DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2:
1.RAHMANIA(B0522405)
3.WULANDARI(B0522315)
4.LEBRINA LIMBONG(B0522361)
FAKULTAS KESEHATAN
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya.Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan
dari seluruh komponen yang telah membantu dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Hambatan dan
tantangan pemberantasan korupsi”.
Harapan kami makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,serta
seluruh masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa untuk ke depan nya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maupun pengalaman kami,kami yakin dalam
pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan,oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................I
DAFTAR ISI...................................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
korupsi....................................................................................................................5
3.1 kesimpulan.............................................................................................................................13
3.2
Saran.......................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................14
Bab 1 pendahuluan
Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere
yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan
tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Korupsi menurut UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau
perekonomian Negara
Secara gamblang dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, tindak pidana
korupsi di jelaskan dalam 13 pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke
dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi, dan dari 30 (tiga puluh) jenis tindak
pidana korupsi pada dasarnya dikelompokkan dalam 7 kelompok pidana korupsi dan Tindak
pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak
pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan
ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi.
Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya
hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu
menimbulkan efek jera.
Jika dijabarkan lagi, faktor penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan eksternal.
Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi yang bisa diunduh di sini, faktor
internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi, sedang faktor eksternal karena sebab-
sebab dari luar.
Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus
kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin
hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya
adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.
Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong
pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan imbal jasa
akhirnyamemunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih membayar upeti ke partai
dalam jumlah besar, memaksa korupsi.
3. Aspek Hukum
Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan
lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa
melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan
membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.
Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya,
pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-
pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak
tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.
4. Aspek Ekonomi
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat
pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan
bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar
justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.
Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang ditangkap karena korupsi. Mereka
korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi karena sifat serakah dan moral yang buruk.
Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai sedemikian rupa
agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk
meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya. Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan
cara yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel.
5. Aspek Organisasi
Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor berada. Biasanya,
organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan.
Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya
sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen.
Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa mendapatkan
keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain di antara celah-
celah peraturan. Partai politik misalnya, menggunakan cara ini untuk membiayai organisasi
mereka. Pencalonan pejabat daerah juga menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana
bagi kelancaran roda organisasi, pada akhirnya terjadi money politics dan lingkaran korupsi
kembali terjadi.
* Menurut Jack Bologne GONE Theory
Faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (opportunity),
kebutuhan (needs), dan pengungkapan (expose). Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang
dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Organisasi, instansi, atau masyarakat luas dalam
keadaan tertentu membuka Faktor Kesempatan melakukan kecurangan. Faktor kebutuhan erat
dengan individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Dan, faktor pengungkapan
berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila
pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya korupsi. Misalnya
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya
masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat tindak korupsi
adalah negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat
sendiri. Contohnya, akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi berkurang,
pembangunan transportasi umum menjadi terbatas.
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan
korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak
korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila masyarakat
ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat
menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab
pemerintah.
2. Aspek Ekonomi
Aspek kedua yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah ekonomi. Kondisi ekonomi
sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk
melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah dengan melakukan korupsi.
3. Aspek Politis
Aspek ketiga yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah masalah politis. Politik uang
(money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu seseorang atau
golongan tertentu membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat
memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena
yang sering terjadi.
Terkait hal itu, Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of
money and material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang dan
keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik). Penyimpangan pemberian kredit atau
penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat
Bank Indonesia dan Menteri Ekonomi, dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan
merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus
korupsi.
Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang
memberi kesempatan untuk melakukannya. Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam
mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga.
Pengaduan masyarakat merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi upaya
pemberantasan korupsi. Karena itulah, KPK memperkuat whistleblowing system yang
mendorong masyarakat mengadukan tindak pidana korupsi. Pengaduan masyarakat atas dugaan
tindak pidana korupsi bisa dilakukan di situs kpk.
KPK akan melakukan proses verifikasi dan penelaahan untuk memastikan apakah sebuah aduan
bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan. Di tahap penyelidikan, KPK akan mencari sekurang-
kurangnya dua alat bukti untuk melanjutkan kasus ke proses penyidikan. Pada tahap ini, salah
satunya ditandai dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka.
Selanjutnya adalah tahap penuntutan dan pelimpahan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh jaksa.
2. Sula Pencegahan
Harus diakui masih banyak sistem di Indonesia yang membuka peluang terjadinya korupsi.
Misalnya, rumitnya prosedur pelayanan publik atau berbelitnya proses perizinan sehingga
memicu terjadinya penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem dengan celah korupsi juga
kerap terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa yang sarat konflik kepentingan.
Sula Pencegahan mencakup perbaikan pada sistem sehingga meminimalisasi terjadinya tindak
pidana korupsi. Pada strategi ini, KPK akan melakukan berbagai kajian untuk kemudian
memberikan rekomendasi kepada kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan langkah
perbaikan.Di antara perbaikan yang bisa dilakukan misalnya, pelayanan publik yang dibuat
transparan melalui sistem berbasis online atau sistem pengawasan terintegrasi. KPK juga
mendorong penataan layanan publik melalui koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah),
serta transparansi penyelenggara negara (PN).
Untuk transparansi PN, KPK menerima laporan atas Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) dan gratifikasi. Penyerahan LHKPN wajib dilakukan semua penyelenggara
negara. Sedangkan untuk gratifikasi, penerima wajib melaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak menerimanya. Jika tidak melaporkannya, maka pegawai negeri tersebut
dianggap menerima suap.
3. Sula Pendidikan
Sula Pendidikan digalakkan dengan kampanye dan edukasi untuk menyamakan pemahaman dan
persepsi masyarakat tentang tindak pidana korupsi, bahwa korupsi berdampak buruk dan harus
diperangi bersama.
Harus diakui, masyarakat tidak memiliki pemahaman yang sama mengenai korupsi. Contoh
paling mudah adalah soal memberi "uang terima kasih" kepada aparat pelayan publik yang masih
dianggap hal lumrah. Padahal uang terima kasih adalah gratifikasi yang dapat mengarah kepada
korupsi.
Melalui Sula Pendidikan, KPK ingin membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak
korupsi, mengajak masyarakat terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta membangun
perilaku dan budaya antikorupsi.
Salah satu bentuk konkret edukasi anti korupsi adalah diterbitkannya Permenristekdikti Nomor
33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di
Perguruan Tinggi. Melalui Peraturan Menteri ini, perguruan tinggi negeri atau swasta wajib
mengadakan mata kuliah pendidikan antikorupsi untuk para mahasiswanya.
Tidak hanya bagi mahasiswa dan masyarakat umum, pendidikan antikorupsi juga disampaikan
kepada anak-anak usia dini, sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Salah satu bentuknya
dengan berbagai permainan dan tontonan anak yang bertemakan integritas. Dengan sasaran usia
yang luas tersebut, KPK berharap, pada saatnya nanti di negeri ini akan dikelola oleh generasi
antikorupsi.
Korupsi memiliki dampak negatif bagi negara indonesia. Korupsi memiliki dampak hebat,
utamanya terhadap ekonomi. Beberapa ahli juga membuat statement yang dapat diringkas
beberapa poin, bahwa korupsi menyebabkan enam hal sebagai berikut:
Korupsi juga melanggar dan mengganggu hak asasi manusia. Khususnya hak yang harus dimiliki
oleh seorang anak. ICHRP dan Transpalency Internasional mencatat bahwa korupsi berdampak
pada terlanggarnya hak anak untuk hidup, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan.
Dalam prespektif ekonomi politik korupsi merupakan kejahatan yang secara langsung
menggerogoti sendi–sendi bangunan ekonomi dan politik suatu bangsa. Dan korupsi juga dapat
merusak sendi–sendi kehidupan bermasyarakat.
*Adapun peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi yaitu, mencari, memperoleh,
memberikan data, atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran
dan pendapat serta bertangung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal yang kecil, serta mulai dari sekarang juga.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang dengan
pembentukan sejumlah lembaga pemberantas korupsi. Namun, hingga sekarang, korupsi masih
saja terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi yang terbentuk pada 2002 telah melaksanakan
tugasnya untuk memberantas korupsi, tetapi menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan terbesar
menurut hasil jajak pendapat Kompas berasal dari aparat penegak hukum yang masih tidak
bersih. Selanjutnya, karena hukuman bagi koruptor yang kurang berat, budaya korupsi yang
sudah mengakar, serta penegakan hukum yang tebang pilih. Wakil rakyat yang seharusnya
memberikan contoh baik bagi masyarakat justru dinilai sebagai pihak yang paling menghambat
pemberantasan korupsi.
2. Pemerasan
a. Pasal 12 hurut e Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
3. Perbuatan curang a. Pasal 7 ayat (1) huruf a Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pemborong, ahli bangunan yang
pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang;
5. Gratifikasi
a. Pasal 12B (1) Setiap gratifiasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajibn atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan simpulan sebagai berikut.
1. Meskipun pemberantasan korupsi menghadapi berbagai kendala, namun upaya
pemberantasan korupsi harus terus-menerus dilakukan dengan melakukan berbagai
perubahan dan perbaikan.
2. Perbaikan dan perubahan tersebut antara lain terkait dengan lembaga yang menangani
korupsi agar selalu kompak dan tidak sektoral, upaya-upaya pencegahan juga terus
dilakukan, kualitas SDM perlu ditingkatkan, kesejahteraan para penegak hukum menjadi
prioritas.
3. Meskipun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dipikirkan untuk melakukan
revisi secara komprehensif terhadap UndangUndang tentang Pemberantasan Korupsi.
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,maka
dari itu kita harus memberantas korupsi.
3.2 Saran
1. Pemberantasan dan pencegahan korupsi haruslah dilakukan dari atas atau “top political
will” secara konsisten dari para penyelenggara negara;
2. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus tetap berpegang pada Undangundang korupsi
yang telah berlaku dengan mengedepankan pertanggung jawaban pidana terlebih dahulu
kemudian pertanggung jawaban secara perdata.
3. Peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang jelas dengan sanksi yang
dapat menimbulkan kejeraan serta proses peradilan yang cepat dan transparan.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas. S, 1980, The Sociology Of Corruption, Singapore, Times Book Internasional Hadjon
Philipus M , 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika, Majalah FH
Universitas Airlangga Surabaya. Kansil. C.S. T, 1984, pengantar ilmu hukum dan tata
hukum Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta Kian Gie, 2003. Permasalahan Korupsi di
Indonesia. Klitgaard, R Dan Maclean, R, 2002, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam
Pemerintahan Daerah, Jakarta Press. ___________ , 2001, Membasmi Korupsi, Yayasan
Obor Indonesia Marzuki Mahmud. P. 2001. Penelitian Hukum. Yuridika Surabaya
Mertokusumo, S, Penemuan Hukum. Projdjohamijojo. M, Penerapan Pembuktian Terbalik
Dalam Delik Korupsi, Bandung, Mandar Maju. Singgih.2002. Dunia Pun Memerangi
Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan Jakarta. Soehino, 1998, Ilmu
Negara, Liberty, Yogyakarta Soekanto, S, Mamudji S. 1985. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta. Sudarto. 1986. Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia Dalam Hukum Dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni
https://www.scribd.com/document/443028453/maklah-hambatandan-tantangan-pem-korupsi