Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) marak akhir-akhir ini,

menjadi sangat menarik perhatian di Republik Indonesia saat ini salah satu

permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Pencucian uang secara sederhana

diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes)

atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari korupsi,

penggelapan pajak, obat bius, penyelundupan dan lain-lain yang dikonversikan

atau diubah ke dalam bentuk yang nampak sah agar dapat digunakan dengan

aman.1 Dengan kata lain, pencucian uang merupakan suatu proses atau perbuatan

yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau

harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah

menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah, dan jenis

kejahatan ini dari waktu ke waktu menjadi semakin rumit dalam hal

penanganannya karena disertai dengan bertambah majunya teknologi dan

rekayasa keuangan yang cukup sulit.2

Korupsi sekarang ini bukan lagi merupakan persoalan domestik. Tetapi

sudah mengglobal, bukan merupakan kejahatan biasa tetapi merupakan kejahatan

1
Sarah N. Welling, “Smurf, Money Laundering, and The U.S. Fed. Criminal Law : The
Crime of Structuring Transactions,” Flo. L. Rev, vol. 41, (1989), hlmn. 290, yang dikutip oleh
Yenti Garnasih, Kriminal Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta : Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 1.
2
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. “Pedoman Umum Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Jasa Pelayanan Keuangan Edisi I”,
(Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2003), hlm. 4.

1
2

luar biasa (extraordinary crime) dan tidak saja dilakukan crosborder3 atau

transnasional. Dari beberapa fakta yang ada, telah terjadi kesenjangan antara das

sollen dan das sein (aturan hukum korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi)

dengan realita di lapangan dimana kasus korupsi berupa suap dalam bentuk

gratifikasi yang masih saja terus terjadi.

Dengan demikian keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money

laundering) dapat digunakan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi di

Indonesia,4 karena Undang-Undang tersebut memiliki berbagai kelebihan dan

melakukan terobosan hukum antara lain kewenangan penghentian dan penundaan

transaksi dalam rangka menyelamatkan asset hasil kejahatan untuk negara serta

mekanisme non-conviction based asset forfeiture5 (perampasan asset tanpa

pemidanaan) dalam merampas hasil kejahatan penggabungan penyidikan tindak

pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal, penerobosan terhadap

ketentuan rahasia bank dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang yang

berasal dari tindak pidana korupsi, perluasan alat bukti, pemeriksaan dan putusan

tanpa kehadiran terdakwa (figitife entlement-in absentia), ketentuan kebebanan

pembuktian terbalik pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, tidak adanya

3
M. Yusuf, Seminar Nasional “Efektifitas Penggunaan Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Upaya
Pemiskinan Koruptor, hlm. 3.
4
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak
Pidanan Pencucian Uang.
5
Marwan Effendi, Seminar Nasional “ Upaya Pemiskinan Koruptor melalui Instrumen
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang”, Tahun 2012, hlm. 1.
3

kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asal untuk melakukan penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

Mengingat permasalahan pencucian uang (money laundering) baru

dinyatakan sebagai tindak pidana oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang disahkan dan diundangkan

pada tanggal 17 April 2002. Dengan Undang-Undang (TPPU) tersebut, para

pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk mengkriminalisasikan kejahatan

pencucian uang (money laundering) menjadi suatu perbuatan yang dilarang oleh

hukum pidana.6

Sebagai Undang –Undang yang baru, sudah tentu memuat permasalahan

yang baru pula bagi negara Republik Indonesia. Diterbitkannya Undang-Undang

No. 15 Tahun 2002 TPPU ini untuk mengatasi akibat Indonesia dimasukan ke

dalam daftar hitam, yakni dikategorikan sebagai negara yang tidak kooperatif,

atau negara yang Non Cooperative Countries and Territories (NCCT’s) sejak

tahun 2001 oleh kelompok negara maju yang tergabung dalam Financial Action

Task Force (FATF) on Money Laundering.7

6
Kriminalisasi (Criminalization; criminalisering) merupakan istilah yang agak baru
dalam ilmu hukum, Kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan
sarana penal. Pengertian Kriminalisasi berdasarkan kamus Bahasa Indonesia, adalah: “Suatu
proses yang memperlihatkan perilaku semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi
kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat” Menurut Sudarto yang
dimaksud kriminalisasi adalah sebagai: “ Proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai
perbuatan yang dapat dipidana, proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang-Undang di mana
perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana”. Lihat dalam Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung: PT. Alumni, 1986), hlm. 31-32.
7
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2008), hlm. 175-176
4

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, menyoroti dengan maraknya tindak

pidana pencucian uang salah satunya yaitu masalah kasus pajak yang modusnya

yaitu dengan membentuk jaringan yang kuat untuk membantuk para wajib pajak

sebagai markaus (makelar kasus) di Direktorat Keberatan dan Banding Pajak,

dengan imbalan fee yang jumlahnya miliaran rupiah, yang terbongkar beberapa

waktu lalu yaitu kasus Bahasyim Assifie mantan pejabat Eselon II di Ditjen Pajak

ini dicurigai karena lalu lintas uang di rekeningnya tidak wajar pada kurun waktu

tahun 2004-2010. Disinyalir transaksi keuangan di rekeningnya mencapai 932

miliar rupiah, jumlah yang sangat besar dalam kurun waktu 6 tahun. Di duga saat

menjabat sebagai kepala KPP Jakarta VII, KPP Koja dan KPP Palmerah,

Bahasyim banyak melakukan korupsi dan pencucian uang. Kekayaan Bahasyim

diperkirakan sebesar 500 miliar rupiah, belum termasuk rekening atas nama istri

dan dua anaknya sejumlah 68 miliar rupiah.8 Namun dibantah oleh koordinator

Tim Penasehat Hukum Bahasyim, O.C. Kaligis, mengatakan tidak khawatir

dengan pembuktian terbalik. Menurut dia Tim telah memiliki ahli yang

meringankan kliennya. Begitu pun dengan akuntan yang dapat menerangkan audit

aliran uang milik kliennya. Dia menyayangkan uang yang dinilainya diduga hanya

1 miliar justru sebaliknya di blow up menjadi mendekati 1 Triliun oleh penuntut

umum dalam dakwaannya, “ini ada apa? Nanti kita buktikan, karena predicate

crime-nya harus dibuktikan dulu ujarnya.9.

8
Profil.merdeka.com/Indonesia/b//bahasyim-assifie, diakses internet pada tanggal 10
September 2018 Pukul 10.30.
9
www.hukumonline.com/../pembuktian-terbalik-dapat-diberlakukan, diakses internet
pada tanggal 10 September 2018 Pukul 11.15.
5

Demikian kasus lainnya seperti kasus suap pengalokasian Dana Percepatan

Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) yang melibatkan mantan Anggota

Banggar DPR RI, Wa Ode Nurhayati, S.Sos dari Partai Amanat Nasional (PAN)

diduga kuat ada uang tertampung di dalam rekeningnya sebesar Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah),10 kasus pajak Gayus Tambunan dituduh

bermain sebagai makelar kasus (markus) yang merupakan pegawai pajak

golongan III/a yang usiannya masih tergolong muda yaitu 31 tahun dan diketahui

memiliki kekayaan Rp. 100.000.000.000,-, begitu juga kasus Kakorlantas Djoko

Susilo dalam kasus suap korupsi simulator SIM dan KPK mengenakan pasal

TPPU, dimana dia memiliki harta kekayaan yang tidak sesuai dengan profil

pendapatan resminya, diantaranya memiliki apartemen mewah, mobil mewah,

tanah dan rumah di berbagai daerah dan lainnya. Hal ini tidak masuk akal bila

dibandingkan dengan hasil pendapatnya resmi dari Irjen Pol. Djoko Susisolo ini.11

Selain Bahasyim, Wa Ode Nurhayati, Gayus Tambunan, Djoko Susilo yang

memiliki kekayaan lebih dari tingkat pendapatannya. Pegawai-pegawai tersebut

terindikasi atas perbuatannya telah merugikan keuangan negara.

Dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini, aparat penegak hukum

seperti Kejaksaan, Kepolisian serta Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK secara tegas harus menetapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap para koruptor yang semakin

membengkak. Dengan Undang-Undang ini, uang yang bisa dirampas tidak hanya

10
Diakses dari http://nasional.tempo.co./read/2012/04/24/063399462/duit-rp-10-miliar-
wa-ode-diduga-hasil-cuci-uang,html, pada tanggal 11 September 2018 Pukul 12.25
11
Diakses dari Atridermansyah.blogspot.com/2013/analisis-tindak-pidana-pencucian
uang,html,pada tanggal 11 September 2018 Pukul 15.45
6

yang bisa dibuktikan korupsinya oleh Jaksa, tetapi juga seluruh kekayaan koruptor

sepanjang ia tidak mampu menjelaskan asal-usul uang itu.

Untuk itu diperlukan good will dari pemangku kebijakan yang akan

menjadi kekuatan untuk menanggapi hambatan permasalahan pencucian uang

(money laundering) dan juga seruan internasional.

Yenti Garnasih Guru Besar Univ. Trisakti pakar hukum pidana

berpendapat bahwa tujuan dari kriminalisasi pencucian uang adalah langkah awal

untuk mencegah pelaku menikmati hasil kejahatan dan kemudian diharapkan

pelaku kejahatan utamanya dapat ditangkap. Tujuan lain adalah untuk mencegah

lembaga keuangan agar tidak digunakan sebagai sarana pencucian uang, dalam

lingkup nasional maupun internasional.12

Kriminalisasi Pencucian Uang pada Pasal I angka I Undang-Undang No.

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dirumuskan sebagai

berikut: Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,

membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta

Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana

dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta

Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.13

12
Yenti Garnasih. Kriminalisasi Pencucian Uang (money laundering), (Jakarta: Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 66.
13
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
7

Kemudian Yenti Garnasih berpendapat bahwa dalam perkara tindak

pidana pencucian uang, untuk memulai pemeriksaan tidak diperlukan bukti

terlebih dahulu, seperti dalam kasus Bahasyim, berarti penyidik menduga atau

curiga dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana laporan hasil analisis

Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK). Menindaklanjuti

penyidik, Penuntut umum meyakini ada tindak pidana pencucian uang sehingga

dituangkan dalam surat dakwaan. Dalam pembuktian dugaan money laundering,

kata Yenti, harus dilihat kejahatan. Kejahatan pertama adalah kejahatan asal atau

predicate crime berupa korupsi. Kejahatan kedua adalah money laundering.

Dengan kata lain, penuntut umum mesti membuktikan kejahatan asal berupa

tindak pidana korupsi. Dalam peraturan perbankan, nasabah yang memiliki uang

dalam rekening yang berjumlah di atas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

mesti melapor kepada PPATK. Kewajiban sama dibebankan kepada penyedia jasa

keuangan.14

Kejahatan Pencucian Uang salah satu termasuk kejahatan yang serius

(serious crimes) memiliki kesulitan dalam hal pembuktian. Seperti yang kita

ketahui pada umumnya para pelaku kejahatan pencucian uang merupakan orang-

orang yang memiliki latar pendidikan tinggi, (white collar crime) dan juga

memiliki hubungan birokrasi dengan oknum-oknum yang duduk dalam sistem

pemerintahan di suatu negara sehingga sulit sekali menjerat para pelaku. Oleh

karena itu dibutuhkan upaya yang luar biasa khususnya dalam sistem pembuktian

yang mampu atau paling tidak efektif dalam menjerat para pelaku kejahatan
14
Diakses dari www.hukumonline.com/../pembuktian-terbalik-dapat-diberlakukan, pada
tanggal 15 September 2018 Pukul 11.20 hlm. 3
8

pencucian uang ini. Salah satu upaya tersebut adalah sistem pembalikan beban

pembuktian.

Oemar Seno Adji mantan Menteri Kehakiman (1966-1974) dan mantan

Ketua Mahkamah Agung R.I (1974-1982) mengungkapkan bahwa:

“Undang-Undang Anti Korupsi di Inggris pada tahun 1916 dan Malaysia pada
tahun 1961 mengandung asas “pembalikan pembuktian” (Omkering van het
Bewijslat). Asas pembalikan pembuktian akan mengakibatkan, bahwa bukanlah
Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa,
melainkan kepada terdakwa diletakkan kewajiban untuk membuktikan bahwa ia
tidak bersalah melakukan tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya. Asas
pembalikan pembuktian umumnya dirumuskan dengan kata-kata “until the
contrary is proved”.15
Beban pembuktian negatif dengan menganut asas beyond reasonable

doubt yang menjadi ruh dari sistem hukum di Indonesia, untuk mencari keadilan

belumlah dapat menjawab kasus-kasus berat dan sensitif. TPPU ditempatkan

sebagai delik yang cukup sulit pembuktiannya, karena pemberantasannya juga

berarti menanggulangi kejahatan yang melatarbelakanginya. Dalam Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 TPPU, terdapat 25 kategori kejahatan

terhadap organized crimes.

Dalam perjalanannya, pembuktian mengalami perkembangan yaitu

diperkenalkannya pembuktian terbalik. Dalam praktik dapat diklasifikasikan

menjadi beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas. Pada

hakekatnya, beban pembuktian ini merupakan suatu penyimpangan hukum

pembuktian dan merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana

15
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1973),
hlm. 259.
9

pencucian uang. Perlu diketahui ketentuan pembuktian terbalik telah diatur sesuai

dalam Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang 8/2010,

dimana ketentuan khusus pembuktian terbalik yang dilakukan pada saat

pemeriksaan di persidangan :

Adapun, bunyi Pasal 77 selengkapnya adalah: Untuk kepentingan

pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta

Kekayaan bukan merupakan hasil tindak Pidana.16

Pasal 78, berbunyi:

1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar

membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara

bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam 2 ayat (1).

2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait

dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindakan pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara

mengajukan alat bukti yang cukup.17

Dari ketentuan Pasal diatas, upaya untuk membuktikan tindak pidana

pencucian uang yang dilakukan pelaku menjadi lebih mudah. Kemudahan itu

disebabkan karena beban pembuktian dalam persidangan ada pada terdakwa. Hal

16
Pasal 77, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. hlm. 21.
17
Ibid. hlm. 21.
10

inilah yang menjadi alasan bahwa dengan pembuktian terbalik akan memberikan

efektivitas dalam membuktikan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.

Sebagaimana perlu diketahui kembali bahwa berdasarkan ketentuan dalam

hukum acara pidana Indonesia yakni dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya

dalam Pasal 66 KUHAP, menyatakan “Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian”, serta ketentuan dari Pasal 66 KUHAP tersebut lebih

dijelaskan di bab penjelasan yang menyatakan “Ketentuan ini adalah penjelmaan

dari “asas praduga tidak bersalah”.18

Untuk diketahui lebih lanjut, meskipun pembuktian merupakan titik

strategis di dalam proses peradilan pidana, namun pembuktian itu sendiri adalah

sebuah proses yang rawan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kalau hukum acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai “filter” yang akan

menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan hak-hak

individu, maka sistem pembuktian merupakan “core filter” (tempat

penyariangan), sebab melalui proses pembuktian itulah akan ditentukan apakah

ketentuan pembuktian (bewijsracht) dari setiap alat bukti akan menjadikan

seorang terdakwa dibebaskan (vrijspraak), dilepaskan dari segala tuntutan

(ontslag van alle rechtvervolging), ataukah dipidana.19 Selain itu pula berkaitan

dengan ketentuan pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang ini juga

18
Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
19
Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 193.
11

membawa konsekuensi pada perbedaan dalam menjamin dan melindungin hak

asasi manusia khususnya pada terdakwa.

Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka kajian ini tentang “Beban

Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Undang-

Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 Dalam Perspektif Teori

Pembuktian Pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” (Analisis Putusan

Kasasi Mahkamah Agung R.I No. 1454. K/Pid.Sus/2011 tanggal 31 Oktober 2011

atas nama terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si dan Putusan Kasasi

Mahkamah Agung R.I. No. 884 K/PID.SUS/2012 tanggal 28 Mei 2013 atas nama

Wa Ode Nurhayati, S.Sos, menjadi penting dilakukan agar dapat diterapkan sesuai

sistem hukum di Indonesia dengan penguatan sistem beban pembuktian terbalik

dalam penyelesaian TPPU. Dalam praktiknya penerapan sistem beban pembuktian

terbalik yang diterapkan dalam perkara pencucian uang ini, maka terlihat asas

presumption of innocence (praduga tak bersalah), sekarang yang menjadi

pertanyaannya apakah asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) dapat

diterapkan beban pembuktian terbalik secara berimbang, dimana si terdakwa yang

wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak

pidana, demikian Jaksa Penuntut Umum juga berkewajiban dalam hal pembuktian

tuntutannya.

Pada kenyataanya sampai sekarang penerapan beban pembuktian terbalik

dalam perkara pencucian uang sangat sulit terealisasikan dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia dan ini terlihat sejak diresmikannya Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang pada tahun 2002 baru pertama kalinya dalam sejarah
12

peradilan pidana, pembuktian terbalik diterapkan, sebagaimana dapat dilihat

dalam posisi kasus perkara Nomor: 1252/Pid.B/2010/PN.JKT.Sel, yang diputus

pada tanggal 27 Januari 2011 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim

dalam putusan terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, Msi bersalah melakukan

tindak pidana Korupsi dan Pencucian Uang, menjatuhkan hukuman penjara

selama 10 (sepuluh) tahun, denda sebesar Rp. 250.000.000.- (dua ratus lima puluh

juta rupiah) subsidair 3 (tiga bulan) kurungan jo. Putusan Banding Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan Nomor:

08/Pid/TPK/2011/PT.DKI tanggal 19 mei 2011, hakim dalam putusannya atas

nama terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifei, M.Si telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana dakwaan

Kesatu Subsidair dan Pencucian uang sebagaimana dakwaan Kedua Primair,

menjatuhkan hukuman penjara 12 (dua belas) Tahun dan pidana denda sebesar

Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak

dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan.

Namun kajian ini menjadi menarik untuk membahas dimana dalam

Putusan Kasasi Mahkamah Agung R.I No. 1454.K/Pid.Sus/2011 tanggal 31

Oktober 2011, majelis hakim dalam memutuskan perkara terdakwa Dr.Drs.

Bahasyim Assifie, M.Si memisahkan hukuman antara perbuatan pidana yang

dilakukan untuk pidana Korupsi dijatuhkan pidana selama 6 tahun dan denda Rp.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang

dijatuhkan pidana selama 6 Tahun dan denda Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah) tersebut menimbulkan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari


13

anggota majelis hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara ini yaitu

Leopold Luhut Hutagalung, SH. M.H.

Disamping itu sebagai perbandingan putusan lainnya seperti perkara Wa

Ode Nurhayati, S.Sos di tingkat Pengadilan Pertama PN. Jakarta Pusat No.

30/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, menjatuhkan dengan pidana penjara selama 6

(enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

dan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama:

6 bulan jo. Putusan Banding No. 60/PID/TPK/2012/PT.DKI tanggal 9 Januari

2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan Kasasi MA RI No. 884 K/PID.SUS/ 2012/tanggal 28 Mei 2013

dengan putusan Menolak Permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Terdakwa

Wa Ode Nurhayati, S.Sos tersebut.

Atas dasar Problematika tersebut diatas, secara yuridis harus menjadi

pedoman Undang-Undang untuk mengambil putusan baik ditingkat Pengadilan

Negeri maupun ditingkat Kasasi Mahkamah Agung dalam penerapan beban

pembuktian terbalik tindak pidana pencucian uang, kajian ini akan

mengemukakan dasar pemikiran temuan hukum (Rechtsvinding) dan penerapan

beban pembuktian terbalik dalam proses peradilan perkara tindak pidana

pencucian uang, hal mana hakim dalam putusan kasasi seperti diuraikan diatas

tentang pemisahan antara perbuatan pidana yang dilakukan untuk pidana Korupsi
14

dan Tindak Pidana Pencucian Uang maupun penggabungan dalam putusan antara

tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tersebut.

Berdasarkan paparan tersebut diatas maka kajian tentang beban

pembuktian terbalik dalam kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung R.I No.

1454.K/Pid.Sus/2011 terdakwa Bahasyim maupun sebagai perbandingan Putusan

Kasasi MA RI No. 884 K/PID.SUS/2012/ tanggal 28 Mei 2013 terdakwa Wa Ode

Nurhayati penting untuk dilakukan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemikiran kajian sebagaimana diuraikan latar belakang

masalah tersebut diatas, yang menjadi permasalahan dalam kajian ini adalah:

1. Penerapan bentuk beban pembuktian terbalik tindak pidana pencucian

uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ?

2. Penerapan putusan kasasi Mahkamah Agung terkait putusan atas

terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie M.Si dalam memenuhi rasa keadilan

hukum ?

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk beban pembuktian terbalik tindak pidana pencucian

uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ?

2. Bagaimana putusan kasasi Mahkamah Agung terkait putusan atas

terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie M.Si dalam memenuhi rasa keadilan

hukum ?
15

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan identifikasi masalah dan perumusan masalah tersebut

diatas, maka peneliti dapat merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dan menganalisa tentang model beban pembuktian

terbalik dalam menghadapi tindak pidana pencucian uang (money

laundering) ditinjau teori pembuktian pada sistem peradilan pidana dalam

kontek Undang-Undang

2. Untuk mengkaji dan menganalisa Undang-Undang beban pembuktian

terbalik terhadap tindak pidana pencucian uang (money laundering) dalam

perspektif putusan Mahkamah Agung R.I.

Memperkaya wawasan hukum dengan upaya menemukan model beban

pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana pencucian uang (money

laundering) yang marak kasusnya dari tahun ke tahun, agar pengembangan

Rechtsvinding (temuan hukum) dalam hukum pidana di Indonesia, khususnya di

bidang hukum acara pidana dapat memenuhi keadilan dan kepastian hukum.

Oleh karenanya manfaat penelitian dalam kajian ini dapat ditinjau dari segi

teori dan praktis adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis:

Kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan akademik

dalam pengembangan pemikiran hukum di Indonesia khususnya teori

beban pembuktian terbalik tindak pidana pencucian uang dalam perspektif

hukum pidana dan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih
16

lanjut untuk melahirkan karya ilmiah dan metode model Undang-Undang

beban pembuktian terbalik.

2. Manfaat praktis:

Pengkajian penerapan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

yang lebih adil maupun lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang dapat digunakan untuk mendukung upaya pemberantasan

korupsi dan tindak pidana pencucian uang sesuai kebutuhan pencari

keadilan.

Bagi masyarakat, bangsa dan negara penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi dan pengetahuan hukum pidana tentang

tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money

laundering) dalam hal penerapan beban pembuktian terbalik terhadap

tertuduh/terdakwa dalam sistem peradilan di Indonesia.

E. Kerangka Teori

Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian maka

digunakan beberapa teori, diantaranya:

1. Grand Theory (Teori dasar)

Teori Negara Hukum” Aristoteles dan “ Teori Hak Kodrati” Jhon Locke.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa

“Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang
17

memegang supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan

tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.20

Berdasarkan uraian diatas yang dimaksud Negara Hukum adalah negara

yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga

negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila

kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula

peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.

Menurut Aristoteles yang memerintahkan dalam negara bukanlah manusia

sebenarnya, melainkan fikiran adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya

pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik

tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah

sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara.

Oleh karena itu, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi

warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin

kebahagiaan hidup warganya.21

Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,

selalu berlakunya tiga prinsip dasar yakni supermasi hukum (supremacy of law),

20
Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris
Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm.46
21
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar
Bakti, 1988), hlm. 153.
18

kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum

dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law)

Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama

(equal pretection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).

Perbedaan perlakuan hukum hanya jika ada alasan yang khusus, misalnya anak-

anak yang berumur dibawah 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak

yang berumur diatas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi

perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya

karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu

dalam agama atau perbedaan status seperti tuan tanah dan petani miskin.

Meskipun demikian perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti

ini sampai saat ini masih banyak terjadi diberbagai negara termasuk dinegara yang

hukumnya sudah maju sekalipun.22

Menurut Dicey, berlakunya konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality

before the law) dimana semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak

seorang pun berada diatas hukum (abovethe law).23

Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu

harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam

22
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern - Rehcstaat, (Bandung: Refika Aditama,
2009), hlm. 207.
13
Ibid, hlm. 3.
14
Ibid, hlm. 46.
19

konsep hak-hak fundamental (fundamentalrights) dan konsep kemerdekaan atau

kebebasan yang tertib (ordered liberty)24

Konsep due process of law yang procedural pada dasarnya didasari atas

konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental”.

Perkembangan due process of law yang prosedural merupakan suatu

proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh

yang berwenang, misalnya dengan:

1. Kewajiban surat perintah yang sah,


2. Memberikan pemberitahuan yang pantas,
3. Kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga
ahli
4. Memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau
musyawarah yang pantas

Harus dilakukan mana kala berhadapan dengan hal-hal yang dapat

mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia:

1. Seperti hak untuk hidup,


2. Hak untuk kemerdekaan atau kebebasan,
3. Hak atas kepemilikan benda,
4. Hak mengeluarkan pendapat,
5. Hak untuk beragama,
6. Hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak,
7. Hak pilih,
8. Hak atas privasi dan hak atas perlakuan yang sama (equal protection),
dan
9. Hak-hak fundamental lainnya.25

15
Ibid, hlm. 47.
20

Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif

adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa perbuatan suatu

peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan

perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.26

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata

karena ia manusia. Bukan diberikan oleh masyarakat padanya melainkan

martabatnya sebagai manusia. Artinya meskipun setiap orang terlahir berbeda-

beda selain itu ia juga bisa dicabut (inalienable) Hak tersebut melekat pada

dirinya sebagai makhluk insane.

Asal usul gagasan hak asasi bersumber dari teori hak kodrati (natural

rights theory) yang bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang

terakhir ini dapat dirunut hingga zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga zaman

modern melalui tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.

Hugo de Groot mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas

dengan memutus asal usul yang telistik dan membuatnya menjadi produk

pemikiran sekuler yang rasional. Selanjutnya dikembangkan oleh John Locke, ia

mengajukan mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke inilah yang

26
https://adedidikirawan.wordpress.com/teori-negara-hukum-rechtstaat, diunduh pada 25
April 2019. Pukul 12:13
21

melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris,

Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.27

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, ”The Second of Civil

Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah

postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat

atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan

tidak dapat dicabut oleh negara.28

Melalui suatu “kontrak sosial”, perlindungan atas hak yang tidak dapat

dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi menurut Locke apabila penguasa

negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati

individu, maka rakyat dinegara itu bebas menurunkan sang penguasa dan

menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak

tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini maka eksistensi hak-hak individu yang

pra-positif mendapat pengakuan kuat.

Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu

sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara,

yaitu norma hak asasi manusia internasional.

27
https://www.academia.edu/Rina Amelia/HAM dan Prespektif Kriminologi, diunduh pada
28 April 2019 Pukul 13:21
28
John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration,
disuting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964 (lihat dipusham uii.ac.id/ham/7Chapter1.pdf)
hlm. 8.
22

Namun demikian kemunculannya sebagai norma Internasional yang

berlaku disetiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep

awalnya sebagai hak-hak kodrati.

Substansi hak-hak yang terkandung didalamnya juga telah jauh melampaui

substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang

diajukan oleh John Locke).

Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya

terbatas pada hak-hak sipil politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial

dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya

hak-hak “baru” yang disebut dengan “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks

keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.29

Untuk menjaga eksistensi pengadilan dalam menentukan berhasil atau

tidaknya dalam hal mengatasi atau menghukum pelaku tidak terlepas dari doktrin

Montesqueu tentang ajaran pembagian kekuasaan (distribution of power).

Salah satu ajarannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus

diselenggarakan secara independen, yaitu meliputi kemandirian personal

(personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantive judicial

independen) dan kemandirian internal serta kemandirian kelembagaan

(institusional judicial independence) yang berarti:30

29
https://pusdam uii.ac.id/Evolusi Pemikiran Dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi
Manusia, di unduh 9 Januari 2018
30
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 120.
23

a. Kemandirian substantif adalah kemandirian didalam memeriksa dan


memutuskan suatu perkara untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
bagi seluruh rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
b. Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari
intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya
didalam memutus suatu perkara yang sedang diperiksa.
c. Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan
untuk mengatur sendiri kepentingan personal kehakiman meliputi
antara lain rekrutmen, mutasi, promosi, penggajian, masa kerja, dan
masa pensiun.
d. Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan
sejawat, pimpinan, dan institusi kehakiman itu sendiri.

Berbicara tentang penegakan hukum tidak terlepas dari unsur-unsur yang

harus dipenuhi dalam rangka penegakan hukum tersebut, yang dapat

dikategorikan sebagai sistem dalam penegakan hukum dan merupakan bagian dari

legal system. Sebagaimana diketahui bahwa system adalah sebagai suatu organ

yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling mempengaruhi dan

terkait satu sama lain.31

Sementara itu Lawrence M. Friedman mengemukakan:

Sistem hukum (legal system) tidak saja merupakan rangkaian larangan


atau perintah, akan tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang
bisa menunjang, meningkatkan, mengatur dan menyuguhkan cara untuk
mencapai tujuan. Oleh karena itu kita akan berbicara tentang 3 (tiga)
komponen penting dalam sistem hukum (legal system) yaitu: legal
structure, legal substance, dan leagal culture. Ketiga hal ini adalah
komponen pembentukan sebuah sistem hukum (legal system) yang
dikehendaki oleh sebuah masyarakat. 32

31
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1991), hlm. 56.
32
Lawrence M.Friedman, System Hukum, sebagaimana dikutip dalam majalah Jurnal
Keadilan, Vol.2 No.1 Tahun 2002, hlm. 1.
24

Apabila komponen struktur hukum (legal structure) diibaratkan sebagai

sebuah mesin, maka substansi hukumnya (legal substance) adalah apa yang

dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum (legal

culture) adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau

mematikan, menetapkan bagaimana mesin itu digunakan.

Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri, yaitu:

a. sebagai control sosial (ibarat polisi),


b. penyelesaian sengketa (dispute settlement),
c. skema distribusi barang dan jasa (goods distributing scheme), dan
d. pemeliharaan sosial (social maintenance).33

2. Middle Theory (Teori menengah)

Pada Middle Theory, digunakan Teori Keadilan

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu

hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan

memiliki tingkat kepentingan yang besar.

John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik
terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue)
pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem
pemikiran"34.

Tapi, menurut kebanyakan teori juga, “keadilan belum lagi tercapai, kita

tidak hidup di dunia yang adil"35.

33
Ibid, hlm. 2.
34
John Rawls, A Theory of Justice, (Oxford: OUP,1999), hlm. 3.
35
Thomas Nagel, The Problem of Global Justice, (London: Philosophy&Public Affairs,
2005), hlm. 113.
25

Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan

dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang

menegakkan keadilan.

Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran

bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena

definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah

meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.

Didalam bahasa inggris keadilan ialah “justice”. Makna justice tersebut

terbagi atas dua yaitu makna justice secara atribut dan juga makna justice secara

tindakan. Makna justice secara atribut ialah suatu kuasalitas yang fair atau adil.

Sedangkan makna justice secara tindakan ialah suatu tindakan

menjalankan dan juga menentukan hak atau hukuman.

a. Pengertian Keadilan Menurut Definisi Para Ahli

1) Pengertian keadilan menurut Aristoteles yang mengemukakan

bahwa keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan

terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah

memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan memberi

apa yang menjadi haknya.

2) Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang

mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian keadilan ialah

keadaan antar manusia yang diperlakukan dengan sama, yang

sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing.

3) Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes yang mengemukakan

bahwa pengertian keadilan ialah sesuatu perbuatan yang dikatakan

adil jika telah didasarkan pada suatu perjanjian yang telah


26

disepakati.

4) Pengertian keadilan menurut Plato yang mengemukakan bahwa

pengertian keadilan ialah diluar kemampuan manusia biasa yang

mana keadilan tersebut hanya ada di dalam suatu hukum dan juga

perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli .

5) Pengertian keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto yang

mengemukakan bahwa pengertian keadilan ialah tidak berat

sebelah yang artinya seimbang, dan yang sepatutnya tidak

sewenang-wenang.

6) Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang mengemukakan

bahwa keadilan ialah suatu keadaan yang dikatakan adil apabila

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.36

b. Macam-Macam Keadilan
1) Jenis keadilan menurut Teori Aristoteles ialah sebagai berikut:
a) Keadilan Komunikatif ialah perlakuan kepada seseorang tanpa
dengan melihat dari jasa-jasanya.
b) Keadilan Distributif ialah suatu perlakuan kepada seseorang
sesuai dengan jasa-jasa yang telah diperbuatnya.
c) Keadilan Konvensional ialah suatu keadilan yang terjadi yang
mana seseorang telah mematuhi suatu peraturan perundang-
undangan.
d) Keadilan Perbaikan ialah suatu keadilan yang terjadi yang
mana seseorang telah mencemarkan nama baik orang lain.
e) Keadilan Kodrat Alam ialah suatu perlakukan kepada
seseorang yang sesuai dengan suatu hukum alam.37
2) Macam-macam atau jenis-jenis keadilan menurut Teori Plato ialah
sebagai berikut:
a) Keadilan Moral ialah suatu keadilan yang terjadi jika mampu
untuk dapat memberikan perlakukan seimbang antara hak dan
juga kewajibannya.
b) Keadilan Prosedural ialah suatu keadilan yang terjadi jika
seseorang dapat melaksanakan perbuatan sesuai dengan sesuai
tata cara yang diharapkan38

36
http://www.gurupendidikan.com/10-pengertian-keadilan-dan-jenisnya-menurut-para-ahli/
diunduh pada 28 April 2019 Pukul 12:22
37
Ibid
38
Ibid
27

3) Macam-macam Keadilan Secara Umum ialah sebagai berikut:


a) Keadilan Komunikatif (Iustitia Communicativa) ialah suatu
keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang
terhadap apa yang menjadi bagiannya dengan berdasarkan
suatu hak seseorang pada suatu objek tertentu.
b) Keadilan Distributif (Iustitia Distributiva) ialah suatu keadilan
yang memberikan kepada masing-masing terhadap apa yang
menjadi suatu hak pada subjek hak yakni individu. Keadilan
distributif ialah keadilan yang menilai dari proporsionalitas
ataupun kesebandingan yang berdasarkan jasa, kebutuhan, dan
juga kecakapan.
c) Keadilan Legal (Iustitia Legalis) ialah suatu keadilan menurut
undang-undang dimana objeknya ialah masyarakat yang
dilindungi Undang-Undang untuk kebaikan secara bersama.
d) Keadilan Vindikatif (Iustitia Vindicativa) ialah suatu keadilan
yang memberikan hukuman ataupun denda yang sesuai dengan
pelanggaran atau kejatahannya.
e) Keadilan Protektif (Iustitia Protektiva) ialah suatu keadilan
dengan memberikan suatu penjagaan ataupun perlindungan
kepada pribadi-pribadi dari suatu tindak sewenang-wenang
oleh pihak lain.39

3. Applied Theory ( Teori terapan)


Pada Applied Theory digunakan teori Kepastian Hukum, dimana Hukum

adalah seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan yang kita

pahami melalui sebuah sistem.40

Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan, bahwa suatu

sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-

bagian yang berhubungan satu sama lain.41

Dalam pandangan Fuller, untuk mengetahui akan keberadaan sistem

hukum, maka harus diletakkan delapan asas yang dinamakannya principles of

legality, yaitu:

39
Ibid
40
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media,
2008), hlm.3.
41
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 48.
28

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.


2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa
dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan orang akan kehilangan orientasi.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari. 42

Rumus sederhana untuk membatasi dengan tanpa mengurangi makna dari

hakikat sistem hukum itu sendiri, menurut hemat kami, bahwa pendapat Lawrence

M. Friedmen dapat menjadi rujukan. Friedman membagi sistem hukum menjadi

tiga bagian yaitu: “struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal

substance), dan budaya hukum (legal culture)”.43

Kajian mengenai bagaimana hukum itu terbentuk telah melibatkan para

pemikir hukum dengan berbagai teori yang mendasarinya. Mazhab historis yang

dimotori oleh Von Savigny memandang bahwa hukum bertumbuh kembang

dalam pengakuan setiap bangsa dan membawa serta kepadanya ciri-ciri khas yang

unik yaitu kesadaran nasional bangsa atau yang ekspresikan sebagai Volksgeist

(jiwa bangsa) yang muncul secara alamiah ke permukaan di dalam hukum

kebiasaan setiap bangsa.44

42
Ibid, hlm, 51.
43
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A
Social Science Perspective), (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 33.
44
Ibid, hlm, 15.
29

Pahaman ini dalam abad modern dimotori oleh Hugo Grotius. Penganut

aliran ini berpandangan bahwa keabsahan dari hukum positif harus diukur dengan

kriteria bahwa hukum positif tersebut harus sesuai dengan logika, sehingga

apabila hukum sesuai dengan logika maka dengan sendirinya hukum tersebut

benar dan adil.45

Mazhab positivis yakni John Austin, yang menyatakan bahwa hukum

bersumber dari kekuasaan yang tertinggi dalam suatu Negara dan hukum adalah

perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.46

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat disederhanakan, bahwa tatanan

hukum atau sistem hukum modern terbentuk dari proses yang didasarkan pada

kebiasaan, doktrin atau ajaran, serta perundang-undangan dan yurisprudensi.47

Hukum yang bersumber dari kebiasaan adalah hukum yang lahir dari

proses kenyataan masyarakat dari masa-kemasa yang melahirkan jiwa bangsa,

oleh karenanya hukum tidak akan terlepas dari perspektif sejarah masing masing

bangsa.

Apabila hukum bersumber dari rasio dan nurani manusia maka hukum

akan melahirkan keadilan. Konsep keadilan tentu sulit untuk dibatasi dalam

konteks sejarah yang melahirkan kebiasaan (waktu) dan konteks wilayah suatu

45
Munir Fuady, Teori-teori Besar Dalam Hukum, (Jakarta: kencana Prenadamedia
Group, 2013), hlm. 48
46
Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hlm. 268-269
47
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika
Aditama, 2005), hlm. 1.
30

bangsa (ruang). Artinya keadilan sulit untuk dibantah maknanya dari masa-

kemasa dan akan berbeda makna sejatinya karena batasan wilayah.

Hukum yang bersumber dari perundang-undangan dan yurisprudensi

adalah hukum yang terbentuk melalui mekanisme atau proses baik dalam konteks

kebiasaan-kebiasaan sebagai kenyataan masyarakat (mazhab historis) dan proses

dialektis rasio dalam mencari kebenaran yang bersumber pada akal dan hati nurani

(mazhab hukum alam rasional).

Namun pengukuhan atas sumber hukum perundang-undangan dan

yurisprudensi terletak pada legitimasi dan validasi atas pengakuan keadulatan

suatu Negara. dalam konteks ini maka sumber hukum sangat terbatas baik secara

waktu dan wilayah (ius constitutum dan ius constituendum).

Sumber-sumber hukum dengan proses dan mekanisme dalam uraian

diatas, secara sadar atau tidak disadari telah membentuk beberapa sistem hukum

di dunia saat ini, dan pada kenyataannya telah terbentuk dua sistem hukum besar

yang mempengaruhi tatanan hukum dunia, yaitu sistem hukum common law dan

sistem hukum civil law.

Indonesia dalam konteks ini memiliki kecenderungan menganut sistem

hukum civil law dengan percampuran sistem hukum lainnya. Tentu hal ini tidak

terlepas dari kajian sejarah hukum dan politik hukum dengan aspek-aspek lain

yang mempengaruhinya seperti aspek kultural.

Sebagiamana dikatakan oleh Van Apeldorn, keberadaan suatu mazhab

yang disebut hukum alam yang rasionalah yang pada suatu periode tertentu
31

menguasai pemikiran hukum para pakar hukum yang melihat hukum itu bukan

gejala sejarah, akan tetapi merupakan suatu produk rasio atau akal.48

Disamping itu cara berpikir normatif yang amat kuat dari kalangan ini

yang melihat hukum itu sebagai ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia di

kemudian hari menyebabkan tak perlu memperhatikan masa lalu, adalah

merupakan suatu pemikiran yang keliru.49

Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de

Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa

semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa

sejarah hukum lebih dahulu daripada logika karena sejarah hukum mampu

menjelaskan mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita muncul ke

permukaan seperti keberadaannya saat ini.

Hakim Amerika Serikat dan pakar sejarah Holmes mengutarakan bahwa

perjalanan yang ditempuh hukum bukanlah jalur dan ruas logika melainkan rel

pengalaman.50

Oleh karena itu pendapat para pemikir hukum tersebut diatas dapat

menjadi alasan mengapa kami mengambil perspektif sejarah sebagai langkah awal

dalam memahami dua sistem hukum besar dunia saat ini.

Civil Law adalah sistem hukum yang saat ini dianut oleh Negara-negara

Eropa Kontinental atas dasar resepsi corpus iuris civilis. Sistem hukum civil law

merupakan proses romanisasi hukum Romawi dalam rangka mengisi kekosongan-

48
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika
Aditama, 2005), hlm. 9.
49
Ibid, hlm. 9.
50
Ibid, hlm. 3.
32

kekosongan hukum dalam perundang-undangan dan kebiasaan-kebiasaan hukum

pribumi di Eropa Barat.51

Romanisasi hukum Romawi pada umumnya berlangsung dalam tempo

yang lamban. Perembesan hukum Romawi tidak berlangsung dengan kekuatan

yang sama, dengan kata lain derajat Romanisasi bervariasi dari Negara ke Negara,

dimana Romanisasi yang lebih mendasar berlangsung di Italia, Jerman, dan

Belanda, sedang Perancis tidak terjadi resepsi secara resmi karena hukum

Romawi diterima hanya sebagai ratio scripta (akal tertulis)52

Namun sebagian besar Code Civil tahun 1804 sesungguhnya dipengaruhi

secara langsung oleh hukum Romawi. Berbeda dengan Inggris hampir sama sekali

tidak dipengaruhi oleh Romanisasi karena hukum pribumi yakni common law

telah berkembang sejak Negara tersebut ditaklukan oleh Willem sang Penakluk

tahun 1066.53

Meskipun proses Romanisasi tidak merata, namun pada akhir abad

pertengahan dan memasuki zaman-zaman modern unsur-unsur dan pemakaian

terminologi hukum bersama atas hukum Romawi telah ditafsirkan pada saat

sekarang ini sebagai tatanan hukum benua Eropa (continental / civil law).54

Sistem hukum common law adalah sistem hukum yang berkembang di

Negara Persemakmuran Inggris (Amerika Utara, Kanada, Amerika Serikat). Pada

51
Ibid, hlm. 336.
52
Ibid, hlm. 301.
53
Ibid, hlm. 351.
54
Ibid, hlm. 304.
33

awalnya yakni abad I sampai dengan abad V, Inggris merupakan bagian dari

Negara Romawi, namun proses Romanisasi di dalam hukum dan institusi-institusi

boleh dibilang tidak meninggalkan bekas-bekasnya dalam periode berikutnya.55

Namun suatu perbedaan yang besar dengan Negara Eropa Kontinental

bahwa pencatatan hukum yang dilakukan di Inggris tidak dengan bahasa latin,

melainkan dengan bahasa rakyat setempat.56

Pada tahun 1066 Inggris ditaklukan oleh Hertog Normandia, William sang

Penakluk (1028-1087) dalam pertempuran di Hasting, dan dalam kemenangannya

William menyatakan tidak akan mengubah hukum dan kebiasaan penduduk

pribumi, namun memasukkan tatanan feodal yang lazim berlaku di Eropa

Kontinental.57

Dalam abad XII, kebiasaan tetap merupakan sumber satu-satunya hukum

Inggris, kebiasaan-kebiasaan lokal Angglo-sekson, kebiasaan-kebiasaan kota yang

baru didirikan, kebiasaan-kebiasaan kaum pedagang kota London tetap

dipertahankan.58

Dari tahun 1485 sampai dengan 1832, berkembang suatu sistem kaedah

lain dalam sistem common law yaitu “kaedah equity”, kaedah equity berfungsi

55
Van Caenegem menamakan periode Romawi tersebut “halaman kosong” di dalam
sejarah Inggris.
56
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, Op. Cit, hlm. 350.
57
Ibid, hlm. 351.
58
Ibid, hlm. 352
34

untuk melengkapi dan kadang-kadang mengkoreksi common law yang dalam

perjalanannya telah menjadi kurang lengkap dan ketinggalan.59

Komponen struktur hukum dalam sistem hukum Indonesia dalam lingkup

penegakan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP yang meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan

Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum tersebut dijamin

oleh undang-undang, oleh karenanya dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya, para penegak hukum harus terlepas dari intervensi.

Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak

didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-

angan. Pengadilan dalam struktur hukum diantaranya menjalankan fungsi

penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum ini ada tiga hal yang harus

diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.60

Dalam berbagai kasus yang kami anggap kontroversial, keterkaitan

komponen-komponen dalam sistem hukum Indonesia khususnya penerapan

norma di lembaga peradilan adalah kajian yang sangat renyah untuk ditelaah

sebagaimana yang akan kita bahas sebagai berikut:

Dalam teori dan praktek hukum pidana, dikenal adanya asas legalitas yang

salah satunya melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif. Hal ini

tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan bahwa tidak

59
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 249.
60
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 130.
35

ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas aturan pidana dalam peraturan

yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Sehingga konsekuensi dari

ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu

perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif.

Asas legalitas merupakan pilar utama bagi setiap negara untuk menghargai

dan mengedepankan hukum (supremacy of law). Menurut Bassiouni, tujuan dari

adanya asas legalitas diantaranya:

1. To enhance the certainty of the law (menegakkan kepastian hukum);


2. Provide justice and fairness for the accused (memberikan proses yang adil
dan keadilan bagi terdakwa);
3. Achieve the effective fulfillment of deterrence function of the criminal
sunction (mencapai fungsi pencegahan yang efektif dari sanksi pidana);
4. Prevent abuse of power (mencegah penyalahgunaan kekuasaan); dan
5. Strengthen the application of the rule of law (memperkuat penerapan aturan
hukum). 61

Untuk beberapa hal, tujuan-tujuan asas legalitas sebagaimana disebutkan

di atas hanya dapat dicapai dengan pendekatan formalistik yang kaku yang

terinspirasi dari pemikiran legal positivis, sedangkan untuk tujuan substantif dari

asas legalitas ini “tidak harus mensyaratkan ketentuan formal yang kaku”.62

Dapat dipahami bahwa pada prinsipnya melarang berlakunya suatu aturan

hukum secara surut (retroaktif) sebagai hukum positif bukannya tanpa

pengecualian. Bisa saja seseorang dikenakan aturan hukum secara retroaktif tetapi

bukan berdasarkan alasan bahwa secara moral perbuatan seseorang tersebut

adalah salah, melainkan harus ditentukan dalam aturan hukum yang jelas bahwa

61
Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, 2nd revised
edition, (Netherlands: Kluwer Law International), 1999, hlm. 124.
62
Ibid, hlm. 125.
36

atas suatu perbuatan seseorang dapat diberlakukan hukum secara retroaktif.

Berlawanan dengan asas legalitas, pendukung prinsip retroaktif beranggapan

bahwa “aturan baru dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang sifatnya khusus

untuk mencapai keadilan.”63

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa

hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya

dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat

kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum

bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan

keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.64

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Istilah metode berasal dari kata Yunani “methodos” yang terdiri

dari atas kata “meta” yang berarti sesudah, sedangkang “hodos” berarti

suatu jalan atau cara kerja. Pengertian tersebut kemudian dikembangkan

oleh Van Peursen mengatakan bahwa metode berarti penyelidikan

berlangsung menurut rencana tertentu.65 Jadi, metode ilmiah merupakan

prosedur yang harus dijalankan untuk mendapatkan pengetahuan yang

disebut ilmu. Dengan demikian metode penelitian berkenaan dengan

63
Joshua Dressler, Understanding Criminal Procedur, 2nd edition, (USA: Matthew
Bender & Company Incorporated, 1996), hlm. 50.
64
Sudikno Mertokusumo, Penemuan hukum sebuah pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2007), hlm.160.
65
Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta:
1989), hlm. 16.
37

aktifitas yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah

merupakan kesepakatan untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut

ilmu.66 Oleh sebab itu, metode penelitian akan berkaitan dengan berbagai

segi kegiatan penelitian bahan-bahan (data) penelitian, teknik

pengumpulan bahan, sarana, dan teknik yang dipergunakan untuk

mengkaji bahan-bahan dan lain-lain sebagainya.

2. Metode Pendekatan

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi rumusan

masalah tersebut diatas, dalam kajian ini menggunakan pendekatan filsafat

hukum menghasilkan produk pemikiran tentang perlunya keadilan

ditegakkan dalam ikatan legal mencapai penerapan Undang-Undang yang

dilakukan dengan mengindetifikasi permasalahan Rechtsvinding (temuan

hukum) yang menjadi pokok bahasan kemudian dikaji berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (hakim sebagai

putusan pengadilan dalam proses berpekara).

Dengan demikian penelitian ini akan menganalisa ketentuan

filsafat hukum mencapai keadilan dalam hukum Normatif (Das Sollen),

yang terdapat dalam perundang-undangan (Law as it written in the book),

yang mengatur peradilan, penelitian ini juga akan menganalisis putusan

pengadilan (Das Sein) terhadap proses perkara yang timbul dalam praktek

pengadilan (Law as it decided by the judge through judicial process).

66
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Perdasa,
1996), hlm. 16.
38

Akan tetapi agar diperoleh depth-information (informasi/data yang

akurat) dalam hubungan dengan penelitian Tesis maka kajian

menggunakan juga penelitian empiris yang dipergunakan oleh pengkaji

untuk mendukung penelitian hukum Normatif.

3. Tahap Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data

Tahap penelitian dan prosedur pengumpulan data untuk penelitian

hukum Normatif adalah dengan mengumpulkan data sekunder yaitu

dengan meneliti data perpustakaan yang diperoleh dari berbagai sumber

bahan hukum, meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat

berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya

dengan permasalahannya yang dibahas, antara lain:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana;

2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang;

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kekekuasaan

Kehakiman;

5. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;


39

6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

7. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidan Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang menjelaskan bahan hukum primer,

dalam hal ini merupakan bahan berupa buku-buku literatur, catatan

kuliah, karya ilmiah dan berbagai artikel-artikel yang berkaitan dengan

permasalahan diatas baik yang dimuat di media cetak maupun situs-

situs yang menampilkan penulisan hukum pidana dan tentang Tindak

Pidana terhadap Pencucian Uang. Bahan hukum tertier, yaitu bahan

hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-

bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus bahasa, kamus

hukum.67

4. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari studi dokumen terhadap bahan hukum

primer, sekuder dan data tertier setelah disunting, kemudian disusun secara

sistematis, untuk memenuhi kelengkapan, kejelasan dan keseragaman serta

tujuan agar mudah dianalisis secara kualitatif.

67
Hotma P. Sibuea & Herybertus Sukartono, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta:
Krakatau Book, 2009), hlm. 73.
40

G. Kerangka Berfikir

Adapun kerangka pemikiran yang telah di paparkan diatas dapat

terdeskripsikan sebagai berikut :


PUTUSAN

PENGADILAN

TIPIKOR

Teori Negara Hukum Teori Keadilan Hukum Teori Kepastian Hukum

Aristoteles John Rawls Lawrence M. Friedmen

Teori Hukum Acara

KUHAP

Putusan Mahkamah Agung


Kasasi

HUKUM KEADILAN

Umum, Subyektif,

Mengikat Setiap Orang, Individualistis,


41

H. Preposisi

1. Penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2003 dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

2. Terdakwa tidak bisa membuktikan harta kekayaannya berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 77 dan Pasal 78

Adapun, bunyi Pasal 77 selengkapnya adalah: Untuk kepentingan

pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa

Harta Kekayaan bukan merupakan hasil tindak Pidana.

Pasal 78, berbunyi:

1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar

membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara

bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam 2 ayat (1).

2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait

dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindakan pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara

mengajukan alat bukti yang cukup.


42

Dari ketentuan Pasal diatas, upaya untuk membuktikan tindak pidana

pencucian uang yang dilakukan pelaku menjadi lebih mudah. Maka

pengadilan menetapkan terdakwa bersalah sah secara hukum.

Anda mungkin juga menyukai