Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat dan umatnya,  Amin.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat dari dosen
pengampu mata kuliah teknologi administrasi bank dan sumber–sumber
literatur lain yang relevan. Namun demikian Penulis menyadari jika adanya
kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan
itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan arahan dari
dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata pengantar ini,
semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian dan terima kasih. 
DAFTAR ISI

Halaman  Judul ……………………………………………….. i


Kata Pengantar ……………………………………………….. ii
Daftar  Isi ……………………………………………….. iii

BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
2. Perumusan Masalah …………………………………………. 3
3. Tujuan ……………………………………………….. 3

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Money Laundering ……………………………… 5
B. problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi … 9

BAB III : PENUTUP 


A. Simpulan       …………........................................................... 15
B. Saran ……………………………………………………. 15

Daftar Pustaka …………………………………………………….. 16


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan
aset yang sah.  Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan
pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek
korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan
secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang.
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan
nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks,
apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik
uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena
dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai
suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan
yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang
ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari
akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir
ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas
dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan
membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.
Money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor
(dirty money). Uang kotor ini, berasal dari praktek-praktek haram dan illegal
seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan, serta tindak pidana perbankan
dan praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk membersihkannya uang
tersebut ditempatkan pada suatu bank atau tempat tertentu untuk
sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering),
misalnya melalui pembelian saham di pasar modal, transfer valuta asing
atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang
yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang
diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset tersebut
(integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering, karena
mengubah uang kotor menjadi bersih tak berbekas melalui proses
keuangan yang sah.
Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan
oleh orang yang menguasai atau mempunyai pengetahuan khusus di dunia
penyedia jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu
pengetahuan di bidang komputer.
Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global.
Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu teknik yang
canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang
memanfaatkan kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari
itu pemerintah menutup Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan
usahanya, Bank Global sudah nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy
Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modalnya sudah berada pada titik minus
39 persen. Dengan adanya indikasi berbagai pelanggaran ditambah
dengan ketertutupan dari pihak manajemen, maka BI kemudian bertindak
lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha dengan tujuan demi
menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang
utama ialah mengamankan dana nasabah.

B. Perumusan Masalah
1. Apa Pengertian Money Loundering?
2. Bagaimana Perkembangan Tata Cara Money Loundering?

C. Tujuan Pembahasan
1. Agar Mengetahui Pengertian Money Loundering
2. Agar Mengetahui Perkembangan Tata Cara Money Loundering
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Money Loundry


Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya
perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana
atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi
keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah
berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak
pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit
ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa
memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah
maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak
hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan
sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

B. Hukum Pencucian Uang di Indonesia


Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam
tiga tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.
(Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun,
dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun
2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang
menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada
setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini
pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat,
yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun,
dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e.
penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang
perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j.
kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata
gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r.
penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang
perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di
bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam
dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan
dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

C. Model Money Loundry


Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada
dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing
berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement,
layering, dan integration.
a.       Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem keuangan. Dalam
hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui
penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain,
menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan
uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan
melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya
deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga
mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam
valuta asing.
b.      Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya
yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan tranaksi
keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya
melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk
menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat
pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per
usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c.       Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak
sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai
bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian
uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh
dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah
menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya
dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan di atas dapat
terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara
tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu
semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa
keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement,
layering, maupun integration., sehingga penanganannya pun semakin sulit
dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity building) secara
sitematis dan berkesinambungan.Jadi dalam integration, begitu uang
tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara
layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah
menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan
operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang
mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses
pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana
yang begitu besar dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan
mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan terutama yang
menyangkut narkotika.. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para
penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi
yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah
yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin
menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram ini, yaitu kerahasiaan
bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada
empat factor yang dilakukan dalam proses pencucian uang. Pertama,
merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil
kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa
kemana-mana. Ketiga, Merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga
menyulitkan pelacakan oleh bpetugas hukum. Keempat, mudah diawasi
oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.
D. Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang

Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat


dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana,
seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI
dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan
pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit
Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang
kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997.
Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara
penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang
sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar
pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan
atau menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa
langkah yang telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti
komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang.
a. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996
tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri
Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor
Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan
tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar
hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang
Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang
menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini
mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus
mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997
disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam
pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
c. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat
memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau
seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank
Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana
di bidang perbankan”.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud
dengan tranaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar
yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini
tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.
d. UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui
pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara
tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal
3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut:
“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai
kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau
melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis
transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara
tujuan atau asal pelaku transaksi.
e. Ketentuan Bank Indonesia
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang
secara langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas
kegiatan money laundering secara administratif,
antara lain:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR
tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke
Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini
setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke
dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk
ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh
izin dari Bank Indonesia.
2. Surat  Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk
pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari
dan untuk tujuan money laundering.
3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka
permohonan izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank
wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak
berasal dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14
huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka
kepemilikan bank atau
pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan
uang.
4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
(Complience
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank
Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap
ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan
salah satu anggota direksinya sebagai Compliance Director yang
memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga
diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
   5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi
tertentu oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang
memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia, kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan
ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif untuk
mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian
uang.
6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan
Mengenal
Nasabah (Know Your Customers Principles)
Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan,
bank atau jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan
sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui
identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah,
serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang mencurigakan
(suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan
jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih
dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini
didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka
pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan
prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan
lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-
party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain
harus mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak
terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini
merupakan rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari
dua puluh lima Core Principles For effective Banking Supervision dan
Bassel Committee .
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya
bertujuan untuk :
a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap
aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan nasabah;
b. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan
yang berlaku;
c. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk
melakukan aktivitas kejahatan.
e. melindungi reputasi bank.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pemerintah, termasuk Bank Indonesia, telah melakukan langkah-langkah
yang lumayan konkret, tetapi hasilnya belum cukup untuk upaya mencegah
dan memberantas money laundering. Di samping itu, Lembaga Legislatif
(DPR) juga telah membuat suatu aturan Perundang-Undangang yang
mengatur Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena pencucian uang
sudah ditetapkan menjadi suatu Tindak Pidana. Undang-undang tersebut
yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang Yang di undangkan pada Tanggal 17 April 2002. Undang-tersebut
diubah karena dianggap kurang efektif dalam memberantas tindak pidana
pencucian uang. Dan dalam Undang-undang ini telah dibentuk  Suatu
badan yang independen yang bertanggung jawab langsung kepada
presiden dan untuk membantu pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Anda mungkin juga menyukai