Anda di halaman 1dari 63

Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Rabu, 25 September 2013 Oleh : Agnes Harvelian[1]

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pemikiran Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundry di Indonesia menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, pemutihan uang, pendulangan uang atau bisa juga pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor)[2]. Diperlukannya good will dari pemangku kebijakan yang akan menjadi kekuatan untuk menanggapi hambatan permasalahan money laundry dan juga seruan intenasional. Di tahun 2001 FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering)[3] telah memasukan Indonesia bersama 18 negara lainnya kedalam daftar NCCTS (Non Cooperative Countries and Territories) yakni negara yang dianggap belum signifikan melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Tahun 2004 Indonesia masih menjadi penghuni daftar NCCTS bersama tujuh negara lainnya[4]. Hal ini akan berdampak serius, tekanan yang berasal dari negara dan organisasi internasional, menuntut penghentian pinjaman IMF (International Monetary Fund) serta penjatuhan sanksi oleh FATF kepada negara yang ada di dalam daftar NCCTS. Sepanjang tahun bangsa inipun masih disibukkan dengan berbagai serangan korupsi yang telah membudaya, terbukti ketika Indonesia dinobatkan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultance) sebagai negara terkorup, dari 16 negara Se-Asia Pasifik tahun 2010[5]. Langkah cepat telah dilakukan pemerintah dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 yang di sempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 dan saat ini diubah menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dibentuknya Undangundang Pencucian Uang, merupakan sebuah bentuk komitmen dan political will negara Indonesia untuk memerangi permasalahan pencucian uang. Konsep yang revolusioner dituangkan dalam peraturan ini adalah dipergunakannya beban pembuktian terbalik (Omkering van het Bewijslat). Memberi hak terdakwa untuk menjelaskan dan membantu mempermudah proses persidangan atas dakwaan yang sebelumnya telah ditelusuri oleh Jaksa Penuntut Umum. Beban pembuktian negatif dengan menganut asas beyond reasonable doubt yang menjadi ruh dari sistem hukum di Indonesia, untuk mencari keadilan belumlah dapat menjawab kasus-kasus berat dan sensitif. TPPU ditempatkan sebagai delik yang cukup sulit pembuktiaanya, karena pemberantasannya juga berarti menanggulangi kejahatan yang

melatarbelakanginya[6]. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terdapat 25 kategori kejahatan terhadap organized crimes. Kemerosotan moral dan keterlibatan aparatur negara dalam berbagai tindak pidana yang terjadi saat ini, seakan memandulkan sistem peradilan pidana yang berlaku. Kondisi saat ini dapat diadopsi sebagai generalisasi law enforcement atau penegakan hukum di Indonesia. Sehingga ketika konsep progresif lahir di beberapa peraturan, yang salah satunya terdapat dalam pemberantasan TPPU dengan memunculkan ide atau metode beban pembuktian terbalik, hal ini merupakan jawaban atas aktualisasi keadilan masyarakat. Kondisi seperti ini juga diperkuat dengan fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional VIII, Komisi Fatwa MUI melahirkan fatwa mengenai Penerapan Asas Pembuktian Terbalik, sebagai rekomendasi pembaharuan hukum di Indonesia[7]. Dukungan dari berbagai kalangan juga menjadi data atas harapan besar terhadap ide baru yang progresif seperti metode beban pembuktian terbalik. Urgensi penerapan pembuktian terbalik dalam TPPU sangatlah tepat, berbagai pertentangan dengan asas, peraturan, doktrin dan lain sebagainya tidaklah menjadi penghambat pemberlakuan pembuktian terbalik. Pertentangan yang hanya disandarkan atas pemikiran positivis law janganlah menjadi penghambat pemberlakuan pembuktian terbalik. Pemikiran harus dirubah dengan melihat kebutuhan bangsa saat ini, bahwa pembuktian terbalik dalam TPPU merupakan hal yang revolusioner progresif dan memerlukan dukungan bersama dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulisan ilmiah dengan topik Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Landasan Hukum Penulisan ilmiah dengan topik Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, menggunakan landasan hukum antara lain; 1. Pasal 28 D ayat (1), 28 G ayat (1) dan 28 H ayat (2) (4) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; 4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003) 5. Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court/ICC; 6. Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM); 7. Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak. BAB II PEMBAHASAN

1. Pembahasan Umum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau lebih dikenal dengan istilah money laundry, merupakan proses dengan mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolaholah berasal dari sumber yang sah[8]. Dengan demikian sumber perolehan dana yang dapat dikatakan illegal dan dilarang oleh negara melalui peraturan perundang-undangan dapat diubah menjadi legal melalui tahap penempatan (Placement Stage) tahap penyebaran (Layering Stage), dan tahap pengumpulan (Integration Stage). Keadaan ini menjadikan TPPU sebagai sebuah bentuk tindakan kriminal yang perlu penanganan khusus. Dampak terbesar dari TPPU selain merugikan keuangan negara juga dapat berakibat fatal. Penggunaan uang hasil money laundry dimungkinkan untuk membiayai aktivitas legal dan juga untuk melakukan kejahatan lainnya. Penjelasan tersebut terdefinisi dalam tahap pengumpulan (Integration Stage) yang bertujuan untuk menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman diberbagai usaha lainnya[9]. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa kekhususan penanganan TPPU dengan beban pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik termaktub di dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, aturan itulah yang memberi hak kepada terdakwa untuk menjelaskan tuduhan yang disematkan padanya. Undang-undang ini dikatakan bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP yang mengatur bahwa jaksa menjadi satu-satunya yang diberi kewaijban dalam pembuktian. Namun apabila digali lebih dalam, asas lex specialis derogate legi generalis dapat menjawab anggapan ini. Bahwa Undang-undang TPPU adalah bersifat khusus yang akan mengesampingkan KUHAP yang bersifat umum. Metode pembuktian terbalik berpotensi melanggar hak asasi manusia sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 hasil rativikasi Konvensi PBB, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court/ICC), Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak[10]. Amanah Undang-undang TPPU untuk melaksanakan pembuktian terbalik bukalah tanpa dasar, Pasal 28 D ayat (1), 28 G ayat (1) dan 28 H ayat (2), (4) Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar telah mensiratkan bahwa pembuktian terbalik melindungi setiap orang (terdakwa) atas harta benda dibawah kekuasaannya, mendapatkan keadilan dan penghormatan atas hak milik pribadi. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memang tidak mengenal sistem pembuktian terbalik, namun dalam rangka keadilan, tersangka dan atau terdakwa juga berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah[11]. Apa yang dikatakan sebagai pelanggaran HAM dalam kaidah metode pembuktian terbalik tidak sepenuhnya dapat menjadi tolak ukur ketidaksepamahaman dan hambatan pemberlakuaan pembuktian terbalik. Karena alasan metode inipun beralasan pada penghormatan HAM warga negara, terlebih dalam kasus TPPU yang merupakan delik pidana dengan pembuktian yang cukup

sulit. Pemikiran Positivis tidak boleh menghambat sebuah pembaharuan hukum, yang harus di kuatkan adalah kebutuhan bangsa saat ini. Asas Praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia, bahwa seseorang belum dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang inkhract van bewist gedaan. Ketika beban pembuktian terbalik di terapkan menggunakan asas paraduga bersalah, artinya terdakwa berperan aktif terhadap pembuktian, hal ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang dianut di Indonesia. Secara normatif keadaan tersebut memang menjadi pemikiran yang cukup kritis di lontarkan. Namun dapat dicermati bahwa dalam beban pembuktian terbalik pada TPPU secara khusus, bahwa pembuktian terbalik hanya akan diterapkan dalam tahap persidangan. Sehingga didalam pelaksanaan asas praduga bersalah tidaklah secara mutlak, terdakwa bersifat aktif hanya pada pembuktian asal usul harta kekayaan. Unsur praduga tak bersalah tetap dijalankan dalam tahap pembuktian sebelum tahap pengadilan yang dilakukan oleh jaksa[12]. Keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa TPPU juga menggunakan jalur pidana (criminal procedur) dengan tetap mempertahankan sistem pembuktian negatif (beyond reasonable doubt), sedangkan terhadap asal usul harta kekayaan pelaku digunakan pembuktian terbalik[13]. Hal ini merupakan sebuah keseimbangan dalam pembuktian terbalik yang diterapkan di Indonesia, dan berguna untuk mengawal bersama hukum prosedural yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Artinya bagaimana penegak hukum dapat memutuskan atau merumuskan dalam hal ini adalah konsep pembuktian berdasarkan kaidah hukum yang pasti dan adil. A.V Dicey menyebutnya dengan istilah the rule of law not of man, bermakna hukumlah yang menjadi panglima bukan (orang) penegak hukum[14]. 2. Studi Perbandingan dengan Negara Lain Sistem hukum dunia mengenal lebih dari satu hukum, bahkan Mark Ancel menyebut sebagai legal system family, 1) Common law; 2) Civil law; 3) Timur tengah; 4) Timur jauh; dan 5) Negara sosialis. Sistem hukum di Indonesia terpengaruh dari sistem hukum Romawi-Jerman dengan bercorak Civil Law System atau sistem hukum sipil, yang menitikberatkan konsep tentang kaidah[15]. Konsep ini yang menjadi ciri khas dari sistem hukum Civil Law dengan Common Law, dimana konsep kebiasaan atau tradisi menjadi khas dari sistem hukum Common Law. Dilihat secara komperhensif melalui pendekatan sejarah pembuktian terbalik sebetulnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law. Namun pada akhirnya terdapat pengecualian terhadap peraturan kedua sistem tersebut, yakni diaturnya beban pembuktian terbalik atas kasus suap atau gratifikasi[16]. Perdebatan para ahli dengan mengomparasikan penggunaan beban pembuktian terbalik dengan negara lain sebetulnya terletak pada ruh dari kedua sistem hukum ini. Keduanya mengakui penggunaan pembuktian terbalik, namun ruh dari civil law berasas praduga tak bersalah, sedangkan common law sebaliknya dengan menggunakan praduga bersalah.

Money Laundrey diperkenalkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak disahkannya konvensi Wina tentang Perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika di tahun 1988. Dan Amerika telah memiliki Undang-undang pertama dalam pemberantasan TPPU Money Laundering Control Act 1986[17]. TPPU telah disadari oleh masyarakat dunia sebagai sebuah kejahatan yang multidimensional dan syarat dilatarbelakangi oleh kejahatan berkategori white collar crime. Urgensi pengaturan TPPU pun menjadi materi utama setiap negara yang berada dalam gerakan money laundering, dengan membuat peraturan TPPU melalui instrument hukum nasional. Metode beban pembuktian terbalik dalam TPPU saat ini telah dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya adalah Amerika Serikat dan Inggris. Persoalan beban pembuktian terbalik dalam perkembangannya, menjadikan suatu kondisi yang mana jaksa penuntut umum dan terdakwa sama-sama membuktikan di sidang pengadilan, atau dinamankan asas pembalikan beban pembuktian berimbang seperti dikenal di Amerika Serikat[18]. Proses prosedural dari peradilan pidana dalam ranah TPPU berorientasi salah satunya dengan pengembalian aset kejahatan melalui metode beban pembuktian terbalik. Di Amerika, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya proses tersebut menggunakan praktik non-conviction based forfeiture, yang memisahkan aspek pemilik aset di satu sisi dan aspek aset tindak pidana di sisi lain[19]. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa beban pembuktian terbalik tidak melanggar Hak Asasi Manusia karena di dasarkan pada teori beban pembuktian terbalik berimbang. Perbedaan yang masih menjadi sebuah konsepsi yang harus dikembangkan dalam permasalahan beban pembuktian terbalik dalam TPPU adalah pengembalian aset kejahatan terlebih dalam kejahatan korupsi. Amerika, Inggris dan negara eropa lainnya sudah menggunakan jalur keperdataan dalam pengembalian aset kejahatan. Sedangkan di Indonesia masih berada dalam pengembalian aset pidana, artinya tidak ada pengembalian aset apapun sebelum adanya putusan pengadilan. 3. KONDISI FAKTUAL DI INDONESIA Selama 67 tahun 4 bulan (terhitung sejak april 2013) Indonesia merdeka permasalahan penegakan hukum selalu menjadi masalah rumit atas dasar konsekuensi falsafah negara hukum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk daftar negara yang bermuatan TPPU oleh FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) tahun 2001, dan dinobatkan sebagai negara terkorup di tahun 2010 se-Asia oleh PERC (Political and Economic Risk Consultance) telah mensiratkan Indonesia untuk membenahi penegakan hukum. Berbagai upaya dalam memerangi kejahatan asal (Korupsi) dari TPPU mengalami berbagai tantangan, menurut Bintoro Tjokroamidjojo[20] hal ini disebabkan karena; 1. Persoalannya rumit; 2. Sulitnya menemukan bukti; dan 3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu.

Terlibatnya aparat penegak hukum dan pemangku jabatan publik, menambah kekuatan yang menghambat penyelesaiannya masalah yang ada. Politik hukum dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah penguatan sistem pemberantasan TPPU dalam kaidah sinergisitas pemberantasan kejahatan asal. Tujuan yang tertuang dalam Undang-undang inipun memerlukan dukungan dari segala elemen. Undangundang yang cukup revolusioner progresif dengan berani memasukan metode baru pembuktian terbalik didalamnya. Besarnya krisis money laundry, Indonesia membentuk institusi sebagai supporting pemberantasan TPPU, ialah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) yang menghimpun pelaporan indikasi TPPU. Penelitian yang diadakan oleh Tjetjep Saepul Hidayat [21], di tahun 2011 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Barat cukup banyak yaitu tahap penyelidikan sebanyak 22 kasus dan tahap penyidikan sebanyak 29 kasus. Sedangkan kasus tindak pidana pencucian uang yang pidana pokoknya tindak pidana korupsi yang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada tahun 2011 sangatlah sedikit yaitu hanya ada 1 kasus yaitu sampai pada tahap penyelidikan saja. Kemudian hasil analisis dari PPATK tersebut disampaikan ke aparat penegak hukum yang salah satunya yaitu Kejaksaan pada tahun 2011 ada 114 laporan. Data tersebut secara singkat menggambarkan kesulitannya penerapan pembuktian terbalik dalam TPPU, namun justru disinilah yang menjadi pembenahan. Sulit bukan berarti tidak bisa diterapkan, hanya saja butuh keseriusan dari seluruh elemen dalam perumusan spesifik dan pendidikan khusus bagi jaksa dan hakim agar berani dalam penanganan kasus TPPU melalui pembuktian terbalik. Keyakinan besar diberikan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono[22], mendukung dilaksanakannya penguatan bagi cara pembuktian terbalik untuk membuktikan harta kekayaan pejabat negara. Namun presiden mengingatkan untuk berhati-hati dalam penerapannya agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. 4. KAJIAN ATAS TEMA Bertemakan Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, melalui dasar Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dilematika dari kajian diatas cukup berdampak signifikan dalam penerapan metode pembuktian terbalik saat ini. Di satu sisi banyak yang menuding konsep baru ini merupakan penegasian atas kaidah hukum positif di Indonesia dengan berbagai pemikiran dan tinjuan. Meminjam kerangka berfikir Prof. J.E Sahetappy[23] bahwa dalam hukum selain memiliki asas positif juga dikenal dengan asas de uitzonderingen bevestigen de regel (pengecualian memastikan aturan yang ada). Artinya dalam ranah regulasi ada pula kajian atas sebuah pengecualian terhadap norma, sepanjang dikecualikan atas kebutuhan masyarakat menuju perbaikan permasalahan. Beban pembuktian terbalik termasuk dalam restorative justice, sebuah konsep yang diidamkan para pembaharu penegakan hukum.

Penegasan atas kajian dari tema ini adalah bahwa penulis tetap sependapat terhadap penggunaan konsep beban pembuktian terbalik atas TPPU di Indonesia. Patut menjadi perhatian bahwa dalam tema ini harus dibedakan antara palaksanaan atau peraturannya yang dikatakan amburadul. Harus disadari bahwa urgensi penerapan pembuktian terbalik atas TPPU merupakan sebuah konsep yang revolusioner dan progresif yang dirumuskan pembentuk Undang-undang. Dibutuhkan keberanian dari penegak hukum terkait dalam TPPU dengan menggunakan beban pembuktian terbalik. Secara filosofi dari penjelasan sebelumnya metode beban pembuktian terbalik tidaklah menjadi pertentangan besar atas konsep hukum di Indonesia. Dikaji secara yuridis melalui pendekatan dari teori Lawrance M. Friedman[24] ada 3 komponen untuk menilai sebuah peraturan; 1. Legal Structure, bahwa Undang-undang TPPU telah menciptakan kelembagaan yang berasal dari sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi dalam negara dengan mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. 2. Legal Substance, Undang-undang TPPU sebagai output pada sistem hukum peraturan dan keputusan baik diatur maupun tidak. 3. Legal Culture, bahwa Undang-undang TPPU telah memasukkan nilai-nilai dan sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Secara sosiologis bahwa keadaan di Indonesia saat ini dari apa yang dikemukakan sebelumnya telah berada dalam transisi pembenahan permasalahan TPPU dengan berbagai kejahatan asal. Kebutuhan hukum serta kondisi faktual saat ini adalah konsep baru dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan penguatan sistem beban pembuktian terbalik dalam penyelesaian TPPU. Beban pembuktian terbalik secara berimbang yang menjadi muatan utama konsep di Indonesia merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis pergesekan pertentangan. Melalui dasar teori yang dikemukakan oleh Oliver Stolpe[25] dalam beban pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability of Principles). Pelaksanaan beban pembuktian terbalik telah memiliki kepentingan yang mendesak untuk segera di implementasikan dalam sebuah praktik TPPU. Sekaligus menjawab atas permasalahan mengakar dalam kejahatan asal TPPU yang tidak kunjung menempati titik terbaik dalam sejarah bangsa.

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Beban pembuktian terbalik dalam TPPU tidaklah illegal dilaksanakan dengan mendasar pada berbagai pertentangan dari pemikiran positifistik. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan

sebuah terobosan besar yang revolusioner dan progresif terhadap pembaharuan hukum dalam memberantasan TPPU dengan kejahatan asalnya. 2. Bahwa Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sebuah metode baru dan baik untuk menjawab permasalahan kejahatan asal dalam TPPU di Indonesia. Sampai pada penulisan kesimpulan kami tetap yakin berada dalam posisi sependapat terkait tema tersebut. Urgensitas Pembuktian terbalik telah menjadi agenda besar dalam penanganan TPPU diberbagai kejahatan asal.

B. Rekomendasi 1. Diperlukannya pendidikan khusus untuk membentuk penegak hukum terkait seperti jaksa dan hakim untuk melatih penerapan pelaksanaan pembuktian terbalik dalam TPPU. Dukungan besar juga harus ditunjukan untuk memunculkan keberanian dari para aparat hukum guna menyelesaikan kasus TPPU menggunakan beban pembuktian terbalik. 2. Ditambahkannya sebuah peraturan pelaksanaan terkait Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini akan menunjang kekuatan besar para penegak hukum dalam menerapkan pembuktian terbalik. DAFTAR PUSTAKA Dicey, A.V. Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Bandung: Nusamedia, 2008 Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011 Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Semarang: PT. Citra Andika Bhakti, 2006 Tim Pengajar, Pengantar Ilmu Hukum, Purwokerto: Unsoed, 2010

Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH dalam makalah Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi, 2010 Dr. Yunus Husein, Arti Penting Rezim Anti Pencucian Uang Bagi Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia, tanpa tahun Harry Murti, dalam jurnal ilmiah Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis, 2011 Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, 2012

Prof. M. Giovanoli dari Bank for International Settlement dalam makalah Grace Y. Bawole, SH., MH, Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia Menurut UU No. 23 Tahun 2004, FH Univ. Sam Ratulangi 2011 Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum dkk dalam jurnal Tinjauan Yuridis Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, 2011 Pusdiklat Kejaksaan Republik Indonesia Pencucian Uang 2011 R. Dea Rhinofa, SH dalam Jurnal ilmiah Kewenangan Badan Narkotika Nasional dalam Pemberantasan Money Laundering Hasil Tindak Pidana Narkotika. Tanpa tahun

Tjetjep Saepul Hidayat dkk, Penerapan Kewenangan Kejaksaan RI Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya Korupsi, tanpa tahun

http://suarakarya-online.com/news.html?.id=187515 diakses 17 April 2013 http://signnet.blogspot.com/2008/04/pembuktian-terbalik-solusi.html diakses 19 April 2013 http://www.rnlawfirm.com/?p=publication&id=8&title=azaz-pembuktian di akses 19 April 2013

http://wikipedia.com/money/laundry di akses 15 April 2013

Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

[1] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2010 [2] http://wikipedia.com/money/laundry di akses 15 April 2013 [3] FATF merupakan organisasi yang dibentuk oleh Kelompok 7 Negara (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis pada bulan Juli 1989.

[4] Dalam Makalah Dr. Yunus Husein Arti Penting Rezim Anti Pencucian Uang Bagi Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Selain Indonesia, 18 negara lainnya adalah Cook Islands, Mesir, Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria, Phillipin, Ukraina, St. Vincent, Grenada, Hungaria, Israel, Lebanon, St. Kitts, Nevis, Dominika, Marshall Islands, Niue. Pada posisi Februari 2004, negara yang masih tercatat dalam daftar NCCTs berkurang menjadi 7 negara yaitu Indonesia, Cook Islands, Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria dan Phillipina. [5] Political & Economic Risk Consultancy (PERC) 2010. [6] BPHN 2003 H. 145 [7] Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, h. 547-554 [8] Prof. M. Giovanoli dari Bank for International Settlement dalam makalah Grace Y. Bawole, SH., MH Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia Menurut UU No. 23 Tahun 2004, FH Univ. Sam Ratulangi 2011 [9] Pusdiklat Kejaksaan Republik Indonesia Pencucian Uang 2011 h. 5 [10] Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH dalam makalah Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi, 2010 [11] Prof. Yusril Izha Mahendera dalam keterangannya dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 [12] Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum dkk dalam jurnal Tinjauan Yuridis Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, 2011 [13] Opcit., h. 3 [14] A.V Dicey, 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi h. 252 [15] Satjipto Rahardjo, 2006. Ilmu Hukum. h. 240 [16] Harry Murti, dalam jurnal ilmiah Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis, 2011

[17] R. Dea Rhinofa, SH dalam Jurnal ilmiah Kewenangan Badan Narkotika Nasional dalam Pemberantasan Money Laundering Hasil Tindak Pidana Narkotika. Tanpa tahun [18] Lilik Mulyadi 2007:103 dalam pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, 2012 [19] Ibid., h 15 [20] http://www.rnplawfirm.com/?p=publication&id=8&title=azaz-pembuktian di akses 19 April 2013

[21] Tjetjep Saepul Hidayat dkk, Penerapan Kewenangan Kejaksaan RI Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya Korupsi, tanpa tahun [22] http://suarakarya-online.com/news.html?.id=187515 diakses 17 April 2013 [23] http://signnet.blogspot.com/2008/04/pembuktian-terbalik-solusi.html diakses 19 April 2013

[24] Pengantar Ilmu Hukum, Unsoed 2010 [25] Dalam opcit., h.3

Pembuktian Terbalik : Solusi Pemberantasan Korupsi ?


Beberapa waktu yang lalu media massa ramai memberitakan penangkapan Ketua Tim Jaksa BLBI BDNI . Di sela-sela berita tentang kasus tersebut, salah satu stasiun TV Swasta menunjukan rumah dan harta kekayaan yang dimiliki jaksa tersebut, baik yang ada di Jakarta dan Bali. Kedua rumah tersebut ada dilingkungan perumahan kelas menengah ke atas. Di samping ke dua rumah, TV Swasta tadi juga menunjukan beberapa mobil kelas menengah yang juga dimiliki oleh jaksa tersebut. Kalau berdasarkan besarnya gaji jaksa, tentu kita bertanya apa mungkin seorang jaksa memiliki harta kekayaan tersbut? Belakangan baru diketahui banyak jaksa yang belum melaporkan harta kekayaannya tanpa dikenai sanksi apa pun. Dalam hal kekayaan penyelenggara yang tidak wajar, sebelumnya Ekonom Kwik Kian Gie pernah mengatakan perilaku aparat pajak yang tidak benar. Kwik Kian Gie terpaksa meminta maaf kepada Dirjen Pajak atas ucapannya. Dirjen Pajak tersebut meminta Kwik membuktikan ucapannya kalau tidak akan dituntut secara hukum. Namun, ketika Faisal Basri juga mengucapkan tentang perilaku aparat pajak yang tidak benar Dirjen Pajak tidak berani menuntut Faisal karena Faisal meminta Dirjen Pajak melakukan pembuktian terlebih dahulu (pembuktiaan terbalik) bahwa perilaku aparatnya tidak ada yang menyimpang. Pada setiap tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Dalam kaitan itu perlu dipahami oleh kita semua, termasuk pemerintah, bahwa korupsi sudah menjadi musuh dunia. Untuk itu, strategi pemberantasan korupsi harus mengikuti cara-cara yang berlaku secara universal. Apalagi kita sudah meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB. Momen tersebut harus digunakan pemerintah untuk melakukan banyak perubahan menyangkut peraturan perundangan dan cara pendekatan antikorupsi. Tentu dengan mengikuti UN Convention for Anti-Corruption (UNCAC), karena tingkat korupsi dijadikan ukuran dalam pergaulan internasional. Untuk itu, sejumlah perangkat perundang-undangan perlu segera dibenahi. Perangkat yang harus mendapat prioritas dibenahi adalah revisi undang-undang antikorupsi. Revisi undang-undang antikorupsi terutama dipusatkan pada asas pembuktian terbalik dan recovery asset. Asas pembuktian terbalik perlu dimasukkan ke dalam UU Antikorupsi untuk mengimbangi undang-undang yang mewajibkan setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan mereka. Sebab, undang-undang tersebut tidak match dengan sistem hukum pidana yang kita miliki saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini belum bisa membuat tuntutan jika ada pejabat yang harta kekayaannya terindikasi tidak wajar. Itu kelemahan dalam sistem hukum kita. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diakomodasi, tetapi tidak fungsional. Bahkan terhadap para penyelengara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan, KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Contoh paling jelas adalah mantan anggota Komisi Yudisial Irawady Joenus yang tertangkap tangan menerima suap pun, tidak melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Untuk itu sejak tahun 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pembuktian

Terbalik. Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan, perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan korupsi.[1] Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bahwa pembalikan beban pembuktian sangat diperlukan dalam percepatan pemberantasan korupsi. Sejarah Asas Pembalikan Beban Pembuktian Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat[2], dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah pembuktian terbalik Pendapat Prof Andi Hamzah SH, ini sungguh tepat karena tanpa meletakan kata beban maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja. Sistem Pembuktian KUHAP Dalam hukum perdata, masalah pembuktian memang menimbulkan persepsi bias, mengingat aturan mengenai pembuktian ini masuk dalam kelompok hukum perdata materiil maupun hukum perdata formil. Berlainan halnya dengan hukum pidana. Hingga kini setelah diberlakukannya KUHAP melalui undang-undang no. 8 tahun 1981, masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (acara). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.[3]

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat pasal 183 sampai pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya Sedang yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan : Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya. Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Sistem Beban Pembuktian Khusus pada kasus Korupsi sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK)? TPK merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-undang No. 3 tahun 1971 dan Undang-undang no 31 tahun 1999. Dalam pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu)[4].

Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum. Dalam Undang- undang No. 31 tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya. Problematik Beban Pembuktian Terbalik Keterbatasan kedua UU di atas menimbulkan pro kontra di kalangan hukum mengenai penerapan pembalikan beban pembuktian. Sebagaian mengatakan bahwa pembalikan beban pembuktian secara total akan melanggar hak asasi manusia. Namun Prof JE Sahetappy[5] mengatakan, "Apakah benar bahwa penerapan beban pembuktian terbalik ini melanggar Hak Asasi Manusia?. Saya memang melihat akhir-akhir ini banyak interprestasi ibarat beauty is in the eye of the beholder bertalian dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, saya ingin bertanya, apakah penerapan asas retroactive seperti yang sudah disetujui oleh PAH I MPR di Senayan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Bukankah banyak LSM dan para politisi ingin sekali menerapkan asas retroactive itu bertalian dengan gross violation of human rights. Supaya diketahui saja, bahwa di dunia hukum dikenal asas de uitzonderingen bevestigen de regel (perkecualian memastikan aturan yang ada), dan itu seringkali dilupakan atau pura-pura tidak diingat oleh para partisan dari kelompok tertentu. Kalau dikatakan bahwa PERPU ini bertentangan dengan KUHAP, maka hendaklah diingat bahwa Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, yang saya labelkan sebagai undangundang tanpa anus dan sebagai tidak memiliki aturan peralihan, pada hakekatnya suatu bom waktu dalam rangka pemberantasan korupsi. Saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal itu disini, tetapi bersedia mengulasnya lebih lanjut apabila diperlukan." "Apakah PERPU itu tidak bertentangan dengan KUHAP? Hemat saya tidak, sebab dalam Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, sudah diakomodasi hukum acaranya, sehingga tidak ada alasan untuk menolak PERPU ini. Sebagai suatu kesimpulan sementara dapat dicatat sebagai berikut: PERPU ini amat sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan korupsi Mereka yang menantang PERPU ini dengan berbagai alasan, bisa dikategorisasi dari yang "takut " korupsinya akan dibongkar, sampai pada berusaha mengkambinghitamkan pihak penguasa. Tidak ada unsur pelanggaran HAM, sebab asas "rertroactive" untuk gross violation of human rights juga melanggar doktrin hukum legalistik positivistik; Pelanggaran terhadap KUHAP juga tidak benar, sebab Undang-Undang Korupsi yang sekarang sudah mengatur hukum acaranya sendiri Pasal 28 Undang-Undang Korupsi juga membutuhkan penjabaran lebih lanjut dan itu bisa dicapai melalui PERPU. Saya masih akan berharap "common sense" , juga akan legal ethic and moral ethics, sebab jika tidak demikian halnya, maka sebagai seorang mantan pendidik, tidaklah enak jika teringat akan ucapan David Paul Brown bahwa The mere lawyer is a mere blockhead. "

Pendapat yang senada diutarakan Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad.[6] Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, pembuktian negatif tidak mudah diterapkan. Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang tidak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi. Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju (Oliver, 2006) adalah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. Teori keseimbangan kemungkinan pembuktian terbalik dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebelumnya yang bersangkutan belum memperoleh harta kekayaan sebanyak sekarang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Hongkong dalam kasus ICAC Hongkong terhadap pemohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai dengan Hongkong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya. Berlainan dengan model Hongkong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negaranegara maju baik yang menggunakan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.

UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of) Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik. Sudah tentu pembuktian terbalik dalam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korupsi menimbulkan pro dan kontra. Pandangan kontra mengatakan bahwa, pembuktian terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya. Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999. Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasan korupsi. DAFTAR PUSTAKA [1] Tempo Interaktif, KPK Minta Perpu Pembuktian Terbalik, 21 Desember 2004 [2] Andi Hamzah. Ide yang melatarbelakani Pembalikan beban pembuktian. Makalah pada

Seminar Nasional Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian. Tanggal 11 Juli 2001 Universitas Trisaksti [3] Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik korupsi. Cetakan I. Bandung:CV Mandar Madju, 2001. Halaman 98. [4] Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, SH.MH, Korupsi dan Pembalikan beban pembuktian. Jakarta 2006, halaman 87 [5] Prof JE Sahetappy, Problematik Beban Pembuktian Terbalik. Jakarta Desember 2003 [6] Romli Atmasasmita. Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi.Harian Seputar Indonesia 27 September 2006

Oleh : Johanes Wardy Sitinjak The Tracer (http://signnet.blogspot.com/)

Mari bergabung dengan komunitas Wikipedia bahasa Indonesia!

[tutup]

Korupsi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya. Tag ini diberikan pada Maret 2010

Indeks persepsi korupsi di 2009. Semakin hijau menunjukkan tingkat korupsi semakin rendah; sedangkan semakin merah menunjukkan semakin tinggi tingkat korupsi sebuah negara

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[1]. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah


memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Daftar isi

1 Kondisi yang mendukung munculnya korupsi 2 Dampak negatif

2.1 Demokrasi 2.2 Ekonomi 2.3 Kesejahteraan umum negara 3 Bentuk-bentuk penyalahgunaan o 3.1 Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan o 3.2 Sumbangan kampanye dan "uang haram" 4 Tuduhan korupsi sebagai alat politik 5 Mengukur korupsi 6 Lihat pula 7 Referensi 8 Pranala luar 9 Referensi

o o o

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi


Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama". Lemahnya ketertiban hukum. Lemahnya profesi hukum. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orangorang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)

Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Dampak negatif

Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga

mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanantekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Kesejahteraan umum negara


Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikuspolitikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan


Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan. Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan. Duabelas negara yang paling minim korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional pada tahun 2001 adalah sebagai berikut:

Australia Kanada Denmark Finlandia Islandia Luxemburg Belanda Selandia Baru Norwegia Singapura Swedia Swiss Israel

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah:

Azerbaijan Bangladesh Bolivia Kamerun Indonesia Irak Kenya Nigeria Pakistan Rusia Tanzania Uganda Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)

Sumbangan kampanye dan "uang haram"


Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi. Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik


Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.

Lihat pula

Korupsi di Indonesia Pemberantasan korupsi di Indonesia Kasus-kasus korupsi di Indonesia Daftar pejabat Indonesia yang dipenjara KKN Kolusi Nepotisme Komisi Pemberantasan Korupsi Premanisme Pungut liar macam - macam korupsi

Referensi

Axel Dreher, Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model

Pranala luar

(Inggris) Konvensi PBB melawan Korupsi di Law-Ref.org (Inggris) OECD: Korupsi (Inggris) Halaman antikorupsi Bank Dunia (Inggris) UN Office on Drugs and Crime

(Inggris) Perpustakaan maya Development Gateway dan komunitas maya dalam hal antikorupsi dan pemerintahan yang baik (Inggris) Indonesia Corruption Watch (Indonesia) Transparency International Indonesia

Referensi
1. ^ http://www.ti.or.id Transparency International

Abstrak Buku: Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi

Pembahasan buku ini diawali dengan kondisi faktual problematik sistem hukum pidana khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam konsepsi negara hukum Indonesia. Paling tidak berdasarkan beberapa kondisi; Pertama, pengaruh sistem hukum global terhadap sistem hukum di Indonesia sejak dari zaman penjajahan hingga dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, khususnya perkembangan sistem hukum pidana. Kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sebagai produk politik hukum di Indonesia. Perundang-undangan yang mengatur

tentang korupsi telah dikacaukan oleh karakter problematik sistem hukum pidana yang penuh ketidakpastian bahkan dikendalikan berbagai sub sistem dari sistem hukum yang dipengaruhi oleh sistem hukum global yang berkembang seperti Civil Law System, Common Law System, Socialist Communist Law System, Muslim Law System, Hindu Law System, dan masih tetap hidup sistem hukum adat (Adat Law System) serta tradisi yang menjadi budaya hukum masyarakat local termasuk pengaruh China Law System. Pengaruh yang paling kuat dari sistem hukum global terhadap sub sistem hukum pidana (hukum positif) adalah Civil Law System yang merupakan sistem hukum pidana warisan Hindia Belanda.

Kedua, sebagai kendala utama penegakan hukum tindak pidana korupsi dihadapkan pada problematika aktualisasi sistem peradilan pidana akibat kelemahan harmonisasi dan sinkronisasi dengan sistem hukum pidana khususnya dalam sistem desentralisasi antara kebijakan pusat dan daerah, belum adanya pengaturan khusus tentang sistem peradilan pidana yang terpadu dalam menangani berbagai tindak pidana terkait dengan korupsi atau tindak pidana yang dapat mengakibatkan kerugian Negara atau perekonomian Negara sebagai unsur utama dari tindak pidana korupsi, sehingga menjadi kendala utama dalam penerapan hukum terhadap kasus-kasus korupsi secara menyeluruh. Konfigurasi atas kondisi sistem hukum pidana di atas sangat berpengaruh yang signifikan dan berimplikasi buruk dalam penegakan hukum tindak pidana korups. Praktek menegakan hukum yang didasarkan penerapan sistem hukum dan dogmatik hukum menurut hukum positif di Indonesia menjadikan "anomali" dan menciptakan problematik sistem hukum pidana bahkan telah terjebak teori gunung es yaitu perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi bahaya laten. Kajian atas problematik sistem hukum pidana dan implikasinya secara kausalitas terhadap penyelenggaraan penegakan TIPIKOR dapat menumbuhkan krisis ekonomi bahkan pengaruh krisis global menjadi multi krisis. Terjadi pula kesenjangan sosial banyak yang kaya karena korupsi dan sebaliknya banyak yang terjebak sebagai pengangguran dan kemiskinan. Kondisi masyarakat menjadi dilematis yang sangat sensitif dengan kerawanan sosial dan sangat mudah menjadi konflik sosial bahkan kejahatan korupsi dapat berkembang menjadi kejahatan terhadap keamanan Negara, pelanggaran HAM dan pemicu chaos yang mengancam keselamatan bangsa dan Negara. Solusi atas problematika sistem hukum pidana dengan permasalahan sistem hukum pidana ideal dan strategi penegakan hukum TIPIKOR menggunakan pendekatan sistem dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi, dan memperhatikan makna "sistem" sebagai suatu proses dari peradilan pidana, maka sangat tepat definisi yang dikemukan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA., yaitu salah satu usaha masyarakat untuk dapat mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Mengacu kepada pengertian sistem sebagaimana batasan tentang sistem yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman dalam bukunya "American Law: What is a Legal System" bahwa sistem haruslah ditelaah sebagai suatu kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi, dan pembaharuan (reformasi) terhadap struktur (structure), substansi (substance) hukum dan budaya hukum (legal culture). Keterpaduan dari sistem hukum tersebut selayaknya dilakukan secara simultan, integral dan

parallel, yaitu; Systemic Approach ini dapat dijadikan bahan untuk memecahkan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution) maupun pendapat hukum (legal opinion), termasuk permasalahan korupsi.

Pertama, pada substansi hukum, yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola, serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Persoalan hukum pada era reformasi ini, pembaharuan terhadap substansi hukum mengarah kepada pendekatan kemasyarakatan, bukan lagi pada sisi legalistik formal. Kedua, struktur hukum dengan reformasi birokrasi, yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan sehingga terdapat minimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Birokrasi struktur peradilan menimbulkan mafia hukum atau mafia peradilan yang telah menjadi polemik dalam agenda pemberantasan korupsi sejak peralihan millennium yang selalu tidak terpecahkan. Ketiga, budaya hukum, merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat akan selalu taat, sadar, dan berpartisipasi atas pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Persoalan hukum adalah budaya hukum, ini berkaitan erat dengan soal etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi korupsi. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum di Indonesia, dan sangat mengganggu struktur dan substansi hukum secara keseluruhan. Dalam tataran budaya hukum dengan budaya kreatif, penegakan hukum tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu, mengedepankan komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi, jaksa, hakim dan KPK serta menerapkan sistem hukum pidana dengan melakukan action plan yang nyata. Harus ada political will dari kekuatan pemerintah tertinggi dalam hal ini Presiden bersama-sama DPR, DPD dengan suatu keberanian moral dan konsistensi hukum dengan merespon bahwa korupsi merupakan bahaya nyata bahkan bahaya laten yang dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. Diperlukan adanya pembentukan extra ordinary measure atau prosedur yang luar biasa dengan pembentukan komisi khusus gabungan yang melibatkan pengawasan semua unsur terkait serta upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, yang integrated, dengan pendekatan sistem atau systemic approach. Penulis: Dr. Drs. IGM Nurdjana, SH., M.Hum Penerbit: Pustaka Pelajar Tahun Terbit: 2010 Kolasi : xv, 450 hlm.; 23.5 cm. Bahasa : Indonesia Buku ini bisa dibaca di Perpustakaan KPK. Untuk informasi lebih lanjut hubungi: admin.perpustakaan@kpk.go.id.

Analisa Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Menurut UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 dan hukum Islam 2

BAB II Tindak Pidana Korupsi Dan Pembuktian Terbalik Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2001
2.1 Sejarah Lahirnya UU No 20 Tahun 2001 Sebelum membahas tentang pembuktian terbalik ada baiknya jika penulis sedikit membahas sedikit tentang bagaimana UU No 20 itu muncul. Undang-undang No 20 tahun 2001 merupakan undang-undang yang dibuat untuk menyempurnakan undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sehingga dalam pelaksanaannya untuk memberantas korupsi, adanya keterkaitan antara UU No 31 tanun 1999 dengan UU No 20 tahun 2001 dengan cara saling melengkapi. Hal ini terjadi pada masa Baharuddin Lopa menjadi menteri kehakiman.

Tujuan awalnya adalah untuk menambahkan ketentuan tentang pembuktian terbalik, kemudian berubah menjadi undang-undang baru mengantikan undang-undang yang lama.[1] Beban pembuktian yang pertama yaitu menyangkut dengan pemberian atau grativikasi yang dalam jumlah diatas satu juta rupiah harus dilaporkan. Jika tidak dianggap suap sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Berarti penuntut umum hanya membuktikan satu bagian dari inti delik, yaitu adanya pemberian bagi abdi negara atau penyelenggara Negara. Ini merupakan ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang No 20 tahun 2001. Sedangkan di dalam undang-undang No 31 tahun 1999 tidak ada ketentuan pembuktian terbalik. Hal ini dikarenakan penolakan yang dilakukan oleh anggota DPR dalam rancangan Undang-Undang tersebut. Pembalikan beban pembuktian yang di ajukan di dalam UU baru yaitu UU No 20 tahun 2001 menyangkut dengan perampasan harta benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan korupsi yang didakwakan. Jadi harta yang di peroleh sesudah melakukan perbuatan korupsi yang dibuktikan dengan pembuktian biasa, dianggap diperoleh juga dari perbuatan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya. Perubahan lainnya yang terdapat di dalam UU No 20 tahun 2001 dan tidak terdapat di dalam UU yang lama yaitu UU No 31 tahun 1999 adalah tentang ancaman pidana minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya telah ditentukan.

2.2 Definisi pembuktian terbalik pidana korupsi

[1]

Istilah pembuktian yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pembuktian dalam lapangan hukum pidana. Selain itu juga akan disinggung sedikit tentang pembuktian dalam lapangan hukum perdata sebagai pelengkap pembahasan. Karya tulis ini mempergunakan istilah sistem. Kata sistem berasal bahasa Yunani Systema, yang berarti sesuatu yang terorganisir, suatu keseluruhan yang kompleks. Sedangkan sub sistem adalah bagian dari sistem. Jadi, sistem berarti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu rangkaian keseluruhan.[2] Berangkat dari istilah tersebut, maka sistem hukum pembuktian diartikan sebagai suatu keseluruhan unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan dengan yang lain serta saling mempengaruhi. Sedangkan pembuktian secara etimologis berasal dari kata bukti yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jika mendapat awalan pe dan akhiran an maka berarti proses, perbuatan, dan cara membuktikan. Secara terminologis pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya terdakwa dalam sidang di pengadilan.[3] Menurut R. Subekti, pembuktian adalah usaha meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian, maka tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di

[2] Martiman Prodjohamidjoyo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi , (Bandung : Mandar
Maju, 2001), hal. 98.

[3] Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995).

muka hakim atau pengadilan.[4] Senada dengan Subekti, Adami Chazawi mengartikan pembuktian sebagai proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan tentang kebenaran suatu peristiwa.[5] Menurut R. Supomo, pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti yang terbatas.[6] Pembuktian dalam arti luas ialah membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti bahwa hakim menarik kesimpulan tentang apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Singkatnya, pembuktian adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang syah. Dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat, sedangkan apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah bahan pembuktian dipersoalkan. Menurut Sudikno Mertokusumo, pembuktian mempunyai beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis.[7] Yang dimaksud dari beberapa istilah tersebut adalah : a) Membuktikan dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
[4] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1983).

[5] Adami Chazawi, Hukurn Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia , (Malang : Bayumedia
Pulishing, 2003).

[6] Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978).

[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberti, 1998).

b)

Dalam arti konvensional, pembuktian berarti memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan sebagai berikut :

(1) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Oleh karena itu, kepastian ini bersifat intuitif (Conviction intime). (2) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut Conviction Raissonnce. c) Dalam perspektif yuridis, membuktikan berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Pembuktian secara yuridis ini hanya berlaku bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti ini tidak menuju kepada kebenaran mutlak karena ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan dalam arti yuridis dalam lapangan hukum acara pidana tidaklah sama dengan pembuktian dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran dari anggapan dari para pihak yang berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materill, yaitu kebenaran sejati yang harus ditegakkan. Dalam hukum acara perdata hakim bersifat pasif, yaitu memutuskan perkara semata-mata berdasarkan hal-hal yang dianggap benar oleh para pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka dalam sidang pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak individu yang dilanggar, selama pihak yang dirugikan tidak melakukan gugatan di pengadilan.

Berbeda dengan hakim dalam hukum acara pidana yang harus bersikap aktif, yaitu hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup mampu untuk membuktikan dengan apa yang didakwakan kepada terdakwa.[8] Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu proses mempergunakan alat-alat bukti di sidang pengadilan sesuai dengan hukum acara yang berlaku, sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. Sistem pembuktian dan alat-alat bukti diatur dalam BAB XVI Bagian Keempat, pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP. Kewajiban hakim pidana dalam menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna memperoleh kebenaran materiil terhadap : a) Perbuatan mana yang dianggap terbukti. b) Apakah telah terbukti bahwa terdakwa telah bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya. c) Delik apa yang telah dilakukan oleh terdakwa. d) Macam pidana yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Pada umumnya dalam pembuktian perkara pidana termasuk delik korupsi, diterapkan hukum acara sesuai dengan aturan KUHAP. Selain itu, dalam pemeriksaan delik korupsi, selain diterapkan aturan KUHAP juga aturan hukum acara khusus yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam penjelasan kedua undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hukum acara korupsi

mempergunakan sistem pembuktian terbalik berimbang yang tidak diatur dalam KUHAP.

[8] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992).

Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembuktian terbalik, perlu diuraikan beberapa teori pembuktian, diantaranya : a. Teori Tradisional Menurut Bosch Kemper, ada beberapa teori pembuktian tradisional, yaitu : 1) Teori Negatif Teori ini menegaskan bahwa hakim diperbolehkan menjatuhkan pidana jika mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang syah bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut oleh Pasal 294 ayat (1) HIR yang menyebutkan keharusan adanya keyakinan hakim dan keyakinan tersebut didasarkan pada alat-alat bukti yang syah. 2) TeoriPositif Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa jika terdapat bukti minimum yang diatur oleh undang-undang. Hakim diwajibkan memutus bersalah atas terdakwa apabila terdapat bukti-bukti yang dimaksud oleh undang-undang. Singkatnya, tidak ada bukti, tidak dihukum, ada bukti harus dihukum. Teori ini dianut oleh KUHAP, yakni pada pada Pasal 183 yang menyebutkan : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila diperoleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.[9]

3) Teori Bebas Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Inti dari teori ini adalah hakim dapat memutus bersalah atas terdakwa berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada alasan-

[9] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman-pengalaman.[10] Teori irti tidak dianut oleh sistem HIR maupun sistem KUHAP.

b. Teori Modern Teori ini diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, yaitu : 1) Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke overtuiging atau conviction intime). 2) Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie). 3) Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie). 4) Teori keyakinan atas alasan negatif (berenedeerde vertuging atau conviction raisonnee). 5) Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke overtuiging). 6) Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).

Adapun penjelasan dari teori-teori pembuktian di atas adalah sebagai berikut : 1) Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke overtuiging atau conviction intime). Menurut teori ini hakim boleh mendasarkan suatu keadaan dan boleh memutuskan berdasarkan keyakinannya belaka dengan tidak terkait oleh suatu peraturan. Dengan kata lain hakim boleh menyatakan suatu keadaan telah dianggap terbukti dengan hanya berdasarkan perasaan.[11]

[10] B. de Bosh-Kemnper dalam R. Tresna, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di dalam Pemeriksaan
di Muka Pengadilan Negeri, (Jakarta), hal. 242.

[11] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1962), hal. 71.

Kelemahan sistem pembuktian ini adalah terlalu memberikan kekuasaan dan kepercayaan yang besar kepada hakim sehingga sulit untuk melakukan control. Penggunaan sistem ini di peradilan Juri Perancis mengakibatkan banyak putusan bebas yang tidak realistis dan logis.[12] 2) Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie). Dalam teori ini, undang-undang menentukan ragam alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, bagaimana cara hakim mempergunakan alat bukti serta kekuatan dari masing-masing alat bukti. Keadaan dianggap terbukti apabila sudah dibuktikan dengan mempergunakan alat bukti yang sudah ditetapkan oleh undang-undang meskipun hakim berkeyakinan lain. Menurut D. Simon, sistem positief wettelijke di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya hukum acara pidana yang bersifat inquisitor. Peraturan tersebut dianggap memperlakukan terdakwa sebatas sebagai objek pemeriksaan dan hakim hanya sebagai pelengkap saja.[13] Sehingga kelemahan dari teori ini adalah tidak memberikan kepercayaan terhadap hakim yang hal ini bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran yang diyakini. 3) Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie). Pembuktian menurut teori ini menghendaki alasan yang disebutkan oleh undang-undang sebagai alat bukti, serta tidak diperbolehkan mempergunakan alat bukti lain yang tidak diatur oleh undang-undang. Dalam mempergunakan alat bukti tersebut, hakim harus mengacu pada undang-undang

[12] A. Minkenhof, hal 219, dikutip Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , (Chalia
Indonesia, 1985), hal. 241.

[13] D. Simon dikutip Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik UU No. 31
Tahun 1999, (Jakarta : Mandar Maju, 2001), hal. 103.

lstilah negatif dalam teori ini berarti belum cukup bagi hakim dalam memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang melainkan juga berdasarkan keyakinan hakim atas suatu kebenaran. Teori ini dianuti oleh HIR Pasal 294 ayat (1) dan juga Hukum Acara Pidana Belanda (Sv Ned).[14] Menurut pasal 294 HIR, pekerjaan hakim dalam beracara pidana adalah meneliti apakah bukti yang disyaratkan oleh undang-undang telah dipenuhi. Apabila sudah dicukupi, maka dengan mempergunakan keyakinannya, hakim akan memutus keadaan tersebut telah terbukti atau tidak. 4) Teori keyakinan atas alasan logis (berenedeerde vertuging atau conviction raisonnee). Menurut teori ini hakim menyebutkan alasan dalam mengambil keputusan tidak terlihat pada penyebutan alat bukti dan penggunaan alat bukti sesuai yang diatur oleh undang-undang, melainkan hakim bebas mempergunakan alat bukti lain asal didasarkan pada alasan yang logis.[15] 5) Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke overtuiging). Baik KUHAP maupun HIR menganut teori ini. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP dan yang menyebutkan : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuahi apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Esensi yang terkadung dalam Pasal di atas adalah : a) Disyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah. b) Terdakwalah yang telah bersalah melakukannya.

[14] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. [15] Wiryono Prodjodikoro, op. cit., hal. 72-73.

Kata sekurang-kurangnya memberikan batasan pada alat bukti minimum yang harus didatangkan pada saat pembuktian. Sedangkan kata-kata alat bukti yang syah memberikan pengertian bahwa hanya alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian pada semua bentuk tindak pidana termasuk korupsi. 6) Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie). Terdapat berbagai macam sistem pembuktian terbalik, di antaranya; sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of fault yang membebankan pembuktian secara penuh kepada terdakwa atau pembuktian terbalik murni. Dalam penjelasan undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud pembuktian terbalik terbatas atau berimbang adalah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Di sisi lain dalam proses pembuktian dibutuhkan alat-alat bukti guna membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Alat-alat bukti yang diatur oleh KUHAP dicantumkan pada Pasal 184, yaitu : a) Keterangan saksi. b) Keterangan ahli. c) Surat. d) Petunjuk.

e) Keterangan terdakwa. Jadi, ketentuan Pasal 184 KUHAP menentukan dua alat bukti sebagai bukti minimal, misalnya satu keterangan saksi dan keterangan ahli atau gabungan dari alat-alat bukti yang diatur dalam pasal ini. Sedangkan pada Pasal 294 ayat (1) HIR disebutkan : Tidak seorangpun boleh dihukum kecuali hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang syah, bahwa benar-benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang bersalah tentang perbuatan itu. Berbeda dengan KUHAP, HIR tidak menyebutkan secara tegas alat bukti minimum yang dikehendaki oleh undang-undang. Mengenai alat bukti yang diatur dalam HIR tercantum pada Pasal 295, yaitu : a) Keharusan adanya keyakinan hakim yang didasarkan pada. b) Alat-alat bukti yang syah bahwa benar telah terjadi suatu perbuatan yang dilarang dan terdakwalah yang melakukan perbuatan tersebut. Unsur ini merupakan dasar dari teori yang disebut teori negatif. Selain itu, unsur ini tidak mensyaratkan adanya keyakinan hakim. Adapun macam-macam alat bukti yang diakui HIR adalah : a) Keterangan saksi. b) Surat-surat. c) Pengakuan. d) Tanda-tanda atau penunjukan. Dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa, alat bukti kesaksian diutamakan. Hal ini disebabkan dalam pemeriksaan baik dihadapan penyidik, penuntut umum maupun hakim, selalu terjadi kecenderungan bagi terdakwa untuk mengelak atau memungkiri perbuatan yang telah dilakukannya. Di sisi lain, Subekti membedakan sistem pembuktian ke dalam 4 jenis, yaitu :

a) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie). Sistem ini menitikberatkan pada alat-alat bukti yang diatur dalam undang-undang. Dikatakan positif karena hanya didasarkan pada undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. b) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime), yaitu sistem pembuktian yang menitikberatkan pada keyakinan hakim tanpa mempertimbangkan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang. c) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan yang logis (La conviction intime) artinya bahwa hakim dapat memutus bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan. d) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke) adalah hakim dapat memutus bahwa telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu. Sedangkan yang dimaksud dengan pembuktian terbalik adalah terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan oleh penuntut umum dengan cara memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminva, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.[16]

[16] Ha1 ini sesuai dengan Pasal 28 dan Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undangundang Nomor 20 Tahun 2001.

Dari beragam pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembuktian terbalik adalah suatu proses mempergunakan alat-alat bukti dalam sidang pengadilan yang diwajibkan kepada terdakwa, sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh Penuntut Umum. Singkatnya pembuktian terbalik adalah pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Dalam proses pembuktian, termasuk pembuktian terbalik diharuskan untuk menghadirkan alat bukti kepada pihak yang dibebani tanggung jawab pembuktian guna memperkuat argumennya. Sedangkan alat bukti adalah alat yang digunakan pegangan bagi hakim sebagai dasar untuk memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegang pada alat bukti tersebut dapat diperoleh suatu putusan yang adil.[17] Dalam hukum acara pidana, tentang alat bukti diatur dalam pasal 184 KUHAP yang mengatakan bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari : a) Keterangan saksi. b) Keterangan ahli. c) Surat. d) Petunjuk, dan e) Keterangan terdakwa. Telah dijelaskan bahwa pembuktian adalah tahap yang paling utama dalam penegakan hukum pidana. Pada tahap inilah dipertaruhkan nasib seorang terdakwa. Selain itu tahap ini adalah titik sentral dari pertanggungjawaban hakim mengenai amar putusan yang akan

[17] Nashr Farid Washil, op. cit., hal. 23.

diambilnya. Bagaimana amar yang akan diputuskan oleh hakim tergantung dari hasil pembuktian di sidang pengadilan. Hasil dari kegiatan peradilan akan diperoleh suatu konstruksi peristiwa yang telah terjadi. Benar atau tidaknya rekonstruksi tersebut sepenuhnya bergantung pada proses pembuktian. Dalam merekonstruksi itulali diperlukan alat bukti dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentnan yang ada. Maka dibentuklah konstruksi dari peristiwa yang sudah terjadi yang sama dengan peristiwa yang sebenarnya. Dalam hukum pidana formil umum, macam-macam alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian serta cara penggunaannya dan batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakan pidana materiil korupsi melalui hukum pidara formil secara umum termasuk ketentuan perihal pembuktian adalah tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP. Namun, dalam hukum pidana khusus terdapat pula ketentuan mengenai hukum acara yang sifatnya khusus yang merupakan pengecualian. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam pidana formil korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan pengecualian yang ada dalam KUHAP. Kekhususan sistem pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang berbeda dengan pembuktian yang diatur dalam KUHAP adalah sistem pembuktian terbalik. Disebut pembuktian terbalik karena menurut sistem pembuktian yang ada pada hukum pidana formil umum (KUHAP), beban pembuktian dibebankan pada penuntut umum untuk membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dan terdakwalah pelakunya. Sedangkan terdakwa tidak perlu membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana. Walaupun sebenarnya hak terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah tetap ada, karena hal ini adalah hak dasar yang dimiliki terdakwa. Sistem pembuktian konvensional tersebut sesuai

dengan prinsip umum pembuktian bahwa barang siapa yang mendakwakan sesuatu dialah yang dibebani tanggung jawab untuk membuktikan kebenaran tentang apa yang didakwakannya. Pada dasarnya, penerapan sistem pembuktian terbalik diilhami dari maraknya korupsi yang telah mengakar kuat dan membudaya dalam kehidupan bangsa ini. Ketentuan yang bersifat premium remidium tersebut diharapkan dapat memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Ketentuan ini hanya diterapkan pada tindak pidana korupsi dan tidak pada extra ordinary crime yang lain karena lebih dipengaruhi oleh kebijakan politik yang ada pada struktur hukum. Padahal struktur dalam sistem hukum yang ada di Indonesia sangat buruk. Indikasi dari hal ini adalah buruknya administrasi dan moral para aparat hukum dan pejabat pemerintah terbukti dengan banyaknya para aparat hukum dan pejabat pemerintahan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sistem hokum maka tidak cukup pada subtansi atau materinya saja akan tetapi disertai dengan perbaikan struktur atau moral para aparatnya. Dengan kata lain, bukan hanya menerapkan pembuktian terbalik, akan tetapi memperbaiki moral pejabat di Indonesia. Sebenarnya pembuktian terbalik di Indonesia bukanlah hal yang baru. Dalam lapangan hukum perdata pembuktian terbalik sudah diatur dan diterapkan, di antaranya dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 35 ayat (1) dan (2) serta Pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, yang secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya dalam persidangan. Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan :

Penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya rnenimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungun hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan / atau menghasilkan limbah bahan berhahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan: Penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini : Adanya bencana alam atau peperangan ; atau Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuau manusia ; atau Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup, dan Dalam hal terjadi kerugian yang disebahkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Pada ayat 2 undang-undang ini secara tegas disebutkan bahwa jika yang bersangkutan yakni penanggung jawab usaha dapat membuktikan bahwa pencemaran tersebut disebabkan oleh sebab di luar kesengajaannya dan disebabkan oleh force majeur, maka ia dibebaskan untuk membayar ganti rugi. Di samping itu Pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindimgan Konsumen, juga secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya dalam persidangan. Pasal 19 Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen menyebutkan : 1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan / atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan / atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan / atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan / atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

1. 2. 3. 4.

2)

3)

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya uusur kesalahan. Penerapan asas pembuktian terbalik dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 adalah adanya faktor ketidaktahuan konsumen mengenai bahan yang dipakai dalam proses produksi dan ketentuan distribusi produsen. Konsumen perlu dilindungi jika memang dirugikan oleh produsen. Selain itu juga karena posisi produsen yang cenderung lebih mampu secara materi, sehingga ia lebih kuat posisinya untuk melakukan gugatan dan pembelaan. Oleh karena itulah produsen yang harus membuktikan bahwa bahan produksi dan proses distribusi yang dilakukannya tidak akan merugikan konsumen di sidang pengadilan. Jika produsen dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindakan yang merugikan konsumen, maka dia bisa terbebas dari tuntutan ganti rugi. Pada dasarnya terdapat berbagai macam sistem pembuktian terbalik, di antaranya : sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of fault yang membebankan pembuktian secara penuh kepada terdakwa atau pembuktian terbalik murni. Sedangkan menurut penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 bahwa pembuktian terbalik yang dimaksud adalah pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang selurah harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Selain itu, sesuai dengan penjelasan Undang-undang Nomor 20 Tahun bahwa penerapan pembuktian terbalik dilatarbelakangi oleh meluasnya tindak pidana korupsi yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Oleh karena itu, pembuktian terbalik tersebut adalah salah satu penyelesaian di luar kebiasaan hukum acara formil. Selain itu dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

2.3 Ancaman Hukum Bagi Petindak Pidana Korupsi Ancaman hukuman bagi petindak pidana korupsi jelas diatur di dalam undang-udang No 20 tahun 2001 pada pasal 2, pasal 3, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 12 B, pasal 12 C dan pasal 13. Hukuman yang diberikan mulai dari hukuman penjara minimum satu tahun sampai dengan seumur hidup, ditambah dengan denda sampai dengan satu miliar. Hal ini sebagaimana terlihat pada pasa pasal yang penulis kutip, antara lain: Pasal 2: (1) setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Pasal 3: setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar). Pasal 5: dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. member atau menjanjikan sesuatu kepada pengawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pengawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. member sesuatu kepada pengawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pasal 6: dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana dendan paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau, b. member atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Pasal 7: dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah); Pasal 8: dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) Pasal 9: dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sidikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pengawai negeri atau orang selain pengawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

2.4 Ketentuan Dan Prosedur Pembuktian Terbalik Dan Jenis-Jenisnya Ketentuan mengenai sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut : 1) Pasal 37. 2) Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b Jo Pasal 38. 3) Pasal 37A, dan 4) Pasal 38B. Apabila diteliti lebih seksama ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka ketentuan tentang pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang berbeda dengan hukum pidana formil umum adalah :

1) Hukum formil korupsi menurut Pasal 37 jo 12B ayat (1) huruf a menganut sistem pembuktian terbalik. 2) Pasal 12B ayat 1 huruf a dan b Menganut sistem pembuktian terbalik berimbang bersyarat. 3) Mengenai hal-hal tertentu mengenai harta yang telah didakwakan menganut sistem pembuktian semi terbalik (Pasal 37A dan 12 huruf b), dan 4) Bahwa dalam hal mengenai harta benda yang belum didakwakan dalam perkara yang sedang diperiksa juga menganut sistem pembuktian semi terbalik (Pasal 38B). Penjelasan dan ketentuan Pasal-pasal di atas adalah : 1. Pasal 37 menyebutkan : a) Terdakwa menipunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Sistem pembuktian pada hukum pidana formil umum tidak berlaku sepenuhnya untuk tindak pidana korupsi sebagaimana pada Pasal 37 di atas yang menganut sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik menurut Pasal 37 diterapkan pada tindak pidana selain yang dirumuskan dalam pasal-pasal : 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16[18] Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pasal : 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12[19] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, karena bagi tindak pidana yang disebutkan tadi pembuktiannya berlaku semi terbalik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37A dan 38B.

[18] Lihat lampiran.

[19] Lihat lampiran.

Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam Pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a), yakni kewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa berhasil membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berlaku Pasal 37 ayat (2). Selanjutnya hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Apabila hakim dalam vonisnya mempertimbangkan bahwa terdakwa tidak melakukan korupsi menerima gratifikasi, maka harus diikuti dengan penetapan diktum putusan yang isinya pembebasan (vrijspraak) atau pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvolging). Diputus bebas dari segala dakwaan apabila kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan terbukti (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Pengertian kalimat tidak melakukan tindak pidana dalam Pasal 37 ayat (2) adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP. 2. Seperti telah disebutkan di atas bahwa untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari sepuluh juta, sistem pembebanan pembuktian Pasal 37 tidak berlaku. Hal ini disebabkan menurut Pasal 12B ayat (1) huruf b bahwa beban pembuktiannya merupakan tanggungjawab penuntut umum untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, pada sisi lain Pasal 37 membebankan pembuktian pada terdakwa. Jadi, untuk suap menerima gratifikasi yang berlaku adalah sistem pembuktian biasa seperti yang diatur dalam KUHAP, dan tidak berlaku sistem yang ditentukan dalam pasal 37A maupun 38B, karena pasal 12B ayat (1) huruf b tidak disebut dalam pasal 37A maupun pasal 38B.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila dilihat hanya dari ketentuan pembebanan pembuktian menurut pasal 37 yang dapat dihubungkan juga dengan pasal 12B ayat (1) huruf a, maka sistem pembuktian dalam hal ini adalah menganut sistem pembuktian terbalik murni. Akan tetapi, apabila sistem pembuktian semata-mata dilihat dari pasal 12B ayat 1 huruf a dan b tidak dipisahkan, maka sistem pembuktian seperti itu dapat disebut sistem pembuktian berimbang bersyarat, bergantung pada syarat-syarat tertentu siapa yang memenuhi syarat itulah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. 3. Dalam hal-hal tertentu yang disebut dengan sistem pembuktian terbalik pada Pasal 37 tadi digunakan sistem yang lain, yakni khusus mengenai kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh hartanya, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 37A yang menyebutkan : a) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. b) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. c) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaannya ini tidak lagi menggunakan sistem pembuktian terbalik murni sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37, yakni apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, maka ketidakmampuan dalam membuktikan ini digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dan terdakwalah pelakunya.

Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana dimaksud Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16 Undangundang Nomor 31 tahun 1999 dan Pasal : 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian yang demikian ini dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik, tetapi tidak tepat disebut dengan sistem pembuktian terbalik murni. Karena dalam tindak pidana korupsi terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi yang apabila tidak berhasil keadaan tersebut dapat memberatkannya. Namun, penuntut umum juga berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 4. Penjelasan selanjutnya mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan sedangkan perkara yang akan didakwakan tersebut merupakan suatu tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 atau Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Dalam hal ini, maka terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan dari tindak pidana korupsi (yang diajukannya pada saat melakukan pembelaan). Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh bukan dari hasil korupsi, maka harta tersebut dianggap diperoleh juga dari korupsi dan hakim berwenang untuk memutuskan bahwa seluruh atau sebagian harta tersebut dirampas untuk Negara.[20]
[20] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 38B ayat (2) menyebutkan, Dalam hal terdakwa tidak
membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.

Dalam hal ini tidak ditentukan adanya kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti pada Pasal 37A ayat (3).[21] Tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa yang belum dimaksukkan dalam dakwaan ini hal tersebut dapat diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan surat tuntutan pada perkara pokok (Pasal 38B ayat 3). Selanjutnya pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. Selain itu, hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).[22] Selain pembuktian terbalik, kekhususan lain yang diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan yang berkaitan dengan pembuktian adalah adanya perluasan bukti petunjuk yang diatur oleh KUHAP. Dalam hukum acara pidana alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu : a) Keterangan saksi. b) Keterangan ahli c) Surat. d) Petunjuk, dan e) Keterangan terdakwa.

[21]

[22] Pasal 38B ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Meskipun alat bukti petunjuk disebutkan pada urutan ke-4 bukan berarti alat bukti ini mempunyai daya pengaruh yang lemah daripada urutan alat bukti di atasnya. Dalam sistem pembuktian tidak mengenal kekuatan pembuktian yang didasarkan pada urutannya. Kekuatan alat bukti dalam pasal 184 ayat (1) KUHP tersebut sama kuat. Hal ini berkaitan dengan pasal 183 yang menyebutkan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwahlah yang bersalah melakukannya. Kata sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa kekuatan alat-alat bukti tersebut sama. Yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah : Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Jika dirinci, maka unsur-unsur dari pasal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Adanya perbuatan, kejadian atau keadaan. b. Ada persesuaian antara :

1)

Perbuatan, kejadian atau keadaan yang satu dengan perbuatan, kejadian atau keadaan yang lainnya ; atau

2) Perbuatan, kejadian atau keadaan itu dengan tindak pidana itu sendiri.

c. Menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Dari pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa sifat bukti petunjuk berbeda dengan alat bukti yang lain yang berdiri sendiri. Berbeda karena alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri

sendiri, keadaan dan atau kejadian itu tidak berdiri sendiri akan tetapi merupakan suatu bentukan atau konstruksi hakim yang didasarkan pada alat-alat bukti lainnya yang telah dipergunakan dalam memeriksa perkara tersebut. Hal ini berimplikasi pada ketidakmungkinan diperolehnya bukti petunjuk sebelum dipergunakannya alat-alat bukti yang lain. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (2) di antaranya : 1) Keterangan saksi. 2) Keterangan surat-surat, dan 3) Keterangan tersangka. Undang-undang tersebut tidak menyebut keterangan ahli karena alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari alat-alat bukti yang membuktikan kejadian yang sebenarnya, seperti saksi mengenai apa yang dia lihat, dengar dan apa yang dialaminva. Sedangkan keterangan ahli hanya menerangkan tentang segala sesuatu secara teoritis menurut keahliannya. Sebenarnya bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari penggunaan keterangan ahli, namun karena undang-undang hanya menentukan 3 alat bukti saja, maka hakim dalam membangun bukti petunjuk tidak dibenarkan mempergunakan keterangan ahli. Hal ini disebabkan oleh adanya asas legalitas dalam hukun pidana. Dalam hukum pidana formil korupsi, alat bukti petunjuk tidak hanya dapat dibangun dari 3 alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 188 ayat (2), melainkan diperluas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26A huruf a dan b Undang-undang No. 20 Tahun 2001, yaitu : 1) Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2)

Dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau disimpan secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Sumber atau data yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam membangun bukti petunjuk dalam kasus korupsi telah diperluas seperti yang tercantum dalam pasal di atas. Hal ini karena korupsi termasuk dalam tindak pidana yang sangat membahayakan semua aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembuktian terbalik berimbang atau terbatas yang diatur oleh KUHAP adalah pembuktian terbalik quasi dan bukan pembuktian terbalik murni. Dikatakan quasi atau semu karena secara redaksional ayat dalam suatu pasal menjelaskan pembuktian yang seakan-akan merupakan pembuktian terbalik. Akan tetapi secara subtansial tidak berbeda dengan pembuktian konvensional. Hal ini terlihat bahwa kewajiban untak membuktikan tetap merupakan tanggung jawab penuntut umum. Selain itu, tanggung jawab pembuktian bagi terdakwa sebatas hak dan bukan kewajiban. Sehingga jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak tidak melakukan tindak pidana korupsi atau tidak mempergunakan haknya, maka tidak berimplikasi pada penjatahan pidana bagi terdakwa akan tetapi hanya dijadikan sebagai bahan oleh hakim dalam memutus perkara. Pembuktian terbalik berimbang atau terbatas yang merupakan pembuktian terbalik atau semu tersebut sangat berbeda dengan pembuktian terbalik murni yang membebankan pembuktian pada terdakwa dan berimplikasi pada penjatuhan sanksi apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan oleh penuntut umum.

PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA


PENGERTIAN SPP : SUATU MEKANISME, PROSEDUR (CARA PENYELESAIAN) PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA PENGERTIAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU (SPPT) atau INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM (ICJS) adalah : SUATU CARA PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA SECARA TERPADU, MULAI DARI TAHAP PENYELIDIKAN /PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, PEMERIKSAAN DIDEPAN PERSIDANGAN, PENJATUHAN PUTUSAN, UPAYA HUKUM, SAMPAI DENGAN PELAKSANAAN PUTUSAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP. APA PENTINGNYANYA SPPT atau ICJS ? SPPT atau ICJS PENTING KARENA MERUPAKAN INSTRUMENT DALAM KERANGKA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA MATERIL. DIMANA KETENTUAN SPPT ITU DIATUR DALAM HUKUM POSITIF KITA DI INDONESIA ? 1. DALAM UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP 2. Ketentuan Hukum, Ketentuan Perundang-undangan diluar KUHAP yang mengatur tentang hukum acara pidana. SUB SISTEM PERADILAN PIDANA DAN KETENTUAN POKOK YG MENGATUR TUPOKSINYA. 1. KEPOLISIAN (UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI) 2. KEJAKSAAN (UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI) 3. PENGADILAN (UU No.49 Tahun 2009 Tentang Kehakiman) 4. ADVOKAT (UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat) 5. LEMBAGA PEMASYARAKATAN (UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan) BEBERAPA ISTILAH SEHUBUNGAN PEMBUKTIAN TERBALIK / PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PEMBUKTIAN TERBALIK (Omkering Van Het Bewijslats/Reversel Burden Of Proof/Onus Of Proof) / PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN (shifted burden prove)/ PERGESERAN BEBAN PEMBUKTIAN. PEMBUKTIAN TERBALIK MURNI PEMBUKTIAN TERBALIK TERBATAS PEMBUKTIAN TERBALIK TERBATAS DAN BERIMBANG PRO DAN KONTRA PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK/PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

Pandangan

yang

Pro/Setuju:

Presiden SBY di Istana Negara ,Senin (17/1), mengeluarkan 12 INPRES mengenai penanganan kasus mafia pajak dan mafia hukum. Poin 5 instruksi tersebut berbunyi : Melakukan methode pembuktian terbalik untuk efektivitas penegakkan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Wakil Presiden Boediono memerintahkan agar penegak hukum menerapkan pembuktian terbalik dalam mengungkap kasus korupsi pajak GT senilai Rp 28 miliar dan Rp 74 miliar. Metode pembuktian terbalik, kata Boediono, efektif dapat mengungkapkan kasus mafia pajak. Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan, metode pembuktian terbalik terbukti efektif pada kasus korupsi Tdkw BHSYM Penegak hukum, kata Basrief, berhasil merampas kepemilikan uang Terdakwa senilai Rp 66 miliar. karena Terdakwa tak mampu menjelaskan dari mana dirinya memperoleh uang Rp 66 miliar. Penerapan sistem pembuktian terbalik ini, menurut keterangan seorang pejabat Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif untuk memberantas TIPIKOR, karena seseorang akan takut melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberi penjelasan yg memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau, memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah. (Kompas, 14 April 2001). Sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut, dan berhasil dilaksanakan dibeberapa Negara seperti, Hongkong, Malaysia,dan Singapura. Pandangan Terhadap yang pembuktian Kontra: yaitu :

Penerapan

asas

terbalik

Hukum Acara Pidana digunakan dalam proses kejahatan korupsi, khususnya dalam hal pembuktian adalah UU No. 8 Tahun 1981, Undang-undang tersebut tidak mengenal asas pembuktian terbalik. Asas ini dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia apabila dikaitkan dengan asas Presumption Of Innocence atau asas praduga tak bersalah. Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah. ( Non Self Incrimination). Proses penanganan perkara yang sangat lambat,karena akan berbenturan dengan privasi. Bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP : Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian Bertentangan dengan Pasal 189 Ayat (4) KUHAP : Keterangan terdakwa saja , tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain, Bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Bertentangan dengan Prinsip Hukum Barang siapa yang mendalilkan, maka dia pulalah yang harus membuktikan Sangat Merugikan Tersangka/Terdakwa. Dapat menimbulkan Judicial Crime PEMBUKTIAN TERBALIK/PEMBALIKAN KETENTUAN PER UU DI INDONESIA BEBAN PEMBUKTIAN DLM

1. UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam UU ini kembali diatur Sedikit ketentuan mengenai pembuktian terbalik, yaitu dalam pasal 77, yang menyatakan: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Selanjutnya dalam Pasal 69 dikatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime). Pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian, seorang terdakwa harus dapat membuktikan asal atau sumber kepemilikan uangnya. Jika terdakwa tak mampu menjelaskannya, sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, negara berhak merampas uang tersebut. 2. Pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban pembuktian) , Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum. 3. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 memang telah diatur mengenai pembuktian terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat terbatas , artinya terdakwa berhak untuk membuktikan, tetapi,karena Penuntut Umum tetap wajib membuktikan dakwaannya.. 4. Pembuktian terbalik tersebut dapat dijumpai dalam Pasal 12 b UU No 20 Tahun 2001 Jo UU No 31 Tahun 1999 yang pada intinya menyebutkan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dapat dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan untuk nilai gratifikasi di atas sbb Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukanlah merupakan suap, dilakukan oleh terdakwa (penerima gratifikasi). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat melakukan tindak pidana korupsi.

bukti yg sudah ada bahwa terdakwa telah

PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK/PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA Bagaimana proses pembuktian terbalik itu? Pembuktian terbalik pertama kali diterapkan dalam kasus Bhsym A, mantan pejabat pajak dan Bappenas. Awalnya, PPATK mencurigai transaksi keuangan di rekening istri dan dua putri Bhsym sejak tahun 2004 hingga 2010 yang mencapai Rp 932 miliar. Total saldo di seluruh rekening saat diblokir sekitar Rp 65 miliar. 2. Penyidik lalu meminta keterangan yang bersangkutan dari mana asal hartanya. namun, dia tak mampu menjelaskan. Dari harta Rp 64 miliar, penyidik hanya mampu membuktikan korupsi senilai Rp 1 miliar (suap dari K M). Sisanya, penyidik menjerat dengan pasal pencucian uang. 3. Di pengadilan, hakim meminta Bhsym membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil berbagai usaha. Bhsym lalu menunjukkan dokumen-dokumen yang dia klaim sebagai bukti usaha. Namun, dalam vonis, majelis hakim tak mengakui seluruh bukti itu lantaran tak sah menurut hukum.

Akhirnya, hakim memvonis Bahasyim penjara selama 10 tahun ditambah denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Tak hanya itu, harta senilai Rp 60,9 miliar ditambah 681.147 dollar AS dirampas untuk negara karena terbukti hasil tindak pidana.

Pemiskinan Koruptor, Perlu UU Pembuktian Terbalik

Senin, 23 Agustus 2010 11:27

Wacana pemiskinan koruptor mulai digelindingkan. Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil sepakat dengan wacana ini, dengan catatan harus didukung oleh payung hukum yang tepat. Kalau mau efektif harus didukung dengan Undang-Undang Pembuktian Terbalik, sehingga penyelenggara negara nantinya mampu mempertanggungjawabkan seluruh kekayaannya. Tidak hanya pas ada case saja, terang Nasir kepada okezone, Senin (23/8/2010). Kendati, lanjut Nasir, wacana ini kemudian hanya bisa diterapkan kepada pejabat, sementara pihak swasta selaku rekanan, tetap hanya bisa dilakukan penyitaan saat ada kasus tertentu. Tentu (UU Pembuktian Terbalik) ini sangat tergantung dari keberanian Presiden. Kalau Presiden benar-benar serius, perundang-undangan ini akan menjadi payung hukum yang tepat. Kalau tidak ini hanya akan jadi wacana. Karena bagaimana pun unsur keadilan tetap harus ditegakan, jelasnya. DPR akan menginisiasi UU ini? Menurut Nasir, DPR tampaknya sulit untuk meengawali pembahasan undang-undang ini. UU Pembuktian terbalik ini bisa saja jadi senjata makan tuan bagi penyelenggara negara. Karena nantinya kalau ada kejanggalan pada harta kekayaan mereka, bisa kena semuanya. Ini memang masih menjadi persoalan, papar politisi asal Aceh ini.

Sumber: Okezone

Pembuktian Terbalik
Diterbitkan Agustus 29, 2011 Artikel Pengamat Ditutup Tag:Desti Maharani, pembuktian terbalik

Oleh Desti Maharani Korupsi merupakan suatu penyakit laten yang telah lama diderita bangsa ini. Salah satu kendala dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi adalah sulitnya aparat penegak hukum untuk mencari bukti-bukti yang mendukung bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi. Penuntut umum dalam pemeriksaan di pengadilan harus mampu membuktikan seluruh unsur delik yang didakwakan, sedangkan tersangka ataupun terdakwa sama sekali tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal ini tentu menjadi kendala pada kasuskasus tertentu yang memang pembuktiannya tidak mudah. Untuk membantu pembuktian pada kasus-kasus tertentu itulah, pembuktian terbalik hadir untuk menawarkan sebuah solusi. Yang dimaksud dengan terbalik di sini berarti sebuah kebalikan dari beban pembuktian yang biasa digunakan. Jika pada umumnya beban pembuktian ditumpukan sepenuhnya pada penuntut umum, kali ini tersangka juga dikenakan kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Pada penerapannya, Indonesia telah menganut pembuktian terbalik secara terbatas. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana mengatakan bahwa pembuktian masih berimbang antara penuntut umum dan terdakwa karena ternyata penuntut umum masih harus ikut membuktikan, walau memang bebannya tidak sebesar pada pembuktian biasa.. Pembuktian terbalik adalah salah satu senjata yang bisa digunakan untuk memberantas korupsi.Namun di sisi lain, pembuktian terbalik juga bisa menjadi bumerang jika digunakan oleh orang-orang yang salah. Pembuktian terbalik dapat digunakan sebagai alat untuk saling tuduh menuduh dan ajang balas dendam. Dalam analoginya seperti sebuah pabrik senjata, bukan senjatanya yang salah. Tapi jika ada penyalahgunaan, itulah yang membuat senjata itu salah. Pada prinsipnya, pembuktian terbalik memang dapat menekan angka kejahatan,karena akan membuat pelaku berpikir ulang sebelum bertindak. Namun, pembuktian terbalik tetap memerlukan seperangkat aturan pendukung yang harus dikaji secara matang. Perangkat peraturan itu dapat mencakup ketentuan bukti permulaan apa saja yang harus dipenuhi sebelum dapat menyeret seseorang ke pengadilan dan apa sanksi bagi yang menyalahgunakan pembuktian terbalik ini. (Sumber: Seputar Indonesia, 26 Agustus 2011). Tentang penulis: Desti Maharani, Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai