Mendapatkan uang atau harta kekayaan merupakan salah satu tujuan seseorang
melakukan kejahatan. Uang juga menjadi darah yang menghidupi pelaku atau suatu
organisasi kejahatan.
Pencucian Uang adalah suatu perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan asal usul
uang atau harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harta kekayaan tersebut
seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah.
Pelaku terorisme memerlukan pendanaan untuk mendukung aksi terornya, seperti untuk
membeli senjata, melakukan perekrutan anggota, dan biaya operasional.
Dalam UU PPTPPU, Terorisme merupakan salah satu kejahatan asal (predicate crime)
dari TPPU. Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung/tidak langsung untuk
terorisme disamakan dengan hasil kejahatan.
Pencucian Uang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan dilakukan dengan
menggunakan berbagai modus operandi untuk mencapai akhir yang diharapkan oleh
pelaku.
- Penempatan (placement
Merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu tindak pidana ke
dalam sistem perekonomian dan sistem keuangan.
- Pemisahan/pelapisan (layering)
Merupakan upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa
tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau
lokasi tertentu ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain
untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.
- Penggabungan (integration)
Merupakan upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah
tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis
produk keuangan dan bentuk material lain, dipergunakan untuk membiayai kegiatan
bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Melalui Pencucian Uang, pelaku kejahatan selain dapat menikmati kekayaan yang
dihasilkan dari kejahatannya juga digunakan untuk melakukan kejahatan yang lebih
besar.
Selain mengakibatkan tingginya angka kriminalitas, Pencucian Uang memiliki dampak
negatif secara lebih luas terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara sebagai
berikut:
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) diatur
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang serta peraturan-peraturan lainnyaProgram APU-PPT
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).
Poin pengaturan UU PPTPPU antara lain sebagai berikut:
1.Kriminalisasi perbuatan Pencucian Uang
2.Kewajiban bagi masyarakat pengguna jasa, Lembaga Pengawas dan Pengatur, dan
Pihak Pelapor
3.Pengaturan pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
4.Aspek penegakan hukum
5.Kerja sama nasional dan internasional
Pendekatan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan dan Pendanaan Terorisme (APU-PPT)
merupakan salah satu mekanisme dalam rangka mencegah dan memberantas suatu
kejahatan dengan menggunakan pola mengikuti aliran dana (follow the money), yaitu
metode mendahulukan penelusuran pencarian uang atau harta kekayaan hasil tindak
pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan (follow the suspect). Pola ini
terbukti efektif mendeteksi suatu kejahatan baru dan mendukung penanganan kasus
yang sedang ditangani oleh Instansi Penegak Hukum.
Beberapa manfaat atau nilai tambah yang diperoleh melalui pendekatanfollow the
money adalah:
PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam melaksanakan tugas tersebut PPATK mempunyai fungsi:
Pihak Pelapor
Pihak Pelapor adalah Penyedia Jasa Keuangan, Penyedia Barang dan/atau Jasa lainnya, dan
pihak lainnya (Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Lembaga
Keuangan Mikro, Lembaga Pembiayaan Ekspor, Notaris, Advokat, Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Akuntan Publik, Perencana Keuangan) merupakan lini terdepan (front liner) bagi keberhasilan
Program APU-PPT yang berperan dalam mendeteksi transaksi keuangan mencurigakan dan
melaporkannya kepada PPATK.
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana Pencucian Uang.
Regulasi APU-PPT memberikan kewenangan dan terobosan baru bagi Instansi Penegak Hukum
(Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai) dalam upaya pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang antara lain antara lain: pendekatan mengejar harta hasil tindak
kejahatan, pembuktian terbalik, dan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya.
Lembaga Pengawas dan Pengatur antara lain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan
PPATK melakukan pengawasan dan memberikan pedoman atas implementasi Program APU-PPT
yang dijalankan oleh Pihak Pelapor.
Komite Nasional TPPU yang diketuai oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkopolhukam) mensinergikan langkah instansi pemerintah dan instansi terkait
untuk mendukung implementasi Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan
TPPT.
Masyarakat
Dapat berperan aktif dengan menyampaikan informasi dugaan/indikasi Tindak Pidana Pencucian
Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme kepada PPATK. Peran aktif dapat juga dilakukan
oleh akademisi yang merupakan bagian dari masyarakat dengan membuat kajian dalam rangka
mendukung Program APU-PPT.
Kerjasama Internasional
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan kejahatan
lintas batas negara, sehingga efektifitas Program APU-PPT juga didukung dengan efektifnya
kerjasama internasional antara PPATK dengan Financial Intelligent Unit (FIU) negara lain.
LATAR BELAKANG
Berikut ini akan dijelaskan tentang latar belakang pentingnya Penerapan Prinsip
Mengenal Pengguna Jasa (PMPJ).
Berikut ini akan dijelaskan tentang latar belakang pentingnya Penerapan Prinsip
Mengenal Pengguna Jasa (PMPJ).
Manajemen Risiko
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) merupakan bagian penting bagi
manajemen risiko yang baik, terutama risiko reputasi, operasional, hukum dan
konsentrasi, yang satu dengan lainnya saling berhubungan.
Dengan mengetahui latar belakang dan identitas serta memantau transaksi yang
dilakukan pengguna jasa, akan memberikan nilai tambah bagi Pihak Pelapor terutama
dalam membina hubungan baik dengan pengguna jasa yang bermanfaat dari aspek
bisnisnya. Terhadap pengguna jasa yang prospektif, akan senantiasa dijaga dan
ditingkatkan hubungan baiknya.
Dalam penerapan PMPJ, ketersediaan data nasabah atau Pengguna Jasa, jejak rekam
dan berbagai transaksi yang dilakukan, serta administrasi atau penatausahaan dokumen
informasi yang baik, dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai kajian (riset)
termasuk dalam riset pengembangan usaha industri Pihak Pelapor. Akurasi data dan
metode pengolahan data yang baik akan menghasilkan bahan penting bagi manajemen
dalam pengambilan keputusan secara akurat dan profesional
PENGERTIAN UMUM
Beberapa pengertian umum yang perlu diketahui dalam menerapkan Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa (PMPJ).
Pengertian Umum Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) adalah prinsip yang
diterapkan oleh Pihak Pelapor untuk mengetahui latar belakang dan identitas Pengguna
Jasa, memantau transaksi, serta melaporkan transaksi kepada PPATK.
Untuk pengertian umum istilah lainnya di dalam PMPJ, dapat dipelajari pada Link
Pengertian Umum PMPJ.
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
"Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkan
oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur"
Ketentuan lebih lanjut pada Peraturan Kepala PPATK Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Penyedia Barang dan/atau Jasa
Lainnya
"PJK wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkan oleh setiap
Lembaga Pengawas dan Pengatur"
Beberapa pihak yang perlu diketahui, terkait dengan kewajiban Pihak Pelapor dalam
menerapkan PMPJ
Beberapa Pihak yang terkait dalam Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ)
adalah:
Pengguna Jasa
Pengguna Jasa adalah orang perorangan atau korporasi yang menggunakan jasa
(melakukan transaksi) dengan Pihak Pelapor.
Pihak Pelapor
1. Penyedia Jasa Keuangan (PJK), sesuai Pasal 17 ayat 1 (a) UU PPTPPU dan Pasal 2
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015
2. Penyedia Barang dan/atau Jasa lain (PBJ), sesuai Pasal 17 ayat 1 (b) UU PPTPPT.
PPATK
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Kedudukan PPATK adalah
langsung dibawah Presiden.
2. Menjadi LPP bagi Pihak Pelapor yang memiliki LPP namun belum menerapkan
kewajibannya.
Instansi Lainnya
Instansi lainnya adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang berkewajiban
membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan atau instrumen pembayaran
lain lintas batas negara.
3. Identifikas Verifikasi Dan Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa
Identifikasi Pengguna Jasa dilakukan pada saat melakukan hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa. Pihak Pelapor wajib meminta informasi dan dokumen pendukung
kepada Pengguna Jasa (profil Pengguna Jasa), dengan memberikan formulir yang
memuat isian sekurang-kurangnya mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan
transaksi pengguna jasa.
Apabila transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, maka Pengguna Jasa harus
menyertakan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan transaksi pihak
lain tersebut.
Check List Jenis Permintaan Informasi dan Dokumen untuk Pengguna Jasa Perorangan
dan Perusahaan (Link Check List)
Pihak pelapor wajib menolak melakukan hubungan usaha atau melaksanakan transaksi
dengan Calon Pengguna Jasa dalam hal:
1. Calon Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa
2. Diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu
3. Menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya.
1. Mendokumentasikan
2. Melaporkan sebagai TKM (Transaksi Keuangan Mencurigakan)
3. Ketentuan untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha
dengan Pengguna Jasa dicantumkan dalam perjanjian hubungan usaha dan
diberitahukan kepada Pengguna Jasa
4. Memberitahukan secara tertulis kepada Pengguna Jasa mengenai penutupan
hubungan usaha.
1. Identitas
2. Lokasi usaha bagi Pengguna Jasa perusahaan
3. Profil Pengguna jasa
4. Jumlah transaksi
5. Kegiatan usaha Pengguna Jasa
6. Struktur Kepemilikian bagi Pengguna Jasa perusahaan
7. Informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat risiko Pengguna
Jasa
Faktor penentuan Pengguna Jasa yang berisiko tinggi (High Risk Customer).
Penetapan Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme dilaksanakan melalui penyusunan kategori Pengguna Jasa
yang berisiko tinggi, berdasarkan 4 (empat) faktor:
1. profil;
2. negara;
3. bisnis; atau
4. produk dan/atau jasa.
Dalam hal calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau BO (Beneficial Owner)
termasuk kedalam kategori sebagaimana disebutkan di atas, maka calon Pengguna Jasa,
Pengguna Jasa, dan/atau BO langsung diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi (high
risk). Calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa dan/atau BO yang memenuhi kategori
berisiko tinggi (high risk) dibuat dalam daftar tersendiri.
PJK (Penyedia Jasa Keuangan) wajib menyusun atau menyesuaikan ketentuan internal
mengenai klasifikasi Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana
pencucian uang dengan mengacu pada Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan Nomor: PER-02/1.02/PPATK/02/15 tentang Kategori Pengguna Jasa
yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kewajiban dan penanganan yang dilakukan oleh Pihak Pelapor terkait dengan
Pengguna JasaPolitically Exposed Person (PEP).
•menggunakan produk Pihak Pelapor yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai
sarana Pencucian Uang atau Pendanaan Teroris;
•melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi;
•melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau
•merupakan pihak yang terkait dengan PEP.
WAJIB DILAKUKAN :
1. EDD (Enhanced Due Diligence) secara berkala paling kurang berupa analisis
terhadap informasi sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha
dengan pihak- pihak yang terkait; dan
2. pemantauan yang lebih ketat.
1. Pihak Pelapor wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas
hubungan usaha dengan Calon Pengguna Jasa tersebut.
2. Pejabat senior berwenang untuk:
Ada tiga jenis Pihak Pelapor yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yaitu :
Jenis laporan yang wajib disampaikan untuk setiap jenis Pihak Pelapor yaitu :
1. Untuk PJK ada 3 jenis laporan yaitu Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan Laporan Transaksi
Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri (LTKL); PERKA PPATK - Tata Cara
Penyampaian TKM dan TKT PERKA PPATK - Tata Cara Penyampaian LTKL.
2. Untuk PBJ ada 2 jenis laporan yaitu Laporan Transaksi (LT), dan Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan (LTKM); PERKA PPATK - Tata Cara Penyampaian Pelaporan
LT.
3. Untuk Profesi hanya 1 jenis laporan yaitu Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM). PP 43 Tahun 2015.
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) wajib disampaikan oleh 3 jenis Pihak
Pelapor dalam kurun waktu 3 hari kerja setelah Pihak Pelapor mengetahui adanya unsur
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Untuk Pihak Pelapor jenis PBJ, penyampaian LTKM atas permintaan PPATK sedangkan
untuk Pihak Pelapor jenis PJK dan Profesi yaitu atas inisiatif PJK dan Profesi sendiri.
1. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
2. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
3. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
4. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor
karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) wajib disampaikan oleh Pihak Pelapor yang
berjenis PJK dalam kurun waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi.
Unsur Transaksi Keuangan Tunai antara lain:
Menjelaskan tentang definisi Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri
(TKL) menurut UU PPTPPU dan Jangka Waktu pelaporan TKL kepada PPATK.
Laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri (LTKL) wajib
disampaikan oleh Pihak Pelapor berjenis PJK yang memberikan jasa transfer uang dari
dan ke luar negeri dalam kurun waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi.
PJK yang wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana Dari Luar
Negeri adalah:
1. PJK yang menjadi Penyelenggara Penerus yang pertama kali menerima Perintah
Transfer Dana di wilayah Indonesia, apabila Penyelenggara Penerus bukan
merupakan Penyelenggara Penerima Akhir; dan
2. PJK yang menjadi Penyelenggara Penerima Akhir.
PJK yang wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana Ke Luar
Negeri adalah:
Transaksi yang dilaporkan sebagai LTKL tidak ada batasan nominalnya, artinya semua
transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri baik besar maupun kecil tetap dilaporkan.
Laporan Transaksi (LT) wajib disampaikan oleh Pihak Pelapor berjenis PBJ dalam kurun
waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi. PBJ hanya melaporkan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Pengguna Jasa akhir atau end
user, transaksi kepada selain end user tidak perlu dilaporkan.
Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan Pemblokiran dan prosedur yang
harus dilakukan setelah dilakukan Pemblokiran.
PJK wajib melakukan Pemblokiran secara serta merta terhadap semua Dana yang
dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang atau
Korporasi berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang telah
dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PJK membuat berita acara Pemblokiran dan wajib menyampaikannya kepada Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme kepada PPATK paling lama 3 (tiga) hari
kerja setelah mengetahui adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan
Terorisme tersebut.
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),
penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk
memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari Pengguna Jasa
Pihak Pelapor wajib memberikan keterangan yang diminta Penyidik, Penuntut Umum,
Atau Hakim selama permintaan tersebut memenuhi syarat antara lain:
- Permintaan keterangan kepada Pihak Pelapor harus diajukan dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam
hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa
penyidik dan/atau penuntut umum; atau
Hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
1. Pihak Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas laporan
yang disampaikan ke PPATK;
2. Pihak Pelapor yang melaporkan terjadinya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang
wajib diberikan perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya;
3. Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib
merahasiakan identitas Pihak Pelapor.
JENIS LAPORAN
Jenis - jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK sesuai
dengan UU PPTPPU dan UU PPTPPT
Jenis laporan yang wajib disampaikanPenyedia Jasa Keuangan (PJK) ada 3, yaitu:
Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Penyedia Barang dan Jasa Lainnya (PBJ)
adalah Laporan transaksi (LT) yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan nilai paling
sedikit atau setara Rp. 500.000.000,00 dan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM) yang diminta oleh PPATK. (Perka PPATK tentang Tata Cara Pelaporan Bagi PBJ).
Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Profesi adalah Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM).
MEKANISME REGISTRASI DAN PELAPORAN
Mekanisme Registrasi oleh Pihak Pelapor dan Petunjuk Tata Cara Pelaporan kepada
PPATK.
PJK, PBJ dan Profesi wajib melakukan registrasi melalui aplikasi registrasi (GRIPS) melalui website
PPATK untuk dapat mengirimkan laporan secara elektronis maupun non-elektronis.
PJK wajib mengisi LTKM, LTKL, LTKL dan PBJ wajib mengisi LT dan LTKM serta Profesi wajib
mengisi LTKM dengan benar dan lengkap sesuai dengan petunjuk tata cara pengisian
laporan. Peraturan Kepala PPATK Nomor 09 Tahun 2012.
Setiap Orang berkewajiban memberitahukan kepada petugas Ditjen Bea dan Cukai
apabila:
Membawa suatu uang dan atau instrumen pembayaran senilai paling sedikit Rp100
juta dalam bentuk:
1. Uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau
2. Instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup
bayar, atau bilyet giro
PERAN PPATK
Peran PPATK terkait pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain.
PPATK berperan dalam menerima laporan dari Ditjen Bea dan Cukai meliputi:
Selain menerima laporan tersebut, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari
Ditjen Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain.
Jenis pelanggaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif apabila melanggar
kewajiban pemberitahuan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
kepada Bea dan Cukai
1. Dikenai sanksi denda administratif sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa;
2. Jumlah denda dihitung paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pelanggaran karena adanya selisih lebih antara jumlah yang dibawa dengan jumlah
yang diberitahukan
1. Dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari
kelebihan;
2. 2.Jumlah denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
1. Diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kas negara oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat laporan mengenai pengenaan
sanksi administratif.
3. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5
(lima) hari kerja sejak sanksi administratif ditetapkan.
8. Sanksi Administratif
Penjelasan kewajiban penyampaian laporan dan jangka waktu pelaporan oleh Pihak
Pelapor kepada PPATK.
PJK wajib menyampaikan LTKM , LTKT, LTKL dan LTKM yang terkait pendanaan
terorisme, sedangkan PBJ wajib menyampaikan laporan transaksi (LT) penjualan dan
LTKM yang diminta oleh PPATK.
PJK
1. PJK wajib menyampaikan laporan TKM sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) Hari
Kerja setelah PJK mengetahui adanya unsur TKM.
2. PJK wajib menyampaikan laporan TKT paling lama 14 (empat belas) Hari Kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
3. PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan keluar
negeri paling lama 14 (empat belas) Hari Kerja terhitung sejak tanggal Transaksi
dilakukan.
4. PJK wajib menyampaikan laporan TKM Terkait Pendanaan Terorisme paling lama 3
(tiga) Hari Kerja setelah mengetahui adanya TKM Terkait Pendanaan Terorisme.
PBJ
1. PBJ wajib menyampaikan laporan Transaksi (LT) paling lama 14 (empat belas) Hari
Kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
2. PBJ wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) paling
lama 3 (tiga) Hari Kerja terhitung setelah diterimanya surat permintaan dari PPATK.
Peraturan Kepala PPATK terkait Sanksi Administratif ini mulai berlaku sejak tanggal 26
November 2015.
Penjelasan tentang penetapan dan pengenaan sanksi administrasi oleh PPATK, Lembaga
Pengawas dan Pengatur (LPP).
Penjelasan jenis sanksi administrasi yang dikenakan kepada Pihak Pelapor dan cara
pengajuan keberatan.
Teguran tertulis,
Pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi,
dan/atau denda administratif.
PPATK dapat mengenakan satu atau lebih sanksi administratif tanpa melalui proses
berjenjang.
Pihak Pelapor dapat mengajukan keberatan secara tertulis ke PPATK atas penetapan
pengenaan sanksi administratif yang berupa denda. Keberatan diajukan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pembayaran denda
administratif. PERKA Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pengenaan Sanksi Administratif
Atas Pelanggaran Kewajiban Pelaporan.
Definisi dan tujuan Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) sesuai
Ketentuan tentang Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu.
Rincian informasi Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) yang wajib
disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK).
Informasi Pengguna Jasa wajib disampaikan oleh PJK, dengan rincian sebagai berikut:
1. Untuk Pengguna Jasa orang perseorangan: nama; tempat lahir; tanggal lahir;
alamat; nomor induk kependudukan atau nomor dokumen identitas; dan nomor
profil nasabah secara terpadu (single Customer Identification File/CIF) atau nomor
lain yang menunjukkan kepemilikan atau keikutsertaan nasabah.
2. Untuk Pengguna Jasa berbentuk Korporasi: nama Korporasi; alamat Korporasi;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan nomor profil nasabah secara terpadu
(single Customer Identification File/CIF) atau nomor lain yang menunjukkan
kepemilikan atau keikutsertaan nasabah.
1. Untuk Pengguna Jasa orang perseorangan: nama; tempat lahir; tanggal lahir;
alamat; nomor induk kependudukan atau nomor dokumen identitas; dan nomor
rekening, nomor polis, atau nomor lain yang menunjukkan kepemilikan atau
keikutsertaan Pengguna Jasa.
2. Untuk Pengguna Jasa berbentuk Korporasi: nama Korporasi; alamat Korporasi;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan nomor rekening, nomor polis, atau nomor
lain yang menunjukkan kepemilikan atau keikutsertaan Pengguna Jasa.
Jenis-jenis informasi Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) , yaitu initial
data dan penambahan Pengguna Jasa baru.
1. Informasi Pengguna Jasa yang telah ada (existing)pada posisi sampai dengan 31
Januari 2014.
2. Informasi Pengguna Jasa yang telah ditutup pada posisi 1 Januari 2012 sampai
dengan 31 Januari 2014.
Penambahan Pengguna Jasa baru setiap posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Informasi Pengguna Jasa disampaikan dalam bentuk elektronis secara online atau
offline. Penyampaian informasi Pengguna Jasa secara online dilakukan melalui aplikasi
yang disediakan oleh PPATK, dan dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Perka
PPATK diundangkan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi SIPESAT merujuk
pada Surat Edaran Kepala PPATK Nomor: SE-02/1.02/PPATK/03/14 tentang Tata Cara
Penyampaian Informasi Pengguna Jasa Terpadu.
Modul ini memberikan gambaran umum mengenai terobosan hukum dalam menangani
perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
Modul ini ditujukan sebagai kursus awal bagi Lembaga Penegak Hukum, Praktisi,
Instansi Pemerintah, Dosen, Mahasiswa serta masyarakat umum untuk dilanjutkan
dengan pendalaman dengan pelatihan/kajian/penelitian terhadap sejumlah peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan,best practises nasional dan internasional
dalam penegakkan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
UU PPTPPU
UU PPTPPT
Tidak hanya kejahatan asalnya, saat ini pelaku kejahatan keuangan dapat dijerat dengan
Tindak Pidana Pencucian Uang atas perbuatan menyembunyikan dan menyamarkan
hasil kejahatannya.
Pelaku kejahatan keuangan seperti korupsi, pengedar narkoba, illegal logging dan
lainnya tidak berhenti pada saat kejahatan dilakukan dan harta kekayaan berhasil
diperoleh. Sebagian besar pelaku melakukan Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) menjerat tidak hanya pelaku TPPU aktif juga
pelaku pasif.
Selain korupsi, narkotika dan illegal logging, Pencucian Uang dapat dilakukan atas harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU
PPTPPU. Selain menjerat pelaku individu, dalam hal Pencucian Uang dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.
UU PPTPPU juga mengatur dan memberi sanksi pidana terhadap setiap orang yang
berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut
serta melakukan percobaan, Pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 10 UU PPTPPU).
UU PPTPPU
Perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang aktif dan pasif (Pasal 3, 4, 5 UU PPTPPU)
mensyaratkan adanya unsur "diketahuinya atau patut diduganya" yang mendukung
adanya perbuatan TPPU
PENGERTIAN "DIKETAHUINYA"
Adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat dinilai secara jelas dan pasti mengetahui
bahwa suatu Harta Kekayaan tertentu berasal dari hasil tindak pidana. Dalam hal ini
terdapat sikap kalbu atau batin yang dapat diklasifikasikan sebagai dolus (sengaja).
Untuk menilai adanya unsur kesengajaan ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang
dalam tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan. Apabila seseorang adalah
pelaku atau terlibat dalam perbuatan pidana dimaksud, maka mereka telah memenuhi
unsur kesengajaan atau dengan kata lain harta kekayaan hasil tindak pidana dimaksud
dikualifikasikan telah “diketahuinya”.
dapat menilai bahwa sejumlah uang atau Harta Kekayaan merupakan hasil dari suatu
perbuatan pidana. Dalam hal ini terdapat sikap kalbu atau batin yang dapat
diklasifikasikan sebagai culpa (lalai). Untuk menilai adanya unsur kealfaan ini dapat
dilihat dari data atau informasi yang dimiliki dan juga kelaziman yang diterima secara
wajar oleh masyarakat. Kewajaran ini dapat diuji dengan pendekatan motif dilakukannya
transaksi dan jugaunderlying transaksinya (transaksi yang mendasari).
Mengacu pada penjelasan Pasal 5 UU PPTPPU, yang dimaksud dengan patut diduga
adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau
tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya
pelanggaran hukum.
Dalam suatu dugaan TPPU aktif (Pasal 3 UU PP-TPPU), mensyaratkan adanya unsur
"Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan" yang
mendukung adanya perbuatan TPPU
PENGERTIAN MENYEMBUNYIKAN
Menyembunyikan adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya agar orang lain tidak
dapat mengetahui mengenai asal usul Harta Kekayaan dari hasil tindak pidana.
PENGERTIAN MENYAMARKAN
Menyamarkan merupakan suatu perbuatan atau upaya yang dilakukan sehingga pihak
lain termasuk instansi penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
bahwa Harta Kekayaan tertentu asal usulnya dari hasil kejahatan.
Pada mulanya, berbagai informasi menyangkut nasabah di suatu institusi keuangan ataupun
kalangan profesi dijaga ketat berdasarkan prinsip kerahasiaan dan kode etik profesi. Dalam
prakteknya, adanya prinsip kerahasiaan dan kode etik profesi berpotensi dimanfaatkan pelaku
kejahatan untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.
Namun demikian, mekanisme atau cara kerja Program APU-PPT pun dilaksanakan berdasarkan
prinsip kerahasiaan. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap
orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut UU PPTPPU wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk
memenuhi kewajiban menurut UU PPTPPU.
Demikian pula Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dapat dimulai
berdasarkan inisiatif:
Instansi Penegak Hukum pada saat menangani suatu tindak pidana asal;
Adanya Laporan Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada Instansi Penegak
Hukum
Instansi Penegak Hukum dapat memulai penanganan perkara dugaan Tindak Pidana
Pencucian Uang pada saat sedang menangani suatu kasus dan menemukan adanya
potensi indikasi dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pada tahap penyelidikan dan/atau tahapan selanjutnya, Instansi Penegak Hukum dapat
meminta informasi hasil analisis transaksi keuangan kepada PPATK apabila menemukan
adanya dugaan suatu TPPU atau terdapat kaitan antara suatu tindak pidana dengan
transaksi keuangan pada sistem keuangan.
Selain itu, PPATK secara proaktif menyampaikan laporan hasil analisis dan pemeriksaan
berindikasi Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lainnya kepada
Instansi Penegak Hukum atas analisis Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dan/atau laporan lainnya yang disampaikan Pihak Pelapor dan masyarakat.
Dalam penegakan hukum, PPATK memiliki peran sebagai financial intelligence unit, yang
memiliki tiga fungsi utama, yakni:
Suatu laporan hasil analisis dan pemeriksaan PPATK dapat memberikan informasi
transaksi keuangan yang memberikan nilai tambah bagi upaya penegakan hukum
seperti memperjelas posisi kasus, mengidentifikasi kejahatan dan jaringan kejahatan
yang lebih besar, mengidentifikasi harta kekayaan untuk perampasan aset. Dalam
prakteknya, suatu hasil analisis dan pemeriksaan antara lain dimanfaatkan oleh Penyidik
dalam proses:
Hasil analisis dan pemeriksaan PPATK merupakan informasi intelijen keuangan yang
bersifat sangat rahasia dan tidak dapat dijadikan alat bukti serta harus dipergunakan
sesuai dengan UU PPTPPU.
Produk PPATK antara lain adalah Hasil Analisis (HA) dan Hasil Pemeriksaan (HP).
Kegiatan Analisis dan Pemeriksaan transaksi keuangan oleh PPATK dilakukan secara
independen, obyektif dan profesional.
Kegiatan analisis dan pemeriksaan oleh PPATK adalah kegiatan meneliti laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau laporan lainnya serta informasi yang
diperoleh PPATK dalam rangka menemukan atau mengidentifikasi indikasi Tindak
Pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lainnya.
Kegiatan analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan yang dilakukan oleh PPATK
merupakan suatuintelligence analysis, yakni proses untuk mengidentifikasi dan
menyatukan berbagai informasi yang berbeda dan terpisah untuk menghasilkan
pengetahuan baru dan suatu pemahaman atas suatu permasalahan.
Pada saat melakukan analisis dan pemeriksaan, PPATK menerapkan teknik-teknik audit
sepertianalytical review, konfirmasi, pengujian sampling, pemeriksaan dokumen
dalam rangka menggali informasi, serta menggunakan teknik investigasi seperti
observasi dan wawancara. Secara lebih khusus, PPATK menerapkan secara intensif teknik
penelusuran aliran dana (follow the money), dengan mengidentifikasi sumber asal dana
dan penggunaannya. Dalam pelaksanaan analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan
oleh PPATK secara intensif digunakan alat bantu teknologi informasi dalam rangka data
mining, analytical tools, danadvance exploration data.
Sumber informasi analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan oleh PPATK antara lain:
Secara garis besar, suatu Laporan Hasil Analisis dan Pemeriksaan terdiri dari:
Pada saat Penegak Hukum sedang menangani suatu kasus, dimulai dari tahap
penyelidikan dan/atau tahapan selanjutnya, penegak hukum dapat meminta informasi
hasil analisis transaksi keuangan kepada PPATK sesuai dengan ketentuan Pasal 90 UU
PPTPPU.
Dalam melakukan permintaan informasi kepada PPATK, Penegak Hukum dituntut untuk
mengidentifikasi berbagai pihak yang berpotensi terkait dengan dugaan kasus dan
informasi transaksi keuangan awal yang dapat digali/diketahui.
Hal yang harus dicantumkan dalam permintaan informasi ke PPATK, antara lain sebagai
berikut:
Keberhasilan penanganan kasus TPPU dan pertukaran informasi PPATK dan Penegak
Hukum sangat didukung oleh keberadaan Petugas Penghubung Kerjasama (Liaison
Officer) yang ada di PPATK dan masing-masing Penegak Hukum. Selain itu, saat ini telah
dikembangkan mekanisme pertukaran informasi antara PPATK dengan lembaga
penegak hukum secara elektronis/online menggunakan Secure Online Communication
(SOC) untuk menunjang efektifitas dan menjaga kerahasian pertukaran informasi.
Dalam rangka memastikan efektifitas penanganan suatu Laporan Hasil Analisis dan
Pemeriksaan, PPATK mempunyai kewenangan meminta informasi mengenai
perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal dan tindak pidana pencucian uang (Pasal 44 ayat (1) huruf j UU PPTPPU).
Hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai intervensi dari PPATK kepada Penegak Hukum,
tetapi hanya sebagai umpan balik mengenai tindak lanjut atas hasil analisis untuk
meningkatkan kualitas hasil analisis dan mengoptimalkan upaya PPATK dalam
mendukung penegakan hukum.
Dalam rangka menunjang pelaksanaan wewenang tersebut, PPATK apabila diperlukan
atau diminta Lembaga Penegak Hukum, melakukan
asistensi/pendampingan/pembahasan penanganan/tindak lanjut dari Laporan Hasil
Analisis dan Pemeriksaan PPATK.
UU PPTPPU
PERKA-Nomor-8-Tahun-2013-ttg-Permintaan-Informasi-ke-PPATK
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal
yaitu pejabat dari instansi yang oleh Undang-Undang diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PPTPPU, penyidikan TPPU dapat dilakukan oleh
Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional,
Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya Tindak Pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak
pidana asal dengan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya
kepada PPATK (Pasal 75 UU PPTPPU).
UU PPTPPU memperkenalkan alat bukti yang baru dalam hukum pidana. Berbeda dari
pada pengaturan KUHAP, Pasal 73 UU PPTPPU menyatakan bahwa alat bukti yang sah
dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
alat yang serupa optik dan Dokumen.
Dalam meminta keterangan tentang harta kekayaan tersebut, bagi penyidik, penuntut
umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.
Dalam perkara TPPU, Penuntut Umum wajib menyerahkan berkas perkara kepada
pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap. Penuntutan TPPU dilakukan
oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung RI berikut jajarannya dan Penuntut Umum
pada KPK.
Kemudian Penuntutan TPPU oleh KPK telah sesuai dengan asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, dikarenakan penuntutan oleh jaksa yang bertugas di
KPK akan lebih cepat diselesaikan dari pada harus dikirim lagi ke Kejaksaan Negeri.
Alasan ini juga telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-
XII/2014 mengenai permohonan uji materil terhadap UU PPTPPU oleh M. Akil Muchtar.
UU PPTPPU
Putusan M. Akil Muchtar
Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan oleh Hakim dalam suatu persidangan
Penyusunan surat dakwaan tidak boleh keluar dari hasil penyidikan yang telah dibuat
oleh penyidik sebagaimana yang termuat dalam berkas perkara.
Perlu dipahami bahwa TPPU harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri
yang berbeda denganpredicate crime-nya walaupun sangat berkaitan erat, maka untuk
berkas TPPU yang digabung (dijadikan satu) dengan berkas Tindak Pidana asal, dakwaan
harus disusun secara kumulatif oleh penuntut umum.
Hal ini juga ditegaskan oleh Kejaksaan Agung dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum Nomor B-689/E/EJP/12/2004 dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus Nomor B-2107/F/Fd.1/10/2011.
PENGADILAN IN ABSENTIA
Pengadilan in absentia merupakan pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara
tanpa dihadiri oleh Terdakwa.
Selain perkara Korupsi, dalam perkara TPPU juga mengenal pengadilan in absentia.
Dalam pemeriksaan perkara TPPU, apabila sebelumnya terdakwa telah dipanggil secara
patut dan sah namun tidak hadir, perkara Terdakwa dapat diperiksa maupun diputus
tanpa kehadirannya.
Kemudian dalam hal Terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sebelum
putusan dijatuhkan, harta kekayaan Terdakwa, atas tuntutan penuntut umum, Hakim
dapat merampas harta tersebut jika terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan TPPU.
Untuk membuktikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak wajib dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Pembuktian dalam perkara TPPU, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan sidang pengadilan tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya. Artinya dalam setiap proses penanganan perkara TPPU atau dugaan adanya
harta hasil perolehan kejahatan, aparat penegak hukum tidak boleh terhenti karena
alasan penanganan perkara pokoknya belum terbukti.
Best practice internasional, pada negara yang menganut hukum civil law ataupun
common law untuk memeriksa perkara TPPU tidak perlu membuktikan tindak pidana
asal terlebih dahulu. Beberapa putusan menunjukkan terdapat perkara TPPU yang telah
diputus secara tunggal tanpa dibuktikannya tindak pidana asal antara lain perkara atas
nama Ie Mien Sumardi dan Yudi Hermawan.
Maksudnya harta kekayaan tersebut haruslah disita sebelumnya oleh penyidik terlebih
dahulu dan dibawa ke persidangan oleh penuntut umum kemudian saat persidangan
Hakim-lah yang memerintahkan Terdakwa untuk membuktikan dari mana harta
kekayaan itu diperoleh.
Satu hal yang penting dalam menggunakan sistem ini adalah bahwa yang dibuktikan
oleh Terdakwa hanya perolehan/sumber harta kekayaan saja sedangkan unsur lain dari
pasal TPPU yang disangkakan merupakan kewajiban Penuntut Umum untuk
membuktikan.
PENYITAAN TAMBAHAN
Perampasan harta kekayaan hasil kejahatan sebagai pengembalian aset (asset recovery).
Dalam perkara TPPU, harta kekayaan merupakan “darah” dari kejahatan itu, oleh
karenanya UU PPTPPU memberikan ruang kepada hakim untuk melakukan penyitaan
tambahan. Saat persidangan apabila diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta
kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan Penuntut Umum untuk melakukan
penyitaan harta kekayaan tersebut.
Tujuannya adalah sebagai asset recovery dan mematikan "darah kehidupan" kejahatan
itu yang pada akhirnya dapat memberikan efek jera pada pelaku dan orang lain agar
tidak melakukan kejahatan tersebut.
10. Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Apabila terdapat harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana yang pelakunya tidak ditemukan, Pengadilan dapat memutuskan
merampasnya untuk Negara atau mengembalikan kepada yang berhak.
Terdapat ketentuan perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based Asset
Forfeiture) dalam UU PPTPPU, yakni terkait harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan aset tindak pidana yang pelakunya tidak diketahui/tidak ditemukan.
Mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan dapat dimulai oleh PPATK, pada saat
menemukan adanya harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana. PPATK melakukan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan
dapat diperpanjang selama 15 hari kerja.
Apabila, tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam
waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK
menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30
(tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan
kepada yang berhak. Pengadilan dalam hal ini harus memutus dalam waktu paling lama
7 hari kerja.
10. Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Apabila terdapat harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana yang pelakunya tidak ditemukan, Pengadilan dapat memutuskan
merampasnya untuk Negara atau mengembalikan kepada yang berhak.
Terdapat ketentuan perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based Asset
Forfeiture) dalam UU PPTPPU, yakni terkait harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan aset tindak pidana yang pelakunya tidak diketahui/tidak ditemukan.
Mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan dapat dimulai oleh PPATK, pada saat
menemukan adanya harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana. PPATK melakukan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan
dapat diperpanjang selama 15 hari kerja.
Apabila, tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam
waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK
menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30
(tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan
kepada yang berhak. Pengadilan dalam hal ini harus memutus dalam waktu paling lama
7 hari kerja.
11. Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran Serta Merta
(Seketika)
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran Serta Merta
(Seketika)
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana teroris dan
pendanaannya, aset orang/korporasi yang masuk dalam daftar teroris/organisasi teroris
dapat diblokir serta merta atas penetapan pengadilan.
Dalam UU PPTPPU juga diatur mekanisme keberatan dan penghapusan identitas orang
atau korporasi dari DTTOT. Dalam pelaksanaan DTTOT terdapat Peraturan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Luar Negeri RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor 01/PB/MA/II/2015, 03 Tahun 2015, 1 Tahun 2015,
B.66/K.BNPT/2/2015, PER-01/1.02/PPATK/02/2015 tentang Pencantuman Identitas
Orang dan Korporasi Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris, dan
Pemblokiran Secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum
Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.
UU PPTPPT
12. Perlindungan Pihak Pelapor, Pelapor dan Saksi Dalam Perkara Pencucian Uang
UU PPTPPU memberikan perlindungan hukum berupa pelepasan dari tuntutan pidana maupun
perdata kepada Pihak Pelapor, Pelapor dan/atau saksi atas pelaporan, sebagai berikut:
1. Penyedia jasa keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan dan transaksi keuangan tunai.
2. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas
pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan. Pelapor yang dimaksudkan dalam
ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan Tindak Pidana
Pencucian Uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang memberikan kesaksian
dalam pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kekebalan hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan secara pidana terhadap pihak-
pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang yang bersangkutan dalam melaksanakan
pelaporan dan memberikan kesaksian dilakukan dengan itikad baik atau yang bersangkutan
tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Munculnya perlindungan, dalam hal ini, apabila
pelaksanaan kewajiban oleh pelapor dan pihak lain diterapkan secara konsisten.
Dalam beberapa Pasal UU PPTPPU, diatur mengenai kewajiban untuk tidak mengungkap
identitas pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor
dengan ancaman pidana bagi yang melanggarnya, termasuk ancaman bagi Direksi, pejabat, atau
pegawai PJK, Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik, umum, hakim, dan
siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan
tugasnya.
Pengertian Pihak Pelapor di sini adalah pelapor PJK karena melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam UU PPTPPU. Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan
mengenai perlindungan Saksi dan Pelapor, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang. Lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Kapolri Nomor
17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU PPTPPU
PP 57/2003
Perkapolri 17/2005
Modul 4 ini disusun dengan tujuan untuk membantu masyarakat umum, Instansi
Penegak Hukum, Pihak Pelapor dan mitra strategis PPATK dalam mengenali inisiatif,
norma atau standar maupun praktik terbaik (best practice) di tataran internasional
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme.
1. Di satu negara;
2. Di satu negara, tetapi persiapan, arahan dan kontrolnya dilakukan di negara lain;
3. Di suatu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisir yang
terlibat dalam kejahatan di lebih dari suatu negara;
4. Di suatu negara,tetapi memiliki efek yang cukup besar di negara lain.
2. Organisasi Internasional
Organisasi Internasional
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Teroisme merupakan
kejahatan lintas batas negara yang dalam penanganannya membutuhkan kerjasama
tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi hingga lingkup regional maupun
internasional. Kerjasama tersebut, tidak hanya melibatkan aktor negara (state actors) ,
tetapi juga aktor-aktor selain negara (non-state actors) yaitu keterlibatan atau peran dari
organisasi internasional.
Berdasarkan definisi dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/The
Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), Organisasi
Internasional diartikan sebagai suatu entitas yang dibentuk oleh perjanjian politik formal
diantara anggota-anggotanya yang memiliki status perjanjian internasional, yang
keberadaannya diakui oleh hukum anggota negara-negara tersebut, mereka tidak
diperlakukan sebagai lembaga setempat di suatu negara dimana mereka berada.
Diharapkan keanggotaan tersebut dapat memberikan manfaat antara lain secara politik,
dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan kesatuan,
mendukung terciptanya kohesi sosial serta secara ekonomi dan keuangan, mendorong
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas
nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional, mendatangkan bantuan
teknis, hibah dan bantuan lain yang tidak mengikat, dan sektor penegakan hukum
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme diharapkan dapat memperkuat
rezim APU-PPT di Indonesia.
Financial Action Task Force (FATF) adalah sebuah lembaga internasional yang
mengeluarkan standar untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang dan pendanaan terorisme serta melakukan evaluasi terhadap negara-negara di
dunia atas standar tersebut.
Isu pencucian uang baru mendapatkan momentumnya pada tahun 1989, yaitu pada
bulan Juli 1989, di Paris, dalam sebuah Pertemuan Negara-negara G-7, dibentuk
Financial Action Task Force (FATF) sebagai respon atas kekhawatiran internasional
terhadap risiko pencucian uang atas integritas sistem keuangan. Lembaga ini dilahirkan
dengan agenda memastikan kriminalisasi terhadap pencucian uang dan pengembangan
kebijakan serta regulasi terkait pengenalan nasabah. Selain itu, task force tersebut
diberikan tanggung jawab untuk melakukan analisis terhadap teknik dan tren atas
pencucian uang, mengkaji ulang upaya yang telah dilakukan pada tingkat nasional dan
internasional, serta menentukan instrumen atau metodologi yang diperlukan untuk
memberantas pencucian uang.
Indonesia sudah keluar dari Daftar Publikasi FATF (“FATF Public Statement”) sejak Juni
2015. Indonesia bukan anggota dari FATF, tetapi FATF dapat memberikan sanksi kepada
negara yang bukan anggota FATF dan ataupun FSRBs (FATFStyle Regional Bodies) salah
satunya seperti APG. Hal ini dikarenakan FATF merekomendasikan agar transaksi
keuangan dari dan ke negara yang diberikan sanksi diberhentikan oleh negara anggota
FATF. Padahal negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang,
Inggris, Perancis merupakan anggota FATF. Sebagai informasi, Indonesia merupakan
satu-satunya negara anggota G-20 yang belum tergabung dalam FATF.
Saat ini Indonesia masih dipantau terkait penetapan Daftar Terduga Teroris dan
Organisasi Teroris (DTTOT) serta rencana Tax Amnesty dimana keduanya dikhawatirkan
akan dapat membawa kembali Indonesia ke dalam ‘FATF Public Statement’.
Asia/Pacific Group on Money Laundering adalah salah satu FATF Style Regional Bodies
yang dibentuk untuk memperluas upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian
uang di komunitas internasional khususnya di kawasan Asia Pasifik.
Asia/Pacific Group on Money Laundering atau sering disingkat dengan APG-ML adalah
organisasi internasional independen yang didirikan pada tahun 1997 di Bangkok,
Thailand. Pendirian organisasi ini merupakan penjabaran dari kerjasama internasional di
bidang pencucian uang dan pendanaan terorismeyang diawali dengan adanya pendirian
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada tahun 1989. Mengingat
FATF hanya beranggotakan Negara-negara “maju” (didirikan oleh G7), maka untuk
semakin memperluas upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di
komunitas internasional, perlu dilakukan pembentukan FATF Style Regional Bodies
(FSRB) berdasarkan regionalisasi. Untuk kawasan Asia Pasifik, didirikanlah APG yang
hingga saat ini beranggotakan 41 anggota Negara/Jurisdiksi.
The Egmont Group of FIUs adalah wadah perkumpulan Unit Intelijen Keuangan seluruh
dunia yang sifatnya informal. Organisasi ini didirikan pada tahun 1995 di kota Egmont,
Brussel, Belgia.
Dalam pertemuan di Arenberg Palace, Brussels, Juni 1995, The Egmont Group dibentuk
oleh sekelompok FIU. Pada awal pendirian, The Egmont Group dibentuk sebagai sebuah
kelompok informal yang mendorong kerjasama internasional diantara FIU, umumnya
terkait dengan pelatihan serta pertukaran pengalaman dan informasi intelijen keuangan.
Yang dapat menjadi anggota The Egmont Group adalah Unit Intelijen Keuangan atau
Financial Intelligence Unit (yang selanjutnya disebut FIU) dalam arti suatu lembaga
nasional yang bertanggung jawab menerima (dan apabila dimungkinkan untuk
mengajukan) menganalisis dan mendiseminasi informasi kepada otoritas yang
berkompeten dan berwenang dalam pengungkapan informasi finansial:
1. Mengenai dugaan aset hasil kejahatan dan potensi pendanaan terorisme atau;
2. Sebagaimana disyaratkan oleh legislasi dan regulasi nasionalnya untuk melaksanakan
pemberantasan pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme
The Egmont Group adalah forum kerjasama internasional yang memberikan dukungan
dalam hal:
DEFINISI FIU
Sebuah badan nasional yang bertanggung jawab untuk menerima (memberikan dan
meminta), menganalisa dan meneruskan kepada lembaga penegak hukum dan otoritas
yang berwenang mengenai:
1. Hasil analisis mengenai transaksi yang patut diduga sebagai hasil tindak pidana dan/atau
pendanaan terorisme;
2. Kajian strategis terkait cara untuk menangani TPPU & TPPT.
PERAN FIU
Berbagai bentuk FIU berdasarkan karakteristik suatu negara dalam program pencegahan
dan pemberantasan TPPU & TPPT.
Secara umum terdapat 4 (empat) tipe FIU berdasarkan eksistensi FIU di seluruh dunia,
yakni:
1. Tipe administratif
Dalam model administratif, FIU dibentuk terpusat dalam otoritas administratif, berperan
menerima dan melakukan proses informasi dari lembaga penyedia jasa keuangan dan
kemudian menyampaikan informasinya kepada lembaga penegak hukum. Model
administratif juga menekankan agar FIU menjadi pelapis antara penegak hukum dengan
sistem keuangan.
Contoh:AUSTRAC (Australia), PPATK (Indonesia), Rosfinmonitoring (Rusia), FinCEN (AS),
SCFM (Ukraina)
FIU yang dibentuk dalam model law enforcement dipasang dalam sistem penegakan
hukum yang telah ada dan bersifat pendukung dalam beberapa penegak hukum atau
otoritas peradilan dalam melakukan investigasi pencucian uang
Contoh: STRO (Singapura), JAFIC (Jepang), NCA (Inggris), BKA (Jerman)
3. Tipe judisial
Dalam model judisial, FIU dibentuk di dalam sistem peradilan di mana kemudian
informasi keuangan yang dibuka diterima oleh lembaga penegak hukum langsung dari
penyedia jasa keuangan sehingga lembaga peradilan dapat kemudian melaksanakan
fungsinya diantaranya, merampas harta hasil tindak pidana, melakukan pembekuan
rekening, dan sebagainya Contoh: MOKAS (Cyprus), FIU-LUX (Luxembourg),
Untuk model hybrid atau campuran, FIU dapat berperan sebagai pelapis atau perantara
bagi komunitas sistem keuangan dan penegakan hukum maupun sistem peradilan.
Modelhybrid setidaknya terdiri atas dua campuran dari model FIU yang ada.
Contoh: HVIDVASK (Denmark), OKOKRIM / EFE (Norwegia), FCU
(Jersey), AMLO (Thailand).
Dasar hukum dilakukannya pertukaran informasi intelijen keuangan antar sesama FIU
diatur dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional.
Dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme, undang-undang mengatur mengenai dasar hukum
pertukaran informasi melalui kerjasama internasional.
Dasar hukum tersebut diatur dalam Pasal 89 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 41 dan 42
UU Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.
Pertukaran informasi merupakan hal yang vital bagi The Egmont Group, oleh karena itu
Piagam Egmont (Egmont Charter) mengatur dua hal penting untuk mekanisme
pertukaran informasi, yaitu:
Dalam pertukaran tersebut, Informasi yang dipertukarkan tidak boleh dialihkan, atau
dibuka kepada pihak ketiga, atau menggunakannya untuk kebutuhan administratif,
investigatif, penuntutan, atau pun proses di pengadilan tanpa ada persetujuan
sebelumnya oleh FIU yang memberikan informasinya.
Secara prinsip didorong bahwa pertukaran informasi antara FIU harus dapat dilakukan
dengan bebas dan sejalan dengan dasar resiprokalitas atau konsensual bersama serta
konsisten dengan prosedur. Pertukaran informasi tersebut harus dikendalikan dengan
ketat dan berlapis, untuk memastikan informasi digunakan dengan cara yang
diperbolehkan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan di masing-
masing negara mengenai perlindungan dan privasi data. Semua anggotaThe Egmont
Group membantu perkembangan kerjasama dan pertukaran informasi seluas mungkin
dengan FIU-FIU lain atas dasar prinsip timbal balik atau kesepakatan bersama, dan
dengan mengikuti aturan-aturan dasar yang ditetapkan dalam prinsip-prinsip untuk
pertukaran informasi intelijen keuangan diantara FIU yaitu:
Dalam melaksanakan pertukaran informasi, FIU dapat melakukan dua bentuk pertukaran
informasi yang digunakan.
Terdapat dua bentuk jenis pertukaran informasi yang dilakukan oleh FIU dalam
kerjasama internasional:
4. Mutual Evaluation
Mutual Evaluation
Untuk memastikan suatu negara telah patuh dalam mengimplementasikan
Rekomendasi FATF.
Mutual Evaluation adalah sebuah proses peninjauan atau pemeriksaan dokumen serta
kunjungan ke suatu negara (on-site visit) terhadap kepatuhan standar Internasional
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta tindak
pidana pendanaan terorisme.
40 Rekomendasi FATF
Metodelogi 40 Rekomendasi FATF
Dalam hal ini bertujuan untuk melihat pelaksanaan Rekomendasi FATF apakah telah
diterapkan secara efektif dan berlanjut di negara yang bersangkutan. Peninjauan ini
dilakukan oleh negara lain atau organisasi internasional [Asia Pacific Group on Money
Laundering (APG),International Monetary Fund (IMF) dan/atau World Bank].
REKOMENDASI FATF
Suatu standar internasional yang mengatur tentang kejahatan pencucian uang dan
pendanaan terorisme.
Setahun pasca pembentukannya, pada bulan Juli 1990, FATF mengeluarkan laporan
yang meliputi 40 (empat puluh) rekomendasi, yang secara komprehensif menyediakan
rencana aksi yang diperlukan guna memerangi pencucian uang. Sejak itu kemudian
FATF dikenal sebagai penentu standar internasional dalam melawan kejahatan
pencucian uang.
Pada tahun 2012 keluar kebijakan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan 40+9
FATF Recommendations menjadi FATF New 40 Recommendations. Metodologi mutual
evaluation terhadap Rekomendasi FATF dapat dilihat pada link berikut.
Proses mutual evaluation dalam suatu negara dapat dilihat sebagai berikut:
Enam bulan sebelum on-site visit dilakukan kontak dengan negara yang akan dievaluasi
dan negara tersebut diminta mengisi kuesioner dan memberikan dokumen-dokumen
yang dibutuhkan terkait pelaksanaan rekomendasi FATF. Kemudian 4 bulan sebelum on-
site visit dilakukan dilakukan penilaian teknikal terkait doukumen-dokumen yang
diberikan.
Tiga bulan sebelum on-site visit tim evaluator akan menghasilkan draft pertama Mutual
Evaluation Report terkait penilaian teknikal. Satu bulan sebelum on site maka evaluator
akan menentukan prioritas hal-hal yang akan dilakukan dalam on-site visit. Kemudian
menjelang on-site visit akan dilakukan revisi terhadap draft pertama Mutual Evaluation
Report berdasarkan tanggapan negara yang bersangkutan.
Kegiatan On-site visit biasanya berlangsung 14 hari dimana evaluator akan berkunjung
ke instansi pemerintah terkait serta penyedia jasa keuangan. Tujuan on-site visit adalah
untuk melihat efektifitas dari pelaksanaan rekomendasi FATF.
Enam minggu setelah on-site visit maka evaluator akan mengeluarkan Mutual
Evaluation Report yang berfokus pada efektifitas bukan teknikal yaitu bukan berisi
evaluasi terhadap ketentuan dan kebijakan yang telah dikeluarkan, namun berisi
terhadap hasil observasi evaluator terhadap efektifitas pelaksanaan rekomendasi FATF
yang diketahui pada saat on-site visit.
Negara yang dievaluasi masih dapat mengajukan tanggapan dan sanggahan sampai 12
Minggu setelah on site visit dimana draft kedua akan diberikan yang akan mencakup
teknikal dan efektifitas. 16 minggu setelah on site visit maka apabila masih terdapat
perbedaan antara negara yang dievaluasi dengan evaluator akan dilakukan
teleconference. 19 minggu setelah on-site Mutual Evaluation Report akan difinalisasi.
Apabila negara yang dievaluasi masih terdapat sangggahan, maka sanggahan tersebut
akan disampaikan pada Plennary Meeting. Dalam Plennary Meeting maka laporan
tersebut akan diadopt.
Setelah diadopsi maka seluruh kekurangan yang disampaikan oleh evaluator akan
dipantau oleh negara lain yang dievaluasi setiap plenary meeting. Apabila negara yang
dievaluasi tidak mau memperbaiki kekurangan yang disampaikan dalam laporan
tersebut, maka FATF/FSRB berdasarkan persetujuan anggotanya dapat mengenakan
sanksi kepada negara tersebut.
Apabila suatu negara tidak melaksanakan Rekomendasi FATF maka FATF dapat
mengenakan sanksi counter measure kepada negara yang bersangkutan. Counter
Measure mencakup pelaksanaan Enhanced Due Dilligenceterhadap transaksi dari dan ke
negara yang bersangkutan, melarang pendirian cabang lembaga keuangan negara
tersebut di negara lain serta (yang paling maksimal) mencegah transaksi dari dan ke
negara tersebut. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian
negara yang bersangkutan. Daftar negara yang dikenakan sanksi juga dipublikasi secara
terbuka di website FATF.
Selain itu masih terdapat pula kekurangan teknis terkait dengan pembekuan proliferasi,
pengaturan Non Profit Organization danBeneficial Ownership. Untuk itu pemerintah
saat ini berusaha untuk mengeluarkan peraturan terkait ketiga hal tersebut sebelum
dilakukan evaluasi tahun 2017.
5. Asset Recovery
Asset Recovery
Salah satu tujuan akhir dalam penegakan hukum khususnya bidang tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme adalah pengembalian aset
kepada negara.
Dengan telah terjadinya globalisasi maka untuk kepentingan melacak, mengejar dan
merampas uang hasil tindak pidana yang telah dibawa lari atau ditransfer ke luar negeri,
maka pemulihannya dapat dilakukan dalam rangka pengembalian aset (asset recovery).
PPATK sebagai anggota The Egmont Group yang merupakan wadah FIU sedunia
mempunyai akses untuk melacak jalur uang atau mencari alat bukti lainnya di negara-
negara anggota The Egmont Group tersebut. Lebih jauh PPATK dapat menyediakan
informasi mengenai assets tracing, jumlah, identitas pemilik dan linkage dari pelaku
pidana pemilik uang yang dilarikan ke luar negeri melalui jasa penyediaan keuangan.
1. PELACAKAN ASET
Pelacakan aset merupakan tahap awal dari upaya pengembalian aset. Dalam proses ini
melibatkan beberapa instansi seperti Kejaksaan Agung RI, Kementerian Hukum dan
HAM RI, Kementerian Luar Negeri RI dan Kepolisian RI.
Setelah berhasil diidentifikasi adanya aset milik pelaku tindak pidana di luar negeri maka
pengembalian bukti dan aset dapat dilakukan dengan Mutual Legal Assistance.
Penelusuran aset melalui jalur FIU tentunya sangat membantu aparat penegak hukum
dalam proses pengumpulan alat bukti untuk kepentingan proses persidangan maupun
pada waktu permintaan pengembalian aset yang berada di luar negeri.
PPATK dalam upaya mengembalikan dan memulihkan aset terkait kasus Bank Century
berperan cukup signifikan dalam menelusuri transaksi keuangan yang dilarikan ke luar
negeri serta melacak keberadaan aset itu. Sebagai anggota dalam Tim Asset
RecoveryKasus Bank Century, PPATK selaku FIU Indonesia berkolaborasi dengan FIU di
manca negara melalui payung The Egmont Group dan kerjasama bilateral dalam
pertukaran informasi intelijen keuangan dengan berbagai FIU di negara-negara terduga
aset tersimpan. Informasi yang diperoleh dari berbagai FIU tentang keberadaan aset
kasus Bank Century disampaikan dalam Tim yang kemudian dilakukan mekanisme
formal untuk mengembalikan aset melalui proses Mutual Legal Assistance.
2. PEMBEKUAN ASET
Setelah aset ditemukan maka pemerintah dapat meminta negara asing untuk
melakukan pembekuan aset. Dalam hal ini beberapa FIU yang memiliki peran sebagai
penegak hukum dapat menerima permintaan pembekuan tersebut berdasarkan
permintaan dari PPATK, sedangkan untuk FIU yang bersifat administratif maka
pembekuan aset harus dilakukan dengan mengirimkan Mutual Legal Assistance
atauLetter Rogatory (surat permintaan resmi dari pengadilan negeri di Indonesia kepada
pengadilan negara lain untuk beberapa tipe bantuan hukum). Namun demikian dalam
beberapa kasus, beberapa FIU secara spontan melakukan pembekuan dan mengirimkan
informasi kepada PPATK.
3. PENYITAAN ASET
Merupakan proses hukum dimana aset yang telah dilakukan, kemudian disita oleh
pemerintah asing untuk dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Umumnya hal ini
membutuhkan persetujuan dari pengadilan di negara lain, dimana pemerintah RI
memberikan bukti bahwa harta yang bersangkutan berasal dari tindak pidana. Dalam
beberapa kasus tertentu pemerintah mengajukan gugatan perdata agar harta tersebut
bisa disita.
4. PENGEMBALIAN ASET
Tidak ada prosedur standard dalam proses pengembalian aset. Salah satu permasalahan
dalam pengembalian aset adalah harta yang dimiliki oleh yang bersangkutan tercampur
dengan pihak ketiga. Sebagai contoh : pihak yang melakukan tindak pidana juga
memiliki tagihan pada pihak lain yang harus dibayarkan, untuk itu pengembalian aset
dilakukan dengan melihat kondisi per kasus. Dalam beberapa kasus, bank dunia
bertindak sebagai pihak ketiga untuk memastikan harta yang dikembalikan akan
digunakan untuk pembangunan seperti dalam kesehatan dan pendidikan.
1. INSTRUMEN INTERNASIONAL
3. EKSTRADISI
1. PEMBERIAN MLA
Setiap negara harus memberikan bantuan hukum dalam MLA apabila diminta negara
lain. Rekomendasi FATF melarang adanya persyaratan dual criminality untuk menolak
pemintaan bantuan hukum dalam bentuk MLA. Untuk itu setiap negara harus
memberikan contoh bantuan kepada negara asing mulai dalam bentuk pelacakan aset
secara spontan, pembekuan aset milik WNA, penyitaan aset dan pengembalian aset ke
negara peminta bantuan. Hal tersebut harus pula dibuktikan dengan statistik pemberian
MLA termasuk jangka waktu permintaan bantuan tersebut dapat dipenuhi.
2. PERMINTAAN MLA
Setiap negara harus secara maksimal melakukan permintaan bantuan hukum kepada
negara lain dalam bentuk MLA. Berbeda dengan Pemberian MLA, efektifitas dibuktikan
dengan statistik permintaan MLA kepada negara lain, bukan dengan jumlah permintaan
yang ditindaklanjuti negara lain. Hal ini karena apabila negara lain tidak merespon MLA
maka negara tersebut akan mendapat penilaian yang buruk dari FATF. Efektifitas juga
dibuktikan dengan permintaan MLA terkait dengan tindak pidana pencucian uang baik
dalam bentuk self laundering, third party laundering, foreign predicate crime dan
pendanaan terorisme, sehingga tidak hanya permintaan bantuan terkait tindak pidana
asal. Jumlah permintaan harusnya akan lebih banyak ditujukan kepada negara tetangga
dan negara yang tergolongfinancial center.
MLA merupakan jalur resmi dalam permintaan bukti maupun pengembalian aset dari
negara lain. Namun efektifitas juga akan dilihat dari permintaan atau pemberian
informasi terkait tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme melalui jalur
lainnya seperti Egmont. Interpol, ARIN dan antar regulator. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa hal MLA memerlukan proses yang rumit dan panjang, sehingga agar
pengembalian aset dapat dalam dilakukan secara efektif, setiap negara harus pula
berusaha menggunakan jalur lain. Terutama terkait pendaan terorisme yang
memerlukan penanganan yang cepat dapat ditempuh jalur pembekuan aset sesuai
dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 dan 1373. Selain itu hal ini
menunjukan pula bahwa setiap instansi harus pula memprioritaskan
pengembalian aset tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme tidak hanya menjadi prioritas central authority.