Anda di halaman 1dari 34

Makalah Money Laundry (Pencucian Uang)

A.    Latar Belakang Masalah

Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat


merugikan Negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian
nasional atau keuangan Negara dengan meningkatkan berbagai kejahatan.[1]
Praktik pencucian uang kotor, uang tunai atau kekayaan lain yang berasal dari aktivitas
criminal termasuk hasil korupsi guna menghilangkan asal-usul merupakan suatu bisnis yang
menggiurkan.[2]
Berdasarkan statistic IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank-bank diperkirakan
hamper mencapai nilai sebesar US$1.500 miliar pertahun. Sementara itu menurut Associated
Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi dan kejahatan
lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi
dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 miliar per tahun. Ini
berarti sama dengan GDP seluruh dunia. Namun Micheal Camdessus (Managing Director
IMF), memperkirakan dari folume dari cross-border money laundering adalah 2 % sampai
dengan 5 % dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Bahkan, batas terbawah dari kisaran
tersebut, yaitu jumlah yang dihasilkan dari kegiatan narcotics, trafficking, arms trafficking,
bank fraud, counterfeiting, dan kejahatan yang sejenis itu, yang di cuci di seluruh dunia
setiap tahun mencapai jumlah hamper US$ 600 miliar.[3]
Sebuah data yang disebutkan oleh FATF (Financial Action Task Force) pada tanggal 22
Juni 2001 menyebut ada 17 negara yang masuk dalam daftar hitam, diantatanya Kepualauan
Cook, Dominica, Kepulauan Marshall, Israel, Lebanon Filipina, Rusia, Mesir, Guatemala,
Hungaria, Myanmar, Nigeria, dan Indosesia. Negara itu dianggap tidak kooperatif (Non-
cooperative countries and territories-NCCT) dalam memberantas pencucian uang.[4]
Walau akhirnya nasib Indonesia membaik di mata dunia, dengan di keluarkannya dari
daftar hitam negera yang tidak kooperatif (Non Cooperative Countries and
Teritories/NCCT) terhadap tindakan pencucian uang pada siding Financial Action Task Force
(FATF) di paris, 9-11 Februari 2005. Hal itu menggembirakan, namun bukan berarti
Indonesia dapat berbangga diri sebagai Negara yang bersih dan bebas dari tindak pidana.[5]

B.     Pembahasan

1.      Sejarah dan Pengertian Pencucian Uang (Money Laundering)

a.       Sejarah Pencucian Uang


Istilah pencucian uang atau money loundering ini telah dikenal sejak dekade tahun
1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi
sebagai strateginya.[6] Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut
Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika Serikat.Pada dekade 1920-1930 ada kelompok
penjahat yang dipimpin Al Capone adalah seorang penjahat terkenal dari Amerika Serikat. Ia
melakukan money laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa
seorang akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah
melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money loundering.[7] Usaha binatu
milik Al Capone ini ternyata berkembang maju dengan berbagai perolehan hasil uang haram
dari proses kejahatan lain yang berpa cabang usaha yang ditanamkan ke perusahaan
pencucian pakaian ini, seperti uang hasil proses minuman keras illegal, hasil perjudian, dan
hasil perusahaan pelacuran.
Al Capone pun dijebloskan ke dalam penjara berdasarkan pelanggaran
terhadapVolsted Act. Suatu hal yang sangat luar biasa pada saat mana kepolisian yang
bersenjata tidak pernah berhasil menangkapnya. Bahkan konfrontasi bersenjata yang
dilakukan polisi untuk menghancurkan kelompok Al Capone dan menangkapnya selalu
gagal, karena kelompok itu pun memiliki persenjataan yang sama lengkap dan mematikan
dengan yang dimiliki polisi.[8]
Charlie Lucky Luciano, seorang gembong kejahatan Amerika yang memiliki
spesialisasi dalam menyelundupkan alcohol dan perjudian gelap, mengirim rekannya, Meyer
Lansky untuk mengambil bagian dalam emas Nazi. Lansky berangkat ke Swiss dan
membantu mentransfer lebih dari US$300 juta ke dalam rekening-rekening lain hingga
sampai ke tangan bosnya yang licik, Al Capone.[9]
 Pada saat yang bersamaan karena pemberlakuan prinsip rahasia bank di swiss pada
awal tahun 1930 an, pencucian uang memperoleh pijakah kokoh. Petinggi –petinggi militer
nazi Jerman melakukan pencurian uang dengan memanfaatkan prinsip rahasia di bank swiss.
Pada saat itu swiss tidak mengkatagorikan penggelapan dan pengelakan pajak sebagai suatu
kejahatan, sehingga siapapun yang menyimpan uang dibank –bank swiss tidak akan ditanya
soal itu. Identitas nasbah hanya menjadi otoritas direktur bank. Hanya direktur bank yang
mengetahui sipa nasabah pemilik nomor tersebut. Oleh karena itu, identitas nasabah hanya
berupa nomor kode.[10]
Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam
satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui system perbankan
internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama-kelamaan
akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, harta
kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu,
terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal-usul
Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak
hukum.[11]
b.      Pengertian Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal
dari kegiatan yang sah.[12]
Dalam buku kitab Blak’s Law Dictiniory, istilah money laundering di artikan dengan,
term applied to taking money gotten illegally and washing or laundering it so it appears to
have been gotten legall (istilah yang diterapkan untuk mengambilanuang yang didapat secara ilegal
dan mencucinya atau pencucian sehingga tampaknyadidapatkan secara legall).[13]
Sedangkan menurut para ahli hukum, pencucian uang atau money launderingmemiliki
berbagai pengertian dari masing-masing ahli hokum tersebut. Seperti pengertian dari ahli
hukum Sarah N. Welling, the process by which one conceals the existence, illegal source, or
illegal application of income, and than disguises that income to make it appear
legitimate (sebuah proses dimana untuk menyembunyikan keberadaan,sumber ilegal, atau cara ileg
al pendapatan, dan juga penyamaran hingga pendapatan untukmenjadi tampak sah).[14] Kemudian
Sarah N welling mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan
oleh seseorang menyembunyikan keberadaan ,seumber ilegal atau aplikasi ilegal dari
pendapatan yang kemudian  menyamarkan pendapatan itu menjadi sah.Welling menekankan
bahwa pencucian uang adalah suatu proses mengaburkan ,menyembunyikan uang- uang-
ilegal melalui sistem keuangan sehingga ia akan meuncul kembali sebagai uang yang sah.[15]
Selanjutnya menurut ahli hukum Fraser, money laundering dimaknai sebagai,money
laundering is quite simply the process through which “dirty” money (proceeds of crime), is
washed through “clean” or legitimate sources and enterprises so that the “bad guys” may
more safely enjoy their ill gotten gains(pencucian uang adalah proses sederhana dimana uang
"kotor" (hasil kejahatan), dicucimelalui sumber "bersih" atau sah dan perusahaan, sehingga "orang
jahat" akan lebih aman menikmati keuntungan kotor mereka).[16]
Begitu juga dengan pengertian dari Pamela H. Bucy dalam bukunya yang
berjudulwhite Collar Crime: Cases and Materials. Bahwa Money laundering adalah sebagai
berikut, Money laundering is the concealment of the existence, nature of illegal source of
illicit funds in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered.
[17] Maknanya adalah Pencucian uang sebagai penyembunyian keberadaan, sifat atau sumber
illegal, pergerakan atau kepemilikan uang demi alasan apapun.[18]
Pengertian pencucian uang dalam UU no. 25 Tahun 2003 adalah perbuatan
menempatkan, menstranfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya
atas harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindakan pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.
25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang). Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tantang Pencegahan dan
pembarantasan tindak Pidana Pencucian uang, pengertian pencucian uang mengalami
perluasan menjadi segala perbuatan yang memenuhi unsure-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.[19]

2.      Tahap-Tahap atau Mekanisme Pencucian Uang.


Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu
sebagai berikut.
1.      Tahap Penempatan (Placement)
Tahap Placement merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan
disuatu Bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang
tersebut agar tidak terindentifikasi. Biasanya dana yang ditempatkan berupa uang tunai dalam
jumlah besar yang dibagi ke dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan di beberapa
rekening di beberapa tempat.[20]
Tahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut mendepositkan uang
haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Karena uang itu sudah masuk
ke dalam system keuangan berarti uang itu telah jua masuk kedalam system keuangan Negara
yang bersangkutan. Oleh karena itu uang yang telah ditempatkan di suatu bank selanjutnya
dapat lagi dipindahkan ke bank lain, baik di Negara tersebut maupun di Negara lain, maka
uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam system keuangan Negara yang bersangkutan,
tetapi juga telah masuk ke dalam system keuangan global atau internasional.Jadi placement
(penempatan) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak
pidana ke dalam system keuangan.[21] Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
a.       Menempatkan dana pada bank. Kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit/pembiayaan.
b.      Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit
untuk mengaburkan audit trail.
c.        Menyelundupkan uang dari suatu Negara ke Negara lain.
d.       Membiayai suatu usaha yang seola-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
e.       Membeli barang-barang berharga yang bernila tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan
hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang
pmbayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain.[22]
Tahap Placement, memindahkan uang haram dari sumbernya untuk menghindarkan
jejak dengan metode smurfing. Metode ini mengelabui ketentuan untuk melaporkan transaksi
uang tunai sesuai dengan peraturan yang berlaku.[23]Dalam tahap ini bisa juga penempatan
uang hasil criminal itu dimasukkan dalam sisten keuangan, baik dengan cara memasukkan ke
deposito, saham, atau mengonversikannya ke dalam mata uang lain.[24]

2.       Tahap Pelapisan atau Layering


Tahap Layering merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal uang tersebut atau cirri-
siri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan
melibatkan tempat-tempat atau bank di Negara-negara dimana kerahasiaan bank akan
menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa transfer dana ke Negara lain
dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian saham pada bursa efek
menggunakan deposit di bank A untuk meminjam uang di bank B dan sebagainya.[25]
Layering (pelapisan) adalah suatu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau
lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi
yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber uang haram tersebut,
misalnya bearer bonds, forex market, stocks. Disamping cara tersebut, langkah lain yang
digunakan adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin account dari perusahaan
fiktif/semu dengan memanfaatkan aspek kerahasiaan bank dan keistimewaan hubungan
antara nasabah bank dengan pengacara. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan jejak atau
usaha audit sehingga seolah-olah merupakan transaksi finansial yang legal.[26]

3.      Tahap Penggabungan atau Tahap Integration


Tahap Integration merupakan tahap pengumpulan dan menyatukan kembali uang hasil
kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah.
Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit dikenali hasil tindak
pidana, dan muncul kembali sebagai asset investasi yang tampaknya legal.[27]
Integration (penggabungan) adalah proses pengalihan uang yang diputihkan hasil
kegiatan placement maupun layering ke dalam aktivitas-aktivitas atau performa bisnis yang
resmi tanpa ada hubungan/links ke dalam bisnis haram sebelumnya. Pada tahap ini uang
haram yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang
sesuai dengan aturan hukum, dan telah berubah menjadi legal. Ada tulisan yang menyebutkan
bahwa cara tersebut juga disebut spin dry yang merupakan gabungan antara repatriation dan
integration. [28]

3.      Alasan Memerangi Pencucian Uang


Pencucian uang secara potensial dapat menghancurkan ekonomi, keamanan dan
membawa dampak sosial. Pencucian uang menyediakan bahan bakar bagi penyelundupan
narkoba, penyapan dan lainnya untuk menjalankan dan memperluas perusahaan mereka.
Secara faktual  kegiatan pencucian uang sulit untuk ditindak dan diberantas, tetapi pencucian
uang harus di persempit ruang geraknya /diperangi, karena kegiatan itu telah mengganggu
sistem ekonomi suatu bangsa dan sistem-sistem lainnya. Adapun dampak buruk pencucian
uang antara lain :
A.    Melemahkan sektor swasta yang  sah
Pencucian uang dapat mendirikan perusahaan topeng yang bergerak dalam kegiatan
bisnis. Misalnya di Amerika serikat ,misalnya kejahan terorganisasi menggunakan kedai-
kedai pissa untuk menopengi hasil penyelundupan heroin dan kedai pizza tersebut menjual
pissa dengan haraga murah yang membuat pengusaha pissa dan perusahaan  lainnya yang
bersih akan  akan kalah saing. Bila keadaan ini bertahan lama perusahaaan yang sah tidak
bertahan lama dan kejahatan akan semakin sulit diberantas.[29]
B.     Merusak intregitas Pasar keuangan
Jika pencucian uang hasil kejahatan masuk kedalam  ranah negara (yang biasanya
masuk dalam jumlah besar maka hampir dipastikan akan menimbulkan likuiditas .Institusi
keuangan yang menerima hasil kejahatan memiliki tantangan tambahan dalam mengelola aset
,liabilitas dan operasi mereka .Contoh sejumlah besar uang hasil kejahatan yang telah dicuci
mungkin ada di institusi keuangan ,tetapi menghilang tiba-tiba tanpa pemberitahuan ,melalui
transfer elektronek sebagai respons terhadap faktor non pasar mseperti penegakan
hukum .Hal ini dapat berdampak pada bank itu sendiri yag menimbulkan masalah
likuiditas .Penarikan uang yang telah dicuci menyebabkan krisis likuiditas dan kegaglan
bannk ,karena bank mengelola sebagian besar  hasil kejahatan .Hal ini akan menimbulakan
krisis keuangan dan bank akan tutup sperti Europa Bank union dan BCCI.[30]
C.     Berisiko Pada Reputasi Negara
Pencucian uang dapat merudsak reputasi negara .Tidak stu negara pun di
dunia ,terlebih di era global saat ini ,yang bersedia kehilangan reputasinya akibat pencucian
uang. Kepercayaan pasar akan terkikis karena kegiatan jahat tersebut . Kemudian negara akan
kehilangan kexempatan yang sah untuk memperoleh keuntungan dari industri keuangannya.
[31]
D.    Menimbulakan Biaya Sosial
Pencucian uang merupakan proses yang paling penting dalam organisasi sehingga
dapat melaksanakan kejahatan mereka .Pencucian uang memungkinkan para penjua dan
pengedar narkoba ,penyelundup dan lainnya akan memperluas kegiatannya .Hal ini dapat
berakibat pada pemberantasan  kejahatan tersebut /penanganan dan penegakan
hukum .Pencucian uang bisa-bisa memindahkan ekonomi pasar ,pemerintah ,dan warga negar
kepada para penjahat .Tidak mustahil ,bila terus menerus meluas ,dalam kasus ekstrim hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya pengambilalihan kekuasaan pemerintah yang sah .[32]

4.      Undang-Undang Pencucian Uang


Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, telah menunjukkan arah positif. Hal
itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang tindak Pidana
Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan,
lembaga Pegawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti
hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administrative (UU No. 8 Tahun
2010).
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memuat materi muatan, yaitu:
1.      Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian uang.
2.      Penyempurnaan Kriminalisasi tindak pidana Pencucian uang.
3.      Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative.
4.      Pengukuran penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
5.      Perluasan pihak Pelapor.
6.      Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya.
7.      Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan.
8.      Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi.
9.      Perluasan kewenangan Direktorat jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan
instrument pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean.
10.  Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana
Pencucian uang.
11.  Perluasan instasi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK.
12.  Penataan kembali kelembagaan PPATK.
13.  Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara
Transaksi.
14.  Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian uang, dan
15.  Pengaturan mengenaii penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dati tindakan pidana. [34]
Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut  pencucian uang dibedakan dalam tiga
tindak pidana:
A.    Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun
2010).[35]
Berdasarkan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang,
perbbuatan pencucian uang dapat dikelompokkan menjadi aktif dan pasif (Husein 2010).
Tindak pidana pencucian uang yang aktif melibatkan orang yang sengaja melakukan
pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu:
Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan, mentranfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan
yang diketahui atau perlu diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Pasal
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana
pencucian uang, yang dimaksud dengan harta kekayaan adalah semua benda bergerak
maupun benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik
secara langsung maupun tidak langsung.
B.     Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal
tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).[37]
Berdasarkan Pasal 5 pelaku tindak pidana pasis adalah setiap orang yang menerima atau
menguasai harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
melalui: a. Penempatan, b. Pentransferan, c. Pembayaran, d. Hibah, e. Sumbangan, f.
penitipan, g. Penukaran atau h. Menggunakan harta kekayaan.
Unsure obyektif dalam Pasal 5 di atas adalah perbuatan penempatan, pentranferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan
yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan unsure
subyektifnya adalah mengetahui, atau patut diduga, bahwa harta kekayaan yang didapat
merupakan hasil tindak pidana.[38]

C.     Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yangmenikmati hasil
tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun
dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.[39]

5.      Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang


Mengenai sanksi terhadap orang yang telah melakukan pencucian uang telah diatur
sedemikian rupa dalam UU TPPU .Seperti halnya dalam Pasal 3  dalam UU TPPU Setiap
Orang yang menempatkan, mentransfer mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan,membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dapat
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
         Dengan demikian, disinilah peran  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) sebagai  lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah
dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang dengan cara menyediakan informasi
inteligen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada
PPATK .[40] Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut
(Pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010):
1.      Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
2.      Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh ppatk
3.      Pengawasan terhadap kepatuhan pihak  pelapor
4.      Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain .[41]
Selain itu PPATK sendiri sudah memiliki banyak mitra dalam membantu menelusuri
aliran dana mencurigakan tersebut seperti Kejaksaan, Kepolisian, Bea Cukai, Direktorat
Pajak bahkan Koperasi Simpan Pinjam serta BNN.          
         Di indonesia sendiri yang saat ini menjadi pusat perhatian media mengenai kasus
Pencucian uang  salah satunya adalah kasus  Irjen Djoko susilo untuk kasus pencucian uang
terkait korupsi simulator SIM, Djoko didakwa  Pasal  3 dan atau 4 Undang-undang nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang.Kemudian, dia
juga didakwa atas pencucian uang selama 2003 hingga 2010, Djoko didakwa  melanggar
Pasal 3 dan atau 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 UU 15/2002 tentang TPPU
dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.[42]
Hal ini terbukti dengan di sitanya beberapa rumah milik Djoko Susilo di antaranya di
Yogyakarta, Solo, dan Semarang.Dia memakai hasil tindak pidana korupsi dalam simulator
sim dengan melakukan pencucian uang dengan mengubahnya dengan menyamarkan hasil
uang haram itu dengan membeli beberapa rumah .Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi
bisa menjerat istri-istri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dengan pasal tindak pidana
pencucian uang (TPPU) selama ditemukan dua alat bukti yang cukup. Menurut surat
dakwaan, istri-istri Djoko ikut menguasai aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Terdapat sejumlah aset Djoko yang diatasnamakan istri-istrinya.
"Ya, bisa, sepanjang memenuhi unsur-unsur seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Pasal 4
UU TPPU dan dengan dukungan bukti-bukti," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi, Rabu
(24/4/2013).[43]Dengan pasal TPPU, KPK sedianya bisa menjerat kerabat, keluarga, atau
teman dekat Djoko yang diduga menerima atau menguasai asetnya. Pasal 5 Ayat 1 Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa penerima hasil korupsi dapat
dikenakan pidana serta denda.
"Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak Rp 1 miliar," demikian bunyi pasal tersebut.
         Surat dakwaan Djoko menyebutkan, jenderal bintang dua itu diduga
menyamarkan beberapa hartanya tahun 2010 dengan menggunakan nama Djoko Waskito
(ayah kandung Dipta Anindita, istri muda Djoko). Djoko membeli tanah lengkap dengan
stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta Utara. Harga di akta Rp 5,3 miliar,
harga sebenarnya Rp 11,5 miliar.Pada tahun 2012, Dipta dibelikan tanah senilai Rp 7,1 miliar
di Semarang. Ia juga dibelikan tanah di Surakarta senilai Rp 6 miliar.[44]Pada tahun 2011,
mengatas namakan istri kedua, Mahdiana, terdakwa Djoko Susilo membeli sebidang tanah di
Jakarta Selatan senilai Rp 46 juta dan Rp 6,1 miliar. Pembelian Rp 6,1 miliar menggunakan
perantara Erick Maliangkay. Mahdiana juga dibelikan tanah senilai Rp 5 miliar pada 2012.
Terdakwa membeli tanah dengan menggunakan nama lain, yaitu Mudjiharjo. Empat bidang
tanah dibeli di Yogyakarta tahun 2011 dan 2012 senilai Rp 3 miliar dan Rp 389 juta.
         Untuk pembelian kendaraan, terdakwa menggunakan nama Sudiyono. Selain itu,
Djoko diduga menyamarkan hartanya dengan menggunakan nama Eva Handayani. Wanita ini
diduga sebagai istri mudanya yang lain. Aset yang disamarkan atas nama Eva di antaranya
berupa SPBU, tanah beserta bangunannya di daerah Depok, Jawa Barat, dan tanah di
Jagakarsa seluas 200 meter persegi. Djoko juga diduga membeli sebidang tanah di Subang
untuk istri pertamanya, Suratmi.
[1] Redaksi Grhatama, UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI, Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2009, hal 135.
[2] Boy Leon dan Sonny Ericson, MANAJEMEN AKTIVA PASIVA BANK NONDEVISA:
Pengetahuan Dasar bagi Mahasiswa dan Praktisi Perbankan, Jakarta: Grasindo, (tanpa tahun), hal
122.
[3] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 18.
[4] Anif Punto Utomo, NEGARA KULI: Apa Lagi Yang Kita Punya?, Jakarta: Republika, 2004,
hal 38.
[5] Rrans H. Winarta, SUARA RAKYAT HUKUM TERTINGGI, Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2009, hal 235.
[6] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, Bandung :PT Citra Aditya
Bakti Bandung, 2008, hal. 1
[7] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 17.
[8] Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 7.
[9] Jamie King, 111, KONSPIRASI MENGHEBOHKAN DUNIA terjamahan dari
CONSPIRACY THEORIES, Depok: Raih Asa Sukses, hal 210.
[10] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI
PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 7.
[11] Tim New Merah Putih, UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA ANTI
KORUPSI, Yogyakarta: New Merah Putih, 2008, hal 196.
[12] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007,Hal 19.
[13] thelawdictionary.org/money-laundering/, diakses pada 10 September 2013, pukul 15.00.
[14] Jimmy Gurule, UNFUNDING TERROR: The Legal Response to The Financing of Global
Terrorism, Chelthemham: Edward ElgarPublishing Limited, 2008, hal 104.
[15] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI
PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 7.
[16] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 19.
[17] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 20.
[18] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI
PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 11.
[19] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN INVESTIGASI
DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor, 2011, hal 49.
[20] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 45.
[21] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 24.
[22] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 24.
[23] Ismanthono, Henricus W., KAMUS ISTILAH EKONOMI DAN BISNIS, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2010, Hal 199.
[24] Elvyn, G. Masassya, CARA CERDAS MENGELOLA KEUANGAN PRIBADI, Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2006, hal 125.
[25] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 45.
[26] Adrian Sutedi ,S.H.,MH “TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG” Bandung :PT Citra
Aditya Bakti Bandung, 2008 hal 19.
[27] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 46.
[28] Adrian Sutedi ,S.H.,MH “TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG” Bandung :PT Citra
Aditya Bakti Bandung, 2008 hal  21.
[29] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI PASAR
MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 14.
[30] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI PASAR
MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 15.
[31] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI PASAR
MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 20.
[32] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI PASAR
MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 21.
[33] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN INVESTIGASI
DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor, 2011, hal 48.
[34] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN INVESTIGASI
DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor, 2011, hal 49.
[35]  Undang-Undang No.8 tahun 2010
[36] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN INVESTIGASI
DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor, 2011, hal 51.
[37] Undang-Undang No.8 tahun 2010
[38] Santoso, T., Chandra, R., Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN INVESTIGASI
DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor, 2011, hal 51.
[39] Undang-Undang No.8 tahun 2010
[40]  Adrian Sutedi ,S.H.,M.H. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger,Likuidasi ,dan Kepailitan Jakarta :Sinar Grafika ,2007
[41] http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan  10 Mei 2013  .1
2.31
[42] http://news.liputan6.com/read/569213/kpk-berwenang-usut-kasus-pencucian-uang-djoko-susilo
[43] http://jateng.tribunnews.com/2013/04/24/istri-istri-djoko-susilo-bisa-dijerat-kasus-pencucian-uang
[44] Ibid  http://jateng.tribunnews.com/2013/04/24/istri-istri-djoko-susilo-bisa-dijerat-kasus-pencucian-
uang

Diposkan oleh Hasbie Al Kafi di 04.47


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga,
para sahabat dan umatnya,  Amin.

Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen pengampu mata kuliah Pidana Khusus, Loso SH.,MH.
dengan judul “Money Loundering”.

Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat dari dosen pengampu mata kuliah pidana Khusus dan
sumber–sumber  literatur lain yang relevan. Namun demikian Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan
di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan
arahan dari dosen pengampu.

Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Demikian dan terima kasih. 

Pekalongan, 26 Oktober 2013

DAFTAR ISI

Halaman  Judul i

Kata Pengantar ii

Daftar  Isi iii


BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar Belakang 1

2. Perumusan Masalah 3

3. Tujuan 3

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Money Laundering 5

B. problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi 9

BAB III : PENUTUP 

A. Simpulan                                                                                 15

B. Saran 15

Daftar Pustaka 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah.  Dana berasal dari
perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek
korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan
melakukan pencucian uang.

Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai
dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram
ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara.
Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”,
ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan
dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak
beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan
pencucian uang ini terus merajalela.

Money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor (dirty money). Uang kotor ini, berasal dari
praktek-praktek haram dan illegal seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan, serta tindak pidana perbankan dan
praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk membersihkannya uang tersebut ditempatkan pada suatu bank atau tempat
tertentu untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian
saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang
yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau
asset tersebut (integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering, karena mengubah uang kotor menjadi
bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang sah.

Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh orang yang menguasai atau mempunyai
pengetahuan khusus di dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang
komputer.

Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global. Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan
melalui suatu teknik yang canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang memanfaatkan
kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup Bank Global. Pada waktu dibekukan
kegiatan usahanya, Bank Global sudah nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan
modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi berbagai pelanggaran ditambah dengan
ketertutupan dari pihak manajemen, maka BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha
dengan tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang utama ialah mengamankan
dana nasabah.

B. Perumusan Masalah

1. Apa Pengertian Money Loundering?

2. Bagaimana Perkembangan Tata Cara Money Loundering?

C. Tujuan Pembahasan

1. Agar Mengetahui Pengertian Money Loundering

2. Agar Mengetahui Perkembangan Tata Cara Money Loundering


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Money Loundry

Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar
uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang
merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh
aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah
maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas
sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

B. Hukum Pencucian Uang di Indonesia

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga
tindak pidana:

Pertama

Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Kedua

Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8
Tahun 2010).

Ketiga

Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan
melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama
maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c.
narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di
bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata
gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u.
prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan
perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak
pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

C. Model Money Loundry

Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga
langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering, dan
integration.

a.       Placement

Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam
sistem keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari
satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang
diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan,
misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata
uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.

b.      Layering

Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau
lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain
untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan
sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

c.       Integration

Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung,
diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai
kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang
akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan
asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan di atas dapat
terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian
uang dari waktu ke waktu semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup
rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration., sehingga penanganannya pun semakin
sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan berkesinambungan.Jadi
dalam integration, begitu uang tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara layering, maka
tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau
kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua
perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar
dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan
terutama yang menyangkut narkotika.. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para
pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah
yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang
haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.

Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat factor yang dilakukan dalam proses
pencucian uang. Pertama, merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu.
Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana. Ketiga, Merahasiakan proses pencucian
uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh bpetugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang
sebenarnya.

D. Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang

Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau
pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya
pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against
Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah
melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan
diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-
langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil
perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti

komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang.

a. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara
lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran
Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara
ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana
kegiatan pencucian uang.
b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain
UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU
No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini
mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa
narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.

c. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan
sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu
transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.

Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain hádala
transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya
termasuk pula kegiatan pencucian uang.

d. UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi
internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat
(2), misalnya, mengatur sebagai berikut:

“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya,
secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku
transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.

e. Ketentuan Bank Indonesia

Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif,

antara lain:

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang

Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata
Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang
membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,

bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari
Rp 100.000.000,- (seratus  juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank
Indonesia.

2. Surat  Cara Pembelian Saham Bank Umum


Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka
kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.

3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum

Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon
pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk
tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka
kepemilikan bank atau

pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.

4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience

Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan
kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu
anggota direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk
Satuan kerja Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.

5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank

Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan
hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor
bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif
untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.

6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal

Nasabah (Know Your Customers Principles)

Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus
mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas
nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang
mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain.
Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle)
ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga
dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai
risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.

Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau
jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan
rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For effective Banking
Supervision dan Bassel Committee .

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya

bertujuan untuk :
a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan
nasabah;

b. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku;

c. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;

d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.

e. melindungi reputasi bank.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Pemerintah, termasuk Bank Indonesia, telah melakukan langkah-langkah yang lumayan konkret, tetapi hasilnya belum
cukup untuk upaya mencegah dan memberantas money laundering. Di samping itu, Lembaga Legislatif (DPR) juga
telah membuat suatu aturan Perundang-Undangang yang mengatur Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena
pencucian uang sudah ditetapkan menjadi suatu Tindak Pidana. Undang-undang tersebut yakni Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang Yang di undangkan pada Tanggal 17 April 2002. Undang-tersebut diubah karena dianggap kurang
efektif dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dan dalam Undang-undang ini telah dibentuk  Suatu badan
yang independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan untuk membantu pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang diakses pada minggu 27 oktober 2013

wastika, Benny. 2011. Penerapan Asas Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana          Pencucian Uang. FH UI:
Jakarta.

Indriati, Santi. 2010. Tindak Pidana Pajak dan Money Laundering. Jakarta.

Iza, Fadri. 1994. “Seminar Nasional Pemutihan Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering             Crime),
www.Legalitas.org

Komariah, Rukiah.2010. Artikel “Tindak Pidana Perpajakan dalam Penghindaran Penyimpangan, Penipuan dan
Pemalsuan Pajak”. www.legalitas.org
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan kasus
pembobolan dana PT Elnusa Tbk dan Pemkab Batubara di PT Bank Mega Tbk, merupakan
tindak pidana pencucian uang. Wakil Ketua PPATK Gunadi mengatakan aliran dana
Elnusa mengarah ke perorangan dan diinvestasikan di deposito. Sedangkan dana
Pemkab Batubara mengarah ke rekening perseorangan dan diinvestasikan deposito.
 
“Kami juga menemukan adanya penyalahgunaan Jabatan di Bank Mega Cabang Bekasi-
Jababeka,” kata Gunadi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI, Rabu (25/5).
 
Gunadi menjelaskan, berdasarkan penelusuran PPATK sejak April 2011, dalam kasus
Elnusa terdapat 33 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan 69 laporan
transaksi keuangan tunai (LTKT). Untuk Dana Pemkab Batubara, terdapat 18 LTKM dan
34 LTKT. Saat ini, PPATK telah mengirim laporan tersebut kepada penyidik Polda
dan Kejaksaan Agung.
 
Dalam kasus dana Pemkab Batubara, PPATK telah membekukan 10 rekening yang
dicurigai menerima dana dari rekening Pemkab Batubara yang ada di Bank Mega
Jababeka. “Kami menstop 10 rekening yang ditengarai dari rekening Pemerintah
Kabupaten Batubara yang jumlahnya senilai Rp4,4 miliar,” tuturnya.
 
Menurut Gunadi, uang Rp4,4 miliar itu bisa dapat menjadikan asset recovery Bank Mega.
Selain itu, PPATK menemukan adanya kesamaan modus yang terjadi pada pembobolan
di Bank Megayakni adanya tindak pidana pencucian uang. 
 
Atas kasus ini, PPATK memberikan lima rekomendasi kepada Bank Indonesia (BI) agar
lebih mengamankan sistem perbankan nasional. Pertama, penyidik dan penuntut umum
harus mencantumkan adanya pengenaan sanksi pidana pencucian uang sesuai
dengan Pasal 7 Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (PPTPPU).
 
Kedua, PPATK mengusulkan peningkatan kerjasama antar bank dan penyedia jasa
keuangan lainnya dalam membantu proses penyelamatan dana hasil tindak pidana
seperti penundaan transaksi dalam Pasal 26 Undang-undang PPTPPU.
 
Ketiga, peningkatan peran aktif penyedia jasa keuangan, PPATK dan penegak hukum
untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU PPTPPU, seperti penundaan
transaksi, penghentian sementara transaksi dan pemblokiran guna mencegah
berpindahnya dana dari hasil tindak pidana.
 
Kelima, penyedia jasa keuangan khususnya bank wajib melakukan enhanced due
diligence dalam hal terdapat transaksi penempatan Deposito on Call (DoC) dana milik
Pemerintah Daerah/BUMN dalam jumlah yang signifikan atau besar pada kantor cabang
bank atau cabang pembantu bank yang relatif kecil.
 
Sekadar catatan, Pasal 7 UU PPTPPU menyatakan, selain terkena sanksi denda,
korporasi bisa terancam izin usahanya. Sanksi berat ini berlaku jika perusahaan ikut
terlibat atau menikmati hasil kejahatan. Sanksi paling ringan berupa denda maksimal
Rp1 miliar, bila bank sebagai penyedia jasa keuangan sengaja tidak melaporkan
keberadaan transaksi mencurigakan. 
 
BI sendiri baru saja menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega terkait kasus pembobolan
dana Elnusa sebesar Rp111 miliar dan Pemkab Batubara Rp80 miliar. Namun, BI
memutuskan tidak mencabut izin usaha bank milik taipan Chairul Tanjung tersebut.
 
Keputusan RDG
Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 23 Mei 2011 memutuskan; Pertama, mengenakan
sanksi kepada Bank Mega dengan menghentikan penambahan nasabah DoC baru dan
perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis seperti Negotiable Certificate of
Deposit (NCD), selama satu tahun, menghentikan pembukaan jaringan kantor baru
selama satu tahun. Sanksi tersebut berlaku sejak 24 Mei 2011.
 
Kedua, BI akan melakukan fit and proper test terhadap manajemen dan pejabat
eksekutif Bank Mega. Ketiga, BI menginstruksikan Bank Mega untuk mereview seluruh
kebijakan dan prosedur, khususnya aktivitas pendanaan (funding) termasuk penetapan
target, limit dan kewenangan untuk kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas
dan individu, baik nominal maupun suku bunga, pengaturan wilayah kerja kantor serta
mekanisme inisiasi nasabah baru.
 
BI juga menginstruksikan agar Bank Mega untuk memperbaiki fungsi internal
control dan risk management, termasuk kecukupan jumlah auditor di setiap kantor,
proses check and balancebaik melalui tahapan kewenangan maupun sistem, fungsi
pengawasan kantor pusat terhadap kantor-kantor di bawahnya dan prinsip know your
employee.
 
Kemudian, bank sentral meminta Bank Mega memberhentikan pegawai di bawah pejabat
eksekutif yang terlibat dalam kasus dana nasabah atas nama PT Elnusa dan dana
Pemkab Batubara, Sumatera Utara di KCP Bekasi Jababeka. Bank Mega juga
diinstruksikan segera membentukescrow account senilai dana Elnusa dan Pemkab
Batubara.
 
Pencairan escrow account tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan BI dalam
hal sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang diselesaikan
melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau melalui kesepakatan
para pihak.
 
Kendati telah menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega, BI meminta nasabah bank
tersebut untuk tenang dan tidak panik. Bank sentral menilai, secara keseluruhan kondisi
keuangan bank masih tetap apik. Menurut Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, Bank
Mega bukanlah bank yang buruk. Hanya saja, kelemahan terjadi di dalam konteks
koordinasi kantor cabang dengan kantor pusat.

 
“Bank Mega tetap baik, kondisi permodalan bank ini tetap kuat dengan likuiditas sangat
likuid,” ujarnya di tempat yang sama.
BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun
2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen
dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4
tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari
memuaskan.
Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada
kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini
juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional
pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk
tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari
monitoring formal FATF. 
Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak
“diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara
menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia
termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.

B.   RUMUSAN MASALAH
Yang menjadi permasalahan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Mengapa praktik pencucian uang harus diberantas dan bagaimana strategi
pemberantasannya.?
2.    Untuk melihat faktor yang menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum
terhadap ketentuan anti pencucian uang di Indonesia, perlu melihat kembali
pemahaman untuk apa dilakukan kriminalisasi pencucian uang atau mengapa
praktik pencucian uang harus diberantas.
Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia membuat anti pencucian uang pada
walnya karena desakan Internasional bukan karena kesadaran pentingnya
pemberantasan pencucian bagi Indonesia,[3] praktik pencucian uang adalah suatu
jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi untuk dengan leluasa dapat menikmati
dan memanfaatkan hasil kejahatannya. Selain itu uang (hasil kejahatan) merupakan
nadi bagi kejahatan terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan
jaringan kejahatan mereka, maka penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil
kejahatan menjadi sangat penting.
Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk
mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal
narkotika dan subsatansi psichotropika.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   KELEMAHAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KETENTUAN ANTI PENCUCIAN


UANG DI INDONESIA.
Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka
dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di
Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan
hukum sangat tergantu pada beberapa factor yaitu bagaimana formulasi undang-
undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga
yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum
optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya propfesionalitas para
penegak hukum lebih dominan dibanding dua faktor yang lain.

Kelemahan dari formulasi perundangan. 


Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa
kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini
ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up
crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan
asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang
merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan
uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang.
Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau
menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya
dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah
performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan
menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya.
Dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan
dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak
Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9).
Pasal 3: 
Setiap orang yang dengan sengaja:
a.    menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau
atas nama pihak lain;
b.    mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan
yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.    membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun
atas nama pihak lain;
d.    menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
e.    menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;
f.     membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana; atau
g.    menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat
berharga lainnya;
dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyemarkan asal usul harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat
5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling
banyak Rp. 15.milyar.
Unsur obyektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan
inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan,
mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan
lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).
Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah
sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil
kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta
tersebut. 

Pasal 6
Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a.    penempatan;
b.    pentransferan;
c.    pembayaran;
d.    hibah;
e.    sumbangan;
f.     penitipan; atau
g.    penukaran,
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta
kekayaan (yang diketaui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana).
Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut
menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.
Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian
uang yaitu:

 Pasal 8:
Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar.
Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:
a.    transaksi keuangan mencurigakan;
b.    transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.
500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam
satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.
Pasal 9:
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa kedalam atau
keluar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta
dan paling banyak Rp. 300 juta.
Dari rumusan tersebut diatas sebenarnya sudah cukup bagus dan sesuai dengan
model pengaturan yang disarankan, hanya ketentuan angka Rp 500 juta atau dapat
ditentukan oleh PPATK agak menyimpang dari asas hukum pidana yaitu tidak ada
ketegasannya.

B.   KELEMAHAN BERKAITAN DENGAN PENERAPAN UUTPPU


Faktor ke dua dan paling menonjol kelemahannya adalah dalam tahap
pelaksanaannya. Untuk menegakan hukum terhadap terhadap praktik pencucian
uang memerlukan kerjasama yang baik dari semua unsur Sistem Peradilan Pidana
(SPP) yang dalam hal ini terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan juga PPATK. Masing-
masing unsur SPP dan PPATK harus bisa berjalan dengan baik terkoordinir dan
simultan. Namun nampaknya masih terdapat masalah dalam penegakan terhadap
pencucian uang:
1.    Peranan PPATK dalam pengungkapan pencucian uang
Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka
dibentuklah badan investigasi sebagai FIU (Financial Intelligence Unit), yang tugas
dan keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana
pencucian uang adalah:
“The Financial Intelligence Unit or FIU XE “FIU” is an information gathering and
processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the recipient
of otherwise confidential information from banks, the secretive and trusted
cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted. It recieves,
reveiw and evaluates information on very large number of transactions. Out of those
only those found suspicious in some way are brought to the intention of the police.
PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai
fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses
informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK
berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan
pencucian uang terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang
mencurigakan.
Namun demikian badan ini tetap dalam status melakukan tahap penyelidikanpun
sangat awal dan sangat terbatas (lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2) membantu
kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang
kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan
penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses selanjutnya.
Artinya bahwa hasil anlisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti karena masih
harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa penyidikan tersebut
PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil analisis ini tidak terlalu
berarti. 
2.    Peran Polisi dalam melakukan investigasi terhadap perkara pencucian uang.
Dalam ketentuan UUTPPU dimaksud penanganan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana pencucian uang berada dibawah kewenangan Kepolisian R.I.,
disamping itu dibentuk lembaga (Financial Investigation Unit), yaitu Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang fungsinya antara lain penerima
laporan (repository function) dan penganalisis (analysis function) dan sebagai
clearing house yaitu lembaga yang menyediakan fasilitas untuk pertukaran informasi
atas transaksi yang mencurigakan.
Berkenaan dengan tugas penyidikan polisi harus memperoleh alat bukti yang akan
diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, dan untuk
perkara pencucian uang bukanlah masalah mudah, apalagi harus dikaitkan dengan
kejahatan asalnya. Peran polisi juga sangat dominan manakala berkaitan dengan
pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana ini di luar negeri. Kemajuan
dibidang teknologi informasi memungkinkan kejahatan pencucian uang bisa terjadi
melampaui batas kedaulatan suatu Negara, untuk mencegah dan memberantasnya
memerlukan kerjasama antara Negara.
Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil
investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan
awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini
misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana
illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk
rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi
yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih
dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK.
Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang
menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari
bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai
perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan
cara-cara tradisional seperti hundi.
Sudah seharusnya mulai dipikirkan bahwa ketika suatu perkara pencucuian uang
terungkap maka para pelaku kejahatan itu akan mengevaluasi teknik-teknik yang
mereka lakukan dan pada akhirnya akan menjatuhkan mereka. Mereka akan selalu
mengikuti pemberitaan kasus mereka di media massa, menyimak jalannya
persidangan dan mendengarkan keterangan-keterangan saksi yang dihadirkan serta
mempelajari transkrip-transkrip persidangan untuk mengetahui di mana kelemahan
mereka sehingga terjebak dalam penangkapan polisi.
Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah.
Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem
bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai
proses pencucian uang yang tidak melalui bank.
Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara
sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini
sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut
Stink Operation (operasi penjebakan). Pada intinya operasi ini adalah untuk
mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran (undercover
inquiring). Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian
uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana
narkotika.
Namun untuk operasi penjebakan pencucian uang ini lebih rumit, karena tidak
sekedar penyamaran saja tetapi negara harus menyiapkan sejumlah uang yang
akan digunakan dalam penyamaran tersebut untuk dicuci. Nampaknya tanpa adanya
undang-undang stink operation ini akan sulit terwujud.
C.   PERANAN JAKSA DAN PROBLEMA PEMBUKTIAN DALAM PERKARA TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG.
Dalam pengamatan selama 4 tahun Indonesia memiliki ketentuan anti pencucian
uang, maka nampaknya kegagalan terbesar terletak pada kelemahan jaksa dalam
membuktikan perkara ini. Masalah berawal dari penuntutan yang ternyata tidak
sederhana, pertama berkenaan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan
kejahatan lanjutan (follow up crimes) sehingga ada permasalahan lain yaitu
bagaimana dengan core crime (predicate offencenya). Apakah harus dibuktikan
keduanya atau cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan
predicate offencenya.
Berdasarkan amanat undang-undang maka predicate offece tidak perlu dibuktikan,
artinya cukup menggunakan bukti petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya maka
dakwaan harus disusun secara kumulatif bukan alternative, karena antara predicate
offence dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan
pencucian uang selalu harus dikaitkan dengan predicate offencenya, namun
pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri (as a separate crime). Dengan
demikian dalam mendakwa tindak pidana pencucian uang misalnya berkaitan
dengan dakwaan Pasal 3 maka predicate offence dan follow up crimesnya
didakwakan sekaligus.

Namun demikian perlu diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan


bisa saja tunggal yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas
hasil kejahatan dimana pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan namun dia
patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan. Untuk pelaku ini
tidak harus dipertanggungjawabkan predicate offencenya, tetapi hanya tindak pidana
pencucian uangnya.
Selanjutnya masih ada dakwaan tunggal untuk tindak pidana pencucian uang yang
tidak harus dikaitkan dengan predicate offencenya, dalam hal ini misalnya pelaku
hanya berkenaan dengan dakwaan Pasal 6, dimana pelaku hanya
dipertanggungjawabkan atas perbuatan pencucian uang pasif yaitu menerima dan
lain-lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut
berasal dari kejahatan. Dalam hal pelaku hanya berkaitan dengan Pasal 6 maka
dakwaannya bersifat tunggal atau didakwa alternative dengan pasal lain yang
relevan, yang penting harus sesuai dengan fakta bahwa perbuatannya hanya satu.
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur subyektif atau
mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan
yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut menduga) dan intended
(bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui
atau patut menduga bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa
mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi.

Untuk membuktikan unsure mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus
memenuhi knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut
menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang
menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja
setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud
untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit maka
pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau
petunjuk (circumstantial evidence) cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur
tersebut.
Jadi apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan bersal dari kejahatan maka dengan sendirinya unsur intended terbukti. Di
Indonesia hal ini nampaknya belum dilakukan, maka jaksa harus mengambil unsur
menyamarkan (disguissing) yang lebih mudah dibuktikan daripada menyembunyikan
(hiding).

D.   PERANAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PENCUCIAN UANG.


Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian uang,
peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan kejahatan ini.
Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada pemahaman bahwa
pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus membuktikan dua kejahatan
sekaligus.
Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk mengikuti semua system acara
peradilan yang banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya
perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian (the shifting
of the burden of proof).
UUTPPU belum mengatur secara rinci tentang acara persidangan khusus untuk
pembalikan beban pembuktian ini, tetapi di masa depan hal ini harus dilakukan.
Selain tatacara yang ditentukan, hakim juga harus sangat memahami bahwa
mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian pada dasarnya melanggar
prisip non self incrimination, maka harus ditekankan bahwa penerapan ini sangat
terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu unsure saja.
Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal
dari kejahatan, artinya apabila unsure ini tidak bias dibuktikan oleh terdakwa jaksa
tetap harus membuktikan unsure lainnya baik itu unsure obyektif amaupun subyekti,
sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen).
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang
bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan. Pemikiran tentang
pembuktian unsur (intended) yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul hasil kejahatan dst, yang harus dianggap terbukti sepanjang
semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus
melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsure
intended pasti terbukti.
Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti
sengaja melaku transfer misalnya, dan kemuidian dia juga terbukti mengetahui atau
paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari
kejahatan, maka seharusnya dapat disimpulkan tujuan
BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relatif
sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak
menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum
bisa berkerja secara simultan. Dalam praktek di lapangan sering terjadi
ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat
merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri.
Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi
yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul
persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang.
Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa
memandang tidak cukup bukti.
B.   SARAN
Kendala lain yang pasti akan timbul antara lain belum diatur mekanisme dan
kerjasama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi
yang ditangani KPK yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada
kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian
uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara
bersamaan dengan dakwaan kumulatif. 

Anda mungkin juga menyukai