Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“Tindakan Pidana Kasus Pencucian Uang”


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas individual
Mata Kuliah:
Hukum Pidana

Dosen Pengampu:
Dr. E. Sugianto MH

Disusun oleh :

Ayip Muhammad Riziq (1908201126)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2019

1
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Tindak
Pidana Khusus Pencucian Uang”. Dan Penulis juga berterima kasih kepada Bapak sugianto
selaku Dosen mata kuliah Hukum Pidana yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.

            Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. Penulis juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, penulis berharap adanya kritik, dan saran serta usulan demi perbaikan makalah yang
telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

            Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
berkurang berkenaan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Cirebon, 8 september 2020

                                                                                                                             Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar .....................................................................................................2

Daftar Isi ................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan

    1. Latar Belakang Masalah ..........................................................................4

2. Rumusan Masalah ...................................................................................5

3. Tujuan Penulisan .....................................................................................5

Bab II Pembahasan

1. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang .....................6

2. Proses Pencucian Uang ............................................................................18


3. Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang ....................................................19
4. Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan ........................................................20

5. Peranan PPATK ........................................................................................23

6. Perlindungan Pelapor dan Saksi ...............................................................24

Bab III Penutup .....................................................................................................25

Kesimpulan………………………………………………………..……………….25

Daftar Pustaka ..........................................................................................................26

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tindak Pidana Pencucian Uang adalah proses atau perbuatan yang


menggunakan uang hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan atau
dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul uang yang sah
atau yang halal  dengan kata lain, pencucian uang adalah proses untuk menyembunyikan atau
menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan
dan penyitaan. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa
ini, perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat
mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara.

Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung
dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah
dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang
terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan,
terutama dalam sistem perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk
dilacak oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang hasil
kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara membeli saham
perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki keabsahan yuridis dalam
operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para penjahat yang diputar melalui proses-
proses sepertinya menjadi sah adanya.

4
2. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang  dan bagaimana pengaturan hukum TPPU?

2.      Bagaimana Proses Pencucian Uang?

3.      Sanksi apa saja yang dijatuhkan pada pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang?

4.      Apa saja kewajiban Penyedia Jasa Keuangan?

5.      Apa saja peranan PPATK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang?

6.      Bagaimana perlindungan bagi pelapor dan saksi?

3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
Tindak Pidana Khusus.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pengaturan

1.Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari
kegiatan yang sah. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang No.8 Tahun 2010, Harta Kekayaan
yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan
sebagai hasil tindak pidana.1

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem
keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan
tindak pidana multi-dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang
yang cukup besar.

2. Pengaturan

Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances  atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani
106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru
meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

1
Sutan Remy Sjahdeidi, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, Cetakan 1, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004, hlm 7.

6
            Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan
mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah
mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan
bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15
negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention
agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.2

            Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan
pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan
untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The
International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan Negara-negara
penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong
kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking
Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan
badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah
yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-
Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.3

Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal


18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit
diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk
kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan

2
Nasution, Anwar.1998.Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering, Hukum Bisnis Volume 3
3
Garnasih, Yenti. 2003 Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), KDT, Jakarta.

7
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah
wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan.

Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF
untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi
yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang
lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan system
finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi
standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu
dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan
Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.

Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non


Cooperative Countries and Teritories (NCCTs)  pada bulan Juni 2001 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai
dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam
memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hokum
pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money
laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi
praktek money laundering,  belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan
yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi
internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk
mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang
Anti Pencucian Uang.

Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF
mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para
pemimpin instansi yang menangani money laundering,  kemudian Presiden mengutus beberapa
Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan
Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah

8
diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran
Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya
dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).

Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja;
penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan
anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan,
yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian
uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar
negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar
asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka
1).4

Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :

a).    Pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk
penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan
laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru.

4
Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian uang

9
Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002:

“Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek,
pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi”, yang kemudian diubah
menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 :

“Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada
bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan
asuransi, dan kantor pos”.

b).    perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni:

Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002: “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi
yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah
yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan
oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”, menjadi:

Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003:

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

 transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
 transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia
Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau

10
 transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c).       Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena
penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana
yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan:

Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002:

“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dari kejahatan”:

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. penyelundupan barang;

d. penyelundupan tenaga kerja;

e. penyeludupan imigran;

f. perbankan;

g. narkotika;

h. psikotropika;

i. perdagangan budak, wanita, dan anak;

j. perdagangan senjata gelap;

k. penculikan;

l. terorisme;

m. pencurian;

n. penggelapan;

o. penipuan;

11
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni: 

1. Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. penyelundupan barang;

d. penyelundupan tenaga kerja;

e. penyelundupan imigran;

f. di bidang perbankan;

g. di bidang pasar modal;

h. di bidang asuransi;

i. narkotika;

j. psikotropika;

k. perdagangan manusia;

l. perdagangan senjata gelap;

m. penculikan;

n. terorisme;

o. pencurian;

p. penggelapan;

q. penipuan;

r. pemalsuan uang;

12
s. perjudian;

t. prostitusi;

u. di bidang perpajakan;

v. di bidang kehutanan;

w. di bidang lingkungan hidup;

x. di bidang kelautan.

    2. Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana
terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
n.

d).        Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah


berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana
berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan
tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana
tindak pidana asal antara lain:

 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;


 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat,
dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan
pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana diatur
berdasarkan:

13
 Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 : (2) “Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan”,
menjadi:

 Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 :  (2) “Penyampaian laporan Transaksi Keuangan


Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat
3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsure
Transaksi Keuangan Mencurigaka”.

f).    Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik
(anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara, dengan tujuan untuk mencegah
berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang,
sebagaimana diatur berdasarkan:

Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003:

 Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut
Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali
untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
 Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan
dalam persidangan pengadilan.
 Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
 Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.5

5
Husein, Yunus. 2003. Masalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta.

14
g).    Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja sama
bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan bukti bahwa
Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-
sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003

Dimuat dalam : Pasal 3 ( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja:

a.     menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b.     mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;

c.      membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak
lain;

d.     menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e.     menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

15
f.       membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana; atau

g.      menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan
maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).6

Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:

1.      penempatan;

2.      pentransferan;

3.      pembayaran;

4.      hibah;

5.      sumbangan;

6.      penitipan; atau

7.      penukaran.

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

6
Sudarmadji .Makalah yang berjudul Essensi dan Cakupan UU Tentang
Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional

16
 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa
Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13. Pasal 7 Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang
berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana
yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana
sebagai berikut :

1.      Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan,mentransfer,


membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.

2.      Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang.

3.      Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,


sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Selain itu juga ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian
uang :

1.      penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan kepada
PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau
yang nilainya setara, bila dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi
dalam 1 (satu) hari kerja;

2.      setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik
Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk
melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai;

17
3.      bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan kepada
pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara
apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah
disampaikan kepada PPATK;

4.      larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak
pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menyebut
nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas
pelapor.

2.  Proses Pencucian Uang

1.  Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, namun pada dasarnya
proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan, yaitu:

a).    Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana
ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:

 Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit/pembiayaan.
 Menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
 Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
 Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.
 Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi,
membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain
yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.7

b).    Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya


melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
7
Nasution, Anwar.1998.Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering,
Hukum Bisnis Volume 3.

18
dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi
tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan
didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan
ini antara lain:

 Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
 Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
 Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah
maupun shell company.

c).    Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk
dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun
keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai
kembali kegiatan tindak pidana.

Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang
akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah
untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati
atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau
simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih.

2. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada
tahap placement, layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi semakin
sulit dan  membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis dan
berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku
tindak pidana.

3.  Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,

19
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

            Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak,
atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah)

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).8

4. Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan

Penyedia Jasa Keuangan terbagi menjadi :

1.        Perbankan

Perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan
menyalurkan dana, sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang
baik melalui placement, layering maupun integration. Selain itu transfer dana secara elektronis
juga dapat dimanfaatkan oleh pencuci uang untuk mengalihkan dana secara cepat dan relatif
murah serta aman ke rekening pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri;

8
Siahaan, NHT, Pencucian Uang &Kejahatan Perbankan, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 2005.

20
2.        Lembaga Keuangan Non Bank

Perhatian terhadap PJK yang berbentuk asuransi dan usaha investasi lainnya diperlukan sebagai
upaya untuk memastikan tidak dimanfaatkannya produk dan jasa PJK tersebut untuk kegiatan
pencucian uang.

3.        Perusahaan Efek, Pengelola Reksa Dana dan Bank Kustodian

     Selain perbankan, asuransi dan usaha investasi lainnya, bentuk PJK lainnya dalam pedoman
ini adalah perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002.9

Perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian wajib memiliki prosedur yang
memadai untuk membuktikan dan memverifikasi identitas nasabah/calon nasabah, beneficial
owner atau beneficiary nasabahnya. Apabila perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank
kustodian tidak mengetahui secara pasti identitas nasabah/calon nasabah, maka hubungan usaha
dengan nasabah/calon nasabah tersebut dapat ditolak.

4.        Penyedia Jasa Keuangan Lainnya

PJK lainnya misalnya pedagang valuta asing (money changer) serta lembaga penyimpanan dan
penyelesaian wajib menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:

a.    Transaksi keuangan mencurigakan;

b.    Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali
transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 13

9
Sosialisasi UU No 15 tahun 2002 Kerjasama Kajian Hukum dan Bisnis
Fakultas Hukum UNSRI dengan PT. Bank Pembangunan Daerah

21
ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002, Bab 3 huruf C angka 3
pedoman ini dan ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga pengawas.

Peraturan perundang-undangan mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk:

1.        Melaksanakan prosedur identifikasi nasabah, atau biasa disebut Prinsip Mengenal Nasabah
(know your customer principles), merupakan hal yang sangat penting. Setiap PJK harus
menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga
pengawas masing-masing PJK.10

2.        Menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas nasabah sampai dengan 5 (lima) tahun
sejak berakhirnya hubungan usaha dengan PJK. Dalam hal ini yang dimaksud dengan identitas
antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan. Dokumen ini diluar
dokumen keuangan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan.

3.        Menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:

 Transaksi keuangan mencurigakan;


 Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, baik dilakukan
dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
 Kewajiban pelaporan bagi PJK tersebut di atas berlaku sejak Oktober 2003 dengan
mengacu pada pedoman pelaporan yang akan dikeluarkan oleh PPATK.

10
Sudarmadji .Makalah yang berjudul Essensi dan Cakupan UU Tentang
Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional

22
4.        Bagi PJK yang berbentuk bank, kewajiban pelaporan tersebut di atas dikecualikan dari
ketentuan rahasia bank, sehingga bank dan petugas pelapor tidak melanggar ketentuan rahasia
bank.

5. Peranan PPATK

PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) adalah sebuah lembaga
independen yang terbentuk bersamaan dengan UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana
pencucian uang.

Peranan PPATK yakni:

Dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang,  ppatk memiliki peranan strategis Dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana yang menghasilkan harta
kekayaan yang tidak sah.

            Untuk menunjang peranan tersebut ppatk memiliki tugas pokok adalah membantu
penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis
terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK.11

            Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat
pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa
keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pedoman ini yang
dimaksud dengan PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk

11
Siahaan, NHT, Pencucian Uang &Kejahatan Perbankan, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 2005.

23
tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
bank kustodian, pedagang valuta asing, dana pensiun dan perusahaan asuransi.

6. Perlindungan Pelapor dan Saksi

A.      Perlindungan bagi Pelapor

1.      Pelaksanaan pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia
bank sebagaimana diatur oleh Undang-undang Perbankan;

2.      Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban
pelaporannya;

3.      PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor;

4.      Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi
perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya termasuk keluarganya.

5.      Disidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan
tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau
alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

B.       Perlindungan bagi Saksi

1.      Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang
wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.

24
2.      Saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas kesaksian yang diberikan oleh
yang bersangkutan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Pencucian uang atau money laundry adalah perbuatan menempatkan,


mentransfer,membayarkan, keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
2. Guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut TPPU di bentuklah
Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK. Lembaga ini
merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan
pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan tindak pidana
pencucian uang.
3. Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti
menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus
ditindak tegas oleh para penegak hukum yang berwenang.

25
4.  Selain itu pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan hukum
dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk
keluarganya. Dalam kasus money laundering kepolisian dan penuntut umum juga
memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena
modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.

DAFTAR PUSTAKA

Garnasih, Yenti. 2003 Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering),

KDT, Jakarta.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang.

Husein, Yunus. 2003. Masalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang

Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. PT. Cirtra Aditya

Bakti Bandung

Nasution, Anwar.1998.Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering,

Hukum Bisnis Volume 3.

Siahaan, NHT, Pencucian Uang &Kejahatan Perbankan, Jakarta, Pustaka

26
Sinar Harapan, 2005.

Remy Sjahdeini, Sutan,2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang,

PT Temprint, Jakarta.

Sudarmadji .Makalah yang berjudul Essensi dan Cakupan UU Tentang

Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional

Sosialisasi UU No 15 tahun 2002 Kerjasama Kajian Hukum dan Bisnis

Fakultas Hukum UNSRI dengan PT. Bank Pembangunan Daerah

27

Anda mungkin juga menyukai