Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

STRATEGI HOLISTIK PENANGGULANGAN KORUPSI: PEMAHAMAN


MENDALAM MELALUI TEORI INSTITUSIONAL, PSIKOLOGIS, DAN SOSIAL

Nama :
NPP :
Nomor Absen :
Kelas :

FAKULTAS .........................................................
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas
segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada saya diberi kesempatan kekuatan dan
Kesehatan untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “STRATEGI HOLISTIK
PENANGGULANGAN KORUPSI: PEMAHAMAN MENDALAM MELALUI TEORI
INSTITUSIONAL, PSIKOLOGIS, DAN SOSIAL”. Dalam penulisan makalah ini penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak untuk
dapat dijadikan pedoman lanjutan tugas berikutnya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Hadi Prabowo, M.M selaku Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
2. Dr. ............................. selaku Dekan Fakultas .......................... Pemerintahan Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
3. Dr. ....................... selaku Kaprodi. ............................ Fakultas .......................... Institut
Pemerintahan Dalam Negeri.
4. ........................ selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah .......................................................
5. Kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan makalah ini.

Akhirnya saya dapat menyelesai makalah ini, berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi semua pihak.

Jatinangor, Februari 2024


Penulis,

..........................,

2
Daftar Isi
Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................6

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Memahami Teori Penanggulangan Korupsi 7


2.2 Teori Kebutuhan Maslow....................................................................................8
2.3 Teori Vroom......................................................................................................10
2.4 Teori Klitgaard..................................................................................................12
2.5 Teori Means Ends Scheme Robert Merton.......................................................13
2.6 Teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim.........................................................14
2.7 Teori Jack Bologne tentang Akar Terjadinya Korupsi......................................16

BAB III KESIMPULAN …17

BAB IV DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi menjadi salah satu masalah serius yang menghambat pembangunan dan keadilan
sosial di berbagai negara (Priyanto et al., 2015) . Dalam beberapa dekade terakhir, upaya
penanggulangan korupsi terus dilakukan, namun tantangan tersebut masih tetap ada. Oleh karena
itu, pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor yang menyebabkan korupsi sangat penting
untuk merancang strategi penanggulangan yang efektif.

Korupsi, dengan segala bentuk dan dampaknya, telah menjadi penyebab utama lambatnya
pertumbuhan ekonomi, ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya, dan terhambatnya upaya
mencapai keadilan social (Mulyadi, 2018) . Meskipun telah dilakukan upaya penanggulangan
korupsi selama beberapa dekade terakhir, namun fenomena ini masih bertahan dan bahkan
berkembang. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor yang menjadi akar
permasalahan korupsi menjadi suatu keharusan agar strategi penanggulangan yang efektif dapat
dirumuskan.

Dalam beberapa negara, korupsi bukan hanya menjadi masalah praktis, tetapi juga
menciptakan krisis moral dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan.
Korupsi tidak hanya merugikan secara ekonomi, melainkan juga menggerus fondasi kepercayaan
dalam sistem demokrasi. Masyarakat yang merasa bahwa institusi-institusi pemerintahan tidak
bekerja untuk kepentingan bersama tetapi malah untuk kepentingan segelintir orang, cenderung
kehilangan kepercayaan mereka pada pemerintah dan sistem politik secara keseluruhan. Oleh
karena itu, penanggulangan korupsi bukan hanya menjadi agenda politik, tetapi juga suatu
kebutuhan moral dan etis untuk membangun sistem yang adil dan transparan.

Upaya penanggulangan korupsi seringkali terhambat oleh ketidakmampuan memahami


secara komprehensif faktor-faktor yang mendorong perilaku koruptif (Zaini, 2020). Pemahaman
ini tidak hanya mencakup dimensi individu tetapi juga aspek sosial, budaya, dan struktural yang
menjadi lingkungan tempat korupsi tumbuh subur. Faktor-faktor ini melibatkan kondisi sosial
ekonomi, sistem hukum, dan budaya organisasi yang dapat memberikan pemahaman lebih dalam
tentang mengapa korupsi dapat terjadi dan bertahan.

4
Dalam beberapa konteks, korupsi dapat dianggap sebagai dampak dari ketidaksetaraan sosial
dan ekonomi yang mendasar. Kesenjangan dalam distribusi kekayaan dan peluang dapat
menciptakan tekanan sosial yang mendorong individu untuk mencari cara-cara yang tidak etis
untuk memperoleh keuntungan. Upaya penanggulangan korupsi, oleh karena itu, tidak hanya
harus berfokus pada penegakan hukum dan sanksi, tetapi juga pada reformasi sosial dan ekonomi
yang lebih luas untuk mengurangi tekanan-tekanan tersebut.

Salah satu pendekatan teoretis yang dapat digunakan untuk memahami fenomena korupsi
adalah melalui lensa teori kebutuhan Maslow. Teori ini menyajikan hierarki kebutuhan manusia
yang mencakup kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Dalam
konteks korupsi, analisis dapat dilakukan untuk melihat apakah tindakan korupsi dapat
dihubungkan dengan kebutuhan tertentu, seperti kebutuhan akan keamanan atau pengakuan.
Dengan memahami korupsi sebagai respons terhadap kebutuhan yang tidak terpenuhi, strategi
penanggulangan dapat difokuskan pada memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut secara legal
dan etis.

Teori keputusan partisipatif Vroom juga memberikan pandangan penting terhadap dinamika
pengambilan keputusan dalam konteks korupsi. Teori ini menyoroti bagaimana partisipasi dalam
pengambilan keputusan dapat mempengaruhi tingkat keterlibatan individu dalam tindakan
koruptif. Apakah keputusan koruptif diambil secara kolektif atau oleh seorang pemimpin otoriter
dapat memberikan wawasan tentang dinamika sosial yang memfasilitasi atau menghambat
terjadinya korupsi.

Teori Robert Merton mengenai skema means-ends juga dapat memberikan pemahaman
mendalam tentang proses rasionalisasi di balik tindakan koruptif. Teori ini mengajukan bahwa
individu menciptakan justifikasi rasional untuk tindakan-tindakan mereka, bahkan jika itu
melibatkan pelanggaran norma dan nilai masyarakat. Dengan memahami bagaimana individu
merasionalisasi tindakan koruptif, upaya penanggulangan dapat lebih tepat sasaran dalam
mengatasi akar permasalahan.

Tidak hanya itu, teori solidaritas sosial Emile Durkheim memberikan perspektif tentang
dampak korupsi terhadap kohesi sosial dalam masyarakat. Apakah korupsi merusak solidaritas
sosial ataukah terdapat mekanisme adaptasi yang memungkinkan kelangsungan sosial, dapat

5
memberikan petunjuk mengenai dampak jangka panjang dari tindakan koruptif terhadap struktur
sosial.

Terakhir, teori Jack Bologne yang membahas akar terjadinya korupsi dalam konteks budaya
dan struktur sosial dapat memberikan pemahaman tentang norma dan nilai yang memungkinkan
atau bahkan mendorong terjadinya korupsi. Analisis budaya dan struktural ini dapat membuka
jalan menuju strategi penanggulangan yang lebih holistik dan berkelanjutan.

Dengan demikian, pemahaman mendalam terhadap berbagai teori ini menjadi kunci untuk
merancang strategi penanggulangan korupsi yang efektif dan berkelanjutan. Upaya
penanggulangan korupsi tidak dapat terpisah dari pemahaman yang komprehensif terhadap
faktor-faktor yang mendorongnya, baik dari segi individu maupun aspek sosial dan struktural.
Keseluruhan pemahaman ini menjadi dasar untuk merumuskan langkah-langkah konkret yang
dapat membawa perubahan positif dalam upaya penanggulangan korupsi, menuju masyarakat
yang lebih adil dan berintegritas (Parapat, 2020).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja teori-teori yang dapat memberikan pemahaman tentang penyebab korupsi?

2. Bagaimana teori-teori tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang


strategi penanggulangan korupsi?

3. Apa dampak dari korupsi terhadap pembangunan dan solidaritas sosial dalam
masyarakat?

1.3 Tujuan

4. Menyelidiki berbagai teori penanggulangan korupsi.

5. Menganalisis hubungan antara teori-teori tersebut dengan realitas korupsi.

6. Merumuskan kesimpulan dan rekomendasi untuk meningkatkan upaya penanggulangan


korupsi.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Memahami Teori Penanggulangan Korupsi

Upaya penanggulangan korupsi memerlukan pemahaman mendalam terhadap berbagai


teori. Teori-teori ini mencakup pendekatan institusional, pendekatan psikologis, dan
pendekatan sosial. Memahami teori-teori penanggulangan korupsi menjadi landasan krusial
dalam upaya melawan fenomena yang merugikan ini. Sebagai masalah global yang
merajalela di berbagai tingkat pemerintahan, korupsi tidak dapat diatasi secara efektif tanpa
pemahaman mendalam tentang berbagai teori yang merinci faktor-faktor yang mendorong
dan mempertahankan perilaku koruptif. (Mulyadi, 2011) Dalam konteks ini, pendekatan
terhadap penanggulangan korupsi tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga melibatkan aspek
psikologis dan sosial yang kompleks.

Pendekatan institusional menjadi salah satu teori yang paling umum digunakan dalam
merancang strategi penanggulangan korupsi. Pendekatan ini menekankan peran institusi dan
struktur pemerintahan dalam mencegah dan mengatasi korupsi. Institusi yang kuat,
transparan, dan bebas dari intervensi politik yang merugikan merupakan kunci dalam
mencegah potensi terjadinya korupsi. Pendekatan ini juga melibatkan pembentukan lembaga-
lembaga independen seperti ombudsman atau badan anti-korupsi yang memiliki kewenangan
untuk menyelidiki dan menindak tindak korupsi.

Selain itu, pendekatan psikologis juga memberikan wawasan yang berharga terkait
dengan tindakan koruptif. Teori-teori psikologis mencoba memahami motivasi dan persepsi
individu yang terlibat dalam korupsi. Salah satu teori yang relevan adalah teori keputusan
partisipatif Vroom, yang menyoroti bagaimana tingkat partisipasi dalam pengambilan
keputusan dapat mempengaruhi tingkat keterlibatan individu dalam perilaku koruptif.
Pemahaman ini memungkinkan perancang kebijakan untuk menargetkan solusi yang lebih
spesifik terhadap faktor-faktor psikologis yang mendorong korupsi.

Pendekatan sosial menjadi dimensi penting dalam memahami korupsi sebagai fenomena
yang tidak hanya berkaitan dengan individu tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan
budaya. Teori solidaritas sosial Emile Durkheim, misalnya, memberikan perspektif tentang

7
bagaimana tingkat solidaritas sosial dapat mempengaruhi tingkat korupsi dalam masyarakat.
Apakah korupsi merusak solidaritas atau malah dianggap sebagai cara adaptasi sosial
menjadi pertanyaan penting dalam merancang strategi penanggulangan yang efektif.

Dalam menggali teori-teori penanggulangan korupsi, teori klitgaard juga mencuat sebagai
pendekatan yang mengedepankan analisis formula korupsi. Klitgaard menekankan bahwa
tingkat korupsi dapat diukur melalui rumus tertentu yang melibatkan kekuasaan, peluang,
dan rasionalitas individu. Dengan memahami formula ini, pemerintah dapat merancang
kebijakan yang lebih spesifik dan efektif untuk mengurangi faktor-faktor yang
memungkinkan korupsi berkembang.

Dalam melibatkan teori-teori penanggulangan korupsi, penting untuk memahami konteks


budaya dan nilai-nilai lokal yang dapat mempengaruhi tingkat korupsi. Teori Jack Bologne
menyuguhkan pandangan bahwa akar terjadinya korupsi dapat ditemukan dalam budaya dan
struktur sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai yang mendorong tindakan koruptif perlu
dicermati dan diintervensi agar upaya penanggulangan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Dalam menganalisis fenomena korupsi, teori-teori ini bukanlah entitas yang terpisah,
melainkan saling terkait dan melengkapi. Pemahaman terhadap faktor-faktor yang
mendorong korupsi menjadi semakin holistik ketika teori-teori ini diintegrasikan dalam suatu
kerangka konseptual yang komprehensif. Keberhasilan penanggulangan korupsi tidak hanya
bergantung pada kebijakan yang efektif, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang
konteks sosial, budaya, dan psikologis yang membentuk dan mempertahankan fenomena ini.

2.2. Teori Kebutuhan Maslow

Teori Kebutuhan Maslow, yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, menyatakan bahwa
kebutuhan manusia tersusun dalam hierarki lima tingkatan (Soenarjanto & Widiyanto, 2020).
Kebutuhan tersebut adalah:

1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan dasar manusia seperti makanan, air, udara, dan
tempat tinggal.

2. Kebutuhan rasa aman: kebutuhan untuk merasa aman dan terlindungi dari bahaya.

8
3. Kebutuhan sosial: kebutuhan untuk memiliki hubungan sosial, seperti
persahabatan, cinta, dan rasa belonging.

4. Kebutuhan akan penghargaan: kebutuhan untuk dihargai dan diakui oleh orang lain.

5. Kebutuhan aktualisasi diri: kebutuhan untuk mencapai potensi diri dan menjadi
versi terbaik dari diri sendiri.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang yang memiliki kebutuhan yang
sama akan melakukan korupsi. Berdasarkan (Nasaruddin & Abdussahid, 2019) Ada banyak
faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, seperti:

1. Kesempatan: Seseorang yang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi lebih


mungkin untuk melakukannya.
2. Nilai-nilai: Seseorang yang memiliki nilai-nilai yang lemah atau tidak memiliki
moralitas yang kuat lebih mungkin untuk melakukan korupsi.
3. Hukuman: Seseorang yang mengetahui bahwa hukuman untuk korupsi tidak tegas
lebih mungkin untuk melakukannya.

Teori Kebutuhan Maslow dapat membantu kita untuk memahami mengapa orang
melakukan korupsi. Namun, teori ini tidak dapat menjelaskan semua faktor yang
menyebabkan korupsi.

Berikut beberapa contoh bagaimana Teori Kebutuhan Maslow dapat dihubungkan dengan
tindakan korupsi:

 Seorang pejabat pemerintah yang menerima suap untuk memberikan izin


usaha: Pejabat tersebut mungkin melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis keluarganya, seperti makanan dan tempat tinggal.

 Seorang pengusaha yang menyuap pejabat pemerintah untuk memenangkan


tender: Pengusaha tersebut mungkin melakukan korupsi untuk memenuhi
kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri, yaitu untuk mendapatkan
pengakuan dan mencapai kesuksesan.

9
 Seorang polisi yang menerima uang dari pelanggar lalu lintas: Polisi tersebut
mungkin melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan rasa aman, yaitu untuk
mendapatkan penghasilan tambahan untuk melindungi keluarganya.

Teori Kebutuhan Maslow dapat membantu pemerintah dan organisasi anti-korupsi untuk
merancang strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang lebih efektif.

Berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan:

 Meningkatkan gaji dan tunjangan pejabat pemerintah: Hal ini dapat membantu
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa aman pejabat pemerintah, sehingga
mereka tidak tergoda untuk melakukan korupsi.

 Memperkuat nilai-nilai moral dan etika: Hal ini dapat membantu untuk membangun
karakter dan integritas pejabat pemerintah, sehingga mereka lebih tahan terhadap
godaan korupsi.

 Menegakkan hukum secara tegas: Hal ini dapat memberikan efek jera bagi para
pelaku korupsi dan mencegah orang lain untuk melakukan korupsi.

Dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan korupsi, seperti yang dijelaskan


dalam Teori Kebutuhan Maslow, pemerintah dan organisasi anti-korupsi dapat merancang
strategi yang lebih efektif untuk menciptakan masyarakat yang bersih dan bebas dari korupsi.

2.3. Teori Vroom


Teori Vroom tentang keputusan partisipatif dapat diaplikasikan untuk memahami
bagaimana keputusan koruptif diambil (Pujihartini, 2022). Apakah terdapat partisipasi dan
pengambilan keputusan bersama, ataukah keputusan koruptif diambil secara otoriter?
Teori Vroom tentang Keputusan Partisipatif menyatakan bahwa orang lebih
cenderung untuk menerima dan melaksanakan keputusan yang mereka ambil sendiri atau
yang mereka ikuti dalam proses pengambilannya. Teori ini dapat diaplikasikan untuk
memahami bagaimana keputusan koruptif diambil.
Partisipasi dan Pengambilan Keputusan Bersama
Dalam konteks korupsi, partisipasi dan pengambilan keputusan bersama dapat mengacu
pada beberapa hal:

10
 Keterlibatan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan: Keputusan
koruptif yang melibatkan banyak orang, seperti suap massal, lebih mungkin untuk
terdeteksi dan dihukum.

 Transparansi dan akuntabilitas: Jika proses pengambilan keputusan transparan dan


akuntabel, maka lebih kecil kemungkinannya untuk terjadi korupsi.

 Mekanisme kontrol dan keseimbangan: Mekanisme kontrol dan keseimbangan


yang kuat dapat membantu untuk mencegah korupsi, bahkan jika ada partisipasi
dari banyak orang.

Pengambilan keputusan otoriter dalam konteks korupsi mengacu pada situasi di mana
satu orang atau sekelompok kecil orang membuat keputusan koruptif tanpa melibatkan orang
lain. Hal ini dapat terjadi karena:

 Kekuasaan yang terpusat: Jika kekuasaan terpusat di tangan satu orang atau
sekelompok kecil orang, maka mereka lebih mudah untuk melakukan korupsi.

 Kurangnya kontrol dan keseimbangan: Jika tidak ada mekanisme kontrol dan
keseimbangan yang kuat, maka orang yang berkuasa lebih mudah untuk
melakukan korupsi.

 Ketakutan dan intimidasi: Orang-orang yang mungkin menentang keputusan


koruptif mungkin takut untuk berbicara karena takut akan dihukum.

Teori Vroom menunjukkan bahwa orang lebih cenderung untuk menerima dan
melaksanakan keputusan yang mereka ambil sendiri atau yang mereka ikuti dalam proses
pengambilannya. Hal ini dapat diterapkan pada konteks korupsi sebagai berikut:

 Keputusan koruptif yang melibatkan banyak orang lebih mungkin untuk


terdeteksi dan dihukum. Hal ini karena orang-orang yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan lebih likely untuk merasa bertanggung jawab atas
keputusan tersebut.

11
 Transparansi dan akuntabilitas dapat membantu untuk mencegah korupsi. Hal ini
karena orang-orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan lebih
likely untuk berhati-hati jika mereka tahu bahwa tindakan mereka akan diawasi.

 Mekanisme kontrol dan keseimbangan yang kuat dapat membantu untuk


mencegah korupsi. Hal ini karena mekanisme tersebut dapat membatasi
kekuasaan orang-orang yang berkuasa dan mencegah mereka untuk melakukan
korupsi.

2.4. Teori Klitgaard


Teori Klitgaard dalam (Jayanuarto, 2018) mengenai formula korupsi menyajikan
pandangan bahwa tingkat korupsi tergantung pada ketersediaan kekuasaan, peluang, dan
rasionalitas individu. Analisis faktor-faktor ini dapat memberikan wawasan mendalam
tentang tingkat korupsi di suatu konteks.
Teori Klitgaard tentang Formula Korupsi menyatakan bahwa tingkat korupsi (C) di
suatu negara atau organisasi tergantung pada tiga faktor:

1. Monopoli (M)
Monopoli mengacu pada tingkat kontrol yang dimiliki individu atau kelompok atas
suatu proses atau sumber daya. Semakin tinggi tingkat monopolisme, semakin besar
peluang untuk korupsi.
2. Diskresi (D)
Diskresi mengacu pada kebebasan yang dimiliki individu atau kelompok untuk
membuat keputusan tanpa pengawasan. Semakin besar tingkat diskresi, semakin besar
peluang untuk korupsi.
3. Akuntabilitas (A)
Akuntabilitas mengacu pada tingkat tanggung jawab yang dimiliki individu atau
kelompok atas tindakan mereka. Semakin rendah tingkat akuntabilitas, semakin besar
peluang untuk korupsi.
4. Teori Klitgaard dirumuskan dalam bentuk formula:
C=M+D-A

12
Artinya, tingkat korupsi sama dengan tingkat monopoli dan diskresi dikurangi dengan
tingkat akuntabilitas.
5. Analisis Faktor-faktor Formula Korupsi
Analisis faktor-faktor dalam formula Klitgaard dapat memberikan wawasan mendalam
tentang tingkat korupsi di suatu konteks. Berikut beberapa contoh:

Monopoli:
 Tingkat monopoli tinggi: Sektor publik dengan regulasi ketat dan sedikit
pesaing, seperti sektor energi atau telekomunikasi.
 Tingkat monopoli rendah: Sektor swasta dengan banyak pesaing, seperti sektor
ritel atau manufaktur.
Diskresi:
 Tingkat diskresi tinggi: Pejabat pemerintah dengan kewenangan besar untuk
membuat keputusan tanpa pengawasan, seperti hakim atau pejabat pengadaan.
 Tingkat diskresi rendah: Pejabat pemerintah dengan kewenangan terbatas dan
diawasi ketat, seperti petugas administrasi.
Akuntabilitas:
 Tingkat akuntabilitas tinggi: Sistem yang transparan dan akuntabel, dengan
mekanisme kontrol dan keseimbangan yang kuat, seperti sistem demokrasi yang
mapan.
 Tingkat akuntabilitas rendah: Sistem yang tidak transparan dan tidak
akuntabel, dengan mekanisme kontrol dan keseimbangan yang lemah, seperti
sistem otoriter.

2.5. Teori Means Ends Scheme Robert Merton


Teori Merton mengenai skema means ends menjelaskan bagaimana individu dapat
merasionalisasi tindakan koruptif mereka dengan cara menghubungkannya dengan tujuan
yang dianggap positif. Ini dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana korupsi
dapat dijustifikasi secara psikologis.
eori Means Ends Scheme yang dikemukakan oleh Robert Merton memberikan
perspektif yang penting dalam pemahaman psikologis terhadap tindakan koruptif. Teori

13
ini mencoba menjelaskan bagaimana individu merasionalisasi perilaku koruptif dengan
mengaitkannya dengan tujuan yang dianggap positif atau bermanfaat. Dalam konteks ini,
Merton menyoroti bagaimana orang-orang cenderung membenarkan tindakan koruptif
mereka sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan (ends) yang dianggap lebih tinggi
atau dianggap sebagai kebutuhan mendesak.
Pemahaman psikologis ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang
mekanisme mental individu yang terlibat dalam tindakan koruptif. Individu cenderung
memandang korupsi sebagai cara efektif untuk mencapai tujuan tertentu, terutama jika
mereka menghadapi tekanan sosial, ekonomi, atau politik yang signifikan. Dalam upaya
untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai sukses, individu mungkin merasionalisasi
tindakan koruptif sebagai suatu alat yang dapat membantu mereka mencapai tujuan
tersebut.
Teori Merton juga menggambarkan bagaimana ketidaksetaraan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan dapat memicu perilaku koruptif (Mulyadi, 2018). Ketika individu
mengalami ketidaksetaraan dalam akses terhadap peluang dan sumber daya, mereka
mungkin cenderung menggunakan jalur koruptif untuk mengatasi ketidaksetaraan
tersebut. Dalam situasi ini, tindakan koruptif dianggap sebagai sarana yang diperlukan
untuk mencapai tujuan yang sejatinya dianggap positif.
Selain itu, pemahaman teori ini dapat membantu merancang strategi
penanggulangan korupsi yang lebih efektif. Dengan memahami bahwa tindakan koruptif
seringkali dijustifikasi oleh persepsi individu mengenai tujuan yang dianggap positif,
upaya pencegahan dapat difokuskan pada perubahan persepsi ini. Kampanye edukasi dan
kesadaran yang menyoroti konsekuensi negatif dan alternatif yang lebih etis untuk
mencapai tujuan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam merubah paradigma
psikologis individu terhadap tindakan koruptif.

2.6. Teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim


Teori Durkheim tentang solidaritas sosial dapat diterapkan untuk memahami
dampak korupsi terhadap kohesi sosial. Apakah korupsi merusak solidaritas dalam
masyarakat ataukah terdapat mekanisme adaptasi yang memungkinkan kelangsungan
sosial?

14
Teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim menyajikan perspektif yang mendalam
terhadap dampak korupsi terhadap kohesi sosial dalam suatu masyarakat. Durkheim
memandang solidaritas sosial sebagai kekuatan yang mengikat individu dalam suatu
kelompok atau masyarakat. Solidaritas sosial dapat dibagi menjadi dua bentuk: mekanik
dan organik. Mekanik, yang ditemukan dalam masyarakat tradisional, didasarkan pada
kesamaan nilai, norma, dan kepercayaan, sementara organik, yang lebih umum
ditemukan dalam masyarakat modern, bergantung pada interdependensi dan spesialisasi
fungsi.
Dalam konteks korupsi, pertanyaan kunci yang diajukan oleh teori Durkheim
adalah apakah korupsi merusak solidaritas sosial dalam masyarakat ataukah terdapat
mekanisme adaptasi yang memungkinkan kelangsungan sosial. Pertama-tama, apabila
korupsi merusak solidaritas, hal ini dapat terjadi jika tindakan koruptif merongrong dasar
norma dan nilai-nilai masyarakat. Korupsi yang merajalela dapat mengikis kepercayaan
antarindividu dan meruntuhkan kesamaan nilai yang menjadi dasar solidaritas sosial
mekanik.
Namun, teori Durkheim juga membuka peluang untuk memahami adanya
mekanisme adaptasi dalam menghadapi korupsi. Masyarakat dapat mengembangkan
cara-cara baru untuk menjaga solidaritas dalam menghadapi tekanan korupsi. Mungkin
ada penyesuaian norma dan nilai yang memungkinkan kelangsungan sosial di tengah-
tengah tantangan korupsi. Sebagai contoh, masyarakat dapat membentuk lembaga-
lembaga atau inisiatif sosial untuk melawan korupsi, yang pada gilirannya memperkuat
solidaritas dalam masyarakat.
Dengan melibatkan teori Durkheim, kita dapat memahami bahwa dampak korupsi
terhadap kohesi sosial tidaklah seragam di setiap konteks. Analisis yang bersifat
kontekstual perlu dilakukan untuk menentukan sejauh mana korupsi merusak solidaritas
dan apakah masyarakat memiliki mekanisme adaptasi yang memungkinkan kelangsungan
sosial. Oleh karena itu, strategi penanggulangan korupsi harus tidak hanya fokus pada
aspek hukum, tetapi juga memperhatikan dimensi sosial dan budaya dalam masyarakat.

15
2.7. Teori Jack Bologne tentang Akar Terjadinya Korupsi
Teori Bologne membahas akar terjadinya korupsi dalam konteks budaya dan
struktur sosial. Bagaimana norma dan nilai dalam suatu masyarakat dapat memberikan
pemahaman tentang kecenderungan terjadinya korupsi?
Teori Bologne menyuguhkan perspektif yang mendalam mengenai akar terjadinya
korupsi dengan menyoroti peran budaya dan struktur sosial dalam membentuk
kecenderungan terjadinya tindakan koruptif. Dalam konteks ini, norma dan nilai-nilai
yang dianut oleh suatu masyarakat menjadi kunci pemahaman terhadap dinamika
korupsi. Pertanyaan sentral yang diajukan oleh teori ini adalah bagaimana norma dan
nilai dalam suatu masyarakat dapat memberikan pemahaman tentang kecenderungan
terjadinya korupsi.
Norma dan nilai-nilai masyarakat mencerminkan pandangan bersama mengenai
apa yang dianggap benar dan salah, adil dan tidak adil. Dalam teori Bologne, norma-
norma ini dapat membentuk landasan moral atau etika yang menjadi dasar perilaku
individu dalam masyarakat. Apabila norma dan nilai-nilai ini menguatkan prinsip
kejujuran, keadilan, dan integritas, kemungkinan terjadinya korupsi dapat berkurang
secara signifikan.
Bologne menyoroti peran struktur sosial dalam membentuk kecenderungan
terjadinya korupsi. Struktur sosial mencakup hierarki, kekuasaan, dan distribusi sumber
daya dalam masyarakat. Jika struktur sosialnya cenderung tidak adil atau memberikan
keuntungan kepada segelintir orang saja, hal ini dapat menciptakan tekanan sosial yang
mendorong individu untuk terlibat dalam tindakan koruptif. Dalam hal ini, norma-norma
yang berkembang dalam suatu struktur sosial yang tidak seimbang dapat membentuk
kecenderungan korupsi sebagai respons terhadap ketidaksetaraan yang ada.
Dalam konteks implementasi kebijakan anti-korupsi, teori Bologne menyarankan
bahwa strategi penanggulangan korupsi harus mencakup perubahan budaya dan
restrukturisasi struktur sosial. Pemerintah dan lembaga terkait harus bekerja sama dengan
masyarakat untuk meresapi nilai-nilai kejujuran dan keadilan dalam keseluruhan struktur
sosial. Pendidikan dan kampanye kesadaran masyarakat dapat menjadi alat yang efektif
untuk merubah norma-norma yang mendukung korupsi.

16
BAB III

KESIMPULAN

Dalam merangkum pembahasan mengenai beberapa teori penanggulangan korupsi, dapat


diambil beberapa kesimpulan penting. Pertama, pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor
yang mendorong korupsi menjadi krusial dalam merancang strategi penanggulangan yang efektif
dan berkelanjutan. Pemahaman ini tidak hanya mencakup dimensi individu, tetapi juga aspek
sosial, budaya, dan struktural yang membentuk lingkungan di mana korupsi dapat tumbuh subur.

Pendekatan institusional, psikologis, dan sosial memberikan pandangan yang beragam


terhadap fenomena korupsi. Pendekatan institusional menekankan perlunya institusi yang kuat,
transparan, dan bebas dari intervensi politik untuk mencegah dan mengatasi korupsi. Sementara
itu, pendekatan psikologis mengajarkan kita bahwa pemahaman mengenai motivasi individu
dalam terlibat dalam korupsi dapat membantu merancang solusi yang lebih spesifik. Pendekatan
sosial membuka pemahaman mengenai dampak korupsi terhadap kohesi sosial dan bagaimana
norma dan nilai masyarakat dapat membentuk kecenderungan terjadinya korupsi.

Teori-teori spesifik seperti Teori Means Ends Scheme Robert Merton memberikan
wawasan terhadap bagaimana individu merasionalisasi tindakan koruptif dengan
menghubungkannya dengan tujuan yang dianggap positif. Hal ini menyoroti pentingnya
pemahaman psikologis individu dalam merancang strategi pencegahan yang lebih efektif.

Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanggulangan korupsi


memerlukan pendekatan yang holistik dan terkoordinasi. Langkah-langkah penanggulangan
tidak hanya harus mencakup penegakan hukum dan sanksi, tetapi juga reformasi sosial,
pendidikan masyarakat, dan penguatan nilai-nilai integritas. Selain itu, melibatkan partisipasi
aktif dari masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci dalam menciptakan
perubahan yang signifikan.

Dengan merangkum pemahaman dari teori-teori penanggulangan korupsi, kita dapat


membangun landasan yang kokoh untuk melawan fenomena ini. Kesadaran terhadap dinamika
psikologis, sosial, dan budaya yang mendorong korupsi menjadi dasar bagi strategi yang mampu
merubah paradigma dan menciptakan lingkungan di mana integritas dan transparansi dijunjung
tinggi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Jayanuarto, R. (2018). Kebijakan Non Penal (Penanggulangan Korupsi) Berdimensi Transendental. Hukum
Trasendental Pengembangan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia.

Mulyadi, M. (2011). Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Criminal Policy.
Jurnal Legislasi Indonesia, 8(2).
Mulyadi, M. (2018). PENDEKATAN INTEGRATIF DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KORUPSI. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 13(1).
https://doi.org/10.33059/jhsk.v13i1.690
Nasaruddin, N., & Abdussahid, A. (2019). PENANGGULANGAN KORUPSI DALAM
PERSPEKTIF AL-QURAN. TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, 3(1).
https://doi.org/10.52266/tadjid.v3i1.244
Parapat, Y. T. W. M. (2020). UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA
MASA PANDEMI COVID-19. Esensi Hukum, 2(2).
https://doi.org/10.35586/esensihukum.v2i2.29
Priyanto, A., Endarwati, M. L., & Samsuri, S. (2015). MODEL KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN KORUPSI DI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA. Jurnal
Penelitian Humaniora, 19(1). https://doi.org/10.21831/hum.v19i1.3507
Pujihartini, L. (2022). Penanggulangan Korupsi, Kolusi Dan Nepotiseme Dalam Penerimaan CPNS.
Jurnal Mentari Publika , 2(2).
Soenarjanto, B., & Widiyanto, M. K. (2020). PENGAWASAN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM
PENANGGULANGAN KORUPSI MELALUI PERAN SERTA MASYARAKAT. Jurnal Widya
Publika, 8(2). https://doi.org/10.47329/widyapublika.v8i2.644
Zaini, A. (2020). PERAN KPK DENGAN KEJAKSAAN DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Negara Dan Keadilan, 9(1).
https://doi.org/10.33474/hukum.v9i1.6929

18

Anda mungkin juga menyukai