Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENCUCIAN UANG

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kejahatan Money Laundering

Disusun oleh:
Fikri Farhan Mulyadin - 201000386
Raihan Aria Azka
Farhan Zuhdi - 201000390
Witri sapitri
Devina

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

Pada akhir-akhir ini masalah money laundering semakin banyak mendapat perhatian

dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan

global, hal ini disebabkan karena pada kenyataannya kejahatan money laundering dari waktu

ke waktu semakin marak .

Dilain pihak money laundering merupakan salah satu aspek kriminalitas yang

berhadapan dengan individu, bangsa dan negara maka pada gilirannya sifat money laundering

menjadi universal dan menembus batas-batas yuridiksi negara. Praktek money laundering

dilakukan oleh seseorang tanpa harus bepergian ke luar negeri, hal ini dimungkinkan karena

kemajuan teknologi informasi melalui cyberspace dengan menggunakan sarana internet.

Dengan system diatas dapat dilakukan secara elektronik melalui Bank, begitu pula seseorang

pelaku money laundering bisa mendepositokan uang kotor kepada suatu bank tanpa

mencantumkan identitasnya.

Money laundering merupakan suatu aspek perbuatan kriminal karena sifat

kriminalitasnya adalah berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang

sifatnya gelap, haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini kemudian dikelola dengan

aktivitas-aktivitas tertentu seperti dengan membentuk usaha, mentransfer atau

mengkonversikannya ke bank atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan latar

belakang dari dana kotor tersebut.

Pada awalnya di dunia internasional money laundering terkait dengan perdagangan

obat bius /narkotika dan kejahatan besar lainnya dan tidak dikaitkan dengan kejahatan-

kejahatan seperti korupsi (BPKP, 1999). Kini pencucian uang sudah dikaitkan dengan proses

2
atau uang hasil perbuatan kriminal yang umumnya dalam jumlah besar, sementara di

berbagai negara termasuk Indonesia, uang yang diperoleh dari hasil korupsi adalah termasuk

kategori kriminal, maka masalah money laundering dikaitkan juga dengan perbuatan korupsi.

Hal-hal lain menyebabkan terjadinya praktek money laundering di Indonesia, dapat

juga disebabkan karena Indonesia menganut system devisa bebas. Sistem devisa bebas

memungkinkan setiap orang bebas memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari

wilayah yuridiksi Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang

Pelaksanaan Ekspor, Impor, dan Lalu lintas Devisa. Padahal sebelum keluarnya kebijakan

hukum diatas ada ketentuan supaya setiap devisa yang keluar masuk, harus dicatat oleh Bank

Indonesia sebagaimana digariskan dalam UU No.32 Tahun 1964 tentang lalu lintas devisa.

Disatu sisi, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan

lalu lintas Devisa memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi

pembangunan nasional, hal ini mengundang masuknya investor asing menanamkan modalnya

di Indonesia, namun disisi lain timbul dampak yang tidak diinginkan berupa efek negatif

dalam bentuk terjadinya money laundering.

Sistem devisa bebas ini juga memungkinkan berlbagai rekayasa pencucian uang

melalui transaksi lintas negara dan sulit dilacak, sebaliknya para koruptor domestik pun

makin leluasa mentransfer dana-dana ilegalnya untuk segera dicuci melalui bank-bank asing,

selain itu maraknya investasi pasar modal dan bisnis Valuta asing juga semakin meramaikan

praktek money laundering.

Selain hal diatas, juga dengan munculnya system teknologi perbankan secara

elektronik yang disebut electronic money atau E-money. Sistem perbankan ini dapat

bertransaksi dengan system internet cyberpayment yang kemudian dimanfaatkan oleh si

pencuci uang.

3
E-Money adalah suatu system yang secara digital ditanda tangani suatu lembaga

penerbit melalui kunci enkripsi pribadi (private encryption key) dan melalui enkripsi

(rahasia) ini dapat ditransmisikan kepada pihak lain (Siahaan, 2002 : 23).

Pengamat money laundering R.Mark Bortner (Siahaan, 2002: 23) dalam suatu

seminar di Fakultas Hukum University of Miami mengungkapkan bahwa pemerintah

Amerika Serikat mengkhawatirkan perkembangan Cyberpayment ini, karena jaringan internet

telah disalahgunakan oleh para pencuci uang.

Selain itu sistem kerahasiaan bank yang dianut suatu negara juga merupakan salah

satu faktor sarana untuk pencucian uang, semakin ketat suatu kerahasiaan perbankan suatu

negara, maka semakin intens pula dipergunakan sebagai sarana untuk pencucian uang.

Melalui ketentuan rahasia Bank terdapat berbagai bentuk kepentingan dapat terjadi, misalnya

berkaitan dengan penghitungan dan penagihan pajak oleh petugas pajak, tunggakan kredit

yang merugikan negara dan masyarakat, masalah audit yang dilakukan pengawas keuangan

negara, pemberantasan korupsi, perdagangan narkoba, kasus illegal Logging dan sebagainya.

Dengan system kerahasiaan bank dipegang ketentuan untuk melarang bank

mengungkapkan data-data rekening dan berbagai personal dari para nasabahnya. Karena

system ini dalam prakteknya banyak ditunggangi oleh para pencuci uang maka Financial

Action Task Force (FATF) dan International Monetery Fund (IMF) mendesak supaya supaya

system kerahasiaan Bank ini tidak diterapkan secara ketat. Dalam pertemuan Menteri-menteri

Keuangan Uni Eropa tahun 2000 lalu, juga meminta supaya para negara anggotanya

meniadakan ketentuan rahasia Bank itu.(Siahaan, 2002:24).

Di Indonesia sendiri, menganut sistem kerahasiaan bank , dasar hukum ketentuan

bank mula-mula diatur dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dan

kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Maka Pasal 1 ayat (16) UU

4
no. 7 Tahun 1992 dianut system rahasia bank yang tidak membedakan nasabah, baik terhadap

nasabah deposan maupun nasabah peminjam, sedangkan Pasal 1 ayat (28) UU No. 10 Tahun

1998, system kerahasiaan bank hanya membedakannya terhadap para nasabah deposan saja.

Mengenai ketentuan yang melarang untuk memberikan keterangan tentang data-data

nasabah dapat dilihat dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah

dengan UU No. 10 Tahun 1998, dengan hal yag sama terdapat pula dalam Pasal 40 ayat (1).

Jika dalam UU No. 7 Tahun 1992, larangan mengungkapkan data-data nasabah menyangkut

kepada dua jenis nasabah (deposan dan peminjam), maka menurut UU No. 10 Tahun 1998,

larangan itu terbatas hanya menyangkut nasabah peminjam (kreditur saja). Selengkapnya

bunyi pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 sebagai berikut: “Bank wajib merahasiakan

keterangan mengenai nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, pasal 44 dan pasal 44A. Dengan melihat

bahwa media rahasia bank, cukup berpotensi sebagai tempat berlindung bagi penyimpanan

uang di bank , maka berdasarkan pasal 33 ayat 2 Undang-undang Tindak Pencucian Uang

(UUPU), untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang,

penyidik, penuntut umum atau Hakim berwenang untuk meminta keterangan dari penyedia

jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tersangka atau terdakwa.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di

Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah

satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut

Laundromat yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian itu berkembang

maju, dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya

ditanamkan ke usaha pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras illegal, hasil

perjudian, dan hasil usaha pelacuran.

Tindak Pencucian uang bukan merupakan fenomena baru. Istilah pencucian uang

digunakan untuk pertama kalinya dalam dokumen hukum primer pada tahun 1992 melalui

kasus penyitaan perdata antara Amerika Serikat vs $4,255,625,39. Kasus ini adalah tentang

upaya menyembunyikan atau menyamarkan keuntungan ilegal dan penyitaan perdata atas

sejumlah besar uang dari Molins di Columbia kepada Sonal di Miami, Florida. Dalam

putusannya, pengadilan menyimpulkan bahwa pengaihan dana dar Molins ke bank di Sonal

sangat mungkin merupakan proses pencucian uang. Pengadilan tersebut memang tidak

menefinisikan istilah itu, namun para pakar menyimpulkan bahwa fenomena ini mengacu

kepada pencucian uang.

Istilah pencucian uang dibawa ke jenjang internasional melalui pemberlakuan

Konvensi PBB melawan Pengedaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (selanjutnya disebut

Konvensi Wina PBB 1998). Konvensi ini merekomendasi para pihak untuk

mengkriminalisasi praktik pencucian uang dan pengedaran narkoba. Konvensi ini diakui

sebagai langkah terpenting internasionalisasi dan kriminalisasi dalam merespon kegiatan

pencucian uang. Konvensi ini juga memainkan peran signifikan dalam memperkenalkan

6
konsep pencucian uang ke seluruh dunia. Dari inisiatif internasional ini, istilah pencurian

uang menyebar ke seluruh dunia melalui legislasi dan regulasi domestik negara masing-

masing.

Setiap negara memiliki unsur-unsur actus reus dan mens rea tindak pidana pencucian

uang yang serupa bahkan identik, namun mereka memiliki tindak pidana asal yang berbeda

yang mendasari tindak pidana pencucian uang berdasarkan pendekatan yang mereka

terapkan. Ini bisa terjadi karena tiap-tiap negara mempertimbangkan bermacam urusan dalam

negerinya. Selain itu, tiaptiap negara juga memiliki kemampuan berbeda dalam membuktikan

keterkaitan antara pencucian uang dan tindak pidana asalnya.

Pada Tanggal 17 April 2002, merupakan hari yang bersejarah dalam dunia hukum

Indonesia, karena pada saat itu disahkannya Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang yang setahun kemudian tepatnya pada tanggal 13 Oktober

2003 diubah dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-

undang tersebut merupakan desakan internasional terhadap Indonesia antara lain dari

Financial Action Task Force (FATF), badan internasional di luar PBB . Anggotanya terdiri

dari negara donor dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencucian uang.

Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17 negara lainnya diancam sanksi internasional.

Pada 23 Oktober 2003, FATF, di Stockholm, Swedia, menyatakan Indonesia sebagai negara

yang tidak kooperatif dalam pemberantasan pencucian uang. Negara Cook Islands, Mesir,

Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria, Filipina dan Ukraina masuk kategori sama.

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi

United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

Substances 1998 (Konvensi 1998). Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera

7
membuat aturan untuk pelaksanaanya. Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun

2002, namun penerapannya kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak

kooperatif. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi pencucian uang. Antara lain

karena menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, korupsi yang merajalela,

maraknya kejahatan narkotik, dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian Indonesia dalam

keadaan yang tidak baik, sehingga ada kecenderungan akan menerima dana dari mana pun

untuk keperluan pemulihan ekonomi

Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and Territories

sesuai dengan rekomendasi (NCCT’s) dari Financial Actions Task Force on Money

Laundering. Bahwa setiap transaksi dengan perorangan maupun badan hukum yang berasal

dari negara NCCT‟s harus dilakukan dengan penelitian seksama. Berbagai upaya selama

beberapa tahun, antara Iain dengan mengesahkan UU No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan

Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendirikan PPATK,

mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional, akhirnya

membuahkan hasil. Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s setelah

dilakukan formal monitoring selama satu tahun.16 Beberapa tahun kemudian, tepatnya di

tahun 2010, DPR bersama Presiden menyepakati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya Undang-

Undang ini, bertujuan agar tindak pidana pencucian uang dapat dicegah dan diberantas.

Tujuan Pencucian Uang

Pencucian uang dapat dilakukan untuk berbagai tujuan diantaranya :

Pertama : menyembunyikan uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan. Hal ini

bertujuan agar uang atau kekayaan tersebut tidak dipermasalahkan secara hukum dan tidak

disita oleh pihak yang berwajib atau juga agar tidak dicurigai banyak orang.

8
Kedua : menghindari penyelidikan dan/atau tuntutan hukum. Pelaku kejahatan ingin

melindungi atau menghindari tuntutan hukum dengan cara “menjauhkan” diri mereka sendiri

dari uang atau harta kekayaan, misalnya dengan menyimpannya atas nama orang lain.

Ketiga : Meningkatkan keuntungan. Pelaku kejahatan bisa saja mempunyai beberapa usaha

lain yang legal. Seringkali, uang hasil kejahatan disertakan ke dalam perputaran usaha-usaha

mereka yang sah tersebut. Akibatnya, uang hasil kejahatan bisa melebur ke dalam usaha atau

bisnis yang sah, menjadi lebih sulit terdeteksi sebagai hasil kejahatan, dan juga dapat

meningkatkan keuntungan bisnis yang sah tersebut.

9
BAB III

KESIMPULAN

Pada Prinsipnya TPPU adalah upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul

harta kekayaan yang diperoleh dari BERBAGAI TINDAK PIDANA, SEPERTI: Korupsi,

penyuapan, penyeelundupan, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran,

perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan

senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, pengelapan, penipuan, yang dilakukan

diwilayah Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara RI dan kejahatan tersebut juga

merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Apabila ada indikasi perbuatan

pencucian uang, maka pihak Penyedia Jasa wajib melapor kepada PPATK dan PPATK dapat

meneruskanya ke penyidik (Kepolisian). Untuk mengantisipasi pemberlakuan UU TPPU

maka pihak Penyedia Jasa harus menyiapkan diri terutama sistem administrasi calon nasabah,

sistem dan strategis investigasi yang akan dilakukan unit khusus, dan sebaliknya masyarakat

umum harus mengerti dan paham tentang pencucian uang, selain itu perlu adanya kerjasama

antara pihak yang terkait dan negara lain-lain dalam memberantas tindak pidana pencucian

uang, tanpa adanya kerjasama yang tindak pidana pencucian akan berkembang terus.

10

Anda mungkin juga menyukai