Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ANALISIS TERHADAP PEMBERIAN REMISI


NARAPIDANA KORUPSI

Disusun Oleh :

Dita Hanifa Salsabilla B011191074

Kelas Tindak Pidana Korupsi dan TPPU (C)

Fakultas Hukum

Ilmu Hukum

Universitas Hasanuddin

2021/2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….

BAB I : PENDAHULUAN

A . Latar Belakang…………………………………………………………..............

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………….

BAB II : PEMBAHASAN

1. Bagaimana Moratorium Remisi bagi Koruptor..…………………………………….

2. Putusan MK No. 41/PUU-XIX/2021………………………………………………….

3. Pemberian Hak Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Dalam Kaitannya Sebagai


Justice Collaborator ……………………………………………………………………

4. Mengapa terjadi pro dan kontra tentang kebijakan pemberian remisi bagi koruptor....

BAB III : PENUTUP

A . Kesimpulan………………………………………………………………………..

B. Saran……………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….......
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara sosiologis, pemberian remisi untuk narapidana sesungguhnya sangat


melukai masyarakat yang telah lama menanti kesejahteraan dan keadilan.
Banyak pihak berpendapat, merosotnya kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan
korupsi yang merajalela di Indonesia. Di tambah lagi, banyak pihak yang mendukung
rencana Kementerian Hukum dan HAM menetapkan moratorium remisi bagi narapidana.
Hal itu menunjukkan banyak pihak yang menentang kebijakan remisi tersebut.

Pemberian remisi oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah fakta yang dapat
menjadi pemicu pertentanganpertentangan dalam masyarakat dewasa ini. Remisi yang
diberikan kepada narapidana kasus korupsi pada peringatan Hari Kemerdekaan dan Hari
Raya Idul Fitri telah menjadi sesuatu yang rutin. Secara umum, remisi itu diberikan
berdasar pada dua kriteria remisi jangka panjang, yaitu berkelakuan baik selama
dipenjara dan telah menjalani pemidanaan setidaknya enam bulan.

Pasal 34 paragraf (3) Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2006 menentukan bahwa remisi
dapat diberikan setelah narapidana menjalani sepertiga masa tahanan. Korupsi adalah
kejahatan luar biasa sebagaimana United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan HAM atau kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pemidanaan maksimal semestinya diberikan kepada pelakunya, tanpa
remisi. Mereka telah merugikan keuangan Negara yang berujung pada kerugian jutaan
warga Negara, sehingga mereka tidak boleh diistimewakan. Mereka semestinya
dimiskinkan dan mendapat sanksi sosial, bukan mendapat keistimewaan selama
dipenjara. Pemidanaan tersebut harusnya tidak hanya menjadi pelajaran bagi si
narapidana, tetapi juga menjadi pelajaran bagi jutaan warga negara di luar tembok
penjara. Pencabutan dan/atau pengetatan pemberian remisi untuk narapidana korupsi
adalah kebijakan yang tepat untuk diterapkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Moratorium Remisi bagi Koruptor ?
2. Putusan MK No. 41/PUU-XIX/2021
3. Bagaimana Pemberian Hak Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Dalam
Kaitannya Sebagai Justice Collaborator ?
4. Mengapa terjadi pro dan kontra tentang kebijakan pemberian remisi bagi koruptor
BAB II

PEMBAHASAN

1. Moratorium Remisi bagi Koruptor

Banyak pihak yang mendukung penerbitan moratorium remisi bagi para koruptor. Roy
Salam peneliti Indonesia Budget Center misalnya mengemukakan, bahwa pemerintah
diminta segera merealisasikan kebijakan penghentian sementara (moratorium) pemberian
remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Roy selanjutnya mengemukakan, bahwa
moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor harus dikawal dan jangan
sampai wacana ini keras awalnya saja, tetapi kemps di tengah jalan. Hanya sekedar
pencitraan pemerintah saat ini

Pendapat lain yang mendukung kebijakan moratorium remisi bagi koruptor juga
disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menyatakan, bahwa
untuk jangka panjang, remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor perlu dihapus
melalui legislative review.

Sebenarnya sebagian besar masyarakat mendukung kebijakan penghapusan remisi


bagi koruptor, namun untuk memulainya tidak bisa dilaksanakan sekarang tetapi harus
didahului dengan mengganti peraturan perundang-undangannya. Penggantian inilah yang
belum dilakukan, sehingga kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang menunda
(moratorium) remisi terhadap pelaku korupsi menjadi kontroversial.

Dukungan juga diungkapkan oleh Komisi III DPR RI sebagaimana dinyatakan oleh
Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edy:

“Komisi III DPR pada prinsipnya mendukung moratorium remisi bagi koruptor,
namun remisi perlu dipatenkan dalam bentuk revisi UU Pemasyarakatan. Itu terserah
Kemenhukham, kalau memang revisi UU mau dipercepat, DPR selalu terbuka.
Bahkan Komisi III tidak mempermasalahkan jika semua remisi dihapuskan dengan
tujuan agar semua orang jera melakukan kejahatan.”

Deny Indrayana selanjutnya mengemukakan, bahwa Kementerian Hukum dan HAM


melakukan moratorium pemberian remisi atau keringanan waktu hukuman untuk
koruptor kecuali kepada koruptor yang membantu pengungkapan kasus-kasus korupsi
yang lebih besar. Seperti Agus Condro masih bisa diberikan remisi karena banyak
membantu KPK dan aparat penegak hukum dalam pengungkapan berbagai kasus korupsi
yang besar. Dalam masa transisi penegakan hukum, kebijakan pemerintah
memperketat syarat remisi, bahkan menghapuskan sekalipun, tidak layak diperdebatkan
dengan bersandar pada hak asasi koruptor. Perbuatan tercela yang dilakukan oleh
koruptor telah merampas hak asasi rakyat banyak, sehingga harus diperlakukan luar biasa
dalam proses hukumnya, yang tidak hanya selesai saat hakim menjatuhkan putusan.
Keluarbiasaan tersebut harus sampai pada pelaksanaan putusan dalam lembaga
pemasyarakatan, agar koruptor menyadari kesalahan.

Pelaksanaan hukuman di lembaga pemasyarakatan adalah bagian dari proses


bekerjanya criminal justice system, dan tidak berarti telah selesai saat hakim menjatuhkan
putusannya. Memperketat bahkan menghapuskan remisi bagi koruptor, pada hakikatnya
merupakan keniscayaan sebagai kebijakan progresif terhadap perbuatan korupsi. Dalam
merespon fenomena sosial yang berkembang saat ini termasuk korupsi, hukum Indonesia
harus menunjukkan keberadaan dan wataknya sesuai dengan perkembangan dan
kompleksitas interaksi nasional maupun internasional.

Adanya pro kontra di dalam masyarakat tentang moratorium remisi bagi para
koruptor, pada prinsipnya menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum secara
normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara
perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dan perilaku kelembagaan hukum yang
semestinya. Banyak pihak yang kecewa dan sakit hati melihat ringannya
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku korupsi. Kekecewaan dan sakit hati
tersebut bertambah besar manakala mendengar, bahwa terpidana kasus korupsi mendapat
perlakuan dan fasilitas yang sangat istimewa di dalam penjara. Dalam kaidah hukum
secara tegas dinyatakan, bahwa semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum (equality before the law).

Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara subjek hukum yang satu dengan subjek
hukum yang lain di hadapan hukum. Prinsip persamaan kedudukan manusia di hadapan
hukum ini bukan hanya merupakan prinsip hukum yang paling mendasar tetapi juga
merupakan prinsip keadilan. Hak untuk memperoleh keadilan merupakan salah satu hak
dasar manusia, karena hak itu terkait langsung dengan harkat dan martabat manusia.
Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila ada perlakuan yang sama bagi setiap orang
yang mempunyai kondisi yang sama.

Menanggapi berkembangnya pro dan kontra berkaitan dengan rencana moratorium


remisi bagi koruptor, Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Chambliss dan
Seidmann berpendapat, bahwa dalam kacamata sosiologi hukum, undang-undang, aturan,
doktrin dan fiksi hukum itu sering dianggap sebagai mitos-mitos dalam hukum yang
dibuktikan kebohongannya dalam kehidupan hukum sehari-hari.
Maksud dari penggunaan istilah “mitos‟ di sini adalah pendapat orang yang
menganggap bahwa hukum itu dilaksanakan persis seperti yang tertulis dalam undang-
undang. Kenyataannya antara yang tertulis itu dengan realitasnya sering terdapat
perbedaan yang besar. Dengan demikian pengkajian hukum yang cermat dan seksama
tidak dapat mengabaikan faktor manusianya.

2. Putusan MK No. 41/PUU-XIX/2021

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang


Pemasyarakatan yang dilayangkan oleh terpidana korupsi, OC Kaligis, beberapa waktu
lalu mengundang diskursus di tengah masyarakat. Sebab, ada sejumlah pihak yang
beranggapan putusan itu telah membuka kesempatan lebar bagi terpidana korupsi untuk
mendapatkan pengurangan hukuman atau remisi secara tanpa syarat. Maka dari itu, ada
sejumlah argumentasi untuk meluruskan ihwal hal tersebut.

Secara umum, putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 sama sekali tidak


menghapuskan pembatasan remisi bagi narapidana korupsi. Sebab, dalam banyak putusan
MK, diantaranya nomor 82 /PUUXV/2017 dan nomor 54/PUU-XV/2017, juga berbicara
hal yang sama. Untuk memperjelasnya, berikut analisis yang telah dibuat.

1. Pembatasan Hak Diperbolehkan UUD 1945 Dua putusan MK tahun 2017 sebagaimana
disampaikan sebelumnya telah menyatakan bahwa pembatasan hak dalam pengaturan
remisi merupakan sesuatu yang tidak melanggar HAM. Konsep itu sesuai dengan
gagasan pembatasan hak dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan
pembatasan hak melalui undang-undang. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembatasan hak itu didelegasikan undang-undang
kepada Peraturan Pemerintah.

Bahkan pengaturan lebih lanjut terkait pengetatan pemberian remisi kepada terpidana
dengan kategori kejahatan khusus, salah satunya korupsi, telah dinyatakan konstitusional
oleh Mahkamah Agung (MA). Hal itu tergambar dalam putusan MA Nomor 51
P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015. MA menegaskan bahwa perbedaan syarat
pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis
kejahatan, sifat berbahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang
terpidana. Maka dari itu, pendapat MK mestinya diabaikan karena bertolak belakang
dengan lembaga yang memiliki kewenangan langsung menguji PP 99/2012.

2. Mahkamah Menolak Seluruh Pokok Permohonan OC Kaligis Masyarakat dan pembuat


keputusan administratif atau pemerintah tidak dapat memaknai berlebihan putusan MK
tersebut. Sebab, mahkamah sama sekali tidak mengabulkan pokok permohonan yang
diajukan oleh OC Kaligis. Satu sisi memang mahkamah memberikan pertimbangan
terkait model pengaturan mengenai pemberian remisi. Akan tetapi, sebagaimana
dinyatakan dalam putusan, MK tidak memiliki kewenangan mengoreksi peraturan
pemerintah terkait aturan teknis pembatasan remisi. Maka dari itu, keliru jika kemudian
putusan MK tersebut dianggap membuka ruang untuk mengatur ulang syarat pemberian
remisi bagi narapidana korupsi.

3. Mahkamah Tidak Membatalkan atau Menafsirkan Lain UU Pemasyarakatan Putusan


MK sama sekali tidak membatalkan dan menafsirkan UU Pemasyarakatan selain daripada
yang eksis berlaku saat ini. Bahkan, MK juga menjadikan putusan-putusan MK
sebelumnya yang juga sempat diuji oleh OC Kaligis sebagai dasar untuk menyatakan UU
Pemasyarakatan sah dan konstitusional.

4. Mahkamah Bukan Membuka Remisi untuk Narapidana Korupsi, Tetapi Menghendaki


Model Baru Pemberian Remisi MK dalam putusannya menyatakan tidak hendak ikut
campur dalam penentuan pemberian remisi terutama terkait eksistensi Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012). Namun permasalahannya adalah
pandangan MK tentang model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan. Dari
sana, seolah kesan yang timbul, baik pembatasan maupun pemberian remisi melalui PP
99/2012 merupakan suatu kesalahan. Padahal, MK sendiri dalam putusan tersebut sudah
menyebutkan bahwa wilayah pengujian PP bukan merupakan bagian kewenangannya.
Maka dari itu, putusan MK tersebut jelas error in objecto karena membahas sesuatu yang
bukan objek perkaranya serta majelis hakim konstitusi terlihat memaksakan diri
mengeluarkan pendapat sehingga membuka ruang tafisr berbeda di tengah masyarakat.

5. Putusan Mahkamah Tidak Tegas Meskipun MK sama sekali tidak membatalkan


peraturan-peraturan yang ada terkait remisi, namun putusan ini tidak tegas.
Sederhananya, jika memang putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan-putusan
MK terdahulu maka tidak perlu lagi komentar-komentar lain di luar substansi
permohonan dengan berbagai alasan. Itu sebabnya komentar MK terkait remisi dan
kewenangan hakim untuk menentukannya terkesan tidak tegas dalam melindungi
putusan-putusan sebelumnya.

Ketidaktegasan itu justru semakin memperlihatkan ketiadaan sense of crisis terhadap


kejahatan korupsi di Indonesia. Sebagaimana dipahami, praktik korup masih merajarela
dan menjadi sumber utama penghambat kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya itu, MK
juga gagal dalam memahami pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang
membutuhkan perlakuan khusus untuk dapat memberikan efek jera kepada pelaku
kejahatan. Sehingga, kalau seluruh terpidana, tanpa terkecuali, dapat dengan mudah
mendapatkan remisi, bukankah itu merupakan pandangan yang menyamaratakan semua
tindak pidana? Padahal putusan-putusan MK terdahulu tegas mengesahkan pembatasan
hak untuk menerima remisi bagi pelaku kejahatan-kejahatan khusus seperti korupsi.

6. Putusan Mahkamah Keliru dalam Melihat Persoalan Terkini Dalam salah satu butir
pandangannya, MK menyebutkan bahwa persyaratan pemberian remisi bagi terpidana
dengan kejahatan khusus berdampak pada situasi overcrowded di lembaga
pemasyarakatan. Jelas pandangan MK keliru, sebab, mengacu pada data per Maret tahun
2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) jika dibandingkan dengan
total keseluruhan warga binaan (270.445 orang). Dalam konteks kejahatan lain, misalnya,
narkoba, sepertinya permasalahannya bukan pada pengetatan remisi, melainkan undang-
undang dan implementasi dari penegak hukum.

7. Putusan Mahkamah Tidak Dapat Dijadikan Alasan Mengubah PP 99/2012 Mahkamah


sama sekali tidak berwenang menafsirkan apapun yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun
2012, sebab itu bukan objek kewenangannya. Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-
undang terhadap undang-undang dasar. Sehingga, pemerintah tidak dapat berargumentasi
terhadap pandangan mahkamah di luar objek permohonan untuk mengubah PP 99/2012
yang memberikan pembatasan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan
tertentu, termasuk korupsi.

Demikian pandangan hukum kami terhadap Putusan Mahkamah Nomor


41/PUU-XIX/2021 yang menetapkan konstitusionalitas UU Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Hal ini mengartikan dengan sendirinya putusan itu mengakui
keabsahan peraturan-peraturan turunan terkait, yakni PP 99/2012. Sebab, UU
Pemasyarakatan adalah payung hukum berlakunya peraturan tersebut.

Alasan MK Tolak Permohonan OC Kaligis Soal Aturan Remisi

Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 tidak bersifat multitafsir dan diskriminatif, sehingga
dalil Pemohon yang menyatakan norma a quo bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1)
UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Perjuangan advokat senior Otto Cornelis (OC) Kaligis memohon pengujian Pasal 14
huruf i UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terkait hak narapidana
mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) akhirnya kandas. Mahkamah Konstitusi
(MK) menolak permohonan OC Kaligis dengan dalih pasal yang diuji tidak diskriminatif
dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak beralasan menurut
hukum.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap
Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar Putusan Nomor 41/PUU-XIX/2021,
Kamis (30/9/2021) seperti dilansir laman MK.

Dalam permohonannya, OC Kaligis menyampaikan kerugian konstitusional yang


dialaminya. Ia mengaku telah berupaya untuk mendapatkan remisi melalui Ditjen
Pemasyarakatan. Namun, upaya remisi ini terhalang dengan adanya PP No.99 Tahun
2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Ditjen Pemasyarakatan memajukan supaya saya mendapatkan remisi melalui Kabid


Pembinaan dari Lapas Sukamiskin. Pada dasarnya disetujui, tapi terakhir ada surat dari
KPK yang menyatakan saya tidak mungkin mendapat remisi karena PP Nomor 99 dan
saya bukan justice collaborator (pelaku yang bekerja sama, red). Bagaimana mungkin
saya justice collaborator untuk hal yang sama sekali tidak saya ketahui? Karenanya saya
merasa ini tidak adil,” ujar OC Kaligis dalam persidangan sebelum, Kamis (26/8/2021)
lalu.

Karena itu, dalam pandangannya PP Nomor 99 Tahun 2012 itu bertentangan dengan
konstitusi, Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945. OC Kaligis meminta MK menyatakan
Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai pemberian remisi berlaku
secara diskriminatif.

Kalaupun keberadaan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dipandang perlu utuk
dipertahankan, maka harus dimaknai bahwa pemberian remisi tersebut berlaku secara
umum tanpa diskriminasi. Ia juga meminta Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan
harus dimaknai berlaku untuk seluruh narapidana, dengan syarat berkelakuan baik, sudah
menjalani masa pidana sedikit-dikitnya 6 bulan, tidak dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup, dan tidak dipidana dengan hukuman mati.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan


tidak bersifat diskriminatif karena hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana,
termasuk hak untuk mendapatkan remisi (huruf i), tanpa disertai kondisi atau persyaratan
terpenuhinya hak tersebut.

3. Pemberian Hak Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Dalam Kaitannya Sebagai


Justice Collaborator
Justice collaborator memainkan peran penting dalam memerangi kejahatan
terorganisir, di mana metode kerja sistem peradilan pidana yang ada lemah, karena
mereka sering tidak dapat mendeteksi, memerangi, dan memberantas berbagai jenis
kejahatan terorganisir. Kenyataan dalam sistem peradilan Indonesia justru sebaliknya,
dimana seorang yudisial collaborator tetap menerima hukuman yang sama. Kasus Agus
Condro yang tetap menjalani hukuman yang sama meski menjadi pelapor dan
mengungkap kasus suap travellers cheque yang melibatkan banyak pelaku utama tindak
pidana tersebut. Penuntut Umum dan Penyidik memberikan status yudisial collaborator
kepada terdakwa dan tersangka yang membantu proses penyidikan hingga penuntutan,
sehingga pelaku yang merupakan “korban” atau bukan pelaku utama dapat memberikan
keterangan yang dapat dicantumkan dalam Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk
melacak kasus korupsi dari Januari 2016 hingga Juni 2016, peneliti merekomendasikan:
“Pengadilan juga harus mempertimbangkan untuk mencabut hak rujukan jika terdakwa
bukan anggota peradilan”. Dinyatakan bahwa seseorang yang divonis 10 tahun harus
menjalani 10 tahun dengan sebaik-baiknya. Jadi pada usia 10 tahun, mereka bebas dan
mereka menjadi orang yang terhalang dari kejahatan dan tidak pernah melakukannya lagi.
Timbul pertanyaan, apakah pantas memberikan dekrit kepada terpidana korupsi dan
apakah dekrit itu juga memerlukan perubahan bagi terpidana korupsi.
Sejumlah peraturan perundang-undangan telah dicabut dan diganti dengan peraturan
baru yang lebih sesuai dengan kondisi sosial dan bentuk hukum yang berlaku. Sejak
Undang-Undang Pemasyarakatan mulai berlaku, banyak peraturan teknis dan
pelaksanaan yang telah diundangkan, yaitu; Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dan terakhir Peraturan Pemerintah Nomor
99 Tahun 2012. Sesuai dengan peraturan saat ini, pekerja peradilan akan terus menerima
perlindungan keamanan dan pelaksanaan hak-hak mereka.
Dalam draf revisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012, ketentuan tentang
kolaborator yudisial juga dihilangkan sebagai salah satu prasyarat terpenting untuk
memperoleh pengampunan bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika.
Namun penghapusan tersebut bukan berarti fungsi atau keberadaan yudisial kolaborator
dihilangkan, tetapi diharapkan yuridis kolaborator dapat diatur dalam peraturan lain yang
terpisah. Oleh karena itu, amandemen terhadap ordonansi yang mengeluarkan dekrit
kepada narapidana memerlukan pertimbangan hukum yang kuat. Lagi pula, terpidana
harus dimudahkan untuk mendapatkan penetapan, karena bukan lagi soal menghukum
terpidana sebagai pembalasan, tetapi menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya
dan tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama.

Saat menulis peraturan baru, Anda harus tetap mengikuti peraturan pelaksanaan
sehingga tidak menimbulkan konflik selama implementasi. Memang orang yang
bertempat tinggal sebagai kolaborator yudisial dalam tindak pidana korupsi menyimpan
banyak kontroversi, dan pemberian rujukan termasuk kerjasama yudisial sebagai salah
satu syaratnya. Oleh karena itu, perlu mengkaji dan membahas kembali peraturan
pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian keputusan ini. Adanya rencana
peninjauan peraturan pemerintah harus mempertimbangkan urgensi posisi yudisial
collaborator, terutama dalam kasus korupsi, jika layak untuk mendapatkan keputusan jika
Anda bersedia bekerja sama dengan lembaga penegak hukum untuk menemukan
kejahatan.
Harus ada transparansi dalam mengeluarkan dekrit kepada personel kehakiman dalam
kasus korupsi. Jadi setiap narapidana bisa melihat siapa yang mendapat rujukan atau
tidak, beserta jumlah tahun. Adanya referral online dapat membuat proses pengurangan
hukuman menjadi lebih terbuka, sehingga tidak ada bias tentang referral yang dapat
dibeli. Publik tidak lagi curiga dengan keluarnya informasi dari Departemen Hak Asasi
Manusia

4. Pro Kontra Kebijakan Remisi Bagi Koruptor

Remisi bagi para koruptor secara yuridis diatur khusus berdasarkan


ketentuan Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam peraturan
pemerintah tersebut selanjutnya diatur, bahwa remisi bagi narapidana kasus korupsi dapat
diberikan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Berkelakuan baik;
2) Telah menjalani 1/3 masa pidana.
Dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Moratorium dan Remisi Untuk Koruptor, Legal
atau Melanggar Hukum”, Yusril Ihza Mahendra mengemukakan, bahwa hak remisi ini
diatur bukan hanya dalam undangundang tetapi juga konstitusi, konvensi PBB melawan
korupsi (UN Convention Against Corruption), Tokyo Rules, dan sebagainya. Yusril
selanjutnya menyatakan, bahwa hak remisi ini dalam seluruh peraturan domestik dan
internasional yang ada melekat pada narapidana. Sudah menjadi aturan di seluruh dunia,
bahwa hukuman penjara dapat dikurangi atau dipercepat jika narapidana memiliki
kelakuan baik.
Beberapa argumen yang dikemukakan oleh Yusril untuk mendukung
pernyataannya adalah:
1) Indonesia bukan negara kekuasaan atau machtstaat, tetapi Negara hukum atau
rechtstaat, oleh karena itu kebijakan penghilangan remisi merupakan tindakan otoriter;
2) Penghilangan remisi melanggar HAM para terpidana korupsi yang berkelakuan baik
setelah menjalani masa hukuman;
3) Sifat diskriminasi remisi, yang hanya dianggap dilakukan dalam hari raya keyakinan
tertentu dan tidak di hari raya keyakinan yang lainnya;
4) Penghilangan remisi juga melanggar Konvensi PBB tentang korupsi;
5) Kebijakan remisi hanya sekedar politik citra, bukan motif murni penegakan hukum.
Pendapat yang menolak penghapusan remisi bagi koruptor juga diungkapkan oleh Ketua
Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim yang menyatakan, bahwa
remisi pada dasarnya merupakan insentif bagi terpidana untuk menstimulasikan agar
merubah diri selama di penjara oleh karena secara normatif seorang terpidana sudah
dirampas kebebasannya dengan menjalani hukuman penjara.
Namun setelah masuk ke dalam penjara, mereka tetap mempunyai hak minimal yaitu
mendapatkan remisi dan/atau pembebasan bersyarat. Bila hak mendapatkan remisi
dan/atau pembebasan bersyarat dicabut, secara otomatis haknya turut dirampas. Ini tidak
dapat dibenarkan dengan alasan apapun juga. Pendapat lain yang menentang kebijakan
pemberian remisi bagi koruptor diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Jimly Assidiqie yang menyatakan, bahwa:
Kebijakan Pak Amir Syamsudin bisa dikatakan melanggar hukum, mungkin buru-buru
atau mengejar harapan masyarakat. Niatnya sudah baik, cuma caranya perlu dievaluasi.
Jangan sembrono, harus prosedural, datanya lengkap dan untuk perbaikan bukan cari
popularitas.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extra ordinary crime), bahkan, United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai
kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime
against humanity). Koruptor harusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka
sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat, sehingga
tidak pantas mendapat keistimewaan. Justru koruptor harusnya dimiskinkan dan kalau
perlu diberi sanksi sosial. Memang penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun,
penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan termasuk
mendapat remisi. Menghukum seseorang koruptor secara maksimal bukan hanya
pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga menjadi pelajaran bagi jutaan
orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.
Penghapusan dan/atau memperketat pemberian remisi bagi koruptor merupakan
kebijakan yang layak untuk diterapkan. Alasan kelakuan baik selama berada di penjara
tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi.

Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama dipenjara, alasan tersebut
tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Apalagi biasanya
motif mereka berkelakuan baik di penjara hanya untuk memperoleh remisi.

2. Adanya pro kontra di dalam masyarakat tentang moratorium remisi bagi para koruptor,
pada prinsipnya menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum secara normatif (das
sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum
masyarakat yang seharusnya dan perilaku kelembagaan hukum yang semestinya. Banyak
pihak yang kecewa dan sakit hati melihat ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim bagi pelaku korupsi. Kekecewaan dan sakit hati tersebut bertambah besar
manakala mendengar, bahwa terpidana kasus korupsi mendapat perlakuan dan fasilitas
yang sangat istimewa di dalam penjara. Dalam masa transisi penegakan hukum,
kebijakan pemerintah memperketat syarat remisi, bahkan menghapuskan sekalipun, tidak
layak diperdebatkan dengan bersandar pada hak asasi koruptor. Perbuatan tercela yang
dilakukan oleh koruptor telah merampas hak asasi rakyat banyak, sehingga harus
diperlakukan luar biasa dalam proses hukumnya, yang tidak hanya selesai saat hakim
menjatuhkan putusan. Keluarbiasaan tersebut harus sampai pada pelaksanaan putusan
dalam lembaga pemasyarakatan, agar koruptor menyadari kesalahan. Menanggapi
berkembangnya pro dan kontra berkaitan dengan rencana moratorium remisi bagi
koruptor, Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Chambliss dan Seidmann
berpendapat, bahwa dalam kacamata sosiologi hukum, undang-undang, aturan, doktrin
dan fiksi hukum itu sering dianggap sebagai mitos-mitos dalam hukum yang dibuktikan
kebohongannya dalam kehidupan hukum sehari-hari.

Saran

1. Seharusnya pemerintah bukan hanya memberlakukan moratorium atau penghapusan


remisi bagi para koruptor, akan tetapi juga untuk jangka panjang Undang Undang
Pemasyarakatan perlu direvisi.

2. Agar pemerintah lebih ketat dalam melakukan pengawasan di lembaga


pemasyarakatan untuk menghindari pemberian fasilitas khusus bagi narapidana kasus
korupsi.

3. Mahmakah Agung dan Jaksa Agung perlu menekankan agar Jaksa Penuntut Umum
dan Hakim yang menangani kasus korupsi, tidakkompromi dengan koruptor.

4. Jika terbukti bersalah, Jaksa Penuntut Umum harus menuntut koruptor hukuman
maksimal sesuai ketentuan pidana yang berlaku dan kemudian Hakim memvonisnya
sejalan dengan rasa keadilan masyarakat .

5. Tindakan untuk memiskinkan koruptor agar menjadi salah satu agenda penegakan
hukum yang melibatkan terpidana koruptor dengan jalan menyita seluruh aset yang
diduga berasal dari hasil korupsi selama proses penyelidikan, penyidikan dan pengadilan
berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Putusan MK No. 41/PUU-XIX/2021


Moratorium Remisi Terhadap Koruptor Jangan Hanya Wacana,
<http://www.news.okezone.com/ read/2011/10/31/339/523022/moratorium>, diakses
Kamis 20
November 2014.

Argumentum Ad Hominem, <http://www.yusril.ihzamahendra.com>, diakses


Jumat 28 November 2014.

Pemerintah Akan Terbitkan Moratorium Remisi Bagi Koruptor,


<http://www.voanews.com>, diakses Jumat 28 November 2014.
Problematika Pemberian Moratorium Remisi, <http://www.detiknews.com>,
diakses Jumat 28 November 2014.

Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan “Pendekatan Sosiologi Terhadap


Hukum”, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 44.

Zainuddin Ali, “Sosiologi Hukum”, Cetakan Kelima. (Jakarta: Sinar Grafika,


2009), hal. 37.

Emile Durkheim, “Law in Moral Domain”, (New Haven: Yale University Press,
1999), p. 291.
25 Alvin S. Johnson. Op. Cit., hal. 191.

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, PP Nomor 28 tahun 2006, Pasal 34 ayat (3).

Yusril Ihza Mahendra, Moratorium dan Remisi Untuk Koruptor, Legal atau
Melanggar Hukum, Diskusi di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 3 November 2011.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3614.

Manalu, River Yohanes, “Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi”, Lex Crimen
Vol. IV/No.1/Jan-Mar/2015. Portal Garuda: Jakarta, 2015;

Anda mungkin juga menyukai