2, 2016
Indonesia sebagai anggota PBB telah turut berusaha untuk menanggulangi masalah
kejahatan Money Laundring dengan ikut serta dalam pembahasan naskah Konvensi
Memberantas Peredaran Gelap Narkotika dan bahan-bahan Psikotropika yang
diadakan di Wina tanggal 25 Nopember sampai dengan 20 Desember 1988. Indonesia
menganggap perlu untuk turut serta (menjadi pihak) Konperensi tersebut dengan
alasan sebagai berikut : (a) Demi kepentingan sendiri, terutama sebagai Negara transit,
Indonesia dapat mencegah dan menangkal masuknya narkotika dan memanfaatkan
kerjasama Internasional dalam m-sipasi berbagai bahaya narkotika yang mengancam.
(b) Seluruh Negara konfrensi nampak sangat berkeinginan agar konvensi dapat segara
diperlukan. Dengan persetujuan bahwa hanya diperlukan ratifikasi 20 negara untuk
melakukan Konvensi tersebut. (c) Baik ketua Konperensi, maupun Sekretaris Jenderal
PBB dalam kata sambutan/penutupannya menghimbau agar Negara-negara melakukan
penandatanganan dan ratifikasi. (d) Patut dicatat bahwa pada saat Konperensi berakhir
dari 106 Negara peserta Konperensi ada 43 negara yang langsung menandatangani
Konvensi (BPHN. 1992). Meskipun Indonesia ikut serta membicarakan naskah Konvensi
Memberantas Peredaran Gelap Narkotika dan Bahan-bahan Psikotropika tahun 1988, tapi
Indonesia baru meratifikasi Konvensi PBB tersebut dengan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1997 tentang Psikotropika. Konvensi ini menekankan pentingnya kerjasama
Internasional dalam rangka pencegahan money laundering terhadap hasil kejahatan obat
bius dan perdagangan haram Iainnya dan menetapkan money laudering sebagai suatu
tindak pidana dengan menetapkan prosedur penyitaan atas hasil kejahatan tersebut. Atas
desakan The International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) agar
Indonesia dengan segera mempunyai Undangundang Pemberantas Tindak Pidana
Pencucian uang, maka Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia menyiapkan
Rancangan UndangUndang Pemberantas Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
mengadopsi The Forty Recommendationari The Financial Action Task on Money
Laundering (FATF), yaitu suatu badan kerjasama Intemasional yang didirikan oleh negara
yang tergabung dalam G-7 Summit di Prancis pada bulan Juli 1989 yang bertujuan untuk
mengupayakan berbagai cara dan tindakan dalam memberantas pencucian uang. Tanggal
17 April 2002 RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan dengan
UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, agar
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara
efektif dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian
uang dan standar internasional,
63
Zona Hukum Vol. 10, No. 2, 2016
maka pada tanggal 13 oktober 2003 disahkan Undang-Undang Tentang Perubahan alas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Semakin majunya teknologi jasa perbankan
sangat signifikan terhadap kejahatan pencucian uang, terlebih lagi globalisasi keuangan
yang menyebabkan transaksi dalam negeri maupun antar negara dapat dilakukan dalam
beberapa menit. Berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank-bank
diperkirakan hampir mencapai nilai USD 1.500 miliar pertahun. Sementara itu, menurut
Associated Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, prostitusi dan
kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian
dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai
USD 600 miliar pertahun. yang berarti sama dengan 5% Gross Domestic Product (GDP)
di seluruh dunia. (Husein. 2000). Pada tahun 2001 Financial Action Task on Money
Laundering (FATF) menetapkan Indonesia sebagai salah satu Non Cooperative Countries
and Territories (NCC7) karena tidak dipenuhinya beberapa rekomendasi FATF antara lain
karena belum adanya undangundang anti Money laundering dan lack of supervision on
financial institution khususnya yang berkaitan dengan pengawasan terhadap operasional
Bank yang digunakan sebagi sarana atau sasaran money laundering. Dampak yang
ditimbulkan berkenaan dengan ketetapan FATF tersebut antara lain pemerintah dari
negara-negara FATF akan meminta Bank-Banknya untuk menetapkan persyaratan yang
lebih berat atau lebih mahal jika melakukan transaksi dengan Bank di Indonesia karena
dianggap mempunyai resiko yang tinggi. Pada sidang FAFT pada tanggal 19 - 21 juni
2002 di Paris, Indonesia masih ditetapkan sebagai Non Cooperative countries and
Territories, akan tetapi tidak dikenakan tindakan balasan dengan catatan negara-negara
anggota FATF meminta bukti-bukti penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang dan peraturan Bank Indonesia tentang Mengenal Nasabah (Know Your Customer).
64
Zona Hukum Vol. 10, No. 2, 2016
65
Zona Hukum Vol. 10, No. 2, 2016
wilayah Negara Republik Indonesia. (3) PATK, penyidik, saksi, penuntut umum,
hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian
uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan merahasiakan indentitas pelapor atau
hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya indentitas pelapor. (4) Pejabat
atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut undang-undangini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan
tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang. (5) Sumber
keterangan dan laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib dirahasiakan dalam
persidangan pengadilan.
66
Zona Hukum Vol. 10, No. 2, 2016
67
Zona Hukum Vol. 10, No. 2, 2016
KESIMPULAN
Indonesia sebagai bahagian masyarakat dunia telah melakukan upaya dengan dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk
mencegah agar intensitas kejahatan yang menghasilkan uang dalam jumlah besar dapat
diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian dan keamanan negara tetap terjaga. Bank
mempunyai kedudukan yang strategis atau pintu utama dalam proses pencucian uang, oleh
karena itu jasa Perbankan harus mengantisipasi masuknya uang dari hasil kejahatan.
Penerapan prinsip Mengenal Nasabah sebagai salah satu upaya untuk lebih mengenal
nasabahnya, bukan hanya sebatas mengetahui indentitas pribadi pemilik rekening dari
suatu bank, tetapi bertujuan agar bank dapat mendeteksi secara dini adanya indikasi
kegiatan transaksi yang melanggar hukum dari nasabahnya, sehingga
68
Zona Hukum Vol. 10, No. 2, 2016
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1992. Analisa dan Evaluasi Hukum Tertulis
Tentang Tindak Pidana Ekonomi (Money laundering).
Basel Committee Publications No. 77, Costomer Due Diligence for Bank
FATF secretariat. 2002. The Review of Forty Recommendations Financial Action Task
Force on Money Laundering, Paris
Black, Campbell Henry. 1990. Black s Law Dictionary (Sixth Edition), St. Paul Minn,
West Publishing Co.
Husien, Yunus & Zulkamacn Sitompul. 2000. Pensuapan, Prinsip Mengenal Nasahah
(Neh Bark dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Money Laundering,
Makalah pada Lokakarya Banks Associated Press.
Stessens, Guy. 2000. Money Laundering a New International Law Enforcemen Model,
Cambridge University Press.
69