Anda di halaman 1dari 19

“TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP HARTA

KEKAYAAN HASIL KORUPSI”

DOSEN PEMBIMBING

Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H.

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 4 :


Indrawati Lestari (4518060038)

Arjun Harmin Putra (4518060069)

Shalsabila Lencana Nasir (4518060068)

Hasrul Hamzah (4518060074)

Alda Zetira Tenriola (4518060079)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

i
2021/2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami ucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinnya.

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari

Penulis menyadari, bahwa makala yang di buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Makassar, 24 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................................... 2
A. Dasar Hukum dan Beberapa Pengertian....................................................................2
B. Jenis-Jenis Harta Kekayaan yang Tergolong Tindak Pidana Pencucian Uang......5
C. Rumusan Delik Tindak Pidana Pencucian Uang dan Ancaman Pidana..................7
D. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pengadilan Perkara Pencucian Uang
10
BAB III...........................................................................................................................................
PENUTUP................................................................................................................................. 15
A. Kesimpulan................................................................................................................ 15
B. Saran.......................................................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya setiap pelaku tindak pidana akan berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan
hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak
pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum, sehingga ia dapat
dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan
yang sah maupun yang tidak sah. Oleh karenanya UU RI No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
menyatakan tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas
dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Dasar Hukum dan Dan Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ?
2. Apa Jenis-Jenis Harta Kekayaan yang Tergolong Tindak Pidana Pencucian
Uang ?
3. Bagaimana Rumusan Delik Tindak Pidana Pencucian Uang dan Ancaman
Pidana ?
4. Bagaimana Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pengadilan Perkara
Pencucian Uang ?

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum dan Beberapa Pengertian
Untuk mencegah agar dana atau harta hasil korupsi yang disembunyikan
terdakwa dengan cara ditransfer atau disimpan di rekening orang lain atau
disembunyikan disamarkan) tanpa melalui proses bank, penyidik perlu
menerapkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang). Pengertian pencucian
uang menurut Pasal 1 butir-1 UU Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Dalam UU Pencucian Uang menganut prinsip follow the money; yaitu
semua vang terlibat dalam pencucian uang (perkara korupsi) dapat ditelusuri,
terutama aliran dana atau harta kekayaan hasil kejahatan (korupsi) yang
bertujuan untuk disamarkan atau dibersihkan seolah-olah bukan bersumber dari
hasil kejahatan korupsi). Prinsip follow the money akan memudahkan penyidik
untuk menelusuri ke mana dan siapa yang telah menerima hasil korupsi, baik
pada pelaku akuf secara langsung terlibat pada pemindahan atau transper dana)
maupun pelaku pasif tidak secara langsung terlibat, tetapi setidaknya patut
menduga bahwa dana atau harta yang diterima itu hasil korupsi).
Kelebihan lain menerapkan UU Pencucian Uang adalah karena
menerapkan pembuktian terbalik dalam pemeriksaan sidang pengadilan
sehingga akan mudah membuktikan dana atau harta benda yang disembunyikan
oleh terdakwa. Jika dakwaan pencucian uang terbukti di depan sidang
pengadilan, maka terdakwa ditambah 1/3 hukumannya dari ancaman pidana
maksimal yang dilanggar dalam UU Korupsi. Pencucian uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
Penerapan UU Pencucian Uang pertama kali diterapkan Kejaksaan
Agung pada terdakwa Bahasyim (tahun 2010), yang kemudian dijatuhi pidana
selama 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta, subsidair tiga bulan kurungan.

2
Majelis hakim juga memutuskan merampas harta kekayaan Bahasyim senilai Rp
60,9 miliar dan U$681.147 untuk negara. KPK juga mulai menerapkan UU
Pencucian Uang pada terdakwa mantan anggota DPR Laode Nurhayati (tahun
2011). Begitu pula Djoko Susilo dalam kasus korupsi Simulator SIM (tahun
2013), Ahmad Fathanah, mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishak, dan mantan
Kelua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Djoko Susilo divonis 10 tahun 1
penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat (3/9/2013), denda Rp 500 juta
subsider enam bulan kurungan, tetapi hakim menolak hukuman “membayar uang
pengganti” sebesar Rp 32 miliar dan pidana tambahan pencabutan hak
politiknya. Namun, Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta di tingkat banding
memperberat hukuman Djoko menjadi 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar dan
membayar uang pengganu Rp 32 miliar sesuai tuntutan Jaksa.
Syarat untuk dijerat pencucian uang, bukan hanya tersangka atau orang
yang mengalirkan hasil korupsi, tetapi juga yang menerima hasil korupsi
sepanjang yang bersangkutan mengetahui atau patut menduga uang tersebut
berasal dari korupsi. Ini merupakan salah satu langkah progresif membongkar
korupsi kelas kakap hingga akar-akarnya. Penyidik juga bisa mengandeng
PPATK untuk meminta data transaksi keuangan yang mencurigakan dari
tersangka/terdakwa.
Ada lima keuntungan menerapkan UU Pencucian Uang dalam
membongkar jaringan korupsi yang semakin sistematis dan masiſ, yaitu sebagai
berikut.
1. Sistematis
2. Berrister Penerapan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Harga
Duniyaan'
a. Dari segi pelaku, akan banyak pelaku yang terjerat, bukan hanya orang, / tetapi
juga korporasi. Bahkan, dapat mengungkap dengan cepat kemana saja aliran
dana atau barta benda hasil korupsi clisembunyikan oleh pelaku dan secepatnya
diblokir melalui bantuan PPATK.
b. Dari segi hukuman, akan memperberat hukumannya karena penggabungan
perkara dapat menambah seperuga ancaman pidananya, sehingga akan

3
menimbulkan efek jera bagi pelaku dan membuat calon koruptor lain merasa
takut untuk melakukan korupsi.
c. Dari segi pengembalian keuangan negara, akan lebih efektif pengembalian uang
negara, baik yang dikorupsi maupun dana hasil korupsi yang dicuci (disamarkan)
kepada orang lain.
d. Dari aspek pengamanan hasil korupsi, yaitu dana hasil korupsi yang
disembunyikan atau disamarkan pelaku dapat disita dengan cepat, sekaligus
berfungsi sebagai pengamanan agar tidak terjadi transaksi pemindahan dana
dari rekening yang sudah diblokir.
“Dari segi pembuktian, sebab UU Pencucian Uang menggunakan “pembuktian
terbalik” yang dilakukan dalam sidang pengadilan (Pasal 77 UU Pencucian
Uang)”.
Pengertian Pusat Pelaporan dan Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan atau PPATK (Pasal I butir-2 UU Pencucian Uang) adalah
lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang. Mekanisme kerja PPATK adalah menerima
laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM yang disampaikan penyedia
jasa keuangan (PJK) dan penyedia barang dan jasa (PBJ). Setelah itu, laporan
tersebut dianalisis PPATK dengan menggunakan berbagai sumber informasi
dengan menggunakan berbagai metode yang teruji, dan dilakukan oleh sumber
daya manusia yang memiliki sertifikasi khusus untuk itu. Hasil analisis PPATK
disampaikan kepada penyidik untuk dikembangkan dengan mencari alat bukti
yang cukup dan melengkapi berkas perkara yang kemudian disampaikan kepada
penuntut umum. Apabila penuntut umum menyatakan berkas perkara sudah
lengkap, penyidik melimpahkan berkas perkara bersama alat bukti, barang buku,
dan tersangka untuk diajukan ke pengadilan.
Transaksi Keuangan (PPATKI Pengertian Transanksi keuangan
Transanksi Keuangan (Pasal 1 butir-4 UU Pencucian Uang) adalah
transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
Pemberantas Tindak Pidana Korupsi penarikan, pemindah-bukuan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran

4
atas sejumlah uang atau undakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan
dengan uang Pengertian Transaksi kcuangan Mencurigakan Pengertian
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diatur dalam Pasal I butir-5 UU
Pencucian Uang adalah:
1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
2. transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan -
ketentuan Undang-Undang ini;
3. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana; atau
4. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh
pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana.
B. Jenis-Jenis Harta Kekayaan yang Tergolong Tindak Pidana Pencucian
Uang
Jenis-jenis harta kekayaan yang tergolong tindak pidana pencucian uang
ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Pencucian Uang adalah hasil tindak
pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Di bidang
kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
Menyimak begitu banyaknya bentuk dan hasil tindak pidana (27 tindak
pidana) sebagai tindak pidana asal predicate crime) yang dikategorikan sebagai
tindak pidana pencucian uang (pencucian uang), tetapi dalam pelaksanaannya
tidak gampang, bahkan masih meminimalkan permasalahan. Salah satunya
adalah keberadaan tindak pidana asal, apakah harus dibuktikan terlebih dahulu

5
sebelum membuktikan hasil dari kejahatan disamarkan atau dilakukan
pencucian.
Untuk menjawabnya perlu menyimak beberapa alasan yang diatur dalam
UU Pencucian Uang yang menegaskan bahwa untuk mengusut pencucian uang
tidak perlu membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pertama,
mengacu pada Pasal 69 UU pencucian uang bahwa untuk dapat dilakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu undak pidana
asalnya. Hal ini juga diatur dalam UU Pencucian Uang sebelumnya, yaitu dalam
Penjelasan Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 25
Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Dengan demikian, sangat jelas bahwa
untuk memeriksa perkara pencucian uang, penyidik, penuntut umum, dan hakim
tidak perlu atau tidak wajib membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Kedua, mengacu pada sistem pembuktian di Indonesia yang menganut sistem
pembuktian negatif (negatief weltelijk), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183
KUHAP. Pasal tersebut menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Artigo, UU
Pencucian Uang pada hakikatnya menganut pembuktian terbalik xyw'rti diatur
dalam Pasal 77 dan 78. Ketentuan pembukuan terbalik dalam Pasal 77 UU
Pencucian Uang mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di silang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya backan
merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan Pasal 78 UU Pencucian l'ang
menegaskan sebagai berikut.
 Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Haria
Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal alau terkait dengan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1). Terdakwa
membukukan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

6
Pasal 2 Ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Keempat,
jika mengacu pada data dan temuan PPATK sampai dengan Januari 2014
(Yunus Husein, Koran Sindo, 6/3/2014), setidaknya sekitar 105 putusan
pengadilan terkait pencucian uang dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sedangkan hukum acara yang digunakan dalam perkara pencucian
uang ditegaskan dalam Pasal 68 UU Pencucian Uang, yaitu didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini. Arunya, hukum acara yang digunakan adalah KUHAP,
UU Pencucian Uang, dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi apabila tindak
pidana asalnya korupsi.

C. Rumusan Delik Tindak Pidana Pencucian Uang dan Ancaman Pidana


Dalam menerapkan tindak pidana pencucian uang terhadap
tersangka/terdakwa korupsi, harus dimulai pada penyidikan yang bukan banya
bermuara pada tersangka/terdakwa, tetapi juga kepada siapa yang menerima
aliran dana yang diduga hasil korupsi. Penerapan Tindak Pidana Pencucian
Uang Terhadap Harta
Dalam UU Pencucian Uang, syarat untuk dijerat pencucian uang bukan
hanya tersangka/terdakwa atau orang yang mengalirkan hasil korupsi, tetapi juga
yang menerima hasil korupsi, sepanjang yang bersangkutan mengetahui atau
paling tidak patut menduga uang tersebut berasal dari korupsi (kejahatan) .
Secara lengkap, yang tergolong tindak pidana pencucian uang ditegaskan dalam
Pasal 3, Pasal 1, dan Pasal 5 UU Pencucian Uang sebagai berikut.
 Pasal 3 UU Pencucian Uang:
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukakan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang dikctahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang

7
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
 Pasal 4 UU Pencucian Uang:
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
 Pasal 5 UU Pencucian Uang: .
1. Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku bagi pihak
pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
Bagi terdakwa korupsi yang mengalirkan uang hasil korupsinya,
berarti telah melakukan dua kejahatan sekaligus, yaitu korupsi dan
pencucian uang, dan sebaiknya diterapkan dalam satu dakwaan. aliran
hasil korupsi hanya dijerat dengan pencucian uang, sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 UU Pencucian Uang. Untuk mengefektifkan penelusuran
aliran dana hasil korupsi (termasuk kejahatan lain), harus dilakukan
pemblokiran dana dan penyitaan yang tersimpan di bank atau tempat lain.
 Ancaman Pidana Terhadap Korporasi
Jika pencucian uang melibatkan Korporasi, maka korporasi bersangkutan
diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, dan Pasal 10 UU
Pencucian Uang sebagai berikut.

8
 Pasal 6 UU Pencucian Uang:
1. Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana clijatuhkan
terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi.
2. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian
uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Pasal
7 UU Pencucian Uang:
1. Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1),
terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;
c. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
d. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
 pencabutan izin usaha;
pengambilalihan korporasi oleh Negara
 Pasal 8 UU Pencucian Uang: .
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda
tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4
(empat) bulan.
 Pasal 9 UU Pencucian Uang:
1. Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan

9
perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali
korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang
dijatuhkan.
2. Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi
dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
 Pasal 10 UU Pencucian Uang:
Setiap orang yang berada didalam atau diluar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5.

D. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pengadilan Perkara Pencucian


Uang
Untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang
pengadilan perkara tindak pidana pencucian uang (pencucian uang) ditegaskan
dalam Pasal 68 UU Pencucian Uang bahwa penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undangundang
ini. Artinya, semua instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan,
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana, dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam UU Pencucian Uang.
Beberapa instansi diberi kewenangan melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana asal dalam perkara pencucian uang adalah penyidik KPK dan
kejaksaan untuk korupsi, penyidik bea dan cukai untuk tindak pidana

10
penyelundupan, penyidik pajak untuk tindak pidana perpajakan, penyidik BNN
untuk tindak pidana narkotika, serta penyidik kepolisian untuk semua tindak
pidana. Untuk memeriksa perkara pencucian uang, tidak perlu Pemberantas
Tindak Pidana Korupsi.
Membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 UU Pencucian Uang (sudah dijelaskan sebelumnya).
Pengaturan penyidikan terhadap perkara pencucian uang diatur dalam Pasal 74
dan Pasal 75 UU Pencucian Uang sebagai berikut.
 Pasal 74 UU Pancucian Uang:
Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik Lindak
pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.
Pasal 75 UU Poncucian Uang:
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya
undak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan undak
pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dengan demikian, KPK berwenang menyidik perkara pencucian uang. Hal
itu lebih dipertegas dalam penjelasan Pasal 74 UU Pencucian Uang bahwa
yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari
instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan
penyidikan, yaitu kepolisian, kejaksaan, KPK, Badan Narkouka Nasional
(BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik undak pidana
asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila
menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya undak pidana pencucian
uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.
Dalam menyidik perkara korupsi sebagai tindak pidana asal, baik yang
dilakukan oleh penyidik KPK maupun penyidik kejaksaan dan penyidik
kepolisian, maka jika ditemukan bukti permulaan yang cukup terjadi

11
pencucian uang, maka penyidik menggabungkan perkara korupsi dengan
pencucian uang, kemudian perlu memberitahukannya kepada PPATK untuk
dapat dimintai bantuan mengenai transaksi keuangan melalui rekening
tersangka. Artinya, suatu perkara korupsi yang disidik oleh KPK, maka KPK
berwenang melakukan penyidikan terhadap pencucian uang yang terjadi
berkaitan dengan perkara tersebut, karena perkara korupsi merupakan tindak
pidana asal.
Mengenai ketentuan pelaksanaan penuntutan perkara pencucian u diatur
dalam Pasal 76 UU Pencucian Uang sebagai berikut.
1. Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidi
Pencucian Uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga pui
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yangu
dinyatakan lengkap.
2. Dalam hal penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara kep
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), ketua
pengad negeri wajib membentuk majelis hakim perkara tersebut paling
lama 3 ( hari kerja sejak diterimanya berkas perkara tersebut.
Mengenai dasar hukum apakah KPK berwenang melakukan penunti
terhadap perkara pencucian uang, memang tidak secara tegas diatur
da UU Pencucian Uang, tetapi beberapa dasar hukumnya dijadikan
seba rujukan.

Penjelasan Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan menyatakan bahwa


yang dimaksud dengan “kejaksaan adalah satu dan tidak
terpisahkan” ada satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya di bid: penuntutan yang bertujuan memelihara
kesatuan kebijakan di bidi penuntutan sehingga dapat
menampilkan ciri khas yang menyatu da tata pikir, lata laku, dan
tata kerja kejaksaan berdasarkan undang-unda Ketentuan ini
dikenal dengan prinsip "een on deelbaar”, yaitu memelih kesatuan
kebijakan. Lantaran hanya ada satu jaksa selaku penuntut umum,
baik yang Kejaksaan Agung maupun jaksa penuntut umum yang

12
ada pada KPK, mi makna kata "penuntut umum” dalam Pasal 72
dan Pasal 75 UU.

Uang mengacu kepada hal yang sama. Aparat kejaksaan yang


ada di KPK adalah juga penuntut umum dalam perkara pencucian
uang, meskipun berada di bawah naungan KPK. Penjelasan ini
merupakan jawaban atas adanya pandangan sebagian pakar
hukum pidana dan hakim pengadilan Tipikor yang menilai, bahwa
KPK tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan penuntutan
terhadap perkara pencucian uang. Alasannya, karena menurut
KUHAP, penuntutan pencucian uang dalam sidang pengadilan
dilakukan oleh penuntut umum di bawah kewenangan Kejaksaan
Agung Sementara, penuntut umum KPK bukan di bawah
kewenangan Kejaksaan Agung, melainkan di bawah kekuasaan
KPK.

Apabila penyidik (KPK) dalam menyidik perkara korupsi,


kemudian menemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi
pula pencucian uang, maka penyidik menggabungkan keduanya
sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis). Dengan begilu,
selain KPK berwenang melakukan penuntutan perkara korupsi,
juga berwenang menggabungkan penuntutan antara perkara
korupsi dengan perkara pencucian uang. Selain itu, penuntutan
KPK terhadap perkara pencucian uang setidaknya akan lebih
meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi. Apabila KPK hanya
menggunakan UU Korupsi, maka hanyalah uang yang dinikmati
koruptor atau yang diperoleh dari korupsi yang dapat dirampas
untuk negara sebagai “pembayaran uang pengganti" seperu
dimaksud dalam Pasal 18 UU Korupsi.

Pertimbangan lainnya adalah “efisiensi” dalam penuntutan


perkara korupsi, sebab perkara korupsi yang ditangani KPK yang
kemudian ditemukan adanya pencucian uang dan dilimpahkan

13
kepada Kejaksaan Agung, maka penanganan perkara bisa tidak
efektif dan efisien. Artinya, tujuan hukum dalam bentuk “kepastian”
dikesampingkan demi keberpihakan pada “keadilan”. Hal tersebut
sejalan dengan pemikiran atau asas prioritas tiga nilai dasar tujuan
hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch (Marwan Mas,
2014: 85), bahwa untuk mencapai tujuan hukum harus
memprioritaskan keadilan aliran etis), kemanfaatan aliran utilitis),
dan kepastian (aliran normatif-dogmatik). Artinya, yang didahulukan
atau memprioritaskan adalah keadilan, barulah kemanfaatan,
selanjutnya kepastian hukum.

Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam menerapkan UU


Pencucian Uang terhadap terdakwa korupsi adalah agar
menimbulkan efek jera. Bahkan, diharapkan menimbulkan rasa
takut bagi calon koruptor yang antri di berbagai institusi negara
agar tidak mewujudkan niatnya melakukan korupsi. Bukan hanya
itu, juga bisa menjadi upaya pemiskinan bagi koruptor, Penerapan
Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Harta sebab selain
hukuman badan, denda yang besar, membayar uang pengganu
sejumlah yang dikorupsi, juga menyita untuk negara semua harta
benda yang diperoleh dari korupsi karena menerapkan UU
Pencucian Uang.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Transaksi Keuangan (PPATKI Pengertian Transanksi keuangan Transanksi
Keuangan (Pasal 1 butir-4 UU Pencucian Uang) adalah transaksi untuk
melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, Pemberantas Tindak
Pidana Korupsi penarikan, pemindah-bukuan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau
undakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang Pengertian
Transaksi kcuangan Mencurigakan Pengertian Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang diatur dalam Pasal I butir-5 UU Pencucian Uang adalah:
1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
2. transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan - ketentuan Undang-Undang ini;
3. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;
atau
4. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak
pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana.

B. Saran
Agar Undang-Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang perlu di tinjau dandi perbaharui kembali. Mengatur lebih spesifik dan lebih
ditekankan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan dan
penuntutan dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak
pidana korupsi. Hal tersebut diperlukan guna untuk memperlancar penyelesaian
kasus tindak pidana pencucian uang tersebut.

15
16

Anda mungkin juga menyukai