Anda di halaman 1dari 61

2.

Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme

APA PENGERTIAN DAN TUJUAN PENCUCIAN UANG?

Mendapatkan uang atau harta kekayaan merupakan salah satu tujuan seseorang
melakukan kejahatan. Uang juga menjadi darah yang menghidupi pelaku atau suatu
organisasi kejahatan.

Pengertian Pencucian Uang

Pelaku kejahatan keuangan seperti koruptor, pengedar narkoba, pelakuillegal logging


dan lainnya tidak berhenti pada saat kejahatan dilakukan dan harta kekayaan berhasil
diperoleh. Sebagian besar pelaku kejahatan biasanya juga melakukan Pencucian Uang
untuk menyamarkan harta kekayaan yang berhasil diperoleh dari hasil tindak pidana
sehingga menjadi tampak sah. Sementara Pencucian Uang tidak mengubah status harta
kekayaan hasil kejahatan menjadi sah.

Pencucian Uang adalah suatu perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan asal usul
uang atau harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harta kekayaan tersebut
seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah.

Tujuan Pencucian Uang

Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang biasanya mempunyai niat untuk


menyembunyikan uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana,
menghindari penyelidikan, investigasi dan/atau tuntutan hukum, meningkatkan
keuntungan serta agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut dapat dinikmati tanpa
diganggu dengan upaya penegakan hukum.
APA PENGERTIAN DAN TUJUAN PENDANAAN TERORISME?

Pelaku terorisme memerlukan pendanaan untuk mendukung aksi terornya, seperti untuk
membeli senjata, melakukan perekrutan anggota, dan biaya operasional.

Pengertian Pendanaan Terorisme

Segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau


meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk
digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan
terorisme, organisasi teroris, atau teroris.
Terdapat perbedaan antara TPPU dan TPPT, yaitu sumber dana Pencucian Uang selalu
dari hasil tindak pidana sedangkan Pendanaan Terorisme selain berasal dari hasil
kejahatan juga dapat berasal dari harta kekayaan yang sah untuk digunakan dalam
melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris atau teroris.

Dalam UU PPTPPU, Terorisme merupakan salah satu kejahatan asal (predicate crime)
dari TPPU. Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung/tidak langsung untuk
terorisme disamakan dengan hasil kejahatan.

BAGAIMANA PENCUCIAN UANG DILAKUKAN?

Pencucian Uang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan dilakukan dengan
menggunakan berbagai modus operandi untuk mencapai akhir yang diharapkan oleh
pelaku.

Secara umum, Pencucian Uang sering dilakukan dengan cara:

- Penempatan (placement
Merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu tindak pidana ke
dalam sistem perekonomian dan sistem keuangan.

- Pemisahan/pelapisan (layering)
Merupakan upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa
tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau
lokasi tertentu ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain
untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.

- Penggabungan (integration)
Merupakan upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah
tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis
produk keuangan dan bentuk material lain, dipergunakan untuk membiayai kegiatan
bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Selain menggunakan sistem keuangan yang kompleks, pelaku Pencucian Uang


seringkali memanfaatkan kelemahan sistem hukum yang pada umumnya dilakukan
dengan memanfaatkan high risk country, high risk business, dan high risk product.

APA DAMPAK PENCUCIAN UANG?


Pencucian Uang berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas, dan secara luas
dapat mengganggu stabilitas dan integritas perekonomian dan sistem keuangan suatu
negara.

Melalui Pencucian Uang, pelaku kejahatan selain dapat menikmati kekayaan yang
dihasilkan dari kejahatannya juga digunakan untuk melakukan kejahatan yang lebih
besar.
Selain mengakibatkan tingginya angka kriminalitas, Pencucian Uang memiliki dampak
negatif secara lebih luas terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara sebagai
berikut:

1. Merongrong sektor swasta yang sah


2. Mengganggu integritas pasar keuangan
3. Hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi
4. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak
5. Merusak reputasi negara
6. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi

3. Pengenalan Peraturan Perundang-Undangan

PENGENALAN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN

Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) diatur
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang serta peraturan-peraturan lainnyaProgram APU-PPT
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).
Poin pengaturan UU PPTPPU antara lain sebagai berikut:
1.Kriminalisasi perbuatan Pencucian Uang
2.Kewajiban bagi masyarakat pengguna jasa, Lembaga Pengawas dan Pengatur, dan
Pihak Pelapor
3.Pengaturan pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
4.Aspek penegakan hukum
5.Kerja sama nasional dan internasional

Selain UU PPTPPU, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme


diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU PPTPPT).
Poin pengaturan UU PPTPPT antara lain sebagai berikut:
1.Kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme
2.Pencegahan pendanaan terorisme pada sistem keuangan dan pembawaan uang tunai
lintas negara
3.Pencantuman daftar terduga teroris dan organisasi teroris dan pemblokiran serta
merta
4.Aspek penegakan hukum
5.Kerjasama nasional dan internasional

Selain Undang-Undang, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan dan/atau


pedoman terkait yang dikeluarkan oleh Pemerintah/Presiden, Mahkamah Agung,
Lembaga Penegak Hukum, PPATK, dan Lembaga Pengawas dan Pengatur.

Program APU-PPT diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang


Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).
Poin pengaturan UU PPTPPU antara lain sebagai berikut:

1. Kriminalisasi perbuatan Pencucian Uang


2. Kewajiban bagi masyarakat pengguna jasa, Lembaga Pengawas dan Pengatur, dan
Pihak Pelapor
3. Pengaturan pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK)
4. Aspek penegakan hukum
5. Kerja sama nasional dan internasional

Selain UU PPTPPU, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme


diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU PPTPPT).
Poin pengaturan UU PPTPPT antara lain sebagai berikut:

1. Kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme


2. Pencegahan pendanaan terorisme pada sistem keuangan dan pembawaan uang
tunai lintas negara
3. Pencantuman daftar terduga teroris dan organisasi teroris dan pemblokiran serta
merta
4. Aspek penegakan hukum
5. Kerjasama nasional dan internasional

Selain Undang-Undang, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan dan/atau


pedoman terkait yang dikeluarkan oleh Pemerintah/Presiden, Mahkamah Agung,
Lembaga Penegak Hukum, PPATK, dan Lembaga Pengawas dan Pengatur.

4. Bagaimana Menelusuri Hasil Kejahatan?


BAGAIMANA MENELUSURI HASIL KEJAHATAN?

Pencegahan dan pemberantasan kejahatan keuangan perlu dilakukan dengan memutus


mata rantai darah yang menghidupi kejahatan itu (bloods of the crimes), yakni uang
atau harta kekayaan hasil kejahatan.

Pendekatan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan dan Pendanaan Terorisme (APU-PPT)
merupakan salah satu mekanisme dalam rangka mencegah dan memberantas suatu
kejahatan dengan menggunakan pola mengikuti aliran dana (follow the money), yaitu
metode mendahulukan penelusuran pencarian uang atau harta kekayaan hasil tindak
pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan (follow the suspect). Pola ini
terbukti efektif mendeteksi suatu kejahatan baru dan mendukung penanganan kasus
yang sedang ditangani oleh Instansi Penegak Hukum.

Beberapa manfaat atau nilai tambah yang diperoleh melalui pendekatanfollow the
money adalah:

1. Jangkauan lebih luas sehingga dirasakan lebih adil


2. Dapat dilakukan dengan diam-diam, sehingga lebih mudah, dan risiko lebih kecil
karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap memiliki potensi
melakukan perlawanan;
3. Pendekatan merampas hasil kejahatan dapat mengurangi atau menghilangkan
motivasi orang untuk melakukan tindak pidana.
4. Adanya pengaturan pengecualian ketentuan peraturan perundang-undangan dan
kode etik yang mengatur kerahasiaan.
5. Harta kekayaan merupakan urat nadi kejahatan, sehingga bila diputus kejahatan
tersebut sulit untuk berkembang.
6. Mempermudah penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan.
7. Sebagai salah satu sarana untukasset recovery

Implementasi Program APU-PPT melibatkan berbagai pihak seperti Pihak Pelapor,


PPATK, Instansi Penegak Hukum, Lembaga Pengawas dan Pengatur dan lainnya yang
memiliki peran masing-masing dalam mendukung upaya pencegahan dan
pemberantasan APU dan PPT.

5. Apa Itu PPATK?

APA ITU PPATK?


Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan suatu Financial
Intelligence Unit dan focal point dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme di Indonesia.

PPATK pertama kali dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan kemudian mengalami perubahan kembali dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.

PPATK merupakan lembaga independen, bertanggungjawab langsung kepada Presiden,


dan melaporkan kinerjanya setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.

PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam melaksanakan tugas tersebut PPATK mempunyai fungsi:

1. Pencegahan dan pemberantasan TPPU;


2. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
3. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
4. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang
berindikasi TPPU dan/ tindak pidana asal sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat
(1).

Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan TPPU, PPATK dapat melakukan


kerjasama dengan pihak terkait, baik nasional maupun internasional.

 Kerja sama dalam lingkup domestik/nasional dilakukan PPATK dengan berbagai


pihak yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT.
Kerjasama dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal, antara lain
dapat dilakukan dengan lembaga/instansi pemerintah seperti Lembaga Pengawas
dan Pengatur, Lembaga Penegak Hukum, serta instansi dan lembaga lainnya seperti
perguruan tinggi/universitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lain-lain.
 Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan lembaga sejenis (FIU) yang
ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kerja sama internasional tersebut
dapat dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau berdasarkan bantuan
timbal balik (reciprocity).

6. Siapa Sajakah Pihak Yang Menentukan Keberhasilan Program Anti Pencucian


Uang?
SIAPA SAJAKAH PIHAK YANG MENENTUKAN KEBERHASILAN PROGRAM ANTI
PENCUCIAN UANG?

Keberhasilan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme


(APU-PPT) ditentukan oleh peran aktif berbagai pihak dalam mendukung upaya
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).

Pihak Pelapor

Pihak Pelapor adalah Penyedia Jasa Keuangan, Penyedia Barang dan/atau Jasa lainnya, dan
pihak lainnya (Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Lembaga
Keuangan Mikro, Lembaga Pembiayaan Ekspor, Notaris, Advokat, Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Akuntan Publik, Perencana Keuangan) merupakan lini terdepan (front liner) bagi keberhasilan
Program APU-PPT yang berperan dalam mendeteksi transaksi keuangan mencurigakan dan
melaporkannya kepada PPATK.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana Pencucian Uang.

Aparat Penegak Hukum

Regulasi APU-PPT memberikan kewenangan dan terobosan baru bagi Instansi Penegak Hukum
(Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai) dalam upaya pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang antara lain antara lain: pendekatan mengejar harta hasil tindak
kejahatan, pembuktian terbalik, dan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya.

Lembaga Pengawas dan Pengatur

Lembaga Pengawas dan Pengatur antara lain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan
PPATK melakukan pengawasan dan memberikan pedoman atas implementasi Program APU-PPT
yang dijalankan oleh Pihak Pelapor.

Presiden dan DPR

Menyusun Peraturan Perundang-undangan yang menjadi landasan bagi terlaksananya Program


APU-PPT, serta melakukan pengawasan dan mengevaluasi kinerja PPATK serta lembaga terkait.
Komite Nasional TPPU

Komite Nasional TPPU yang diketuai oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkopolhukam) mensinergikan langkah instansi pemerintah dan instansi terkait
untuk mendukung implementasi Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan
TPPT.

Masyarakat

Dapat berperan aktif dengan menyampaikan informasi dugaan/indikasi Tindak Pidana Pencucian
Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme kepada PPATK. Peran aktif dapat juga dilakukan
oleh akademisi yang merupakan bagian dari masyarakat dengan membuat kajian dalam rangka
mendukung Program APU-PPT.

Kerjasama Internasional

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan kejahatan
lintas batas negara, sehingga efektifitas Program APU-PPT juga didukung dengan efektifnya
kerjasama internasional antara PPATK dengan Financial Intelligent Unit (FIU) negara lain.

Pengenalan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

LATAR BELAKANG

Berikut ini akan dijelaskan tentang latar belakang pentingnya Penerapan Prinsip
Mengenal Pengguna Jasa (PMPJ).

2. Pengertian Umum dan Penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Jasa

Berikut ini akan dijelaskan tentang latar belakang pentingnya Penerapan Prinsip
Mengenal Pengguna Jasa (PMPJ).

Manajemen Risiko

Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) merupakan bagian penting bagi
manajemen risiko yang baik, terutama risiko reputasi, operasional, hukum dan
konsentrasi, yang satu dengan lainnya saling berhubungan.

Pemenuhan Kewajiban Ketentuan Perundang-undangan


Kewajiban penerapan PMPJ dan pelaporan bagi Pihak Pelapor untuk pemenuhan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (UU PPTPPU) dan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2013 (UU PPTPPT), merupakan landasan hukum yang utama untuk memerangi
kejahatan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.

Sesuai Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Mewujudkan prinsip GCG yakni prinsip Transparansi (transparency), Akuntabilitas


(accountability), Pertanggungjawaban (responsibility), Independensi (independency),
Kewajaran (fairness).

Insentif dalam Membina Hubungan dengan Pengguna Jasa atau Nasabah

Dengan mengetahui latar belakang dan identitas serta memantau transaksi yang
dilakukan pengguna jasa, akan memberikan nilai tambah bagi Pihak Pelapor terutama
dalam membina hubungan baik dengan pengguna jasa yang bermanfaat dari aspek
bisnisnya. Terhadap pengguna jasa yang prospektif, akan senantiasa dijaga dan
ditingkatkan hubungan baiknya.

Memudahkan Manajemen Untuk Pengambilan Keputusan

Dalam penerapan PMPJ, ketersediaan data nasabah atau Pengguna Jasa, jejak rekam
dan berbagai transaksi yang dilakukan, serta administrasi atau penatausahaan dokumen
informasi yang baik, dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai kajian (riset)
termasuk dalam riset pengembangan usaha industri Pihak Pelapor. Akurasi data dan
metode pengolahan data yang baik akan menghasilkan bahan penting bagi manajemen
dalam pengambilan keputusan secara akurat dan profesional

PENGERTIAN UMUM

Beberapa pengertian umum yang perlu diketahui dalam menerapkan Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa (PMPJ).

Pengertian Umum Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) adalah prinsip yang
diterapkan oleh Pihak Pelapor untuk mengetahui latar belakang dan identitas Pengguna
Jasa, memantau transaksi, serta melaporkan transaksi kepada PPATK.

Untuk pengertian umum istilah lainnya di dalam PMPJ, dapat dipelajari pada Link
Pengertian Umum PMPJ.
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ketentuan perundang - Undangan yang mengatur tentang Kewajiban Penerapan Prinsip


Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ)

• Pasal 18 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).

"Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkan
oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur"

Ketentuan lebih lanjut pada Peraturan Kepala PPATK Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Penyedia Barang dan/atau Jasa
Lainnya

• Pasal 12 Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU PPTPPT).

"PJK wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkan oleh setiap
Lembaga Pengawas dan Pengatur"

PIHAK YANG TERKAIT

Beberapa pihak yang perlu diketahui, terkait dengan kewajiban Pihak Pelapor dalam
menerapkan PMPJ

Beberapa Pihak yang terkait dalam Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ)
adalah:

Pengguna Jasa

Pengguna Jasa adalah orang perorangan atau korporasi yang menggunakan jasa
(melakukan transaksi) dengan Pihak Pelapor.

Pihak Pelapor
1. Penyedia Jasa Keuangan (PJK), sesuai Pasal 17 ayat 1 (a) UU PPTPPU dan Pasal 2
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015

2. Penyedia Barang dan/atau Jasa lain (PBJ), sesuai Pasal 17 ayat 1 (b) UU PPTPPT.

3. Profesi, sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015.

Berikut ini adalah Daftar Pihak Pelapor.

Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP)

LPP adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau


pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor, yaitu : Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Badan Pengawas Perdagangaan Berjangka Komoditi
(BAPPEBTI), Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah), Dirjen
Kekayaan Negara-Kemenkeu dan PPATK

PPATK

PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Kedudukan PPATK adalah
langsung dibawah Presiden.

PPATK memiliki peran penting sebagai berikut :

1. Menjadi LPP bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki LPP.

2. Menjadi LPP bagi Pihak Pelapor yang memiliki LPP namun belum menerapkan
kewajibannya.

3. Sebagai Lembaga intelijen keuangan (financial inteligence unit), yang diberikan


mandat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan/atau
tindak pidana pendanaan terorisme.

Instansi Lainnya

Instansi lainnya adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang berkewajiban
membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan atau instrumen pembayaran
lain lintas batas negara.
3. Identifikas Verifikasi Dan Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa

IDENTIFIKASI PENGGUNA JASA

Prosedur melakukan Identifikasi Pengguna Jasa oleh Pihak Pelapor

Identifikasi Pengguna Jasa dilakukan pada saat melakukan hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa. Pihak Pelapor wajib meminta informasi dan dokumen pendukung
kepada Pengguna Jasa (profil Pengguna Jasa), dengan memberikan formulir yang
memuat isian sekurang-kurangnya mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan
transaksi pengguna jasa.

Apabila transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, maka Pengguna Jasa harus
menyertakan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan transaksi pihak
lain tersebut.

Check List Jenis Permintaan Informasi dan Dokumen untuk Pengguna Jasa Perorangan
dan Perusahaan (Link Check List)

VERIFIKASI PENGGUNA JASA

Prosedur melakukan Verifikasi terhadap Pengguna Jasa oleh Pihak Pelapor.

Pemantauan Transaksi oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) :

1. PJK wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa,


memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai transaksi Pengguna
Jasa
2. Sistem informasi yang ada, dapat digunakan untuk menelusuri setiap transaksi dan
data Pengguna Jasa
3. Memantau secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara
transaksi Pengguna Jasa dengan profil Pengguna Jasa dan menatausahakan
pemantauannya
4. Melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil
Pengguna Jasa
5. Jika meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap
transaksi yang tidak sesuai dengan profil Pengguna Jasa, harus memperhatikan
ketentuan anti tipping-off
6. Melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan
usaha/transaksi dengan Pengguna Jasa yang berasal dari Negara yang berisiko
tinggi dan/atau Pihak Pelapor yang berkedudukan di Negara yang berisiko tinggi
7. Melakukan CDD (Customer Due Diligence) terhadap Pengguna Jasa sesuai dengan
pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila:

•Terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan


•Terdapat perubahan profil Pengguna jasa yang bersifat signifikan
•Informasi pada profil Pengguna Jasa yang tersedia dalam CIF (Customer Identification
File) belum dilengkapi dengan dokumen pendukung

Pemantauan Transaksi oleh Penyedia Barang dan Jasa Lainnya (PBJ) :

1. Memperhatikan tata cara pembayaran transaksi misalnya pembayaran tunai atau


non tunai, pelaku transaksi, nominal Transaksi dan/atau tanggal transaksi.
2. Pemantauan terhadap pelunasan transaksi Pengguna Jasa, apakah dilakukan oleh
Pengguna Jasa yang bersangkutan atau pihak lain.

PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA ATAU PENOLAKAN TRANSAKSI

Kondisi yang menyebabkan Pihak Pelapor melakukan Penolakan Hubungan


Usaha, Penutupan Hubungan Usaha dan Penolakan Transaksi dengan calon Pengguna
Jasa

Pihak pelapor wajib menolak melakukan hubungan usaha atau melaksanakan transaksi
dengan Calon Pengguna Jasa dalam hal:

1. Calon Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa
2. Diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu
3. Menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya.

Pihak Pelapor wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup


hubungan usaha dengan Pengguna Jasa dalam hal:

1. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa


2. Diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu
3. Menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya.
Kewajiban Pihak Pelapor atas penutupan hubungan usaha atau penolakan transaksi
Calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa atau Walk In Customers (WIC):

1. Mendokumentasikan
2. Melaporkan sebagai TKM (Transaksi Keuangan Mencurigakan)
3. Ketentuan untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha
dengan Pengguna Jasa dicantumkan dalam perjanjian hubungan usaha dan
diberitahukan kepada Pengguna Jasa
4. Memberitahukan secara tertulis kepada Pengguna Jasa mengenai penutupan
hubungan usaha.

4. Pendekatan Berbasis Risiko Dan Perlakuan Bagi Politically Person

PENDEKATAN BERBASIS RISIKO

Pihak Pelapor berkewajiban melakukan pengelompokkan Pengguna Jasa berdasarkan


Tingkat Risiko.

Pihak Pelapor wajib mengelompokan Pengguna Jasa berdasarkan tingkat risiko


terjadinya tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme.

Pengelompokan Pengguna Jasa berdasarkan tingkat risiko dilakukan berdasarkan


analisis yang paling kurang mencakup:

1. Identitas
2. Lokasi usaha bagi Pengguna Jasa perusahaan
3. Profil Pengguna jasa
4. Jumlah transaksi
5. Kegiatan usaha Pengguna Jasa
6. Struktur Kepemilikian bagi Pengguna Jasa perusahaan
7. Informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat risiko Pengguna
Jasa

PENGGUNA JASA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK CUSTOMER)

Faktor penentuan Pengguna Jasa yang berisiko tinggi (High Risk Customer).
Penetapan Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme dilaksanakan melalui penyusunan kategori Pengguna Jasa
yang berisiko tinggi, berdasarkan 4 (empat) faktor:

1. profil;
2. negara;
3. bisnis; atau
4. produk dan/atau jasa.

(Link Daftar Nasabah Berisiko Tinggi)

Dalam hal calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau BO (Beneficial Owner)
termasuk kedalam kategori sebagaimana disebutkan di atas, maka calon Pengguna Jasa,
Pengguna Jasa, dan/atau BO langsung diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi (high
risk). Calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa dan/atau BO yang memenuhi kategori
berisiko tinggi (high risk) dibuat dalam daftar tersendiri.

PJK (Penyedia Jasa Keuangan) wajib menyusun atau menyesuaikan ketentuan internal
mengenai klasifikasi Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana
pencucian uang dengan mengacu pada Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan Nomor: PER-02/1.02/PPATK/02/15 tentang Kategori Pengguna Jasa
yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang.

PERLAKUAN BAGI POLITICALLY EXPOSED PERSON

Kewajiban dan penanganan yang dilakukan oleh Pihak Pelapor terkait dengan
Pengguna JasaPolitically Exposed Person (PEP).

KEWAJIBAN PIHAK PELAPOR

1. Memastikan adanya Pengguna Jasa dan BO (Beneficial Owner) yang memenuhi


kriteria berisiko tinggi (High Risk) atau PEP.
2. Pengguna Jasa dan BO yang memenuhi kriteria berisiko tinggi (High Risk) atau
PEP dibuat dalam daftar tersendiri.
3. Bagi Pengguna Jasa, BO, dan WIC (Walk In Customer) yang memenuhi kriteria :

•menggunakan produk Pihak Pelapor yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai
sarana Pencucian Uang atau Pendanaan Teroris;
•melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi;
•melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau
•merupakan pihak yang terkait dengan PEP.

WAJIB DILAKUKAN :

1. EDD (Enhanced Due Diligence) secara berkala paling kurang berupa analisis
terhadap informasi sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha
dengan pihak- pihak yang terkait; dan
2. pemantauan yang lebih ketat.

PENANGANAN CALON PENGGUNA JASA PEP :

1. Pihak Pelapor wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas
hubungan usaha dengan Calon Pengguna Jasa tersebut.
2. Pejabat senior berwenang untuk:

•memberikan persetujuan atau penolakan


•membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha
dengan Pengguna Jasa atau BO yang tergolong PEP.

5. Pemenuhan Kewajiban Pelaporan Bagi Pihak Pelapor

KEWAJIBAN PELAPORAN BAGI PIHAK PELAPOR

Jenis Pihak Pelapor dan kewajiban pelaporannya kepada PPATK.

Ada tiga jenis Pihak Pelapor yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yaitu :

1. Penyedia Jasa keuangan (PJK);


2. Penyedia Barang dan atau Jasa lain (PBJ); dan
3. Profesi.

Jenis laporan yang wajib disampaikan untuk setiap jenis Pihak Pelapor yaitu :

1. Untuk PJK ada 3 jenis laporan yaitu Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan Laporan Transaksi
Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri (LTKL); PERKA PPATK - Tata Cara
Penyampaian TKM dan TKT PERKA PPATK - Tata Cara Penyampaian LTKL.
2. Untuk PBJ ada 2 jenis laporan yaitu Laporan Transaksi (LT), dan Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan (LTKM); PERKA PPATK - Tata Cara Penyampaian Pelaporan
LT.
3. Untuk Profesi hanya 1 jenis laporan yaitu Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM). PP 43 Tahun 2015.

LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN

Menjelaskan tentang definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) menurut UU


PPTPPU dan UU PPTPPT, Jangka Waktu pelaporan TKM kepada PPATK serta cara
melakukan identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan.

Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) wajib disampaikan oleh 3 jenis Pihak
Pelapor dalam kurun waktu 3 hari kerja setelah Pihak Pelapor mengetahui adanya unsur
Transaksi Keuangan Mencurigakan.

Untuk Pihak Pelapor jenis PBJ, penyampaian LTKM atas permintaan PPATK sedangkan
untuk Pihak Pelapor jenis PJK dan Profesi yaitu atas inisiatif PJK dan Profesi sendiri.

Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut UUTPPU adalah:

1. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
2. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
3. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
4. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor
karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut UUTPPT adalah:

1. Transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui


akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme;
2. Transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris
dan organisasi teroris.
Cara melakukan Identifikasi Keuangan Mencurigakan diatur dalam Peraturan Kepala
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor PER-11/1.02/PPATK/06/2013
tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa
Keuangan PERKA PPATK tentang Identifikasi TKM Bagi PJK dan Surat Edaran Kepala
PPATK Nomor 3 Tahun 2015.

LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN TUNAI

Menjelaskan tentang definisi Transaksi Keuangan Tunai (TKT) menurut UU PPTPPU,


Jangka Waktu pelaporan TKT kepada PPATK dan pengecualian pelaporan TKT.

Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) wajib disampaikan oleh Pihak Pelapor yang
berjenis PJK dalam kurun waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi.
Unsur Transaksi Keuangan Tunai antara lain:

1. Menggunakan uang kertas dan/atau logam;


2. Nilai transaksi paling sedikit Rp 500.000.000,00 atau dalam mata uang asing yang
nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali
transaksi dalam 1 (satu) hari kerja;
3. Dilakukan oleh satu Pengguna Jasa.

Pengecualian pelaporan Transaksi Keuangan Tunai di atur dalam Peraturan Kepala


PPATK No 11 tahun 2012 tentang Pengecualian TKT.

Pelaksanaan kewajiban penyampaian LTKT tidak menghilangkan kewajiban pelaporan


TKM apabila memenuhi salah satu unsur TKM.

LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN TRANSFER DANA DARI DAN KE LUAR


NEGERI

Menjelaskan tentang definisi Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri
(TKL) menurut UU PPTPPU dan Jangka Waktu pelaporan TKL kepada PPATK.

Laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri (LTKL) wajib
disampaikan oleh Pihak Pelapor berjenis PJK yang memberikan jasa transfer uang dari
dan ke luar negeri dalam kurun waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi.
PJK yang wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana Dari Luar
Negeri adalah:

1. PJK yang menjadi Penyelenggara Penerus yang pertama kali menerima Perintah
Transfer Dana di wilayah Indonesia, apabila Penyelenggara Penerus bukan
merupakan Penyelenggara Penerima Akhir; dan
2. PJK yang menjadi Penyelenggara Penerima Akhir.

PJK yang wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana Ke Luar
Negeri adalah:

1. PJK yang menjadi Penyelenggara Pengirim Asal; dan


2. PJK yang menjadi Penyelenggara Penerus di dalam negeri yang meneruskan
Perintah Transfer Dana Ke Luar Negeri

Transaksi yang dilaporkan sebagai LTKL tidak ada batasan nominalnya, artinya semua
transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri baik besar maupun kecil tetap dilaporkan.

Pelaksanaan kewajiban penyampaian LTKL tidak menghilangkan kewajiban pelaporan


TKM dan/atau TKT apabila memenuhi salah satu unsur TKM dan/atau unsur TKT.

LAPORAN TRANSAKSI (LT)

Menjelaskan tentang definisi Transaksi menurut UU PPTPPU dan Jangka Waktu


pelaporan Transaksi (LT) kepada PPATK.

Laporan Transaksi (LT) wajib disampaikan oleh Pihak Pelapor berjenis PBJ dalam kurun
waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi. PBJ hanya melaporkan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Pengguna Jasa akhir atau end
user, transaksi kepada selain end user tidak perlu dilaporkan.

PEMBLOKIRAN SERTA MERTA

Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan Pemblokiran dan prosedur yang
harus dilakukan setelah dilakukan Pemblokiran.

PJK wajib melakukan Pemblokiran secara serta merta terhadap semua Dana yang
dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang atau
Korporasi berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang telah
dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

PJK membuat berita acara Pemblokiran dan wajib menyampaikannya kepada Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme kepada PPATK paling lama 3 (tiga) hari
kerja setelah mengetahui adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan
Terorisme tersebut.

PERMINTAAN KETERANGAN TENTANG HARTA KEKAYAAN

Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),
penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk
memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari Pengguna Jasa

Pihak Pelapor wajib memberikan keterangan yang diminta Penyidik, Penuntut Umum,
Atau Hakim selama permintaan tersebut memenuhi syarat antara lain:
- Permintaan keterangan kepada Pihak Pelapor harus diajukan dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:

 Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;


 Identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan PPATK,
tersangka, atau terdakwa;
 Uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
 Tempat Harta Kekayaan berada.

- Permintaan kepada Pihak Pelapor harus harus disertai dengan:

 Laporan polisi dan surat perintah penyidikan;


 Surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau
 Surat penetapan majelis hakim.

- Surat permintaan kepada Pihak Pelapor untuk memperoleh keterangan harus


ditandatangani oleh:

 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam
hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
 Pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
 Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa
penyidik dan/atau penuntut umum; atau
 Hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

PERLINDUNGAN PIHAK PELAPOR

Bentuk perlindungan kepada Pihak Pelapor sesuai dengan UU PPTPPU.

Bentuk-bentuk perlindungan Pihak Pelapor antara lain :

1. Pihak Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas laporan
yang disampaikan ke PPATK;
2. Pihak Pelapor yang melaporkan terjadinya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang
wajib diberikan perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya;
3. Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib
merahasiakan identitas Pihak Pelapor.

6. Tata Cara Registrasi Dan Pelaporan Ke GRIPS

JENIS LAPORAN

Jenis - jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK sesuai
dengan UU PPTPPU dan UU PPTPPT

Jenis laporan yang wajib disampaikanPenyedia Jasa Keuangan (PJK) ada 3, yaitu:

1. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM),


2. Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan
3. Laporan Transaksi Keuangan Luar Negeri (LTKL).

Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Penyedia Barang dan Jasa Lainnya (PBJ)
adalah Laporan transaksi (LT) yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan nilai paling
sedikit atau setara Rp. 500.000.000,00 dan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM) yang diminta oleh PPATK. (Perka PPATK tentang Tata Cara Pelaporan Bagi PBJ).

Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Profesi adalah Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM).
MEKANISME REGISTRASI DAN PELAPORAN

Mekanisme Registrasi oleh Pihak Pelapor dan Petunjuk Tata Cara Pelaporan kepada
PPATK.

PJK, PBJ dan Profesi wajib melakukan registrasi melalui aplikasi registrasi (GRIPS) melalui website
PPATK untuk dapat mengirimkan laporan secara elektronis maupun non-elektronis.

PJK wajib mengisi LTKM, LTKL, LTKL dan PBJ wajib mengisi LT dan LTKM serta Profesi wajib
mengisi LTKM dengan benar dan lengkap sesuai dengan petunjuk tata cara pengisian
laporan. Peraturan Kepala PPATK Nomor 09 Tahun 2012.

Penyampaian laporan dapat dilakukan secara elektronis dan non-elektronis.

7. Laporan Pembawaan Uang Atau Instrumen Pembayaran Keluar/Masuk Wilayah RI

PEMBERITAHUAN PEMBAWAAN UANG TUNAI DAN/ATAU INSTRUMEN


PEMBAYARAN LAIN

Kewajiban setiap orang untuk memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau


instrumen pembayaran lain kepada Bea dan Cukai dalam perjalanan ke dalam atau ke
luar daerah pabean Indonesia.

Setiap Orang berkewajiban memberitahukan kepada petugas Ditjen Bea dan Cukai
apabila:

 Membawa suatu uang dan atau instrumen pembayaran senilai paling sedikit Rp100
juta dalam bentuk:

1. Uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau
2. Instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup
bayar, atau bilyet giro

 Dalam perjalanan ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia.

KEWAJIBAN BEA DAN CUKAI


Kewajiban Bea dan Cukai terkait laporan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain kepada PPATK.

Ditjen Bea dan Cukai memiliki kewajiban:

1. Membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen


pembayaran lain;
2. Menyampaikan laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain tersebut kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
diterimanya pemberitahuan.

PERAN PPATK

Peran PPATK terkait pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain.

PPATK berperan dalam menerima laporan dari Ditjen Bea dan Cukai meliputi:

1. Laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain;


2. Laporan mengenai pengenaan sanksi administratif.

Selain menerima laporan tersebut, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari
Ditjen Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain.

PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF

Jenis pelanggaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif apabila melanggar
kewajiban pemberitahuan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
kepada Bea dan Cukai

JENIS PELANGGARAN YANG DAPAT DIKENAKAN SANKSI ADMINISTRATIF

 Pelanggaran karena tidak memberitahukan:

1. Dikenai sanksi denda administratif sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa;
2. Jumlah denda dihitung paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
 Pelanggaran karena adanya selisih lebih antara jumlah yang dibawa dengan jumlah
yang diberitahukan

1. Dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari
kelebihan;
2. 2.Jumlah denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

TATA CARA PENGENAAN SANKSI


Pengaturan pengenaan sanksi denda administratif dalam bentuk pembawaan uang
tunai adalah sebagai berikut:

1. Diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kas negara oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat laporan mengenai pengenaan
sanksi administratif.
3. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5
(lima) hari kerja sejak sanksi administratif ditetapkan.

8. Sanksi Administratif

KEWAJIBAN DAN JANGKA WAKTU PELAPORAN OLEH PIHAK PELAPOR

Penjelasan kewajiban penyampaian laporan dan jangka waktu pelaporan oleh Pihak
Pelapor kepada PPATK.

PJK wajib menyampaikan LTKM , LTKT, LTKL dan LTKM yang terkait pendanaan
terorisme, sedangkan PBJ wajib menyampaikan laporan transaksi (LT) penjualan dan
LTKM yang diminta oleh PPATK.

PJK

1. PJK wajib menyampaikan laporan TKM sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) Hari
Kerja setelah PJK mengetahui adanya unsur TKM.
2. PJK wajib menyampaikan laporan TKT paling lama 14 (empat belas) Hari Kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
3. PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan keluar
negeri paling lama 14 (empat belas) Hari Kerja terhitung sejak tanggal Transaksi
dilakukan.
4. PJK wajib menyampaikan laporan TKM Terkait Pendanaan Terorisme paling lama 3
(tiga) Hari Kerja setelah mengetahui adanya TKM Terkait Pendanaan Terorisme.

PBJ

1. PBJ wajib menyampaikan laporan Transaksi (LT) paling lama 14 (empat belas) Hari
Kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
2. PBJ wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) paling
lama 3 (tiga) Hari Kerja terhitung setelah diterimanya surat permintaan dari PPATK.

PELANGGARAN KEWAJIBAN PELAPORAN

Penjelasan tentang pelanggaran kewajiban pelaporan.

Pelanggaran kewajiban pelaporan adalah menyampaikan laporan yang tidak sesuai


dengan bentuk, jenis, materi/substansi, dan/atau tata cara yang telah ditentukan dalam
Peraturan Kepala PPATK mengenai tata cara penyampaian laporan ke PPATK, dan
terlambat menyampaikan laporan. PERKA No. 14 Tahun 2014 Tentang Pengenaan Sanksi
Administratif Atas Pelanggaran Kewajiban Pelaporan.

Peraturan Kepala PPATK terkait Sanksi Administratif ini mulai berlaku sejak tanggal 26
November 2015.

PENEPATAN DAN PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI

Penjelasan tentang penetapan dan pengenaan sanksi administrasi oleh PPATK, Lembaga
Pengawas dan Pengatur (LPP).

Pihak Pelapor yang melakukan pelanggaran kewajiban pelaporan dikenakan sanksi


administratif. Sanksi administratif ditetapkan oleh PPATK. Sanksi administratif yang
ditetapkan oleh PPATK dapat dikenakan oleh LPP dan LPP menyampaikan tindak lanjut
pengenaan sanksi administratif ke PPATK. Dalam hal LPP belum dibentuk, sanksi
administratif terhadap Pihak Pelapor dikenakan oleh PPATK.

PPATK menetapkan pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran kewajiban


pelaporan dengan menerbitkan Keputusan Kepala PPATK. Dalam hal LPP telah dibentuk,
pengenaan sanksi administratif terhadap Pihak Pelapor yang melakukan pelanggaran
kewajiban pelaporan dilakukan oleh LPP berdasarkan Keputusan Kepala PPATK.

BENTUK SANKSI ADMINISTRATIF DAN PENGAJUAN KEBERATAN

Penjelasan jenis sanksi administrasi yang dikenakan kepada Pihak Pelapor dan cara
pengajuan keberatan.

Sanksi administratif berupa:

 Teguran tertulis,
 Pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi,
 dan/atau denda administratif.

PPATK dapat mengenakan satu atau lebih sanksi administratif tanpa melalui proses
berjenjang.

Pihak Pelapor dapat mengajukan keberatan secara tertulis ke PPATK atas penetapan
pengenaan sanksi administratif yang berupa denda. Keberatan diajukan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pembayaran denda
administratif. PERKA Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pengenaan Sanksi Administratif
Atas Pelanggaran Kewajiban Pelaporan.

9. Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu

DEFINISI DAN TUJUAN SISTEM INFORMASI PENGGUNA JASA TERPADU

Definisi dan tujuan Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) sesuai
Ketentuan tentang Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu.

Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) adalah pengelolaan secara


elektronis dan terintegrasi atas informasi spesifik Pengguna Jasa pada PJK yang tidak
mencakup informasi saldo dan transaksi.

Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu diselenggarakan untuk tujuan:

1. Mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak


pidana lain terkait dengan tindak pidana pencucian uang; dan
2. Mendukung pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan PPATK dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Ketentuan yang mengatur adalah Perka PPATK tentang Sistem Informasi Pengguna Jasa
Terpadu.

KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SISTEM INFORMASI PENGGUNA JASA TERPADU

Rincian informasi Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) yang wajib
disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK).

Informasi Pengguna Jasa wajib disampaikan oleh PJK, dengan rincian sebagai berikut:

 PJK bank, menyampaikan informasi Pengguna Jasa meliputi:

1. Untuk Pengguna Jasa orang perseorangan: nama; tempat lahir; tanggal lahir;
alamat; nomor induk kependudukan atau nomor dokumen identitas; dan nomor
profil nasabah secara terpadu (single Customer Identification File/CIF) atau nomor
lain yang menunjukkan kepemilikan atau keikutsertaan nasabah.
2. Untuk Pengguna Jasa berbentuk Korporasi: nama Korporasi; alamat Korporasi;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan nomor profil nasabah secara terpadu
(single Customer Identification File/CIF) atau nomor lain yang menunjukkan
kepemilikan atau keikutsertaan nasabah.

 PJK non bank, menyampaikan informasi Pengguna Jasa meliputi:

1. Untuk Pengguna Jasa orang perseorangan: nama; tempat lahir; tanggal lahir;
alamat; nomor induk kependudukan atau nomor dokumen identitas; dan nomor
rekening, nomor polis, atau nomor lain yang menunjukkan kepemilikan atau
keikutsertaan Pengguna Jasa.
2. Untuk Pengguna Jasa berbentuk Korporasi: nama Korporasi; alamat Korporasi;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan nomor rekening, nomor polis, atau nomor
lain yang menunjukkan kepemilikan atau keikutsertaan Pengguna Jasa.

JENIS INFORMASI SISTEM INFORMASI PENGGUNA JASA TERPADU

Jenis-jenis informasi Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu (SIPESAT) , yaitu initial
data dan penambahan Pengguna Jasa baru.

Informasi Pengguna Jasa yang disampaikan meliputi:


 Seluruh informasi Pengguna Jasa (Initial Data), meliputi :

1. Informasi Pengguna Jasa yang telah ada (existing)pada posisi sampai dengan 31
Januari 2014.
2. Informasi Pengguna Jasa yang telah ditutup pada posisi 1 Januari 2012 sampai
dengan 31 Januari 2014.

 Penambahan Pengguna Jasa baru setiap posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.

Penyampaian penambahan Pengguna Jasa baru disampaikan paling lambat tanggal 15


bulan berikutnya. Dalam hal tanggal 15 bulan berikutnya adalah hari Sabtu, hari Minggu,
atau hari libur nasional, maka disampaikan pada hari kerja berikutnya.

TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI SISTEM INFORMASI PENGGUNA JASA


TERPADU

Penjelasan mengenai cara penyampaian Informasi Sistem Informasi Pengguna Jasa


Terpadu (SIPESAT) baik secara online maupun offline.

Informasi Pengguna Jasa disampaikan dalam bentuk elektronis secara online atau
offline. Penyampaian informasi Pengguna Jasa secara online dilakukan melalui aplikasi
yang disediakan oleh PPATK, dan dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Perka
PPATK diundangkan.

Penyampaian informasi Pengguna Jasa secara offline dilakukan dalam hal:

1. Fasilitas komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi


Pengguna Jasa secara online belum tersedia di daerah tempat kedudukan PJK;
2. Fasilitas komunikasi yang dimiliki PJK mengalami gangguan teknis;
3. Keadaan yang secara nyata menyebabkan PJK tidak dapat menyampaikan informasi
Pengguna Jasa secara online (force majeure);
4. PJK baru beroperasi kurang dari 2 (dua) bulan; dan/atau
5. Sistem atau fasilitas komunikasi di PPATK mengalami kerusakan dan/atau
gangguan.

Penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi SIPESAT merujuk
pada Surat Edaran Kepala PPATK Nomor: SE-02/1.02/PPATK/03/14 tentang Tata Cara
Penyampaian Informasi Pengguna Jasa Terpadu.
Modul ini memberikan gambaran umum mengenai terobosan hukum dalam menangani
perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.

Modul ini memberikan penjelasan umum mengenai:

 Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme


 Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian
 Terobosan Aspek Kerahasiaan dan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan TPPU
dan TPPT
 Kapan dimulainya Penanganan Perkara TPPU dan TPPT?
 Peran PPATK dalam Penegakkan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme
 Apa dan Bagaimana Analisis dan Pemeriksaan Transaksi Keuangan oleh PPATK?
 Permintaan Informasi Kepada PPATK
 Penyidikan dan Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang
 Penuntutan dan Pemeriksaan Sidang Pengadilan
 Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana dalam Hal Pelaku Tindak Pidana
Tidak Ditemukan
 Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran Serta Merta
(Seketika)
 Perlindungan Pihak Pelapor, Pelapor dan Saksi dalam Perkara Pencucian Uang

Modul ini ditujukan sebagai kursus awal bagi Lembaga Penegak Hukum, Praktisi,
Instansi Pemerintah, Dosen, Mahasiswa serta masyarakat umum untuk dilanjutkan
dengan pendalaman dengan pelatihan/kajian/penelitian terhadap sejumlah peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan,best practises nasional dan internasional
dalam penegakkan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.

UU PPTPPU

UU PPTPPT

2. Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang

Tidak hanya kejahatan asalnya, saat ini pelaku kejahatan keuangan dapat dijerat dengan
Tindak Pidana Pencucian Uang atas perbuatan menyembunyikan dan menyamarkan
hasil kejahatannya.

Pelaku kejahatan keuangan seperti korupsi, pengedar narkoba, illegal logging dan
lainnya tidak berhenti pada saat kejahatan dilakukan dan harta kekayaan berhasil
diperoleh. Sebagian besar pelaku melakukan Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) menjerat tidak hanya pelaku TPPU aktif juga
pelaku pasif.

 TPPU aktif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 dan 4 UU PPTPPU, lebih


menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi:

1. Pelaku pencucian uang sekaligus pelaku tindak pidana asal;


2. Pelaku pencucian uang, yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan berasal dari hasil tindak pidana.

 TPPU pasif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU PPTPPU lebih menekankan


pada pengenaan sanksi pidana bagi :

1. Pelaku yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan;


2. Pelaku yang berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan.

Selain korupsi, narkotika dan illegal logging, Pencucian Uang dapat dilakukan atas harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU
PPTPPU. Selain menjerat pelaku individu, dalam hal Pencucian Uang dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.

UU PPTPPU juga mengatur dan memberi sanksi pidana terhadap setiap orang yang
berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut
serta melakukan percobaan, Pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 10 UU PPTPPU).

UU PPTPPU

PENGERTIAN UNSUR "DIKETAHUINYA ATAU PATUT DIDUGANYA" DALAM


TPPU

Perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang aktif dan pasif (Pasal 3, 4, 5 UU PPTPPU)
mensyaratkan adanya unsur "diketahuinya atau patut diduganya" yang mendukung
adanya perbuatan TPPU

PENGERTIAN "DIKETAHUINYA"

Adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat dinilai secara jelas dan pasti mengetahui
bahwa suatu Harta Kekayaan tertentu berasal dari hasil tindak pidana. Dalam hal ini
terdapat sikap kalbu atau batin yang dapat diklasifikasikan sebagai dolus (sengaja).
Untuk menilai adanya unsur kesengajaan ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang
dalam tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan. Apabila seseorang adalah
pelaku atau terlibat dalam perbuatan pidana dimaksud, maka mereka telah memenuhi
unsur kesengajaan atau dengan kata lain harta kekayaan hasil tindak pidana dimaksud
dikualifikasikan telah “diketahuinya”.

PENGERTIAN "PATUT DIDUGANYA"

Adalah suatu keadaan dimana seseorang dinilai mampu memperkirakan berdasarkan


data atau informasi yang dimiliki atau berdasarkan kelaziman umum seseorang
tersebut

dapat menilai bahwa sejumlah uang atau Harta Kekayaan merupakan hasil dari suatu
perbuatan pidana. Dalam hal ini terdapat sikap kalbu atau batin yang dapat
diklasifikasikan sebagai culpa (lalai). Untuk menilai adanya unsur kealfaan ini dapat
dilihat dari data atau informasi yang dimiliki dan juga kelaziman yang diterima secara
wajar oleh masyarakat. Kewajaran ini dapat diuji dengan pendekatan motif dilakukannya
transaksi dan jugaunderlying transaksinya (transaksi yang mendasari).

Mengacu pada penjelasan Pasal 5 UU PPTPPU, yang dimaksud dengan patut diduga
adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau
tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya
pelanggaran hukum.

PENGERTIAN UNSUR "DENGAN TUJUAN MENYEMBUNYIKAN ATAU


MENYAMARKAN ASAL-USUL HARTA KEKAYAAN" DALAM TPPU

Dalam suatu dugaan TPPU aktif (Pasal 3 UU PP-TPPU), mensyaratkan adanya unsur
"Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan" yang
mendukung adanya perbuatan TPPU

PENGERTIAN MENYEMBUNYIKAN

Menyembunyikan adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya agar orang lain tidak
dapat mengetahui mengenai asal usul Harta Kekayaan dari hasil tindak pidana.

Kegiatan menyembunyikan antara lain tercermin dari adanya kegiatan:

 Menyetor/menyimpan hasil tindak pidana ke rekening milik orang lain;


 Menyetor/menyimpan hasil tindak pidana ke rekening yang dibuka dengan
menggunakan nama samaran;
 Melakukan pentransferan baik didalam maupun di luar negeri, atas nama sendiri
atau pihak lain, atau melalui perusahaan fiktif yang diciptakan atau perusahaan
illegal, dan sebagainya (layering).

PENGERTIAN MENYAMARKAN

Menyamarkan merupakan suatu perbuatan atau upaya yang dilakukan sehingga pihak
lain termasuk instansi penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
bahwa Harta Kekayaan tertentu asal usulnya dari hasil kejahatan.

Contoh dari perbuatan menyamarkan sebagai berikut:

 Mengalihkan kepemilikan Harta Kekayaan dengan diatasnamakan pihak lain


dengan diikuti perjanjian di bawah tangan.
 Mencampur uang sah dengan uang tidak sah, baik secara langsung atau
menggunakan perusahaan topengan (shell company) atau perusahaan legal.
 Membuat perusahaan fiktif yang menampung dan mentransaksikan uang hasil
kejahatan sehingga nampak seolah-olah uang atau Harta Kekayaan tersebut asal
usulnya berasal dari kegiatan yang sah.

3. Terobosan Aspek Kerahasiaan dan Tindak Pidana Lain

Terobosan Aspek Kerahasiaan dan Tindak Pidana Lain


Implementasi Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT)
dilaksanakan berdasarkan prinsip kerahasiaan mengingat keberadaan program tersebut
merupakan terobosan terhadap aspek kerahasiaan dan kode etik.

Pada mulanya, berbagai informasi menyangkut nasabah di suatu institusi keuangan ataupun
kalangan profesi dijaga ketat berdasarkan prinsip kerahasiaan dan kode etik profesi. Dalam
prakteknya, adanya prinsip kerahasiaan dan kode etik profesi berpotensi dimanfaatkan pelaku
kejahatan untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.

Untuk itu, dalam perkembangannya, kalangan internasional dan Pemerintah Indonesia,


memandang perlunya terobosan atau pengecualian atas aspek kerahasiaan dan kode etik
tersebut untuk kepentingan penegakan hukum yang lebih besar, antara lain dengan membuat
Program APU-PPT.

Namun demikian, mekanisme atau cara kerja Program APU-PPT pun dilaksanakan berdasarkan
prinsip kerahasiaan. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap
orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut UU PPTPPU wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk
memenuhi kewajiban menurut UU PPTPPU.

Demikian pula Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

4. Inisiatif Penanganan Perkara Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

Inisiatif Penanganan Perkara Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme


Penanganan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme dapat dimulai berdasarkan inisiatif Instansi Penegak Hukum ataupun sebagai
tindak lanjut atas Laporan dari PPATK.

Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dapat dimulai
berdasarkan inisiatif:

 Instansi Penegak Hukum pada saat menangani suatu tindak pidana asal;
 Adanya Laporan Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada Instansi Penegak
Hukum

Instansi Penegak Hukum dapat memulai penanganan perkara dugaan Tindak Pidana
Pencucian Uang pada saat sedang menangani suatu kasus dan menemukan adanya
potensi indikasi dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pada tahap penyelidikan dan/atau tahapan selanjutnya, Instansi Penegak Hukum dapat
meminta informasi hasil analisis transaksi keuangan kepada PPATK apabila menemukan
adanya dugaan suatu TPPU atau terdapat kaitan antara suatu tindak pidana dengan
transaksi keuangan pada sistem keuangan.

Selain itu, PPATK secara proaktif menyampaikan laporan hasil analisis dan pemeriksaan
berindikasi Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lainnya kepada
Instansi Penegak Hukum atas analisis Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dan/atau laporan lainnya yang disampaikan Pihak Pelapor dan masyarakat.

5. Peran PPATK dalam Penegakan Hukum

Peran PPATK dalam Penegakan Hukum


PPATK merupakan suatu Financial Intelligence Unit (FIU) yang mengelola dan
menyediakan informasi intelijen keuangan untuk Instansi Penegak Hukum dan instansi
lainnya.

Dalam penegakan hukum, PPATK memiliki peran sebagai financial intelligence unit, yang
memiliki tiga fungsi utama, yakni:

 Menerima berbagai laporan/informasi dari Pihak Pelapor, Masyarakat dan Instansi


terkait;
 Melakukan analisis dan pemeriksaan;
 Meneruskan hasil analisis dan pemeriksaan kepada Penegak Hukum.

Suatu laporan hasil analisis dan pemeriksaan PPATK dapat memberikan informasi
transaksi keuangan yang memberikan nilai tambah bagi upaya penegakan hukum
seperti memperjelas posisi kasus, mengidentifikasi kejahatan dan jaringan kejahatan
yang lebih besar, mengidentifikasi harta kekayaan untuk perampasan aset. Dalam
prakteknya, suatu hasil analisis dan pemeriksaan antara lain dimanfaatkan oleh Penyidik
dalam proses:

 Sebagai informasi pada tahapan pengumpulan informasi/ penyelidikan/penyidikan


atas suatu kasus baru;
 Digunakan untuk memberikan informasi tambahan atas kasus yang tengah
ditangani penyidik (antara lain identifikasi pihak-pihak terkait, asset tracing,
keperluan blokir, penguatan indikasi TPPU, perampasan aset);
 Digunakan untuk kepentingan optimalisasi penerimaan pajak;
 Kesimpulan dalam suatu Laporan Hasil Pemeriksaan dapat juga memuat matrik
unsur-unsur tindak pidana asal yang bertujuan untuk menguraikan informasi
mengenai transaksi keuangan yang dapat menjadi petunjuk awal sebagai alat bukti.

Hasil analisis dan pemeriksaan PPATK merupakan informasi intelijen keuangan yang
bersifat sangat rahasia dan tidak dapat dijadikan alat bukti serta harus dipergunakan
sesuai dengan UU PPTPPU.

6. Analisis dan Pemeriksaan Transaksi Keuangan Oleh PPATK

Analisis dan Pemeriksaan Transaksi Keuangan Oleh PPATK

Produk PPATK antara lain adalah Hasil Analisis (HA) dan Hasil Pemeriksaan (HP).
Kegiatan Analisis dan Pemeriksaan transaksi keuangan oleh PPATK dilakukan secara
independen, obyektif dan profesional.
Kegiatan analisis dan pemeriksaan oleh PPATK adalah kegiatan meneliti laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau laporan lainnya serta informasi yang
diperoleh PPATK dalam rangka menemukan atau mengidentifikasi indikasi Tindak
Pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lainnya.

Kegiatan analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan yang dilakukan oleh PPATK
merupakan suatuintelligence analysis, yakni proses untuk mengidentifikasi dan
menyatukan berbagai informasi yang berbeda dan terpisah untuk menghasilkan
pengetahuan baru dan suatu pemahaman atas suatu permasalahan.

Pada saat melakukan analisis dan pemeriksaan, PPATK menerapkan teknik-teknik audit
sepertianalytical review, konfirmasi, pengujian sampling, pemeriksaan dokumen
dalam rangka menggali informasi, serta menggunakan teknik investigasi seperti
observasi dan wawancara. Secara lebih khusus, PPATK menerapkan secara intensif teknik
penelusuran aliran dana (follow the money), dengan mengidentifikasi sumber asal dana
dan penggunaannya. Dalam pelaksanaan analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan
oleh PPATK secara intensif digunakan alat bantu teknologi informasi dalam rangka data
mining, analytical tools, danadvance exploration data.

Sumber informasi analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan oleh PPATK antara lain:

 Laporan dan/atau informasi yang disampaikan oleh Pihak Pelapor;


 Laporan Pembawaan Uang Tunai keluar dan masuk wilayah kepabeanan Indonesia
yang disampaikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
 Informasi dari Instansi penegak hukum;
 Informasi dari lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
penyedia jasa keuangan;
 Informasi dari lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
 Informasi dari lembaga lainya yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak
podana pencucian uang;
 Data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang
memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi
pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
 Financial Intelligence Unit negara lain;
 Sumber informasi publik.

Secara garis besar, suatu Laporan Hasil Analisis dan Pemeriksaan terdiri dari:

 Latar Belakang dilakukannya proses analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan;


 Profil Pihak Terlapor dan Pihak Terkait: berisi informasi mengenai profil dan
identitas dari pihak terlapor memiliki transaksi mencurigakan, serta profil dan
identitas dari pihak terkait yang melakukan aktivitas transaksi signifikan dengan
pihak terlapor ataupun memiliki posisi signifikan dengan terlapor;
 Pola Transaksi/Informasi Transaksi keuangan: Berisi rincian/ringkasan transaksi
signifikan, pola transaksi antar pihak, ataupun pola transaksi yang biasa digunakan
oleh pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang seperti u-turn, smurfing danstructuring;
 Kesimpulan berisi ringkasan fakta kunci (Who, What, When, Where, Why and How)
serta penilaian atas temuan berupa adanya indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang
dan/atau tindak pidana lain serta menguraikan argumen yang logis.

7. Permintaan Informasi Kepada PPATK

Permintaan Informasi Kepada PPATK


Penegak Hukum dapat meminta informasi hasil analisis transaksi keuangan kepada
PPATK.

Pada saat Penegak Hukum sedang menangani suatu kasus, dimulai dari tahap
penyelidikan dan/atau tahapan selanjutnya, penegak hukum dapat meminta informasi
hasil analisis transaksi keuangan kepada PPATK sesuai dengan ketentuan Pasal 90 UU
PPTPPU.

Permintaan informasi diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh:

 Hakim ketua majelis;


 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah;
 Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi;
 Pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik, selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
 Pemimpin, direktur atau pejabat yang setingkat, atau pemimpin satuan kerja atau kantor
di lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;
 Pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
 Pimpinan dari lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian
Uang; atau
 Pimpinan financial intelligence unit negara lain.

Dalam melakukan permintaan informasi kepada PPATK, Penegak Hukum dituntut untuk
mengidentifikasi berbagai pihak yang berpotensi terkait dengan dugaan kasus dan
informasi transaksi keuangan awal yang dapat digali/diketahui.
Hal yang harus dicantumkan dalam permintaan informasi ke PPATK, antara lain sebagai
berikut:

 Identitas, nomor rekening nasabah dan/atau nama PJK;


 Tujuan dan alasan permintaan informasi;
 Periode waktu dari informasi yang diminta;
 Kasus posisi;
 Hubungan informasi yang diminta dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU atau
TP lain yang terkait TPPU; dan
 Pernyataan menjaga kerahasiaan informasi dan menggunakan informasi yang diterima
sesuai dengan tujuan yang telah disetujui oleh PPATK.

Keberhasilan penanganan kasus TPPU dan pertukaran informasi PPATK dan Penegak
Hukum sangat didukung oleh keberadaan Petugas Penghubung Kerjasama (Liaison
Officer) yang ada di PPATK dan masing-masing Penegak Hukum. Selain itu, saat ini telah
dikembangkan mekanisme pertukaran informasi antara PPATK dengan lembaga
penegak hukum secara elektronis/online menggunakan Secure Online Communication
(SOC) untuk menunjang efektifitas dan menjaga kerahasian pertukaran informasi.

Dalam rangka memastikan efektifitas penanganan suatu Laporan Hasil Analisis dan
Pemeriksaan, PPATK mempunyai kewenangan meminta informasi mengenai
perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal dan tindak pidana pencucian uang (Pasal 44 ayat (1) huruf j UU PPTPPU).

Hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai intervensi dari PPATK kepada Penegak Hukum,
tetapi hanya sebagai umpan balik mengenai tindak lanjut atas hasil analisis untuk
meningkatkan kualitas hasil analisis dan mengoptimalkan upaya PPATK dalam
mendukung penegakan hukum.
Dalam rangka menunjang pelaksanaan wewenang tersebut, PPATK apabila diperlukan
atau diminta Lembaga Penegak Hukum, melakukan
asistensi/pendampingan/pembahasan penanganan/tindak lanjut dari Laporan Hasil
Analisis dan Pemeriksaan PPATK.

UU PPTPPU
PERKA-Nomor-8-Tahun-2013-ttg-Permintaan-Informasi-ke-PPATK

8. Penyidikan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyidikan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang


Perluasan dan penambahan kewenangan penyidik dalam pengungkapan perkara Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal
sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini (Pasal 74 UU PPTPPU).

Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal
yaitu pejabat dari instansi yang oleh Undang-Undang diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PPTPPU, penyidikan TPPU dapat dilakukan oleh
Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional,
Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya Tindak Pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak
pidana asal dengan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya
kepada PPATK (Pasal 75 UU PPTPPU).

UU PPTPPU memperkenalkan alat bukti yang baru dalam hukum pidana. Berbeda dari
pada pengaturan KUHAP, Pasal 73 UU PPTPPU menyatakan bahwa alat bukti yang sah
dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
alat yang serupa optik dan Dokumen.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 72 UU PPTPPU, untuk kepentingan pemeriksaan dalam


perkara Tindak Pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis
mengenai Harta Kekayaan dari:

 orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;


 tersangka; atau
 terdakwa.

Dalam meminta keterangan tentang harta kekayaan tersebut, bagi penyidik, penuntut
umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.

9. Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang


Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Penuntutan merupakan pelimpahan berkas perkara ke pengadilan dengan maksud agar
perkara tersebut diperiksa di pengadilan menurut ketentuan hukum acara yang berlaku.

Dalam perkara TPPU, Penuntut Umum wajib menyerahkan berkas perkara kepada
pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap. Penuntutan TPPU dilakukan
oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung RI berikut jajarannya dan Penuntut Umum
pada KPK.

Sehubungan dengan kewenangan penuntutan oleh KPK, terdapat beberapa alasan


hukum diantaranya: sesuai Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan menyatakan Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan dalam
melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. Sehingga
penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau yang bertugas di KPK adalah sama.

Kemudian Penuntutan TPPU oleh KPK telah sesuai dengan asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, dikarenakan penuntutan oleh jaksa yang bertugas di
KPK akan lebih cepat diselesaikan dari pada harus dikirim lagi ke Kejaksaan Negeri.

Alasan ini juga telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-
XII/2014 mengenai permohonan uji materil terhadap UU PPTPPU oleh M. Akil Muchtar.

UU PPTPPU
Putusan M. Akil Muchtar

BENTUK DAKWAAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan oleh Hakim dalam suatu persidangan
Penyusunan surat dakwaan tidak boleh keluar dari hasil penyidikan yang telah dibuat
oleh penyidik sebagaimana yang termuat dalam berkas perkara.

Perlu dipahami bahwa TPPU harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri
yang berbeda denganpredicate crime-nya walaupun sangat berkaitan erat, maka untuk
berkas TPPU yang digabung (dijadikan satu) dengan berkas Tindak Pidana asal, dakwaan
harus disusun secara kumulatif oleh penuntut umum.

Hal ini juga ditegaskan oleh Kejaksaan Agung dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum Nomor B-689/E/EJP/12/2004 dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus Nomor B-2107/F/Fd.1/10/2011.

PENGADILAN IN ABSENTIA
Pengadilan in absentia merupakan pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara
tanpa dihadiri oleh Terdakwa.

Selain perkara Korupsi, dalam perkara TPPU juga mengenal pengadilan in absentia.
Dalam pemeriksaan perkara TPPU, apabila sebelumnya terdakwa telah dipanggil secara
patut dan sah namun tidak hadir, perkara Terdakwa dapat diperiksa maupun diputus
tanpa kehadirannya.

Kemudian dalam hal Terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sebelum
putusan dijatuhkan, harta kekayaan Terdakwa, atas tuntutan penuntut umum, Hakim
dapat merampas harta tersebut jika terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan TPPU.

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Untuk membuktikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak wajib dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Pembuktian dalam perkara TPPU, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan sidang pengadilan tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya. Artinya dalam setiap proses penanganan perkara TPPU atau dugaan adanya
harta hasil perolehan kejahatan, aparat penegak hukum tidak boleh terhenti karena
alasan penanganan perkara pokoknya belum terbukti.

Best practice internasional, pada negara yang menganut hukum civil law ataupun
common law untuk memeriksa perkara TPPU tidak perlu membuktikan tindak pidana
asal terlebih dahulu. Beberapa putusan menunjukkan terdapat perkara TPPU yang telah
diputus secara tunggal tanpa dibuktikannya tindak pidana asal antara lain perkara atas
nama Ie Mien Sumardi dan Yudi Hermawan.

Anotasi Ie Mien Sumardi

Anotasi Yudi Hermawan

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

Sistem pembalikan beban pembuktian merupakan sistem pembuktian yang


menyimpang dari asas umum pembuktian.
Dalam perkara TPPU dikenal dengan sistem pembalikan beban pembuktian. Dalam
sistem ini, bukan saja Penuntut Umum yang mempunyai beban kewajiban pembuktian
namun Terdakwa juga mempunyai kewajiban membuktikan sumber perolehan harta
kekayaannya. Perolehan Harta kekayaan yang dibuktikan oleh Terdakwa haruslah terkait
dengan perkara.

Maksudnya harta kekayaan tersebut haruslah disita sebelumnya oleh penyidik terlebih
dahulu dan dibawa ke persidangan oleh penuntut umum kemudian saat persidangan
Hakim-lah yang memerintahkan Terdakwa untuk membuktikan dari mana harta
kekayaan itu diperoleh.

Satu hal yang penting dalam menggunakan sistem ini adalah bahwa yang dibuktikan
oleh Terdakwa hanya perolehan/sumber harta kekayaan saja sedangkan unsur lain dari
pasal TPPU yang disangkakan merupakan kewajiban Penuntut Umum untuk
membuktikan.

Terdapat beberapa putusan yang menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian


pada saat persidangan diantaranya perkara atas nama Bahasyim Assifie, Djoko Susilo,
dan Dhana Widyatmika.

PENYITAAN TAMBAHAN

Perampasan harta kekayaan hasil kejahatan sebagai pengembalian aset (asset recovery).

Dalam perkara TPPU, harta kekayaan merupakan “darah” dari kejahatan itu, oleh
karenanya UU PPTPPU memberikan ruang kepada hakim untuk melakukan penyitaan
tambahan. Saat persidangan apabila diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta
kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan Penuntut Umum untuk melakukan
penyitaan harta kekayaan tersebut.

Tujuannya adalah sebagai asset recovery dan mematikan "darah kehidupan" kejahatan
itu yang pada akhirnya dapat memberikan efek jera pada pelaku dan orang lain agar
tidak melakukan kejahatan tersebut.

10. Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Apabila terdapat harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana yang pelakunya tidak ditemukan, Pengadilan dapat memutuskan
merampasnya untuk Negara atau mengembalikan kepada yang berhak.

Terdapat ketentuan perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based Asset
Forfeiture) dalam UU PPTPPU, yakni terkait harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan aset tindak pidana yang pelakunya tidak diketahui/tidak ditemukan.

Mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan dapat dimulai oleh PPATK, pada saat
menemukan adanya harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana. PPATK melakukan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan
dapat diperpanjang selama 15 hari kerja.

Apabila, tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam
waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK
menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.

Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30
(tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan
kepada yang berhak. Pengadilan dalam hal ini harus memutus dalam waktu paling lama
7 hari kerja.

Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun


2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam
TIndak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain sebagai hukum acara
pelaksanaan pasal 67 UU PPTPPU.
Apabila Penyidik pertama kali menemukan harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan aset tindak pidana dan tidak diketahui pemiliknya, untuk
memanfaatkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, maka diharapkan
Penyidik berkoordinasi dengan PPATK.

PERMA 1 Tahun 2013


FLOW CHART PERMA NO 1 TAHUN 2013

10. Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Penanganan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Dalam Hal Pelaku Tidak
Ditemukan
Apabila terdapat harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana yang pelakunya tidak ditemukan, Pengadilan dapat memutuskan
merampasnya untuk Negara atau mengembalikan kepada yang berhak.

Terdapat ketentuan perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based Asset
Forfeiture) dalam UU PPTPPU, yakni terkait harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan aset tindak pidana yang pelakunya tidak diketahui/tidak ditemukan.

Mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan dapat dimulai oleh PPATK, pada saat
menemukan adanya harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan aset
tindak pidana. PPATK melakukan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan
dapat diperpanjang selama 15 hari kerja.

Apabila, tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam
waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK
menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.

Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30
(tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan
kepada yang berhak. Pengadilan dalam hal ini harus memutus dalam waktu paling lama
7 hari kerja.

Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun


2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam
TIndak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain sebagai hukum acara
pelaksanaan pasal 67 UU PPTPPU.
Apabila Penyidik pertama kali menemukan harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan aset tindak pidana dan tidak diketahui pemiliknya, untuk
memanfaatkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, maka diharapkan
Penyidik berkoordinasi dengan PPATK.

PERMA 1 Tahun 2013


FLOW CHART PERMA NO 1 TAHUN 2013

11. Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran Serta Merta
(Seketika)
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran Serta Merta
(Seketika)
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana teroris dan
pendanaannya, aset orang/korporasi yang masuk dalam daftar teroris/organisasi teroris
dapat diblokir serta merta atas penetapan pengadilan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak


Pidana Pendanaan Terorisme memberikan kewenangan kepada Kepolisian RI untuk
mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan
pencantuman identitas orang atau korporasi ke dalam Daftar Terduga Teroris dan
Organisasi Teroris (DTTOT).

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memeriksa dan menetapkan permohonan tersebut


dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, jika alasan, dokumen, dan/atau
rekomendasi yang diajukan dapat dijadikan dasar untuk mencantumkan identitas orang
atau korporasi ke dalam DTTOT.

Setelah memperoleh penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kepolisian RI segera


mencantumkan identitas orang atau korporasi ke dalam DTTOT, dan memberitahukan
DTTOT kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur untuk selanjutnya disampaikan
kepada Penyedia Jasa Keuangan dan Instansi Berwenang.

Penyampaian DTTOT disertai permintaan pemblokiran secara serta merta terhadap


seluruh dana yang dimiliki atau dikuasai baik secara langsung ataupun tidak langsung
oleh orang atau korporasi. Penyedia Jasa Keuangan atau instansi berwenang, wajib
melakukan pemblokiran secara serta merta terhadap seluruh dana yang dimiliki atau
dikuasai baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh orang atau korporasi
berdasarkan DTTOT.

Dalam UU PPTPPU juga diatur mekanisme keberatan dan penghapusan identitas orang
atau korporasi dari DTTOT. Dalam pelaksanaan DTTOT terdapat Peraturan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Luar Negeri RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor 01/PB/MA/II/2015, 03 Tahun 2015, 1 Tahun 2015,
B.66/K.BNPT/2/2015, PER-01/1.02/PPATK/02/2015 tentang Pencantuman Identitas
Orang dan Korporasi Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris, dan
Pemblokiran Secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum
Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.

UU PPTPPT
12. Perlindungan Pihak Pelapor, Pelapor dan Saksi Dalam Perkara Pencucian Uang

Perlindungan Pihak Pelapor, Pelapor dan Saksi Dalam Perkara Pencucian


Uang
Selain tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, Pihak Pelapor, Pelapor dan Saksi
mendapat perlindungan khusus.

UU PPTPPU memberikan perlindungan hukum berupa pelepasan dari tuntutan pidana maupun
perdata kepada Pihak Pelapor, Pelapor dan/atau saksi atas pelaporan, sebagai berikut:

1. Penyedia jasa keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan dan transaksi keuangan tunai.
2. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas
pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan. Pelapor yang dimaksudkan dalam
ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan Tindak Pidana
Pencucian Uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang memberikan kesaksian
dalam pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kekebalan hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan secara pidana terhadap pihak-
pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang yang bersangkutan dalam melaksanakan
pelaporan dan memberikan kesaksian dilakukan dengan itikad baik atau yang bersangkutan
tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Munculnya perlindungan, dalam hal ini, apabila
pelaksanaan kewajiban oleh pelapor dan pihak lain diterapkan secara konsisten.

Dalam beberapa Pasal UU PPTPPU, diatur mengenai kewajiban untuk tidak mengungkap
identitas pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor
dengan ancaman pidana bagi yang melanggarnya, termasuk ancaman bagi Direksi, pejabat, atau
pegawai PJK, Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik, umum, hakim, dan
siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan
tugasnya.

Pengertian Pihak Pelapor di sini adalah pelapor PJK karena melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam UU PPTPPU. Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan
mengenai perlindungan Saksi dan Pelapor, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang. Lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Kapolri Nomor
17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU PPTPPU
PP 57/2003
Perkapolri 17/2005
Modul 4 ini disusun dengan tujuan untuk membantu masyarakat umum, Instansi
Penegak Hukum, Pihak Pelapor dan mitra strategis PPATK dalam mengenali inisiatif,
norma atau standar maupun praktik terbaik (best practice) di tataran internasional
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme.

Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pencucian uang dan pendanaan


terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang terorganisir
(Transnational Organized Crime) yang dilakukan:

1. Di satu negara;
2. Di satu negara, tetapi persiapan, arahan dan kontrolnya dilakukan di negara lain;
3. Di suatu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisir yang
terlibat dalam kejahatan di lebih dari suatu negara;
4. Di suatu negara,tetapi memiliki efek yang cukup besar di negara lain.

Untuk memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan


terorisme diperlukan kerjasama dan sinergi yang kuat dari berbagai pihak, baik dalam
negeri maupun luar negeri.
Modul empat e-learning ini terdiri beberapa materi antara lain meliputi:

1. Organisasi internasional terkait standar internasional di bidang pencegahan dan


pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme;
2. Pertukaran informasi antar Unit Intelijen Keuangan/Financial Intelligence Units (FIU);
3. Mutual Evaluation (ME);
4. Asset Recovery

2. Organisasi Internasional

Organisasi Internasional
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Teroisme merupakan
kejahatan lintas batas negara yang dalam penanganannya membutuhkan kerjasama
tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi hingga lingkup regional maupun
internasional. Kerjasama tersebut, tidak hanya melibatkan aktor negara (state actors) ,
tetapi juga aktor-aktor selain negara (non-state actors) yaitu keterlibatan atau peran dari
organisasi internasional.
Berdasarkan definisi dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/The
Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), Organisasi
Internasional diartikan sebagai suatu entitas yang dibentuk oleh perjanjian politik formal
diantara anggota-anggotanya yang memiliki status perjanjian internasional, yang
keberadaannya diakui oleh hukum anggota negara-negara tersebut, mereka tidak
diperlakukan sebagai lembaga setempat di suatu negara dimana mereka berada.

Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diamanatkan untuk memperoleh


manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan pada peraturan
perundangan yang berlaku dan memperhatikan efisiensi penggunaan anggaran dan
kemampuan keuangan negara.

Diharapkan keanggotaan tersebut dapat memberikan manfaat antara lain secara politik,
dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan kesatuan,
mendukung terciptanya kohesi sosial serta secara ekonomi dan keuangan, mendorong
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas
nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional, mendatangkan bantuan
teknis, hibah dan bantuan lain yang tidak mengikat, dan sektor penegakan hukum
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme diharapkan dapat memperkuat
rezim APU-PPT di Indonesia.

Terdapat beberapa organisasi internasional yang terkait dengan penanganan Tindak


Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yaitu:

1. Financial Action Task Force (FATF)


2. Asia Pacific Group on Money Laundering (APG)
3. The Egmont Group of Financial Intelligence Units (EG)

FINANCIAL ACTION TASK FORCE

Financial Action Task Force (FATF) adalah sebuah lembaga internasional yang
mengeluarkan standar untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang dan pendanaan terorisme serta melakukan evaluasi terhadap negara-negara di
dunia atas standar tersebut.

Isu pencucian uang baru mendapatkan momentumnya pada tahun 1989, yaitu pada
bulan Juli 1989, di Paris, dalam sebuah Pertemuan Negara-negara G-7, dibentuk
Financial Action Task Force (FATF) sebagai respon atas kekhawatiran internasional
terhadap risiko pencucian uang atas integritas sistem keuangan. Lembaga ini dilahirkan
dengan agenda memastikan kriminalisasi terhadap pencucian uang dan pengembangan
kebijakan serta regulasi terkait pengenalan nasabah. Selain itu, task force tersebut
diberikan tanggung jawab untuk melakukan analisis terhadap teknik dan tren atas
pencucian uang, mengkaji ulang upaya yang telah dilakukan pada tingkat nasional dan
internasional, serta menentukan instrumen atau metodologi yang diperlukan untuk
memberantas pencucian uang.

FATF juga telah mengeluarkan 40 Rekomendasi tentang pemberantasan pencucian uang


dan pendanaan teroris yang melingkupi sistem peradilan pidana dan penegakan hukum,
sistem finansial dan regulasi serta kerjasama internasional. Adapun hingga saat ini FATF
telah beberapa kali melakukan revisi terhadap rekomendasi yang dikeluarkannya, yaitu
pada tahun 1997 dikeluarkan 40 rekomendasi, kemudian pada tahun 2001 direvisi
menjadi 40+8 rekomendasi. Perubahan kembali dilakukan di tahun 2003 dengan
menambahkan satu rekomendasi khusus sehingga menjadi 40+9 rekomendasi.
Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 2012 dengan melebur 9 rekomendasi khusus
tersebut menjadi dalam rekomendasi utama yang tertuang dalam 40 rekomendasi, atau
yang dikenal dengan FATF 40 Recommendations.

Indonesia sudah keluar dari Daftar Publikasi FATF (“FATF Public Statement”) sejak Juni
2015. Indonesia bukan anggota dari FATF, tetapi FATF dapat memberikan sanksi kepada
negara yang bukan anggota FATF dan ataupun FSRBs (FATFStyle Regional Bodies) salah
satunya seperti APG. Hal ini dikarenakan FATF merekomendasikan agar transaksi
keuangan dari dan ke negara yang diberikan sanksi diberhentikan oleh negara anggota
FATF. Padahal negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang,
Inggris, Perancis merupakan anggota FATF. Sebagai informasi, Indonesia merupakan
satu-satunya negara anggota G-20 yang belum tergabung dalam FATF.
Saat ini Indonesia masih dipantau terkait penetapan Daftar Terduga Teroris dan
Organisasi Teroris (DTTOT) serta rencana Tax Amnesty dimana keduanya dikhawatirkan
akan dapat membawa kembali Indonesia ke dalam ‘FATF Public Statement’.

Dalam penetapan DTTOT memerlukan koordinasi yang melibatkan Pengadilan,


Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme dan instansi terkait lainnya. DTTOT harus selalu update
denganlisting dan delisting PBB. Sedangkan Tax Amnesty dalam standar FATF hanya
dapat dikenakan terkait kekurangan pembayaran pajak bukan yang berasal dari tindak
pidana.

ASIA/PACIFIC GROUP ON MONEY LAUNDERING

Asia/Pacific Group on Money Laundering adalah salah satu FATF Style Regional Bodies
yang dibentuk untuk memperluas upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian
uang di komunitas internasional khususnya di kawasan Asia Pasifik.
Asia/Pacific Group on Money Laundering atau sering disingkat dengan APG-ML adalah
organisasi internasional independen yang didirikan pada tahun 1997 di Bangkok,
Thailand. Pendirian organisasi ini merupakan penjabaran dari kerjasama internasional di
bidang pencucian uang dan pendanaan terorismeyang diawali dengan adanya pendirian
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada tahun 1989. Mengingat
FATF hanya beranggotakan Negara-negara “maju” (didirikan oleh G7), maka untuk
semakin memperluas upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di
komunitas internasional, perlu dilakukan pembentukan FATF Style Regional Bodies
(FSRB) berdasarkan regionalisasi. Untuk kawasan Asia Pasifik, didirikanlah APG yang
hingga saat ini beranggotakan 41 anggota Negara/Jurisdiksi.

APG-ML mempunyai lima fungsi utama yaitu:

1. Mengkoordinasikan technical assistance dantraining antara donor dan penerima dengan


tujuan meningkatkan kepatuhan Negara-negara anggota APG dengan standar
internasional di bidang pencucian uang dan pendanaan terorisme.
2. Melakukan kerjasama dengan berbagai jaringan internasional di bidang pencucian uang
dan pendanaan terorisme untuk kepentingan anggotanya.
3. Melakukan penilaian terhadap Negara-negara anggotanya atas kepatuhan mereka
terhadap standar internasional di bidang pencucian uang dan pendanaan
terorisme melalui mekanisme mutual evaluation.
4. Melakukan penelitian dan analisis atas tren dan metode pencucian uang dan pendanaan
terorisme untuk dapat membantu Negara-negara anggotanya dalam mengidentifikasi
risiko dan kerentanan atas kedua tindak kejahatan tersebut.
5. Memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan kebijakan anti pencucian uang
dan pendanaan terorisme secara global.

THE EGMONT GROUP OF FINANCIAL INTELLIGENCE UNITS

The Egmont Group of FIUs adalah wadah perkumpulan Unit Intelijen Keuangan seluruh
dunia yang sifatnya informal. Organisasi ini didirikan pada tahun 1995 di kota Egmont,
Brussel, Belgia.

Dalam pertemuan di Arenberg Palace, Brussels, Juni 1995, The Egmont Group dibentuk
oleh sekelompok FIU. Pada awal pendirian, The Egmont Group dibentuk sebagai sebuah
kelompok informal yang mendorong kerjasama internasional diantara FIU, umumnya
terkait dengan pelatihan serta pertukaran pengalaman dan informasi intelijen keuangan.
Yang dapat menjadi anggota The Egmont Group adalah Unit Intelijen Keuangan atau
Financial Intelligence Unit (yang selanjutnya disebut FIU) dalam arti suatu lembaga
nasional yang bertanggung jawab menerima (dan apabila dimungkinkan untuk
mengajukan) menganalisis dan mendiseminasi informasi kepada otoritas yang
berkompeten dan berwenang dalam pengungkapan informasi finansial:
1. Mengenai dugaan aset hasil kejahatan dan potensi pendanaan terorisme atau;
2. Sebagaimana disyaratkan oleh legislasi dan regulasi nasionalnya untuk melaksanakan
pemberantasan pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme

The Egmont Group adalah forum kerjasama internasional yang memberikan dukungan
dalam hal:

1. Memperluas dan melakukan sistematisasi kerjsama internasional secara pertukaran


resiprokal tentang informasi intelijen finansial;
2. Meningkatkan efektifitas dari FIU dengan menawarkan pelatihan dan pertukaran personil
dalam rangka meningkatkan keahlian dan kapabilitas pegawai FIU;
3. Mengawal komunikasi dan keamanan berkomunikasi antar FIU melalui aplikasi teknologi
melalui Egmont Secure Web (ESW);
4. Mempromosikan pembentukan FIU di yurisdiksi yang belum mempunyai program
anti pencucian uang dan pendanaan terorisme atau di tempat dimana program
anti pencucian uang dan pendanaan terorisme sedang dalam tahap pengembangan.

3. Pertukaran Informasi Antar FIU

Pertukaran Informasi Antar FIU


Pengertian umum Unit Intelijen Keuangan atau Financial Intelligence Unit (FIU)
berdasarkan Piagam Egmont (The Egmont Charter) beserta perannya dalam rezim
APU/PPT.

DEFINISI FIU

Sebuah badan nasional yang bertanggung jawab untuk menerima (memberikan dan
meminta), menganalisa dan meneruskan kepada lembaga penegak hukum dan otoritas
yang berwenang mengenai:

1. Hasil analisis mengenai transaksi yang patut diduga sebagai hasil tindak pidana dan/atau
pendanaan terorisme;
2. Kajian strategis terkait cara untuk menangani TPPU & TPPT.

PERAN FIU

1. Sebagai pusat informasi tentang pencucian uang.


2. Pusat analisis informasi yang diterima untuk memutuskan apakah suatu informasi
bernilai untuk ditindaklanjuti menjadi investigasi.

Fasilitator pertukaran informasi yang tidak wajar/mencurigakan yang terjadi di dalam


negeri maupun di luar negeri.
Sekilas tentang FIU

TIPE FINANCIAL INTELLIGENCE UNIT

Berbagai bentuk FIU berdasarkan karakteristik suatu negara dalam program pencegahan
dan pemberantasan TPPU & TPPT.

Secara umum terdapat 4 (empat) tipe FIU berdasarkan eksistensi FIU di seluruh dunia,
yakni:

1. Tipe administratif

Dalam model administratif, FIU dibentuk terpusat dalam otoritas administratif, berperan
menerima dan melakukan proses informasi dari lembaga penyedia jasa keuangan dan
kemudian menyampaikan informasinya kepada lembaga penegak hukum. Model
administratif juga menekankan agar FIU menjadi pelapis antara penegak hukum dengan
sistem keuangan.
Contoh:AUSTRAC (Australia), PPATK (Indonesia), Rosfinmonitoring (Rusia), FinCEN (AS),
SCFM (Ukraina)

2. Tipe penegak hukum

FIU yang dibentuk dalam model law enforcement dipasang dalam sistem penegakan
hukum yang telah ada dan bersifat pendukung dalam beberapa penegak hukum atau
otoritas peradilan dalam melakukan investigasi pencucian uang
Contoh: STRO (Singapura), JAFIC (Jepang), NCA (Inggris), BKA (Jerman)

3. Tipe judisial

Dalam model judisial, FIU dibentuk di dalam sistem peradilan di mana kemudian
informasi keuangan yang dibuka diterima oleh lembaga penegak hukum langsung dari
penyedia jasa keuangan sehingga lembaga peradilan dapat kemudian melaksanakan
fungsinya diantaranya, merampas harta hasil tindak pidana, melakukan pembekuan
rekening, dan sebagainya Contoh: MOKAS (Cyprus), FIU-LUX (Luxembourg),

4. Tipe campuran (hybrid)

Untuk model hybrid atau campuran, FIU dapat berperan sebagai pelapis atau perantara
bagi komunitas sistem keuangan dan penegakan hukum maupun sistem peradilan.
Modelhybrid setidaknya terdiri atas dua campuran dari model FIU yang ada.
Contoh: HVIDVASK (Denmark), OKOKRIM / EFE (Norwegia), FCU
(Jersey), AMLO (Thailand).

LANDASAN HUKUM PERTUKARAN INFORMASI

Dasar hukum dilakukannya pertukaran informasi intelijen keuangan antar sesama FIU
diatur dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional.

1. DASAR HUKUM NASIONAL

Dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme, undang-undang mengatur mengenai dasar hukum
pertukaran informasi melalui kerjasama internasional.

Dasar hukum tersebut diatur dalam Pasal 89 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 41 dan 42
UU Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.

2. DASAR HUKUM INTERNASIONAL

Pertukaran informasi merupakan hal yang vital bagi The Egmont Group, oleh karena itu
Piagam Egmont (Egmont Charter) mengatur dua hal penting untuk mekanisme
pertukaran informasi, yaitu:

 Prinsip dalam pertukaran informasi (Principle for Information Exchange), dan


 Praktik terbaik dalam pertukaran informasi(Best Practice for the Exchange of
Information)

Dalam pertukaran tersebut, Informasi yang dipertukarkan tidak boleh dialihkan, atau
dibuka kepada pihak ketiga, atau menggunakannya untuk kebutuhan administratif,
investigatif, penuntutan, atau pun proses di pengadilan tanpa ada persetujuan
sebelumnya oleh FIU yang memberikan informasinya.

PRINSIP-PRINSIP PERTUKARAN INFORMASI

Piagam Egmont telah menggariskan prinsip-prinsip dalam pertukaran informasi bidang


intelijen keuangan antar FIU di dunia.

Secara prinsip didorong bahwa pertukaran informasi antara FIU harus dapat dilakukan
dengan bebas dan sejalan dengan dasar resiprokalitas atau konsensual bersama serta
konsisten dengan prosedur. Pertukaran informasi tersebut harus dikendalikan dengan
ketat dan berlapis, untuk memastikan informasi digunakan dengan cara yang
diperbolehkan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan di masing-
masing negara mengenai perlindungan dan privasi data. Semua anggotaThe Egmont
Group membantu perkembangan kerjasama dan pertukaran informasi seluas mungkin
dengan FIU-FIU lain atas dasar prinsip timbal balik atau kesepakatan bersama, dan
dengan mengikuti aturan-aturan dasar yang ditetapkan dalam prinsip-prinsip untuk
pertukaran informasi intelijen keuangan diantara FIU yaitu:

1. Pertukaran informasi bebas untuk tujuan analisis pada tingkatan FIU;


2. Tidak ada penyebaran atau penggunaan informasi untuk tujuan lain tanpa persetujuan
terlebih dahulu dari FIU yang memberikan;
3. Perlindungan atas kerahasiaan informasi tersebut.

JENIS-JENIS PERTUKARAN INFORMASI

Dalam melaksanakan pertukaran informasi, FIU dapat melakukan dua bentuk pertukaran
informasi yang digunakan.

Terdapat dua bentuk jenis pertukaran informasi yang dilakukan oleh FIU dalam
kerjasama internasional:

1. Berdasarkan permintaan (inquiry)


FIU mengirimkan permintaan data kepada FIU lain berdasarkan nama dan tanggal lahir
(perseorangan) dan nama perusahaan (badan hukum).

2. Berdasarkan penyampaian secara spontan (spontaneous)


FIU mengirimkan data ke FIU lain apabila dalam database FIU tersebut terdapat nama
orang/perusahaan yang sedang diselidiki oleh Negara yang bersangkutan.

4. Mutual Evaluation

Mutual Evaluation
Untuk memastikan suatu negara telah patuh dalam mengimplementasikan
Rekomendasi FATF.

Mutual Evaluation adalah sebuah proses peninjauan atau pemeriksaan dokumen serta
kunjungan ke suatu negara (on-site visit) terhadap kepatuhan standar Internasional
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta tindak
pidana pendanaan terorisme.
40 Rekomendasi FATF
Metodelogi 40 Rekomendasi FATF

Dalam hal ini bertujuan untuk melihat pelaksanaan Rekomendasi FATF apakah telah
diterapkan secara efektif dan berlanjut di negara yang bersangkutan. Peninjauan ini
dilakukan oleh negara lain atau organisasi internasional [Asia Pacific Group on Money
Laundering (APG),International Monetary Fund (IMF) dan/atau World Bank].

FATF 4th Round Procedures

REKOMENDASI FATF

Suatu standar internasional yang mengatur tentang kejahatan pencucian uang dan
pendanaan terorisme.

Setahun pasca pembentukannya, pada bulan Juli 1990, FATF mengeluarkan laporan
yang meliputi 40 (empat puluh) rekomendasi, yang secara komprehensif menyediakan
rencana aksi yang diperlukan guna memerangi pencucian uang. Sejak itu kemudian
FATF dikenal sebagai penentu standar internasional dalam melawan kejahatan
pencucian uang.

Pada tahun 2012 keluar kebijakan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan 40+9
FATF Recommendations menjadi FATF New 40 Recommendations. Metodologi mutual
evaluation terhadap Rekomendasi FATF dapat dilihat pada link berikut.

Rekomendasi FATF 40+9

PROSES MUTUAL EVALUATION

Langkah-langkah dalam pelaksanaan proses persiapanmutual evaluation di suatu


negara.

Proses mutual evaluation dalam suatu negara dapat dilihat sebagai berikut:

A. PERSIAPAN PRE-MUTUAL EVALUATION

Enam bulan sebelum on-site visit dilakukan kontak dengan negara yang akan dievaluasi
dan negara tersebut diminta mengisi kuesioner dan memberikan dokumen-dokumen
yang dibutuhkan terkait pelaksanaan rekomendasi FATF. Kemudian 4 bulan sebelum on-
site visit dilakukan dilakukan penilaian teknikal terkait doukumen-dokumen yang
diberikan.
Tiga bulan sebelum on-site visit tim evaluator akan menghasilkan draft pertama Mutual
Evaluation Report terkait penilaian teknikal. Satu bulan sebelum on site maka evaluator
akan menentukan prioritas hal-hal yang akan dilakukan dalam on-site visit. Kemudian
menjelang on-site visit akan dilakukan revisi terhadap draft pertama Mutual Evaluation
Report berdasarkan tanggapan negara yang bersangkutan.

Kegiatan On-site visit biasanya berlangsung 14 hari dimana evaluator akan berkunjung
ke instansi pemerintah terkait serta penyedia jasa keuangan. Tujuan on-site visit adalah
untuk melihat efektifitas dari pelaksanaan rekomendasi FATF.

B. FINALISASI MUTUAL EVALUATION

Enam minggu setelah on-site visit maka evaluator akan mengeluarkan Mutual
Evaluation Report yang berfokus pada efektifitas bukan teknikal yaitu bukan berisi
evaluasi terhadap ketentuan dan kebijakan yang telah dikeluarkan, namun berisi
terhadap hasil observasi evaluator terhadap efektifitas pelaksanaan rekomendasi FATF
yang diketahui pada saat on-site visit.

Negara yang dievaluasi masih dapat mengajukan tanggapan dan sanggahan sampai 12
Minggu setelah on site visit dimana draft kedua akan diberikan yang akan mencakup
teknikal dan efektifitas. 16 minggu setelah on site visit maka apabila masih terdapat
perbedaan antara negara yang dievaluasi dengan evaluator akan dilakukan
teleconference. 19 minggu setelah on-site Mutual Evaluation Report akan difinalisasi.

Apabila negara yang dievaluasi masih terdapat sangggahan, maka sanggahan tersebut
akan disampaikan pada Plennary Meeting. Dalam Plennary Meeting maka laporan
tersebut akan diadopt.

C. PEMANTAUAN HASIL MUTUAL EVALUATION

Setelah diadopsi maka seluruh kekurangan yang disampaikan oleh evaluator akan
dipantau oleh negara lain yang dievaluasi setiap plenary meeting. Apabila negara yang
dievaluasi tidak mau memperbaiki kekurangan yang disampaikan dalam laporan
tersebut, maka FATF/FSRB berdasarkan persetujuan anggotanya dapat mengenakan
sanksi kepada negara tersebut.

KEPATUHAN INDONESIA TERHADAP REKOMENDASI DAN SANKSI FATF


Sebagai bagian dari komunitas finansial dunia, maka Indonesia berusaha untuk
memenuhi Rekomendasi FATF

1. SEJARAH KEPATUHAN INDONESIA TERKAIT REKOMENDASI FATF

Pada tahun 2001 Indonesia dimasukan ke dalamNon Cooperative Countries and


Territories (NCCTs) List. Hal ini terutama disebabkan karena Indonesia pada saat itu
belum mengkriminalisasi pencucian uang, belum adanya FIU serta belum sesuai
ketentuan pengenalan nasabah maupun permintaan bantuan hukum (MLA) dengan
rekomendasi FATF. Untuk itu Indonesia telah mengundangkan UU PPTPPU pada tahun
2002 dan 2003 dan peraturan pelaksanaan lainnya, sehingga akhirnya pada tahun 2005
dikeluarkan dari NCCTs List. Namun pada tahun 2012, Indonesia dimasukan kembali
oleh FATF ke dalam Public Statement. Hal ini terutama disebabkan karena Indonesia
belum melakukan pembekuan serta merta terhadap orang atau entitas yang terdapat
dalam list UNSCR 1267. Untuk itu Indonesia telah mengundangkan UU PPTPPT pada
tahun 2013 dan peraturan pelaksanaan lainnya sehingga akhirnya dikeluarkan dari FATF
Public Statement pada 2015.

2. SANKSI TERKAIT REKOMENDASI FATF

Apabila suatu negara tidak melaksanakan Rekomendasi FATF maka FATF dapat
mengenakan sanksi counter measure kepada negara yang bersangkutan. Counter
Measure mencakup pelaksanaan Enhanced Due Dilligenceterhadap transaksi dari dan ke
negara yang bersangkutan, melarang pendirian cabang lembaga keuangan negara
tersebut di negara lain serta (yang paling maksimal) mencegah transaksi dari dan ke
negara tersebut. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian
negara yang bersangkutan. Daftar negara yang dikenakan sanksi juga dipublikasi secara
terbuka di website FATF.

3. PEMENUHAN REKOMENDASI FATF TERBARU

Rekomendasi FATF terbaru pada initnya mengubah paradigma pencegahan dan


pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dimana yang
sebelumnya berdasarkan rule-based menjadirisk-based. Hal ini berdasarkan asumsi
bahwa tidak mungkin suatu negara mencegah dan memberantas seluruh tindak
pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga perlu di prioritaskan pada
risiko tertinggi. Saat ini Indonesia sudah menyelesaikan National Risk Assesment yang
menyatakan tindak pidana dengan ancaman tertinggi terkait Pencucian Uang adalah
Narkoba, Korupsi dan Pajak serta Pihak Pelapor dengan kerentanan tertinggi terkait
pencucian uang adalah Bank, Perusahaan Sekuritas, Pedagang Properti dan Dealer
Kendaraan Bermotor. Untuk itu saat ini, pemerintah sedang melakukan koordinasi agar
pencegahan dan pembertasan tindak pidana diprioritaskan pada ancaman dan
kerentanan tertinggi tersebut.

Selain itu masih terdapat pula kekurangan teknis terkait dengan pembekuan proliferasi,
pengaturan Non Profit Organization danBeneficial Ownership. Untuk itu pemerintah
saat ini berusaha untuk mengeluarkan peraturan terkait ketiga hal tersebut sebelum
dilakukan evaluasi tahun 2017.

5. Asset Recovery

Asset Recovery
Salah satu tujuan akhir dalam penegakan hukum khususnya bidang tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme adalah pengembalian aset
kepada negara.

Dengan telah terjadinya globalisasi maka untuk kepentingan melacak, mengejar dan
merampas uang hasil tindak pidana yang telah dibawa lari atau ditransfer ke luar negeri,
maka pemulihannya dapat dilakukan dalam rangka pengembalian aset (asset recovery).

PPATK sebagai anggota The Egmont Group yang merupakan wadah FIU sedunia
mempunyai akses untuk melacak jalur uang atau mencari alat bukti lainnya di negara-
negara anggota The Egmont Group tersebut. Lebih jauh PPATK dapat menyediakan
informasi mengenai assets tracing, jumlah, identitas pemilik dan linkage dari pelaku
pidana pemilik uang yang dilarikan ke luar negeri melalui jasa penyediaan keuangan.

TAHAPAN PENGEMBALIAN ASET

Tahapan pengembalian aset terdiri atas pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan


pengembalian aset.

1. PELACAKAN ASET

Pelacakan aset merupakan tahap awal dari upaya pengembalian aset. Dalam proses ini
melibatkan beberapa instansi seperti Kejaksaan Agung RI, Kementerian Hukum dan
HAM RI, Kementerian Luar Negeri RI dan Kepolisian RI.

Setelah berhasil diidentifikasi adanya aset milik pelaku tindak pidana di luar negeri maka
pengembalian bukti dan aset dapat dilakukan dengan Mutual Legal Assistance.
Penelusuran aset melalui jalur FIU tentunya sangat membantu aparat penegak hukum
dalam proses pengumpulan alat bukti untuk kepentingan proses persidangan maupun
pada waktu permintaan pengembalian aset yang berada di luar negeri.

PPATK dalam upaya mengembalikan dan memulihkan aset terkait kasus Bank Century
berperan cukup signifikan dalam menelusuri transaksi keuangan yang dilarikan ke luar
negeri serta melacak keberadaan aset itu. Sebagai anggota dalam Tim Asset
RecoveryKasus Bank Century, PPATK selaku FIU Indonesia berkolaborasi dengan FIU di
manca negara melalui payung The Egmont Group dan kerjasama bilateral dalam
pertukaran informasi intelijen keuangan dengan berbagai FIU di negara-negara terduga
aset tersimpan. Informasi yang diperoleh dari berbagai FIU tentang keberadaan aset
kasus Bank Century disampaikan dalam Tim yang kemudian dilakukan mekanisme
formal untuk mengembalikan aset melalui proses Mutual Legal Assistance.

2. PEMBEKUAN ASET

Setelah aset ditemukan maka pemerintah dapat meminta negara asing untuk
melakukan pembekuan aset. Dalam hal ini beberapa FIU yang memiliki peran sebagai
penegak hukum dapat menerima permintaan pembekuan tersebut berdasarkan
permintaan dari PPATK, sedangkan untuk FIU yang bersifat administratif maka
pembekuan aset harus dilakukan dengan mengirimkan Mutual Legal Assistance
atauLetter Rogatory (surat permintaan resmi dari pengadilan negeri di Indonesia kepada
pengadilan negara lain untuk beberapa tipe bantuan hukum). Namun demikian dalam
beberapa kasus, beberapa FIU secara spontan melakukan pembekuan dan mengirimkan
informasi kepada PPATK.

3. PENYITAAN ASET

Merupakan proses hukum dimana aset yang telah dilakukan, kemudian disita oleh
pemerintah asing untuk dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Umumnya hal ini
membutuhkan persetujuan dari pengadilan di negara lain, dimana pemerintah RI
memberikan bukti bahwa harta yang bersangkutan berasal dari tindak pidana. Dalam
beberapa kasus tertentu pemerintah mengajukan gugatan perdata agar harta tersebut
bisa disita.

4. PENGEMBALIAN ASET

Tidak ada prosedur standard dalam proses pengembalian aset. Salah satu permasalahan
dalam pengembalian aset adalah harta yang dimiliki oleh yang bersangkutan tercampur
dengan pihak ketiga. Sebagai contoh : pihak yang melakukan tindak pidana juga
memiliki tagihan pada pihak lain yang harus dibayarkan, untuk itu pengembalian aset
dilakukan dengan melihat kondisi per kasus. Dalam beberapa kasus, bank dunia
bertindak sebagai pihak ketiga untuk memastikan harta yang dikembalikan akan
digunakan untuk pembangunan seperti dalam kesehatan dan pendidikan.

KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENGEMBALIAN ASET

Kerjasama internasional meliputi penggunaan instrumen internasional, Mutual Legal


Assistance, Ekstradisi dan bentuk kerjasama lainnya.

1. INSTRUMEN INTERNASIONAL

Setiap negara harus menjadi bagian dan mengimplementasikan Vienna Convention


1988, Palermo Convention 2000, Merinda Convention 2003 dan Terrorist Financing
Convention 1999. Dengan menjadi bagian dan mengimplementasikan konvensi-
konvensitersebut, maka tiap negara bisa melakukan kerjasama dengan mengacu pada
ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut.

2. MUTUAL LEGAL ASSISTANCE

Negara harus melakukan permintaan bantuan secara maksimal kepada pemerintah


asing dan sebaliknya memberikan bantuan kepada pemerintah asing yang meminta
bantuan kepada pemerintah Indonesia. Dalam rangka permintaan bantuan
dalam mutual evaluation, tidak dapat diterima apabila suatu negara memberikan alasan
sedikit melakukan permintaan bantuan karena tidak adanya kasus. Rekomendasi FATF
meminta permintaan bantuan dilakukan apabila terdapat reasonable ground aset
tersangka berada di negara lain. Permintaan bantuan harus juga dapat dilakukan
terhadap permintaan yang berasal dari Non Conviction Based dimana orang yang
diminta asetnya untuk dibekukan/dirampas belum terbukti melakukan
tindakan pidana, namun berdasarkan penyelidikan harta tersebut tidak dapat
dibuktikan oleh yang bersangkutan bukan berasal dari tindak pidana. Hal lain setiap
negara perlu juga memberikan bantuan pembekuan aset yang merupakan milik yang
bersangkutan sebagai uang pengganti.

3. EKSTRADISI

Setiap negara harus dapat mengekstradisi tersangka berdasarkan permintaan negara


asing. Dalam rekomendasi FATF bahkan setiap negara harus memiliki simplified
procedureterkait ekstradisi dalam kasus yang membutuhkan tindakan yang cepat.

4. PERMINTAAN BANTUAN LAINNYA


Permintaan dapat dilakukan oleh FIU (melalui The Egmont Group), Polisi (melalui
interpol), Kejaksaan (melalui Asset Recovery Interagency Network - Asia Pacific / ARIN -
AP) danregulator. Permintaan tersebut harus dilakukan secara maksimal terutama
apabila terdapat indikasi TPPU dan TPPT baik dalam tahap pelacakan, pembekuan,
penyitaan maupun pengembalian aset.

EFEKTIFITAS KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENGEMBALIAN ASET

Efektifitas dalam Pengembalian Aset terdiri atas pemberianMutual Legal Assistance


(MLA), permintaan MLA, serta permintaan dan pemberian bantuan bentuk kerjasama
lainnya.

1. PEMBERIAN MLA

Setiap negara harus memberikan bantuan hukum dalam MLA apabila diminta negara
lain. Rekomendasi FATF melarang adanya persyaratan dual criminality untuk menolak
pemintaan bantuan hukum dalam bentuk MLA. Untuk itu setiap negara harus
memberikan contoh bantuan kepada negara asing mulai dalam bentuk pelacakan aset
secara spontan, pembekuan aset milik WNA, penyitaan aset dan pengembalian aset ke
negara peminta bantuan. Hal tersebut harus pula dibuktikan dengan statistik pemberian
MLA termasuk jangka waktu permintaan bantuan tersebut dapat dipenuhi.

2. PERMINTAAN MLA

Setiap negara harus secara maksimal melakukan permintaan bantuan hukum kepada
negara lain dalam bentuk MLA. Berbeda dengan Pemberian MLA, efektifitas dibuktikan
dengan statistik permintaan MLA kepada negara lain, bukan dengan jumlah permintaan
yang ditindaklanjuti negara lain. Hal ini karena apabila negara lain tidak merespon MLA
maka negara tersebut akan mendapat penilaian yang buruk dari FATF. Efektifitas juga
dibuktikan dengan permintaan MLA terkait dengan tindak pidana pencucian uang baik
dalam bentuk self laundering, third party laundering, foreign predicate crime dan
pendanaan terorisme, sehingga tidak hanya permintaan bantuan terkait tindak pidana
asal. Jumlah permintaan harusnya akan lebih banyak ditujukan kepada negara tetangga
dan negara yang tergolongfinancial center.

3. PERMINTAAN DAN PEMBERIAN BANTUAN BENTUK KERJASAMA LAINNYA

MLA merupakan jalur resmi dalam permintaan bukti maupun pengembalian aset dari
negara lain. Namun efektifitas juga akan dilihat dari permintaan atau pemberian
informasi terkait tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme melalui jalur
lainnya seperti Egmont. Interpol, ARIN dan antar regulator. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa hal MLA memerlukan proses yang rumit dan panjang, sehingga agar
pengembalian aset dapat dalam dilakukan secara efektif, setiap negara harus pula
berusaha menggunakan jalur lain. Terutama terkait pendaan terorisme yang
memerlukan penanganan yang cepat dapat ditempuh jalur pembekuan aset sesuai
dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 dan 1373. Selain itu hal ini
menunjukan pula bahwa setiap instansi harus pula memprioritaskan
pengembalian aset tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme tidak hanya menjadi prioritas central authority.

Anda mungkin juga menyukai