Anda di halaman 1dari 50

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA MONEY LAUNDERING DALAM


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
DAN IMPLEMENTASINYA
A.SEJARAH MONEY LAUNDERING
Masalah pencucian uang ini,sebenarnya telah lama dikenal.121Dalam sejarah
hukum bisnis munculnya Money Laundering dimulai dari negara Amerika Serikat
sejak tahun 1830.Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan
uang

hasil

kejahatan(uang

panas)seperti

hasil

perjudian,penjualan

narkotika,minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran.122Namun istilah


Money Laundering baru muncul ketika Al Capone,salah satu mafia besar di
Amerika Serikat,pada sekitar Tahun 1930-an Al Capone dan Gang Mafia lainnya
melakukan

perbuatan

menyembunyikan

hasil

kejahatannya

(perjudian,

prostitusi,pemerasan,dan penjualan gelap minuman keras). Untuk mengelabuhi


pemerintah,para

mafia

mendirikan

perusahaan

binatu(landromat),untuk

mencampur hasil kejahatan mereka sehingga tidak dicurigai terlibat kejahatan.


Disinilah merupakan awal inspirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah Money
Laundering.123Walau demikian,Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan
pidana penjara atas kejahatan tersebut,akan tetapi lebih karena telah melakukan
penggelapan pajak.Selain Al Capone,terdapat juga Meyer Lansky,mafia yang
menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu
dengan mendirikan bisnis hotel,lapangan golf dan perusahaan pengemasan
daging.Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss

yang sangat mengutamakan kerahasiaan nasabah,untuk didepositokan.Deposito


ini kemudian digunakan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk
membangun bisnis legalnya.Berbeda dengan Al Capone,Meyer Lansky justru
terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak,tindak pidana termasuk
tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.124
Istilah Money Laundering sebagai sebutan sebenarnya belum lama dipakai.
Penggunaan pertama kali dpakai pada surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan
mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973,sedangkan
dalam konteks pengadilan atau hukum,penggunaan istilah Money Laundering
muncul pertama kali pada tahun 1982 dalam suatu perkara US $
4,255,625.39(1982)551 F Supp.314.126Sejak itu,istilah tersebut telah diterima dan
digunakan secara luas di seluruh dunia.127
Kemudian istilah ini populer pada tahun 1984,tatkala Interpol mengusut
pemutihan uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan Pizza Connection
yang menyangkut dana sekitar US $ 600 juta,yang ditranfer melalui serangkaian
transaksi finansial yang rumit ke sejumlah Bank di Swiss dan Italia. 128Transfer
tersebut dengan menggunakan restoran-restoran Pizza yang tersebar luas di
seluruh Amerika Serikat129sebagai sarana usaha untuk mengelabui sumber dana.130
Duni internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan
narkotika dan Pencucian Uang.Kesepakatan mi dituangkan dalam sebuah
konveksi the United Nation Convetion Against Illicit Trafic in Narcotick,Drugs
and Psycotropic Substances of 1988,yang biasa disebut dengan the vienna
convetion,disebut juga UN Drug Convetion 1988 yang mewajibkan para

anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang


berhubungan dengan nerkotika dan Money Laundering.131
Dalam perkembangannya,proses yang dilakukan lebih kompleks lagi dan sering
menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah-olah uang yang
diperoleh benar-benar alami.Karena itu,wajar jika dalam The National Money
Laundering Strategy For 2000 yang merupakan blueprint Amerika Serikat dalam
upaya menanggulangi money laundering telah dikemukakan bahwa money
laundering itu relatif mudah untuk diucapkan,akan tetapi sulit dilakukan
investigasi dan penuntutan.Khususnya,seseorang yang melakukan sebuah
transaksi keuangan dengan ketentuan bahwa dana atau kekayaan yang dilakukan
transaksi itu adalah hasil kejahatan.132
Sifat money laundering menjadi universal dan menembus batas-batas yurisdiksi
negara,sehingga masalahnya bukan saja bersifat nasional,tetapi juga masalah
regional dan internasional.Praktik money laundering bisa dilakukan oleh
seseorang tanpa harus misalnya ia bepergian keluar negeri.Hal ini bisa dicapai
dengan kemajuaeknologi informasi melalui sistem cyberspace(internet),diaman
pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik(cyberpayment).Begitu pula
seseorang pelaku money laundering bisa mendepositokan uang kotor(dirty
money,hot money)kepada suatu bank tanpa mencatumkan identitas,seperti halnya
berlaku di negara Austria.133

B. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG(MONEY LAUNDERING)

1. Pengertian Pencucian Uang(Money Laundering)


Secara etimologis Money laundering terdiri dari kata money yang berarti uang
dan laundering yang berarti pencucian.Jadi money laundering adalah pencucian
uang.Undang-undang

Nomor

Tahun

2010

tentang

Pencegahan

dan

pemberantasan tindak pidana Pencucian uang menyebut istilah money laundering


disebut dengan pencucian Uang,sebagaimana tercantum dalam judul UndangUndang tersebut,dan dalam pasal-pasalnya.Mengingat money laundering sudah
merupakan

istilah

yang

sudah

sangat

lazim

dipergunakan

secarainternasional,maka penulis menggunakan istilah money laundering,dan


terkadang pula menggunakan istilah pencucian uang dalam paparan selanjutnya.
Financial Action Task Force on Money Laundering(FATF)menyebutkan bahwa:
Money Laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan Asal-usul
hasil kejahatan.Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan Jejak sehingga
memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan-Keuntungan itu dengan tanpa
mengungkap

sumber

ilegal,penyelundupan,dan

perolehan.Penjualan
kegiatan

kejahatan

Senjata

terorganisasi,

secara
Contohnya

perdagangan obat dan prostitusi,dapat menghasilkan jumlah uang yang


banyak.Penggelapan,perdagangan orang dalam(insider trading),penyuapan,dan
bentuk penyalahgunaan komputer dapat juga menghasilkan keuntungan yang
besar dan menimbulkan dorongan untuk menghalalkan(legitimie)hasil yang
diperoleh melalui money laundering.134
Petter Gottschalk mengatakan:Money Laundering is an example of financial
crime often carried out as white-collar crime.Money laundering is a sort of

criminal activity trying to conceal the illegality of proceeds of crime by disguising


them as lawful earnings.135[Pencucian uang adalah contoh dari kejahatan
keuangan yang tergolong sebagai kejatahan kerah putih.Pencucian uang adalah
semacam kegiatan/aktivitas kejahatan dari kegiatan yang ilegal,yang berusaha
menyembunyikan hasil kejahatan dengan menyamarkan sebagai hasil yang sah].
Menurut Adrian Sutendi,secara umum pencucian uang merupakan metode
untuk menyembunyikan,memindahkan,dan menggunakan hasil dari suatu tindak
pidana,kegiatan organisasi kejahatan,kejahatan ekonomi,korupsi,perdagangan
narkotika,dan

kegiatan-kegiatan

lainnya

yang

merupakan

aktivitas

kejahatan.Money Laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan


aset(pendapatan/kekayaan)yangh disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa
terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal.Melalui money
laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan
hukum diubah menjadi aset keunagan yang seolah-olah berasal dari sumber yang
sah/legal.136
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa:
Pencucian uang atau money adalah rangkaian kegiatan yang merupakan
proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram
yaitu

uang

yang

berasal

dari

kejahatan,dengan

maksud

untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari


pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap
tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam

sistem keuangan(financial system)sehingga uang tersebut kemudian dapat


dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.137
Pasal 641 Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana 1999-2000 menyatakan:
Setiap

orang

yang

menyimpan

uang

di

bank

atau

ditempat

lain,menstransfer,menitipkan,menghibahkan,memindahkan,mengivestasik
an,membayar dengan uang atau kertas bernilai uang yang diketahui atau
patut

diduga

diperoleh

dari

tindak

pidana

narkotika

atau

psikotropika,tindak pidana ekonomi atau finansial,atau tindak pidana


korupsi,....
Penjelasan Pasal 641 RUUKUHP 1999-2000 menyatakan pada intinya bahwa
ketentuan pasal 641 RUUKUHP tersebut lazim dikenal dengan istilah pencucian
uang hasil kejahatan (money laundering).138
Pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menyatakan
bahwa:
Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana
Sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
2.Objek Pencucian Uang(Money Laundering)
Yang menjadi objek pencucian uang(money laundering)adalah hasil tindak pidana
Berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana tertera
dalam

Pasal 2 ayat(1) undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan


Pemberantasan tindak pidana pencucian uang yaitu: (a) Korupsi; (b) penyuapan;
(c)
Narkotika; (d)psikotropika; (e) penyelundupan tenaga kerja: (f) penyelundupan
Imigram; (g) di bidang perbankan: (h) di bidang pasar modal: (i) di bidang
Perasuransian; (j) kepabean, (k) cukai; (l) perdagangan orang; (m) perdagangan
Senjata gelap; (n) terorisme; (o) penculikan; (p) pencurian, (q) penggelapan; (r)
Penipuan,(s) pemalsuan uang, (t) perjudian ,(u) prostitusi, (v) di bidang
perpajakan,
(w) di bidang kehutanan, (x) di bidang lingkungan hidup , (y) di bidang kelautan,
atau
(z) tindak pidana lainnya yang diancam dengan pindana penjara 4(empat)tahun
atau
Lebih,yang dilakukan di wilayah negara republik indonesia atau diluar wilayah
negara
Republik indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut
Hukum indonesia.
Objek Pencucian uang dapat digambarkan sebagai berikut.139

Menurut pasal 1 angka 13 undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang


pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,yang dimaksud
harta kekayaan adalah semua benda atau benda

tidak bergerak,baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud,yang diperoleh baik secara langsung


maupun tidak langsung.jadi objek pencucian uang (money laundering)bukan
hanya sekedar uang (money)atau dana (funds) saja,tetapi dapat berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak,baik yang berwujud ) maupun tidak berwujud.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang ini merinci jenis-jenis tindak
pidana yang menghasilkan harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 atau pasal 4 undang-undang dimaksud, yang
rinciannya hampir sama dengan rincian yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 , dengan penambahan tindak pidana
kepabenan dan tindak pidana cukai , serta perubahan tindak pidana kelautan
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 menjadi tindak
pidana kelautan dan perikanan, sementara tindak pidana penyelundupan barang
yang semula terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun
2003, tidak terdapat lagi dalam pasal 2 ayat (1) undang-undang Nomor 8 tahun
2010 tersebut.
Penulis berpendapat , bahwa tindak pidana penyelundupan barang masuk dalam
lingkup pidana kepabean sebagai tindak pidana asal sebagaimana diatur dalam
pasal 2 ayat (1) huruf (j) Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tersebut.Hal ini
dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang kepabean
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 1995 Tentang Kepabean , diantaranya
Pasal 102 dan Pasal 102A. Pada hakekatnya penyelundupan barang dapat
diartikan sebagai perbuatan mengimpor, mengekspor,mengantar pulaukan barang

dengan tidak memenuhi formalitas pabean, yang ditetapkan oleh peraturan


perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 102 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabean menyebutkan bahwa :
Setiap orang yang :
a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);
b. Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain
tanpa izin kepala kantor pabean;
c. Membongkar barang impor

yang

tidak

tercantum

dalam

pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat


(3);
d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam
pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan
dan/atau diizinkan;
e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;
f. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban
pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat
atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan
pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya
pungutan negara berdasarkan undang-undang ini;
g. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau
tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan
dan

tidak

dapat

membuktikan

bahwa

hal

tersebut

di

luar

kemampuannya;atau
h. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor
dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan

penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat


1(satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Pasal 102A Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabean
menyebutkan bahwa :
Setiap orang yang :
a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean;
b. dengan sengaja menberitahukan jenis dan/atau jumlah barang
ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor;
c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin
kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dala Pasal 11A
ayat (3) ;
d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin
kepala pabean; atau
e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen
yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9A ayat (1), dipidana karena melakukan
penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000
(lima

puluh

juta

rupiah)

dan

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

paling

banyak

Rp

Jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang disebut


sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2003 maupun pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun
2010 itu, dikenal dengan sebutan : tindak pidana asal (predicate crime) , yang
telah melibatkan atau menghasilkan uang atau aset (proceeds of crime ) yang
jumlahnya sangat besar . Tindak pidana asal akan menjadi dasar apakah suatu
transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian uang. Menurut
Barda Nawawi Arief, Predicate offence adalah delik-delik yang menjadi sumber
asal dan uang haran (dirty money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds) yang
kemudian dicuci. Dengan demikian, tindak pidana pencucian uang (money
laundering), adalah tindak pidana ikutan (underlying crime) dari tindak pidana
asal (predicate crime).
Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta kekayaan
yang oleh undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, disebut sebagai hasil tindak
pidana atau yang oleh Bwrda Nawawi Arief disebut sebagai hasil kejahatan
(criminal proceeds). Hasil tindak pidana atau hasil kejahatan (criminal proceeds)
inilah yang kemudian dicuci seolah-olah merupakan harta kekayaan yang
diperoleh secara sah, sehingga terjadi lah tindak pidana pencucian uang (money
loundering). Sebagai tindak pidana ikutan (underlying crime), tindak pidana
pencucian uang (money laundering) baru ada kalau sebelumnya ada tindak pidana
asal (predicate crime). Namnun , dalam konteks ini , menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010, dengan diketahui atau patut diduga saja bahwa harta
kekayaan merupakan hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana asal

(predicate crime), sudah cukup untuk memenuhi rumusan tindak pidana pencucian
uang.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa tindak pidana
pencucian uang merupakan tindak pidana ikutan (underlying crime) dari suatu
tindak pidana asal (predicate crime), sehingga keberadaan tindak pidana
pencucian uang tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana asalnya. Tindak pidana
asal (predicate crime) adalah cikla bakal terjadinya tindak pidana pencucian uang .
Misalnya , dalam suatu tindak pidana peredarn narkotika( drug distribution), dari
hasil peredaran/penjualan narkotika tersebut , akan diperoleh uang atau harta
kekayaan sebagai hasil tindak pidana penjualan narkotika dimakdus ( criminal
proceeds) , yang kemudian dicuci dalam suatu transaksi keuangan atau
diinvestasikan dalam bisnis yang legal, sehingga uang hasil tindak pidana dari
peredaran narkotika yang semula adalah dirty money, kemudian menjadi clean
money.Dengan demikian telah terjadi tindak pidana pencucian uang. Dari
rangkaian kegiatan tersebut , dapat dilihat bahwa keberadaan tindak pidana
peredaran narkotika sebagai tindak pidana peencucian uang dimaksud. Kalau
tidak ada tindak pidana peredaran narkotika (predicate crime) tersebut, tidak akan
diperoleh uang atau harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana (criminal
proceeds). Kalau tidak ada diperoleh uang sebagai hasil tindak pidana, maka tidak
ada pula uang yang dicuci dalam transaksi keuangan atau diinvestasikan dalam
suatu bisnis yang legal. Kalau sudah demikian , maka tidak akan ada tindak
pidana pencucian uang dimaksud. Sehingga kedudukan tindak pidana asal
(predicate crime) sangat penting dan merupakan causa (sebab) yang adequaat
untuk terjadinya akibat berupa tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak

pidana asal ( predicate crime) yang bersangkutan. Tindak pidana asal (predicate
crime) tetap dapat terjadi meski pun tidak diikuti oleh tindak pidana pencucian
uang , akan tetapi tindal pidana pencucian uang tidak akan terjadi jika tidak
didahului oleh suatu tindak pidana asal (predicate crime).
Namun , seperti telah diuraikan di atas, bahwa undang-undang tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia , yaitu
Undang undang Nomor 8 Tahun 2010 maupun Undang-undang yang berlaku
sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah
dengan undang-undang Nomor 25 Tahun 22003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, merumuskan tindak pidan pencucian uang sudah cukup terjadi dengan
diketahuinya atau patut diduganya saja harta kekayaan yang menjadi obyek
tindak pidana pencucian uang adalah merupakan hasil tindak pidana asal
(predicate crime). Dengan rumusan tindak pidana asal (predicate crime) seperti itu
, maka tindak pidana asal (predicate crime) tidak benar-benar harus ada, cukup
dengan patut diduga saja bahwa sebelumnya telah terjadi tindak pidana asal
(predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan yang kemudian dicuci, maka
tindak pidana pencucian telah terbukti terjadi. Tindak pidana asal (predicate
crime) tidak benar-benar harus menjadi causa(sebab) terjadinya tindak pidana
pencucian uang. Predicate crime boleh ada atau boleh juga tidak ada , cukup patut
diduga saja kebenarannya.
Sehingga, tindak pidana asal (predicate crime) adalah merupakan syarat
untuk terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Namun bukan merupakan syarat mutlak. Kalau tindak pidana asal (predicate

crime) ada, maka berlakulah ketentuan alternatif pertama, yaitu , diketahuinya


harta kekayaan yang menjadi objek pencucian tersebut berasal dari suatu tindak
pidana asal( predicate crime). Sebaliknya, jika tindak pidana asal (predicate
crime) tidak ada atau belum diketahui keberadaannya , maka berlakulah alternatif
kedua , yaitu bahwa harta kekayaan dimaksud patut diduga merupakan hasil
dari suatu tindak pidana asal(predicate crime).
Dengan demikian , apakah urgen keberadaan tindak pidana asal (predicate
crime) dalam tindak pidana pencucian uang menurut hukum positif di Indonesia ?
Jawabannya , adalah tidak urgen ! Dikatakan demikian , oleh karena ia boleh ada
atau boleh juga tidak ada, cukup dengan patut diduga saja . Sehingga urgensi
predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang
tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia, hanya merupakan alternatif pilihan untuk dapat dikatakan menjadi
penyebab atau causa dari suatu tindak pidana pencucian uang.
Kendati pun demikian, tetap akan ada permasalahan hukum yang muncul
dengan rumusan tindak pidana pencucian uang sedemikian itu, yaitu dalam hal
dengan unsur patut diduga saja bahwa harta kekayaan yangdicuci adalah
merupakan hasil tindak pidana dari tindak asal(predicate crime) , kemudian
dinyatakan telah terbukti terjadi tindak pidana pencucian uang yang bersangkutan,
padahal dikemudian hari diputuskan oleh pengadilan bahwa tindak pidana asal
(predicate crime) dimaksud tidak terbukti menurut hukum. Kalau sudah demikian
halnya,

bagimana dengan tindak pidana pencucian uangnya yang dinyatakan

telah terbukti itu ? Menurut hemat I Made Hendra, putusan pengadilan yang
menyatakan telah terbukti tindak pidana pencucian uang dimaksud , dapat

dibatalkan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Logika


hukumnya sebagi berikut : apabila tindak pidana asal (predicate crime) tidak
terbukti, maka tidak terbukti pula atau tidak ada harta kekayaan yang disebut
sebagai hasil tindak pidana yang menjadi obyek tindak pidana pencucian uang itu,
sebab dengan tidak terbuktinya tindak pidana asa ! (predicate crime) , maka tidak
ada tindak pidana, sehingga hartya kekayaan yang diperoleh daripadanya bukan
merupakan hasil tindak pidana , melainkan merupakan harta kekayaan yang sah ,
sehingga dapat diinvestasikan atau dittrasnsaksikan secara legal dan tidak
dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.
Untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum seperti tersebut di atas,
menurut I Made Hendra , seharusnya tindak pidana asal (predicate crime) nya
yang harus diproses hukum terlebih dahulu, baru kemudian apabila dinyatakan
tindak pidana asal (predicate crime) terbukti, dilakukan proses hukum terhadap
tindak pidana pencucian uangnya. Sebaliknya pula , dalam hal predivcate crime
dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan, maka tidak perlu dilanjutkan dengan
melakukan proses hukum penyidikan , apalagi penuntutan atau persidangan di
depan pengadilan atas tindak pidana pencucian uang . Dengan langkah seperti ini,
logika hukum kita tidak akan dibuat terbalik, akibat dapat dibuktikan tanpa
adanya causa(sebab).
Menurut I Made Hendra , di bidang legislasi, timbulnya permasalahan
hukum sebagaimana dimaksud di atas kiranya dapat dicegah dengan melakukan
perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasanj Tindak Pidana Pencucian uang tersebut, yaitu dengan mengubah
pengertian maupun rumusan tindak pidana pencucian uang sebagaimana terdapat

dalam pasal 3 dan pasal 4 Tahun 2010 itu, yaitu dengan mengubah frasa : ...atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak
pidana ... dst. menjadi : ... atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan
hasil tindak pidana ... dst Jadi , kata-kata patut diduganya dihilangkan saja.
Dengan demikian , rumusan tersebut akan lebih menjamin adanya kepastian
dalam penegakan hukum, bahwa tindak pidana pencucian uang tidak didasarkan
atas adanya dugaan, melainkan didasarkan pada pengetahuan pelaku bahwa harta
kekayaan yang dijadikan obyek pencucian uang adalah hasil tindak pidana dari
suatu tindak pidana asal (predicate crime).
3. Maksud dan Tujuab Pencucian Uang (Money Laundering)
Yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya
adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari
kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime
dari kejahatan yang dilakukan , menikmati hasil kejahatan tanpa adanya
kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk
aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah. Kejahatan money
Laundering bertujuan untuk melindungi atau menutupi aktivitas kriminal yang
menjadi sumber dana atau uang yang akan dibersihkan.
Tujuan utama dilakukannya tindak pidana pencucian uang (money
laundering) ini adalah untuk menghasilkan keuntungan , baik bagi individu
maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Menurut suatu perkiraan
baru-baru ini, hasil dari kegiatan money laundering di seluruh dunia, dalam
perhitungan secara kasar , berjumlah satu triliun dolar setiap tahun. Dana-dana

gelap tersebut akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan
selanjutnya. Selain itu , Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa
jumlah keseluruhan money laundering di dunia diperkirakan antara dua sampai
dengan lima persen produk domestik bruto dunia. Apabila menggunakan statistik
tahun 1996, persentase tersebut menunjukkan bahwa money laundering berkisar
antara 590 miliar US Dolar sampai dengan 1,5 triliun US dolar. Angka terendah ,
kira-kira setara dengan nilai keseluruhan produk ekonomi Spanyol. Selain itu,
berkisar perkiraan Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF)
bahwa setiap tahun di Eropa dan Amerika Utara berkisar antara 60 hingga 80
miliar dolar telah terjadi pencucian dalam sistem keuangan.
4. Mekanisme / Tahap-tahap Pencucian Uang ( Money Laundering)
Kegiatan Pencucian Uang (money laundering) melibatkan aktivitas yang
sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang
masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan secara bersama-sama
yaitu placement,layering. Dan tahap integration.
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik
dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara
lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang
yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah atau pencucian uang dengan
melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya, deposito
bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan
ke dalam mata uang lainnya atau transfer ke dalam valuta asing.

Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya


yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi
keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening
atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian
transaksi yang kompleks dan didesain umtuk menyamarkan/mengelabui sumber
dana haram tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak
mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan
rahasia bank.
Integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai
legitimate explanation bagi hasil kejahatan. Di sini uang yang diputihkan
melalui Placement maupun Layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi
sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas-aktivitas
kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber uang yang diputihkan. Pada tahap ini
uang yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk
yang sejalan dengan aturan hukum.
Mekanisme / Tahap-tahap pencucian uang (money laundering) dapat
digambarkan sebagai berikut :
5. Modus Operandi Pencucian Uang( Money Laundering)
Beragam cara dilakukan pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering)
agar uang yang didapatkan secara tidak sah bisa dianggap seolah-olah sah.
PPATK meminta semua pihak untuk mewaspadai 10 modus Pencucian Uang yang
diramalkan bakal tetap muncul. Kesepuluh modus yang harus diwaspadai yaitu :

Pertama , masyarakat harus sangat waspada jika terjadi pengalihan dana dari
rekening giro instansi pemerintah ke rekening tabungan atas nama pribadi pejabat.
Kedua,pihak bank khususnya juga harus teliti karena maraknya penggunaan
identitas palsu untuk membuka rekening yang akan dipergunakanj sebagai sarana
penipuan.
Selain itu, ketiga, pengawasan bank juga harus ditingkatkan pada rekening pejabat
pemerintah beserta seluruh anggota keluarganya yang rentan sebagai sasaran
penyuapan.
Keempat , uang suap juga sering diberikan dalam bentuk barang.Walaupun barang
tersebut dibeli atas nama si pejabat tapi sumber biayanya mungkin datang dari
pihak lain.
Kelima , pembukaan beberapa rekening atas nama orang lain juga merupakan
modus operandi yang biasa dilakukan pelaku ilegal loging untuk menutupi
identitasnya.
Keenam, jasa asuransi pun mulai sering digunakan sebagai modus
operandi Pencucian Uang. Biasanya pelaku akan membeli polis
asuransi jiwa dengan premi tinggi yang langsung dibayarkan pada
saat penutupan polis tersebut. Selang beberapa waktu, polis akan
dibatalkan, dan premi yang dibayarkan akan dikembalikan
walaupun dikurangi denda.

Ketujuh, perusahaan bermodal kecil juga dapat digunakan sebagai


pemilik polis asuransi yang berpremi besar untuk menutupi
identitas asli pelaku Pencucian uang.
Kedelapan, transfer uang dari luar negeri juga harus dicurigai
karena besar kemungkinan dana tersebut adalah hasil perbuatan
melawan hukum yang dikembalikan setelah diungsikan ke luar
negeri.
Kesembilan, restitusi pajak besar yang tidak sesuai dengan profil
perusahaan pembayar pajak juga dapat dicurigai upaya Pencucian
Uang.
Terakhir, kesepuluh, populer disebut dengan istilah mark up, yaitu
pencantuman anggaran yang jauh lebih besar dari pada biaya yang
sebenarnya diperlukan.
Mahmoeddin H.A.S. sebagaimana yang dikutip oleh Munir Fuady
menyebutkan 8(delapan) modus operandi pencucian uang, yaitu
sebagai berikut :
1) Kerjasama Penanaman Modal
Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri . Kemudian uang
itu dimasukkan lagi ke dalam negeri lewat proyek penanaman
modal asing(joint venture). Selanjutnya keuntungan dari
perusahaan joint venture diinvestasikan lagi ke dalam proyekproyek yang lain , sehingga keuntungan dari proyek tersebut
sedah bersih bahkan sudah dikenakan pajak.
2) Kredit Bank Swiss

Uang hasil kejahatan diselundupkan dulu ke luar negeri lalu


dimasukkan di bank tertentu, lalu di transfer ke bank swiss
dalam bentuk deposito. Deposito dijadikan jaminan hutang atas
pinjaman di bank lain di negara lain. Uang dari pinjaman
ditanamkan kembali ke negara asal dimana kejahatan
dilakukan. Atas segala kegiatan ini menjadikan uang itu sudah
bersih.
3) Transfer ke luar Negeri
Uang hasil kejahatan ditransfer ke luar negeri lewat cabang
bank luar negeri di negara asal.Selanjutnya dari luar negeri
dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu seolaholah uang itu berasal dari luar negeri.
4) Usaha
Tersamar di dalam Negeri
Suatu perusahaan samar di dalam negeri didirikan dengan uang
hasil kejahatan . Perusahaan itu berbisnis tidak mempersoalkan
untung atau rugi.
Akan tetapi seolah-olah terjadi adalah perusahaan itu telah
menghasilkan uang bersih.
5) Tersamar dalam Perjudian
Uang hasil kejahatan didirikanlah suatu perjudian , sehingga
uang itu dianggap sebagai usaha judi.Atau membeli nomor
undian berhadiah dengan nomor menang dipesan dengan harga
tinggi sehingga uang itu dianggap sebagai hasil menang
undian.
6) Penyamaran Dokumen
Uang hasil kejahatan tetap di dalam negeri.Keberadaan uang di
dukung oleh dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa
sehingga ada kesan bahwa uang itu merupakan hasil berbisnis
yang

berhubungan

dengan

dokumen

yang

bersangkutan.Rekayasa itu misalnya dengan melakukan double


invoice dalam hal ekspor impor sehingga uang itu dianggap
hasil kegiatan ekspor-impor.
7) Pinjaman Luar Negeri
Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri.Kemudian uang itu
dimasukkan lagi ke dalam negeri asal dalam bentuk pinjaman
l;uar negeri. Sehingga uang itu dianggap diperoleh dari
pinjaman (bantuan kredit) dari luar negeri.
8) Rekayasa Pinjaman Luar Negeri
Uang hasil kejahatan tetap berada di dalam negeri.Namun di
buat rekayasa dokumen seakan-akan bantuan pinjaman dari
luar negeri.
Selain menggunakan ruang lingkup bisnis keungan, agar uang
haram yang didapat dianggap seolah-olah sa, pelaku biasanya
membelanjakan uangnya untuk produk-produk mahal, seperti
properti, mobil, dan lainnya. Tidak jarang, pelaku juga
menginvestasikan uang tersebut dalam bisnis di sektor ril
seperti membuka usaha industri atau membantu membuka
permodalan di perusahaan-perusahaan.
6. Pencucian Uang ( Money Laundering) sebagai Tindak Pidana
Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan
(tindak pidana).Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian
uang ini sebagai suatu tindak pidana dengan mengeluarkan Money Laundering
Central Act(1986) , yang kemudian diikuti dengan The Annunzio Wylie Act dan
Money Laundering Suppression Act (1994). Sedangkan pemerintah Republik
Indonesia baru mengkriminalisasikan pencucin uang (money laundering) ini pada

tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang


Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian pada tanggal 17 April 2002 diubah
dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti
dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Yunus Husein mengatakan bahwa :
Secara umum ada beberapa alasan mengapa money laundering diperangi dan
dinyatakan sebagai tindak pidana.Pertama , pengaruh money laundering pada
sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian
dunia. Hal ini dapat dilihat dari tidak efektifnya penggunaan sumber daya dan
dana yang banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan kurang
dimanfaatkan secara optimal , misalnya melakukan sterile investment dalam
bentuk property atau permata yang mewah dan mahal , tetapi sumbangannnya
untuk pertumbuhan ekonomi sangat sedikit.Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar
dan suku bunga juga merupakan bagian dari akibat negatif dari pencucian uang.
Dengan berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa money laundering dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia. Kedua, dengan ditetapkannya
money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat
penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadang kala sulit untuk
disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada
pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah.
Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah beralih orientasinya dari
menindak pelakunya ke arah menyita hasil tindak pidana. Di banyak negara
dengan menyatakan money laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar

bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap


menghambat upaya penegakan hukum. Ketiga, dengan dinyatakan money
laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan transaksi
dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih
memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai
kepada tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan
ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu
tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut.
Walaupun dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak terdapat istilah,dan
pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang, namun Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 telah mengatur ketentuan tentang Pencucian Uang sebagai tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Bab II dengan titel Tindak Pidana Pencucian
Uang mulai Pasal 3 sampai dengan Pasal 10.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 menyebutkan bahwa :
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri , mengubah
bentuk , menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena
tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh )
tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00(sepuluh miliar rupiah).

Tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU


Nomor 8 Tahun 2010 dapat digambarkan sebagai berikut.

Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa :
Setiapa orang yang menyebutkan atau menyamarkan asal usul , sumber,lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1) dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20(dua puluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00(lima miliar rupiah).
Tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 8
Tahun 2010 dapat digambarkan sebagai berikut.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa :
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan,
penukaran,

pembayaran,

atau

hibah,sumbangan,

menggunakan

Harta

penitipan,

Kekayaan

yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak


pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00(satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku


bagi pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU
Nomor 8 Tahun 2010 dapat digambarkan sebagai berikut.
Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa :
(1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/ atau
Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana
pencucian uang :
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali
Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau
pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
Korporasi.
Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa :
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi

adalah pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar


rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ,
terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa :
a. Pengumuman putusan hakim;
b. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
c.
d.
e.
f.

Korporasi
Pencabutan izin usaha;
Pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi
Perampasan aset Korporasi untuk negara, dan/atau
Pengambilan Korporasi oleh negara

Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa :
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda
sebagaima dimaksud dalam Pasal 3, pasal 4, Pasal 5, pidana denda tersebut
diganti dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun 4 (empat)
bulan.
Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa :
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda
tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya
sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang


dirampas

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

tidak

mencukupi , pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan


terhadap

Personil

Pengendali

Korporasi

dengan

memperhitungkan denda yang telah dibayar.


Pasal

10

Undang-undangNomorTahun

2010

tentangPencegahandanPemberantasanTindakPidanaPemberantasanTindakPidanaP
encucianUangmenyebutkanbahwa :
SetiapOrang

yang

berada

di

dalamatau

di

luarwilayah

Negara

KesatuanRepublik Indonesia yang turutsertamelakukanpercobaan, pembantuan,


atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama sebagai mana dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan
pasal 5.
Undang undang nomor 8 tahun 2010 membedakan terhadap tindak pidana
pencucian uang menjadi 2 (dua) kelompok antara lain: kelompok pertama tindak
pidana pencucian uang sebagai mana di atur dalam pasal 3 sampai dengan pasal
10 undang undang nomor 8 tahun 2010, kelompok ke dua tindak pidana lain
yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang untuk sebagaimana di atur
dalam pasal 11 sampai dengan pasal 16 undang undang nomor 8 tahun 2010
Menurut wikipedia, tindak pencucian uang sebagaimana ditentukan dalam
undang undang repoblik indonesia nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan tindak pidana pencucian uang di bedakan dalam 3 tindak pidana,
yaitu pertama, tindak pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan,

mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan,

membayarkan,

menghibahkan,

menitipkan , membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan


uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang di
ketahuinya atau patut di duganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan. (Pasal 3UU No 8 tahun 2010). Kedua,
tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan .(Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010). Kedua,
tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang
menerima

atau

menguasai

penempatan

pentransferan,

pembayaran,

hibah,sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaaan


yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama
dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(Pasal 5 UU RI No.8 Tahun 2010). Ketiga, dalam pasal 4 UU N0. 8 Tahun 2010,
dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul, sumber lokasi , peruntukan , pengalihan hak hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas hak harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya,

merupakan hasil tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). Hal
ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Pelaku tindak pidana pencucian uang( money loundry) adalah setiap
orang, bisa orang perseorangan atau koorporasi , yaitu kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang ter organisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Hal tersebut dapat dilihat antara lain dari ketentuan Pasal 1 angka
9,3,4,5,10 UU No. 8 Tahun 2010.
Tindak pencucian uang sebagimana ditentukan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 dapat digambarkan sebagi berikut :
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) tersebut termasuk
dalam kualifikasi tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. Tindak
pidana umum adalah suatu tindak pidana yang diatu dalam KUHP dan merupakan
perbuatan-perbuatan yang bersifat umum, dimana sumber hukumnya bermuara
pada KUHP sebagai sumber hukum pidana formilnya, selain itu sistem peradilan
dalam penegakannya bersifat konvensional artinya polisi penyelidik dan
penyidik , jaksa selaku penuntut umum, dan hakimnya adalah hakim dilingkungan
peradilan umum dan berlaku bagi seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh
seluruh warga negara umumnya. Sedangkan tindak pidana khusu adalah suatu
tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tertentu/khusus , yang dalam
undang-undang tersebut dimuat selain hukum pidana materiel juga dimuat hukum
pidana

formilnya(sistem

beracaranya),

dimana

terdapat

penyimpangan-

penyimpangan dari asas-asas yang fundamental baik terhadap KUHP maupun


KUHAP.
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) masuk dalam
kualifikasi tindak pidana khusus karena memang diatur dalam undang-undang
khusus/tertentu yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, yang dalam UU
tersebut selain ketentuan hukum pidana materiel juga ketentuan hukum pidana
formilnya, yang di dalamnya ada penyimpangan terhadap asa-asas fundamental
baik terhadap KUHP maupun KUHAP. Hukum pidana materiel dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 2010, yakni terdapat dalam pasal 3-5, 7,11,12,14-16, dan
seterusnya. Sementara itu hukum pidana formil dalam undang-undang nomor 8
tahun 2010 tersebut terdapat dalam pasal 68-82, dan seterusnya. Ketentuan ini
menyimpang dari KUHAP antara lain, bahwa dalam UU TERSEBUT
MENGANUT

SISTEM

PEMBUKTIAN

TERBALIK

SEBAGAIMANA

TERLIHAT DARI KETENTUAN Pasl 77 dan Pasal 78 Undang-undang Nomor 8


Tahun 2010.
C. Pola Kejahatan Pencucian Uang ( Money Laundering ) Internasional
Berbagai kejahatan terorganisir, baik yang dilakukan perseorangan
maupun sekumpulan orang dalam ruang lingkup batas suatu negara kini semakin
meningkat. Kejahatn tersebut dilakukan secara terorganisir dengan keterkaitan
berbagai pihak.
Bahkan, keberadaan batas teritorial kini bukan lagi halangan bagi
perkembangan kejahatan tersebut. Mulai terkikisnya batasan-batasan teritorial
suatu wilayah berbanding terbalik dengan keragaman bentuk kejahatan. Keadaan

ini melahirkan bentuk kejahatan terorganisir berskala internasional tanpa terikat


pada batasan kewilayahan. Bentuk kejahatan ini dikenal dengan kejahatan
terorganisir lintas negara ( transnational organized crime). Menurut Michael
Woodwiss, yang dimaksud begbagai kejahatan terorganisir lintas negara adalh
kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan telah berkembang meliputi
beberapa bagian dunia, tanpa terikat pada batasan-batasn kewilayahan suatu
negara atau kolektifitas masyarakat internasional.
Kejahatan terorganisir lintas batas negara ini tak mudah untuk dideteksi
karena memiliki sistem organisasi yang rapi, melibatkan banyak pihak dengan
sokongan modal yang besar dan tidak mengenal batas kewilayahn.
Kejahatan yang dimaksud meliputi perdagangan narkoba, perdagangan
manusia, penyuapan,perjudian,pergelapan senjata, kegiatan terorisme, korupsi,
kejahatan di bidang perbankan, kejahatan di bidang lingkunagn, dan berbagai
kejahatan lainnya yang terorganisir, diselundupkan dandiperdagangkan secara
rapi, mel;ibatkan modal besar, serta mengindikasikan adanya penyalahgunaan
kekuasaan dari berbagai pihak. Menurut Nathan Moran, aktivitas kejahatan lalu
lintas batas negara yang terorganisir meliputi tujun bentuk yaitu perdagangan
narkoba, perdagangan senjata, penyelundupan senjata pemusnah massal,
perdagangan manusia dan sebagian tubuh manusia, pencucian uang, kejahatan
komputer dan infiltrasi ke dalam bisnis legal/
Keberlangsungan kejahtan lalu l;intas batas negara ini bertumpu pada
keberadaan modal besar yang berperan sebagai penyokong sistem finansial
kejahatan tersebut, Live bloods of the crime atau darah yang menghidupi kejahatn

itu sendiri adalah istilah yang merefleksikan bentuk kejahatn ini. Hasil kejahatan
merupakan darah yang menghidupi para pelaku yang harus disita oleh negara agar
kejahatn tersebut tidak berkembang. Disamping itu, hasil kejahatan ini berperan
sebagi mata rantai yang paling lemah dalam suatu rangkaian tindak pidana.
Perubahan

cara

pandang

terhadap

kejahatan

ini

mengahasilkan

perkembangan baru dalam kajian kriminologis. Yaitu dengan ditemukannya


bentuk kejahatan yang mapu memanipulasi atau mengubah hasil kejahatan (ilegal)
menjadi yang sah(legal). Objek dari kegiatan tersebut merupakan uang.
Hasil kejahatan disebut dengan uang kotor atau uang ilegal (dirty money
atau ilegal money). Sedangkan perubahan hasil kejahatan tersebut ke dalam
bentuk hasil yang sah dikenal dengan uang bersih atau uang legal(clean money
atau legal money), Kemudian , hal ini dikenal sebagi pencucian uang. Atau yang
lebih dikenal dengan istilah money laundering.
Kalau istilah pencucian uang sebelumnya diterapkan hanya untuk
transaksi keuangan yang berkaitan dengan kejahatan terorganisir(organized
crime), tetapi sekarang batasan pengertiannya lebih diperluaskan oleh regualator
pemerintah(seperti United States Office Of the Currency), yaitu mencakup semua
transaksi keuangan yang menghasilkan aset atau nilai sebagai tindakan legal,
seprti tindak pidana penghindaran pajak( tax avation). Sekarang aktivitas ilegal
praktik pencucian uang diakui berpotensi dilakukan oleh individu, usaha kecil dan
besar, pejabat yang korup, anggota kejahatn terorganisir(seperti pengedar narkoba
atau mafia)atau sekte-sekte tertentu, dan bahkan negara korup atau institusiinstituso penting melalui jaringan yang sangat kompleks misalnya denagn

memanfaatkan shell companies yang berbasis di negara-negara atau territori surga


pajak(offshore tax havens).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian diketahui bahwa kelompok-kelompok
kejahatan terorganisir belajar dari satu sama lain. Apakah melalui iklan atau tanpa
sengaja, diyakini bahwa kelompok-kelompok kejahatna terorganisir menyebarkan
ide-ide

masing-masing

dalam

masyarakat

kejahatan

internasional

yang

terorganisir. Dalam hal ini , praktek pencucian uang adalah contoh sempurna,
dimana praktek pencucian uang telah menjadi begitu meluas pada kelompok
kejahatan terorganisir yang hampir tidak mungkin untuk berhenti melakukan
kejahatan, terutama dengan adanya internet. Internet bahkan membuat semakin
sulinya untuk mencari tahu siapa di belakang layar. Memang hukum dapat
diteakkan, karyawan lembaga keuangan dapat lebih waspada dan pemerintah bisa
tidak telalu korup, akan tetapai para kriminal tidak akan pernah berubah.
Pembahasan tentang perkembangan pencucian uang tidk hanya dari aspek
yuridis namun juga akan dibahas dari aspek kriminologis. Meluasnya fenomena
pencucian uang, sebagian besar di dorong oleh perdagangan narkoba,
mencerminkan perkembangan prilaku kriminal dari individu atau kriminal lokal
serta kejahatan terorganisir, yang sering dipraktekkan pada skala internasional.
Perkembangan ini bukanlah penyimpangan anomali, tetapi hanya sisi gelap dari
pembangunan ekonomidan kehidupan sosial modern. Pelaku kejahatan pencucian
uang telah belajar untuk memanfaatkan pasar global, ekonomi bebas dan
kurangnya harmonisasi antara kebijakan nasional pencegahan dan kebijakan
pengendalian anti pencucian uang.

Menggunakan kerangka pasar pencucian uang dimana penjahat dan


pemerintah berinteraksi, analisi trend dan keterkaitan dalam kegiatan pencucian
uang dan tanggapan melalui konvergensi dan divergensi di seluruh dunia.
Gambaran yang muncul membantu kita intuk memahami globalitas dari
masalahpencucian uang dan membuat suatu kesimpulan mengenai solusi utama
untuk mengatasi masalah ini.
Pada awalnya pencucian uang selalu dikaitkan dengan hasil kejahatan yang
berasal dari kejahatan narkotika. Namun dalam perkembangan hasil kejahatan dari
tindak pidana perjudian, penyelundupan, pornografi, korupsi, dan penggelapan
pajak telah masuk dalam trend tindak pidana pencucian uang khususnya di
negara-negara berkembang.
Pelaku kejahatan pencucian uang merupakan kelompok kejahatan
terorganisir. Sejumlah kelompok kejahatan terorganisir telah menyita perhatian
dunia dengan organisasinya yang luas dan tidak tersentuh oleh hukum. Kelompok
kelompok ini beroperasi melewati batas-batas negara. Kelompok yang paling
menyita perhatian internasional adalah Triad Cina, kartel kolombia, Jamaika.
Yakuza Jepang , Mafia Sisilia, organisasi kriminal Rusia dan Afrika Barat,
misalnya Kelompok Nigaeria.
Kelompok-kelompok tersebut telah melakukan kejahatan dan kegiatan
pencucian uang secara professional. Ciri dari kegiatan kelompok ini adalah :
a. Memisalkan antara kegiatan kriminal dan kegiatan pencucian uang
b. Pelaku pencucian uang lebih profesional seperti akuntan, pengacara, dan Bankir.
c. Penyediaan jasa pencucian uang untuk berbagai penjahata dan untuk lebih dari
satu organisasi kriminal

Kelompok kejahatan menggunakan ahli independen untuk memberikan


saran pencucian dan jasa investasi. Mafia terkenal Italia bankir Sindona dan Calvi
memberikan contoh keterlibatan bankir profesional dalam proses pencucian uang.
Kebutuhan akan saran dan dan nasihat para profesional menjadi lebih penting bagi
organisasi kriminal. Kartel sangat mengandalkan akuntan profesional. Banyak
dari orang-orang ini terpercaya dan berlisensi di beberapa negar. Mereka
memeriksa investasi di pusat-pusat investasi keuangan dunia.
Klasifikasi metafora yang digunakan untuk menggambarkan berbagai
tingkatan layanan pencucian uang, seperti hand-wash , family washing
machine , condonium washing machine dan launderette dimaksudkan untuk
mengekspresikan profesionalisme kegiatan pencucian uang. Ada berbagai jenis
launderettes beroperasi di pasar pencucian uang. Beberapa diatur mekanisme
seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, seperti the black network of the Bank
of Credit and Commerce International (BCCI). Lain bagi sistem alternatif yang
beroperasi di Asia sebagai hawala atau hundi. Ini adalah sistem alternatif
perbankan informal yang banyak digunakan untu baik transaksi legal dan ilegal.
Casas de cambio di Amerika Latin dan impor / ekspor komoditas, dll, adalah
stuktur yang sering digunakan untuk pencucican.
Pentingnya sistem pembayaran internasional untuk jaringan pencucian uang
telah dibuktikan oleh penyelidikan dalam operasi Bank Kredit dan Perdagangan
Internasional. Operasi Polar Cap telah membantu mempertinggi kesadaran global
akan ancaman pencucian uang, dan menggambarkan kebutuhan agar pemerintah
mengubah undang-undang kerahasiaan bank dan mengembangkan hukum yang
terkoordinasi untuk memerangi ancaman pencucuian uang.

Selanjutnya

terdapat

hubungan

antara

kecendrungan

dalam

pasar

internasional dengan kegiatan pencucian uang. Kecendrungan pertama adalah


internasionalisasi pertumbuhan produksi dan struktur konsumsi yang tumbuh
dalam integrasi antara berbagai ekonomi nasional. Kecendrungan kedua adalah
meningkatnya integrasi keuangan. Kecendrungan ketiga adalah peran dalam
transaksi keuangan internasional yang dilakukan oleh Lembaga keuangan non
bank investor internasional, terutama dana pensiun, perusahaan asuransi dan dana
investasi.
Teknologi informasi dan instrumen keuangan yang inovatif seperti derivatif
memungkinkan untuk memobilisasi sumber daya di pasar. Sebagai contoh, apa
yang disebut hedge fund. Lembaga Non-bank cenderung beroperasi di bawah
pengawasan dan pengaturan kurang ketat daripada rezim bank. Hedge fund,
misalnya , biasanya didirikan di off-shore dimana kontrol minimal.
Selanjutnya kemajuan dalam teknologi informasi dan inovasi keuangan.
Penghapusan hambatan sirkulasi barang dan modal. Liberalisasi ekonomi di
China, Rusia dan Timur Tengah dan Timur Eropa akan sangat meningkatkan
ukuran pasar dunia. Kecendrungan ini membawa manfaat pada bidang ekonomi.
Namun tidak ada menyangkal bahwa mereka juga sangat menyulitkan pencegahan
dan penindakan pencucian uang.

D. Standart Internasional di Bidang Anti Pencucian Uang (Money


Laundering) dan Peran Kerjasama Antar Negara dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

Peran dan tanggung jawab indonesia dalam mencegah dan memberantas


tindak pidana pencucian uang (money laundering) memberikan kontribusi yang
riil dalam kancah tata pergaulan internasional. Tindak pidana pencucian uang ini
merupakan persoalan dan perhatian warga dunia. Untuk itu, berbagai peraturan
perundang-undangan serta organisasi internasional dan regional telah dibentuk
untuk memeranginya.
Dengan meningkatnya tindak pidana pencucian uang beberapa negara
melakukan antisipasi dengan membentuk organisasi serta suatu aturan untuk dapat
memudahkan antisipasi dan penanganan kejahatan ini, yang melintas antar Negara
dengan mudah.
Upaya masyarakat internasional untuk memerangi money laundering
sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Amerika Serikat misalnya,
merupakan salah satu negara pertama yang mengambil inisiatif memerangi money
laundering sejak tahun 1930. Amerika Serikat pada saat itu berhadapan dengan Al
Capone yang menguasai bisnis hitam perdagangan obat bius, perdagangan gelap
minuman keras , prostitusi, dan perjudian. Ia merupakan penjahat terbesar yang
tidak saja dikenal di Amerika Serikat , tetapi juga di dunia karena memiliki
perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk memerangi
kejahatan money laundering secara sporadis.
DPR dan Pemerintah Republik Indonesia bersepakat agar pembahasan RUU
dilakukan secara marathon. Pembahasan dilakukan tidak lebih dari 2 bulan
(Pembahasan bersama di Bogor,Jakarta dan gedung DPR).Masalah perjudian
mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan seperti terlihat dari media massa.

Masyarakat menilai bahwa tidak dicantumkannya perjudian dalam undang-undang


merupakan deal pihak-pihak tertentu. Perlu dicatat bahwa di dalam RUU yang
diajukan oleh Pemerintah , perjudian dimasukkan sebagai salah satu predicate
crime di dalam Pasal 2.
Menjelang pertemuan FTF di Stockholm, Swedia sangat terasa nuansa
pemberian counter measures oleh FATF kepada Indonesia mengingat berbagai
kelemahan dalam undang-undang dan belum dilakukannya amandemen Undangundang No. 15 Tahun 2002. FATF pernah memberikan saksi berupa additional
conter measures kepada beberapa negara yaitu Ukraina dan Nauru.
RUU telah disetujui oleh DPR tanggal 16 September 2003. Presiden
mensahkan RUU yang disetujui pada tanggal 13 Oktober 2003, melewati tanggal
13-Oktober 2003, tanggal diadakannya plenary meeting FATE di Stockholm ,
Swedia.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional
pertama

yang

mengambil

gagasan

untuk

menyusun

perangkat

hukum

internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang dengan dikeluarkannya


United Nations Convention Against Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic
Substances 1988(Vienna Convention 1988), dimulai pada saat masyarakat
internasional merasa frustasi dalam memberantas kejahatan perdagangan gelap
obat bius. Hal ini dapat dimengerti mengingat objek yang diperangi adalah
organized crime yang memiliki struktur organisasi yang solid dengan pembagian
wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat dan memiliki jaringan
kerja yang melintasi batas negara. Rezim hukum internasional anti pencucian

uang dapat dikatakan sebagai langkah maju dengan strategi yang tidak lagi
difokuskan pada kejahatan obat biusnya dan menangkap pealkunya, tetapi
diarahkan pada upaya memberangus hasil kejahatannya.
Dengan demikian , lahirnya United Nations Convention Against Illicit
Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988( Vienna Convention
1988), dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian
masyarakat internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional anti
pencucian uang. Pada pokoknya, rezim ini dibentuk untuk memerangi drug
trafficking yang sudah mencapai titik nadir dan mendorong agar semua negara
yang telah meratifikasi segera melakukan kriminalisasi atas kegiatan pencucian
uang.
Di samping itu Vienna Convention 1988 juga berupaya untuk mengatur
infrastruktur yang mencakup persoalan hubungan internasional, penetapan normanorma, peraturan dan prosedur yang disepakati dalam rangka menyusun regulasi
anti pencucian uang.
Sebelum Vienna Convention 1988, berbagai instrumen telah dikeluarkan
sejak tahun 1912. Upaya internasional diawali dengan disahkannya International
Optium Convention of 1912. Pada saat itu perhatian masyarakat ditujukan kepada
upaya memerangi peredaran dan penggunaan optium di Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa Barat.
Langkah internasional ini kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya
berbagai instrumen internasional yaitu Suppresion of the Manufacture of
International Trade in and use of, prepared opium, Geneva 11 February 1925 dan

International

Opium

Convention

19

February

1925,yang

keduanya

diselenggarakan oleh Liga Bangsa Bangsa. Oleh karena dirasakan belum optimal
untuk memberantas opium maka dilanjutkan dengan berbagai konveksi yaitu
Convention of 1931 Suppression of Smoking , dan Convention for the Suppress of
the Illicit Traffic in Dangerous Drugs of 1946.
Suatu konveksi yang dikenal dengan Single Convention Narcotics Drugs
1961 dikeluarkan pada tahun 1961. Konveksi ini dianggap paling bersifat
universal dalam pengawasan obat bius yang meliputi perjanjian multilateral
dengan

sejumlah

besar

negara-negara

anggota

PBB.

Konvensi

1961

mengamanatkan pula pembentukan The International Narcotic Control Board


yang bertugas membatasi kegiatan produksi, distribusi, manufaktur dan
penggunaan obat bius kecuali untuk keperluan di bidang pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya upaya masyarakat internasional
juga dilakukan dengan mengeluarkan Convention on Psychotropics and
Substances of 1971 yang menitikberatkan pada sistem kontrol yang lebih ketat
terhadap perdagangan obat-obat kimia dan farmasi.
United Nations Conventions Against Illici Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic

Substances

tahun

1988

merupakan

titik

puncak

untuk

pemberantasan pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotika dan


psikotropika. Konvensi ini mewajibkan setiap negara yang telah meratifikasi
untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang melalui peraturan perundangundangan. Beberapa ketentuan penting dalam konvensi tersebut yaitu Pasal 3 (1)
(a) yang mengharuskan setiap negara anggota melakukan kriminalisasi pencucian
uang yang berkaitan dengan peredaran gelap obat-obat bius, selain itu mengatur

ketentuann-ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan dengan industri


, distribusi atau penjualan gelap dari bius dan organisasi serta pengelolaannya,
atau keuangan dari aktivitas perdagangan gelap obat bius.
Hal terpenting dalam konveksi tersebut adalah substansi yang mengokohkan
terbentuknya

International Anti Money Laundering

Legal

Regime,yang

merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapkan rezim hukum


internasional baru dalam badan internasional. Rezim ini pada dasarnya bertujuan
memberantas pencucian uang dengan strategi untuk memerangi hasil kejahatan
(proceeds of crime). Di samping itu rezim hukum internasional anti pencucian
uang ini menentukan pula arah kebijakan untuk melakukaan kriminalisasi
pencucian uang dengan standar-standar tetentu yang tetap memberi tempat untuk
kedaulatan hukum masing-masing negara (state souvereignity). Namun demikian
perlu diingat bahwa Vienna Convention 1988 memiliki coverage yang terbatas
pada proceeds of crime yang berasal dari kejahatan peredaran gelap narkotika.
Sementara itu, money laundering merupakan proses yang melibatkan
proceeds of vrime dari berbagai predicate offences yang lebih kompleks seperti
korupsi, penyelundupan, perdagangan manusia, penipuan, penculikan, penyuapan,
penggelapan, tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak pidana perbankan
dan lain-lain tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak pidana berat(srious
offences). Atas dasar itulah nampaknya Vienna Convention 1988 belum cukup
menjadi dasar hukum yang komprensif untuk mengatasi kejahatan money
laundering yang berdimensi luas. International initiatives untuk memerangi
kejahatan money laundering bergulir dari waktu ke waktu melalui berbagai fora
internasional.

Basle Committee atau Committee on Banking Regulations and Supervisory


Practices yang berkedudukan di Basle, Swiss, mengeluarkan Statement on
Prevention of Criminal Use of the Banking System for the Purpose of Money
Laundering pada tahun 1988.
Secara umum Statement menegaskan peran perbankan dan para pimpinan
bank

dalam

mencegah

dimanfaatkannya

bank

oleh

para

pelaku

kejahatan.Statement juga menggarisbawahi kepercayaan masyarakat terhadap


perbankan sangat berpengaruh terhadap stabilitas perbankan, dan kepercayaan
tersebut dapat terkikis apabila masyarakat mengetahui bahwa suatu bank terlibat
dalam kegiatan kejahatan.
Berkaitan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Basle Committee ini,
Bank Indonesia selaku otoritas perbankan telah mengeluarkan beberapa peraturan
untuk mencegah perbankan digunakan sebagai sasaran dan sarana kejahatan
antara lain melalui penerbitan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
32.50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank
Umum yang menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian
saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang bersal dari dan untuk tujuanj
money laundering.Selanjutnya dalam rangka identifikasi nasabah dan pelaporan
transaksi keuangan mencurigakan , telah dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia
No. 3/10/PBI/2001 dan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah atau Know Your Customer. Dalam kaitan ini
pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah ini perlu diketengahkanpula bahwa
otoritas lembaga keuangan lainnya yaitu Bapepam dan Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan Departemen telah mengeluarkan ketentuan serupa untuk

industri yang berada di bawah kewenangan pengawasannya pada tahun bulan


Januari tahun 2003 ini.
Upaya internasional lainnya yang cukup monumental adalah pada tahun
1989 yaitu pada saat negara negara yang tergabung dalam G-7 countries
menyepakati dibentuk nya thefinancial action task force on money loundring
(FATF) , sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi
internasional untuk menerangi money laundring
FATF merupakan intergovern mental body sekaligus suatu policy-making
body yang berisikan para

pakar dibidang hukum, keuangan dan penegakan

hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan peraturan perundang


undangan. Pada saat ini keanggotaan Bank Indonesia juga mengeluarkan banyak
peraturan lain yaitu surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor.30/271
A/KEP/DIR tentang perubahan surat keputusan direksi bank indonesia nomor
30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran Atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari
Atau Ke Dalam Wilayak Republik Indonesia PBI NO.2/27/PBI/2000 tentang bank
umum PBI No.1/6/PBI/1999 tentang penugasan direktur kepatuhan (compliance
director) dam penerapan standar pelaksanaan fungsi audit interen bank umum PBI
no.1/9/PBI/1999
Tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank Dan Lembaga
Keuangan Non Bank Serta Peraturan Pelaksanaanya SE No. 1/9/DSM tentang
Pel;aporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank Indonesia oleh Bank Surat Edaran
Bank Indonesia No. 2/10/DASP tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro
Kososng PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan

Pemberian Kredit Valas oleh Bank Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fil and Proper Test) G-7
Counteries terdiri dari negara-negara Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang,
Prancis,Inggris,dan Kanada.
Pada tahun 2001, pasca tragedi WTC,FATF memperluas misinya dalam
mencegah dan memberantas pendanaan terorisme. FATF berjumlah 31 negara dan
teritori , ditambah 2 organisasi regional. FATF melakukan kerjasama dengan
beberapa badan dan organisasi internasional antara lain ADB (Asian Development
Bank), IMF( Iternational Monet ary Fund), Interpol ,IOSCO(International
Organization of Securities Commission), serta APG(Asia Pasific Group on Money
Laundering), dan Councilof Europe MONEYVAL. Adapun tiga fungsi utama dari
FATF adalah :
1. Memonitor kemajuan yang dicapai para anggota FATF dalam melaksanakan
langkah-langkah pemberantasan money laundering;
2. Melakukan kajian mengenai money laundering trends, techniques dan
counter,measures,dan
3. Mempromosikan pengadopsian dan pelaksanaan standar anti pencucian uang
kepada masyarakat internasional.
FATF pada tahun 1990 untuk pertama kalinya mengeluarkan 40
recommendations sebagai suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi
kejahatan money laundering.
Sebagai reaksi dari tragedi WTC atau yang dikenal dengan peristiwa 11
September 2001, pada bulan Desember 2001, FATF mengeluarkan 8 Special

Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal


dengan counter terrorist financing.
40 + 8 recommendations menetapkan prinsip-prinsip untuk penyusunan
kebijakann implementasi oleh setiap negara dalam mengimplementasikan 40 + 8
recommendations dengan melihat kondisi dan sistem hukum yang berlaku di
setiap negara. Meskipun 40 recommendations bukan merupakan produk hukum
yang mengikat, namun rekomendasi dikenal dan diakui secara luas oleh
masyarakat dan organisasi internasional yang terkait sebagai suatu standar
internasional untuk memrangi kejahatan money laundering dan pendanaan
terorisme. FATF menegaskan bahwa, 40 + 8 recommendations bukan merupakan
himbauan yang sifatnya optional bagi setiap negara, namun merupakan mandat
atas kewajiban bagi setiap negara apabila ingin dipandnag sebagai negara yang
memenuhi standar internasional oleh masyarakat dunia.
Rekomendasi FATF secara garis besar mencakup kerangka umum
rekomendasi ; peran sistem hukum nasional, sistem hukum pidana dan
penegakkan hukum; peran sistem keuangan dalam memberantas tindak pidana
pencucian uang; serta kerjasama internasional. Adapun materi yang termuat dalam
rekomendasi FATF meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.

Ruang lingkup tindak pidana pencucian uang;


Langkah-langkah pendahuluan dan penyitaan;
Peraturan identifikasi dan penyimpangan catatan nasabah;
Prinsip kehati-hatian oleh lembaga keuangan;
Langkah-langkah untuk mengatasi masalah yang dihadapi negara yang tidak
memiliki langkah anti pencucian uang atau langkah-langkah anti pencucian uang

yang tidak memadai;


6. Langkah-langkah lain untuk menghindari pencucican uang;

7. Implementasi dan Peran otoritas dan instansi administratif lainnya;


8. Kerjasama administratif, tukar menukar informasi umum dan tukar menukar
informasi transaksi keuangan mencurigakan;
9. Kerjasma penyitaan, mutual legal assistance dan ektradisi;
10. Bentuk-bentuk kerjasama lainnya.
Sementara itu 8 Special Recomendations mencakup materi pengaturan
sebagai berikut :
1. Ratifikasi dan implementasi United Nations instruments;
2. Kriminal pendanaan terorisme, aksi terorisme dan organisasi terorisme; serta
3.
4.
5.
6.
7.
8.

menjadikan terorisme sebagai predicate offences dari money laundering;


Pembekuan/pemblokiran dan penyitaan asets teroris;
Pelaporan transaksi keuangan mencurigakan yang berkaitan dengan terorisme;
Kerjasama internasional;
Alternative remittance systems;
Wire transfer, dan
Organisasi Non-profit.
Kerjasama antar negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang ( money laundering) ditujukan untuk mempererat kerja sama antar
instansi domestik dan meningkatkan partisipasi masyarakat serta memperkuat
kerjasama internasional agar kerjasama dan koordinasi lintas sektoral yang efektif
dan efisien dapat terwujud. Di samping itu kerjasama yang baik antar sesama FIU
dapat mempererat terjadinya tukar-menukar informasi tanpa perlu mengorbankan
aspek kerahasiaan dan kedaulatan negara.
E. Peran aktif Pemerintah Indonesia dalam The Asia Pasific Group on
Money Laundering (APG)
Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lintas batas. Oleh
karena pencucian uang telah menjadi kejahatan transnasional yang prosesnya
dilakukan melampaui wilayah negara di mana hasil kejahatan itu semula di
peroleh, maka penanganannya dan pemberantasannya hanya mungkin dilakukan

dengan peran serta aktif dan kerjasama yang erat dan terus menerus antara negaranegara di dunia ini melalui kerja sama internasional. Dalam pelaksanaannya hal
itu dilakukan dengan membentuk berbagai organisasi atau kelompok kerja sama.
Yang pertama-tama melakukan kerja sama secara internasional adalah bankbank sentral yang membentuk Basel Committe. Negara-negara atau pemerintahpemerintah juga melakukan kerja sama baik secara global maupun regional.
Wujud dari kerja sama global itu adalah dengan membentuk Financial Action Task
Forcean Money Laundering (FATF) oleh G-7 di Paris pada bullan Juli 1989.
Tujuannya adalah untuk memberantas pencucian uang. FATF saat ini
beranggotakan 29 Negara/teritorial , serta 2 organisasi regional yaitu the European
Commission dan the Gulf Cooperation Council yang mewakili pusat-pusat
keuangan utama di Amerika, Eropa dan Asia.
Salah satu dari FATF adalah menetapkan kebijakan dan langkah yang
diperlukan

dalam

bentuk

rekomendasi

tindakan

untuk

mencegah

dan

memberantas pencucian uang. Sejauh FATF ini telah mengeluarkan 40(empat


puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta
8(delapan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme.
Rekomendasi tersebut kini oleh berbagai negara di dunia telah di terima
sebagi standar internasional dan menjadi pedoman baku dalam memberantas
kegiatan pencucian uang. Negara-negara yang berdasarkan penilaian FATF tidak
memenuhi rekomendasi tersebut, akan dimasukkan ke dalam daftar NonCooperative Countries and Teritories (NCCTs). Negara yang masuk dalam daftar
NCCTs dapat dikenakan counter-measures, yang dapat berakibat buruk terhadap

sistem keuangan misalnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan


perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan oleh
negara lain atas Letter of Credit(L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara
yang terkena counter-measures tersebut.
Akibat lain yang cukup serius dapat berupa pemutusan hubungan
korespondensi antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan ijin
usaha kantor cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan
kemungkina penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. Sanksi tersebut
di atas pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Oleh karena
itu sudah semestinya kalau pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat menaruh
perhatian besar terhadap masalah penanganan tindak pidana pencucian uang
tersebut.
Pembentukan FATF sebagai badan kerja sama antar negara dalam
memerangi pencucian uang disusul pertama-tama oleh pembentukan Caribbean
Financial Action Force (CFATF) , yang melakukan kerja sama ditingkat regional.
CAFTF Merupakan badan kerja sama internasional yang berbentuk seperti
FATF(FATF-style regional body). Pada saat ini anggota CFATF terdiri atas 25
negara, yaitu : Anguilla, Antiguaand Barbuda, Aruba, The Bahamas, Barbados,
Belize, Bermuda, the British Virgin Islands, the Cayman Island, Costa Rica,
Domoinica, Dominician Republik , Grenada , Jamaica, Monstserrat, the
Netherlands Antilles, Nicragua, Panama, St. Vincent and the Grenadines,
Suriname, Turks and Caicos Islands, Trinidad and Tabago dan Venezuela. CAFTF
didirikan sebagai tindak lanjut pertemuan di Aruba pada bulan Mei 1990 dan di
Jamaica pada bulan November 1992. Tujuan utama dari CAFTF adalah

implementasi yang efektif dan kapatuhan terhadap nineteen CAFTF and forty
FATF Recommendation.
Untuk wilayah Asia Pasifik dalam upaya melawan kegiatan tindak pidana
pencucian uang, maka tahun 1997, negara-negara di wilayah Asia dan Pasifik
membentuk The Asia /Pasifik Group on Money Laundering (APG)

Anda mungkin juga menyukai