Anda di halaman 1dari 11

Artikel Ekonomi : Money Laundering

Maraknya kasus Money Laundering di Indonesia yang dilakukan oleh aparat maupun
penjabat publik menjadi suatu modus yang efektif untuk mengelabui tindak pidana korupsi
yang dilakukan. Berikut ini akan kita bahas secara lengkap mulai dari pengertian, reguasi,
modus, dampak, hingga contoh kasus yang terjadi.

Masalah money laundering belakangan ini makin mendapatkan perhatian khusus dari
dunia internasional. Perhatian demikian dipicu dengan semakin maraknya tindak kejahatan
ini dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara belum menetapkan sistem hukumnya
untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Mantan
Direktur International Monetary Fund (IMF), Michel Camdessus pernah mengungkapkan
bahwa diperkirakan volume dari money laundering adalah antara 2 hingga 5 persen GDP
dunia.

Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime)
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry
Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai
325.000 poundsterling (setara Rp 5.671.250.000,-). Harta rampokan tersebut kemudian
dibagi bersama anak buahnya dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi
perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan
pencucian uang milik perompak lain di darat.

Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia
besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci
otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses
pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian,
dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al
Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi
lebih karena telah melakukan penggelapan pajak.

Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari
kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel,
lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis ilegal ini dikirimkan ke
beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk
didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang
dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky
justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak dan tindak pidana termasuk tindak
pidana pencucian uang yang dilakukannya.

Pengertian Money Laundering

Dalam Undang-Undang Pencucian Uang (UUPU) Tahun 2002, istilah money


laundering disebut dengan pencucian uang. Kata money dalam istilah tersebut dapat
diistilahkan sebagai dirty money, hot money, illegal money, atau illicit money. Prof. Remy
Sjahdeini, pakar perbankan mengatakan bahwa tidak ada definisi yang universal dan
komprehensif mengenai money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi-institusi
investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi-organisasi lainnya memiliki
definisi sendiri untuk itu (Sjahdeini, 1999).

Basle Committee, pada Tahun 1988 mengeluarkan suatu penyataan:

criminal and their associates use the financial system to make payment and transfers of
funds from one account to another, to hide the source and beneficial ownership of money and
to provide storage for bank-notes through a safe-deposit facility. This activities are commonly
referred to as money laundering (IMF, 1994).

Menurut Neil Jensen, money laundering diartikan sebagai proses perubahan


keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan dan terlihat
seolah- olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal (Neil Jensen et al., 1995).

Sarah N. Welling dalam Brent Fisse, David Eraser & Graeme Coss mengemukakan
bahwa money laundering adalah:

the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of
income, and then disguises that income to make it appear legitimate (Brent Fisse et al.,
1992).

Pada dasarnya juga dikemukakan dalam buku White Collar Crime Cases and
Materials, bahwa money laundering is the concealment of existence, nature or illegal
source or illicit funds in such a manner that the funds, will appear legitimate if discovered
(Pamela H. Bucy, 1992).

Sementara itu, kementrian Kehakiman Kanada merumuskan money laundering


dengan mengatakan sebagai the conversion or transfer of property, knowing that such
property is derived from criminal activity, for the purpose of concealing the illicit nature and
origin of property from government authorities (Sjahdeini, Op. cit).

Prof. M. Giovanoli dari Bank for International Settlement membuat pengertian


berupa: suatu proses dimana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu
tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah
berasal dari sumber yang sah (Jurnal Hukum Bisnis, Vol.3, 1998). Dari beberapa definisi
tersebut, disimpulkan bahwa money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah
suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana atau modal yang
sah.

Regulasi

Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada
tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha
ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al
Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius,
Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal
dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk
keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun
juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya transaksi
money laundering juga didukung fasilitas finansial dunia perbankan, seperti layanan nomor
rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-
an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk
transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan
transaksi.

Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar
negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan
pencucian uang. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran
internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena
perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain
bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain.

Untuk itu maka masalah money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk
beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional :
a. Amerika Serikat :

Memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy


Act (1970), Money Laundering Central Act (1986), The Annunzio Wylie Act dan Money
Laundering Suppression Act (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga
keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada
Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CTR).
Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah
informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang
bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan.

Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang
harus dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni :

(1) terdapat transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan

(2) terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu.

b. Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis

Swiss memiliki The Money Laundering Act (1998), Thailand memiliki The Money
Laundering Prevention and Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money
Laundering Law (1993). Sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis
memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering.

c. Indonesia

Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106
negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi
melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan
mendorong negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah
mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan
bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan
15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug
Convention agar negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi
money laundering.

Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya
pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang
kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam
pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi
ini mewajibkan negara-negara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu
tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.

Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan
Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan
pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang
masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-
Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.

Walaupun secara de jure, BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001


tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah, namun peraturan ini
sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang
sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang
Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau
kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah
meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan
nasabah yang bersangkutan.

Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh
FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa
rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut
mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional,
peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua
rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF
telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya
pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya
pemberantasan pencucian uang.

Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non
Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai
dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam
memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan
hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan
money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk
memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan
transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara
lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada
perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum
adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang.

Dampak Money Laundering

1. Dampak ekonomi mikro

a. Cara perolehan uang yang ilegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem
pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-
faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan
konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang ilegal telah menunjukkan
tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang
ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada
informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa
keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain.

b. Transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang ilegal membawa dampak
penurunan produktifitas masyarakat.

2. Dampak ekonomi makro

a. Tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti
mengurangi penerimaan negara.
b. Apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke
luar negeri, maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri. selain itu juga
mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan
ekspansi kredit.

c. Apabila negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah
kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk negara yang tidak memiliki cukup
banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan
modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk
mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan
bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi
sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi,
jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang
nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan
menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.

Tahapan Pencucian Uang

a. Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang


hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah
bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah
besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di
beberapa tempat;

b. Tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang
tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang
hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana
kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa transfer
ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian saham pada
bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank B dan
sebagainya.

c. Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan


kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus
keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit
untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang
tampak legal.
Modus Pencucian Uang

Dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat kategori beberapa modus yang
didasarkan pada tipologinya:

a. Tipologi dasar:

1). Modus orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan
tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dengan menggunakan atau
mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya adalah: orang
ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang ketiga
biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan orang kepercayaan
yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga dapat
berkomunikasi setiap saat.

2). Modus topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana orang
tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan
kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.

3). Modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua,
namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai yang
berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan
yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset-aset. Modus ini
banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran, cek, dan data-data lain yang
mengarah pada nasabah itu, serta keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju
pada seseorang maupun pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain.

4). Modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang
menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian
ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usaha-
usaha lain.

b. Tipologi ekonomi:

1). Model smurfing, yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk
memecah sejumlah besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil dibawah batas uang tunai
sehingga bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut
ditukarkan di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan
memasukkan dalam rekening para smurfing di satu tempat pada suatu bank kemudian
mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan pada rekening-
rekening pelaku pencucian uang di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening
pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsung atas nama pelaku namun bisa menunjuk
pada suatu perusahaan lain atau rekening lain yang disamarkan nama pemiliknya.

2). Model perusahaan rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak
menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat
digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk
penempatan (placement) dana sementara sebelum dipindah atau digunakan lagi. Perusahaan
rangka dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang
berada di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A, PT B,
PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain

3). Modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan
modus usaha. Contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana
kepada A (orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian
dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga
deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari
segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang
illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang
lengkap.

4). Modus menyerupai MLM.

5). Modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam
pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang
dicantumkan dalam faktur.

6). Modus over invoicing, merupakan kebalikan dari modus under invoicing.

7). Modus over invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan,
yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual
dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.

8). Modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk
membeli sesuatu yang telah dia miliki.
c. Tipologi Information Technology (IT):

1). Modus E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan
sarana internet.

2). Modus scanner merupakan tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime berupa
penipuan dan pemalsuan atas dokumen-dokumen transaksi keuangan.

d. Tipologi hitek:

Suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orang-orang kunci tidak saling
mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan
dengan menembus sistem database suatu bank.

Beberapa Kasus Money Laundering Di Indonesia :

1. Transaksi di Luar Profile Nasabah

AB seorang pegawai disalah satu instansi pemerintah, pada bulan April 2007,
melakukan penyetoran dana ke rekeningnya di Bank Z dalam bentuk valuta asing senilai
USD 500.000 (Rp 4,5 M). Dana tersebut selanjutnya dipindahkan ke beberapa rekening milik
istri, teman kerja dan seorang wanita berprofesi pemandu lagu. Transaksi setoran valas
tersebut dinilai tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil AB selaku pegawai disalah satu
instansi pemerintah. Bank Z melaporkan transaski tersebut kepada otoritas berwenang.

Berdasarkan analisis otoritas berwenang diindikasikan adanya unsur tindak pidana


sehingga diteruskan kepada pihak penyidik untuk proses investigasi lebih lanjut. Sesuai hasil
penyidikan diketahui bahwa dana yang disetorkan oleh AB ke rekeningnya di Bank Z berasal
dari pemberian (gratifikasi) PT X karena AB telah membantu melakukan mark down
(mengurangi) penerimaan pajak dari setoran PT X ke negara senilai Rp 70 M pada tahun
2007. Kasus ini telah dilimpahkan ke pengadilan dan Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis
8 (delapan) tahun penjara terhadap AB karena terbukti telah melakukan TPPU dari hasil
gratifikasi.
2. Penyuapan kepada pejabat melalui perusahaan pembiayaan

Mr. A seorang karyawan swasta mengajukan permohonan pembiayan leasing atas 1 (satu)
unit mobil mewah senilai Rp 450 juta kepada perusahaan leasing (PT Z). Setelah disetujui,
Mr. A menandatangani kontrak leasing yg diikuti dengan penerimaan sebuah unit mobil dari
PT Z. Selanjutnya, cicilan selalu dibayarkan oleh Mr. A kepada PT Z. Pada kenyataannya,
surat-surat kepemilikan mobil tersebut bukan atas nama Mr. A melainkan atas nama Mr. B.
Dengan kata lain, penguasaan kepemilikan mobil mewah tersebut berada dibawah kendali
Mr. B yang diidentifikasi sebagai seorang pejabat di instansi pemerintah. Dari hasil peggalian
informasi oleh perusahaan leasing diketahui bahwa perusahaan Mr. A adalah pemenang
tender dalam proses lelang proyek pengadaan barang dan jasa di kantor Mr. B. Berdasarkan
hal tersebut, perusahaan leasing menyampaikan LTKM kepada PPATK.

Anda mungkin juga menyukai