Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Money Laundering

Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni “money laundering”. Jika melihat pengertian
money laundering yang diartikan secara terpisah akan mendapatkan kata money dan laundering. Kata
Money laundering jika digabungkan akan menjadi suatu istilah dan akan memperoleh pengertian
sebagai kata kerja (verb) yaitu “Pencucian Uang” yang diartikan lebih luas lagi adalah uang yang telah
dicuci, dibersihkan, atau diputihkan.

Pencucian uang atau money laundering menurut S.R. Sjahdeini memberikan pengertian yaitu rangkaian
kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram,
yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap
tindak pidana, dengan cara lain dan terutama memasukkan uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan
dari system keuangan itu sebagai uang yang halal.

Sedangkan menurut Black Law Dictionary pencucian uang (money laundering) diartikan sebagai istilah
yang digunakan untuk menjelaskan investasi atau transfer uang hasil dari korupsi, transaksi obat bius,
dan sumber-sumber ilegal lainnya ke dalam saluran yang legal/sah sehingga sumber yang aslinya tidak
dapat ditelusuri. M. Giovanoli dari Bank for International Settlement mengatakan bahwa pencucian
uang merupakan salah satu proses, yang dengan cara itu aset terutama aset tunai yang diperoleh dari
tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut seolah-olah dari sumber yang
sah.

FATF merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-
asul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan jejak sehingga memungkinkan
pelakunya menikmati keuntungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan.
Penjualan senjata secara ilegal, penyelundupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya
perdagangan obat dan prostitusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak. Penggelapan,
“perdagangan orang dalam” (insider trading), penyuapan, dan bentuk penyalahgunaan komputer dapat
juga menghasilkan keuntungan yang besar dan menimbulkan dorongan untuk menghalalkan (legitimise)
hasil yang diperoleh melalui money laundering

Secara umum pencucian uang dapat dirumuskan sebagai suatu proses dimana seseorang
menyembunyikan penghasilannya yang berasal dari sumber ilegal dan kemudian menyamarkan
penghasilan tersebut agar tampak legal. Dengan perkataan lain perumusan tersebut berarti suatu proses
merubah uang haram (dirty money) atau uang yang diperoleh dari aktivitas ilegal menjadi halal
(legimate money).

Terdapat bermacam-macam pengertian tentang money loundering , namun semua tetap dalam satu
tujuan untuk menyatakan bahwa money laundering merupakan salah satu jenis kejahatan yang
potensial dalam mengancam berbagai kepentingan baik dalam skala nasional maupun internasional.
Money laundering merupakan sebuah istilah yang kali pertama digunakan di Amerika Serikat. Istilah
tersebut menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap
yang dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah-olah diperoleh dari sumber
yang sah. Singkatnya, istilah money laundering kali pertama digunakan dalam konteks hukum dalam
sebuah kasus di Amerika Serikat pada tahun 1982. Kasus tersebut menyangkut denda terhadap
pencucian uang hasil penjualan kokain Colombia. Dalam perkembangannya, proses yang dilakukan lebih
kompleks lagi dan sering menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah-olah uang yang
diperoleh benar-benar alami.

B. Sejarah Munculnya Money Laundering

Secara historis istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika
Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya.
Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat yang ketika itu
terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian itu berkembang maju, dan berbagai perolehan uang hasil
kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke usaha pencucian pakaian ini, seperti uang
hasil minuman keras illegal, hasil perjudian, dan hasil usaha pelacuran.

Istilah pencucian uang dibawa ke jenjang internasional melalui pemberlakuan Konvensi PBB melawan
Pengedaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (selanjutnya disebut Konvensi Wina PBB 1998). Konvensi
ini merekomendasi para pihak untuk mengkriminalisasi praktik pencucian uang dan pengedaran
narkoba. Konvensi ini diakui sebagai langkah terpenting internasionalisasi dan kriminalisasi dalam
merespon kegiatan pencucian uang. Konvensi ini juga memainkan peran signifikan dalam
memperkenalkan konsep pencucian uang ke seluruh dunia. Dari inisiatif internasional ini, istilah
pencurian uang menyebar ke seluruh dunia melalui legislasi dan regulasi domestik negara masing-
masing.

Setiap negara memiliki unsur-unsur actus reus dan mens rea tindak pidana pencucian uang yang serupa
bahkan identik, namun mereka memiliki tindak pidana asal yang berbeda yang mendasari tindak pidana
pencucian uang berdasarkan pendekatan yang mereka terapkan. Ini bisa terjadi karena tiap-tiap negara
mempertimbangkan bermacam urusan dalam negerinya. Selain itu, tiaptiap negara juga memiliki
kemampuan berbeda dalam membuktikan keterkaitan antara pencucian uang dan tindak pidana
asalnya.

Pada Tanggal 17 April 2002, merupakan hari yang bersejarah bagi Indonesia, karena pada saat itu
disahkannya Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang
setahun kemudian tepatnya pada tanggal 13 Oktober 2003 diubah dengan adanya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Undang-undang tersebut merupakan desakan internasional terhadap Indonesia
antara lain dari Financial Action Task Force (FATF), badan internasional di luar PBB . Anggotanya terdiri
dari negara donor dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencucian uang.
Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17 negara lainnya diancam sanksi internasional. Pada 23
Oktober 2003, FATF, di Stockholm, Swedia, menyatakan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif
dalam pemberantasan pencucian uang. Negara Cook Islands, Mesir, Guatemala, Myanmar, Nauru,
Nigeria, Filipina dan Ukraina masuk kategori sama.

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nation
Convention Against Illucit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998 (Konvensi 1998).
Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya.
Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002, namun penerapannya kurang, sehingga
akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi
pencucian uang. Antara lain karena menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, korupsi
yang merajalela, maraknya kejahatan narkotik, dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian
Indonesia dalam keadaan yang tidak baik, sehingga ada kecenderungan akan menerima dana dari mana
pun untuk keperluan pemulihan ekonomi.

Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and Territories sesuai dengan
rekomendasi (NCCT’s) dari Financial Actions Task Force on Money Laundering. Bahwa setiap transaksi
dengan perorangan maupun badan hukum yang berasal dari negara NCCT‟s harus dilakukan dengan
penelitian seksama. Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan mengesahkan UU No.
25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
mendirikan PPATK, mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional,
akhirnya membuahkan hasil. Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s setelah dilakukan
formal monitoring selama satu tahun. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2010, DPR bersama
Presiden menyepakati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantsan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya Undang-Undang ini, bertujuan agar tindak pidana pencucian
uang dapat dicegah dan diberantas.

C. Objek dan Tujuan Money Laundering

Objek dari Pencucian Uang menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya Dirty
money atau “uang kotor” atau “uang haram”. Menurut Welling, uang dapat menjadi kotor dengan dua
cara, cara pertama ialah melalui pengelakan pajak (tax evasion). Yang dimaksud dengan “pengelakan
pajak” ialah memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah
untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh. Cara yang kedua
ialah memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum.

Pencucian uang dapat dilakukan untuk berbagai tujuan diantaranya :


1. Menyembunyikan uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan. Hal ini bertujuan
agar uang atau kekayaan tersebut tidak dipermasalahkan secara hukum dan tidak disita oleh
pihak yang berwajib atau juga agar tidak dicurigai banyak orang.
2. Menghindari penyelidikan dan/atau tuntutan hukum. Pelaku kejahatan ingin melindungi atau
menghindari tuntutan hukum dengan cara “menjauhkan” diri mereka sendiri dari uang atau
harta kekayaan, misalnya dengan menyimpannya atas nama orang lain.
3. Meningkatkan keuntungan. Pelaku kejahatan bisa saja mempunyai beberapa usaha lain yang
legal. Seringkali, uang hasil kejahatan disertakan ke dalam perputaran usaha-usaha mereka
yang sah tersebut. Akibatnya, uang hasil kejahatan bisa melebur ke dalam usaha atau bisnis
yang sah, menjadi lebih sulit terdeteksi sebagai hasil kejahatan, dan juga dapat meningkatkan
keuntungan bisnis yang sah tersebut.

D. Tahap-Tahap Proses Money Laundering

Terdapat beberapa tahapan dalam proses pencucian uang, tahapan tersebut antara lain:
1. Placement (penempatan)

Pada tahap penempatan bentuk uang dirubah karena sebagian besar aktivitas kejahatan modern
bergantung pada uang tunai sebagai alat pertukaran utama, mekanisme penempatan biasanya
melibatkan pengubahan mata uang menjadi bentuk lainnya, contohnya sejumlah besar uang tunai yang
diterima oleh penjual narkoba didepositokan dalam transaksi berulang dalam rekening bank, sehingga
bentuk uang itu satu langkah lebih jauh dari asal ilegalnya semua uang tunai sekarang telah menjadi
suatu bagian elektronik dalam lautan uang .
2. Layering (penyelubungan, pelapisan)

Setelah pencucian uang berhasil melakukan tahap placement, tahap berikutnya adalah layering atau
disebut pula haevy soaping. Dalam tahap ini pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan uang
hasil kejahatan itu dari sumbernya. Adapun hal itu dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut
dari satu bank ke bank yang lain dan dari negara yang satu ke negara yang lain sampai beberapa kali,
yang sering kali pelaksanaannya dilakukan dengan cara memecah-mecah jumlahnya, sehingga dengan
pemecahan dan pemindahan beberapa kali itu asal-usul uang tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak
oleh otoritas moneter atau oleh para penegak hukum.
3. Integration (pengintegrasian)

Dalam tahap ini dapat dikatakan juga bahwa pelaku menggabungkan dana yang baru dicuci dengan dana
yang berasal dari sumber yang sah sehingga lebih sulit untuk memisahkan keduanya. Setelah mencapai
tahap ini, pelaku kejahatan bebas menggunakan dana tersebut dengan berbagai cara. Hasil kejahatan ini
bisa diinvestasikan kembali kedalam kegiatan kriminal dan kemudian digunakan untuk melakukan
kejahatan lain seperti terorisme. Dana ilegal juga dapat digunakan untuk berinvestasi dalam
perekonomian yang sah.
E. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

Asal muasal money laundry dilakukan oleh organisasi kriminal yang sering dikenaldengan sebutan mafia.
Money laundry biasanya dilakukan atas beberapa alasan, sepertikarena dana yang dimiliki adalah hasil
curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal padasindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan
pajak, dan sebagainya. Atashal tersebut maka uang tersebut harus “dicuci” atau ditransaksikan ke pihak
ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat
diterimakembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal.Untuk
itu, perlu diperketat mengenai pengawasan aliran dana baik asal usul sumbernyamaupun tujuan dana
pemakaian dana tersebut. Tujuannya adalah tidak lain untuk memutusdan mencegah rantai aliran dana
yang tidak jelas tersebut yang akan “dicucikan” oleh pemiliknya.

Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an,
jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk Qdalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan
praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky.
Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan
pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain
jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak,
tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan
berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti
layanan nomor rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun
1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi
sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi. Beberapa bank
di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan
dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang.

Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian uang ini sebagai suatu tindak pidana
dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act. (1986), yang kemudian diikuti dengan The
Annunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Sedangkan pemerintah Republik
Indonesia baru mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan
mngeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari
desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Berdasarkan putusan dari
Financial Action Task Force (FATF), suatu satuan tugas yang dibentuk oleh Negara-negara G-7 pada
tahun 1998, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang dikategorikan sebagai Non-
Cooperative Countries and Territories (NCTTs) Adapun ancaman sanksi yang diberikan oleh FATF
diantaranya adalah Bank-bank internasional akan memutuskan hubungan dengan bank-bank Indonesia,
Negara-negara lain akan menolak Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh Indonesia dan Lembaga-
lembaga keuangan Indonesia akan dikenakan biaya tinggi (risk premium) terhadap setiap transaksi yang
dilakukan dengan lembaga-lembaga keuangan luar negeri. Ancaman sanksi ini merupakan yang kedua
kalinya bagi negara Indonesia. Ancaman sanksi yang pertama diberikan pada tahun 2001 dimana dari
hasil evaluasi terhadap tingkat kepatuhan atas 40 rekomendasi FATF, Indonesia dimasukkan ke dalam
daftar NCTTs. Saat itu FATF menyorot beberapa kelemahan pada negara Indonesia untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang, yakni tidak adanya undang- undang yang menetapkan
money laundering sebagai tindak pidana; tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer) untuk lembaga keuangan non-bank; rendahnya kualitas SDM dalam penanganan kejahatan
pencucian uang, dukungan para ahli dan kurangnya kerjasama internasional.

Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang (moneylaundering) sudah merupakan fenomena
dunia dan tantangan internasional.Kegiatan money laundering ini telah menjadi transnational crime
karena prosesnya tidak hanya dilakukan di dalam suatu negara melainkan telah melewati batas-batas
negara (crossborder). Pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan sejauh mungkin dari sumbernya
agar tidak mudah terlacak oleh penegak hukum negara yang bersangkutan.

Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang sedemikian rupa, namun sampai saat ini
tidak ada atau belum ada suatu definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud
dengan pencucian uang atau money laundering ini. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan,
kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan negara-negara dunia ketiga,
dan lembaga-lembaga internasional lainnya masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan
prioritas dan perspektif yang berbeda.

Dalam perkembangannya, kasus money laundry tidak hanya melibatkan lembagakeuangan, badan
hukum, atau lembaga yang lainnya. Namun parahnya, saat ini kasusmoney laundry sudah mulai
merambah atau melibatkan lembaga keagamaan yang menurutorang-orang merupakan tempat yang
suci dan sakral seperti masjid, gereja, pura, danwihara. Mereka tidak mengecek dari mana asal uang
tersebut, yang penting diberikan ketempat suci tersebut. Tetapi sadarkah kita bahwa bisa saja tempat
ibadah kita yang katanya"suci" itu menjadi tempat pencucian uang para koruptor di negeri ini? Ini
merupakan salahsatu fakta yang menunjukkan bahwa money laundry sudah tidak mengenal tempat
yangakan dituju untuk mencuci dana. Entah itu tempat suci atau bukan, seolah-olah dihalalkanoleh para
pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku money laundry memiliki perilakumoral yang parah dan
tidak beretika, seolah-olah mereka buta karena dana tersebut.

Perkembangan Tindak pidana pencucian uang ini menimbulkan kekhawatiran internasional sebab
dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian terutama dunia bisnis karena perputaran
dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain dan bahkan dari satu
atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Masyarakat dunia pada umumnya berpendapat bahwa
kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan atau oleh para penjahat
sangat merugikan masyarakat.

F. Dampak Money Laundering Terhadap Sektor Perekonomian Dan Bisnis

Pada dasarnya tindak pidana pencucian uang tidak merugikan seorang atau perusahaan tertentu secara
langsung. Sepintas lalu tampaknya tindak pidana pencucian uang tidak ada korbannya. Pencucian uang
tidak seperti halnya dengan perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang
menimbulkan kerugian bagi korbannya. Pencucian uang, menurut Billy Steel, merupakan “it seem to be
a victimless crime”.

pencucian uang (money loundering) dapat membahayakan kinrja ekonomi nasional dan sistem
keuangan internasional serta lebih jauh lagi akan berdampak terhadap penurunan angka pertumbuhan
ekonomi dunia. Hal senada juga dikemukakan oleh Yunus Husein. Manurut Yunus Husein, secara makro,
money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapatan negara dan
meningkatnya country risk, sementara secara mikro akan menimbulkan high cost economy dan
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Dalam makalahnya pada bulan Mei 2001, John McDowell dan Gary Novis dari Bureau of International
Narcotics and Law Enforcement Affairs US Department of State, mengemukakan berbagai dampak
tindak pidana pencucian uang terhadap sector perekonomian dan bisnis. Mereka mengemukakan
dampak-dampak tindak pidana pencucian uang itu sebagai berikut :

a. Merongrong sektor bisnis swasta yang sah (undermining the legitimate private bussines sector)
Salah satu dampak mikro ekonomi dari tindak pidana pencucian uang terasa di sektor
swasta. Para pencuci uang sering menggunakan perusahaan-perusahaan (front companies)
untuk mencampur uang haram dengan uang yang sah, dengan maksud untuk menyembunyikan
uang hasil kegiatan kejahatannya. Misalnya saja di AS, kejahatan terorganisasi (organized crime)
menggunakan took-toko pizza untuk menyembunyikan uang hasil perdagangan
heroin.Perusahaan-perusahaan front companies tersebut mempunyai akses kepada dana-dana
haram yang besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka mensubsidi barang-barang dan jasa
yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut sehingga barang-barang dan jasa itu bisa
dijual jauh dibawah harga pasar. Hal ini dapat mengakibatkan terpukulnya bisnis yang sah
karena tidak dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan tersebut dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang sah tersebut gulung tikar.
b. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (undermining the integrity of financial market)
Lembaga-lembaga keuangan yang mengandalkan kegiatannya pada dana yang bersumber dari
hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas.Uang dalam jumlah besar yang dicuci dan
baru saja ditempatkan pada sebuah bank dapat tiba-tiba menghilang dari bank tersebut tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu karena dengan tiba-tiba dipindahkan oleh pemiliknya melalui
internet transfer. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan masalah likuiditas yang serius bagi
lembaga keuangan yang bersangkutan.
c. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (Loss of control
of economic policy)
Tindak pidana pencucian uang dapat pula menimbulkan dampak yang tidak diharapkan
terhadap nilai mata uang dan tingkat suku bunga. Hal itu terjadi karena setelah pencucian uang,
para pencuci lebih suka menanamkan dana-dana tersebut di negara-negara dimana kegiatan
mereka itu kecil sekali kemungkinannya untuk dapat dideteksi. Karena preferensi para pencuci
uang yang demikian itu, maka pencucian uang dapat meningkatkan ancaman ketidakstabilan
moneter. Singkatnya, tindak pidana pencucian uang dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan terhadap jumlah permintaan uang (money demand) dan meningkatkan
volatilitas dari arus modal internasional, bunga dan nilai tukar mata uang yang tidak dapat
dijelaskan apa penyebabnya. Kejadian-kejadian seperti ini berakibat lebih lanjut kepada
lepasnya kendali pemerintah terhadap kebijakan perekonomian negara.

d. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic distortionand instability)


Para pencuci uang tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan dari investasi-investasi mereka,
tetapi mereka lebih tertarik untuk melindungi hasil kejahatan yang mereka lakukan. Hal tersebut
karena hasil keuntungan yang mereka peroleh dari kegiatan kriminal sudah luar biasa besarnya.
Mereka tidak lagi mengharapkan keuntungan tambahan dengan menanamkan hasil kejahatan
itu di investasi-investasi yang memberikan return yang tinggi. Mereka lebih tertarik untuk
“menginvestasikan” dana-dana mereka di kegiatan-kegiatan yang aman bagi mereka dari
kejaran otoritas penegak hukum sekalipun secara ekonomis tidak menghasilkan return of
investment yang tinggi. Akibat sikap mereka yang demikian itu, pertumbuhan ekonomi dari
negara di mana investasi mereka itu dilakukan dapat terganggu.

G. Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Money Laundering di Indonesia

Indonesia merupakan surga bagi pelaku pencucian uang ( money laundering ). Halitu disebabkan, antara
lain, ketentuan deposito dari nasabah yang tidak boleh diusut asal-usulnya, belum adanya UU pencucian
uang dan kerahasiaan nasabah yang begitu ketat.Pada tanggal 19 Desember 1988, Indonesia telah
bergabung dengan organisasiinternasional yaitu United Nations Convention AgainstIllicit Traffic in
Narcotic Drugs andPsychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention dengan
komitmenuntuk memberantas kasus money laundry internasional. Kemudian Indonesia
mengambillangkah untuk pemberantasan kasus money laundry di dalam negeri dengan
menciptakanUndang-undang Nomor 7 tahun 1997. Indonesia juga menetapkan kegiatan pencucian uang
sebagai suatu tindak pidana dan mengambil langkah-langkah dengan membuat peraturan- peraturan
tertentu agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasi, melacak danmembekukan/menyita dana yang
tidak jelas asal usulnya.

Selain itu, Bank Indonesia juga memberikan langkah konkret dengan menerbitkanPeraturan Bank
Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles). Peraturan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah itu didasarkan pada Basle Committee on
Banking Regulation dalam CorePrinciples for Effective Banking Supervision, dimana penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah merupakan faktor yang penting dalam melindungi kesehatan bank, maka bank perlu
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah secara lebih efektif. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) tersebut juga didasarkan sebagaimana yangdikemukakan FATF untuk pencucian
uang, dimana Prinsip Mengenal Nasabah (KnowYour Customer Principles) merupakan upaya untuk
mencegah industri perbankandigunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang dilakukan
secara langsungmaupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan.
Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian
uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uangkerap kali digunakan untuk menutupi
hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-
Money Laundering Legal Regime Konvensiini mewajibkan negaranegara penandatangan menjadikan
pencucian uang sebagai suatutindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.Selanjutnya pada tahun
1998ddibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari
perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank
harus mengambil langkah-langkahyang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang
dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor:3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah
kedua kalidengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Walaupun secara de jure BI
telahmengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang PenerapanPrinsip
Pengenalan Nasabah, namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantastransaksi money
laundering.

Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keteranganmengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan,untuk penyelesaian piutang bank yang sudah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang danLelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secaratertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris
yang sah wajibdiberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi,
penerbitanPeraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi
pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitandengan
praktek pencucian uang.

Upaya pemerintah tidak hanya berhenti disitu saja. Pada tahun 2002, pemerintahmembuat Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang(Money Laundering) (selanjutnya
disebut “UUTPPU”) yang berlaku sejak diumumkan pada tanggal 17 April 2002. Hal tersebut dilakukan
untuk menanggapi keputusan FATFtanggal 22 Juni 2001, yang memasukkan Indonesia sebagai salah satu
negara diantara 15negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and teritories)
untuk memberantas aksi money laundring, sebagaimana terdapat dalam daftar yang dirilis olehFinancial
Actions Task Force on Money Laundring (FATF) yang merupakan satgas dariOrganization for Economic
Cooperation and Development (OECD). Dengan demikian,UUTPU ditujukan untuk mencegah dan
memberantas kejahatan dalam bentuk praktek pencucian uang di Indonesia. Tidak ada dalam Pasal-
Pasal UUTPU itu tidak membuat pengertian dari pencucian uang. Namun, dalam Penjelasan UUTPU
tersebut disebutkan, bahwa pencucian uang adalah “upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal usulharta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana.” Sementara itu, dalam Black’ s LawDictionary
disebutkan, bahwa pencucian uang disebutkan sebagai “Term used to describe invesment or other
transfer of money flowing from racketeering, drug transactio, and other illegal sources into legitimate
channels so that its original source cannot be traced".
Tindak pidana pencucian uang adalah upaya untuk menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang
merupakan hasil kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam sistem keuangan
agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi kelihatan legal. Oleh karena itu, agar hasil
kejahatan dapat menghasilkan keuntungan di sistem keuangan yang legal dan juga menjaga reputasi
atau status sosial seseorang atau suatu kelompok, para pelaku melakukan tindak pidana pencucian
uang.

Transaksi per-hari di pasar modal atau capital market di berbagai negara termasuk di Indonesia
mencapai triliunan rupiah. Sehubungan dengan itu, transaksi efek di pasar modal sangat komplek dan
juga volume perdagangan saham di pasar modal sangat besar. Akan tetapi transaksi jual beli efek di
pasar modal berlangsung sangat sederhana. Hal itu membuat pasar modal di Indonesia sangat rentan
terhadap tindak pidana pencucian uang.

“Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang sangat luar biasa, yang membahayakan
sistem keuangan bahkan mengancam stabilitas negara”, ujar Dr.Augustinus Hutajulu, S.H., C.N.,M.H.
saat ujian terbuka di ruang III.1.1 pada Jumat (5/8). Pendiri Firma Hukum Augustinus Hutajulu dan rekan
(AHRLAW) ini mempertahankan disertsinya yang berjudul “Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian
Uang di Pasar Modal Indonesia”.

Dalam disertasinya, Augustinus Hutajulu menjelaskan bahwa penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang di pasar modal Indonesia berjalan tidak efektif. Hal itu tidak hanya disebabkan oleh
aturan-aturan dalam undang-undang pasar modal yang ketinggalan dengan perkembangan zaman,
namun juga timbulnya modus-modus baru tindak pidana pasar modal maupun modus tindak pidana
pencucian uang .

Selain itu, perusahaan-perusahaan di pasar modal melibatkan para pakar ilmu hukum, maupun ilmu
ekonomi. “Kecanggihan mereka (para pakar-red) adalah sangat luarbiasa dan dalam melakukan
kejahatan sudah siap masuk penjara dan mengambil suatu sikap akan membuat cara yang baru supaya
meloloskan”, imbuh Augustinus. Selain itu, faktor penegak hukum yang terlalu dibatasi oleh aturan dan
adanya ego sektoral menambah ketidakefektifan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.

Lebih lanjut, dalam disertasinya Augustinus menjelaskan bahwa tidak dirampasnya hasil kekayaan
merupakan kelemahan dari undang-undang tindak pidana pencucian uang. Selain itu, kemauan dan
kemampuan lembaga koordinas pihak-pihak yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana
pencucian uang di pasar modal Indonesia masih rendah. Augustinus menyarankan agar penanggulan
tindak pidana pencucuian uang harus dikoordinasikan oleh presiden untuk mensinergikan seluruh pihak
yang terlibat dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang di pasar modal Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai