B. Pembahasan
C. Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yangmenikmati hasil
tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun
dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.[39]
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga,
para sahabat dan umatnya, Amin.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen pengampu mata kuliah Pidana Khusus, Loso SH.,MH.
dengan judul “Money Loundering”.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat dari dosen pengampu mata kuliah pidana Khusus dan
sumber–sumber literatur lain yang relevan. Namun demikian Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan
di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan
arahan dari dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
1. Latar Belakang 1
2. Perumusan Masalah 3
3. Tujuan 3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Simpulan 15
B. Saran 15
Daftar Pustaka 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah. Dana berasal dari
perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek
korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan
melakukan pencucian uang.
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai
dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram
ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara.
Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”,
ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan
dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak
beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan
pencucian uang ini terus merajalela.
Money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor (dirty money). Uang kotor ini, berasal dari
praktek-praktek haram dan illegal seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan, serta tindak pidana perbankan dan
praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk membersihkannya uang tersebut ditempatkan pada suatu bank atau tempat
tertentu untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian
saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang
yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau
asset tersebut (integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering, karena mengubah uang kotor menjadi
bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang sah.
Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh orang yang menguasai atau mempunyai
pengetahuan khusus di dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang
komputer.
Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global. Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan
melalui suatu teknik yang canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang memanfaatkan
kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup Bank Global. Pada waktu dibekukan
kegiatan usahanya, Bank Global sudah nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan
modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi berbagai pelanggaran ditambah dengan
ketertutupan dari pihak manajemen, maka BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha
dengan tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang utama ialah mengamankan
dana nasabah.
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
PEMBAHASAN
Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar
uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang
merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh
aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah
maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas
sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga
tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8
Tahun 2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan
melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama
maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c.
narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di
bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata
gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u.
prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan
perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak
pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga
langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering, dan
integration.
a. Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam
sistem keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari
satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang
diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan,
misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata
uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.
b. Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau
lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain
untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan
sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c. Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung,
diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai
kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang
akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan
asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan di atas dapat
terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian
uang dari waktu ke waktu semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup
rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration., sehingga penanganannya pun semakin
sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan berkesinambungan.Jadi
dalam integration, begitu uang tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara layering, maka
tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau
kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua
perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar
dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan
terutama yang menyangkut narkotika.. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para
pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah
yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang
haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat factor yang dilakukan dalam proses
pencucian uang. Pertama, merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu.
Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana. Ketiga, Merahasiakan proses pencucian
uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh bpetugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang
sebenarnya.
Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau
pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya
pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against
Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah
melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan
diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-
langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil
perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara
lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran
Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara
ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana
kegiatan pencucian uang.
b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain
UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU
No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini
mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa
narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan
sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu
transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain hádala
transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya
termasuk pula kegiatan pencucian uang.
d. UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi
internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat
(2), misalnya, mengatur sebagai berikut:
“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya,
secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku
transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif,
antara lain:
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata
Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang
membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari
Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon
pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk
tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka
kepemilikan bank atau
pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan
kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu
anggota direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk
Satuan kerja Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan
hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor
bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif
untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.
Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus
mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas
nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang
mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain.
Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle)
ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga
dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai
risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau
jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan
rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For effective Banking
Supervision dan Bassel Committee .
bertujuan untuk :
a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan
nasabah;
d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pemerintah, termasuk Bank Indonesia, telah melakukan langkah-langkah yang lumayan konkret, tetapi hasilnya belum
cukup untuk upaya mencegah dan memberantas money laundering. Di samping itu, Lembaga Legislatif (DPR) juga
telah membuat suatu aturan Perundang-Undangang yang mengatur Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena
pencucian uang sudah ditetapkan menjadi suatu Tindak Pidana. Undang-undang tersebut yakni Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang Yang di undangkan pada Tanggal 17 April 2002. Undang-tersebut diubah karena dianggap kurang
efektif dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dan dalam Undang-undang ini telah dibentuk Suatu badan
yang independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan untuk membantu pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
DAFTAR PUSTAKA
wastika, Benny. 2011. Penerapan Asas Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. FH UI:
Jakarta.
Indriati, Santi. 2010. Tindak Pidana Pajak dan Money Laundering. Jakarta.
Iza, Fadri. 1994. “Seminar Nasional Pemutihan Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering Crime),
www.Legalitas.org
Komariah, Rukiah.2010. Artikel “Tindak Pidana Perpajakan dalam Penghindaran Penyimpangan, Penipuan dan
Pemalsuan Pajak”. www.legalitas.org
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan kasus
pembobolan dana PT Elnusa Tbk dan Pemkab Batubara di PT Bank Mega Tbk, merupakan
tindak pidana pencucian uang. Wakil Ketua PPATK Gunadi mengatakan aliran dana
Elnusa mengarah ke perorangan dan diinvestasikan di deposito. Sedangkan dana
Pemkab Batubara mengarah ke rekening perseorangan dan diinvestasikan deposito.
“Kami juga menemukan adanya penyalahgunaan Jabatan di Bank Mega Cabang Bekasi-
Jababeka,” kata Gunadi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI, Rabu (25/5).
Gunadi menjelaskan, berdasarkan penelusuran PPATK sejak April 2011, dalam kasus
Elnusa terdapat 33 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan 69 laporan
transaksi keuangan tunai (LTKT). Untuk Dana Pemkab Batubara, terdapat 18 LTKM dan
34 LTKT. Saat ini, PPATK telah mengirim laporan tersebut kepada penyidik Polda
dan Kejaksaan Agung.
Dalam kasus dana Pemkab Batubara, PPATK telah membekukan 10 rekening yang
dicurigai menerima dana dari rekening Pemkab Batubara yang ada di Bank Mega
Jababeka. “Kami menstop 10 rekening yang ditengarai dari rekening Pemerintah
Kabupaten Batubara yang jumlahnya senilai Rp4,4 miliar,” tuturnya.
Menurut Gunadi, uang Rp4,4 miliar itu bisa dapat menjadikan asset recovery Bank Mega.
Selain itu, PPATK menemukan adanya kesamaan modus yang terjadi pada pembobolan
di Bank Megayakni adanya tindak pidana pencucian uang.
Atas kasus ini, PPATK memberikan lima rekomendasi kepada Bank Indonesia (BI) agar
lebih mengamankan sistem perbankan nasional. Pertama, penyidik dan penuntut umum
harus mencantumkan adanya pengenaan sanksi pidana pencucian uang sesuai
dengan Pasal 7 Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (PPTPPU).
Kedua, PPATK mengusulkan peningkatan kerjasama antar bank dan penyedia jasa
keuangan lainnya dalam membantu proses penyelamatan dana hasil tindak pidana
seperti penundaan transaksi dalam Pasal 26 Undang-undang PPTPPU.
Ketiga, peningkatan peran aktif penyedia jasa keuangan, PPATK dan penegak hukum
untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU PPTPPU, seperti penundaan
transaksi, penghentian sementara transaksi dan pemblokiran guna mencegah
berpindahnya dana dari hasil tindak pidana.
Kelima, penyedia jasa keuangan khususnya bank wajib melakukan enhanced due
diligence dalam hal terdapat transaksi penempatan Deposito on Call (DoC) dana milik
Pemerintah Daerah/BUMN dalam jumlah yang signifikan atau besar pada kantor cabang
bank atau cabang pembantu bank yang relatif kecil.
Sekadar catatan, Pasal 7 UU PPTPPU menyatakan, selain terkena sanksi denda,
korporasi bisa terancam izin usahanya. Sanksi berat ini berlaku jika perusahaan ikut
terlibat atau menikmati hasil kejahatan. Sanksi paling ringan berupa denda maksimal
Rp1 miliar, bila bank sebagai penyedia jasa keuangan sengaja tidak melaporkan
keberadaan transaksi mencurigakan.
BI sendiri baru saja menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega terkait kasus pembobolan
dana Elnusa sebesar Rp111 miliar dan Pemkab Batubara Rp80 miliar. Namun, BI
memutuskan tidak mencabut izin usaha bank milik taipan Chairul Tanjung tersebut.
Keputusan RDG
Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 23 Mei 2011 memutuskan; Pertama, mengenakan
sanksi kepada Bank Mega dengan menghentikan penambahan nasabah DoC baru dan
perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis seperti Negotiable Certificate of
Deposit (NCD), selama satu tahun, menghentikan pembukaan jaringan kantor baru
selama satu tahun. Sanksi tersebut berlaku sejak 24 Mei 2011.
Kedua, BI akan melakukan fit and proper test terhadap manajemen dan pejabat
eksekutif Bank Mega. Ketiga, BI menginstruksikan Bank Mega untuk mereview seluruh
kebijakan dan prosedur, khususnya aktivitas pendanaan (funding) termasuk penetapan
target, limit dan kewenangan untuk kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas
dan individu, baik nominal maupun suku bunga, pengaturan wilayah kerja kantor serta
mekanisme inisiasi nasabah baru.
BI juga menginstruksikan agar Bank Mega untuk memperbaiki fungsi internal
control dan risk management, termasuk kecukupan jumlah auditor di setiap kantor,
proses check and balancebaik melalui tahapan kewenangan maupun sistem, fungsi
pengawasan kantor pusat terhadap kantor-kantor di bawahnya dan prinsip know your
employee.
Kemudian, bank sentral meminta Bank Mega memberhentikan pegawai di bawah pejabat
eksekutif yang terlibat dalam kasus dana nasabah atas nama PT Elnusa dan dana
Pemkab Batubara, Sumatera Utara di KCP Bekasi Jababeka. Bank Mega juga
diinstruksikan segera membentukescrow account senilai dana Elnusa dan Pemkab
Batubara.
Pencairan escrow account tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan BI dalam
hal sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang diselesaikan
melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau melalui kesepakatan
para pihak.
Kendati telah menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega, BI meminta nasabah bank
tersebut untuk tenang dan tidak panik. Bank sentral menilai, secara keseluruhan kondisi
keuangan bank masih tetap apik. Menurut Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, Bank
Mega bukanlah bank yang buruk. Hanya saja, kelemahan terjadi di dalam konteks
koordinasi kantor cabang dengan kantor pusat.
“Bank Mega tetap baik, kondisi permodalan bank ini tetap kuat dengan likuiditas sangat
likuid,” ujarnya di tempat yang sama.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun
2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen
dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4
tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari
memuaskan.
Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada
kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini
juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional
pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk
tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari
monitoring formal FATF.
Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak
“diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara
menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia
termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Yang menjadi permasalahan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa praktik pencucian uang harus diberantas dan bagaimana strategi
pemberantasannya.?
2. Untuk melihat faktor yang menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum
terhadap ketentuan anti pencucian uang di Indonesia, perlu melihat kembali
pemahaman untuk apa dilakukan kriminalisasi pencucian uang atau mengapa
praktik pencucian uang harus diberantas.
Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia membuat anti pencucian uang pada
walnya karena desakan Internasional bukan karena kesadaran pentingnya
pemberantasan pencucian bagi Indonesia,[3] praktik pencucian uang adalah suatu
jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi untuk dengan leluasa dapat menikmati
dan memanfaatkan hasil kejahatannya. Selain itu uang (hasil kejahatan) merupakan
nadi bagi kejahatan terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan
jaringan kejahatan mereka, maka penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil
kejahatan menjadi sangat penting.
Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk
mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal
narkotika dan subsatansi psichotropika.
BAB II
PEMBAHASAN
Pasal 6
Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta
kekayaan (yang diketaui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana).
Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut
menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.
Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian
uang yaitu:
Pasal 8:
Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar.
Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:
a. transaksi keuangan mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.
500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam
satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.
Pasal 9:
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa kedalam atau
keluar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta
dan paling banyak Rp. 300 juta.
Dari rumusan tersebut diatas sebenarnya sudah cukup bagus dan sesuai dengan
model pengaturan yang disarankan, hanya ketentuan angka Rp 500 juta atau dapat
ditentukan oleh PPATK agak menyimpang dari asas hukum pidana yaitu tidak ada
ketegasannya.
Untuk membuktikan unsure mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus
memenuhi knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut
menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang
menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja
setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud
untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit maka
pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau
petunjuk (circumstantial evidence) cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur
tersebut.
Jadi apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan bersal dari kejahatan maka dengan sendirinya unsur intended terbukti. Di
Indonesia hal ini nampaknya belum dilakukan, maka jaksa harus mengambil unsur
menyamarkan (disguissing) yang lebih mudah dibuktikan daripada menyembunyikan
(hiding).
A. KESIMPULAN
Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relatif
sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak
menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum
bisa berkerja secara simultan. Dalam praktek di lapangan sering terjadi
ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat
merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri.
Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi
yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul
persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang.
Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa
memandang tidak cukup bukti.
B. SARAN
Kendala lain yang pasti akan timbul antara lain belum diatur mekanisme dan
kerjasama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi
yang ditangani KPK yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada
kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian
uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara
bersamaan dengan dakwaan kumulatif.