Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KRIMINOLOGI

KEJAHATAN TERORGANISIR
TINDAK PIDANA KHUSUS PENCUCIAN UANG

DOSEN PENGAMPU :
RATNAWATI SH.MH

NAMA KELOMPOK :
ABD ISHAK ( 2018505004 )
HANAFI ( 2017500043 )
ASROFIL ANAM ( 2017500206 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DR.SOETOMO SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindak Pidana Pencucian Uang adalah proses atau perbuatan yang menggunakan uang
hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan atau dikaburkan asal usulnya
oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul uang yang sah atau yang halal
dengan kata lain, pencucian uang adalah proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan
harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan
penyitaan. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa
ini, perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat
mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara.
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung
dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah
dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang
terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan,
terutama dalam sistem perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk
dilacak oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang
hasil kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara membeli saham
perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki keabsahan yuridis dalam
operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para penjahat yang diputar melalui
proses-proses sepertinya menjadi sah adanya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan bagaimana pengaturan hukum
TPPU?
2. Bagaimana Proses Pencucian Uang?
3. Sanksi apa saja yang dijatuhkan pada pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang?
4. Apa saja kewajiban Penyedia Jasa Keuangan?
5. Apa saja peranan PPATK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang?
6. Bagaimana perlindungan bagi pelapor dan saksi?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
Tindak Pidana Khusus.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Pengaturan

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Khusus Pencucian Uang


Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari
kegiatan yang sah. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang No.8 Tahun 2010, Harta Kekayaan
yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan
sebagai hasil tindak pidana
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem
keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan
tindak pidana multi-dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang
yang cukup besar.
2.1.2 Pengaturan
ada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara,
dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU
No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan
mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah
mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan
bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15
negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention
agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.
Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan
pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan
untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The
International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan Negara-negara
penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong
kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations
dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan
pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk
akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule.
Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.
Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal
18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit
diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk
kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah
wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan.
Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF
untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi
yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang
lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan system
finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi
standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu
dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan
Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non
Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai
dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam
memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hokum
pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money
laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek
money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang
mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi
internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk
mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang
Anti Pencucian Uang.
Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF
mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para
pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa
Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan
Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah
diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran
Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya
dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan
imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan
senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di
wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia.
2.2 Proses pencucian uang
1. Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, namun pada
dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan, yaitu:
a. Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak
pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:
1. Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit/pembiayaan.
2. Menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
3. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
4. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.
5. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan
hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya
dilakukan melalui PJK.
b.Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya
melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi
tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan
didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan
ini antara lain:
1.Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah
maupun shell company.
c. Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk
dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun
keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai
kembali kegiatan tindak pidana.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan
diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk
menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau
digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau
simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih.
2. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada
tahap placement, layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi semakin
sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis dan
berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku
tindak pidana.
2.3 Sanksi Tindak Pidana Khusus Pencucian Uang
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak,
atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah)
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menerima atau
menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.4 Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan


Penyedia Jasa Keuangan terbagi menjadi :
1.Perbankan
Perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan
menyalurkan dana, sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang
baik melalui placement, layering maupun integration. Selain itu transfer dana secara elektronis
juga dapat dimanfaatkan oleh pencuci uang untuk mengalihkan dana secara cepat dan relatif
murah serta aman ke rekening pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri;
2.Lembaga Keuangan Non Bank
Perhatian terhadap PJK yang berbentuk asuransi dan usaha investasi lainnya diperlukan sebagai
upaya untuk memastikan tidak dimanfaatkannya produk dan jasa PJK tersebut untuk kegiatan
pencucian uang.
3.Perusahaan Efek, Pengelola Reksa Dana dan Bank Kustodian
Selain perbankan, asuransi dan usaha investasi lainnya, bentuk PJK lainnya dalam pedoman
ini adalah perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002.
Perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian wajib memiliki prosedur yang
memadai untuk membuktikan dan memverifikasi identitas nasabah/calon nasabah, beneficial
owner atau beneficiary nasabahnya. Apabila perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank
kustodian tidak mengetahui secara pasti identitas nasabah/calon nasabah, maka hubungan usaha
dengan nasabah/calon nasabah tersebut dapat ditolak.
4. Penyedia Jasa Keuangan Lainnya
PJK lainnya misalnya pedagang valuta asing (money changer) serta lembaga penyimpanan dan
penyelesaian wajib menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi keuangan mencurigakan;
b. Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali
transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 13
ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002, Bab 3 huruf C angka 3
pedoman ini dan ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga pengawas.
2.5 Peranan PPATK
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) adalah sebuah lembaga
independen yang terbentuk bersamaan dengan UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana
pencucian uang.

Peranan PPATK yakni:


Dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, ppatk memiliki peranan strategis Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang tidak
sah.
Untuk menunjang peranan tersebut ppatk memiliki tugas pokok adalah membantu
penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis
terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat
pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa
keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pedoman ini yang
dimaksud dengan PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk
tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
bank kustodian, pedagang valuta asing, dana pensiun dan perusahaan asuransi.
2.6 Perlindungan Saksi dan Pelapor
A.Perlindungan bagi Pelapor
1. Pelaksanaan pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia
bank sebagaimana diatur oleh Undang-undang Perbankan;
2. Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban
pelaporannya;
3. PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor;
4. Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi
perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
5. Disidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan
tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau
alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
B. Perlindungan bagi Saksi
1. Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang
wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
2. Saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas kesaksian yang diberikan oleh
yang bersangkutan

BAB III
PENUTUP
Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti
menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus ditindak
tegas oleh para penegak hukum yang berwenang.
Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai perwujudan
rasa keadilan. Sanksi tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Selain itu pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan hukum dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
Dalam kasus money laundering kepolisian dan penuntut umum juga memiliki kesulitan dalam
membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan
biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.

Anda mungkin juga menyukai