Anda di halaman 1dari 124

HASIL

PENENTUAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

MICHAEL KAMONTO
NIM. G2R120064

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
PENENTUAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

HASIL

Diajukan Untuk Mengikuti Ujian Hasil


Pada Program Studi Magister Hukum Pascasarjana
Universitas Halu Oleo

Oleh :

MICHAEL KAMONTO
NIM. G2R120064

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022

ii
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul :PENENTUAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA


DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
2. Identitas Peneliti
a. Nama : MICHAEL KAMONTO
b. NIM : G2R120064
c. Program Studi : ILMU HUKUM

Kendari, April 2022

Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Herman ,SH.,LL.M Dr. Oheo K.Haris, SH.,L.LM.,M.Sc


NIP : 19760306200604 1 002 NIP : 19730616 200212 1 001

Mengetahui,

Koordinator Program Studi Magister Hukum


Pascasarjana Universitas Halu Oleo

Dr. Oheo K.Haris, SH.,L.LM.,M.Sc


NIP : 19730616 200212 1 001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : MICHAEL KAMONTO

NIM : G2R120064

Program Studi : ILMU HUKUM

Konsentrasi : HUKUM PIDANA

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang di tulis untuk memenuhi


tugas akhir pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas
Halu Ole ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambil
alih an tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya
sendiri.
Apa bila di kemudian hari terbukti atau dapat di buktikan hasil penelitian ini
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kendari, April 2022


Yang membuat pernyataan,

MICHAEL KAMONTO
G2R1 20064

iv
ABSTRAK

MICHAEL KAMONTO, (G2R1 20 064) “PENENTUAN KERUGIAN


KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK,” dibimbing oleh Dr. Herman,
SH.,LL.M.,Sebagai Pembimbing I dan Dr. Oheo K.Haris, SH.,LL.M.,M.Sc.,sebagai
Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penentuan kerugian negara dalam
tindak pidana Korupsi, dan untuk menganalisis kewenangan penyidik dalam
menentukan unsur kerugian negara dalam tindak pidana perjalanan dinas fiktif.
Penelitian ini bersifat Normatif dengan beberapa pendekatan yakni Pendekatan
Undang-Undang (Statute approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual approach),
Pendekatan Kasus (case approach) dengan sumber bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan sekunder (studi kepustakaan), dengan analisis yang
sifatnya preskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pertama, berdasarkan putusan
MK25/Puu-Xiv/2016 bahwa Tindak Pidana Korupsi harus terlebih dahulu
menentukan adanya kerugian keuangan negara yang pasti. Lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara terkait korupsi secara
implisit dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahu 2006
tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, da
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, penetapan seluruh unsur
keuangan negara serta jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum oleh BPK dan BPKP melakukan audit investigatif dan penghitungan
keuangan Negara.Kedua, Penyidik mempunyai kewenangan untuk mencari dan
mengumpulkan bukti guna menentukan unsur kerugian Negara dalam tindak pidana
perjalanan dinas fiktif sebagai suatu tindak pidana korupsi dan bilamana perhitungan
kerugian Negara tersebut tidak sulit maka penyidik dapat melalukan audit dan
pemeriksaan indikasi kerugian keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) akan menilai apakah
perhitungan keuangan negara yang telah dilakukan oleh penyidik telah relevan,
kompeten, dan cukup dalam menentukan besarnya kerugian keuangan Negara.
Apabila ditemukan kerugian negara dan/atau unsur pidana, penyidik dapat melakukan
penyidikan berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang berindikasi kerugian
negara/daerah dan/atau unsur pidana oleh BPK/BPK.

Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Kerugian Negara, penyidik dan


penyidikan.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan

hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaiakan tesis ini meskipun dengan segala

keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis. Penulis menyadari, tanpa dukungan dari

beberapa pihak penulisan tesis ini tidak dapat ada dan terselesaikan. Oleh karena itu

penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si.,M.Sc., selaku Rektor Universitas Halu

Oleo;

2. Prof. Dr. R. H. Marzuki Iswandi, M.Sc., selaku Direktur Pascasarjana

Universitas Halu Oleo;

3. Prof. Dr. Ir. Muhidin, selaku Wakil Direktur Satu (Bidang Akademik

Pascasarjana Universitas Halu Oleo;

4. Prof. Dr. La Ode Muhammad Safwan, M.Sc., Wakil Direktur Dua (Bidang

Keuangan) selaku Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Halu Oleo;

5. Prof. Dr. Yulius Bara Pasolong, M.Sc., selaku Wakil Direktur Tiga (Bidang

Kemahasiswaan) Pascasarjana Universitas Halu Oleo;

6. Dr. Oheo K.Haris, SH.,LL.M.,M.Sc., selaku Koordinator Program Studi

Magister Hukum Pascasarjana Universitas Halu Oleo, dan selaku Pembimbing II

yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian penulisan ini.

7. Dr. Herman, SH.LL.M.,selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan

dan membimbing penulis untuk menyelesaiakan tesis ini.

vi
8. Bapak ……………… bapak …………….. dan Ibu …………… selaku dosen

Penguji yang telah banyak memberikan kritikan dan arahan yang membangun

bagi penulis untuk menyelesaiakan tesis ini.

9. Para dosen pengajar pada Program Studi Magister Hukum Pascasarjana

Universitas Halu Oleo yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak memberikan ilmunya kepada penulis untuk menjadi bekal dalam

mencapai masa depan yang lebih baik.

10. Pada teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Hukum Pascasarjana

Universitas Halu Oleo terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam proses

belajar dan masukan dalam penulisan tesis ini sehingga dapat terselesaikan.

Penulis menyadari tanpa dukungan dan bantuan dari pihak-pihak di atas

penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya dengan segala

kekurangan yang dimiliki penulis mohon kritikan dan saran untuk penyempurnaan

tesis ini ke depannya.

Kendari, April 2022

Penulis,

Michael Kamonto

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. ii


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN …………… iv
ABSTRAK ………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. viii
BAB I Pendahuluan ………………………………………………….…. 1

1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah ………………………...... 1

1.2 Tujuan Penelitian …………………………………………….…..… 13

1.3 Manfaat Penelitian ………………………………………..….…..… 13

1.4 Tinjauan Teoritis..……………………………………….…..…..…. 14

1.4.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara ….….…..…………... 14

1.4.1.1 Pengertian Kerugian Keuangan Negara………………. 14

1.4.1.2 Teori Hukum Keuangan Negara ……………………. 16

1.4.2 Konsep Penyalahgunaan Wewenang………………..……… 22

1.4.2.1 Pengertian Penyalahgunaan Wewenang……………. 22

1.4.2.2 Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana

Korupsi ……………………………………………….. 26

1.4.3 Konsep Tindak Pidana Korupsi………………………………. 29

1.4.3.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi ………………….. 29

1.4.3.2 Sebab dan Dampak Tindak Pidana Korupsi ……….… 34

1.4.3.3 Teori Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi…………… 36

viii
1.5 Metode Penelitian ………………………………………………..…. 37

1.5.1 Tipe Penelitian ……………………………………………….. 37

1.5.2 Pendekatan Penelitian ……………………..………………… 37

1.5.3 Sumber Bahan Hukum …………………………….………… 39

1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum ………………………. 41

1.5.5 Metode Analisis Bahan Hukum ……………………………… 42

1.6 Sistematika Penulisan ………………………………………………..42

BAB II PENENTUAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ……………………… 44

BAB III PENYIDIK DALAM MENENTUKAN UNSUR KERUGIAN

NEGARA DALAM TINDAK PIDANA

PERJALANAN DINAS FIKTIF……….…………..……….... 82

BAB IV PENUTUP ………………………………………………………. 107

4.1 Kesimpulan……………………………………………………… 107

4.2 Saran…………………………………………………………….. 108

DAFTAR PUSTAKA

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Sarana keuangan negara merupakan instrumen yang sangat vital untuk

menggerakkan roda organisasi pemerintahan. Penyelenggaraan fungsi-fungsi

pemerintahan tidak akan bisa dilaksanakan secara efektif tanpa didukung oleh sarana

keuangan negara. Sedemikan pentingnya arti sarana keuangan negara menyebabkan

penyelenggara negara perlu mengaturnya sejak dari Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai aspek konstitusionalitas hingga dalam

berbagai aturan operasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan (regeling)

maupun peraturan kebijaksanaan (policy rule).1

Pengelolaan keuangan negara secara tertib, cermat, efektif, dan efisien

memerlukan desain legal framework yang secara jelas dapat dijadikan acuan dalam

kebijakan pengelolaan keuangan negara. Pembaruan terhadap legal basis pengelolaan

keuangan keuangan negara telah menghasilkan beberapa regulasi, diantara yaitu

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dinyatakan bahwa

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan

1
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, h. 54.

1
2

uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat

dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Definisi keuangan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, diderivasi dari teori Negara kesejahteraan

(welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD 1945, dari pembukaan hingga

pasal-pasalnya. Pembentuk UUD 1945 yang diwarnai pemikiran Negara

kesejahteraan (welfare state) mencita-citakan pembentukan pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan

kesejahteraan umum dan seterusnya.2

Selain itu, definisi yang dianut oleh Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan negara tersebut menggunakan pendekatan luas, dengan tujuan

terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk mencegah

terjadinya multi interpretasi dalam segi pelaksanaan anggaran, agar tidak terjadi

kerugian negara sebagai akibat kelemahan dalam perumusan undang-undang, dan

memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi mal administrasi dalam

pengelolaan keuangan Negara.3 Artinya bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan negara menjadi kerangka hukum dalam upaya mendorong

terwujudnya tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari korupsi. Korupsi

sering dikaitkan dengan perbuatan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam

2
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,
2014, h.9
3
Ibid.,h.178
3

bidang keuangan, dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan

kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan.

Hal seperti itu dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black,yang dikutip

oleh Elwi Danil, yang mengartikan korupsi sebagai:4

“an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official
duty and the rights of others. (suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban
resmi dan hak-hak dari pihak lain)”.

Korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang

dianggap menyimpang, serta membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena

itu, perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk

oleh para koruptor itu sendiri. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut

konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak

pidana.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang dianggap

sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal ini disebabkan karena sifat

tindak pidana korupsi yang sistematik dan meluas sehingga berpotensi merugikan

keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah yang tidak sedikit dan

membutuhkan penanganan yang luar biasa. Tindak pidana korupsi tersebut diatur

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah

satu jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut yaitu

4
Elwi Danil, Korupsi konsep Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, h. 3
4

tindak pidana merugikan keuangan negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 pengembalian kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.

Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana

korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah

mengetengahkan konsep pengembalian kerugian keuangan negara. Konsep tersebut

diharapkan mampu mengembalikan kerugian negara, di samping pelaku tindak

pidana korupsi dikenai sanksi pidana. Juga terdapat sanksi pidana tambahan berupa

uang pengganti dengan jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang

diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.

Namun sampai saat ini penegakan hukum tindak pidana korupsi yang

berimplikasi pada kerugian keuangan Negara masih terkendala beberapa hal,

diantaranya yaitu adanya multitafsir atau perbedaan pemahaman terkait pengembalian

kerugian keuangan Negara tersebut. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas mengenai

apa yang disebut dengan kerugian keuangan negara. Hal ini berimplikasi semakin

terbukanya peluang penafsiran terhadap suatu perbuatan yang dianggap melawaan

hukum, sehingga menjadi penyebab ketidakpastian hukum. 5 Kerugian negara yang

5
Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara, ,Setara Press, Malang, 2015, h. 150.
5

ditimbulkan dari akibat perbuatan tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah

adanya kerugian yang ditimbulkan pada keuangan Negara.

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan yang pada intinya bahwa

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara. Serta setiap orang yang

menyalahgunakan kewenangan ataupun kesempatan yang ada karena jabatan

baik menguntungkan pribadi maupun orang lain yang dapat merugikan

perekonomian negara.

Terkait dengan Pasal 2 dan Pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam amar Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, menyatakan “kata dapat‟ dalam Pasal

2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUDN RI Tahun

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan

MK tersebut, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah

menjadi delik materil yang mensyaratkan adanya akibat yakni unsur kerugian

keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti.

Dalam putusan MK di atas, bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-


6

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan

menitikberatkan adanya akibat (delik materil). unsur merugikan keuangan

negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus

dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

Unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti oleh

lembaga yang berwenang. Unsur ini penting untuk menentukan dapat atau

tidaknya pelaku tindak pidana korupsi di pidana. Artinya bahwa Aparat

Penegak Hukum harus membuktikan adanya kerugian keuangan negara

sebelum dilakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Persoalannya

adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi tidak merumuskan dengan jelas dan tegas lembaga yang

berwenang menghitung dan menyatakan “kerugian keuangan Negara.

Dalam Penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dinyatakan “bahwa yang

dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah

dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang

atau akuntan publik yang ditunjuk yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
7

dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu juga,

terkadang ikut terlibat Akuntan Publik, Inspektorat, ataupun kerugian negara

dihitung sendiri oleh Kejaksaan dan kepolisian yang merupakan unsur

penegak hukum sebagai Penyidik.

Persoalan inilah yang menimbulkan beragam perspektif, spekulatif dan

perdebatan dalam kaitan tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara

adalah siapakah lembaga yang berwenang dan memiliki kompetensi dalam

menghitung dan menyatakan kerugian keuangan Negara, atau apakah aparat

penegak hukum hanya boleh berkoordinasi dengan BPK sebagai lembaga

yang secara konstitusional berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara atau dapat juga berkoordinasi dengan BPKP sebagai

salah satu lembaga pengawasan internal pemerintah yang juga diberikan

kewenangan yang serupa.

Terkait dengan kewenangan atau lembaga yang bertanggungjawab

dalam penentuan kerugian negara dalam dugaan tindak pidana korupsi tidak

diatur tegas, maka dalam praktik dilapangan tidak ada kepastian dalam

menerapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, mengingat

masing-masing instansi yang melakukan penghitungan atas kerugian negara

memiliki metode yang berbeda pula sehingga pada akhirnya laporan yang

diberikan juga berbeda, tidak adanya kepastian terkait dengan kompetensi

lembaga yang melakukan perhitungan atas kerugian negara sangat


8

mempengaruhi kinerja lembaga penegak hukum dalam menangani dugaan

tindak pidana korupsi.

Salah satu bentuk tindak pidana yang mengakibatkan kerugian

keuangan Negara adalah bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pejabat

negara khususnya dalam biaya perjalanan dinas. Penyalahgunaan wewenang

dalam perintah perjalanan Dinas dengan sebuah alasan melaksanakan Surat

Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) terkadang sering menimbulkan laporan

pertanggungjawaban fiktif sehingga tidak sedikit keuangan Negara yang tidak

dapat dipertanggungjawabkan karena melekat kewenangan dari yang

bersangkutan yang berhubungan dengan perintah tugas dalam melakukan

perjalanan Dinas yang berhubungan dengan bidang tugas dan jabatannya.

Menurut BPK, penyelewengan realisasi biaya perjalanan dinas pada 43

kementerian/lembaga sepanjang 2019 mencapai Rp 102,76 miliar. Temuan itu

melonjak dari periode sebelumnya, 25,43 miliar. Bentuk penyimpangan itu

antara lain perjalanan tanpa bukti pertanggungjawaban, manipulasi harga

tiket, perjalanan dinas ganda, perjalanan dinas fiktif, dan kelebihan

pembayaran. Lembaga auditor negara itu setiap tahun selalu mengingatkan

pemerintah agar meningkatkan pengawasan terhadap perjalanan dinas di

semua instansi. BPK mencatat modus penyimpangan antara lain menitipkan

surat perintah perjalanan dinas. Tindakan manipulatif dan pemalsuan

dokumen perjalanan semestinya diteruskan ke proses hukum. Para pelakunya


9

seharusnya diajukan ke pengadilan untuk menimbulkan efek jera bagi aparat

pemerintah lainnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI terkait dengan biaya

perjalanan dinas, rupanya juga berpengaruh terhadap perkembangan modus

operandi dari aparat pemerintah dalam mengantisipasi temuan-temuan BPK.

Sebagaimana telah menjadi rahasia umum bahwa dokumen-dokumen

perjalanan dinas seperti tiket, boarding pas dan bahkan airport tax bandara

dapat diperoleh dengan biaya tertentu dari oknum-oknum travel perjalanan

atau dari pihak lainnya. Sedangkan dokumen pendukung Surat

Pertanggunjawaban (SPJ) lainnya, antara lain dokumen Surat Perintah

Perjalanan Dinas (SPPD) yang harus ditandatangani dan di stempel oleh pihak

pejabat instansi yang dikunjungi dan harus dilampirkan dalam SPJ perjalanan

dinas juga dapat dengan mudah diperoleh dengan berbagai cara, antara lain:

misalnya yang ditugaskan itu lebih dari satu orang maka memang dari surat

tugas tersebut ada seorang atau beberapa saja yang berangkat dan memintakan

tanda tangan dan stempel tersebut untuk seluruh orang yang tercantum dalam

surat tugas, walaupun yang tidak semua orang dalam surat tugas

melaksanakan perjalanan dinas.

Dokumen-dokumen asli tapi palsu (ASPAL) inilah yang digunakan

sebagai dokumen pendukung dikeluarkannya/dicairkannya uang dari kas

negara/daerah, sehingga akan muncullah penyimpangan-penyimpangan antara

lain perjalanan dinas fiktif, perjalanan dinas tumpang tindih, perjalanan dinas
10

dilaksanakan kurang dari waktu dalam surat penugasan, pembentukan “dana

taktis”/non budgeter dengan SPJ perjalanan dinas, perjalanan dinas sebagai

sumber tambahan penghasilan yang tidak sah, perjalanan dinas diberikan

kepada yang tidak berhak, sumber pendanaan perjalanan dinas dari 2 atau

lebih sumber pendanaan, dan lain-lain.

Di Sulawesi Tenggara sendiri marak terjadinya penyalahgunaan

wewenang khususnya terkait dengan biaya perjalanan dinas yang dilakukan

oleh pejabat Negara, antara lain:

1) Kaus Umar Saranani Cs terkait Perjalanan Dinas Fiktif 2003-2004. Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Kendari, memvonis satu tahun penjara terhadap

tiga mantan anggota DPRD Sultra periode 1999-2004 yaitu Umar Saranani,

La Ode Ate dan Amir Pidani. Selain pidana penjara Umar Saranani dikenai

denda sebesar Rp. 50 juta subsidiair dua bulan kurungan serta diwajibkan

membayar uang pengganti sebesar Rp. 13,5 juta.

2) Kasus Jafar Pagala yang merupakan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan

Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Konawe Utara, Jafar Pagala diduga

terlibat kasus korupsi perjalanan dinas fiktif ketika menjabat sebagai Kepala

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Konawe Utara pada tahun 2009.

Perbuatannya dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999

sebagaimana diatur dalam UU nomor 20 tahun 2001, dengan ancaman

hukuman maksimal 20 tahun penjara.


11

3) Kasus tindak pidana korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di

Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Sulawesi Tenggara.

Penyelidikan bermula akibat adanya kecurigaan terhadap penyalahgunaan

anggaran dana rutin APBD Perubahan tahun 2019, tersangka kasus korupsi

SPPD fiktif ini berjumlah 2 orang.

4) Kasus tindak pidana korupsi Nonong Fadly Saputra, yakni terbukti

melakukan tindak pidana Korupsi perjalanan dinas fiktif saat menjabat selaku

Bendahara pengeluaran pada DPPKAD Konawe 2009, dengan hukuman 1

Tahun 6 Bulan penjara, denda 50 juta Rupiah, subsider 2 Bulan. di tahun

yang sama pula Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 4 Tahun penjara,

kepadanya dan denda 50 Juta rupiah, serta diharuskan membayar uang

pengganti senilai 2,739 Milyar lebih, subsider 2 Tahun penjara

Sebagai contoh kasus yaitu putusan terkait tindak pidana penyalahgunaan

wewenang perjalanan Dinas yang berimplikasi kerugian keuangan Negara, sebagai

berikut:

1) Putusan Nomor: 35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, yakni terkait dengan n Kegiatan

Perjalanan Dinas Dalam Daerah dan Luar Daerah serta Kegiatan Reses pada

Sekretariat DPRD Kabupaten Kolaka periode Tahun 2019 dan 2020 yang dalam

laporan pertanggungjawabannya tidak dilakukan sesuai kenyataan yang

sebenarnya yaitu dengan melakukan mark up dan terdapat kegiatan perjalanan

dinas yang fiktif telah membuktikan bahwa terdakwa selaku Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) tidak melakukan control pengawasan penggunaan anggaran


12

yang dikelola oleh Bendahara, Diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat

(1)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah denganUndang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI. Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2) Putusan Nomor: 23/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, yakni terkait dengan Laporan

Pertanggungjawaban Biaya Perjalanan pada Kegiatan Pelatihan Sistem Keuangan

Desa (SISKEUDES) Kabupaten Kanawe Kepulauan yang mengakibatkan

kerugian Negara. Diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1)Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana dirubah dan ditambah denganUndang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI. Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

sebagaimana.

Putusan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pertanggungjawaban

perjalanan dinas menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat mengingat tindak

pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) putusannya

lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang pro mengatakan dengan

adanya pengembalian kerugian negara maka Putusan Nomor:

35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, dan putusan nomor 23/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi

sudah tepat, dan yang kontra berpendapat bahwa dengan adanya Pengembalian

kerugian negara tidak mengurangi pidananya, dengan demikian Majelis Hakim


13

seharusnya dapat menjatuhkan putusan yang lebih tinggi sehingga memberi efek jera

bagi pelaku maupun masyarakat lainnya.

Berdasakan latar belakang tersebut penulis tertatik untuk melakukan

penelitian dengan judul : PENENTUAN KERUGIAN KEUANGAN

NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah Penentuan Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana

Korupsi ?

2. Apakah Penyidik Mempunyai Kewenangan Dalam Menentukan Unsur

Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Perjalanan Dinas Fiktif ?

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.2.1 Untuk menganalisis penentuan kerugian negara dalam tindak pidana

Korupsi.

1.2.2 Untuk menganalisis kewenangan penyidik dalam menentukan unsur

kerugian negara dalam tindak pidana perjalanan dinas fiktif.

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai

berikut :

1.3.1 Manfaat Teoritis


14

1.3.1.1 Sebagai bahan referensi untuk mempelajari, memahami dan

menganalisis penyalahgunaan biaya perjalanan fiktif oleh aparat negara

sebagai suatu tindak pidana korupsi. sehingga dapat menjadi bahan

acuan dan pedoman, khususnya dikalangan akademisi.

1.3.1.2 Sebagai sumber bacaan dan informasi dalam peningkatan kapasitas

pemahaman hukum secara teoritis dan sekaligus dapat dijadikan

perbandingan hukum bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis

1.3.2.1 Sebagai bahan masukan, petunjuk dan pedoman bagi Penegak hukum

dalam melakukan penegakan hukum terkait dengan penanganan perkara

tindak pidana korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan biaya

perjalanan fiktif oleh aparat negara.

1.3.2.2 Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi sistem peradilan pidana

khususnya dalam menyelesaiakan perkara yang melibatkan aparat

Negara sebagai pelaku tindak pidana.

1.4 Tinjauan Teoritis

1.4.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara

1.4.1.1 Pengertian Kerugian Keuangan Negara

Terhadap kerugian keuangan negara dirasa terlebih dahulu diperlukan juga

adanya kejalasan definisi secara yuridis mengenai pengertian kerugian keuangan

negara. Tidak adanya sinkronisasi perundang-undangan di Indonesia ini


15

menyebabkan definisi atau pengertian “kerugian keuangan negara” menjadi saling

tumpang tindih.

Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara bersifat

plastis dan tergantung pada sudut pandang, sehingga apabila kita berbicara

mengenai makna dari keuangan negara dari sudut pemerintah, maka yang

dimaksud keuangan negara adalah membicarakan perihal APBN. Pengertian

keuangan negara menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara adalah ‘semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

Menurut pembentuk undang-undang dalam penjelasannya menentukan bahwa

keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang

dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan

negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

1) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan

2) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan

yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal

pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara


16

Kerugian keuangan negara didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat

berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan

melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Di dunia peradilan, arti kerugian

keuangan negara yaitu berkurangnya kekayaan negara atau bertambahnya kewajiban

negara tanpa diimbangi prestasi yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum.6

Kerugian keuangan negara menurut Eddy Mulyadi adalah pengeluaran suatu

sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang atau barang) yang seharusnya

tidak dikeluarkan, pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari

yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku, hilangnya sumber/kekayaan negara/

daerah yang seharusnya diterima (termasuk di antaranya penerimaan dengan uang

palsu atau barang fiktif). Kerugian keuangan negara diartikan juga sebagai

penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya

diterima (termasuk penerimaan barang rusak atau kualitas tidak sesuai, timbulnya

kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada, timbulnya suatu kewajiban

negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya, hilangnya suatu hak

negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya dimiliki/diterima

menurut aturan yang berlaku, serta hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari

yang seharusnya diterima.7

Kerugian keuangan negara dalam dimensi hukum administrasi Negara

memiliki definisi yang jelas sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 22 Undang-
6
Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013,
h. 174.
7
Ridwan, Persinggungan Antar Bidang Hukum dalam Penyelesaian Perkara Korupsi di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2016, h.51.
17

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan keuangan, yang

keduanya sama-sama mendefinisikan: “kerugian keungan negara/ daerah adalah

kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai

akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”

1.4.1.2 Teori Hukum Keuangan Negara

Landasan hukum keuangan negara terdapat dalam Pembukaan UUD NRI

Tahun 1945 yang memiliki arti sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.

Pandangan hidup tersebut berimplikasi pada adanya keuangan negara dalam

rangka pencapaian tujuan negara. Tujuan negara adalah melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dam

keadilan sosial. Selaindalam Pembukaan UUD NRI Tahun1945, terdapat juga pasal-

pasal UUD NRI Tahun1945 yang berkaitan dengan keuangan Negara.8

Hukum keuangan negara mempelajari aspek legalistik atau dasar hukum

dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan mempelajari aspek atau dasar hukum

dalam pengelolaan keuangan negara, maka kita dapat mengerti dan memahami

bagaimana mengatur pengelolaan keuangan negara mulai dari perencanaan anggaran,

8
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara: Teori dan Praktik, Rajawali Pers,
Jakarta, 2008, h. 8-10
18

penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pencatatan dan pelaporan anggaran, dan

sebagainya yang tidak ke luar dari koridor aturan hukum.9

Yang termasuk keuangan Negara menurut Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003

meliputi:

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,


dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan Negara/Daerah yang dikelola sendiri atau orang lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang diperoleh menggunakan fasilitas yang diberikan
Pemerintah
Ditinjau dari teori Hukum Administrasi Negara, cara untuk melakukan

perbuatan pemerintah (bestuursdaad) sangat luas klasifikasinya, yaitu:

1. Yang bertindak adalah pemerintah;

2. Yang bertindak adalah badan hukum-badan hukum yang diberi monopoli;

3. Yang bertindak adalah pihak swasta diberi hak untuk menyelenggarkan

kepentingan umum, mis, Damri, Pelni, Shell, Caltec.

4. Yang bertindak adalah yayasan-yayasan yang diberi subsidi oleh Pemerintah,

mis. Yayasan pendidikan dan lain-lain.

9
Ibid.,h.11
19

5. Yang bertindak adalah Pemerintah bersama-sama pihak swasta yang kedua

belah pihak tergabung dalam suatu kerjasama, mis PT Bank BNI (Persero)

6. Yang bertindak adalah yayasan-yayasan yang diawasi/didirikan oleh

Pemerintah, seperti Yayasan Supersemar, Yayasan Veteran, dsb.

7. Yang bertindak adalah koperasi yang diawasi oleh pemerintah

8. Yang bertindak adalah Perusahaan Negara.

Perkembangan hukum keuangan negara ditujukan untuk kepentingan dan

kemanfaatan dalam negara dan masyarakat. Hukum keuangan negara yang

mewujudkan dirinya sebagai landasan konsep bagi prospek negara Indonesia.

Perpaduan antara kemajemukan dan kesatuan bangsa harus menjadi ciri logis yang

mengatur keuangan negara, sehingga konsepsi otonomi daerah sebagai satu basis,

kemandirian bdan hukum sebagai satu basis, serta negara sebagai basis yang lain

harus diformulasikan dengan baik dan mendukung kegiatan negara Indonesia.10

Prospek hukum keuangan negara tidak akan pernah memudar jika semua

pihak mengambil peran atas kesadaran di dalam negara terdapat elemen yang

berwujud badan hukum. Semua pihak harus menyadari peranan ini demi untuk

kepentingan negara dan tidak untuk menguntungkan salah satu pihak manapun.

Sekali lagi negara dan pemerintah tidak diadakan untuk dirinya sendiri dan melayani

dirinya sendiri sehingga wujud pengelolaan keuangan negara harus benar-benar

diformulasikan sebagai wujud kedaulatan rakyat, dimana rakyat menentukan

10
Muhammad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2007. h.24
20

kepentingan dan tujuannya sendiri. Oleh sebab itu, prospek pengelolaan keuangan

negara adalah prospek kepentingan rakyat untuk berdaulat atas hak yang dimilikinya

bagi kemajuan bangsa dan negara.

Filosofis lainnya adalah bahwa landasan hukum pengelolaan keuangan negara

harus mampu direfleksikan dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya sesuai

dengan konsepsi teori hukum. Apalagi penyusunannya mengabaikan teori hukum dan

mengutamakan kepentingan politik tetentu, peraturan perundang-undangan

pengelolaan keuangan negara hanya akan menjadi bagian dari kepentingan pihak

tersebut, sehingga hakikat kedaulatan rakyat tidak akan pernah terwujud dalam

keuangan negara. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan pengelolaan

keuangan negara pemberian dalam tataran peraturan perundang-undangan harus

mengutamakan kepentingan rakyat atau harus sesuai dengan konsepsi mengenai

negara dan pemerintahan dari bangsa itu sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh dan

komprehensif.11

Hadirnya satu teori terkait dengan keuangan Negara yakni Teori transformasi

hukum keuangan Negara. Teori ini hakikatnya perubahan status hukum keuangan dari

keuangan negara menjadi keuangan badan hukum. Penerapan teori tersebut tertuang

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP

Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan

Perseroan Terbatas.

11
Ibid., h.28
21

Hal tersebut tertuang dalam pasal 2A ayat (3) dan (4) PP Nomor 72 Tahun

2016. Dalam ayat (3) disebutkan, “Kekayaan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal

2 ayat (2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan

Terbatas, bertransformasi menjadi saham/modal negara pada BUMN atau Perseroan

Terbatas tersebut.” Kemudian ayat (4) disebutkan, “Kekayaan negara yang

bertransformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kekayaan BUMN atau

Perseroan Terbatas tersebut.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, Presiden adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara

sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam melaksanakan mandat Undang-

Undang ini, fungsi pemegang kekuasaan umum atas pengelolaan keuangan negara

tersebut dijalankan dalam bentuk:

1) selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan

Negara yang dipisahkan dikuasakan kepada Menteri Keuangan;

2) selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga

negara dikuasakan kepada masing-masing menteri/pimpinan lembaga;

3) penyerahan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan

daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah

dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

4) kekuasaan di bidang fiskal tidak termasuk kewenangan di bidang moneter.

Untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, penetapan dan pelaksanaan kebijakan

moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran


22

dilakukan oleh Bank Sentral, yakni Bank Indonesia yang tunduk pada

peraturan perundangan di bidang moneter.

Adapun kekuasaan yang dimaksud selanjutnya sebagai berikut:

a) Dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil

Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;

b) Dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna

Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

c) Diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan

daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah

dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada

hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) yang berwenang dan bertanggung

jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional. Para menteri dan

pimpinan lembaga negara pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO)

yang berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai

bidang tugas dan fungsi masing-masing.

Pembagian kewenangan yang jelas, dalam pengelolaan keuangan negara

antara Menteri Keuangan dan menteri teknis tersebut diharapkan dapat memberikan

jaminan terlaksananya mekanisme saling uji (check and balance) dan jaminan atas

kejelasan akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan

Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran. Selain itu, pembagian kewenangan ini

memberikan fleksibilitas bagi menteri teknis, sebagai pengguna anggaran, untuk


23

mengatur penggunaan anggaran kementeriannya secara efisien dan efektif dalam

rangka optimalisasi kinerja kementeriannya untuk menghasilkan output yang telah

ditetapkan, karena kementerian teknis yang paling memahami operasional kebijakan

sektor-sektor yang menjadi bidangnya. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 ini juga

mengatur tentang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah yakni dilaksanakan oleh

kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan

dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna

anggaran/barang daerah.

1.4.2 Konsep Penyalahgunaan Wewenang

1.4.2.1 Pengertian Penyalahgunaan Wewenang

Secara yuridis Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administarsi

Pemerintahan (UU AP) membedakan definisi wewenang dengan kewenangan.

Pengertian wewenang berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU-AP yaitu hak yang dimiliki

oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk

mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Istilah wewenang yang lazim digunakan dalam Hukum Administrasi Negara

seringkali dipertukarkan dengan istilah kewenangan.12

Pasal 1 Angka 6 UUAP tersebut juga mengatur definisi kewenangan, yaitu

kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya

untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Walaupun secara yuridis UUAP

12
Philiphus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-2,
Gajahmada University Press, Yogyakarta,2012, h.10
24

membedakan definisi wewenang dan kewenangan, pada hakekatnya keduanya

merupakan hal yang sama karena sama-sama dilekatkan kepada jabatan yang dimiliki

oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara lainnya.

Perbedaannya antara keduanya terletak pada luas cakupannya, yang nampak

pada kata hak pada definisi wewenang dan kekuasaan pada definisi kewenangan.

Cakupan wewenang lebih sempit karena hanya dikaitkan dengan pengambilan

keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan

kewenangan cakupannya lebih luas karena berkaitan dengan tindakan dalam ranah

hukum publik. Jadi antara istilah wewenang dengan kewenangan tidak terdapat

perbedaan konseptual. Pembedaan yang dilakukan oleh sebagian ahli hukum dan

pembedaan definisi yuridis lebih kepada luasan cakupan antara wewenang dengan

kewenangan, bukan pada substansinya.

Pemberian wewenang kepada pejabat akan melahirkan hak dan kewajiban

untuk mencapai tujuan dan maksud yang telah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan. Penyimpangan terhadap maksud dan tujuan yang telah

ditentukan dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang Penyalahgunaan

wewenang merupakan istilah yang lahir dari doktrin HAN dan lazim digunakan

dalam ranah hukum tersebut. ‘Penyalahgunaan wewenang’ dalam konsep HAN selalu

diparalelkan dengan konsep detournament de pouvoir dalam sistem hukum Prancis

atau abuse of power/misuse of power dalam istilah bahasa Inggris.13

13
Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Pertama, Laksbang Mediatama Pressindo, Yogyakarta, 2008,
h.39
25

Pengertian penyalahgunaan wewenang menurut Jean Rivero dan Waline

dalam kaitannya detournement de pouvoir dengan Freis Ermessen, penyalahgunaan

wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu :

1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan

pribadi, kelompok atau golongan.

2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut

adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari

tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau

peraturan-peraturan lainnya.

3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur

seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah

menggunakan prosedur lain agar terlaksana

Sedangkan dalam konsepsi hukum administrasi, perbuatan administrasi negara

harus dilihat dari tiga aspek sehingga dapat dikatagorikan sebagai penyalahgunaan

kewenangan, yaitu :

a) Penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak adanya

wewenang bagi pejabat yang bersangkurtan untuk melakukan perbuatan

tersebut.

b) Penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak dipenuhinya

prosedur untuk sampai kepada pengambilan keputusan melakukan suatu

perbuatan administrasi negara tertentu.


26

c) Penyalahgunaan wewenang yang timbul karena substansi dari perbuatan

administrasi negara pejabat yang bersangkutan yang melanggar peraturan

perundang-undangan.

Penyalahgunaan wewenang terjadi jika tindakan pemerintah menyimpang dari

tujuan yang telah ditentukan dalam undang-undang, yang dikenal dengan asas

Spesialitas. Setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan

wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU AP, dimana larangan tersebut

meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang,

dan larangan bertindak sewenang-wenang.

Penyelenggaraan administrasi pemerintahan menurut UUAP tersebut

dilaksanakan berdasarkan beberapa asas, salah satunya yaitu asas tidak

menyalahgunakan kewenangan yang merupakan asas yang mewajibkan setiap Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk

kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan

pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau

tidak mencampuradukkan kewenangan. UU AP merupakan payung hukum bagi

penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya meningkatkan pemerintahan yang baik

(good governance)

1.4.2.2 Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan terkait penyalahgunaan wewenang oleh aparat negara harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal menentukan


27

pidananya, sebagaimana amanat asas legalitas. Dalam hukum pidana, asas legalitas

ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada Pasal 1 ayat (1) sebagaimana

yang disebutkan oleh Moeljatno bahwa:14

“Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila belum ada aturan yang

mengatur tentang perbuatan tersebut.”

Fungsi hukum administrasi tidak bisa diabaikan dalam kaitannya dengan tindak

pidana korupsi, baik dari segi preventif maupun represif. Instrumen hukum yang

utama untuk mewujudkan pemerintah yang bersih adalah hukum administrasi,

demikian juga peran hukum administrasilah yang diharapkan untuk mencegah

korupsi, karena korupsi berkaitan dengan penggunaan wewenang.15

Dalam hal tindak pidana korupsi, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor

utama seseorang melakukan korupsi adalah adanya ruang, waktu, kesempatan dalam

konteks jabatan menyebabkan seseorang melakukan korupsi. Korupsi dalam

peraturan perundang-undangan dikatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat

merugikan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain.

Bentuk, ciri, wujud, dan cara melakukan korupsi mempunyai aspek yang luas dalam

pelaksanaannya. Oleh karena itu, jabatan sentral dalam pemerintahan merupakan

aspek mendasar terjadinya tindak pidana korupsi.16

14
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta, 2005, h.3
15
Oheo K.Haris, good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dalam pemberian izin
oleh pemerintah daerah di bidang pertambangan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 30
No 1, Januari 2015.h.59.
16
Herman, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Faculty of Law,
Halu Oleo University, Volume 2 Issue 1, March 2018.h.308.
28

Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyalahgunaan wewenang yang

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi bisa dilihat pada pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Dari rumusan Pasal 3 tersebut dapat diketahui bahwa unsur

“menyalahgunakan kewenangan” menjadi bagian inti dari delik korupsi tersebut.

Persoalannya adalah konsep penyalahgunaan wewenang dalam delik ini tidak

dijelaskan secara lebih lanjut. Bahkan jika dibandingkan dengan rumusan dalam delik

yang diatur dalam Pasal 2 undang-undang ini, maka dapat dipahami seakan-akan

“menyalahgunakan kewenangan” dalam kontek tindak pidana korupsi bukanlah suatu

perbuatan melawan hukum. Dikatakan demikian, sebab jelas dalam rumusan Pasal 2

ditentukan secara eksplisit bahwa perbuatan “melawan hukum” merupakan bagian

inti dari delik korupsi. Padahal sebagaimana Nur Basuki Minarno menyebutkan

bahwa “penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu bentuk dari perbuatan

melawan hukum.17
17
Nur Basuki Minarno, Op.,Cit. h. 2.
29

Pasal ini mengatur tentang penyalahgunaan wewenang oleh seorang yang

memiliki jabatan atau kedudukan dimana akibat perbuatannya itu merugikan

keuangan negara. Aturan mengenai penyelenggara negara yang bebas dan bersih dari

korupsi, kolusi dan nepotisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

Tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggara Negara Yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

menyatakan:

“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi


eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

1.4.3 Konsep Tindak Pidana Korupsi

1.4.3.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata “corruptio”

dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk

menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. Dalam perkembangan

selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara,

termasuk bahasa Indonesia. Lilik Mulyadi menyatakan bahwa istilah korupsi:

“berasal dari bahasa latin yaitu corruptie/corruptus selanjutnya kata corruptieo

berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin yang tua).” 18

18
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, h.78
30

Pendapat yang sama oleh Andi Hamzah, bahwa apabila dilihat dari segi

peristilahan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corriptio atau menurut Webster

Student Dictionary adalah corruption. Istilah lain menyebutkan bahwa corruptio itu

berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. 19 Pemaknaan

korupsi dari berbagai negara mengandung penyebutan makna korupsi dari berbagai

negara memang berbeda-beda namun jika diartikan maka terdapat persamaan makna.

Di Indonesia sendiri kata korupsi berasal dari bahasa belanda yaitu “corupptio”.

Korupsi adalah sebuah perbuatan yang seharusnya di jauhi karena mempunyai

dampak sangat banyak. Salah satu dampak dari korupsi adalah kemiskinan. Menurut

Mahatma Gandhi korupsi disebut sebagai pelanggaran yang terburuk, karena aset

yang ada pada negara yang telah di korupsi dapat digunakan untuk pembangunan

yang berkelanjutan guna kesejahteraan rakyat.20

Menurut Beverley Earle and Anita Cava, corruption is a global

problem (korupsi adalah masalah global) Terkait hal tersebut, Carl J. Friedrich

menyatakan corruption is deviant behavior associated with a particular

motivation, namely that of private gain at public expense (korupsi adalah

perilaku menyimpang yang terkait dengan motivasi tertentu, yaitu keuntungan

pribadi dengan biaya publik).21

19
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 1984, h. 7
20
Dian Nova Fillia, Pengembalian Aset Hasil Korupsi dalam Sistem Hukum Pidana di
Indonesia, UII, Yogyakarta, 2011, h. 75
21
Beverley Earle and Anita Cava. The Mystery of Declinations Under the Foreign Corrupt
Practices Act: A Proposal to Incentivize Compliance, Symposium: Corruption and Compliance:
Promoting Integrity in a Global Economy, 49 U.C. Davis L. Rev. 567, Thomson Reuters, 2015. h. 10.
31

Subekti berpandangan bahwa korupsi adalah suatu tindak pidana yang

memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara. Jadi, unsur dalam

perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan

menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk

kepentingannya.22 sedangkan Artidjo Alkostar, korupsi dimaknai sebagai perbuatan

melawan hukum dan norma-norma sosial. Korupsi dapat dilihat secara ontologis yakni

perbuatan yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh masyarakat, maka secara aksiologis

korupsi bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. 23

Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

hak-hak ekonomi masyarakat sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi

digolongkan sebagai kejahatan biasa. Oleh karena itu upaya pemberantasan terhadap

tindak pidana korupsi ini tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-

cara yang luar biasa.24 Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah ‘suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang

tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah

menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan

untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan

hak-hak dari pihak lain’.

22
Muzadi, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Bayumedia Publishing, Malang, 2004, h.22
23
M. Syamsudin, Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana
Prenada Media Group, 2012, h.167
24
Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, h. 26
32

Dalam pengertian lain, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak

mematuhi prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik

dilakukan oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, menyimpang dari

aturan yang berlaku. Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank adalah

An Abuse Of Public Power For Private Gains, penyalahgunaan

kewenangan/kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Beneveniste mendefinisikan korupsi dalam 4 jenis sebagaimana dikutip oleh

Prayitno Iman Santosa, sebagai berikut:25

1) Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya


kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota
organisasi.
2) illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3) Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan
4) Ideological corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionry yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas

kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan

yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang

perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai

berikut :

25
Prayitno Iman Santosa, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung,
2015.h. 105
33

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang

disuap).

3. Kelompok delik pengelapan.

4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( knevelarij, extortion ).

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.

Setidaknya ada 30 bentuk / jenis tindak pidana korupsi yang oleh Prayitno

Iman Santosa dikelompokan sebagai berikut:26

1. Kerugian uang Negara;


2. Suap menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi /hadiah.

Dalam arti yang luas, korupsi juga disebut sebagai korupsi politis, yang

diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua

bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi

berbedabeda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan

dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat

yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti

harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun

tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
26
Ibid,. h. 118
34

berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering

memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan

prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari

masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara

korupsi dan kejahatan.

Mengenai permasalahan korupsi terdapat unsur-unsur tindak pidana korupsi

menurut pasal 2 ayat (1) UU PTPK yakni merupakan setiap orang, melawan hukum,

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dapat merugikan

keuangan negara. Terkait dengan subjek hukum tindak pidana korupsi yang salah

satunya adalah individu, regulasi yang mengatur mengeni individu dalam UU No. 31

Tahun 1999 tidak hanya mengatur mengenai individu sebagai subjek hukum pidana,

tetapi juga mengatur mengenai individu yang menduduki suatu jabatan dalam

pemerintahan. Jabatan pemerintahan selaku penyelenggara kegiatan pemerintahan

dan kemasyarakatan banyak dan beragam, bahkan dalam praktik pelaksanaan tugas-

tugas pemerintahan tidak semata-mata dijalankan oleh jabatan pemerintahan yang

telah dikenal secara konvensional seperti instansi-instansi pemerintah, tetapi juga

oleh badan-badan swasta.27

1.4.3.2 Sebab dan dampak Tindak Pidana Korupsi

Menurut Ilham Gunawan ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya

korupsi di indonesia, yaitu seperti berikut;

27
Firman Wijaya, Pengadilan Korupsi Teori dan Praktik, Cetakan Pertama, Penaku, Jakarta,
2008, h. 14.
35

1) Faktor Politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan. Hal ini sesuai dengan
rumusan penyelewengan penggunaan uang negara yang dipopulerkan oleh E.
John Emerich Edward Dalberg Acton yang menyatakan bahwa “power tend
to corrupt, but absolut power corrupts absolutely” atau“kekuasaan cenderung
korupsi, dan kekuasaan yang absolut menyebabkan korupsi secara absolut.
2) Faktor yuridis atau yang berkaitan dengan hukum, seperti lemahnya sanksi
hukuman. Sanksi hukuman akan menyangkut dua aspek. Aspek yang pertama
adalah peranan hakim dalam menjatuhkan putusan, di mana hakim dapat
keliru dalam menjatuhkan putusan. Aspek kedua adalah sanksi yang lemah
berdasarkan bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat peraturan perundang-undangan
tindak pidana korupsi.
3) Faktor budaya, karena korupsi merupakan peninggalan pandangan feodal
yang kemudian menimbulkan benturan kesetiaan, yaitu antara kewajiban
terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara. Hal tersebut berkaitan
dengan kepribadian yang meliputi mental dan moral yang dimiliki
seseorang.28

Sedangkan dampak korupsi menurut David Bayle sebagaimana dikutip oleh

Rohim bahwa biaya-biaya yang terjadi sebagai akibat perilaku korupsi adalah sebagai

berikut:29

1) Tindak Korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang


ditetapkan pemerintah (misalnya, korupsi dalam pengangkatan pejabat atau
salah alokasi sumber daya menimbulkan inefnsiensi dan pemborosan).
2) Korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya mengejar
laba dengan cepat (dan berlebihan) dalam situasi yang sulit diramalkan, atau
melemahkan investasi dalam negeri, dan menyisihkan pendatang baru, dan
dengan demikian mengurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta.
3) Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi (pembayar pajak harus
ikut menyuap karena membayar beberapa kali lipat untuk pelayanan yang
sama).
4) Jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini akan
mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik.
5) Korupsi merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian yang
diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi.

28
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2014, h.11
29
Jawade Hafidz Arsyad, Op,Cit., h. 20-21
36

6) Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan, dan


akhirnya menurunkan legitimasi pemerintahan.
7) Jika elite politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup,
maka publik akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik untuk tidak
boleh korup juga.
8) Seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya
memikirkan dirinya sendiri tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama
di masa mendatang.
9) Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produktivitasnya,
karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari
atau mengalahkan sistem, daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan
memberikan alasan objektif mengenai permintaan layanan yang dibutuhkan.
10) Korupsi karena merupakan ketidakadilan yang dilembagakan, mau tidak mau
akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-
tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan
pemerasan.
11) Bentuk korupsi yang paling menonjol di beberapa negara, yaitu “uang pelicin”
atau “uang rokok” menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang,
bukan berdasarkan kebutuhan manusia.

1.4.3.3 Teori Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka

konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam

mengindentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan dua

sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan

individu pelaku tindak pidana.30

Penggunaan hukum pidana yang merupakan ultimum remidium sebagai salah

satu upaya untuk mengatasi masalah sosial dalam hal ini tindak pidana korupsi,

semestinya dapat dijadikan sebagai kaca perbandingan bagi masyarakat agar tidak

30
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung.Bandung. 2010. h.
50.
37

melakukan atau mengulangi tindak pidana. Namun pada realitanya masih banyak

kasus-kasus korupsi.31

Konsepsi tindak pidana korupsi, filsafat dan teori pemidanaan yang banyak

dipengaruhi oleh aliran retributif justice sudah sangat tidak relevan dengan tujuan

besar hukum pemberantasan korupsi di Indonesia yakni fokuspada perlindungan aset

atau kekayaan negara. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah keuangan

Negara.32

Selain itu, dalam kejahatan korupsi, pelaku seringkali bukan individu

melainkan korporasi. Dalam konteks ini, paradigma indeterminisme dan retributif

justice dalam pemidanaan pelaku kurupsi yang dilakukan oleh korporasi jelas tidak

relevan. Pada kenyataannya sejumlah kendala muncul dalam usaha melindungi

keuangan negara yang dikorupsi oleh korporasi. Pemidanaan terhadap korporasi

Pelaku korupsi baik dari aspek substansi, struktur maupun kultur hukum sudah tidak

relevan lagi dengan menggunakan pendekatan konsep retributif justice.33

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum yang bersifat

Normatif, yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
31
Ibid.,
32
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya. Kencana, Jakarta, 2015, h. 252
33
Budi Suharianto, Restorative Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi demi
Optimalisasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Jakarta, Kemenkumham, Volume 5, Nomor
3, Desember 2016, h. 423
38

dihadapi yang menghasilkan argumentasi, teori dan konsep baru sebagai preskripsi

dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.34

1.5.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan, sebagai berikut:

1.5.2.1 Pendekatan Undang-Undang (Statute approach). Ketentuan peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum tersebut yaitu

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksaan keuangan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administarsi Pemerintahan

1.5.2.2 Pendekatan Konseptual (Conceptual approach) merupakan pendekatan

melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang untuk

memperoleh penjelasan dan membuat argumentasi yang memadai dalam

menjawab permasalahan yang diteliti

34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Group, Jakarta, 2005, h.35
39

1.5.2.3 Pendekatan Kasus (case approach) dilakukan dengan telaah pada kasus-kasus

yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah

merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan yang memiliki

kekuatan hukum yang tetap. Hal pokok yang dikaji dalam setiap putusan

tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan

sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum

yang dihadapi.

1.5.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian dalam

penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang bersifat autorotatif artinya mempunyai otoritas

yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.

Adapun bahan Hukum penelitian yang digunakan antara lain :

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


40

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi.

5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

Yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara.

7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

8) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

9) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan

Keuangan.

10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administarsi

Pemerintahan.

11) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

12) Peraturan Presiden Nomor 192 tahun 2014 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan dan Pembangunan.

13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016

14) Putusan Nomor: 23/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi

15) Putusan Nomor: 35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi


41

2. Bahan Hukum sekunder

Yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum yang meliputi buku-buku

teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan.

3. Bahan Non Hukum

Bahan non hukum adalah wawancara, dialog, kesaksian ahli hukum di

pengadilan, seminar, ceramah, dan kuliah.

1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk

mencari bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi.

Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan hasil

penelitian hukum ini yaitu :

1) Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statute approach) dilakukan dengan mencari peraturan

perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.35

2) Pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan pendekatan historis, yaitu

dilakukan dengan mengumpulkan perturan perundang-undangan, putusan-

putusan pengadilan, dan buku-buku hukum dari waktu ke waktu. Bahan-

bahan hukum yang dikumpulkan yaitu bahan-bahan yang mempunyai


35
Peter Mahmud Marzuki., Ibid.,h.237.
42

relevansi dengan isu yang dibahas dalam penelitian ini.36

3) Mengumpulkan bahan hukum yang menggunakan pendekatan konseptuaal

yaitu penelusuran buku-buku hukum (treatises) yang dimana buku-buku

yang mengandung konsep-konsep hukum.37

4) Melakukan penelusuran bahan hukum pustaka dengan mengumpulkan buku-

buku, laporan penelitian baik itu skripsi, tesis, maupun disertasi serta bahan

acuan lainnya yang digunakan untuk penyusunan laporan penelitian yang

dibahas.

1.5.5 Metode Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis,

yaitu dengan kegiatan mengumpulkan bahan hukum kemudian diadakan pengeditan

terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang

sifatnya preskripsi.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai keseluruan isi

penulisan hukum ini maka perlu disajikan sistematika penulisan hukum

sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, yaitu pada bagian menjelaskan latar belakang

masalah penelitian yang terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat

36
Ibid.,h.238.
37
Ibid.,h.239
43

negara khususnya dalam biaya perjalanan dinas yang dilakukan oleh pejabat

Negara. Sehingga urgensi penentuan kerugian negara dalam tindak pidana

korupsi akibat adanya perbuatan perjalanan dinas fiktif serta kewenangan

dalam menentukan unsur kerugian Negara sangat penting untuk dilakukan

pengkajian secara ilmiah. Tujuan penelitian Untuk menganalisis penentuan

kerugian negara dalam tindak pidana Korupsi, dan Untuk menganalisis

kewenangan penyidik dalam menentukan unsur kerugian negara dalam tindak

pidana korupsi perjalanan dinas fiktif yang dilakukan oleh aparat negara.

Manfaat Penelitian sacara teortik dan praktis, Tinjauan pustaka, metode

penelitian yang digunakan, sistematika penulisan dan daftar pustaka.

Bab II terkait dengan hasil dan pembahasan rumusan masalah ke-1

(pertama), yaitu tentang Penentuan Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana

Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif. Bagian ini menjelaskan tentang kebijakan

penyelenggaraa keuangan Negara dalam peraturan perundang-undangan, serta

analisis hukum penentuan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi akibat

terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Bab III terkait dengan hasil dan pembahasan rumusan masalah ke-2

(kedua), yaitu kewenangan penyidik dalam menentukan unsur kerugian

negara dalam perjalanan dinas fiktif. Bagian ini menjelaskan tentang analisis

hukum kewenangan penyidik dalam menentukan unsur kerugian negara akibat

penyalahgunaan perjalanan dinas fiktif yang dilakukan oleh aparat Negara

sebagai suatu tindak pidana korupsi


44

Bab IV terkait dengan Kesimpulan dan Saran sebagai penutup.

Bagian menyimpulkan hasil penelitian dan menghasilkan saran yang dapat

digunakan sebagai rekomendasi pada penelitian selanjutnya.


BAB II
PENENTUAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1 Kebijakan Penyelenggaraan Keuangan Negara Dalam Peraturan

Perundang-Undangan

Pengeloaan keuangan negara secara tertib, cermat, efektif dan efisien

memerlukan disain legal framework yang secara jelas dapat dijadikan acuan dalam

kebijakan pengelolaan keuangan negara. Pembaruan terhadap legal basis pengelolaan

keuangan negara, telah menghasilkan beberapa regulasi pokok yaitu Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertangggungjawaban Keuangan Negara.

Keuangan negara, jika dilihat dari sisi teori, bisa mengandung beberapa

pengertian, tetapi pengertian yang diuraikan dalam bahan ajar ini dibatasi pada

pengertian-pengertian seperti diatur dalam peraturan perundangan di bidang

keuangan negara. Sesuai dengan yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan Keuangan Negara

adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara

berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara tersebut, diuraikan secara lengkap bahwa:

45
46

1) Objek dari keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang

fiskal dan moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan serta

segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

2) Subjek keuangan negara adalah seluruh objek keuangan negara yang dimiliki

dan/atau dikuasai oleh pemerintah dan badan hukum publik lainnya.

3) Menurut prosesnya, keuangan negara merupakan seluruh rangkaian kegiatan

pengelolaan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang

dimulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan

pertanggungjawaban.

4) Tujuan seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan

dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek keuangan negara tersebut

dimaksudkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Melalui pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan

kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang

dipisahkan. Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat

dikelompokkan dalam: subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan

moneter, dan subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. 38 Jika ditinjau

dari sisi proses, keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
38
Bambang Kusumanto, Pengelolaan Keuangan Negara, Intermedia, Jakarta, 2002, h.15
47

berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari

perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan

pertanggungjawaban. Dengan demikian, jika semula uang negara yang dijadikan

penyertaan modal dalam BUMN maupun subsidi kepada BUMN bersumber dari

APBN, maka dari sisi proses pengguna uang negara tersebut tidak lepas dari

kewajiban mepertanggungjawabkan sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Sedangkan dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan,

kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan

obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat

dikelompokkan ke dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan

moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang merupakan

landasan fundamental dalam penyelenggaraan negara, lebih- lebih dalam hal

pengelolaan keuangan negara, yang berimplikasi pula kepada penyelenggaraan

pemerintahan di daerah. Di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, digariskan kaidah-kaidah

yang harus dipatuhi di dalam penyelenggaraan negara, terutama terkait pengelolaan

keuangan negara, antara lain :

1) Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;


48

2) Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak

dan kewajiban Penyelenggara Negara;

3) Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Agar tujuan pengelolaan seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum

yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek keuangan negara dapat

memberikan daya dukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang optimal, untuk

mendukung terwujudnya clean government, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara telah menjabarkan aturan pokok yang terdapat dalam pasal

23C Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam asas-asas umum, baik asas-asas yang

telah lama di kenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas

universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai

pencerminan best practise (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan

keuangan negara, antara lain :

1) Akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, yaitu asas yang menentukan bahwa

setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan negara

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara, karena pada dasarnya setiap sen uang

negara adalah uang rakyat, dan akuntabilitas ini harus sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


49

2) Profesionalitas, yang berarti mengutamakan keahlian dan kompetensi yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan.

3) Proporsionalitas, yakni asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak

dan kewajiban Penyelenggara Negara.

4) Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

pengelolaan keuangan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas

hak-hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

5) Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, yang

dalam praktiknya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI).

Paradigma tata kelola pemerintahan telah bergeser dari government ke arah

governance yang menekankan pada kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan

antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani. 39 Sehingga pengelolaan

keuangan negara didasarkan atas prinsip-prinsip yang sejalan dengan prinsip-prinsip

good governance. Prinsip-prinsip tersebut dituangkan melalui penerapan asas-asas

klasik maupun asas-asas baru dalam pengelolaan keuangan negara. Asas-asas klasik

tersebut meliputi asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas.

Asas-asas baru yang diterapkan sebagai cerminan dari best practices (penerapan

kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara meliputi asas-asas:

akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan

39
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Reflika Aditama,
Bandung, 2008, h. 130
50

dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan

pemeriksa yang bebas dan mandiri. Fungsi dari diterapkannya asas-asas tersebut

adalah untuk mendukung terwujudnya good governance, menjamin terselenggaranya

prinsip-prinsip pemerintahan daerah dan memperkokoh landasan pelaksanaan

desentralisasi serta otonomi daerah, serta menjadi acuan dalam reformasi manajemen

keuangan Negara.40

Selain itu, di dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara ditegaskan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib,

taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan .Demikian

pula dalam asas umum pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara bahwa setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang

berakibat pegeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai

pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

Dikaitkan dengan pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan di BUMN

terlihat bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 terlihat telah menegaskan bahwa

uang negara yang dipisahkan pada BUMN secara yuridis normatif termasuk dalam

keuangan negara sebagaimana diatur pada pasal 2 huruf g yang menyatakan bahwa

kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa

uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat negara/

perusahaan daerah. Pasal 1butir 1 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 mendefinisikan


40
Ibid.,h.18
51

kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal

negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Sumber

kekayaan negara yang berasal dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi

sifat kekayaan negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan

karakteristiknya sebagai uang negara, meskipun dikelola oleh BUMN persero.

Meskipun Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 mendenifisi

bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal

negara pada persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya, jika dikaitkan

dengan pasal 71 ayat (2) pada Bab VII tentang Pemeriksaan Eksternal UU No.

19/2003 yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Badan Pemeriksaan BUMN

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, timbul keyakinan kuat

bahwa semangat pembentuk Undang-Undang No. 19 tahun 2003 sejalan dengan

Undang-Undang No.17 Tahun 2003 untuk mengamankan uang negara yang

dipisahkan agar dapat dipertanggungjawabkan pengelolaannya kepada rakyat.

Asas-asas umum tersebut harus menjadi acuan dalam setiap pengelolaan

keuangan negara, untuk menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan

daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang dasar 1945.

Dengan dianutnya asas-asas umum di dalam produk-produk legislasi tersebut,

sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan hal di atas,
52

upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi korupsi di lingkungan pejabat

pemerintahan daerah adalah dengan meningkatkan integritas nasional.

Memperkenalkan sistem integritas nasional di semua lapisan masyarakat sangat

penting bagi proses reformasi dan hendaknya dilakukan secara berkesinambungan.

Pendekatan ini penting artinya agar tujuan pembangunan dapat dicapai. Menurut

Jeremy Pope, tujuan yang hendak dicapai adalah melalui pendekatan, dengan

memperhatikan antara lain :

1) Pelayanan publik yang efisien dan efektif, dan menyumbang pada


pembangunan berkelanjutan;
2) Pemerintahan yang berjalan berdasarkan hukum, yang melindungi warga
masyarakat dari kekuasaan sewenang-wenang (termasuk dari pelangaran hak
asasi manusia); dan
3) Strategi pembangunan yang menghasilkan manfaat bagi negara secara
keseluruhan, termasuk rakyatnya yang paling miskin dan tidak berdaya, bukan
hanya bagi para elit.41

Pengelolaan keuangan negara sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance

menjadi bingkai penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dalam negara kesejahteraan

(welfare state). Namun, pembaruan visi dan sistem pengelolaan keuangan negara

hanya akan berhasil apabila ditempatkan sebagai bagian integral dari reformasi sistem

dan kultur birokrasi pemerintahan secara menyeluruh. Pengelolaan keuangan negara

yang semula hanya dipandang bersifat komplementer terhadap kebijakan birokrasi

publik, sekarang dibangun sebagai suatu sistem birokrasi spesifik yang perlu secara

jelas diatur dalam regulasi khusus.42 Logika yang mendasari kebijakan birokrasi

41
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi,Elemen Sistem Integritas Nasional , Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2003, h. 61
42
Ibid
53

tersebut adalah bahwa persoalan keuangan dan perbendaharaan negara tidak boleh

lagi dilihat hanya sebagai pendukung kebijakan publik, melainkan harus diletakkan

sebagai penentu kebijakan publik. Kekacauan dalam pengelolan keuangan negara

sebagai dampak biasnya regulasi, memiliki implikasi yang serius terhadap

kesejahteraan rakyat dan memiliki multiplier effect terhadap stabilitas makro

ekonomi.

Penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan negara

tidak bisa dilepaskan dari masalah akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan

keuangan negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara yang memenuhi good

governance memerlukan pengawasan memadai baik yang dilakukan secara internal

maupun yang dilakukan secara eksternal. Tujuan pengawasan adalah menilai

pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan apakah telah dilaksanakan

secara hemat, efisien, dan efektif. Adanya temuan BPK serta BPKP pada data

penelitian ini menggambarkan bahwa telah terjadi mekanisme pengawasan eksternal

pada lembaga ini. Saat ini realisasi di lapangan monitoring yang dilakukan tidak

berkala dan tidak memiliki tindak lanjut. Monitoring lebih sering dilakukan dalam

keadaan mendesak ketika terdapat aduan atau indikasi penyimpangan. Masalah lain

dalam pengawasan adalah para pengelola keuangan terkadang tidak melakukan

proses check and balancing satu sama lain.43

Temuan pemeriksaan pada umumnya terjadi hampir pada semua

kementrian/lembaga. Pengelola negara sebagaimana dalam UndangUndang Nomor


43
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafka, Jakarta, 2010, h. 2
54

15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara disebutkan bahwa pengelola wajib menindaklanjuti segala rekomendasi yang

diberikan oleh pemeriksa. Meskipun begitu pengawasan, monitoring, review serta

evaluasi seharusnya dilakukan secara sistemik dan berkala. Pemeriksaan dengan

sistem akan meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan. Walaupun apabila dilihat lebih

jauh, keterbatasan dalam pengawsan ini dikarenakan kendala sumber daya yang

terbatas, sehingga tidak pemeriksaan yang berkala sulit dilakukan.44

Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian dalam konteks upaya

untuk menciptakan pemerintahan yang baik itu adalah penanggulangan masalah

korupsi, termasuk korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, suatu pemerintahan

yang baik menurut asasnya (general principle) adalah pemerintahan yang menjunjung

tinggi norma kesusilaan, norma kepatutan, dan norma hukum untuk mewujudkan

penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Korupsi merusak cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (Good

Governance). Hal ini ditandai dengan melemahnya tanggung jawab pejabat publik

dalam menjalankan sikap, prilaku dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi maupun

peran kewenangan yang diberikan kepadanya. Contoh konkrit prilaku menyimpang

pejabat publik adalah korupsi. Prilaku menyimpang tersebut dikarenakan kurangnya

sistem kontrol terhadap akuntabilitas kinerja pejabat publik sehingga dengan mudah

pejabat publik menyalahgunakan kewenangannya.

44
Ibid.,
55

Menurut penulis, Pengelolaan keuangan Negara pada Kementerian/Lembaga

di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip good governance, terlihat dari

beberapa permasalahan yang terjadi pada pengelolaan keuangan negara baik itu

dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pegawasan, maupun pertanggungjawaban yang

masih ditemukan ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip good governance.

Penerapan prinsipprinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaan APBN

untuk mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan. Konsep penerapan prinsip-prinsip

good governance pada pengelolaan keuangan negara Kementerian/Lembaga di masa

depan menjadikan sistem keuangan negara dari administrasi keuangan (financial

administration) menjadi pengelolaan keuangan (financial management), artinya

diperlukan pembaharuan pada setiap fungsi manajemen, baik pada tataran

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan

pertanggungjawaban, serta pemeriksaan. Pembaharuan sistem ini dimulai dari

pembangunan hukum pengelolaan keuangan negara yang baik pada akhirnya akan

mampu menciptakan kondisi pengelolaan keuangan yang kondusif serta sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang pada akhirnya dapat

mewujudkan tujuan nasional negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Sebaiknya disusun suatu peraturan mengenai pelaksanaan dan penerapan

prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan negara. Good

governance sebaiknya tidak hanya dijadikan sebagai nilai, tetapi juga menjadi sebuah

aturan yang harus ditaati agar tujuan pemerintah untuk membangun bangsa melalui

pengelolaan keuangan negara yang baik dapat terlaksana.


56

2.2 Kewenangan Penentuan Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana

Korupsi

Dalam hal penentuan/penetapan kerugian Negara dapat terjadi dua kondisi,

yakni:

1. Penentuan/penetapan nilai kerugian Negara melalui proses tuntutan

perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi.

2. Penentuan/penetapan nilai kerugian Negara melalui proses peradilan hingga

mempunyai kekuatan hukum tetap.45

Kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2004 adalah “kekurangan uang, barang, dan surat berharga yang nyata dan pasti

akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian. Ketentuan tersebut

memformulasikan adanya unsur kekurangan yang nyata dan pasti sebagai akibat dan

perbuatan melawan hukum atau kelalaian sebagai sebab. Dengan demikian, kerugian

negara tidak hanya disebabkan suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada karena

kelalaian yang bersifat administrasi. Ketentuan ini tidak pernah menyatakan

keharusan setiap kekurangan merupakan perbuatan melawan hukum pidana, ada

kemungkinan kelalaian administrasi yang dapat diselesaikan melalui penyelesaian

administrasi menurut Pasal 59 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 dan pengenaan

sanksi administrasi menurut Pasal 80-81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang administrasi pemerintahan.

45
Ikhwan Fahrjih, Menggugat Peran DPR dan BPK dalam Reformasi Keuangan Negara, In-
trans Publishing, Malang, 2008, h.30
57

Keuangan negara yang dirumuskan secara luar/komprehensif tersebut

dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa

berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengolahan keuangan

negara. Jika dikaitkan dengan upaya pemberasatan korupsi, penjelasan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga terlihat menganut

sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap pemaknaan keungan negara dengan

menyatakan bahwa keuangan negara yang dimadsuk adalah seluruh kekayaan negara

dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk

didalamnya segala bagian kekayaan negara segala hak negara kewajiban yang timbul

karena:

1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat

lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

2) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban perusahaan

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan

hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan

yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Hal itu di maksudkan untuk memperjelas rumusan keuangan negara yang

terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 setiap orang yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau

oraang lain atau suatu korprasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara
58

paling singkat 4(empat) tahun yang paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda

paling sedikit Rp 200,000,000,00 (dua ratus juta rupiah) yang dengan denda Rp

1,000,000,000,00 (satu milyar rupiah). Sedangkan definisi perekonomian negara

dalam pasal 2 ayat (1) di jabarkan dalam penjelasan bahwa yang dimadsuk dalam

perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha

bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau pun usaha masyarakat secara mandiri

yang berdasarkan pada kebijakan pemeritah, baik di tingkat pusat maupun di daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, kesejahteraan kepada seluruh

kehidupan rakyat.

Tuanakotta membagi konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan

negara menjadi enam konsep atau metode, yaitu :46

1) Kerugian Total (Total Loss) Metode ini menghitung kerugian keuangan

negara dengan cara seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai

kerugian keuangan negara.

2) Kerugian Total dengan Penyesuaian Metode kerugian total dengan

penyesuaian seperti dalam metode Kerugian Total, hanya saja dengan

penyesuaian ke atas.

3) Kerugian Bersih (Net Loss) Dalam metode kerugian bersih, metode nya sama

dengan metode kerugian total. Hanya saja dengan penyesuaian ke bawah.

46
Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi.
Salemba Empat, Jakarta, 2009, h.144
59

4) Harga wajar Pada metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, harga

wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi.

5) Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) Dalam metode biaya kesempatan,

apabila ada kesempatan atau peluang untuk memperoleh yang terbaik, akan

tetapi justru peluang ini yang dikorbankan, maka pengorbanan ini merupakan

kerugian, dalam arti opportunity cost.

6) Bunga (Interest) Bunga merupakan unsur kerugian negara yang penting,

terutama pada transaksi-transaksi keuangan yang seperti dalam penempatan

aset. Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep nilai waktu

dari uang. Bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian keuangan

negara. Dalam sengketa perdata, kerugian bunga dihitung berdasarkan jangka

waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.

Hal itu kiranya sejalan dengan amanat TAP MPR Nomor X/MPR/2001 yang

merekomendasikan kepada Lembaga Tinggi Negara, termasuk Badan Pemeriksa

Keuangan, antara sebagai berikut:

a. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa

eksternal keuangan negara dan peranannya perlu dimantapkan sebagai

lembaga yang independen.

b. Badan Pemeriksa Keuangan perlu meningkatkan intensitas dan efektivitas

pemeriksaannya terhadap lembaga-lembaga tinggi negara institusi


60

pemerintahan, BUMN, BUMD dan lembaga lain yang menggunakan uang

negara.47

Terdapat beberapa instansi atau lembaga yang berwenang melakukan

perhitungan kerugian negara dalam rangka penegakan hukum pidana Indonesia,

khususnya dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Untuk

lebih jelasnya, hal tersebut penulis uraikan sebagai berikut:

1) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Dasar hukum BPK sebagai lembaga negara yang berwenang menilai

dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara adalah sebagaimana diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, diatur ketentuan bahwa BPK

menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh

perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh

bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,

dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan

negara.

2) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Dasar hukum BPKP sebagai lembaga negara yang berwenang

melakukan penghitungan kerugian keuangan negara adalah sebagaimana

47
Bachrul Amiq, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta,
2010, h.21
61

diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Berdasarkan Pasal 27 Peraturan

Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan, diatur ketentuan bahwa Deputi Bidang Investigasi

melaksanakan tugas membantu Kepala di bidang pelaksanaan pengawasan

kelancaran pembangunan termasuk program lintas sektoral, pencegahan

korupsi, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap

kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara,

audit penghitungan kerugian keuangan negara dan pemberian keterangan ahli.

Institusi yang seringkali dilibatkan oleh penegak hukum dalam menghitung

kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di luar kedua institusi tersebut misalkan

penghitungan kerugian negara juga dapat dilakukan oleh akuntan publik. Bahkan

dalam beberapa perkara pihak Kejaksaandan Pengadilan pernah melakukan sendiri

penghitungan kerugian keuangan Negara.48

Mencermati dari segi kewenangan, maka sumber kewenangan yang dimiliki

oleh BPK termasuk dalam wewenang atribusi, yakni wewenang yang bersumber atau

amanah dari peraturan perundang-undangan (UUD 1945) kepada lembaga atau organ

negara yang kemudian kewenangan tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-

undang. Selain itu wewenang yang dimiliki oleh BPKP termasuk dalam wewenang

48
Abdul Fatah, Nyoman Serikat Putra Jaya, dan Henny Juliani, Kajian Yuridis Penerapan
Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro
Law Journal Volume 6, Nomor 1,2017, h. 7.
62

delegatif, yakni wewenang yang bersumber dari pelimpahan wewenang pemerintahan

dari suatu lembaga atau organ negara (Presiden) kepada lembaga atau organ negara

lain di bawahnya (BPKP), karena landasan pembentukan BPKP adalah berdasarkan

Keputusan Presiden, yang kelanjutannya diatur dalam Peraturan Presiden.

Kewenangan merupakan kuasa atau hak yang dimiliki oleh suatu badan, lembaga,

atau pejabat dalam menjalankan dan melaksanakan penyelenggaraan kenegaraan dan

pemerintahan sesuai dengan aturan perundang-undangan.49

Pendekatan penentuan kerugian keuangan negara harus dilakukan melalui

kegiatan “pemeriksaan”, karena didalam pemeriksaan mengandung perwujudan

independensi, objektifitas dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan dalam

melakukan suatu proses kegiatan. Hal tersebut sesuai rumusan dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004, yang menyatakan : “Pemeriksaan adalah

proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen,

obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran,

kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara”

Pelaksanaan perhitungan kerugian keuangan negara perlu dilakukan dengan

pendekatan pemeriksaan investigatif, yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang

dilakukan dengan tujuan khusus diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan

kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa, yang bersifat

49
Muhammad Imron Rosyadi, Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan dalam Menilai Kerugian Keuangan Negara, Jurnal Mimbar Keadilan,
Januari-Juni, 2016, h. 45
63

reaktif dan merupakan pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya,

pemeriksaan yang lebih khusus dan mendalam, menuju pada pengungkapan

penyimpangan.50

Selanjutnya, terhadap perkara yang terindikasi tindak pidana korupsi

dilaksanakan perhitungan kerugian keuangan negara mengacu pada petunjuk teknis

pemeriksaan investigatif BPK dibagi dalam 3 (tiga) tahapan yakni:

1) persiapan (penyusunan program pemeriksaan, pembuatan surat tugas),

2) pelaksanaan (memahami kasus yang dibangun, mengevaluasi dan

menganalisis bukti-bukti) dan

3) pelaporan.51

Secara praktis dan teoritis, metodologi pemeriksaan investigatif yang

digunakan untuk mengungkapkan dugaan adanya unsur tindak pidana korupsi yang

merugikan keuangan negara, paling kurang terdiri dari 11 (sebelas) langkah sebagai

berikut: 1) pengumpulan Bukti 2) pengujian Bukti, 3) observasi, 4) pengujian fisik, 5)

wawancara, 6) konfirmasi, 7) analisis data, 8) menyusun hipotesa, 9) menguji

hipotesa, 10) menyempurnakan hipotesa, 11) penyusunan laporan.

Setelah melakukan pemeriksaan investigatif, lembaga auditor akan

mengeluarkan laporan perhitungan kerugian keuangan negara. LHP (laporan hasil

pemeriksaan) dikeluarkan oleh BPK, LHPKKN (Laporan Hasil Penghitungan

Kerugian Keuangan Negara) dikeluarkan oleh BPKP. Terdapat 2 unsur yang


50
Keputusan BPK.RI Nomor 17/K/I-XII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan
Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah, h.
139-141.
51
Ibid.,
64

berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu surat dakwaan jaksa yang memuat

aspek kerugian keuangan negara dan pertimbangan hakim yang berhubungan dengan

aspek kerugian negara. Klausul surat dakwaan selain memuat unsur perbuatan

melawan hukum juga memuat kesimpulan kerugian keuangan Negara hasil

perhitungan instansi berwenang, yang dijadikan sebagai alat bukti.

Selanjutnya hakim dalam proses pembuktian di pengadilan dalam klausul

putusan pemidanaan dalam konteks perkara tindak pidana korupsi di pengadilan,

dalam surat keputusannya memuat pertimbangan hakim terhadap unsur-unsur

perbuatan pidana yang terbukti dalam persidangan, termasuk kerugian Negara dari

bukti surat di pengadilan (hasil pemeriksaan investigatif oleh instansi yang

berwenang) maupun keterangan ahli didepan persidangan terkait kesimpulan

kerugian negara terhadap perkara yang disidangkan.

Pemeriksaan adanya Kerugian Negara yang nyata dan pasti haruslah

didasarkan Pemeriksaan Investigatif melaui asas Asersi (et audi alteram partem),

yaitu pemeriksaan harus (diberi kesempatan) dilakukan terhadap semua pihak/orang

yang terkait dengan objek pemeriksaan, yang akan memberikan Simpulan adanya (a)

perbuatan melawan hukum (pidana) atau (b) mal-administrasi. Apabila pemeriksaan

Investigatif ini tidak menterapkan asas Asersi, maka pemeriksaan dianggap premateur

dan melanggar Pasal 25 ayat 2 Undang-Undang No.15 Tahun 2006 dengan ancaman

pidana minimum 1 tahun dan maksimum 5 tahun.

Penghitungan kerugian keuangan negara kerap menjadi polemik dalam

sidang perkara korupsi. Permasalahan yang kerap muncul lembaga mana yang
65

sebenarnya paling berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara.

Menjawab polemik ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA

(SEMA) Nomor 4 Tahun 2016. SEMA tersebut mengatur tentang Pemberlakuan

Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan

Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu poinnya, rumusan kamar pidana (khusus) yang

menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional

berwenang mendeclare kerugian keuangan Negara.

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahu 2006 tentang Pemeriksaan,

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara menegaskan bahwa

pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawab keuangan negara yang dilakukan

oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara yang meliputi seluruh unsur

keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini artinya uang negara dipisahkan dan

dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup kewenangan pemeriksaan BPK dan

merupakan bagian dari keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor

15 Tahu 2006 tentang BPK juga menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau

menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan

hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengalola

BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan

keuangan negara.

Rumusan Hukum Kamar Pidana, khususnya rumusan hukum dalam rangka

penegakan hukum korupsi adalah sebagai berikut:


66

1) Ketentuan batas waktu 60 hari pengembalian kerugian Negara atas

rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan/Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan/Inspektorat sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang

Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara tidak berlaku bagi Terdakwa yang bukan Pejabat

(Swasta) yang mengembalikan kerugian Negara dalam tenggang waktu

tersebut, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi Penyelenggara Pemerintahan.

Tetapi tidak bersifat mengikat manakala pengembalian kerugian negara oleh

Penyelenggara Pemerintahan dilakukan setelah batas waktu 60 hari. Adalah

menjadi kewenangan Penyidik melakukan proses hukum apabila ditemukan

indikasi Tindak Pidana Korupsi.

2) Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara

adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional

sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang

melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak

berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan Negara.

Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai

adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.

3) Manakala Terdakwa tidak pernah hadir di sidang Pengadilan dengan alasan

sakit permanen, yang diperkuat dengan surat keterangan Dokter, maka sikap

Majelis Hakim yang mengadili dapat memerintahkan dilakukan pemeriksaan


67

kesehatan ulang (second opinion) oleh Tim dokter Rumah Sakit Umum Pusat

atau Daerah.

4) Dalam hal terjadi tindak pidana/korupsi yang ada kaitannya dengan perkara

yang sedang diperiksa secara perdata, maka putusan Perdata tidak mengikat

sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956.52

Berdasarkan hal tersebut di atas, diketahui bahwa Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) adalah satu-satunya instansi yang memiliki kewenangan

konstitusional menyatakan atau men-declare ada tidaknya kerugian keuangan Negara.

Sedangkan berdasarkan praktik selama ini, terdapat instansi lain yang juga memiliki

kewenangan untuk menyatakan atau mendeclare ada tidaknya kerugian keuangan

Negara, salah satunya adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP). Dengan demikian, potensi permasalahan adalah apabila instansi yang

berwenang menyatakan atau men-declare ada tidaknya kerugian keuangan Negara,

mengeluarkan keputusan bahwa tidak terjadi kerugian negara meskipun berdasarkan

pemeriksaan instansi lainnya diduga terdapat unsur kerugian negara. Selain itu,

permasalahan lainnya adalah apabila pembuktian terhadap kerugian negara tidak

terlalu sulit, maka hal tersebut sudah seharusnya tidak menjadi kewenangan BPK.

Permasalahan yang muncul adalah penuntut umum sering meminta

penghitungan kerugian negara kepada BPKP karena lebih cepat dan keberadaan BPK

yang tidak sampai ke pelosok-pelosok daerah kabupaten/kota. Namun demikian,

52
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi
Pengadilan, 2016,h. 4-5
68

untuk menentukan kerugian negara, sangat diminta ke BPK karena lebih tepat.

Rumusan SEMA No. 4 Tahun 2016 tidak selamanya mengikat hakim. Siapapun yang

memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak harus diikuti hakim.

Demikian pula dengan ahli. Jika ada ahli yang berpendapat tidak ada kerugian negara,

hakim juga tidak berkewajiban untuk mengikuti. Sebab hakim bisa berpendapat

sendiri, meski pada prinsipnya rumusan hasil pleno kamar yang tertuang dalam

SEMA mengikat para hakim. “SEMA ini tidak selamanya mengikat para hakim, tidak

harus sama persis (seperti yang ada dalam rumusan SEMA), dilihat dulu kasus per

kasus (kasuistis).

Tidak jarang penghitungan BPK berbeda dengan penghitungan BPKP dalam

lingkup kerugian negara. Selama ini hasil audit BPK dan hasil BPKP berbeda-beda.

Bahkan, pihak terdakwa dengan kesaksian (keterangan ahli) meringankan

mengajukan auditor independen. Oleh karena itu, terbitnya SEMA bertujuan untuk

kesamaan dan percepatan pengurusan perkara korupsi. Berdasarkan hal tersebut di

atas, diketahui bahwa muncul persoalan terkait penghitungan kerugian negara setelah

diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016

sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Persoalan tersebut muncul

karena pada kenyataannya, lembaga selain BPK juga memiliki kewenangan untuk

melakukan penghitungan kerugian negara..

Penetapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016
69

sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, tentunya dapat berpengaruh

terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya pada tahap penyidikan

dan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa/penuntut umum. Hal ini disebabkan

sebelum penetapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tersebut di

atas, penetapan kerugian negara dapat dilakukan oleh BPK atau BPKP. Untuk lebih

jelasnya, penulis duraikan 2 (dua) contoh kasus sebagai berikut:

1) Berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Putusan Nomor:

23/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, lembaga yang menyatakan adanya kerugian

negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Perwakilan Sulawesi Tenggara.

2) Berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Putusan Nomor:

35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, Laporan Hasil Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan

(BPKP) Perwakilan Sulawesi Tenggara.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada putusan Nomor:

23/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, terhadap uraian unsur “merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yaitu memperkaya diri Terdakwa sebesar Rp. 224.930.000,- (dua ratus dua puluh

empat juta Sembilan ratus tiga puluh juta rupiah), yang merugikan keuangan negara
70

atau perekonomian Negara sebesar Rp. 224.930.000,- (dua ratus dua puluh empat juta

Sembilan ratus tiga puluh juta rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut

sebagaimana Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan

Negara Atas Penyalahgunaan Anggaran pada Kegiatan Pelatihan Sistem Keuangan

Desa (Siskeudes) Terhadap 89 (delapan puluh sembilan) Desa Se-Kabupaten Konawe

Kepulauan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Konawe

Kepulauan Tahun Anggaran 2019. Perbuatan Terdakwa sebagaimana telah diuraikan

di atas, telah menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1) Undang-UndangNomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: Pasal 3

ayat (1), Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan;

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang

memuat asas-asas penyelenggaraan Negara;

4) Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 Tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 86 ayat 2;

5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 sebagaimana diubah

terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011

tentang pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;


71

6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang perubahan

Atas Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah;

7) Pasal 4 ayat (1): ”Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat kepada

peraturan Perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan

bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan

manfaat untuk masyarakat”;ayat (2): “menyatakan secara tertib sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat

waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang

dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 132 ayat (1): “Setiap pengeluaran belanja

atas beban APBD harus disukung dengan bukti yang lengkap dan sah”; ayat

(2): “Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan

oleh pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab atas kebenaran material

yang timbuld ari penggunaan bukti dimaksud”;

8) Peraturan Bupati Konawe Kepulauan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pedoman

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Konawe

Kepulauan Tahun Anggaran 2019;

9) Pasal 140 ayat (3) :Penganggaran untuk menghadiri pendidikan dan pelatihan,

bimbingan teknis atau sejenisnya yang terkait dengan pengembangan sumber

daya manusia yang tempat penyelenggaraannya di wilayah Provinsi Sulawesi

Tenggara dengan pembebanan biaya kontribusi pada peserta, dibatasi

maksimal Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah);


72

10) Peraturan Bupati Konawe Kepulauan Nomor 1.A Tahun 2020 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten

Konawe kepulauan Tahun Anggaran 2020 Bagian Kelima Bimbingan Teknis

dan Pelatihan Pasal 140 ayat (3): “Penganggaran untuk menghadiri

pendidikan dan pelatihan, bimbingan teknis atau sejenisnya yang terkait

dengan pengembangan sumber daya manusia yang tempat

penyelenggaraannya di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara dengan

pembebanan biaya kontribusi pada peserta, dibatasi maksimal Rp3.000.000,00

(tiga juta rupiah).

Dengan tujuan menguntungkan diri terdakwa sendiri atau orang lain sebesar

Rp. 224.930.000,- (dua ratus dua puluh empat juta Sembilan ratus tiga puluh juta

rupiah) atau suatu korporasi, telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai Kepala Bidang

Pemerintahan Desa pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe

Kepulauan sebagaiman atugas dan tanggungjawabnya, yang berwenang memeriksa

dan mengadili perkaranya yang merugikan keuangan negara atau perekonomian

Negara sebesarRp. 224.930.000,- (dua ratus dua puluh empat juta Sembilan ratus tiga

puluh juta rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut sebagaimana Laporan

Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas

Penyalahgunaan Anggaran.

Perbuatan terdakwa sebagaimana tersebut diatas mengakibatkan kerugian

keuangan Negara/daerah berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka


73

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Penyalahgunaan Anggaran pada

Kegiatan Pelatihan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) Terhadap 89 (delapan puluh

sembilan) Desa Se-Kabupaten Konawe Kepulauan pada Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun Anggaran 2019 dan

2020. Adapun Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan

Negara, Majelis Hakim menggunakan sumber perhitungan dari BPKP dalam

menentukan terjadinya kerugian negara, padahal penentuan kerugian negara haruslah

melalui penetapan terlebih dahulu oleh BPK dan menjadi kewenangan BPK sesuai

ketentuan Pasal 10 ayat (2) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Sedangkan pada putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Putusan

Nomor: 35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi, perbuatan terdakwa yakni menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukannya yaitu membuat dan/atau mengesahkan dokumen-dokumen yang

berkaitan pengeloaan anggaran yang tidak sesuai dengan bukti pertanggungjawaban

yang sah/riil sehingga bertentangan dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebutkan

keuangan negara dikelolah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,

efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan

rasa keadilan dan kepatutan; Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan Pejabat yang menandatangani

dan/ atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi

dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran


74

material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud; Pasal 4

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah yang menyebutkan Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat

pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat

untuk masyarakat; Pasal 54 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyebutkan

Pelaksanaan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus didasarkan

pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; Pasal 86 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang

menyebutkan Pejabat yang menandatangani dan/ atau mengesahkan dokumen yang

berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD

bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan

surat bukti dimaksud; Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah yang menyebutkan Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat

untuk masyarakat; Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
75

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang

menyebutkan Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa

keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan

bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan; Pasal 4 ayat (3)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59

Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyebutkan Taat

pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-

undangan; Pasal 122 ayat (10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang

menyebutkan Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah,

efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Pasal

184 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyebutkan


76

Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan

dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD bertanggung

jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti

dimaksud.

Bahwa dalam mengelola belanja barang dan jasa antara lain Belanja Makan

Minum Tamu Pimpinan DPRD Kab. Kolaka dan Kegiatan Perjalanan Dinas Dalam

Daerah dan Luar Daerah serta Kegiatan Reses pada Sekretariat DPRD Kabupaten

Kolaka periode Tahun 2019 dan 2020, terdakwa menyetujui dengan membuat surat

perintah perjalanan dinas bagi para Staf maupun pegawai serta anggota maupun

pimpinanan DPRD Kabupaten Kolaka yang dalam laporan pertanggungjawabannya

Bendahara dalam hal ini saksi MARSIAH, SE tidak mempertanggungjawabkan

sesuai kenyataan yang sebenarnya tetapi dilakukan dengan cara meminta nota dan

kuitansi kosong yang sudah ditandatangani dan diberi stempel dari toko/penyedia

serta membuat Tanda Bukti Kas (TBK) dengan mengisi nominal biaya perjalanan

Daerah dan Luar Daerah maupun setiap pengelola kegiatan rapat di DPRD kemudian

di- mark up sesuai anggaran yang tersedia dalam Dokumen Pelaksanaan Perubahan

Anggaran (DPPA) bukan sesuai pengeluaran belanja yang sebenarnya;

Berdasarkan fakta hukum yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, surat

dan barang bukti yang bersesuaian dengan keterangan ahli dengan Metode

perhitungan yang dilakukan ahli sebagaimana tertuang dalam Alat Bukti Surat yaitu

Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan

Sulawesi Tenggara Nomor : LAPKKN211/PW20/5/2021 tanggal 18 Mei 2021, maka


77

Negara dalam hal ini APBD Kabupaten Kolaka mengalami kerugian keuangan daerah

dengan jumlah sebesar Rp.3.919.566.910,- (tiga milyar sembilan ratus sembilan belas

juta lima ratus enam puluh enam ribu sembilan ratus sepuluh rupiah);

Dari hal tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa ada atau tidaknya

implementasi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, hal tersebut

tidak merubah penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal itu karena meskipun

bukan BPK sebagai lembaga yang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan

negara, perkara korupsi tetap diperiksa dan diputus oleh majelis hakim di pengadilan.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dapat didudukkan sebagai sebuah

perangkat tingkah laku yang dimiliki Mahkamah Agung yang berfungsi sebagai

pedoman hukum dalam penertiban, pengaturan, pengisi kekosongan hukum, dan

penciptaan hukum dalam konteks pengembangan hukum Indonesia. Peranan SEMA

sangat penting dalam konteks pengembangan hukum di Indonesia yang dapat

digunakan oleh Mahkamah Agung sebagai wahana judge made law hakim

membentuk hukum.53

Solusi mengatasi hambatan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang

dikaitkan dengan perhitungan kerugian negara oleh instansi atau lembaga terkait, baik

sebelum maupun setelah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

2016, tidaklah mengikat seperti halnya undang-undang. Oleh karena itu, apabila

terjadi hambatan dalam pelaksanaannya maka solusi mengenai hal tersebut telah

53
H. M. Fauzan. Peranan PERMA & SEMA dalam Pengembangan Hukum Indonesia menuju
Peradilan yang Agung, Prenada Media, Jakarta, 2015. h. 42
78

diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, sudah tepat apa yang dinyatakan Peter

Mahmud Marzuki, yaitu peran pemerintah dan pengadilan sangat penting dalam

menjaga kepastian hukum.54 Menurut M. Yahya Harahap, hukum mengendalikan

keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai; persamaan, hak

asasi individu, kebenaran, kepatuhan, dan melindungi masyarakat.55

Kepastian hukum menurut penulis merupakan suatu kebutuhan yang

mendasar bagi setiap subjek hukum dalam memainkan peranannya dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, sehingga dengan adanya kepastian hukum tersebut,

subjek hukum dapat melakukan hubungan hukum dengan siapapun tanpa adanya

kekhawatiran.

Kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana

korupsi terjadi ketidakpastian hukum (rechszekerheid), Junifer Girsang dalam

bukunya Abuse of Power, menyatakan “terjadi ketidakpastian hukum dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi akibat ketidak jelasnya definisi kerugian

keuangan negara, ini berimplikasi pula pada lembaga mana yang berhak dan

berwenang menyatakan telah terjadi kerugian negara. 56 Walaupun fungsi kedua

lembaga baik BPK dan BPKP identik sama, namun terdapat perbedaan pada tujuan

keberadaan lembaga dan prosedur kerja serta metode audit, misalnya dalam

penafsiran kerugian negara, baik BPK dan BPKP berbeda memahaminya.

54
Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. h.
159
55
Alvi Syahrin. Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009, h. 3-4.
56
Junifer Girsang; “Abuse of Power”, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum
dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing Jakarta, 2012, h. 181
79

Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dikaitkan dengan perhitungan

kerugian negara oleh instansi atau lembaga terkait, baik sebelum maupun setelah

adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, Modus operandi

tindak pidana korupsi dalam perkembangannya mengalami perubahan, untuk

mengatasi hal tersebut perlu dilakukannya koordinasi dan pelatihan terhadap aparat

penegak hukum dengan melibatkan auditor BPK, BPKP dan lainnya guna

meningkatkan senirgisitas penegak hukum dalam menghitung kerugian Negara.

Menurut penulis, terdapat perbedaan pola penghitungan kerugian keuangan

negara dalam rangka implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

2016 dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Penegak hukum lebih condong

kepada BPKP sebagai lembaga yang menyatakan kerugian keuangan negara.

Sedangkan penegak hukum lebih condong kepada instansi sendiri sebagai lembaga

yang menyatakan kerugian keuangan Negara. Kecondongan instansi penegak hukum

dalam menggunakan instansi atau lembaga yang berwenang untuk menyatakan telah

terjadinya kerugian keuangan negara disebabkan oleh faktor utama, yaitu koordinasi.

Dalam hal tertentu satu instansi dinyatakan mudah untuk berkoordinasi sehingga

perkara diselesaikan dengan cepat. Sebaliknya, karena koordinasi yang sulit,

dampaknya adalah penyelesaian perkara yang berlangsung lama.

Menurut penulis, hambatan dalam pemberantasan tindak pidana, khususnya

terkait dengan implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016

adalah sebagai berikut: Pertama, menjadi celah bagi pelaku tindak pidana korupsi,

yang antara lain mengajukan eksepsi dan praperadilan atas dasar SEMA tersebut.
80

Penilain unsur kerugian negara menjadi syarat mutlak salah satu dari dua alat bukti

sebagai bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan status tersangka atas

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, legal problem

dalam konteks semangat pemberantasan korupsi, salah satunya adalah siapa yang

berwenang melakukan pengujian terhadap substansi SEMA tersebut, yaitu apakah

sudah sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi atausebaliknya. Ketiga,

sebagai salah satu dasar pelaku tindak pidana korupsi agar lolos dari jeratan hukum.

Menurut penulis, sebaiknya dibuat peraturan bersama antara lembaga

penegak hukum dalam rangka menyatukan semangat pemberantasan korupsi dalam

konteks lembaga yang berwenang menyatakan kerugian keuangan negara. Hal ini

menurut penulis pada akhirnya akan memberikan suatu kepastian hukum dalam

pelaksanaan pemberantasan korupsi. Selain itu, apa pun bentuk kebijakan secara

sektoral yang dibuat oleh lembaga penegak hukum pidana (kepolisian, kejaksaan,

pengadilan) seharusnya mengacu pada aturan yang berlaku.

Selanjutnya, seharusnya hal yang sangat prinsip sifatnya, tidak diatur di

dalam bentuk surat edaran, peraturan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, hal tersebut

diatur di dalam bentuk undangundang. Pada awalnya, dapat saja dinyatakan bahwa

surat edaran dan peraturan tersebut ditetapkan dengan dalih mengisi

kekosonganhukum atau mengisi tertinggalnya hukum dibanding perkembangan

masyarakat. Akan tetapi, apabila hal tersebut tidak diatur dengan kekuatan hukum

yang lebih tinggi derajatnya, maka kekuatan hukum kebijakan tersebut akan

mengalami permasalahan pada tahap implementasinya.


81

Menurut penulis, pemberlakuan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut

adalah setelah Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan pembuktian saat ini, maka Mahkamah Agung dapat kembali

memperbaiki atau membuat Surat Edaran Mahkamah Agung dengan menyesuaikan

perkembangan hukum saat ini. Selanjutnya perlu dibuat rule yang membatasi

perhitungan kerugian negara yang boleh dilakukan oleh BPK, BPKP atau auditor

lainnya, dimana instansi atau badan tersebut mempunyai tujuan yang mulia, yakni

pengembalian kerugian Negara.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa Penetapan kerugian negara menjadi

poin krusial karena menimbulkan banyak multitafsir. Salah satu faktor penyebabnya

adalah pemaknaan mengenai kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi

yang masih problematik hingga saat ini. Hal tersebut terjadi tidak lain karena tidak

seragamnya bahasa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Berdasarkan

ketentuan perundang-undangan BPK merupakan lembaga tunggal yang dapat

menghitung dan menetapkan kerugian negara disamping kewenangan-kewenangan

lain yang dimilikinya sesuai dengan wewenang atribusi yang diamanatkan oleh UUD

1945 dan BPKP hanya mempunyai kewenangan untuk menghitung bukan

menetapkan kerugian keuangan negara, namun untuk dapat menentukan ada tidaknya

kerugian keuangan negara dari penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP.
82
BAB III

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM MENENTUKAN UNSUR KERUGIAN

NEGARA DALAM TINDAK PIDANA PERJALANAN DINAS FIKTIF

3.1 Peranan Penyidik Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Secara konseptual, pada konsep Negara berkembang seperti Indonesia,

pemikiran bahwa korupsi ini bagian dari kekuasaan menjadi tidak diragukan, karena

korupsi merupakan bagian dari system itu sendiri, karenanya ada yang berpendapat

bahwa penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada.

Bentuk kejahatan structural inilah yang memasukan format korupsi sebagai bagian

dari kejahatan yang terorganisasi. Korupsi yang melanda hamper seluruh dunia ini

merupakan kejahatan structural yang meliputi sistem, organisasi dan struktur yang

baik, karenanya perjudian dan korupsi begitu menjadi sangat kuat dalam konteks

perilaku politikdan sosial.57

Makna sistem ini memiliki makna yang luas dan komprehensif, bahkan dapat

dikatakan sebagai suatu proses yang signifikan. “korupsi” sebagaimana dikemukakan

di atas sudah sebagai bagian kejahatan terstruktural yang sangat utuh, kuat dan

permanen sifattnya. “korupsi” sudah menjadi bagian dari “system” yang ada,

karenanya suatu usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, khususnya

pemberantasan tindak pidan korupsi, harus dilakukan dengan penekatan system itu

sendiru atau dikenal dengan istilah “System Approach”, apalagi bila pendekatan

system ini dikaitkan dengan peranan istitusi peradilan yang sangat menentukan
57
Indriyani Seno Adji. Korupsi & Hukum Pidana. Cetakan 1. Jakarta, 2001, h. 236.

83
84

sebagai salah satu institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberantasan

korupsi.58

Mekanisme arti system (hukum) mengalami suatu perubahan mendasar. Arah

idealistis Sistem Peradilan Pidana ini dapat dipahami melalui sinominitas pendapat

Lawrence M. Friedman dalam bukunya American Law: What is a legal system?

Menegnai system (hukum). System, lanjutanya, haruslah ditelaah sebagai suatu

kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi dan pembaruan (reformasi)

terhadap struktur (structure), subtansi (substance) hukum dan budaya hukum (legal

culture). Keterpaduan (integrated) dari sitem hukum tersebut itu selayaknya

dilakukan secara simultan, integral, dan pararel. 59 System Approach ini dapat sebagai

bahan untuk memecahkan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum

(legal solution), maupun pendapat hukum (legal opinion), termasuk permasalahan

korupsi, yaitu:

Pertama, dari sisi structure (struktur) yang meliputi perbaikan segala

kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan sehingga terdapat

minimalisasi terjadinya KKN. Birokrasi struktur peradilan menimbulkan

mafiaperadilan yang telah menjadi polemic peralihan milenium yang selalu tidak

terpecahkan. Fungsi pengawasan peradilan terhadap para advokat ataupun

administrasi legalitas advokat setiap dua tahun sekali akan menjadi awal perbuatan

tercela. Dibentuknya suatu komisi pemberantasan korupsi yang bersifat independen

58
Ibid.,
59
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang,
2005, h.18
85

dan komisi ini memiliki kewenangan penyelidikan, penyelidikan dan penuntutan

sebagai institusi yang memiliki sinegritas dengan institusi penegakan hukum yang

sudah ada (polisi dan kejaksaan). Pula adanya komisi ombudsman Nasional melalui

keputusan presiden No. 44 Tahun 2000 yang memberikan peran masyarakat yang

cukup signifikan dalam rangka menciptakan dan mengembangkan kondisi yang

kondusif terhadap pelaksaan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Kedua, substance yang menyangkut pembaruan terhadap berbagai perangkat

peraturan dan ketentuan normative (legal reform), pola dan khendak perilaku

masyarakat yang ada dalam sistem Hukum tersebut. Pembahasan dalam makalah

inilah yang membahas sekilas problematika dalam penerapan perundang-undangan

tentang tindak Pidana Korupsi. Persoalan hukum pada era reformasi ini, pembaruan

terhadap subsatansi hukum mengarah kepada pendekatan kemasyarakatan, bukan lagi

pada sisi legalistik formal. Juga dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang akan dibahas tersendiri, khususnya

eliminasi terhadap prinsip kepastian hukum dan proses beracara yang baik merupakan

identifikasi bahwa hukum hanyalah sebagai roda bergulirnya kekuasaan politik.

Dahulu, putusan hakim yang tidak sesuai dengan kehendak kekuasaan akan

mengakibatkan hakim tersebut menerima mutasi ke daerah yang sangat jauh dan

rentan dari pusat kekuasaan. Penyelesaian dan Pendapat Hukum adalah tidak perlu

dilakukan seperti contoh tersebut, namun perlu dicarikan suatu solusi yang bertujuan

untuk memperbaiki citra penegakan hukum, yaitu antara lain perlu adanya semacam
86

Law Efforcement Officer Act. UU semacam ini sangat diperlukan bagi penunjangan

control terhadap para aparat penegak hukum yang melakukan penegakan hukum

terhadap para aparat penegak hukum yang melakukan penegakan hukum terhadap

pemberantasan tindak pidana korupsi. Diharapkan studi komparasi yang dapat

dijadikan landasan bagi pembentukan UU yang sangat urgensif ini. Sanksi tegas dan

berat diperlukan UU Tipikor, mengingat kehendak penegakan hukum di Indonesia ini

sangat tergantung pada keberadaan pejabat penegak hukum ini, bukan saja para

hakim, tetapi pejabat pada sistem Peradilan Pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksanaan,

KPK, dan Lembaga Permasyarakatan. Dengan UU Tipikor ini diharapkan adanya

antisipasi perilaku korupsi diketahui sedini mungkin. Kekayaan yang diperoleh dari

hasil perbuatan korupsi, umumnya berupa penempatan uang pada sarana perbankan

akan diketahui sedini mungkin, karena undang-undang ini nantinya

memperkenannkan adanya suatu investigasi terhadap asal-usul yang tersebut secara

komperehensif.

Sangat sulit untuk menetukan arah awal dimulainya antisipasi pemberantasan

tindak pidana korupsi di Indonesia ini. Kejahatan yang sudah terukur melalui

kejahatan yang terstrukturisasi maupun kejahatan yang telah tersistematisasi sangat

sulit untuk menentukan makna “pemberantasan” atau “eliminasi” terhadap

perbuatannya itu, mungkin yang terjangkau sebagai tindak antisipasi yang preventif

hanyalah sekadar minimalisasi terjadinya perbuatan korupstif tersebut. Manakala

korupsi dalam konteks pemberantasan dan eliminasi, saat itulah dapat dikatakan

korupsi sebagai suatu perbuatan yang beyond the law karena sangat sulitlah kadar
87

pembuktiannya. Kesulitan pembuaktian ini disebabkan oleh multifaktor, antara lain,

kekuasaan, kuatnya para economic power sebagai kekuasaan ekonomi (konglomerat)

dan bureaucratic power sebagai kekuasaan umum (pejabat birokrat) yang dapat

dikatakan telah memposisikan meraka dalam status beyond the law, sehingga hukum

sering dikatakan sebagai suatu retorika kekuatan politik saja. Oleh karena itu, premis

dan logika hukum masyarakat yang menyatakan bahwa membicarakan

pemberantasan korupsi sama halnya membicarakan berbagai kompleksitas penyakit

yang tidak ada penyembuhan medikalnya, dapatlah dibenarkan.

Tindak pidana korupsi termasuk golongan kejahatan luar biasa (extraordinary

crime). Hal tersebut sudah ditegas dalam Konvensional International Persatuan

Bangsa-Bangsa (PBB) di Venna. Pada pertemuan tersebut melahirkan beberapa

gagasan untuk menerbitkan deretan-deretan UndangUndang Korupsi, bahkan

membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberikan kewenangan yang luas

untuk menindak perkara korupsi.60

Adanya beberapa kepentingan tarik menarik antara Jaksa dan Kepolisian

untuk tugas penyidikan dalam tindak pidana korupsi. Pihak Kepolisian menggunakan

dasar hukum Undang-undang No. 2 Tahun 2002. Silih bergantinya peraturan

perundang-undangan yang diciptakan belum juga menghasilkan keberhasilan dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan adanya beberapa institusi

penegak hukum di Indonesia menimbulkan kekaburan kewenangan atau menjadi

tumpang tindih kewenangan yang diberikan kepadanya oleh negara, sehingga


60
Mas, Marwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, h.17
88

menimbulkan persepsi yang keliru. Adanya kerancuan dan tumpang tindih

kewenangan tersebut menimbulkan kesan yang cenderung apriori dan seolah-olah

menjadi rebutan untuk menangani penyidikan tindak pidana korupsi sebagai lahan

basah, apalagi tindak pidana korupsi menjadi pusat perhatian masyarakat luas dan

menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum pidana pada khususnya.

Dengan dibentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

secara khusus menyidik perkara korupsi tetapi tidak berarti penyidik kepolisian tidak

berhak mengusut kasus korupsi, karena kepolisian juga memiliki wewenang untuk

melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaiman dinyatakan dalam

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, rumusannya, sebagai berikut :

1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan komisi pemberantsan

korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah

dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib

memberitahukan kepada KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja

terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus

dengan KPK.
89

3) Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan

penyidikan.

4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau

kejaksaan dan KPK, penydikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan

tersebut segera dihentikan.

Bila mencermati Pasal 50 diatas, Kepolisian juga berwenang untuk melakukan

penyidikan tindak pidana korupsi, karena hal tersebut juga bagian dari tugas pokok

kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Kepolisian

diberikan peranan oleh KUHAP dalam penyidikan dan penyelidikan sehingga secara

umum diberi kewenangan untuk melakukkan penyidikan dan penyelidikan terhadap

semua jenis tindak pidana, hal tersebut diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, termasuk untuk melakukan

penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 14

ayat 1 huruf g tersebut.

Kewenangan Penyidik Polri sebagai penegak hukum dalam tindak pidana

yaitu melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak

pidana, melakukan penahanan kepada tersangka apabila sudah cukup bukti untuk

kepentingan penyidikan, melakukan pemeriksaan terhadap tersangka untuk

mendapatkan suatu keterangan terhadap tindak pidana yang diiakukan seseorang.

Berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdapat beberapa lembaga penegak hukum

yang diberikan kewenangan penyidikan, yakni kewenangan penyidikan yang


90

diberikan kepada Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(UU Kepolisian).61 Adapun pengaturan peran kepolisian dalam penyidikan tindak

pidana korupsi ditemukan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang

KUHAP, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 serta Undang-

undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana

dari kesemua pengaturan tersebut menjelaskan bahwa penyidik termasuk dalam kasus

tindak pidana korupsi adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pada Pasal 23 ayat (5) telah ada

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dan pada masa Orde Baru, Presiden saat itu

membentuk lembaga pengawas yang bertindak sebagai pemeriksa, yakni Badan

Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Adanya tumpang tindih/duplikasi

atau konflik norma antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan penegak hukum

lainnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah mengatur fungsi, tugas, dan wewenang

penegak hukum dalam penanggulangan kejahatan termasuk pemberantasan tindak

pidana korupsi, masih ditambah lagi dengan dibentuknya lembaga baru yakni Komisi

Pemberantasan Korupsi yang mempunyai wewenang independen dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi, melebihi wewenang Polisi dan Jaksa Penuntut

61
Assa, M,I, Kewenangan Penyidik Dalam Menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi
Menurut KUHAP, Rajawali, Jakarta, 2017, h.21
91

Umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang menjadi tugas polisi dan

jaksa penuntut umum sesuai KUHAP. Dalam kenyataan semakin banyaknya lembaga

yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut

dapat diselesaikan secara optimal, namun menimbulkan efek psikologis di kalangan

penegak hukum.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, penyidik Pegawai Negeri Sipil yang merupakan pembantu

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sesuai Pasal 3 ayat (1) b Undang-Undang No.

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia harus melaporkan

dalam melakukan tugasnya kepada Polri, akan tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi

justru melakukan koordinasi, pengawasan, dan supervisi terhadap penegak hukum

termasuk kepada Polri, Kejaksaan, Pengadilan dalam upaya penegakan hukum.

Termasuk kepada Polri, Kejaksaan, Pengadilan dalam upaya penegakan

hukum. Tugas pokok dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur

dalam BAB II Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 14 ayat (1) menjelaskan tugas dari

Kepolisian Negara Republik sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pasal 13

tersebut.Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki wewenang dan dalam

melaksanakan tugas- tugasnya diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan uraian tugas dan kewenangan kepolisian dapat menjadi dalam tugas

preventif dan tugas represif. Fungsi preventif untuk pencegahan dan perlindungan
92

terhadap hal-hal yang mengancam dan mengganggu ketertiban umum. Sedangkan

fungsi represif berarti polisi wajib menyidik perkara-perkara pidana, menangkap, dan

menyerahkan pelakunya untuk penyidikan dan untuk penghukuman. Sebelum

dibentuknya KPK, Polri diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dan

penyelidikan terhadap semua tindak pidana, yang diatur ataupun di luar KUHP, yang

termasuk terhadap tindak pidana korupsi. Terlebih lagi kepolisian juga dikategorikan

sebagai penyidik seluruh tindak pidana yang diatur dalam Pasal 14 huruf g Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ruang

lingkup penyidikan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yakni

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan. Hal tersebut diatur dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa Kewenangan penyidik Kepolisian dalam

melakukan penyidikan tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tugas pokok

kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Ketentuan

KUHAP memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara RI dalam

penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk

tindak pidana korupsi. Namun demikian tetap memperhatikan dan tidak mengurangi

kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya seperti Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang


93

Kepolisian Negara RI bahwa penyidik Kepolisian Negara memiliki tugas dan

wewenang untuk melakukan semua jenis tindak pidana termasuk melakukan

penyidikan tindak pidana. Prosedur penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh penyidik Kepoliisian pada tahap permulaan penyidik mengumpulkan alat bukti

sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1 KUHAP setelah alat bukti tersebut

terkumpul kemudian dimasukan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan setelah

penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian sudah dianggap cukup maka

penyidik Kepolisian menyerahkan Berita Acara Pemeriksaan tersebut kepada

Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari

dan menelitinya dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik

apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan

ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada

penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan

dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah

menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Dan hasil

penyidikan tersebut tidak dikembalikan lagi oleh Penuntut Umum kepada penyidik

maka penyidikan sudah dianggap cukup. Maka pada tahap pertama Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum maka tahap

yang kedua, penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut

Umum.
94

3.2 Kewenangan Penyidik Dalam Menentukan Unsur Kerugian Negara Dalam

Perjalanan Dinas Fiktif

Tindak pidana korupsi yang berimplikasi terjadinya kerugian keuangan negara

dapat di rinci ke dalam tiga klasifikasi tindak pidana yaitu:62

1. Tindak pidana secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.

2. Tindak pidana dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

3. Tindak pidana menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau saranan yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.

Terjadinya penyalahgunaan wewenang perlu diukur dengan membuktikan

secara faktual bahwa seorang pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan

lain atau tidak. Harus dapat dibuktikan juga bahwa terjadinya penyalahgunaan

wewenang dilakukan secara sadar dengan mengalihkan tujuan yang telah diberikan

kepada wewenang itu (bukan karena kealpaan). Pengalihan tujuan tersebut didasarkan

atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang

lain.63

62
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 192
63
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,
Jakarta, 2014, h.35
95

Kriteria penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi tetap

mengacu pada konsep penyalahgunaan wewenang dalam Undang-undang Nomor 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disamping itu, konsep

penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi mengacu pada rumusan

pasal 3 UUTPK No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Penyalahgunaan wewenang dinyatakan terjadi ketika “badan dan/atau pejabat

pemerintahan dalam membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan melampaui

wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang.”

Melampaui wewenang ketika keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan dengan;

melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas

wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.”

Larangan penyalahgunaan wewenang Undang-Undang 30 Tahun 2014 Pasal

17 ayat (1) Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan

wewenang, ayat (2) larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi;

a) Larangan melampaui wewenang;

b) Larangan mencampuradukan wewenang dan/ atau

c) Larangan bertindak sewenang-wenang.

Perjalanan dinas memiliki kompleksitas yang berbeda pada tiap instansi.

Tidak sekedar bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, kemudian dibayar tiket
96

biaya-biaya transportasinya dan seterusnya. Untuk itu Menteri Keuangan menerbitkan

Peraturan Menteri Nomor; 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam

Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Dan sebagai

tindak lanjutnya Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Peraturan Dirjen

Nomor; Per22/PB/2013. Pelaksana SPPD dalam negeri wajib menyampaikan

dokumen pertanggungjawaban berupa:

a) SPT dan SPPD yang sah dari atasan pelaksana SPPD yang telah

ditandatangani oleh pejabat di tempat pelaksanaan perjalanan dinas atau pihak

terkait yang menjadi tempat tujuan perjalanan dinas;

b) Tiket pesawat, boarding pass, airport tax, bus, taxi, retribusi, dan/atau bukti

pembayaran kapal laut dan kereta api;

c) Daftar Pengeluaran Riil;

d) Bukti pembayaran yang sah untuk sewa kendaraan dalam kota berupa kuitansi

atau bukti pembayaran lainnya yang dikeluarkan oleh badan usaha yang

bergerak di bidang jasa penyewaan kendaraan;

e) Bukti pembayaran hotel atau tempat menginap lainnya; dan

f) Laporan hasil perjalanan dinas.

Penggunaan Surat Perintah Perjalanan Dinas yang dapat dikategorikan Tindak

Pidana Korupsi, yakni:

1) Pergi Tetapi Tidak Di Tempat Tujuan Dalam

Bahwa melaksanakan Perjalanan Dinas terkadang terjadi perubahan tempat

yang dituju, hal tersebut disebabkan karena lokasi yang menjadi tempat
97

kegiatan mendadak digunakan atau dipakai oleh pejabat yang bersangkutan

untuk pertemuan dengan pegawai/atau pejabat dari instansi lain karena ada

sesuatu dan lain hal yang bersifat mendesak yang tidak terjadwal sebelumnya.

Akibat perubahan jadwal yang secara tiba-tiba sangat merugikan pejabat yang

sudah menerima SPT dan telah membeli tiket pesawat, hal ini sering terjadi

sehingga tiket pesawat dan boarding pass yang telah dibeli dan tidak bisa

dibatalkan secara mendadak, dan yang lebih salah lagi terhadap SPT yang

terlanjur diterbitkan tidak sempat di lakukan revisi sesuai dengan Jadwal

perjalanan Dinas yang senyatanya dilakukan.

2) Pergi Akan Tetapi Tidak Sesuai Dengan Surat Perintah Tugas (SPT).

Bahwa Permasalahan yang selanjutnya muncul adalah tindakan yang telah

menerima uang perjalanan dinas, akan tetapi tidak melakukan perjalanan

dinas sesuai jadwal yang tertera pada SPT/ SPPD dapat dikatakan sebagai

tindak pidana korupsi. Sebagai pihak yang menerima tugas melakukan

perjalanan dinas berwenang untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya

sesuai mandat yang tertera pada SPT/ SPPD dan setelah melaksanakan tugas

melaporkan hasil perjalanan dinasnya kepada atasannya.

3) Tidak Pergi Tetapi Uang Perjalanan Dinas Diambil/ Dicairkan.

Bahwa sudah menjadi rahasia umum ada oknum pejabat ingin mendapatkan

uang lebih dengan memanipulasi perjalanan dinas dengan cara seolah-olah

dirinya berangkat melaksanakan perjalanan dinas padahal senyatanya tidak,

termasuk menggunakan nama orang lain demi mendapatkan biaya perjalanan


98

dinas yang lebih besar. Agar terlihat bahwa terdakwa melaksanakan

perjalanan dinas, mereka membuat laporan pertanggungjawaban perjalanan

dinas dengan meminta tanda tangan pegawai yang bukan berwenang

menandatangani SPPD dan yang lebih aneh terkadang materi kegiatan

ditempat tujuan dengan cara mengambil di internet dan menyesuaikan

kegiatan sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perintah Perjalanan Dinas.

Pada perkara tindak pidana korupsi sebelum ditetapkan sebagai perkara yang

merugikan negara, maka harus melalui perhitungan. Perhitungan kerugian keuangan

Negara bukan hanya pendekatan pencatatan, tambah kurang menggunakan kalkulator,

atau alat perhitungan lainnya, karena diidalamnya terdapat terminologi bahwa

kerugian ada terdapat unsur perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan

kerugian Negara.64 Hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK No.

25/PUUXIV/2016 yang berimplikasi yuridis terhadap penegakan hukum tindak

pidana korupsi yang terindikasi telah terjadi kerugian keuangan negara. Unsur

kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti oleh lembaga yang

berwenang. Unsur ini penting untuk menentukan dapat atau tidaknya pelaku tindak

pidana korupsi di pidana. Artinya bahwa aparat penegak hukum harus membuktikan

adanya kerugian keuangan negara sebelum dilakukan penyidikan perkara tindak

pidana korupsi.

Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pengertian


64
Ibid.,h. 37
99

yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi

rumusan delik dapat merugikan keuangan negara, tetapi meliputi juga perbuatan-

perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang merugikan masyarakat atau orang

perseorangan.

Mengenai unsur “kerugian keuangan negara” aparat penegak hukum bekerja

sama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik

menghitung kerugian negara. Apabila hasil audit BPK atau BPKP ini sudah mengarah

pada adanya perbuatan “melawan hukum” maka hal tersebut semestinya bukan lagi

kewenangan BPK atau BPKP untuk melakukan penyidikan terhadap hasil audit

tersebuut. Karena kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam

zona accounting, sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan

melawan hukum atau tidak, karna itu merupakan kewenangan penyidik dan penuntut

umum dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”. Konstruksi pasal 2 ayat (1) UU

nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU nomor 1 Tahun 2004 harus dilihat

secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian

kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan.

Unsur penting dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara

adalah ‘kewenangan mengakses dan mendapatkan data’ untuk meminta dokumen

keuangan negara yang diatur oleh undang-undang dalam proses pemeriksaan

keuangan negara. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 15

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan


100

Negara yang menjelaskan dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat

melakukan hal-hal berikut ini:

1. Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang

berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara;

2. Pemeriksa dapat mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset,

lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari

entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu

dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan;

3. Melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen

pengelolaan keuangan negara;

4. Dapat meminta keterangan kepada seseorang yang dirasa perlu untuk

kepentingan pemeriksaan;

5. memotret, merekam, dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu

pemeriksaan.

Terkait penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana

korupsi, auditor BPKP lebih banyak melakukan perhitungan kerugian keuangan

negara, yaitu dalam menilai audit yang telah dilakukan oleh penyidik. Auditor BPKP

dalam hal ini hanya menilai apakah perhitungan keuangan negara yang telah

dilakukan oleh penyidik telah relevan, kompeten, dan cukup dalam menentukan

besarnya kerugian keuangan negara. Sedangkan audit investigasi merupakan audit

yang dilakukan Pemerintah Non Departemen, BPKP adalah institusi pemerintah yang
101

diberi tanggung jawab luas di tingkat pemerintah pusat untuk merumuskan dan

menyusun rencana dan program-program pengendalian.

Metode atau cara yang dilakukan oleh auditor BPKP dalam menentukan

besaran kerugian keuangan negara dilakukan tergantung dari kasus yang terjadi

dengan cara membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayar dengan nilai

pekerjaan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik oleh ahli fisik, kemudian dengan cara

membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayarkan dengan harga perbandingan

(standar Pemda, harga pasar, harga index dan lain-lain), dan dengan cara

membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayar dengan pengeluaran yang

seharusnya. Berdasarkan metode yang demikian dapat terlihat bahwa penghitungan

kerugian keuangan negara dimaksudkan semanata-mata untuk membantu penyidik

dalam menghitung kerugian keuangan negara terhadap suatu tindak pidana korupsi.

Menghitung kerugian keuangan negara dapat menggunakan berbagai macam

metode. Dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, dapat juga

digunakan dua metode atau lebih sekaligus, tergantung pada kompleksitas pekerjaan

dan jenis kontraknya. Berdasarkan metode yang demikian dapat terlihat bahwa

penghitungan kerugian keuangan negara dimaksudkan semanata-mata untuk

membantu penyidik dalam menghitung kerugian keuangan negara terhadap suatu

tindak pidana korupsi.

Namun demikian adakalanya dalam praktek peradilan korupsi sering

ditemukan adanya kesulitan dalam hal pembuktian seperti halnya telah terbukti unsur

“kerugian keuangan negara” namun, unsur memperkaya diri atau orang lain atau
102

suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1), atau unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau

suatu korporasi” tidak terbukti. Hal tersebut yang sering dijadikan suatu alasan dalam

penghentian perkara korupsi pada tingkat penyidikan.

Penanganan kasus korupsi, terbagi dalam beberapa penanganan, salah satunya

menggunakan ukuran nilai kerugian negara. Penyidikan kasus korupsi dimiliki oleh

tiga lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Khusus bagi

KPK dibatasi pada kasus korupsi yang minimal kerugian negara sejumlah Rp. 1

milyar.65. Sedangkan ketentuan kerugian negara yang dapat ditangani penyidik

Kepolisian yaitu dibawah Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sesuai dengan

ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembrantasan

Korupsi. Adapun pelaksanaan fungsi kejaksaan dalam perhitungan kerugian Negara

pada tindak pidana korupsi yaitu: hasil penyelidikan dan hasil penyidikan, bahwa

dalam praktik penentuan kerugian Negara tidak di haruskan dilakukan oleh auditor

tetapi dapat dilakukan sendiri oleh jaksa sendiri asalkan kerugian tersebut sudah jelas,

nyata dan tidak berbelit-belit dengan pembuktiannya mudah.

Berdasarkan hasil penyidikan kepolisian dan kejaksaan yang semakin

meningkat setiap tahunnya yakni pada tahun 2016 kepolisian melakukan penyidikan

202 kasus, pada tahun 2017 sebanyak 371 kasus dan pada tahun 2018 sebanyak 535

kasus sedangkan kejaksaan berhasil melakukan penyidikan tindak pidana korupsi

65
J.E. Sahetapy. Pemantauan dan Pengkajian Legislasi serta Permasalahan Aktual di Bidang
Hukum (Suatu Rekomendasi), Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, 2011, h. 76.
103

pada tahun 2016 sebanyak 628 kasus, 2017 sebanyak 633 kasus dan pada tahun 2018

sebanyak 681 kasus yang berhasil disidik.66

Penulis berpendapat bahwa dalam melakukan penyidikan baik itu kepolisian

atau Kejaksaan, harus saling bekerjasama dalam upaya percepatan pemberantasan

korupsi khususnya dengan BPK/BPKP. Dalam hal ini melakukan sinergi dan

mekanisme koordinasi dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara terhadap

tindak pidana korupsi.

Penentuan kerugian Negara harus berdasarkan identifikasi secara akurat dan

tepat di dalam hasil penyelidikan. Jika memuat bukti permulaan yang cukup, barulah

sebuah perkara dapat ditentukan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan

identifikasi yang akurat dan tepat sebagai bukti permulaan yang cukup, maka hasil

penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan. Penyidik dapat

meminta bantuan untuk meminta audit/menghitung kerugian keuangan negara, baik

itu BPK atau BPKP, akuntan publik atau ahli lain.

Putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Putusan Nomor: 35/Pid.Sus-

TPK/2021/PN.Kdi, perbuatan terdakwa yakni menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yaitu

membuat dan/atau mengesahkan dokumen-dokumen yang berkaitan pengeloaan

anggaran yang tidak sesuai dengan bukti pertanggungjawaban yang sah/riil sehingga

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan Perjalanan

66
https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/109-statistik, Diunduh Pada Tanggal 25
Maret 2022.
104

Dinas Dalam Daerah dan Luar Daerah serta Kegiatan Reses pada Sekretariat DPRD

Kabupaten Kolaka periode Tahun 2019 dan 2020, terdakwa menyetujui dengan

membuat surat perintah perjalanan dinas bagi para Staf maupun pegawai serta

anggota maupun pimpinanan DPRD Kabupaten Kolaka yang dalam laporan

pertanggungjawabannya Bendahara dalam hal ini saksi MARSIAH, SE tidak

mempertanggungjawabkan sesuai kenyataan yang sebenarnya.tugas

Peran penyidik dalam perkara 35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi adalah

melakukan pemeriksaaan dalam hal menyusun formil/berkas perkaranya setelah

menerima Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan

Sulawesi Tenggaran. Pemeriksaan penyidik terhadap saksi yakni Tanda Bukti Kas

perjalanan dinas, diantara Tanda Bukti Kas yang diperlihatkan kepada saksi saat itu

ada Tanda Bukti Kas yang saksi tidak jalankan perjalanan dinasnya.

Dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi perjalanan dinas ini, untuk

menentukan unsur ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara, maka penyidik

melakukan koordinasi dengan BPK ataupun BPKP, setelah penyidik mengantongi

atau memperoleh Hasil Audit dari BPK, maka penyidik harus dapat mengungkapkan

kasus secara tuntas dengan tahapan selanjutnya adalah SPDP dikirim penyidik, yang

kemudian harus ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkaranya ke kejaksaan

untuk dilakukan telaah atas kelengkapan formil dan materil terhadap perkara. Jadi

kapasitas penyidik adalah hanya menyusun formil perkaranya. Hal ini sejalan dengan

penjelasan Pasal 32 UU Tipikor disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara


105

nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat

dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan

publik yang ditunjuk.

Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dinyatakan bahwa apabila

dalam pemeriksaan BPK ditemukan kerugian negara dan/atau unsur pidana, BPK

segera melaporkan kepada instansi yang bewenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, dalam hal ini instansi yang berwenang adalah Kejaksaan,

Kepolisian, dan KPK. Artinya bahwa penyidik dalam hal ini kepolisian melakukan

penyidikan berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang berindikasi kerugian

negara/daerah dan/atau unsur pidana oleh BPK/BPKP.

Berdasarkan nota kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dan Badan Pengawasan Keuangan Dan

Pembangunan (BPKP) No: KEP1093/K/D6/2007 Tentang Kerjasama Dalam

Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi

Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa dalam

setiap penyelidikan dan/atau penyidikan baik yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun

POLRI, BPKP menugaskan auditor profesional untuk melakukan audit investigatif

atau penghitungan kerugian keuangan negara sesuai dengan dengan permintaan. Dan

pada Pasal 6 ayat (3) disebutkan bahwa instansi penyidik menetapkan pelanggaran

hukum, sedangkan BPKP menetapkan ada/tidaknya indikasi kerugian keuangan


106

negara, sehingga dapat ditetapkan status kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi

atau bukan tindak pidana korupsi.

Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 sebagaimana perubahannya Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

dasar dilakukan penyidikan adalah: Laporan polisi/pengaduan; Surat perintah tugas;

Laporan hasil penyelidikan (LHP); Surat perintah penyidikan; dan Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Artinya bahwa dalam menangani laporan dugaan penyalahgunaan wewenang

perjalanan dinas fiktif sebagai tindak pidana korupsi yang berimplikasi kerugian

Negara, penyidik kepolisian berpedoman pada hasil pemeriksaan yang berindikasi

kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana oleh BPK/BPKP. Penyidik tindak

pidana korupsi berhak melakukan kordinasi dengan lembaga apapun yang punya

kemampuan menentukan kerugian Negara.

Dalam tinjauan berdasarkan Pasal 20 ayat (4), (5) dan (6) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah diatur bahwa:

4) Apabila pelaku dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa

menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki dalam kapasitas sebagai Kuasa

Pengguna Anggaran, maka harus ditempuh melalui mekanisme pemeriksaan

APIP. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


107

5) Apabila perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi

masuk dalam domain administrasi, karena apabila terdapat adanya dugaan

penyimpangan, maka terlebih dahulu yang melakukan pemeriksaan adalah

Aparat Pengawasan Internal Pemerintah, dalam hal ini Inspektorat Kabupaten.

6) Bahwa lembaga atau Instansi yang berwenang menghitung adanya kerugian

keuangan Negara/Daerah, yaitu BPK atau BPKP.

Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa penyidik kepolisian selaku

Aparat penegak hukum dalam melakukan menangani laporan/pengaduan tindak

pidana korupsi terkait dengan penyalahgunaan wewenang dalam bentuk tindaka

pidana perjalanan dinas fiktif hanya dapat melakukan dan menetapkan adanya

perbuatan dan atau pelanggaran hukum, sedangkan BPKP menetapkan ada/tidaknya

indikasi kerugian keuangan negara, selain itu, penyidik terlebih dahulu melakukan

berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah

non-kementerian yang membidangi pengawasan. berkonsultasi dahulu kepada pakar

hukum atau ahli.


108
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab II dan bab III, penulis menarik kesimpulan

yaitu sebagai berikut :

1. Penentuan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dalam penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata

telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat

dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau

akuntan publik yang ditunjuk. Undang-Undang Nomor 15 Tahu 2006 tentang

Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara

menegaskan bahwa pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawab keuangan

negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara serta

menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan

hukum. Hal ini diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

2016 tersebut di atas, penetapan kerugian negara dapat dilakukan oleh BPK dan

BPKP melakukan audit investigatif dan penghitungan keuangan Negara.

2. Penyidik mempunyai kewenangan untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna

menentukan unsur kerugian negara tindak pidana perjalanan dinas fiktif sebagai

109
110

suatu perbuatan atau pelanggaran hukum dan bilamana perhitungan kerugian

Negara tersebut tidak sulit maka penyidik dapat melalukan audit dan

pemeriksaan indikasi kerugian keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) akan

menilai apakah perhitungan keuangan negara yang telah dilakukan oleh penyidik

telah relevan, kompeten, dan cukup dalam menentukan besarnya kerugian

keuangan Negara. Apabila ditemukan kerugian negara dan/atau unsur pidana,

penyidik dapat melakukan penyidikan berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang

berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana oleh BPK/BPK..

4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya kerjasama dalam bentuk peraturan perundang-undangan antara

penyidik Kepolisian dengan pihak penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan

KPK, maka perlu segera dibentuk undang-undang yang mengatur secara jelas

dan rinci tentang kerjasama dan koordinasi dalam melakukan penyidikan tindak

pidana korupsi.

2. Perlu adanya perluasan terkait pihak yang dapat menghitung kerugian negara

tidak saja BPK atau BPKP atau Kantor Akuntan namun juga institusi penegak

hukum sepanjang yang melakukan penghitungan adalah orang yang mempunyai

kapasitas sebagai akuntan atau ahli dibidangnya.


DAFTAR BACAAN

Buku

Achjani Zulfa, Eva. Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung.Bandung.


2010.

Amiq, Bachrul, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah,


Yogyakarta, 2010.

Djumhana, Muhammad, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, Citra Aditya Bhakti,


Bandung, 2007.

Djaja, Ermansjah. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,


Jakarta, 2010.

Danil, Elwi. Korupsi konsep Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Grafindo


Persada, Jakarta, 2011.

Fahrjih. Ikhwan, Menggugat Peran DPR dan BPK dalam Reformasi Keuangan
Negara, In-trans Publishing, Malang, 2008.

Fauzan. H. M. Peranan PERMA & SEMA dalam Pengembangan Hukum Indonesia


menuju Peradilan yang Agung, Prenada Media, Jakarta, 2015.

Girsang, Junifer, “Abuse of Power”, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak


Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing
Jakarta, 2012.

Hamzah. Andi, Korupsi Di Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 1984.

Hadjon, Philiphus M. dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,


Cetakan Ke-2, Gajahmada University Press, Yogyakarta,2012.

Hafidz Arsyad, Jawade. Korupsi Dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika, Jakarta
Timur, 2013.

Iman Santosa, Prayitno, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi, Alumni,


Bandung, 2015.
Latif, Abdul Hukum Administrasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media
Group, Jakarta, 2014.

Muzadi, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,


Bayumedia Publishing, Malang, 2004.

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta,


2005.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, Kencana Group, Jakarta, 2005.

. Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009

Mulyadi. Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007.

Minarno. Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam


Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Pertama, Laksbang
Mediatama Pressindo, Yogyakarta, 2008.

Mas, Marwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Ghalia


Indonesia, Bogor, 2014.

M,I. Assa, Kewenangan Penyidik Dalam Menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi
Menurut KUHAP, Rajawali, Jakarta, 2017.

Nova Fillia, Dian. Pengembalian Aset Hasil Korupsi dalam Sistem Hukum Pidana di
Indonesia, UII, Yogyakarta, 2011.

Rusianto, Agus. Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis


Melalui Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya.
Kencana, Jakarta, 2015.

Ridwan, Persinggungan Antar Bidang Hukum dalam Penyelesaian Perkara Korupsi


di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 2016.

Seno Adji. Indriyani Korupsi & Hukum Pidana. Cetakan 1. Jakarta, 2001.

Soeria Atmadja, Arifin P. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Praktik dan
Kritik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Reflika
Aditama, Bandung, 2008.

Syahrin. Alvi. Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009Syahrin. Beberapa


Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009.

Sutedi, Adrian, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafka, Jakarta, 2010.

Sahetapy. J.E. Pemantauan dan Pengkajian Legislasi serta Permasalahan Aktual di


Bidang Hukum (Suatu Rekomendasi), Komisi Hukum Nasional RI,
Jakarta, 2011.

Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Syamsudin, M. Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,


Kencana Prenada Media Group, 2012.

Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara, ,Setara Press, Malang, 2015.

Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi.


Salemba Empat, Jakarta, 2009.

Tjandra, W. Riawan ,Hukum Keuangan Negara, Gramedia Widiasarana Indonesia,


Jakarta, 2014.

Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,


Semarang, 2005.

Wijaya, Firman, Pengadilan Korupsi Teori dan Praktik, Cetakan Pertama, Penaku,
Jakarta, 2008.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-


undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas
dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan


Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan keuangan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administarsi Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Peraturan Presiden Nomor 192 tahun 2014 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Modal Negara pada
BUMN dan Perseroan Terbatas.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.

putusan Nomor: 23/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi

Putusan Nomor: 35/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kdi

Jurnal

Abdul Fatah, Nyoman Serikat Putra Jaya, dan Henny Juliani, Kajian Yuridis
Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Law Journal Volume
6, Nomor 1,2017.
Beverley Earle and Anita Cava. The Mystery of Declinations Under the Foreign
Corrupt Practices Act: A Proposal to Incentivize Compliance,
Symposium: Corruption and Compliance: Promoting Integrity in a
Global Economy, 49 U.C. Davis L. Rev. 567, Thomson Reuters,
2015.
Budi Suharianto, Restorative Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi
demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara,
Jakarta, Kemenkumham, Volume 5, Nomor 3, Desember 2016.
Herman, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Faculty
of Law, Halu Oleo University, Volume 2 Issue 1, March 2018.
Muhammad Imron Rosyadi, Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam Menilai
Kerugian Keuangan Negara, Jurnal Mimbar Keadilan, Januari-Juni,
2016.
Oheo K.Haris, good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dalam
pemberian izin oleh pemerintah daerah di bidang pertambangan,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 30 No 1, Januari
2015.

Anda mungkin juga menyukai