Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG

DISUSUN OLEH
1112100039- DITO FIRMANSYAH ROSIDI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
ADMINISTRASI PUBLIK
2022/2023
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………i
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………...ii
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….1
1.3 Tujuan………………………………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………..2
2.1 Perkara Pencucian Uang……………………………………………………...2
3.2 Sistem Pembuktian Terbalik………………………………………………….3
BAB III ANALISIS………………………………………………………………………...4
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………………...5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindak Pidana Pencucian Uang atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan
istilah money laundering, merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media
massa, oleh sebab itu banyak pengertian yang berkembang sehubungan dengan istilah
pencucian uang. Money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan
usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang
“kotor” , yang diperoleh dari hasil tindak pidana. Sedangkan menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Adapun tahap dari pencucian uang, yaitu placement, tahap pertama pencucian
uang, adalah menempatkan (mendepositkan) uang haram tersebut ke dalam sistem
keuangan. Layering, dalam tahap ini pencuci uang berusaha untuk memutuskan
hubungan hasil kejahatan itu dari sumbernya. Integration, pada tahap ini uang yang
telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih,
bahkan merupakan objek pajak (tax-able).
Salah satu wujud upaya pemerintah Indonesia dalam menekan maraknya tindak
pidana pencucian uang atau money laundering adalah memberi perhatian khusus dalam
hal aspek pembuktian. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan, menjadi bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal
inipun hak asasi manusia dipertaruhkan. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga
menetapkan dalam UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Sekaligus menjadi dasar hukum dari kasus
permasalahan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, ada beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah dalam perkara pencucian uang sebenarnya tindak pidana asal (predicate
crime) perlu dibuktikan terlebih dahulu?
2. Apakah sistem pembuktian terbalik terbatas tidak bertentangan dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence)?

1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui apakah dalam perkara pencucian uang sebenarnya tindak pidana
asal (predicate crime) perlu dibuktikan terlebih dahulu.
3. Untuk mengetahui bertentangan atau tidaknya sistem pembuktian terbalik terbatas
dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Apakah dalam perkara pencucian uang sebenarnya tindak pidana asal
(predicate crime) perlu dibuktikan terlebih dahulu?
Pada Pasal 189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk
dapat menghukum terdakwa, hakim harus yakin atas dua alat bukti yang disampaikan
penuntut umum di siding pengadilan. Dua alat bukti biasanya disampaikan untuk
masing-masing unsur tindak pidana. Berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010, hukum acara yang dipakai dalam pembuktian adalah hukum acara yang
diatur dalam KUHAP dan undang-undang lain yang juga mengatur hukum acara seperti
Undang-Undang TPPU, dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Untuk tindak pidana asal pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut
umum. Sementara itu, dalam perkara TPPU dikenal adanya pembuktian terbalik, yaitu
terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara itu
bukan berasal dari tindak pidana. Unsur yang harus dibuktikan oleh terdakwa, yaitu
objek perkara yang berupa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal
dari tindak pidana. Unsuk unsur lainnya tetap harus dibuktikan oleh jaksa penuntut.
Teori pembuktian atau sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif
diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. Indonesia menganut sistem
pembuktian yang disebut dengan sistem negatif (negative wattelijk) seperti yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut pasal ini untuk dapat menghukum seseorang, hakim
mendasarkan pada dua alat bukti yang sah menurut undang-undang dan terdapat
keyakinan hakim, bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwahlah yang
bersalah melakukannya. Dalam perkembangan sistem pembuktian pidana juga
mengenal sesuatu yang baru, yakni sistem pembalikan beban pembuktian (Omkering
van het bewijslast). Sistem pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal
masyarakat dengan pembuktian terbalik merupakan sistem yang meletakkan beban
pembuktian pada tersangka. Artinya, lazimnya jika merujuk pada KUHAP maka yang
berhak membuktikan kesalahan terdakwa ialah jaksa penuntut umum akan tetapi sistem
pembuktian terbalik terdakwa (penasihat hukum) akan membuktikan sebaliknya
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan.
Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU mengatur tentang pembalikan beban pembuktian atau
pembuktian terbalik. Pada pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur
bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan
bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Selanjutnya,
berdasarkan pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim memerintahkan
terdakwa agar membuktikan, bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana asal yang disebut di Pasal 2 ayat (1). Dengan
demikian, kewajiban terdakwalah untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang
terkait dengan perkara TPPU bukan berasal dari tindak pidana asal, misalnya korupsi.
3.2 Apakah sistem pembuktian terbalik terbatas tidak bertentangan dengan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)?
Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundering di Indonesia menjadi
salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan akibat kesulitan pembuktian
materialnya. Jalan keluar dalam menyelesaikan masalah pembuktian ini adalah dengan
menerapkan beban pembuktian terbalik. Namun, penerapan beban pembuktian terbalik
ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum karena beban pembuktian
terbalik dianggap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang merupakan
jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga dianggap bertentangan dengan
Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur bahwa
jaksa menjadi satu-satunya yang diberi kewajiban dalam pembuktian.
Dari hasil diatas menunjukkan bahwa penerapan beban pembuktian terbalik
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang tidaklah bertentangan dengan asas praduga tak
bersalah dan juga Pasal 66 KUHAP karena beban pembuktian terbalik yang diterapkan
dalam menyelesaikan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang tidak menggunakan asas
praduga bersalah secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang. Di samping itu
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan
aturan yang khusus, sehingga dapat mengesampingkan KUHAP yang bersifat umum
sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generalis, penerapan beban pembuktian
terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang juga tidak bertentangan dengan hukum
yang ada karena tujuan diterapkannya adalah untuk mensejahterakan setiap masyarakat
tanpa melihat dari golongan apa mereka, sehingga sesuai dengan tujuan ditetapkannya
Undang-Undang ini.
BAB III
Analisis dari Kebijakan tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
UU No. 8 Tahun 2010
Masalah penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
jelas bukan masalah hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan juga
merupakan masalah yang berkaitan langsung dan berdampak terhadap masalah
keuangan dan perbankan nasional termasuk masalah investasi nasional. Penegakan
hukum terhadap TPPU memiliki efek signifikan terhadap kondisi perekonomian
nasional di Indonesia yang sampai saat ini sangat labil dan bersifat fluktuatif. Di sisi
lain, sarana hukum yang berhubungan dengan masalah keuangan dan perbankan serta
pasar modal telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus yang diperkuat
oleh ketentuan mengenai sanksi meliputi sanksi administratif, sanksi keperdataan,
sampai pada sanksi pidana. Peraturan perundang-undangan pidana tersebut termaasuk
‘lexspecialis systematics’.
*Analisis Hukum Pidana Materil
Asas umum hukum pidana yang dianut secara universal sampai saat ini adalah asas
legalitas. Asas legalitas selain menciptakan kepastian hukum dan larangan berlaku
retroaktif (asas non-retroaktif) dan mencegah multitafsir atas ketentuan undang-undang
pidana dan menegaskan bahwa sumber hukum pidana adalah hukum tertulis (undang-
undang). Analisis hukum UU TPPU 2010 membahas ketentuan Pasal 2 sampai dengan
Pasal 10.
1. Perubahan judul pada UU TPPU menggunakan dua istilah hukum, yaitu pencegahan
dan pemberantasan sehingga perubahan ketiga undang-undang ini bukan hanya bersifat
regulatif melainkan juga bersifat represif. Titik berat pencegahan ditujukan terhadap
lembaga penyedia jasa keuangan dan lembaga penyedia barang/jasa dengan
menentukan sejumlah kewajiban membantu PPATK melakukan penelusuran aliran
dana yang masuk dan keluar dari lembaga tersebut. Untuk memperkuat kewajiban
tersebut telah ditentukan sanksi administratif terhadap lembaga tersebut.
2. Perubahan pendekatan preventif kepada preventif dan represif pada UU TPPU 2010
dapat digolongkan sebagai UU Pidana Khusus (lex specialis) dan konsekuensi hukum
daripada status tersebut. PPATK sebagai lembaga inti (core institution) seharusnya
memiliki wewenang pro-justisia termasuk penyelidikan dan pembuatan Laporan Hasil
Analisis (LHA). Namun, UU TPPU 2010 tidak secara eksplisit dan jelas memberikan
mandat tugas dan wewenang pro-justisia, sebaliknya hanya diberi mandat sebagai
lembaga administrative. Hal ini bertentangan dengan makna judul UU TPPU 2010.
*Analisis Hukum Pidana Formil
Analisis hukum pidana formil dalam sistem hukum pidana Indonesia merujuk pada
KUHAP sebagai lege generall dan berlaku terhadap semua jenis perkara pidana pada
semua tingkat pemeriksaan. Pada praktik perundang-undangan pidana di Indonesia
sejak tahun 1960 sampai saat ini, ketentuan KUHAP sebagai lege generall telah
disimpangi oleh ketentuan khusus hukum acara untuk beberapa jenis perkara pidana
tertentu seperti perkara korupsi, pencucian uang, dan perkara narkoba serta perkara
terorisme (perkara serius). Keberadaan hukum acara pidana khusus merupakan
konsekuensi logis dari keberadaan hukum pidana khusus merujuk pada ketentuan pasal
103 KUHAP. Penyimpangan dan kekhususan dalam hukum material UU TPPU 2010
berdampak terhadap hukum formil undang-undang tersebut yang secara normatif dan
eksplisit menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana umum.
Dalam konteks ini, terdapat dua penyimpangan atas asas-asas umum dan fungsi hukum
pidana konvensional. Penyimpangan pertama yakni terhadap fungsi hukum pidana
ultimum remedium. Seperti pendapat Blunt yang mengemukakan bahwa penyimpangan
tersebut dibolehkan jika menghadapi keadaan-keadaan sebagai berikut :
(a) Korban karena kejahatan sangat besar;
(b) Terdakwa residivis; dan
(c) Kerugian korban tidak dapat dipulihkan.
Pendapat Blunt tersebut sangat relevan membahas implementasi UU TPPU dan
dampaknya dalam konteks iklim keuangan dan perbankan di Indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN
Pencucian uang merupakan jenis tindak pidana baru dalam referensi hukum
pidana, keuangan, dan perbankan. Pengaturan terkait tindak pidana pencucian uang di
Indonesia telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan dan telah beberapa
kali mengalami perubahan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan peraturan terbaru.
Namun demikian, pada undang-undang ini ditemukan penggunaan pendekatan-
pendekatan dan asas-asas dalam hukum pidana yang kurang cocok diterapkan. Selain
itu juga terdapat tumpang tindih pemberian wewenang institusi dalam penanganan
tindak pidana pencucian uang.
Adapun tahap dari pencucian uang, yaitu placement, tahap pertama pencucian
uang, adalah menempatkan (mendepositkan) uang haram tersebut ke dalam sistem
keuangan. Layering, dalam tahap ini pencuci uang berusaha untuk memutuskan
hubungan hasil kejahatan itu dari sumbernya. Integration, pada tahap ini uang yang
telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih,
bahkan merupakan objek pajak (tax-able).
DAFTAR PUSTAKA

• Atmasasmita, R., 2016. Analisis Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Padjajaran
Jurnal Ilmu Hukum, 3(1), p. 1.

• Atmasasmita, R., 2016. Artikel Kehormatan : Analisis Hukum Undang-Undang Nomor 8


Tahun 2010. [Online]
Available at:
https://www.researchgate.net/publication/308273425_Artikel_Kehormatan_Analisis_Huku
m_Undang-
Undang_Nomor_8_Tahun_2010_tentang_Pencegahan_dan_Pemberantasan_Tindak_Pidana
_Pencucian_Uang
[Accessed 20 June 2022].

• dpr.go.id, n.d. UU 8 Tahun 2010-DPR RI. [Online]


Available at:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.dpr.go.id/dokjdih/
document/uu/UU_2010_8.pdf&ved=2ahUKEwjP7dOQuL74AhXBS2wGHaK0BHIQFnoECAYQA
Q&usg=AOvVaw06NUgWfdh5bSAiXbqlwo-d
[Accessed 20 June 2022].

• Luthfan, A., 2014. Beban Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Perspektif Hukum. [Online]
Available at:
https://perpustakaan.kpk.go.id/index.php?h=show_detail_plu&id=101588#:~:text=Hasil%20
studi%20ini%20menunjukkan%20bahwa,dalam%20menyelesaikan%20kasus%20Tindak%20P
idana
[Accessed 20 June 2022].

Anda mungkin juga menyukai