Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era keterbukaan informasi saat ini, kemajuan teknologi berkembang


dengan sangat pesat. Begitu cepatnya perkembangan zaman juga diikuti semakin
berkembangnya jenis kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di masyarakat.
Semakin maju dan modern kehidupan masyarakat, maka semakin maju dan modern
pula jenis dan modus operandi kejahatan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena
itu kejahatan telah diterima sebagai sebuah fakta, baik pada masyarakat yang paling
sederhana (primitif) maupun pada masyarakat yang modern, yang merugikan
masyarakat (Rahardjo, 2002 : 29-30).

Dari mulai era reformasi hingga saat ini, kita mulai sering mendengar istilah
tindak pidana pencucian uang (money laundering). Jenis kejahatan ini erat
kaitannya dengan proses atau uang hasil perbuatan criminal yang umumnya dalam
jumlah besar. Di Indonesia sendiri tindak pidana pencucian uang selalu dikaitkan
dengan tindak pidana korupsi. Karena pada praktiknya sebahagian besar tindak
pidana pencucian uang berasal dari hasil tindak pidana korupsi.

Pada akhir-akhir ini masalah money laundering semakin banyak mendapat


perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga
regional bahkan global. Hal ini disebabkan karena pada realitanya kejahatan money
laundering semakin marak terjadi dari kurun waktu se-dekade ini. Money
laundering merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan
individu, bangsa dan negara.

Keberadaan praktik money laundering semakin marak terjadi seiring dengan


kemajuan teknologi informasi. Praktik money laundring seolah difasilitasi di era
teknologi dan internet saat ini, dimana kejahatan ini dapat dilakukan oleh seseorang
tanpa harus bepergian ke luar negeri. Kemudahan yang diberikan oleh kemajuan

1
teknologi informasi memungkinkan suatu transaksi dilakukan secara elektronik
melalui sarana internet.

Di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang


mengatur tentang tindak pidana pencucian uang melalui Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 yang berbunyi :

“ Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,


membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. ” 1

Keberadaan praktik money laundering yang terjadi di Indonesia tidak


terlepas dari sistem devisa bebas yang dianut oleh Indonesia. Sistem devisa bebas
ini juga memungkinkan berbagai rekayasa pencucian uang melalui lintas negara
yang sulit dilacak, sebaliknya para koruptor domestik pun semakin leluasa
mentransfer dana-dana ilegalnya untuk segera dicuci melalui bank-bank asing.

Di berbagai belahan dunia, money laundering sendiri merupakan kejahatan


lanjutan yang erat kaitannya dengan mafia dimana hasil dari berbagai kejahatan
yang menghasilkan dana yang besar, secara sedemikian rupa sumber dana ini
disulap seolah-olah berasal dari suatu proses yang sah. Fenomena ini muncul
menjadi suatu modus kejahatan baru yang praktiknya melintasi batas-batas negara
dan dapat mengganggu stabilitas ekonomi suatu negara.

1
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

2
B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas maka penulis melakuan identifikasi masalah sebagai


berikut :

1. Bagaimana sejarah terjadinya tindak pidana pencucian uang?


2. Bagaimana sejarah instrumen hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia?
3. Bagaimana tahapan proses dalam Tindak pidana Pencucian Uang?

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Problematik pencucian uang dalam bahasa inggris dikenal dengan nama


“money laundering”. Permasalahan uang haram ini telah menyita perhatian dunia
internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara.2
Kejahatan money laundering merupakan kejahatan terorganisir (organized crime)
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tanpa memandang dampak kerugian yang
ditimbulkan.

Menurut Sterling Seagrave dalam bukunya yang berjudul “Lord of The


Rim”, praktik pencucian uang telah dikenal sejak 2000 tahun sebelum masehi. Buku
tersebut menuliskan bahwa tepatnya di negeri China saat itu terdapat para pedagang
yang melakukan penghindaran pelaksanaan kewajiban membayar pajak dengan
cara mengembara sambil membawa seluruh uang yang mereka miliki (Soewarsono,
Emmie Yuhassarie).

Selain di Negeri Cina, pencucian uang juga diduga telah muncul di Perancis
pada abad ke-17 dengan bukti sejarah saat para bangsawan dan keluarga kerajaan
yang menganut agama Protestan Hugenot membawa seluruh kekayaan ke Swiss,
karena mendapat tekanan politik, agama dan ancaman perampasan kekayaan oleh
penguasa pada jaman tersebut.3

Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam


dari usaha kejahatannya dengan bantuan si genius Meyer Lansky, orang Polandia.
Lansky, seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu
(laundry). Demikianlah asal muasal muncul nama “Money Laundering”.4

2
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, ( Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008) hlm. 1
3
Sterling Seagrave, Lord of the Rim: the Invisible Empire of the Overseas China (Putnam: 1995),
hlm.12
4
J.E. Sahetapy, Business Uang Haram, www.khn.go.id

4
Istilah pencucian uang atau money loundering ini telah dikenal sejak dekade
tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika seorang mafia membeli perusahaan
yang sah dan resmi sebagai strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan
pencucian pakaian atau disebut Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika
Serikat.Pada dekade 1920-1930 ada kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone
adalah seorang penjahat terkenal dari Amerika Serikat. Ia melakukan money
laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa seorang
akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah
melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money loundering.5

Usaha binatu milik Al Capone ini ternyata berkembang maju dengan


berbagai perolehan hasil uang haram dari proses kejahatan lain yang berpa cabang
usaha yang ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil
proses minuman keras illegal, hasil perjudian, dan hasil perusahaan pelacuran6.

Secara kebetulan Swiss di tahun 1930-an mulai menerapkan Bank Secrecy


Law. untuk membantu pihak-pihak yang menginginkan untuk menyembunyikan
kekayaan dari suatu ketakutan terhadap ancaman Nazi dan alasan lain. Namun
kebijakan hukum tersebut justru menarik perhatian pihak lain yang berniat
menyembunyikan harta kekayaan mereka (baik harta yang sah atau tidak sah) agar
tidak dapat diketahui keberadaannya. Ditambah Swiss tidak menjadikan Tax
Evasion (penghindaran pajak) sebagai suatu kejahatan, hingga setiap orang yang
akan menaruh dananya di sana, tidak akan melalui pemeriksaan yang sangat ketat.

Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang seiring


dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotika dan obat bius
yang mencapai miliaran rupiah. Karenanya, kemudian muncul istilah “narco
dollar”, yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotika.7

5
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, ( Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008) hlm. 1
6
Ibid
7
Op.cit., Hlm. 2

5
Dari paparan kasus tersebut menegaskan bahwa pada awalnya tindak
kejahatan pencucian uang memiliki tujuan untuk menghindari kewajiban pajak
dengan cara yang illegal. Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian
uang atau pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut juga dengan
pembersihan uang yang sifatnya gelap (kotor). Money laundering merupakan salah
satu aspek perbuatan kriminal. Dikatakan demikian karena sifat kriminalitas money
laundering ialah berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang
yang sifatnya gelap, haram dan kotor. Lalu sejumlah uang tersebut dikelola dengan
cara sedemikian rupa dengan membentuk usaha, mentransfer atau
mengkonversikannya ke bank atau valuta asing sebagai langkah untuk
menghilangkan latar belakang dari dana kotor tersebut.8

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor


perbankan, dewasa ini banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan
pencucian uang disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa
instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk
menyembunyikan/menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi
perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi
negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi
oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahatan bergerak dari
suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat
untuk menanggulangi kegiatan pecucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang
menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat. 9

Fakta bahwa pencucian uang (money laundering) telah menghilang secara


cepat melalui beberapa cara seperti perpindahan modal, banyak uang haram
menyatu dan berpindah bersama uang halal dalam perdagangan internasional setiap
menitnya. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang semakin
cepat dibarengi kemudahan informasi, mempengaruhi kecepatan transaksi dan
pengiriman dana antar negara. Namun yang disayangkan dari kemudahan tersebut

8
N.H.T Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2005) hlm. 3
9
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, ( Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008) hlm. 2

6
adalah pencucian uang yang semakin pesat juga dilakukan. Uang-uang tersebut
kemudian diarahkan untuk masuk ke beberapa yurisdiksi strategis seperti Swiss,
Panama, Kepulauan Bahama, Antilles, Cayman Island, British Virgin Island, dan
beberapa negara lain yang menjadi surga pelaku pencucian uang karena kerangka
dan dasar hukum yang memberikan berbagai fasilitas kemudahan dalam
menempatkan uang haram.

Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) mengeluarkan the


United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and
Psychotropic Substances of 1988 (Vienna Convention) tahun 1988. Pencucian
uang hasil jual-beli/perdagangan narkoba diperkenalkan melalui konvensi tersebut.
Pencucian uang secara langsung dikriminalisasi oleh Vienna Convention tersebut.
Secara umum terdapat dua (2) target utama proses legislasi anti-money laundering
pada konvensi tersebut, yaitu:10

a. Pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan pencucian uang secara


langsung atau pun tidak.
b. Pihak-pihak yang harus melindungi diri dari aktivitas pencucian uang
seperti orang dengan posisi tertentu di dalam institusinya, bisnis atau
profesinya.

Konvensi ini merupakan titik balik pemberantasan jual-beli/perdagangan


narkoba dan titik mula pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang. Di dalamnya terdapat beberapa unsur penting, seperti:

a) law enforcement instrument and contains provisions requiring


international criminal cooperation including extradition;
b) Asset forfeiture;
c) Mutual legal assistance;
d) Cooperation between law enforcement agencies;

10
Ernesto U.Savona dan Michael A.De Feo, International Money laundering Trends and
Prevention/Control Policies dalam Ernesto U. Savona, ISPAC (International Scientific and
Professional Advisory Council of the United Nations Crime Prevention and Criminal Justice
Programme), Responding to Money laundering : International Perspectives, (Amsterdam:
Harwood Academic Publishers, 1997), hlm.41.

7
e) Control of precursor and essential chemicals, and crop eradication.

Dalam upaya merespon kebutuhan dalam memerangi pencucian uang, pada


tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan The International
Convention Againts Transnational Organized Crimes, yang dikenal dengan
Palermo Convention, yang memberikan pengaturan standar dalam upaya mencegah
dan memberantas pencucian uang. Konvensi ini memperluas predicate crimes
tindak pidana pencucian uang meliputi seluruh tindak pidana berat (serious crime),
yang diartikan dengan tindak pidana yang diancam dengan hukuman minimal
empat tahun. 11

Finansial Action Task Force on money laundering (FATF) suatu gugus


tugas yang beranggotakan 31 negara dan 2 organisasi regional. FATF dalam
perannya sebagai organ khusus yang membantu seluruh negara untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di dunia memiliki kedudukan yang
strategis. Meskipun berbentuk gugus kerja, namun sifat dari setiap rekomendasi
yang dikeluarkan oleh FATF sangat dipercaya dan memiliki legitimasi sehingga
bagi negara yang tidak patuh terhadap rekomendasi-rekomendasinya, akan
kehilangan kepercayaan bersama dan negara lain enggan melakukan hubungan
ekonomi dan keuangan dengannya. Garis besar tugas FATF adalah: 12

a. Mengawasi, memonitori dan mengevaluasi capaian-capaian negara


anggota FATF dalam upaya untuk patuh (complied) terhadap
seluruh langkah-langkah strategis maupun rekomendasi yang telah
dibuat dan disepakati.
b. FATF dituntut untuk menyelenggarakan penelitian dan kajian
seputar trends (kecenderungan) pencucian uang, teknik-teknik
pencucian uang (termasuk di dalamnya adalah tipologi baru), dan
langkah-langkah untuk mencegah dan memberantasnya.

11
Badan Diklat Kejaksaan R.I, Modul Tindak Pidana Pencucian Uang. Hlm. 5
12
Ibid.

8
c. Mendorong dan mempromosikan kepada negara-negara anggota
terhadap standar anti-pencucian uang kepada masyarakat luas.

Berdasarkan statistik IMF13, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank


diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US$ 1.500 miliar per tahun. Sementara
itu, menurut Associated Press kegiatan pencucian uang hasil perdangan obat bius,
prostitusi, korupsi, dan kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui
perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan
kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 miliar per tahun.

2. Sejarah Instrumen Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Pada bulan Juni 2001, Indonesia dimasukkan dalam NCCTs. Secara garis besar,
kelemahan yang dinilai oleh FATF sehingga Indonesia dimasukkan dalam NCCTs
adalah belum adanya Undang-Undang yang mengkriminalisasi kejahatan pencucian
uang, belum dibentuknya Financial Intelligence Unit (FIU), belum adanya kewajiban
pelaporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan PJK kepada FIU,
adanya loopholes dalam pengaturan keuangan seperti tidak adanya Peraturan Prinsip
Mengenal Nasabah (PMN) untuk lembaga keuangan, dan kurangnya kerjasama
internasional.

Masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCTs tersebut mendorong pemerintah


Indonesia untuk segera mengambil berbagai langkah strategis yang terencana dengan
baik. Pada tanggal 17 April 2002, merupakan hari yang bersejarah dalam dunia
hukum Indonesia, karena pada saat itu disahkannya Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang setahun kemudian
tepatnya pada tanggal 13 Oktober 2003 diubah dengan adanya Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang tersebut merupakan
desakan internasional terhadap Indonesia antara lain dari Financial Action Task
Force (FATF), badan internasional di luar PBB.

13
Yunus Husein, “Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita”, dalam
Pengembangan Perbankan, Mei-Juni 2001, Hlm. 31-40

9
Di dalam UU Nomor 25 tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dijelaskan
:

“ Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,


membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. ”

Beberapa hal pokok yang telah diatur dalam UU TPPU tersebut antara lain
adalah :

1. Secara tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu


kejahatan.
2. Memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) sebagai focal point dengan tugas pokok
mengkoordinasikan langkah-langkah pemberantasan kejahatan
pencucian uang
3. Kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan
dan transaksi keuangan tunai dengan batasan Rp 500 juta dari
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK dalam jangka waktu
14 (empat belas) hari.
4. Pengecualian pelaksanaan kerahasiaan bank dalam rangka
penerapan UU TPPU Telah diundangkannya UU TPPU tersebut
menjadi tonggak awal dalam pembangunan rezim anti pencucian
uang di Indonesia.

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah


meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances 1998 (Konvensi 1998). Konsekuensi ratifikasi
tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya.
Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002, namun penerapannya

10
kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif.
Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi pencucian uang. Antara lain karena
menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, korupsi yang merajalela,
maraknya kejahatan narkotik, dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian
Indonesia dalam keadaan yang tidak baik, sehingga ada kecenderungan akan
menerima dana dari mana pun untuk keperluan pemulihan ekonomi.

Dalam perjalanan Indonesia dalam memerangi Tindak Pidana Pencucian


Uang, dengan segala upayanya agar keluar dari daftar negara yang tidak kooperatif
menangani tindak pidana pencucian uang. Akhirnya Indonesia mendapat progres
positif. Pada tanggal 29 Juni 2018, FATF yang dipimpin oleh Presiden FATF–Mr.
Santiago Otamendi secara menyeluruh dan konsensus mengesahkan status
Indonesia sebagai Observer dalam organisasi FATF. Diresmikannya Indonesia
menjadi observer FATF memiliki arti penting, mengingat FATF adalah suatu forum
kerjasama antar negara yang bertujuan menetapkan standar global rezim anti
pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta hal-hal lain yang mengancam
sistem keuangan internasional.14

3. Tahapan Proses Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Terdapat beberapa tahapan dalam proses pencucian uang, tahapan tersebut


antara lain:

1. Placement (Penempatan)

Pada tahap penempatan bentuk uang dirubah karena sebagian besar


aktivitas kejahatan modern khususnya pengedaran obat bius (narkoba),
bergantung pada uang tunai sebagai alat pertukaran utama, mekanisme
penempatan biasanya melibatkan pengubahan mata uang menjadi
bentuk lainnya.

14
http://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/808/indonesia-resmi-menjadi-observer-financial-
action-task-force.html

11
2. Layering (Penyelubungan)

Setelah pencucian uang berhasil melakukan tahap placement, tahap


berikutnya adalah layering atau disebut pula haevy soaping. Dalam
tahap ini pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan uang
hasil kejahatan itu dari sumbernya. Adapun hal itu dilakukan dengan
cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank yang lain dan
dari negara yang satu ke negara yang lain sampai beberapa kali, yang
sering kali pelaksanaannya dilakukan dengan cara memecah-mecah
jumlahnya, sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali
itu asal-usul uang tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas
moneter atau oleh para penegak hukum.

3. Integration (Pengintegrasian)

Dalam tahap ini dapat dikatakan juga bahwa pelaku menggabungkan


dana yang baru dicuci dengan dana yang berasal dari sumber yang sah
sehingga lebih sulit untuk memisahkan keduanya. Setelah mencapai
tahap ini, pelaku kejahatan bebas menggunakan dana tersebut dengan
berbagai cara. Hasil kejahatan ini bisa diinvestasikan kembali kedalam
kegiatan kriminal dan kemudian digunakan untuk melakukan kejahatan
lain seperti terorisme. Dana ilegal juga dapat digunakan untuk
berinvestasi dalam perekonomian yang sah.

12
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari semua penjelasan diatas tersebut maka penulis menyimpulkan beberapa hal
yaitu diantaranya sebagai berikut :

1. Menurut Sterling Seagrave dalam bukunya yang berjudul “Lord of The


Rim”, praktik pencucian uang telah dikenal sejak 2000 tahun sebelum
masehi dimana Buku tersebut menuliskan bahwa tepatnya di negeri China
saat itu terdapat para pedagang yang melakukan penghindaran pelaksanaan
kewajiban membayar pajak dengan cara mengembara sambil membawa
seluruh uang yang mereka miliki. Istilah pencucian uang atau money
loundering ini telah dikenal sejak dekade tahun 1930 di Amerika Serikat,
yaitu ketika seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai
strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau
disebut Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika Serikat.Pada dekade
1920-1930 ada kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone adalah
seorang penjahat terkenal dari Amerika Serikat. Ia melakukan money
laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa
seorang akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang
dilakukannya adalah melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal
istilah money loundering.
2. Masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCTs tersebut mendorong pemerintah
Indonesia untuk segera mengambil berbagai langkah strategis yang terencana
dengan baik. Pada tanggal 17 April 2002, merupakan hari yang bersejarah
dalam dunia hukum Indonesia, karena pada saat itu disahkannya Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
yang setahun kemudian tepatnya pada tanggal 13 Oktober 2003 diubah
dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Undang-undang tersebut merupakan desakan

13
internasional terhadap Indonesia antara lain dari Financial Action Task
Force (FATF), badan internasional di luar PBB.
3. Terdapat tiga tahapan proses dalam tindak pidana pencucia uang yaitu :

a. Placement (Penempatan)
b. Layering (Penyelubungan)
c. Integration (Pengintegrasian)

B. Saran

Sebagai saran guna penanganan serta penanggulangan atas pokok permasalahan


yang telah dibahas dalam penulisan tugas ini, maka penulis mengemukakan hal-hal
sebagai berikut, yaitu :

1. Kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan kejahatan


yang memberi dampak kerugian yang besar bagi stabilitas ekonomi
suatu negara sehingga perlu adanya evaluasi terhadap peraturan
perundang-undangan agar mampu menjangkau setiap kelemahan
hukum yang dimanfaatkan para pelaku tindak pidana pencucian
uang tersebut.
2. Dalam hal implementasi UU Tindak Pidana Pencucian uang,
manajemen pengawasan dari pemerintah sangatlah penting.
Dikarenakan tindak pidana pencucian uang ini adalah kejahatan
terorganisir yang tidak hanya melibatkan satu pihak, namun pihak-
pihak tertentu tidak terkecuali aparatur negara.
3. Perlu pengawasan yang lebih intens dari aparat penegak hukum
demi melindungi negara dari segala tindakan money laundering
yang sudah pasti memberi dampak kerugian besar bagi negara.
Ditambah lagi kondisi saat ini perekonomian negara belum
mengalami peningkatan dilihat dari daya beli masyarakat yang
sangat rendah.

14

Anda mungkin juga menyukai