Anda di halaman 1dari 19

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
NISRI UTAMI ( 1806200319 )
WINDY PRATIKA NINGSIH ( 2006200507)
JARIATUN FITRAH ( 1906200530 )
ANTONY M E RIZAKN SG N ( 1906200536 )
JOHANDI MUNARA ( 1906200567 )
BAYU UTOMO ( 1906200585 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA UTARA
TA 2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolonganNya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Sholawat beserta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu nabi Muhammad SAW yang kita nanti nantikan syafaatnya
di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehatNya,baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum
Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar besarnya. Demikian,
semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Medan, 29 Juni 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….............2

DAFTAR ISI……...……………………………………………………………................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………....................4

1.2 Rumusan Masalah….…………………………………………………….................6

BAB II PEMBAHASAN

2.1 proses pembuktian tindak pidana pencucian uang.............................................7

2.2 Pembebanan Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.....................9

2.3 dampak Tindak Pidana Pencucian Uang..............………………........................14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................................15

3.2 Saran……………………………………………………………………....................15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Sebagaimana dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.
Hal ini menunjukan bahwa segala aktivitas masyarakat Indonesia harus sesuai
dengan aturan-aturan hukum yang diatur di negara Republik Indonesia. Jika ada
pelanggaran yang terjadi, maka harus dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang
berlaku. Hal ini sebagai wujud dari penegakan hukum di Indonesia. Hukum di
Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum privat
adalah hukum perdata, sedangkan hukum publik adalah hukum pidana.

Menurut Pompe, pengertian hukum pidana dibedakan menjadi dua arti, yaitu
hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana yang oleh sebab
perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu bagian objektif dan bagian
subjektif. Sedangkan hukum pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum
pidana materil ditegakkan. Pada intinya, hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu, yang mengatur
apa yang dilarang dan apa yang boleh dilakukan. Larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang telah ditentukan oleh pemerintah dituangkan kedalam
suatu aturan dan apabila aturan tersebut dilanggar maka akan mendapatkan sanksi
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Perbuatan yang dilakukan
dalam hukum pidana disebut sebagai tindak pidana.

Adapun beberapa pengertian tindak pidana menurut para ahli, sebagai berikut:

1. Menurut Simons, “tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang
diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan
hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab.”

2. Menurut Pompe, “tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan


terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

4
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
hukum.”

3. Menurut Moeljatno, “tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut.”

Sedangkan menurut hukum positif, tindak pidana adalah suatu kejadian yang
oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum.

Dengan kata lain tindak pidana adalah suatu tindakan (berbuat atau tidak
berbuat) yang bertentangan dengan hukum nasional jadi yang bersifat tanpa hak
yang menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman.

Tindak pidana terbagi menjadi 2 (dua) yaitu tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan keseluruhan tindak pidana yang
termasuk dan diatur dalam KUHP dan belum diatur secara tersendiri dalam Undang
Undang Pidana. Contoh tindak pidana umum yang diatur di dalam KUHP adalah
tentang tindak pidana pembunuhan (pasal 338 KUHP), tentang tindak pidana
pencurian (pasal 362 KUHP), tentang tindak pidana penggelapan (372 KUHP),
tentang tindak pidana penipuan (pasal 378 KUHP), dan lainnya.

Sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang menyimpang dari
prinsip-prinsip umum hukum pidana, baik pidana materiil maupun formil dan diatur
diluar dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan kata lain, tindak
pidana khusus adalah suatu tindak pidana yang diatur secara khusus atau secara
tersendiridiatur diluar dari KUHP. Contoh tindak pidana khusus adalah
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Tindak
Pidana Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Seperti yang dapat dilihat dari penjelasan diatas Tindak Pidana Pencucian Uang
merupakan tindak pidana khusus dan diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Di Indonesia sendiri pemerintah Republik Indonesia baru
mengkriminalisasikan pencucian uang ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan

5
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
sebagai undang-undang yang baru, sudah tentu memuat permasalahan yang baru
pula bagi negara kita, Indonesia. Diterbitkannya undang-undang ini untuk mengatasi
akibat Indonesia yang sejak tanggal 22 juni 2001 dimasukan kedalam daftar hitam,
yang diciptakan oleh kelompok negara maju yang tergabung dalam Financial Action
Task Force (FATF), yaitu dikategorikan sebagai salah satu dari 15 negara yang
dianggap tidak kooperatif (Non-Cooperative Countries and Territories/NCCT) dalam
memberantas praktik pencucian uang. Hasil keputusan FATF tersebut dapat
disimpulkan bahwa Negara Indonesia adalah salah satu surga di dunia bagi pemilik
uang haram membersihkan uang hasil kejahatan, baik di dalam negeri maupun dari
luar negeri. FATF sendiri mempunyai fungsi mengembangkan dan menyebarluaskan
kebijakan pemberantasan pencucian uang, pemrosesan harta/aset dari tindak
pidana dalam menyembunyikan asal usulnya yang illegal.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.Bagaimana proses pembuktian tindak pidana pencucian uang?

2. Bagaimana Pembebanan Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang?

3.Bagaimana dampak Tindak Pidana Pencucian Uang?

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Pembuktian Dalam Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang diatur didalam Pasal 77 yang


menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana”. Pasal 78 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77,


hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang
terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1).”

Dan Pasal 78 ayat (2) menyatakan bahwa:

“Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.”

Jadi berdasarkan kedua pasal diatas proses pembuktian didalam TPPU


menganut sistem pembuktian terbalik yang artinya terdakwalah yang harus
membuktikan bahwa harta kekayaan yang diperoleh olehnya bukan hasil dari tindak
pidana, selain itu didalam proses pembuktian TPPU, untuk membuktikan hal
tersebut terdakwa harus mengajukan alat bukti yang cukup.

Adanya ketentuan bahwa TPPU merupakan kejahatan yang berdiri sendiri pun
dalam prakteknya belum dapat diterapkan secara murni. Pembuktian TPPU dalam
hal ini masih memerlukan adanya suatu tindak pidana yang menghasilkan seluruh
atau sebagian dari harta kekayaan yang akan dirampas. Selain itu, penerapan
pembuktian terbalik oleh terdakwa pun sangat dimungkinkan justru merugikan
proses penuntutan, mengingat pelaku sangat memungkinkan untuk menunjukan
sumber perolehan kekayaannya yang tidak wajar berasal dari bisnis, padahal
merupakan hasil rekayasa dengan bantuan gatekeepers.

Undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai setiap orang yang


menyembunyikan asal usul harta kekayaannya saja, melainkan juga mengatur
7
mengenai setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini tertuang dengan isi pasal 5 di
dalam undangundang ini. Apabila seseeorang melanggar salah satu dan/atau lebih
dari keempat pasal tersebut, maka seseorang dapat dikatakan telah melakukan
tindak pidana pencucian uang atau money laundering.

Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana


Pencucian Uang, bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang dapat terjadi dikarenakan
beberapa tindak pidana asal yang telah terjadi terlebih dahulu, sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 2 undang-undang tersebut.

Pada Pasal 189 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk
dapat menghukum terdakwa, hakim harus yakin atas dua alat bukti yang
disampaikan penuntut umum di sidang pengadilan. Dua alat bukti biasanya
disampaikan untuk masing-masing unsur tindak pidana. Berdasarkan Pasal 68
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hukum acara yang dipakai dalam
pembuktian adalah hukum acara yang diatur dalam KUHAP dan undang-undang lain
yang juga mengatur hukum acara seperti Undang-Undang TPPU, dan Undang-
Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk tindak pidana
asal pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut umum.

Sementara itu, dalam perkara TPPU dikenal adanya pembuktian terbalik, yaitu
terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara itu
bukan berasal dari tindak pidana. Unsur yang harus dibuktikan oleh terdakwa, yaitu
objek perkara yang berupa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal dari tindak pidana. Untuk unsur lainnya tetap harus dibuktikan oleh jaksa
penuntut umum.

Teori pembuktian atau sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif
diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. Indonesia menganut
sistem pembuktian yang disebut dengan sistem pembuktian negatif (negatief
wettelijk) seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut pasal ini untuk dapat
menghukum seseorang, hakim mendasarkan pada dua alat bukti yang sah menurut

8
undang-undang, dan terdapat keyakinan hakim, bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam perkembangan sistem pembuktian pidana juga mengenal sesuatu yang


baru, yakni sistem pembalikan beban pembuktian (Omkering van het bewijslast).
Sistem pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal masyarakat dengan
pembuktian terbalik merupakan sistem yang meletakkan beban pembuktian pada
tersangka. Artinya, lazimnya jika merujuk pada KUHAP maka yang berhak
membuktikan kesalahan terdakwa ialah jaksa penuntut umum akan tetapi sistem
pembuktian terbalik terdakwa (penasihat hukum) akan membuktikan sebaliknya
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan.

Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan TPPU mengatur tentang pembalikan beban pembuktian atau
pembuktian terbalik. Pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur
bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan
bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Selanjutnya,
berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim memerintahkan
terdakwa agar membuktikan, bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana asal yang disebut di Pasal 2 ayat
(1). Dengan demikian, kewajiban terdakwalah untuk membuktikan bahwa harta
kekayaan yang terkait dengan perkara TPPU bukan berasal dari tindak pidana asal,
misalnya korupsi.

2.2 Pembebanan Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Pembebanan Pembuktian Berdasarkan KUHP

Pembebanan pembuktian yang diatur dalam KUHAP dapat diketahui pada Pasal
66 KUHAP. Rumusan Pasal 66 KUHAP tersebut adalah “Tersangka atau terdakwa
tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Berdasarkan unsur dari pasal tersebut dapat
dipastikan bahwa seseorang yang berhadapan dengan proses hukum pidana
dengan kualitas tersangka atau terdakwa adalah tidak mempunyai beban untuk
membuktikan bahwa dirinya bersalah atau tidak atas perbuatan yang dilakukannya.

9
Selain ketentuan tersebut, tidak ada ketentuan lain yang mengatur mengenai
kepada siapa pembuktian dibebankan. Sehingga secara a contrario berdasarkan
ketentuan tersebut, proses pembuktian dibebankan kepada pihak lain selain
terdakwa. Sedangkan sebagaimana diketahui dalam suatu proses peradilan pidana
hanya terdapat dua pehak yang saling berhadapan yakni, antara Terdakwa dengan
Penuntut Umum. Dengan demikian, apabila Terdakwa tidak dibebani pembuktian,
maka beban tersebut berada pada Penuntut Umum.

Ketentuan Pasal 66 KUHAP sejatinya sejalan dengan asas presumption of


innocence atau praduga tidak bersalah. Asas tersebut menyatakan bahwa
seseorang dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah di pengadilan.5
Selain itu, implementasi asas tersebut dalam KUHAP juga secara jelas dapat
ditemui pada Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c, yakni “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Dalam perspektif hakim selaku pengadil, asas praduga tak bersalah mengikat
hakim dalam memeriksa perkara. Kondisi tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 8
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang
menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

b. Pembebanan Pembuktian Berdasarkan Undang Undang TPPU

Pembebanan pembuktian dalam TPPU secara tegas diatur pada Pasal 77 dan 78
UU 8/2010. Sebagai suatu subsidiary crime/tindak pidana lanjutan tentu TPPU
mempunyai karakter yang khas. Karekter khas tersebut menjadikan TPPU sebagai
delik khusus. TPPU menjadi suatu delik yang berbeda dengan delik pada umumnya
karena pengaturan mengenai TPPU terdapat dalam suatu undang undang tersendiri
yang secara khusus dibuat untuk mengatur tindak pidana tersebut.

Ketentuan mengenai pembuktian dalam undang-undang yang mengatur TPPU di


Indonesia memberikan beban pembuktian kepada terdakwa dalam perkara tindak
pidana tersebut. Beban pembuktian semacam ini dikenal sebagai proses

10
pembuktian terbalik. Dalam proses pembuktian terbalik tidak berlaku asas praduga
tidak bersalah atau presumption of innocence, melainkan asas yang menjiwai
ketentuan pembebanan pembuktian semacam itu adalah presumption of guilt atau
praduga bersalah. Presumption of guilt adalah prinsip yang menyatakan bahwa
seseorang dianggap bersalah kecuali terbukti tidak bersalah, sehingga beban
pembuktian ada pada tersangka atau terdakwa (orang yang dituduh), bukan
Penuntut Umum (penuduh).

Presumption of guilt pada prinsipnya tidak dikenal dalam KUHP. KUHP yang saat
ini berlaku mengenal dan menjunjung tinggi presumption of innocence. Hal tersbut
dapat dimengerti mengingat presumption of innocence adalah ciri dari due process
of law yang bertujuan untuk melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan
terjadinya kesewenang-wenangan oleh penguasa.

Presumption of guilt masuk mewarnai khasanah hukum di Indonesia dengan


berlakuknya UU 8/2010. Hal tersebut terlihat secara jelas dari karkter pembebanan
pembuktian dalam perkara TPPU sebagaimana diatur dalam regulasi tersebut. UU
8/2010 menempatkan beban pembuktian kepada terdakwa TPPU. Ketentuan
tersebut mempunyai kerangka berfikir yang menempatkan Terdakwa dalam keadaan
bersalah selama terdakwa tidak dapat membuktikan sebaliknya, dengan kata lain
terdakwa dapat menyelamatkan dirinya dari kesalahan yang dituduhkan kepadanya
selama Terdakwa mampu membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Presumption of guilt memang tidak diusung oleh due process model sebagai
model penyelesaian perkara tindak pidana yang linear dengan due process of law.
Namun, bukan berarti Presumption of guilt sebagaimana berlaku dalam
pembebanan pembuktian perkara TPPU adalah tidak sesuai dengan due process of
law. Penempatan Terdakwa dalam kondisi bersalah selama dirinya tidak dapat
membuktikan sebaliknya adalah dapat diterima sebagai suatu mekanisme yang
sejalan dengan due process of law apabila Terdakwa mendapatkan hak-hak
hukumnya serta tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dalam menjalani
proses hukum yang melibatkannya. Sehingga sekalipun Terdakwa ditepatkan dalam
posisi bersalah, hukum menjamin Terdakwa tersebut untuk memperoleh suatu
kesempatan yang layak untuk secara optimal membuktikan bahwa dirinya tidaklah

11
bersalah terlepas apakah fakta hukum yang terungkap dipersidangan kelak
membuktikan Terdakwa bersalah atau tidak.

c. Unsur Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang

a. “Setiap orang dengan sengaja” : “Setiap orang” adalah orang perseorangan


(natural person) atau korporasi (legal person), sedangkan “dengan sengaja” atau
“kesengajaan” adalah “menghendaki atau menginsyafi” atau “dengan kesadaran
penuh” atau “keyakinan dirinya” terjadinya suatu perbuatan atau tindakan beserta
akibat yang ditimbulkannya.

b. “Menempatkan harta kekayaan” adalah perbuatan memasukkan uang dari luar


Penyedia Jasa Keuangan ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, seperti menabung,
membuka giro dan mendepositokan uang.

c. “Mentransfer harta kekayaan” adalah perbuatan pemindahan uang dari Penyedia


Jasa Keuangan satu ke Penyedia Jasa Keuangan lain baik di dalam maupun di luar
negeri atau dari satu rekening ke rekening lainnya di kantor bank yang sama
ataupun bank yang bebeda.

d. “Membayarkan harta kekayaan” adalah menyerahkan sejumlah uang dari


seseorang kepada pihak lain.

e. “Membelanjakan harta kekayaan” adalah penyerahan sejumlah uang atas


pembelian suatu benda.

f. “Menghibahkan harta kekayaan” adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan


kebendaan secara hibah sebagaimana yang telah dikenal dalam pengertian hukum
secara umum.

g. “Menyumbangkan harta kekayaan” adalah pemberian sesuatu benda secara


cuma-cuma.

h. “Menitipkan harta kekayaan” adalah menyerahkan pengelolaan atau penguasaan


atas sesuatu benda dengan janji untuk diminta kembali atau sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata.

12
i. “Membawa ke luar negeri harta kekayaan” adalah kegiatan pembawaan uang
secara fisik melewati wilayah pabean RI.

j. “Menukarkan” adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara atau mekanisme


tukar menukar atas semua benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud, termasuk benda dalam bentuk mata uang tertentu
yang ditukar dengan mata uang yang lainnya dan jenis surat berharga satu yang
ditukar dengan surat berharga lainnya atau bentuk lainnya. Kegiatan penukaran
uang lazimnya dilakukan di Pedagang Valuta Asing dan Bank.

k. “Perbuatan lainnya” adalah perbuatan-perbuatan di luar perbuatan yang telah


diuraikan di atas.

l. “Dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta


kekayaan”, yaitu yang disembunyikan adalah asal usul harta kekayaan, sehingga
orang lain secara wajar tidak akan mengetahui asal usul harta kekayaan dari mana
asal atau sumbernya.

Menyembunyikan adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya, sehingga orang


lain tidak akan tahu asal usul harta kekayaan berasal antara lain tidak
menginformasikan kepada petugas Penyedia Jasa Keuangan mengenai asal usul
sumber dananya dalam rangka penempatan (placement), selanjutnya berupaya
lebih menjauhkan harta kekayaan (uang) dari pelaku dan kejahatannya melalui
pentransferan baik di dalam maupun ke luar negeri, atas nama sendiri atau pihak
lain atau melalui perusahaan fiktif yang diciptakan atau perusahaan illegal dan
seterusnya (layering). Setelah placement dan layering berJalan mulus, biasanya
pelaku dapat menggunakan harta kekayaannya secara aman baik untuk kegiatan
yang sah atau illegal (integration). Dalam konteks money laundering, ketiga tahapan
tidak harus semua dilalui, adakalanya hanya cukup pada tahapan placement,
layering atau placement langsung ke integration.

Sedangkan pengertian menyamarkan antara lain adalah perbuatan mencampur


uang haram dengan uang halal agar uang haram nampak seolah-olah berasal dari
kegiatan yang sah, menukarkan uang haram dengan mata uang lainnya dan
sebagainya.

13
m. “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat”
adalah orang perseorangan (natural person) atau korporasi (legal person).
Sedangkan “percobaan” adalah perbuatan untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang yaitu perbuatan yang batal dilakukan oleh sebab-sebab diluar
kehendak pelaku. “Pembantuan” adalah perbuatan-perbuatan untuk membantu
pelaku melakukan tindak pidana pencucian uang. “Permufakatan Jahat” adalah
persekongkolan antara seorang dengan orang lainnya untuk melakukan tindak
pidana pencucian uang.

n. “Menerima atau menguasai” : “Menerima” adalah memperoleh atau


mendapatkan. “Menguasai” adalah melakukan penguasaan langsung atau tidak
langsung atas harta kekayaan.

o. “Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”, adalah
suatu keadaan dimana seseorang mengetahui secara jelas dan pasti atau setidak-
tidaknya dapat memperkirakan berdasarkan fakta atau informasi yang dimiliki bahwa
sejumlah uang atau harga kekayaan merupakan hasil dari suatu perbuatan melawan
hukum.

p. “Atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain” adalah perbuatan yang
dilakukan dengan menggunakan nama atau identitas diri sendiri. “Atas nama orang
lain” adalah perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan nama atau identitas
orang lain atau nominee.

2.3 Dampak tindak pidana pencucian uang

1. Dampak tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) terhadap Sektor


Ekonomi dan Bisnis
Pada dasarnya tindak pidana pencucian uang tidak merugikan seorang atau
perusahaan tertentu secara langsung. Sepintas lalu tampaknya tindak pidana
pencucian uang tidak ada korbannya. Pencucian uang tidak seperti halnya dengan
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang
menimbulkan kerugian bagi korbannya. Pencucian uang, menurut Billy Steel,
merupakan “it seem to be a victimless crime”
John McDowell dan Gary Novis mengemukakan berbagai dampak tindak pidana
pencucian uang terhadap sector perekonomian dan bisnis. Mereka mengemukakan
dampak-dampak tindak pidana pencucian uang itu sebagai berikut :

14
a. Merongrong sektor bisnis swasta yang sah (undermining the legitimate
private bussines sector)
b. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (undermining the integrity of
financial market)
c. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya (Loss of control of economic policy)
d. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic distortion and
instability)

15
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa


pembebanan pembuktian TPPU adalah menganut proses pembuktian terbalik.
Pembuktian tersebut menempatkan beban pembuktian pada terdakwa. Mekanisme
pembuktian tersebut merupakan bentuk konkrit dari crime control model. Paradigma
crime control model dalam pembebanan pembuktian TPPU dapat dikatakan sesuai
dengan due process of law, sejauh penerapan crime control model tersebut masih
memenuhi unsur-unsur minimal dari suatu due process of law. Perbedaan
pembebanan pembuktian dalam perkara TPPU yang mengusung crime control
model dengan pembebanan pembuktian sebagaimana diatur KUHAP yang
mengusung due process model tidak perlu dikhawatirkan sejauh penerapan crime
control model tersebut masih memenuhi unsur-unsur minimal dari suatu due process
of law. Sekalipun perbedaan tersebut adalah suatu konflik norma, namun hal
tersebut dapat diselesaikan dengan diterapkannya asas preferensi yang berbunyi
“Lex Specialis Derogat Legi Generalis”. Sehingga berdasarkan asas tersebut,
penyimpangan terhadap KUHAP (yang bersifat umum) adalah dimungkinkan apabila
Undang-undang TPPU (yang bersifat khusus) menentukan berbeda.

B.SARAN

1. Ketentuan dalam tindak pidana pencucian uang sebaiknya lebih disempurnakan


agar para pelaku kejahatan tidak dapat lolos dari jeratan hukum. Dengan
disempurnakannya ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat
mengidentifikasi masuknya dana dalam sistem keuangan, pembawaan uang tunai
melewati batas negara, transfer sistem keuangan, transfer dari sistem keuangan ke

luar sistem keuangan, pengambilalihan saham atau aset lainnya, penggabungan


perusahaan, dan pembentukan kelompok usaha.

2. Sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan perjanjian ekstradisi ke berbagai


negara agar para pelaku kejahatan korupsi yang merupakan

16
akar dari tindak pidana pencucian uang tidak dapat kabur lagi. Dengan
meningkatkan perjanjian ekstradisi selain menjaga stabilitas perekonomian negara
juga dapat meningkatkan persahabatan negara menjadi semakin membaik

17
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. UUD 1945.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran
Negara
(LN) Tahun 2010 Nomor 122.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara
Pidana (KUHAP). Cetakan pertama. 2011. Jakarta: Sinar Grafika.
Buku:
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi.
Bandung:Mandar Maju. Hal. 106Effendy, Marwan. 2013. “Korupsi dan Strategi
Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya”. Jakarta: Referensi.
Ermansjah, Djaja.2009. “Memberantas Korupsi Bersama KPK”. Jakarta: Sinar
Grafika.
Fahrojih, Ikwan. 2016. Hukum Acara Pidana Korupsi. Malang: Setaara Press.
Garnasih, Yenti. 2017. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan
Permasalahannya di
Indonesia. Depok: Rajawali Pers. Edisi 1. Cetakan 4.
Hiariej, Eddy O.S. 2012. Teori Dan Hukum Pembuktian. Jakarta:Erlangga.
JE Sahetapy&Agustibus Pohan (ed). 2007. Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya
Bakti.
Ramdan, Ajie. 2017. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014
Terhadap Pemberantasan Money Laundering Perbandingan Indonesia dengan Tiga
Negara Lain. Jurnal Penelitian Hukum. Bandung: Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

18
Soejono D. 1976. Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention). Bandung: Alumni.
Supriyadi Widodo Eddyono & Yonatan ISkandar Chandra.2015. Mengurai
Implementasi
dan Tantangan Anti Pencucian Uang di Indonesia. Jakarta: Institute For Criminal
Justice Reform
Soerjono Sukanto. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Jurnal (Online)
Junaidi Muhammad, dkk. 2018. Pemisahan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian
Uang
(Money Laundering) dari Tindak Pidana Korupsi Sebagai Tindak Pidana Asal
(Predicate Crime). USU Law Journal.
Ramdan, Ajie. 2017. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014
Terhadap Pemberantasan Money Laundering Perbandingan Indonesia dengan Tiga
Negara Lain. Jurnal Penelitian Hukum. Bandung: Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

19

Anda mungkin juga menyukai