kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya

serangan, artinya terdapat hubungan kausalitas atara kegoncangan

jiwa dengan serangan.

f) Melaksanakan perintah undang-undang: ketentuan ini merupakan

pertentangan antara dua kewajiban hukum. Artinya perbuatan

tersebut di satu sisi untuk menaati suatu peraturan, namun di sisi

lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena

itu, untuk melaksanakan perintah undang-undang digunakan

theory of lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan.

Dengan demikian, melaksanakan perintah undang-undang


78

merupakan alasan pembenar yang menghapuskan unsur melawan

hukumnya perbuatan.

g) Perintah jabatan: perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang

berwenang memberikan hak kepada yang menerima perintah untuk

bebrbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian hak

ini menghapuskan unsur melawan hukumnya perbuatan sehingga

dimasukkan sebagai alasan pembenar. Menuruts Hazewinkel

Suringa bahwa tidak setiap perintah jabatan membenarkan

perbuatan yang dilakukan oleh penerima perintah, semuanya

tergantung pada cara melakukan perintah atau alat-alat yang

digunakan untuk melaksanakan perintah.75

2) Alasan penghapusan pidana umum di luar undang-undang

a) Izin: izin atau persetujuan merupakan suatu alasan penghapusan

pidana, dalam hal ini adalah alasan pembenar, jika perbuatan yang

dlakukan mendapat persetujuan dai orang yang akan dirugikan dari

perbuatan tersebut. Terdapat empat syarat agar izin atau

persetujuan sebagai alasan pembenar yakni: (1) pemberi izin tidak

memberi persetujuan karena adanya suatu tipu muslihat; (2)

pemberi izin tidak berada dalam kekhilafan; (3) pemberi izin ketika

memberikan persetujuan tidak berada dalam suatu tekanan; (4)

substansi permasalahan yang diberikan izin tidak bertentangan

dengan kesusilaan.

75
Eddy OS Hiariej
79

b) Eror facti: eror facti atau tidak ada kesalahan sama sekali

merupakan alasan penghapusan pidana dimana pelaku telah cukup

berusha untuk tidak melakukan delik.

c) Eror juris: eror juris atau kesesatan hukum dimaknai sebagai suatu

perbuatan yang dilakukan dengan perkiraan bahwa perbuatan yang

dilakukan tidak dilarang oleh undang-undang. Eror juris dibedakan

menjadi dua, yakni: eror juris yang dapat dimengerti dan eror juris

yang tidak dapat dimengerti. Kedua kesesatan tersebut merujuk

pada tingkat pengetahuan objektif dari pelaku.

d) Tidak ada sifat melawan hukum materiil: sifat melawan hukum

materiil dapat dilihat dalam dua hal, yakni perbuatan yang

dilakukan dan sumber hukum yang digunakan. Dilihat dari sudut

pandang perbuatannya, sifat melawan hukum materiil

dimaksudkan pada sebuah perbuatan yang melanggar atau

membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh

pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Adapun

sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut pandang sumber

hukumnya diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan

hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat,

asas-asas kepatutan, atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial

dalam masyarakat.76

76
Andi Hamzah, halaman. 63.
80

e) Hak jabatan: hak jabatan merupakan salah satu alasan yang

dibenarkan dalam penghapusan pidana. dimana suatu perbuatan

pidana dilakukan karena timbul dari pekerjaan yang dilakukan

sebagai sebuah hak. Dalam perkembangan lebih lanjut, hak jabatan

ini dikenal dalam menjalankan profesi seperti advokat, jurnalis,

dan profesi lainnya.

f) Mewakili orang lain: seseorang yang secara sukarela tanpa hak


berhak mendapatkan upah mengurusi kepentingan orang lain
tanpa perintah orang yang mewakilinya. Apabila terjadi
perbuatan pidana dalam dalma menjalankan urusan tersebut,
maka sifat melawan hukum perbuatan terebut dihapuskan.
BAB III

PEMBAHASAN DAN ANALISA

A. Eksistensi Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam Kerangka

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian kerugian negara merupakan salah satu upaya penegakan

hukum yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Upaya ini

dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi dalam rangka untuk

mencabut, merampas, atau menghilangkan hak yang dimiliki atas segala aset

yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi. Dalam hal ini aset yang

dimaksud tidak hanya sebatas aset yang berada pada negara korban, melainkan

aset lain yang berada pada negara lain sebagai hasil dari tindak pidana korupsi.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya preventif agar pelaku tindak pidana

korupsi tidak melakukan tindak pidanalainnya dengan aset dengan aset dari

hasil tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan pada uraian tersebut, maka

pengembalian kerugian negraa dapa dilihat dalam beberapa aspek berikut;

Pertama, pengembalian kerugian negraa merupakan roses pencabutan,

penghilangan atau perampasan. Kedua, aset yang dikembalikan kepada negara

sebagai korban tindak pidana korupsi adalah aset dari hasil/keuntungan yang

diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, tujuan dari pengembalian

kerugian negara ini adalah supaya pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat

menggunakan hasil atau keuntungan dari tindak pidana korupsi sebagai alat

atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya. Adapun yang dimaksud

dengan kerugian negara dalam hal ini harus memenuhi beberapa unsur berikut:

81
82

1) kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang

berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang sebenarnya;

2) kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti

jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah

terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya,

dengan demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan indikasi atau

berupa potensi terjadinya kerugian; 3) kerugian tersebut terjadi akibat

perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai sehingga unsur

melawan hukum tersebut harus mampu dibuktikan secara cermat.

Pengembalian kerugian negara sebagai sebuah pidana yang dijatuhkan

terhadap pelaku tindak pidana korupsi menemukan titik urgensinya dalam

kerangka negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini didasarkan pada

kenyataan bahwa, tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara,

sementara di sisi lain sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi

dann merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan yang berkelanjutan.77

Di Indonesia, pengembalian kerugian negara pada tindak pidana korupsi

dilakukan melalui dua cara, yakni: Pertama, dengan melakukan pelacakan

untuk kemudian dibekukan. Kedua, aset yang telah dibekukan selanjutnya

dirampas oleh bada yang berwenang untuk dikembalikan kepada negara.

Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasa Tindak

Pidana Korupsi mengatur dua mekanisme pengembalian kerugian negara yang

77
Jeffrey Simser, The Significance on Money Laundering: The Example of The Philippines,
Journal of Money Laundering, Vol 9 No 3, 2006, halaman. 297.
83

dapat dilakukan secara perdata dan secara pidana. Secara perdata,

pengembalian kerugian negara diatur dalam ketentuan pasal 32, Pasal 33, Pasal

34, dan Pasal 38 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Pasal-pasal tersebut memeberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Bilamana dalam proses penyidikan tidak terdapat bukti yang cukup terhadap

keberadaan tindak pidana korupsi, namun diketahui secara pasti telah ada

kerugian keuangan negara, maka dalam hal ini penyidik dapa menyerahkan

berkas perkara tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk diajukan

gugatan secara perdataatau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk

melakukan gugatan perdata atas kerugian tesebut. Sehngga dalam hal ini

putusan bebas dalam pekara tindak pidana korupsi tidak menghilangkan hak

untuk melakukan penuntutan atas kerugian yang dimaksud.

2. Bilamana dalam proses penyidikan, tersangka meninggal dunia, sedangkan

telah diketahui bahwa terdapat kerugian keuangan negara, maka dalam hal

ini penyidik segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada Jaksa

Pengacara Negara untuk kemudian diserahkan kepada instansi yang terkait

agar dilakukan upaya gugatan secara perdata ke pengadilan.

3. Bilamana meninggalnya tersangka tersebut pada saat proses pemeriksaan di

pengadilan, maka dalam hal ini penuntut umum harus sesegera mungkin

menyerahkan berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara untuk

kemudian diserahkan kepada instansi terkait untuk dilakukan gugatan secara

perdata
84

Adapun secara pidana, ketentuan mengenai pengembalian kerugian negara

diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. pasal yang dimaksud menyatakan bahwa, ketentuan hukum pidana

terkait dengan tindak pidana korupsi mengatur mekanisme penjatuhan pidana

tambahan berupa:

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu

tahun

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak terentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh

pemerintah kepada terpidana.

5. Bilamana dalam jangka waktu satu bulan, terpidana tidak membayar uang

pengganti, maka dalam hal ini jaksa dapat melakukan sita terhadap aset

milik terpidana untuk keudian dilakukan lelang, dimana hasil lelang tersebut

digunakan sebagai uang penggati

6. Bilamana terpidana tidak memiliki harta benda untuk membayar uang

pengganti, maka pidana tambahan tersebut dapat dilakukan konversi ke dam

pidana penjara yang lamanya tidak boleh melebihi pidana pokok yang telah

dijatuhkan
85

Keberadaan mekanisme pengembalian kerugian negara yang diatur dam

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai masih

lemah, mengingat dua hal: Pertama, kedudukan pengembalian kerugian negara

sebagai pidana tambahan yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi

dapat dilakukan konversi bilamana pelaku tidak mampu melakukan

pembayaran uang pengganti. Sedangkan dalam banyak kasus yang terjadi

ketidakmampuan pelaku dalam membayar uang pengganti dijadikan sebagai

keadaan yang bersifat manipulatif untuk melindungi aset yang dimiliki. Kedua,

pengemablian kerugian keuangan negara yang dilakukan dalam konteks

gugatan perdata hanya dilakukan bilamana peradilan korupsi dalam konteks

pidana mengalami hambatan, baik itu diakibatkan oleh kurangnya bukti atau

meninggalnya pelaku tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, melalui ketentuan Pasal 38B Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa setiap orang yang

didaka melakukan salah satu tindak pidana korupsi wajib membuktikan

sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga

diudga berasal dari tindak pidana korupsi. dalam hal terdakwa tidak mampu

membuktikan bahwa harta benda yang diperoleh bukan karena tindak pidana

korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana

korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda

tersebut dilakukan perampasan untuk negara. keberadaan pasal tersebut

kemudian dilakukan revisi pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001


86

tentang Perubahan terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Revisi ynag dimaksud berupa:

1. Penuntut Umum harus mengajukan tuntutan perampasan atas harta benda

terdakwa pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok

2. Terdakwa harus membuktikan bahwa harta benda bukan berasal dari tindak

pidana korupsi pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok

dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi

3. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa

pembuktian yang diajukan oleh terdakwa

4. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas

untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan

perikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa

5. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan

hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus

ditolak oleh hakim

6. Benda-benda yang digunakan untuk tujuan pembuktian yang sifatnya

mudah rusak dapat dijual lelang dan hasil pelelangan dapat digunakan

sebagai pengganti untuk disampaikan di persidangan, sementara sebagian

dari benda-benda tersebut sebagian dapat disisihkan untuk digunakan

sebagai barang bukti

Ketentuan mengenai pidana pengembalian kerugian keuangan negara

diatur baik secara eksplisit maupun implisit dalam beberapa peraturan

perundang-undangan berikut:
87

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Ketentuan mengenai pengembalian kerugian keuangan negara diatur dalam

Pasal 10 Ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal

tersebut memposisikan pidana pengembalian kerugian keuangan negara

sebagai salah satu bentuk pidana tambahan yang ditetapkan melalui putusan

pengadilan.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pengembalian kerugian keuangan negara diatur dalam beberapa pasal Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, seperti:

a. Pasal 39 KUHAPidana yang mengatur tentang benda-benda yang dapat

dilakukan penyitaan dalam kerangka criminal justice system seperti:

1) Harta kekayaan sebagai hasil dari tindak pidana

2) Harta kekayaan rampasan yang didapat dari terdakwa

3) Benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari

tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

4) Digunakan langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk

mempersiapkannya

5) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana

6) Benda yang dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana

7) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan


88

b. Pasal 40 KUHAPidana yang mengatur ketentuan terkait dengan barang-

barang selundupan yang melanggar aturan pengawasan peayaran

c. Pasal 41 KUHAPidana yang mengatur tentang pidana pengganti atas

perampasan aset yang dijatuhkan

d. Pasal 44 KUHAPidana yang mengatur tentang keberadaan barang sitaan

yang tersimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. dimana

penyimpanannya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan

tanggngjawab terhadap barang tersebut berada pada pejabat yang

berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

Enda yang telah dilakukan sita, tidak dapat digunakan oleh siappaun.

e. Pasal 45 KUHAPidana mengatur ketentuan terkait dengan pengemablian

kerugian keuangan negara secara implisit meliputi beberapa hal berikut:

1) Dalam hal penyimpanan tidak mungkin atau biaya mahal, maka dapat

diambil tindakan sebagai berikut:

a) Benda dapat dijual lelang atau daat diamankan olhe penyidikatau

penuntut umum

b) Bila perkara telah masuk ke pengadilan, maka benda dapat

diamankan atau dijual lelang dengn persetujuan hakim

c) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang

dipakai sebagai barang bukti

2) Guna kepentingan pembuktian, maka sedapat mungkin disisihkan

sebagian dari benda yang dilakukan sita tersebut


89

3) Benda sitaan yang memiliki sifat terlarang atau dilarang untuk

diedarkan dirampas atau dipergunakan bagi kepentingan negara atau

untuk dimusnahkan.

f. Pasal 46 KUHAPidana mengatur ketentuan tentang keberadaan benda

sitaan yang harus dikembalikan jika:

1) Benda tidak lagi diperlukan untuk tujuan penyidikan dan penuntutan

2) Perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti

3) Perkara dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi

hukum

4) Bilamana perkara diputus, benda yang disita harus dikembalikan

kecuali jika menurut putusan hakim benda tersebut harus dilakukan

perampasan untuk negara

g. Pasal 273 Ayat (3) mengatur ketentuan bahwa Jaksa Penuntut Umum

menguasakan benda kepada kantor lelang negara dan dalam wkatu tiga

bulan, benda tersebut harus dijual secara lelang.

Pengmbalian kerugian keuangan negara tidak hanya dipraktikkan di

Indonesia sebagai upaya represif terhadap tindak pidana korupsi yang

membawa kerugian terhadap keuangan negara di Indonesia. Upaya ini juga

banyak dipraktikkan di beberapa negara dengan mekanisme dan pola yang

berbeda. Negara-negara yang masuk dalam klasterisasi negara maju,

menggunakan instrumen hukum berupa criminal forfeture dan civil forfeiture

dalam melakukan pengembalian terhadp kerugian keuangan negar. Criminal

forfeiture dimaknai sebagai pengembalian kerugian negara melalui mekanisme


90

pidana. adapun civil forfeiture diartikan sebagai pengembalian kerugian negara

yang dilakukan melalui mekanisme perdata. Kedua instrumen tersebut dapat

dibedakan secara tegas berdasarkan empat kriteria berikut: Pertama,

berdasarkan tindakan yang dilakukan. Criminal forfeiture dilakukan terhadap

orangnya atau in person dan merupakan bagian dari tuntutan pidana terhada

seseorang, sedangkan di sisi lain civil forfeiture dilakukan terhadap barangnya

atau in rem dan merupakan tindakan yudisial yang diajukan oleh pemerintah

terhadap barang tersebut. Kedua, berdasarkan pad waktu kejadian dilaksanakan

instrumen tersebut. criminal forfeiture dikenakan sebagai bagian dari

hukuman dalam kasusu pidana, adapin civil forfeiture diajukan sebelum,

selama, atau seelah hukuman pidana, atau bahkan tanpa adanya tuntutan pidana

terhadap seseorang. Ketiga, berdasarkan aspek pembuktian terhadap perbuatna

melawan hukum. Criminal forfeiture dilakukan dengan memperhatikan

keberadaan hukuman secara pidana, artinya, sebelum dilakukan upaya tersebut

perlu terlebih dahulu adanya penetapan kejahatan tanpa adanya keraguan yang

layak atau dengan keyakinan yang sungguh-sungguh, sedangkan dalam

konteks civil forfeiture wajib menerapkan perbuatan yang melawan hukum

menurut standar bukti keseimbangan probabilitas atau standar kemungkinan

yang berbeda-beda. Keempat, berdasarkan pada keterkaitan antara hasil dan

perbuatan yang melawan hukum. Criminal forfeiture dilaksanakan berbasiskan

pada objek atau nilai, adapun civil forfeiture dilaksanakan berdasarkan pada

objek yang ditargetkan sebagai kegiatan pengembalian kerugian negara.


91

Berikut beberapa negara yang mempraktikkan dua instrumen

pengembalian kerugian keuangan negara tersebut sekaligus:

1. Amerika Serikat

Criminal forfeiture dan civil forfeiture dipraktikkan di Amerika Serikat

untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana telah digunakan dalam waktu

yang lama. Pada awalnya civil forfeiture digunakan dalam skala domestik,

yakni melalui gugatan perdata untuk menyita aset hasil tindak pidana yang

terdapat di dalam negeri. Namun, apabila aset hasil kejahatan berada di luar

negeri, civil forfeiture diarahkan dan diaplikasikan secara ekstra

teritorialitas.78 Penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat berkembang

ketika keluarnya putusan kasus JH Goldsimth, JR Grant v United State

dimana supreme court secara eksplisit mengadopsi fiksi personifikasi dan

menolak klaim due process dari seorang innocent owner.79 Semakin

meningkatnya kejahatan yang terorganisasi di Amerika Serikat, instrumen

inipun semakin gencar dipraktikkan, hal ini mengingat instrumen civil

forfeiture dapat secara efektif digunakan sebagai pemutus jalur uang dan

financial support dari kejahatan-kejahatan yang terorganisir seperti drugs

traficking dan illegal gambling.

Civil forfeiture selnajutnya mengalami perkembangan paruh kedua

dengan diberlakukannya civil asset forfeiture reform act yang mengadopsi

prinsip fugitive disentitlement doctrine atau doktrin pencabutan hak

78
Stefan D Cassela, Asset Forfeiture Law in the United States, Huntington, New York, 2006,
halaman. 9 dan 15.
79
Scott A hauert, “An Examination of the Nature. Scope and extendof Statutory Civil
Forfeiture”, 20 University of Dayton Law Review, 1994, halmaan. 171.
92

buronan. Doktrin ini secara garis besar menyatakan bhawa seseorang yang

didakwa dalam kasusu pidana dapat melakukan perlawanan terhadap

penyitaan perdata atas harta bendany hanya apabila ia menyerahkan dirinya

untuk menghadapi dakwaan pidana. secara sederhana proses pengembalina

kerugian keuangan negara dalam praktik negara Amerika Serikat dilakukan

dalam dua opsi, yakni: Pertama, mendapatkan surat penyitaan dari hakim,

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam dokumen hukum formil. Kedua,

menunggu sampai kasusu tersebut diajukan kemudian mendapat surat

pengkapan secara perdata dari pengadilan.

2. Australia

Secara historis, Australia menggunakan dua instrumen hukum dalam

melukan pengembalian terhadap kerugian negara sebagai hasil atau dampak

dari tindak pidana. Dua instrumen yang dimaksud adalah conviction based

confisiation legislation dan non-confiction based confiscation. Secara

tradisional rezim conviction based confisiation legislation memberikan

perlindungan terhadap hak hukum acara yang dimiliki oleh seorang

tersangka atau tertuduh melalui diharuskannya proses gugatan pidana

sebelum diambilalihnya aset, adapun otoritas yang memiliki beban

pembuktian adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan

penuntutan. Rezim ini memiliki banyak kelemahan sehingga menimbulkan

kondisi ill gotten gains atau kondisi dimana aset-aset hasil tindak pidana

tidak dapat dikembalikan. Kelemahan utama dalam rezim ini adalah

keharusan bahwa aset yang akan disita atau diambil alih harus berhubungan
93

secara erat dengan tindak pidana yang iddakwakan terhadap terdakwa tindak

pidana. Pada rezim berikutnya berkembang instrumen pengembalian

kerugian keuangan negara melalui non-confiction based confiscation

dengan beberapa keunggulan seperti: penyitaan terhadap aset dapat

dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan gugatan pidana, proses

penyitaan pada umumnya dilakukan secara independen terpisah dari proses

gugatan pidana, dan pihak berwenang hanya perlu membuktikan

dilakukannya kejahatan atau keterlibatan dalam suatu tindakan illegal sesuai

dengan standar perdata.

Keberadaan pidana pengembalian kerugian kuangan negara sangat

berkelindan dengan keberadaan kerugian negara akibat tindak pidana yang

dilakukan. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 secara

implisit dapat dikatakan bahwa, konsep yang dianut dalam penefinisian

kerugian negara adalah keberadaan delik materiil yang menyetai tindak pidana.

dimana keberadaan delik tersebut memberikan tafsir terhadap suatu perbuatan

yang dianggap merugikan negara bilamana telah terjadi kerugian yang

benar0benar nyata terhadap keuangan negara. apabila dikatakan bahwa tindak

pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang mengakibatkan

adanya kerugian keuangan negara, maka dalma hal ini pidana pengembalian

kerugian keuangan negara seharusnya tidak diposisikan sebagai pidana

tambahan, melainkan sebagai pidana pokok, yang selnajutnya dapat menjadi

alasan penghapusan pidana.


94

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi emmberikan definisi tindak pidana korupsi sebagai setiap

orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau

perekonomian negar. Dari definisi tersebut diketahui beberapa unsur dalam

tindak pidana korupsisebagai berikut:

1. Perbuatan melawan hukum

2. Penyalahgunaan kewennagan

3. Memperkaya diri, orang lain, atau korporasi

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Uraian di atas selnajutnya mengantarkan pda sebuah kesimpulan bahwa, tindak

pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dengan delik formil.

Namun, dinamika hukum menghantarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 25/PUU-XIV/2016 yang melakukan pengujian terhadap Undang-

Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam putusan

tersebuth Mahkamah memutuskan bahwa frasa “dapat” tidak memiliki

kekuatan huum mengikat. Konsekuensi logis dari putusan Mhakamah

Konstitusi tersebut adaah bergesernya jenis delik dalam tindak pidan akorupsi

yang sebelumnya merupakan delik formil, kini berubah menjadi delik materiil.

Oleh karenanya, berdasarkna pada teori pengahpusan piadana, dimana

hilangnya aspek materiil dari suatu tindka pidana yang tergolong ke dalam

delik materiil menjadi sebab hapusnya suatu pidana, maka pidana

pengembalian kerugian keuangan negara dapat menjadi alasan pembenar


95

dihapuskannya pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Mengingat esensi

dari suatu tindak pidana yang masuk dalam kategori delik materiil adalah

terletak pada akibat yang ditimbulkan, jika akibat yang ditimbulkan telah

hilang, maka tindak pidana tersbeut tidak berarti apa-apa. Artinya, jika

kerugian negara yang ditimbulkan dalam suatu tindak pidana korupsi telah

dikembalikan, hal itu berarti tindakan yang semula dikatakan sebagai tindak

pidana menjadi hilang unsur pidananya. Permasalahannya, tindak pidana

korupsi bukan saja sebagai kejahatan yang menyangkut keuangan dan

perekonomian negara, melainkan menyangkut pula permasalahan moral dan

etika. Hal inilah yang menjadikan pengambalian kerugian keuangan negara

sebagai salah satu faktor yang meringankan pidana dan bukannya sebagai

faktor yang menghapuskan adanya pidana. Meskipun dalam tataran praktis

pelaku tindak pidana kemudian memanfaatkan kebijakan konversi uang

pengganti dengan pidana penjara atau kurungan sehingga taraf pengembalian

kerugian negara negara yang tercuri terbilang masih sangat lemah.80

80
Subarsyah, “Pelaksanaan Asas Hukum Retroaktif Terhadap Penegakan Hukum Pidana
dalam Rangka Efektivitas Pengembalian Keuangan Negara”, Jurnal Soshum Insentif, ISSN 2655-
268X, halaman 63.
96

B. Kronologi Penjatuhan Pidana Pengembalian Kerugian Negara Dalam

Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG

1. Peristiwa

Sebagai seorang yang telah berkecimpung dalam usaha pertambangan

sejak tahun 1999. Ferdy Yohanes seharusnya sudah mengetahui bahwa pada

kurun waktu 2018-2019 pengambilan bauksit untuk ekspor telah dilarang.

Namun pada kurun waktu tersebut Ferdy Yohanes telah mengekspor

tambang bauksit ke Cina yang bekerja sama dengan Ir.Sugeng, Jalil, dan

juga Junaedi.

Ferdy Yohanes bertemu dengan Ir. Sugeng pada tahun 2018. Ir. Sugeng

bertemu dengan Ferdy dengan tujuan untuk menyewa lahan milik Ferdy

Yohanes untuk perkebunan Durian Thailand. Ir. Sugeng menerangkan

bahwa dilahan eks pertambangan juga masih bisa ditanami tanaman

sebagaimana perkebunan jeruk di Kalimantan yang Ir Sugeng kembangkan

dilahan bekas tambang batubara. Demikian juga dengan perkebunan Durian

Thailand yang hendak ia kembangkan di eks lahan tambang bauksit milik

Ferdy Yohanes. Ferdy Yohanes setuju dengan itu dan mengatakan bahwa

sewa lahannya sebesar Rp. 50.000.000,00 dan terkait bagi hasil dibicarakan

setelah perkebunannya berhasil. Namun, pada akhir 2018 Ir. Sugeng datang

dengan membawa dokumen tentang ijin IUP OP untuk penjualan Koperasi

HKTR dan juga memiliki keinginan untuk menambang bauksit di Pulau

Kelong Kabupaten Bintan Kepulauan Riau.


97

Ferdy seharusnya mengerti jika pada tahun 2018 ekspor bauksit dilarang,

namun Ferdy mengizinkan dengan meminta bagi hasil. Dan Ir Sugeng

sanggup memberikan 3 USD/Ton potong air. Bauksit yang berhasil dijual Ir

Sugeng di Pulau Kelong sebanyak 160.000 ton. Kemudian Ir. Sugeng

bersama dengan koperasi HKTR melaksanakan kegiatan ekspor bauksit

walapun HKTR tidak mengindahkan ketentuan SK Gubernur Kepulauan

Riau Nomor 2044/KPTS-18/V/2018 seperti tidak adanya gudang sesuai

dengan syarat diperolehnya IMB. Dari Ir Sugeng, Ferdy Yohanes

mendapatkan kompensasi dari penjualan biji bauksit sebesar Rp.

6.478.561.420,00

Kemudian kerjasama terdakwa Ferdy Yohanes dengan Jalil berawal dari

berdirinya BUMDES “Maritim Jaya” yang didirikan pada tahun 2017

berdasaekan Peraturan Desa Air Glubi Nomor 01 Tahun 2017 tentang

pendirian Badan Usaha Milik Desa Air Glubi yang berkedudukan di Desa

Air Glubi Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan yang diketuai oleh

Hendra Ayeksa SA. Kemudia saudara Hendra Ayeksa SA ini bekerja sama

dengan saudara Jalil untuk melaksanakan perjanjian kerja pemanfaatan

lahan. Kerja sama yang disodorkan saudara Jalil kepada Hendra Ayeksa SA

adalah kerja sama Jual Beli Temuan Bahan Mineral Bauksit. Jalil

merupakan perantara kerja sama BUMDES Maritim Jaya dengan PT

Lobindo Nusa Persada. Jalil juga orang yang mengurus segala perizinan dan

Hendra Ayeksa tinggal menandatangani segala berkas.


98

Interaksi antara Ferdy Yohanes dan Jalil akhirnya terjadi ketika kegiatan

pengerukan dan penjualan material yang dikerjakan BUMDES Maritim

Jaya ini mengenai lahan milik Ferdy Yohanes. Ferdy Yohanes kemudian

melayangkan protes kepada Kepala Desa Air Glubi, namun tidak digubris

karena Kepala Desa Air Glubi menganggap lahan yang digarap adalah lahan

milik desa. Padahal tahun 2011 lahan tersebut telah dibeli keluarga Ferdy

Yohanes. Ferdy Yohanes akhirnya melakukan penghentian pengambilan

Bauksit tersebut. Namun, Jalil tetap melakukan pengerukan. Akhirnya

Ferdy Yohanes menghubungi Amjon selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi

Kepulauan Riau untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kemudian Li

Heng menemui Ferdy Yohanes untuk menyelesaikan pertikaian antara dia

dengan kepala desa dan Jalil. Akhirnya Li Heng memberikan kompensasi

kepada Ferdy Yohanes sebesar 1 USD/ton bersih. Dari aktivitas penjualan

bauksit yang dilakukan Jalil baik dengan PT GBA atau dengan Jhun Phen

saudara Ferdy Yohanes mendapatkan kompensasi masing-masing sebesar

238.000.000 dan 78.000.000,00. Padahal pada saat itu izin IUP OP yang

dimiliki oleh BUMDES Maritim Jaya ini bermasalah.

Kemudian kerjasama Ferdy Yohanes dengan Junaedi selaku komaditer

CV Swa karya mandiri terjadi pada pertengahan tahun 2018. Junaedi datang

ke rumah Ferdy Yohanes dengan maksud untuk menyewa lahan milik

keluarga Ferdy Yohanes yang akan dipergunakan untuk perekebunan dan

budidaya kepiting. Ferdy Yohanes mempersilahkan untuk menyewa lahan

keluarganya yang berada di Pulau Buton dengan uang sewa sebesar Rp.
99

50.000.000,00. Akan tetapi selang empat hari kemudian Junaedi datang

kembali ke rumah Ferdy Yohanes dan mengatakan bahwa lahan yang di

Pulau Buton lebih cocok untuk melakukan penambangan bauksit yang akan

di jual kepada saudara Jhun Phen. Sebenarnya Ferdy Yohanes telah

menanyakan terkait dengan ijin penambangan kepada Junaedi. Junaedi pun

bersedia untuk mengurus segala perijinan terkait dengan penambangan

bauksit.

Dua bulan kemudian Junaedi datang ke rumah Ferdy Yohanes dengan

membawa dokumen tentang IUP OP untuk Penjualan bauksit milik Junaedi

atas nama CV Swa Karya Mandiri. Kamudian Ferdy Yohanes bertanya

kepada Amjon selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi kepulauan Riau terkait

dengan kebenaran berkas milik Junaedi. Amjon pun membenarkan berkas

tersebut. Selanjutnya terjadilah tawar menawar kompensasi yang harus

diterima Ferdy Yohanes dari pertambangan tersebut. Kesepakatannya

kompensasinya sebesar 1.7/ton dan Junaedi berhasil menjual bauksit kepada

Jhun Phen (PT GBA) sebanyak 32.000 ton. Sehingga Ferdy Yohanes

mendapatkan uang dari kompensasi tersebut sebesar Rp 766.359.534,00.

2. Penyelidikan dan Penyidikan

Ferdy Yohanes melakukan tindak pidana turut serta dalam hal

pertambangan bauksit di Kecamatan Bintan bersama dengan Dr. Amjon

selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Riau, Drs. Azman Taufiq

selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Mutu Terpadu

Provinsi kepulauan Riau, Ir Sugeng selaku Wakil Ketua Koperasi Haluan


100

Kelompok Tambang Rakyat (HKTR) Cab Kabupaten Bintan, Jalil selaku

orang yang bekerja sama dengan Hendra Ayeksa selaku Direktur BUMDES

“Maritim Jaya” Desa Air Glubi Kecamatan Bintan, dan Junaedi

selaku Persero Komaditer CV Swa Karya mandiri. Ferdy Yohanes turut

serta tidak melakukan tindak pidana melawan hukum karena tidak

melaksanakan ketentuan yang berlaku didalam pemberian rekomendasi

teknis ijin usaha pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) Untuk Penjualan

yang bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri ESDM

Nomor : 1796/K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan

Permohonan, Evaluasi, serta Penerbitan perizinan di Bidang Pertambangan

Mineral dan Batubara lampiran XI angka 3, telah mengakibatkan asset yang

menjadi milik Negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melawan

hukum dengan diterbitkanya /keluarnya IUP OP untuk penjualan kepada

badan usaha yang tidak sesuai dengan mekanisme yang benar, melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu

terdakwa FERDY YOHANES, yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara kurang lebih sebesar Rp7.590.778.904,00 (tujuh

miliar lima ratus sembilan puluh juta tujuh ratus tujuh puluh delapan ribu

sembilan ratus empat rupiah) sesuai dengan Laporan Hasil Audit

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana

Korupsi Penyediaan Lahan untuk lzin Usaha Pertambangan Operasi

Produksi (IUP OP) untuk Penjualan Tahun 2018 sampai dengan 2019 di

Kabupaten Bintan.
101

Berkaitan dengan Ir. Sugeng selaku wakil ketua HKTR, Ferdy Yohanes

telah mengizinkan lahannya untuk dijadikan sebagai lahan pertambangan

Bauksit untuk penjualan. Ferdy Yohanes mengizinkan hal tersebut dengan

imbalan sebagai kompensasi pertambangan sebesar 3USD/Ton. Ir. Sugeng

dilahan milik Ferdy Yohanes telah menambang sebesar 160.000 ton.

Sedangkan izin dari HKTR untuk menambang Bauksit tersebut telah

melanggar beberapa ketentuan seperti Keputusan Menteri ESDM Nomor

1796/K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan,

Evaluasi, serta Penerbitan perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan

Batubara lampiran XI angka 4, Ir. Sugeng dalam mendapatkan IUP OP

Untuk Penjualan tidak melampirkan jumlah pasti mineral tergali (bauksit)

akibat dari suatu kegiatan, yang dilampirkan oleh Ir. Sugeng adalah berupa

rincian jumlah penemuan cadangan bijih bauksit. Akibat kegiatan tersebut

mengakibatkan asset yang menjadi milik Negara terlepas dari kepemilikan

Negara secara melanggar/melawan hukum, akibat hanya melampirkan

rincian jumlah penemuan cadangan bijih bauksit masing-masing blok di

lokasi kegiatan Koperasi HKTR Bintan. Ir Sugeng telah melakukan

penjualan kepada PT Gunung Bintan Abadi sebanyak 164.370,51 ton.

Selain itu juga kegiatan penambangan di lahan milik Ferdy Yohanes ini

juga melanggar Pasal 57 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2018 tentang Tata Cara

Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diperbaharui dengan


102

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Nomor 22 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2018 tentang

Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Proses penambangan dilakukan

tanpa adanya pembangunan gudang terlebih dahulu. Total uang atau

pendapatan yang diterima Ir. Sugeng dari PT GBA berdasarkan keterangan

saksi Tji Fan dan saksi Ani adalah kurang lebih Rp 21.742.260.000,00 atau

Rp 13.626.570.424,32 berdasarkan hasil Audit dalam rangka perhitungan

kerugian keuangan Negara atas dugaan penyimpangan pemberian izin usaha

pertambangan pada Provinsi Kepulauan Riau tahun 2018-2019, dan dari

penjualan yang dilakukan oleh Koperasi HKTR Cabang Bintan Terdakwa

Ferdy Yohanes mendapatkan kompensasi dari hasil penjualan bauksit dari

saksi Sugeng kurang lebih atau sekitar Rp 6.478.561.420,00.

Sedangkan turut serta yang dilakukan Ferdy Yohanes bersama dengan

Jalil adalah ketika BUMDES Air Glubi yang dikelola Jalil melakukan

penambangan memasuki lahan milik Ferdy Yohanes. Ferdy Yohanes

kemudian melakukan protes kepada kepala desa Air Glubi. Namun, protes

tersebut tidak digubris oleh Kepala Desa Air Glubi karena beralasan bahwa

lahan yang dikelola adalah tanah milik desa. Ferdy Yohanes menghentikan

pertambangan bauksit yang dilakukan oleh Jalil, namun Jalil tetap

melakukan pertambanga. Karena tidak ada penyelesaian konflik tersebut

akhirnya Ferdy menelepon Amjon selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi


103

Kepulauan Riau. Karena konflik ini sudah sampai pada Kepala Dinas

ESDM, akhirnya Li Heng perwakilan dari PT yang membeli bauksit dari

Jalil bertemu dengan Ferdy Yohanes dengan niat untuk memberikan

kompensasi terkait kegiatan pertambangan kepada saudara Ferdy Yohanes

sebesar 1USD/ton bersih. Jalil berhasil menjual kepada PT GBA sebesar

24.000 ton dan kepada Tihwa sebesar 17.000 ton. Dan Ferdy Yohanes

mendapat kompensasi sebesar Rp. 238.000.000 dan Rp. 78.000.000.

Padahal BUMDES Maritim Jaya selaku mitra dari Jalil telah melawan

hukum karena melanggar ketentuan tidak mengindahkan ketentuan yang

berlaku dalam pelaksanaan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Riau

Nomor 2328/KPTS-18/VII/2018 tanggal 04 Juli 2018 tentang Izin Usaha

Pertambangan Operasi Produksi Khusus Penjualan Badan Usaha Milik Desa

Maritim Jaya dengan tonase penjualan 135.000 ton dengan lokasi kegiatan

Pulau Buton Desa Air Glubi Kecamatan Bintan. Sehingga pelaksanaan

Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 2328/KPTS-

18/VII/2018 tanggal 04 Juli 2018 tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi

Produksi Khusus Penjualan Badan Usaha Milik Desa Maritim Jaya, saksi

Jalil selaku Mitra Bumdes Maritim Jaya telah mengakibatkan asset yang

menjadi milik Negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melanggar/

melawan hukum.

Jalil selaku mitra kerja Bumdes Maritim Jaya mulai melakukan penjualan

mineral bauksit di lahan milik Bumdes Maritim Jaya dan Terdakwa Ferdy

Yohannes dilaksanakan pada bulan Desember 2018 s/d Januari 2019,


104

sehingga tindakan saksi Jalil selaku mitra kerja Bumdes Maritim Jaya

tersebut bertentangan dengan Pasal Pasal 57 ayat (1) Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2018

tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah

diperbaharui dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2018 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Nomor 11 tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan

Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang

berbunyi “ Badan Usaha yang tidak bergerak dalam bidang pertambangan

yang bermaksud menjual mineral atau batubara yang tergali wajib terlebih

dahulu memilik IUP Operasi Produksi Untuk Penjualan”, karena IUP OP

Untuk Penjualan Bumdes Maritim Jaya telah dikeluarkan pada tanggal 04

Juli 2018 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor

2328/KPTS-18/VII/2018 tanggal 04 Juli 2018 tentang Izin Usaha

Pertambangan Operasi Produksi Khusus Penjualan Badan Usaha Milik Desa

Maritim Jaya dengan tonase penjualan 135.000 ton dengan lokasi kegiatan

Pulau Buton Desa Air Glubi Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan

Provinsi Kepulauan Riau, sehingga pada saat keluarnya IUP OP Untuk

Penjualan Bumdes Maritim Jaya mineral tergali berupa bauksit belum

tersedia.
105

Selain itu lokasi yang dilakukan penjualan dan pengambilan mineral

bauksit oleh Bumdes Maritim tidak diketemukan bangunan gedung sesuai

dengan IMB yang telah dikeluarkan oleh Camat Bintan Pesisir saksi

Zulkhairi, SE serta di lapangan diketemukan sebuah bangunan pondok yang

terbuat dari papan dengan lantai diplester dengan ruangan dibuat dari partisi

gypsum ukuran + 4 m X 4 m = 16 M2 dan dilapangan ditemukan beberapa

lobang besar bekas galian bauksit dengan kedalaman kurang lebih 2 M,

bahwa lokasi pengambilan bauksit Badan Usaha Milik Desa Maritim Jaya

luasnya melebihi IMB yang telah dikeluarkan oleh Camat Bintan Pesisir dan

lobang besar yang awalnya direncanakan dipergunakan untuk kolam ikan

tidak berfungsi sama sekali/tidak dipergunakan untuk memelihara ikan

(Berita acara lapangan dan foto terlampir dalam berkas perkara) hal ini

bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 57 ayat (2) Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2018

tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah

diperbaharui dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2018 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Nomor 11 tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan

Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sehingga perbuatan Jalil selaku mitra kerja BUMDES Maritim Jaya telah

memperkaya diri sendiri atau kelompok yaitu Jalil bersama dengan Ferdy
106

Yohanes dengan total uang yang diterima Jalil selaku mitra BUMDES

Maritim Jaya adalah 2.332.760.338 dan berdasarkan audit dalam rangka

perhitungan kerugian negara sebesar 1.224.032.857,60. Sedangkan fFerdy

Yohanes mendapat kompensasi sebesar Rp. 345.857.960.

3. Pemeriksaan di Pengadilan

Dalam proses pemeriksaan di pengadilan penasihat mengajukan eksepsi.

Dan majelis hakim telah menjatuhkan putusan sela pada tanggal 22 Juli

2022. Karena eksepsi ditolak berdasarkan putusan sela tersebut maka

persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara. Dalam rangka

memperkuat dakwaannya penuntut umum mengajukan saksi saksi sebagai

berikut:

a. Dr Amjon selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Riau

b. Drs Azman Taufiq selaku Kepala DPMPTSP Provinsi Kepualuan Riau

c. Harry E Malonda selaku ketua Koperasi HKTR

d. Hendra Kusumadinata selaku staff pelaksana analisis perlindungan

lingkungan pertambangan mineral dan batubara Dinas ESDM Provinsi

Kepulauan Riau

e. Joni Hendra Putra, S.Hut., M.Si selaku Kepala Bidang Penyelenggaraan

Pelayanan Perizinan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu

Satu Pintu Provinsi Kep. Riau

f. Masiswanto selaku Kasi Pengusahaan Mineral Dinas ESDM Kepp. Riau

g. Edi Purwanto selaku Direktur PT GBA

h. Mansor Solor selaku Diretktur CV Swa Karya


107

Kemudian juga mengajukan saksi ahli sebagai berikut:

a. Dr. Erdianto, SH.,M.Hum

b. Jaequalin Martha Sitanggang, S.Tp

Berdasarkan pemaparan para saksi dan saksi ahli dalam persidangan.

Majelis hakim menemukan fakta-fakta hukum yang telah dilakukan oleh

Ferdy Yohanes. Fakta hukum tersebut adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan pemeriksaan dipengadilan ditemukan (tiga) peran, yakni:

pemberi izin, penerima izin, dan pemilik lahan. Pemberi izin dalam hal

ini adalah Kepala Dinas ESDM Provinsi Bintan (saksi Amjon) dan

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(saksi Azman Taufiq). Penerima izin dalam hal ini adalah HKTR (saksi

Harry E. Malonda dan saksi Sugeng), CV Swa Karya Mandiri (saksi

Junaedi), dan BUMDes Maritim Jaya (saksi Jalil). Pemilik lahan dalam

hal ini adalah Terdakwa.

b. Jenis perizinan yang dapat diberikan pemerintah terhadap pemanfaatan

sumber daya mineral bauksit adalah IUP OP untuk penjualan yang diatu

dalam pasal 105 ayat (1) UU Minerba Jo Pasal 57 ayat (1) dan (2) Permen

ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata cara pemberian wilayah,

perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan

batubara

c. bahwa Sugeng (HKTR) dan Junaedi (CV Swa Karya Mandiri) pada tahun

2018 menemui Terdakwa bermaksud untuk melakukan sewa lahan milik

Terdakwa di Pulau Kelong dan Pulau Buton dengan uang muka sewa
108

Rp50.000.000,- (CV Swa Karya Mandiri) dan Rp100.000.000,- (HKTR),

selanjutnya penyewaan akan diperhitungkan dengan sistem bagi hasil

jika usaha yang dimaksud telah berjalan. Disebutkan maksud dari

penyewaan tersebut adalah untuk kegiatan perkebunan buah (durian

Thailand atau jeruk), kolam ikan, dan budidaya kepiting. Namun

beberapa bulan kemudian, Sugeng dan Junaedi kembali

menghubungi/menemui Terdakwa bahwa mereka bermaksud akan

melakukan penambangan bauksit di lokasi lahan yang disewa karena di

lahan yang akan disewa tersebut memiliki kandungan bauksit. Lahan

milik Terdakwa yang disewa tersebut merupakan lahan eks tambang PT

Antam/PT gunung Sion yang masih memiliki kandungan bauksit bernilai

ekonomis. Bauksit yang diperoleh rencananya akan dijual kepada PT

GBA, untuk kemudian diekspor ke China karena PT GBA memiliki ijin

kuota ekspor bauksit mentah. Terdakwa setuju penyewaan lahan untuk

kegiatan penambangan tersebut, namun Terdakwa meminta harga sewa

lahan yang telah disepakati sebelumnya dirubah dengan skema

perhitungan proporsional tonase bauksit yang terjual, sehingga kemudian

disepakati untuk HKTR disepakati uang sewa lahan USD3/ton potong

air, untuk CV Swa Karya Mandiri disepakati uang sewa lahan

USD1,7/ton potong air, dan untuk BUMDes disepakati uang sewa lahan

USD1/ton bersih. Kesepakatan pembayaran sewa dengan skema

berdasarkan tonase tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan tersebut

bukan sekedar sewa menyewa penggunaan lahan, melainkan


109

kesepakatan kerjasama yang berkelanjutan dan melekat terhadap

aktivitas penambangan bauksit di atas lahan milik Terdakwa, bahwa

Terdakwa tidak ingin sekedar memperoleh keuntungan dari sewa lahan

tetapi juga untuk mendapatkan keuntungan yang progresif dari aktivitas

penambangan yang akan dilakukan

d. Terdakwa adalah pengusaha yang telah bekerja di dunia tambang bauksit

sejak 1999, dan aktif mengelola sebagai direktur PT Gunung Sion

(perusahaaan tambang) hingga tahun 2017. PT Gunung Sion merupakan

perusahaan tambang milik orang tua Terdakwa (Samin). Untuk itu,

Terdakwa mengerti seluk beluk dunia pertambangan bauksi

e. Terdakwa menyewakan lahannya kepada HKTR, CV Swa Karya

Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya untuk melakukan kegiatan

penambangan dan penjualan bauksit padahal diketahuinya atau patut

diketahuinya bahwa ketiga penyewa tersebut tidak memiliki kapasitas

dan legalitas yang sah untuk melakukan penambangan dan penjualan

bauksit, secara faktual mengakibatkan hilangnya sumber daya mineral

berupa bauksit yang ditambang dan dijual secara melawan hukum oleh

HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya. Perbuatan

Terdakwa tersebut sekaligus menyempurnakan perbuatan melawan

hukum yang dilakukan secara bersama-sama oleh saksi Amjon, saksi

Azman Taufiq, saksi Harry E. Malonda, saksi Sugeng, saksi Junaedi, dan

saksi Jalil.
110

Sedangkan terkait dengan upaya memperkaya diri sendiriatau orang lain

atau suatu korporasi ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut:

a. Aktivitas penambangan yang dilakukan HKTR, CV Swa Karya Mandiri,

dan BUMDes di lahan milik Terdakwa secara faktual telah menghasilkan

mineral tambang bauksit yang kemudian dijual kepada PT GBA.

Berdasarkan keterangan saksi Tji Fan sebagaimana juga rekening Koran

Bank Mandiri Nomor Rekening 1090070066006 atas nama PT GBA, PT

GBA telah melakukan pembayaran terhadap pembelian bauksit sebagai

berikut:

1) total pembayaran sejumlah Rp1.603.600.000,00 Kepada HKTR total

pembayaran sejumlah Rp1.492.260.000,00

2) Kepada CV Swa Karya Mandiri total pembayaran sejumlah

Rp3.925.800.000

3) Kepada BUMDes Maritim Jaya

b. Realisasi dan kesepakatan sewa menyewa dengan terdakwa adalah

sebagai berikut:

1) Dari penjualan 164.370ton bauksit, Terdakwa mendapat kompensasi

uang sewa lahan dari HKTR sejumlah Rp6.478.561.420,00

2) Dari penjualan 32.199ton bauksit, Terdakwa mendapat kompensasi

uang sewa lahan dari CV Swa Karya Mandiri sejumlah

Rp766.359.524,00

3) Dari penjualan 24.704ton bauksit, Terdakwa mendapat kompensasi

uang sewa dari BUMDes Maritim Jaya sejumlah Rp345.857.960,00


111

c. Telah terjadi kesepakatan perdata secara lisan berupa kesepakatan sewa

menyewa lahan antara Terdakwa dengan HKTR, CV Swa Karya

Mandiri, dan BUMDes Martim Jaya. Merujuk pada syarat sahnya

perjanjian sebagaimana Pasal 1320 BW, meskipun kesepakatan tersebut

hanya dilakukan secara lisan, kesepakatan tersebut tetap terikat pada

syarat subjektif dan syarat objektif sahnya perjanjian yakni sepakat,

cakap hukum, hal tertentu, dan sebab yang tidak dilarang. Berdasarkan

uraian pada unsur “secara melawan hukum” tersebut di atas, aktifitas

penambangan yang dilakukan HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan

BUMDes Maritim Jaya di tanah sewa milik Terdakwa adalah aktivitas

penambangan yang dilarang/melanggar hukum, sehingga perikatan sewa

menyewa yang dilakukan Terdakwa dengan HKTR, CV Swa Karya

Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya tersebut adalah perikatan sewa

menyewa lahan yang melawan hukum karena kegiatan penambangan

dilakukan tidak berdasarkan perjinan yang sah. Dengan demikian, segala

keuntungan yang diperoleh Terdakwa dari perikatan yang cacat hukum

tersebut adalah keuntungan yang tidak sah.

d. Kerjasama penyewaan lahan untuk kegiatan penambangan dengan

HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya, secara

faktual telah memperkaya Terdakwa sejumlah Rp7.590.778.904,00

Terkait dengan tindakan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara maka dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan

bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk


112

apapun juga yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara.

Dalam hal ini, sumber daya alam mineral bauksit adalah kekayaan negara

yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Tergali dan terjualnya sumber daya mineral bauksit

secara melawan hukum oleh Terdakwa secara bersama-sama

mengakibatkan hilangnya kekayaaan negara berupa bauksit yang terjual

kepada PT GBA. Dengan demikian, keseluruhan realisasi penjualan bausit

kepada PT GBA sejumlah Rp28.000.820.338,00 (dua puluh delapan milyar

delapan ratus dua puluh ribu tiga ratus tiga puluh delapan Rupiah)

merupakan jumlah kerugian keuangan negara yang timbul dalam perkara

ini.

4. Penuntutan

Majelis hakim memutuskan untuk menyatakan Ferdy Yohanes terbukti

secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi

secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena

itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sejumlah

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa berupa membayar uang

pengganti kepada negara yaitu sejumlah Rp7.590.778.904,00 (tujuh milyar

lima ratus sembilan puluh juta tujuh ratus tujuh puluh delapan sembilan

ratus empat Rupiah), dimana terhadap uang pengganti tersebut seluruhnya


113

telah dibayarkan oleh Terdakwa ke kas negara sehingga jumlahnya menjadi

nihil. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan terdakwa

ditahan. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara

sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu Rupiah).

C. Ratio Decidendi Penjatuhan Pidana Pengembalian Kerugian Negara

Dalam Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG

Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG merupakan putusan

yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan

Tanjungpinang yang mendudukkan Ferdy Yohanes sebagai terdakwa tindak

pidana korupsi. terhadap terdakwa, Jaksa Penuntut Umum mengajukan

dakwaan subsidair. Dakwaaan subsidair dimaknai sebagai dakwaan yang

diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dimana terdakwa dituduh melakukan

tindak pidana, dimana tindak pidana ynag dimaksud merupakan bagian dari

tindak pidana lain yang sifatnya serius. Pada dawaan subsidair, Jaksa Penuntut

Umum bermaksud meminta hakim memeriksa perkara berdasarkan pada

dakwaan primair terllebih dahulu, baru kemudian melakukan pemeriksaan

terhadap dakwaan subsidair. Oleh karenanya, Majelis Hakim terlebih dahulu

mempertimbangkan seluruh unsur dari dakwaan primair. Bilamana seluruh

unsur dari dakwaan primair telah terbukti, maka dalam hal ini dakwaan

subsidair tidak akan dipertimbangkan. Sebaliknya, bilamanadakwaan primair

tidak terpenuhi, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan

subsidair kemudian.
114

Dalam konteks perkara ini, dakwaan primair yang dituduhkan pada

terdakwa adalah Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomr 31 Tahun 2009 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (seanjutnya disebut sebagai Undang-

Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). adapun yang menjadi

dakwaan subsidair adalah Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. berikut bunyi Pasal yang

dimaksud dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara

dengan penjara seumur hidup aau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 2 Ayat (1)

Setiap rang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orng

lain atau suatu korporasi, menyalhgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian neara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
115

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 3)

Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: b. pembayaran

uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakny sama dengan harta

benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (Pasal 18 Ayat (1) huruf

b)

Melalui putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah meakukan tindak pidana korupsi

sebagaimana yang didakwakan melalui dakwaan primair oleh Jaksa Penuntut

Umum. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana

penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Majelis Hakim juga menjatuhkan

pidana tambahan kepada terdakwa berupa membayar uang pengganti kepada

negara sejumlah Rp. 7.590.778.904,00 (tujuh milyar sembilan ratus tujuh ratus

tujuh puluh delapan sembilan ratus empat rupiah) dimana sejumlah uang

tersebut telah dibayarkan oleh terdakwa ke kas negara. Putusan tersebut

diambil dengan mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana pada dakwaan

primair yang diurakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut:

1. Setiap Orang
116

Unsur “setiap orang” dalam rumusan pasal ini bukan merupakan unsur

delik, melainkan sebagai subjek delik dari suatu delik pidana, akan tetapi

penting untuk dipertimbangkan dan dibuktikan untuk menghindari

terjadinya salah orang (error in persona) dalam suatu peradilan pidana.

Sehingga penting untuk memeriksa identitas terdakwa apakah benar-benar

telah sesuai dengan surat dakwaan. Penuntut Umum mendakwa orang

perorangan sebagai Terdakwa dalam perkara ini yaitu Ferdy Yohanes

dengan identitas yang lengkap dan jelas tertera dalam surat dakwaan, dan

Terdakwa tidak mengingkari atau membantah identitas tersebut yang

dibacakan pada awal persidangan. Terdakwa dihadapkan ke persidangan

dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, dan Terdakwa telah

memperhatikan dan mengerti dakwaan yang diajukan Penuntut Umum

sebagaimana Pasal 155 KUHAP, dengan demikian orang yang dimaksud

dalam surat dakwaan adalah benar Terdakwa Ferdy Yohanes sebagaimana

yang dihadapkan oleh Penuntut Umum di persidangan. Terdakwa Ferdy

Yohanes adalah orang perseorangan, sehingga mengenai jati diri Terdakwa

Ferdy Yohanes telah lengkap dan jelas, maka dengan demikian unsur “setiap

orang” telah terpenuhi dan terbukti secara sah menurut hukum.

2. Secara Melawan Hukum

Unsur “secara melawan hukum” pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


117

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mencakup perbuatan

melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-

undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak

sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Berdasarkan

pengertian unsur “secara melawan hukum” tersebut di atas, serta setelah

Majelis Hakim menilai fakta-fakta hukum tersebut di atas, di mana terdapat

perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa yakni:

a. Bahwa dalam dakwaan ini perbuatan pidana Terdakwa dikonstruksi

secara deelneming, sehingga konstruksi uraian perbuatan Terdakwa

untuk membuktikan terpenuhinya atau tidak terpenuhinya unsur “secara

melawan hukum” ini, harus pula dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan

pelaku yang lain sehingga akan tergambar secara keseluruhan/utuh

perbuatan apa dari para pelaku yang memenuhi unsur “secara melawan

hukum”, yang berdasarkan fakta-fakta persidangan dilakukan secara

bersama-sama oleh 3 (tiga) peran, yakni: pemberi izin, penerima izin, dan

pemilik lahan. Pemberi izin dalam hal ini adalah Kepala Dinas ESDM

Provinsi Bintan (saksi Amjon) dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (saksi Azman Taufiq). Penerima izin

dalam hal ini adalah HKTR (saksi Harry E. Malonda dan saksi Sugeng),

CV Swa Karya Mandiri (saksi Junaedi), dan BUMDes Maritim Jaya

(saksi Jalil). Pemilik lahan dalam hal ini adalah Terdakwa


118

b. Sumber daya alam mineral bauksit merupakan bagian dari kekayaan

alam yang dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Pengelolaan dan pengendalian produksi sumber daya mineral tersebut

harus dilaksanakan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Salah satu jenis perizinan yang dapat diberikan pemerintah

terhadap pemanfaatan sumber daya mineral bauksit adalah IUP Operasi

Produksi Untuk Penjualan sebagaimana diatur dalam 105 ayat (1) UU

Minerba Jo Pasal 57 ayat (1) dan (2) Permen ESDM Nomor 11 Tahun

2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan

pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

c. Sugeng (HKTR) dan Junaedi (CV Swa Karya Mandiri) pada tahun 2018

menemui Terdakwa bermaksud untuk melakukan sewa lahan milik

Terdakwa di Pulau Kelong dan Pulau Buton dengan uang muka sewa

Rp50.000.000,- (CV Swa Karya Mandiri) dan Rp100.000.000,- (HKTR),

selanjutnya penyewaan akan diperhitungkan dengan sistem bagi hasil

jika usaha yang dimaksud telah berjalan. Disebutkan maksud dari

penyewaan tersebut adalah untuk kegiatan perkebunan buah (durian

Thailand atau jeruk), kolam ikan, dan budidaya kepiting. Namun

beberapa bulan kemudian, Sugeng dan Junaedi kembali

menghubungi/menemui Terdakwa bahwa mereka bermaksud akan

melakukan penambangan bauksit di lokasi lahan yang disewa karena di

lahan yang akan disewa tersebut memiliki kandungan bauksit. Lahan

milik Terdakwa yang disewa tersebut merupakan lahan eks tambang PT


119

Antam/PT gunung Sion yang masih memiliki kandungan bauksit bernilai

ekonomis. Bauksit yang diperoleh rencananya akan dijual kepada PT

GBA, untuk kemudian diekspor ke China karena PT GBA memiliki ijin

kuota ekspor bauksit mentah. Terdakwa setuju penyewaan lahan untuk

kegiatan penambangan tersebut, namun Terdakwa meminta harga sewa

lahan yang telah disepakati sebelumnya dirubah dengan skema

perhitungan proporsional tonase bauksit yang terjual, sehingga kemudian

disepakati:

1) Untuk HKTR disepakati uang sewa lahan USD3/ton potong air;

2) Untuk CV Swa Karya Mandiri disepakati uang sewa lahan

USD1,7/ton potong air; dan

3) Untuk BUMDes disepakati uang sewa lahan USD1/ton bersih.

Kesepakatan pembayaran sewa dengan skema berdasarkan tonase

tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan tersebut bukan sekedar

sewa menyewa penggunaan lahan, melainkan kesepakatan kerjasama

yang berkelanjutan dan melekat terhadap aktivitas penambangan

bauksit di atas lahan milik Terdakwa, bahwa Terdakwa tidak ingin

sekedar memperoleh keuntungan dari sewa lahan tetapi juga untuk

mendapatkan keuntungan yang progresif dari aktivitas penambangan

yang akan dilakukan.

d. Bahwa Terdakwa adalah pengusaha yang telah bekerja di dunia tambang

bauksit sejak 1999, dan aktif mengelola sebagai direktur PT Gunung Sion

(perusahaaan tambang) hingga tahun 2017. PT Gunung Sion merupakan


120

perusahaan tambang milik orang tua Terdakwa (Samin). Untuk itu,

Terdakwa mengerti seluk beluk dunia pertambangan bauksit, bahwa

aktivitas pertambangan diharuskan memiliki perizinan tertentu dari

pemerintah. Untuk itu Terdakwa sebelum melakukan kesepakatan

penyewaan lahan, Terdakwa meminta agar HKTR, CV Swa Karya

Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya untuk segera mengurus

perizinannya

e. Selanjutnya HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya

selanjutnya melakukan pengurus perizinan di Dinas ESDM Provinsi

Kepualauan Riau melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Kepulauan Riau. Ijin yang

dimohonkan adalah IUP OP untuk Penjualan. Untuk membantu proses

pengurusan perizinan tersebut dibantu oleh saksi Zulkhairi Camat Bintan

Pesisir terkait dengan penerbitan IMB, sehingga kemudian terbit-lah

IMB sebagai berikut:

1) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor: 410/PMD-BP/56 tanggal 5

April 2018 kepada Koperasi HKTR yang diperuntukkan untuk gudang

dengan luas bangunan yang dimohonkan kurang lebih 15 M X 20 M

= 300M2;

2) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor: 100/PEM-BP/45 tanggal

26 Maret 2018 kepada Bumdes Maritim Jaya yang diperuntukkan

untuk rumah jaga kolam ikan dengan luas bangunan yang dimohonkan

kurang lebih 5,5 M X 7,5 M = 40,15 M2;


121

3) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor: 410/PMD-BP/193 tanggal

14 Desember 2018 kepada CV Swa Karya Mandiri yang

diperuntukkannya untuk bangunan gedung dengan luas bangunan

yang dimohonkan ± 50 M2 dan Prasarana Bangunan Gedung antara

laian Kolam Kepiting (25 M X 20 M = 500 M2), Konstruksi Pembatas

(Turap) dengan luas 500 M2 dan Konstruksi Pekerasan Jalan 50 M2;

Penerbitan IMB tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4)

Peraturan Bupati Nomor 7 tahun 2016 tentang Pelimpahan Sebagian

Wewenang Pemerintah Kabupaten kepada Camat yang menyebutkan

pada pokoknya camat hanya berwenang menerbitkan IMB untuk luas

tidak melebihi 45M2 dan dipergunakan untuk masyarakat

berpenghasilan rendah

f. Setelah perizinan IUP OP untuk Penjualan telah terbit, saksi Jalil dan

saksi Sugeng kembali menemui Terdakwa untuk menunjukkan IUP OP

untuk Penjualan yang dimilikinya. Terdakwa sempat membacanya,

kemudian untuk memastikan kebenarannya, Terdakwa menghubungi

saksi Amjon via telepon. Saksi Amjon menyatakan membenarkan

perijinan tersebut, tanpa menerangkan jenis ijin apa yang dimiliki HKTR,

CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya tersebut. Padahal

berdasarkan uraian di atas, perijinan IUP OP untuk Penjualan tersebut

tidak dapat dijadikan sebagai dasar aktivitas penambangan HKTR, CV

Swa Karya
122

g. Perbuatan Terdakwa menyewakan lahannya kepada HKTR, CV Swa

Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya untuk melakukan kegiatan

penambangan dan penjualan bauksit padahal diketahuinya atau patut

diketahuinya bahwa ketiga penyewa tersebut tidak memiliki kapasitas

dan legalitas yang sah untuk melakukan penambangan dan penjualan

bauksit, secara faktual mengakibatkan hilangnya sumber daya mineral

berupa bauksit yang ditambang dan dijual secara melawan hukum oleh

HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya. Perbuatan

Terdakwa tersebut sekaligus menyempurnakan perbuatan melawan

hukum yang dilakukan secara bersama-sama oleh saksi Amjon, saksi

Azman Taufiq, saksi Harry E. Malonda, saksi Sugeng, saksi Junaedi, dan

saksi Jalil.

h. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan delik materiil, dimana

selesainya tindak pidana tidak bergantung pada selesainya wujud

perbuatan sebagaimana dalam tindak pidana formil, tapi bergantung pada

akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Akibat yang dilarang dalam

2 pasal tersebut adalah adanya kerugian keuangan negara, dimana

kerugian negara tersebut terjadi sebagai akibat dari perbuatan secara

melawan hukum. Perbuatan secara melawan hukum yang dimaksud

dalam pasal ini diantaranya adalah bertentangan dengan hukum obyektif

atau perundangundangan yang berlaku tidak terbatas pada UU Tipikor

saja, melainkan termasuk juga dalam hal ini adalah bertentangan dengan
123

peraturan perundang-undangan tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.

3. Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi

Tidak ada penjelasan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi mengenai apa yang dimaksud dengan “memperkaya”. Namun para

ahli sepakat “memperkaya” adalah memperoleh atau bertambahnya

kekayaan dari yang sudah ada. Atau dari segi bahasa, memperkaya berasal

dari kata dasar “kaya”. Kaya artinya mempunyai harta yang banyak,

sehingga memperkaya dapat diartikan menjadikan lebih kaya. Andi Hamzah

sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi dalam bukunya yang berjudul

“Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia” halaman 29, memberikan definisi

memperkaya sebagai “menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya,

atau orang yang sudah kaya bertambah kaya”. Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi juga tidak memberikan ukuran yang pasti berapa

harta seseorang sehingga ia bisa disebut kaya atau mejadi lebih kaya. Untuk

itu, cukup dibuktikan hartanya bertambah dalam jumlah tertentu yang

diperoleh dengan cara yang melawan hukum. Artinya keadaan seseorang


124

menjadi lebih kaya harus dikaitkan pula dengan cara perolehan kekayaannya

itu yang secara melawan hukum. Isi pengertian perbuatan memperkaya

dalam pasal ini mengandung 3 (tiga) perbuatan yang bersifat alternatif,

yakni memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan memperkaya

korporasi; sehingga Majelis Hakim cukup membuktikan salah satunya sub

unsur saja. Apabila salah satu sub unsur telah terpenuhi dan terbukti, maka

Majelis Hakim tidak perlu membuktikan sub unsur yang lainnya.

Memperkaya diri sendiri artinya diri si pembuat sendirilah yang

memperoleh atau bertambah kekayaannya. Memperkaya orang lain, artinya

orang yang bertambah atau memperoleh kekayaan adalah orang lain selain

si pembuat. Memperkaya korporasi, artinya yang bertambah atau

memperoleh kekayaan adalah suatu korporasi. Walaupun si pembuat tidak

memperoleh atau bertambah kekayaannya, melainkan orang lain atau

korporasi, tetap beban pertanggungjawaban pidananya dianggap sama

dengan dirinya yang mendapatkan kekayaan tersebut secara pribadi

4. Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh

kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, yang dipisahkan atau yang
125

tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara

dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

pejabat lembaga Negara baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

pejabat/lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, berada

dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan

Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan

Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau

perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan

perjanjian dengan negara;

Mengacu pada definisi keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara

dalam bentuk apapun juga yang dapat dinilai dengan uang, serta segala

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara. Dalam hal ini, sumber daya alam mineral bauksit adalah

kekayaan negara yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tergali dan terjualnya sumber

daya mineral bauksit secara melawan hukum oleh Terdakwa secara

bersama-sama mengakibatkan hilangnya kekayaaan negara berupa

bauksit yang terjual kepada PT GBA. Dengan demikian, keseluruhan

realisasi penjualan bausit kepada PT GBA sejumlah

Rp28.000.820.338,00 (dua puluh delapan milyar delapan ratus dua puluh


126

ribu tiga ratus tiga puluh delapan Rupiah) merupakan jumlah kerugian

keuangan negara yang timbul dalam perkara ini.

5. Yang Melakukan, Yang Menyuruh Melakukan, atau Turut Melakukan

Menurut Prof. Satochid Kartanegara, S.H., yang diatur dalam pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP adalah siapa yang dianggap sebagai “pelaku”

(dader). Pelaku, yaitu barangsiapa yang memenuhi semua unsur dari

yang terdapat dalam perumusan-perumusan delik, sedangkan yang

menyuruh melakukan (doen pleger) adalah seseorang yang berkehendak

untuk melakukan sesuatu delik tidak melakukannya sendiri, akan tetapi

menyuruh orang lain untuk melakukannya dan, orang yang “turut

melakukan”, menurut ajaran Prof. Simon ialah bahwa orang yang turut

melakukan (mededader) harus memenuhi syarat dari tiap-tiap unsur yang

merupakan syarat sebagai pelaku menurut ketentuan undang-undang.

Suatu bentuk “turut melakukan” (mededaderschap) terjadi apabila

beberapa orang bersama-sama melakukan delik

6. Pidana Tambahan Uang Pengganti

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi menyebutkan pada pokoknya selain pidana tambahan

sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pidana tambahan adalah:


127

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud

atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh

dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di

mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya

sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama

1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

PERMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang

Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, pada pokoknya mengatur

tentang pengenaan pidana tambahan yang dikenakan terhadap pelaku

tindak pidana korupsi, salah satunya untuk mengembalikan atau

mengganti kerugian keuangan negara sebanyak-banyaknya sama dengan

harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-

mata sejumlah kerugian negara; beserta tata caranya serta ancaman

hukuman yang diterapkan apabila si pelaku tindak pidana tidak

membayar atau harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang

pengganti tersebut.
128

Pada 2 Februari 2021 Terdakwa melakukan penyetoran uang sebagai

penitipan/pengembalian kerugian keuangan negara melalui rekening

Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau yakni sejumlah Rp7.590.778.904,00

(tujuh milyar lima ratus sembilan puluh juta tujuh ratus tujuh puluh

delapan sembilan ratus empat Rupiah). Jumlah penitipan tersebut sama

dengan jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa dari penyewaan lahan

dengan HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes Maritim Jaya.

Dengan demikian, uang tersebut akan diperhitungkan sebagai

pembayaran uang pengganti.


BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Konsekuensi logis dari putusan Mahkamah Nomor: 25/PUU-

XIV/2016 Konstitusi tersebut adaah bergesernya jenis delik dalam

tindak pidan akorupsi yang sebelumnya merupakan delik formil,

kini berubah menjadi delik materiil. Oleh karenanya, berdasarkna

pada teori pengahpusan piadana, dimana hilangnya aspek materiil

dari suatu tindka pidana yang tergolong ke dalam delik materiil

menjadi sebab hapusnya suatu pidana.

2. Pidana pengembalian kerugian keuangan negara dapat menjadi

alasan pembenar dihapuskannya pidana bagi pelaku tindak pidana

korupsi. Mengingat esensi dari suatu tindak pidana yang masuk

dalam kategori delik materiil adalah terletak pada akibat yang

ditimbulkan, jika akibat yang ditimbulkan telah hilang, maka tindak

pidana tersbeut tidak berarti apa-apa. Artinya, jika kerugian negara

yang ditimbulkan dalam suatu tindak pidana korupsi telah

dikembalikan, hal itu berarti tindakan yang semula dikatakan

sebagai tindak pidana menjadi hilang unsur pidananya.

Tindak pidana korupsi bukan saja sebagai kejahatan yang

menyangkut keuangan dan perekonomian negara, melainkan

menyangkut pula permasalahan moral dan etika. Hal inilah yang

menjadikan pengambalian kerugian keuangan negara sebagai

129
130

salahsatu faktor yang meringankan pidana dan bukannya sebagai

faktor yang menghapuskan adanya pidana. Meskipun

pelaksanaannya masih belum sesuai seperti yang diharapkan.

Ferdy Yohanes terjadi karena turut serta melakukan tindak pidana

korupsi secara bersama-sama dengan Ir Sugeng, Jalil dan Junaedi.

Hal tersebut terjadi dalam hal perizinan pertambangan bauksit yang

melawan hukum karena tidak mengindahkan perturan gubernur

terkait dengan ijin pertambangan bauksit di Provinsi Kepulauan

Riau.

3. Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah meakukan tindak pidana korupsi sebagaimana

yang didakwakan melalui dakwaan primair oleh Jaksa Penuntut

Umum. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan

pidana penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah

Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama

3 (tiga) bulan. Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan

kepada terdakwa berupa membayar uang pengganti kepada negara

sejumlah Rp7.590.778.904,00. Jumlah penitipan tersebut sama

dengan jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa dari penyewaan

lahan dengan HKTR, CV Swa Karya Mandiri, dan BUMDes

Maritim Jaya. Dengan demikian, uang tersebut akan diperhitungkan

sebagai pembayaran uang pengganti.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta

Agus Rahardjo, 2003, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan


Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti

Aliftra, 2012, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses,
Jakarta

Amrani, Hanafi dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana


Perkembangan dan Penerapannya, Jakarta,Rajawali Press

Arief, Arda Nawawi, 2002, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media,
Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar


Pengadilan, Pustaka Megister, Semarang

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,


Konstitusi, Jakarta

Braithwaite, John, 2002Restorative Justice And Responsive Regulation, University


Press, Oxford

Deni Nuryadi, 2016, “Teori Hukum Progresif dan Penerapannya di Indonesia”,


Jurnal Ilmiah Hukum De Jure, Vol 1, No 2

Hatta, Muhammad, 2019, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime), Unimal
Press, Lhokseumawe

Herliana, Apong dkk, 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan


Dengan Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta

Hiariej, Eddy O.S., 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum
Pidana, Erlangga, SurabayaHS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani,

131
2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenadamedia Group,
Jakarta

Kiltgaard, Robert, Ronald Maclean-Abaroa, Lindsey Parris, 2002, Penuntutan


Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta

Liebmann, Marian, 2007, Restorative Justice, How it Works, Jessica Kingsley


Publisher, London

Manan, Bagir dalam Rudy Rizky, 2008, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian
Pemikiran dalam Dekade Terakhir), Perum Percetakan Negara
Indonesia, Jakarta

Mappiase, Syarif, 2015, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:


Prenada Media Group

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep


Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta

Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra AdityaBhakti

Ranuhandoko, I.P.M., 2003, Terminologi Hukum Inggris, Jakarta: Sinar Grafika

Ravena, D. dan Kristian, 2017, Kebijakan Kriminal, Prenada Media Group, Jakarta

Saidi, Muhaamd Djafar, 2011, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Press, Jakarta

Satjipto Rahardjo, 2005, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal


Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1

132
Siregar, Mahmul, 2007, Pedoman Praktis Melindungi Anak Dengan Hukum Pada
Situasi Emergensi Dan Bencana Alam, Pusat Kajian Perlindungan Anak
(PKPA), Jakarta

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1999, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, FH Undip,


Semarang

Supeno, Hadi, 2010, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan


Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia, Jakarta

Tridiatno, Yoachim Agus, 2015, Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka,


Yogyakarta

Yanuar, Purwaning M., 2007, Pengembalian Kerugian Negara Hasil Korupsi, PT.
Alumni, Bandung

Yusuf, Muhammad, 2013, Merampas Aset Koruptor (Solusi Pemberantasan


Korupsi Di Indonesia), Kompas, Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3209
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana
Korupsi Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3874
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomoe 47 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4286
Putusan Nomor:15/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TPG

Artikel, Jurnal, Makalah

133
Ade Mahmud, 2018,“Problematika Asset Recovery Dalam Pengembalian
Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Yudisial
Volume 11 No.3,

Adnan Topan Husoso, 2010, “Catatan Kritis atas Usaha Pengembalian kerugian
negara Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Perampasan Aset Hasil
TPK”, Jurnal Legislasi Indonesia.

Alyith Prakarsa Dan Rena Yulia, 2017, “Model Pengembalian kerugian negara
(Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum PRIORIS
Volume 6 Nomor 1

Arizon Mega Jaya, 2018, “Perampasan Harta Kekayaan Pelaku Tindak Pidana
Korupsi”, Jurnal Cepalo Volume 2 Nomor 2

Artidjo A lkostar, 2008, “Kerugian Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak


Pidana Korupsi”, Varia Peradilan No. 275

Basrief Arief, 2014, “Pemulihan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, Workshop
Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi, Jakarta

Basrief Arief, 2014, “Pemulihan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, Workshop
Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi, Jakarta

Bernadeta Maria Erna, 2013, “Peranan Jaksa Dalam Pengembalian kerugian


negara Negara”, Dalam Seminar Nasional Optimalisasi Kewenangan
Kejaksaan Dalam Pengembalian kerugian negara Hasil Koripsi Melalu
Instrumen Hukum Perdata, FH Universitas Pasundan

Hanafi Arief dan Ningrum Ambarsari, 2018, “Penerapan Prinsip Restorative


Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Al ‘Adl Volume
X Nomor 2

Mark V. Vlasic, Gregory Cooper, 2011, “Beyond The Duvalier Legacy: What New
“Arab Spring” Governments Can Learn From Haiti And The Benefits Of

134
Stolen Asset Recovery”, Northwestern Journal Of International Human
Right, Vol. 10 No. 3

Muhammad Nur, Dkk, 2010, “Implementation of Oversight Policy, Apparatus


Competence and Organizational Clture and Its Effect on Performance of
Field Supervision Basic Education”, International Journal Science and
Society, No. 1

R Tony Prayogo, 2016, “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan


Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 13, No. 2

Ridwan Arifin, Utari, dkk, 2016, “Upaya Pengembalian Kerugian Korupsi yang
Berada di Luar Negeri (Asset recovery) dalam Penegakan Hukum
Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Indonesian Journal Of Criminal
Law Studies (IJCLS), Volume 1, Nomor 1

Rudy Hendra Pakpahan, 2019, “Pembaharuan Kebijakan Hukum Asset Recovery:


Antara Ius Constitutum Dan Ius Contituendum”, Jurnal Legislasi
Indonesia Volume 16 No.6

Setyo Utomo, 2017, “Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis


Restorative Justice”, Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas
Suryakancana Volume V Nomor 1

Zico Junius Fernando, 2020, “Pentingnya Restorative Justice Dalam Konsep Ius
Constituendum”, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam,
Volume 5 Nomor 2

135
Internet

Pusat Edukasi Antikorupsi, “Kasus-Kasus Korupsi di Indonesia”,


https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-
korupsi/infografis/kasus-kasus-korupsi-di-idonesia,

“Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, 2004-2020”,


https://lokadat.beritagar.id/chart/preview/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-
2004-2020-1611921280

136

Anda mungkin juga menyukai