Anda di halaman 1dari 9

TOR NEOLIBERALISME

TIU : Neoliberalisme

TIK : -Perkembangan Pemikiran ekonomi


-Prinsip dasar Neoliberalisme
-Cara kerja Neoliberalisme

Neoliberalisme adalah paham ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis


Perdagangan Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN, Deregulasi/
penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam
layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah
AS (Washington Consensus). Bertujuan untuk menjadikan negara berkembang
sebagai sapi perahan AS dan sekutunya/MNC.
Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham
ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari
merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme,
neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat
dalam liberalisme.
Sejarah terjadinya Sistem Ekonomi Neoliberalisme
Sejarah munculnya paham neoliberalisme, tidak lepas dari gejolak ekonomi
global pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sistem ekonomi pasar liberal yang dianut
oleh negara-negara Eropa dan Amerika tidak menuai sukses. Ketika itu, pasar
diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat
mengurus dirinya sendiri, maka membuat campur tangan negara dalam mengurus
perekonomian tidak diperlukan lagi. 
Tetapi setelah perekonomian dunia terjerembab ke dalam depresi besar di tahun
1930, kepercayaan terhadap sistem ekonomi pasar liberal merosot drastis.
Anggapan publik kala itu, pasar bukan hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri,
namun juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi terjadi di
mana-mana karena banyak yang bangkrut dan menganggur.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932,
sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan
dilakukannya perbaikan terhadap sistem ekonomi pasar dunia, yaitu dengan
memperkuat peran negara sebagai pembuat kebijakan.
Pada perkembangannya,  gagasan Rostow dan Euken ini, kemudian dibawa oleh
ekonom Amerika, yakni Ropke dan Simon ke Universitas Chicago untuk
dikembangkan, yang menjadikan institusi pendidikan yang dinaunginya sontak
terkenal dengan sebutan Chicago School. Pada akhirnya Chicago School
menyempurnakan konsep ekonomi neoliberal, konsep sistem ekonomi yang
dipercaya sebagai solusi menekan tingkat depresi suatu negara. Tapi, teori
neoliberal yang telah siap diterapkan, ketika itu kalah pamor dari konsep negara
kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.
Namun, kedigdayaan Keynesianisme berakhir di era tahun 1979/1980, menyusul
terjadinya resesi global yang menghantam negara-negara Eropa dan Amerika.
Terpilihnya Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dijadikan
momentum bagi Margaret Thatcher (PM Inggris) untuk memproklamirkan konsep
neoliberalisme bersama Ronald Reagan. Thatcher pun mengeluarkan sebuah
pernyataan There Is No Alternative (TINA)!, yang maksudnya adalah tiada pilihan
lain selain dari neoliberalisme.  Thatcher sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya
neoliberalisme dapat memperkuat sistem ekonomi negara, yang menyangkut
perbaikan format hubungan antara negara, warga-negara, dan perekonomian.
Gagasan neoliberalisme berakar pada tradisi pemikiran liberal yang menempatkan
individualisme, rasionalitas, kebebasan, dan equality sebagai nilai-nilai yang paling
mendasar.
Asumsi-asumsi Dasar Liberalisme
 Individualisme: manusia sebagai individu merupakan hal yang paling
mendasar dalam pandangan kaum liberal. Karena hakekat manusia
merupakan makhluk yang penuh damai dan mempunyai kemauan bekerja
sama, kompetitif secara konstruktif, dan rasional.
 Equality: setiap individu lahir setara. Namun setiap individu mempunyai
kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda. Karenanya kaum liberal
percaya akan adanya ‘equality of opportunity’ yang memberikan setiap
individu kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi mereka masing-
masing.
 Kebebasan: kebebasan individu untuk mencapai apa yang terbaik bagi dirinya
perlu mendapat jaminan. Kebebasan individu tersebut dijamin melalui
mekanisme pasar [invisible hand-Adam Smith]
 Peran negara minimalis: peran negara yang kuat dan aktif dapat mengancam
kebebasan individu karenanya campur tangan negara dalam pasar akan
merugikan masyarakat. Kaum Liberal memandang ketegangan laten antara
negara dan pasar merupakan konflik antara penindasan dan kebebasan,
kekuasaan dan hak individu, dogma otokratik dan logika rasional.

Perkembangan Pemikiran Neoliberalisme (Neoliberal dari Masa ke Masa)


Menjelang digelarnya pemilihan umum presiden pada 8 Juli 2009, “neolib”
menjadi salah satu topik paling hangat. Hal ini seiring dengan dipilihnya Boediono
oleh SBY sebagai pendampingnya di dalam memimpin Indonesia ke depan.
Tidak dapat dipungkiri, “neolib” atau Neoliberalisme telah menjadi
isu menguntungkan bagi kandidat Mega-Pro dan JK-Win dan sebaliknya merugikan
kandidat incumbent SBY-Boediono. Isu ini membuat kubu SBY-Boediono
“kebakaran jenggot”.
SBY menyebut pihak-pihak yang menuduhnya “neolib” tidak memahami apa
yang disebut dengan Neoliberalisme. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani
menyatakan pemerintah tidak mungkin menerapkan sistem ekonomi neoliberal.
Begitu pula Pjs Gubernur BI, Miranda S. Goeltom menganggap dirinya yang sudah
42 tahun belajar ekonomi tidak mengenal apa itu neoliberalisme. Sejumlah ekonom
seperti Chatib Basri dan Raden Pardede juga menekankan bahwa tidak ada jejak
Neoliberalisme di Indonesia.
Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja
bentuk dan cara liberalisasi tersebut mengalami perkembangan seiring dengan
perubahan realitas sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara besar
khususnya Amerika Serikat.
Dalam booklet Sarana dan Cara Imperialisme Barat di Bidang Ekonomi yang
dikeluarkan Hizbut Tahrir (1998), dijelaskan Amerika menyebarkan ide tentang
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara baru
merdeka masuk ke dalam cengkramannya. James Petras (2004) menyebut hal itu
sebagai ekpansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan
globalisasi.
Amerika mendorong pembangunan berbasis hutang hutang dan investasi
asing di dunia ketiga. Dengan cara ini, Amerika menjebak mereka dalam perangkap
hutang (debt trap) sehingga mudah didikte bahkan hingga “bertekuk lutut”.
Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amerika
telah mengincar negeri kita. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan
“hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah
menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar” di wilayah Asing Tenggara (Ransom:
2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia
yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu” Indonesia
(Johnson Library: 1967).
Amerika berupaya mempengaruhi sistem politik di Indonesia dan
menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang
menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam pemerintahan koalisi adalah
pejabat pro Amerika.
Soemitro bersama Soedjatmoko merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI)
yang berorientasi ke Barat. Pada 1949 di School of Advanced International Studies
yang dibiayai Ford Foundation, Soemitro mengatakan Sosialisme yang diyakininya
termasuk akses seluas-luasnya terhadap sumber daya alam Indonesia dan insentif
yang cukup bagi investasi asing. Sedangkan Soedjatmoko di hadapan tokoh-tokoh
Amerika di New York menyampaikan strategi Marshal Plan di Eropa bergantung
pada ketersediaan sumber daya di Asia
Sejak 1951 Soemitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Di kampus ini, Soemitro bekerjasama dengan Ford Foundation mengatur pemuda
Indonesia untuk disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell,
Berkeley, dan Harvard. Inilah cikal bakal lahirnya Mafia Berkeley.
Pada saat itu, Ford Foundation dipimpin Paul Hoffman yang juga pemimpin
Marshall Plan di Eropa. Tujuan program pendidikan para pemuda Indonesia di
Amerika untuk mencetak para administrator modern di dalam pemerintah Indonesia
yang secara tidak langsung bekerja di bawah perintah Amerika. Hal ini persis seperti
yang dilakukan Amerika terhadap para pemuda Chile yang tergabung
dalam Chicago Boys. Jika Chicago Boys memegang peranan penting di tubuh
pemerintahan setelah kudeta berdarah Jenderal Augusto Pinochet yang didukung
Amerika, maka Mafia Berkeley pun mendapatkan kedudukan strategis setelah
Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dengan
dukungan Amerika pula (Ransom: 2006).
Mafia Berkeley sudah memiliki peran penting sejak awal Orba dalam
meliberalisasi ekonomi Indonesia. November 1967, Mafia Berkeley mewakili
pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation
di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui
pengkaplingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi
raksasa dunia (Pilger: 2008).
Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal
Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan
korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut. Setahun
kemudian, Soeharto mengangkat sejumlah anggota Mafia Berkeley duduk dalam
kabinetnya. Soemitro Djojohadikusumo menjadi Meteri Perdagangan, Widjojo
Nitisastro Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Emil
Salim Wakil Ketua Bappenas, Ali Wardhana Menteri Keuangan, Subroto Direktur
Jenderal Pemasaran dan Perdagangan, Moh. Sadli Ketua Tim Penanaman Modal
Asing, dan Sudjatmoko Duta Besar RI di Washington (Ransom: 2006).
Mafia Berkeley memformat pembangunan Indonesia bertumpu pada hutang.
Sementara Amerika memainkan peranan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB.
IMF bertugas menciptakan stabilisasi ekonomi, penjadwalan hutang, dan
memobilisasi hutang baru. Sedangkan Bank Dunia berperan dalam memandu
perencanaan pembangunan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia.
Bergesernya mazhab ekonomi negara-negara besar, dari Keynesian menjadi
Neoliberal, semakin mendorong IMF dan Bank Dunia menerapkan program
penyesuaian struktural dalam pinjaman yang mereka berikan kepada Indonesia.
Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan
perbankan secara siknifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio
RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).
Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta
untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia
membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990.
Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali
lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat
perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan
1997 (Muttaqin: 2002).
Sementara itu tekanan beban hutang Orba mendorong pemerintah melakukan
privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun
1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan
untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008).
Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya
setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.
Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF
dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF
memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang
swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah
ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia,
ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program
pinjaman yang mereka berikan.
Pemerintahan neoliberal di Indonesia berlangsung menjelang akhir kekuasaan Orde
Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neoliberal mengukir prestasi
meningkatkan hutang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3
miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk hutang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 trilyun
dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan SBY-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan
kebijakan ekonomi neoliberal. Jadi sangat aneh klaim pasangan incumbent SBY-
Boediono tidak menjalan ekonomi neoliberal. Begitu pula sama anehnya dengan
kedua pasangan calon presiden lainnya yang mengklaim bersih dari neolib, sebab
mereka pernah menjadi incumbent.

Prinsip Dasar Neoliberalisme

Neoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas


tiga prinsip sebagai berikut:

(1)Tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu


untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar;

(2) Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan

(3) Pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami,

Hasil dari penertiban ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam
neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme
pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus
Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat
hal sebagai berikut:

(1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi;

(2) liberalisasi sektor keuangan;

(3) liberalisasi perdagangan; dan

(4) pelaksanaan privatisasi BUMN.


Cara Kerja Neliberalisme

Kebijakan sistem perekonomian neoliberal di Indonesia, yang begitu jelas


diterapkan satu dekade terakhir di Indonesia, memicu peningkatan kesenjangan
pendapatan di Indonesia. Dimana Kebijakan neoliberal sangat memfasilitasi
perdagangan bebas barang dan jasa, yang ditandai dengan penghapusan segala
bentuk tarif dan bea impor. Hal ini membawa dampak berantai terhadap ekonomi
rakyat: kehancuran usaha (produsen) kecil dan menengah; kehancuran pertanian
lokal; kehancuran industri dalam negeri. Situasi ini mendorong proses penyingkiran
rakyat dari alat-alat produksi. Di sektor industri, produsen kecil tersingkir dari
lapangan produksi. Di sektor pertanian, peningkatan drastis jumlah petani tak
bertanah.

Kedua, Pemerintah semakin bergantung pada kapital asing. Untuk itu,


pemerintah menempuh segala macam cara untuk menarik investasi. Misalkan, untuk
menarik minat investor, pemerintah mengurangi pajak bagi perusahaan multi-
nasional. Kebijakan ini menyebabkan merosotnya pendapatan negara dari pajak.
Sebagai gantinya, pemerintah akan menaikkan pajak untuk pelaku usaha di dalam
negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak untuk rakyat. Ini berkontribusi pada
pendalaman ketimpangan pendapatan: di satu sisi, perusahaan multinasional
mendapatkan keuntungan yang luar biasa, sedang di sisi lain, rakyat dipaksa
membayar kerugian yang mereka tinggalkan. Cara lain untuk menarik investasi
adalah deregulasi pasar tenaga kerja. Rezim upah minimum harus dihapuskan.
Dengan begitu, negosiasi upah akan dialihkan menjadi negosiasi pemberi kerja dan
pekerja. Pada saat bersamaan, diberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Di lain pihak, peranan dari serikat pekerja harus dilemahkan atau bahkan
dihancurkan. Situasi ini membuat

Ketiga, privatisasi besar-besasan terhadap perusahaan negara. Swasta


dianggap satu-satunya agen tunggal dalam perekonomian yang sanggup beroperasi
di bawah hukum persaingan. Privatisasi mendorong pengalihan kekayaan negara
kepada modal swasta/asing. Selain itu, privatisasi perusahaan negara memaksa
rakyat membayar mahal hasil produksi atau jasa yang dijual oleh perusahaan yang
sudah diprivatisasi tersebut.

Keempat, akibat kehancuran sektor-sektor produktif negara dan


berkurangnya penerimaan negara dari pajak, negara semakin bergantung pada
utang luar negeri. Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini membawa negara
dalam situasi seperti “terperangkap”. Misalkan, kreditor kemudian membuat
ketentuan agar APBN diprioritaskan pembayaran cicilan utang ketimbang ketimbang
domestik. Argumentasi mereka sederhana: itikad baik membayar utang akan
menambah kepercayaan investor asing. Sebaliknya, bagi kita, tekanan untuk
membayar utang dan cicilannya berdampak pada berkurangnya kemampuan negara
untuk belanja modal dan belanja sosial. Pada prakteknya, anggara untuk belanja
sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, dipangkas. Tak hanya itu,
anggaran untuk subsidi, seperti subsidi energi dan pertanian, juga perlahan-lahan
dihapus.

Kelima, penyerahan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, air


minum/bersih, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, kepada mekanisme pasar.
Akibatnya, layanan dasar tersebut menjadi “barang mewah” di mata rakyat. Biaya
dari kenaikan harga layanan dasar itu harus ditanggung individu sebagai penerima
manfaat. Pada aspek ini, konsep warga negara telah dihilangkan dan diganti dengan
konsumen.

Sistem ekonomi neoliberalisme menghilangkan peran negara sama sekali


kecuali sebagai “regulator” atau pemberi “stimulus” (uang negara) untuk menolong
perusahaan swasta yang bangkrut. Contohnya, pemerintah AS harus mengeluarkan
“stimulus” sebesar US$ 800 milyar (Rp 9.600 trilyun) sementara Indonesia pada
krisis moneter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 trilyun dan BLBI
senilai Rp 600 trilyun, melebihi APBN saat itu. Sistem ini berlawanan 100% dengan
Sistem Komunis dimana negara justru menguasai nyaris 100% usaha yang ada.
Neoliberalisme tidak berpihak kepada rakyat miskin  lebih  mengutamakan
kepentingan pemodal atau kapitalis atau juga investor sehingga menempatkannya
diposisi sentral substansial. Sementara poisisi rakyat diletakkan pada posisi
marginal residual atau pinggiran. Jelas, sistem ekonomi neoliberalisme akan
menggusur rakyat miskin, pembangunan rakyat tidak inherent dengan
pembangunan ekonomi. Rakyat atau kalangan kelas bawah selalu menjadi budak di
negerinya sendiri. Rakyat akan berada dicengkraman kapitalisme neoliberalisme
yang merupakan penghisapan dan penindasan struktural.

Saat ini perbincangan tentang Neoliberalisme telah lepas dari akar


ideologinya (Kapitalisme), sehingga banyak yang memandang Neoliberalisme hanya
sebatas “isme” anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu pula pasangan
SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan Neoliberal
melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY
beralasan pemerintahannya masih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk
program BLT dan PNPM Mandiri.

Neoliberalisme juga lebih banyak dipandang sebagai konsep ekonomi pasar


berdasarkan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh John Williamson (1989).
Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin
fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan
liberalisasi sektor finansial menjadi standar paket reformasi ekonomi yang
ditawarkan (baca: dipaksakan) IMF, Bank Dunia, dan Amerika Serikat kepada dunia
ketiga.
Neoliberalisme merupakan “isme” yang dinisbatkan kepada “watak”
pemerintahan Augustu Pinochet (1873-1990) di Chile hasil perselingkuhan
keditaktoran dengan ekonomi pasar bebas (B. Hery Priyono: 2009). Perselingkuhan
ini terjadi ketika Pinochet yang meraih kekuasaan melalui kudeta berdarah
mengangkat Chicago boys untuk mengelola kebijakan ekonomi.
Chicago boys adalah para pemuda Chile yang mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas Chicago. Selama 1955-
1963, 30 pemuda Chile telah mendapat gelar PhD di bidang ekonomi. Di universitas
inilah para pemuda tersebut dicuci otaknya dengan pemikiran ekonomi ala mazhab
Chicago, yakni mazhab ekonomi yang dikembangkan oleh seorang imigran Yahudi
Milton Friedman yang mendapat gelar “nabi” Neoliberalisme (Wibowo: 2004).
Milton Friedman bersama Friedrich August Hayek (ekonom dari Austria) menjadi
peletak dasar bangunan Neoliberalisme. Hayek mengunggulkan Kapitalisme pasar
bebas dengan menempatkan harga sebagai metode untuk mengoptimalkan alokasi
modal, kreativitas manusia, dan tenaga kerja. Sementara Friedman berpandangan
insentif individual merupakan cara terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Menurut
Friedman, “Ada satu, dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu
menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi akumulasi
laba…” (B Herry Priyono: 2003).
“Isme”liberal baru yang dikembangkan Friedman dan Hayek tidak dapat dipisahkan
dari nilai dan spirit ideologi Kapitalisme yang dibangun dari filsafat liberalisme klasik.
Menurut Betrand Russel (2002) Filsafat liberalisme klasik merupakan inti pemikiran
asas ideologi Kapitalisme, yakni Sekularisme.
Liberalisme yang diwujudkan dalam kebebasan individu diperlukan untuk
mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai sekuler ke seluruh dunia. Kebebasan
individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kebebasan beragama (freedom
of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan
(freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior) (Zallum:
2001). Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi
Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian.
Dalam liberalisme klasik Adam Smith, perekonomian harus berjalan tanpa
campur tangan pemerintah (laissez faire). Smith percaya pada doktrin invisible
hands (tangan gaib) akan menciptakan keseimbangan secara otomatis. Setiap
upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu
tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith
mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah yang
mengedepankan nilai-nilai kebebasan, maka perekonomian secara otomatis
mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Pandangan
ekonomi Smith ini kemudian dikenal sebagai ekonomi pasar murni.
Berbeda dengan liberalisme klasik yang masih berbicara kepentingan publik,
liberalisme Friedman menempatkan transaksi ekonomi (motif materi) sebagai satu-
satunya landasan interaksi antar manusia dalam aspek politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan hubungan antar bangsa.
Meskipun Neoliberalisme mengusung ide pasar bebas, bukan berarti
persaingan yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dalam bahasa Prof.
Claudia von Werlhof (2007) kebebasan ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi
korporasi bukan bagi masyarakat. Begitu pula tidak benar jika dalam kerangka
Neoliberalisme negara tidak melakukan campur tangan. Bahkan seringkali dalam
merealisasikan kebijakan neolib pemerintah menerapkan kebijakan “tangan besi”.
Tingkat resistensi masyarakat terhadap kebijakan neoliberal sangat besar.
Untuk itu, kebijakan neoliberal selalu dibungkus secara apik sebagai bentuk
kebohongan publik. Misalnya, globalisasi dan pasar bebas digemba-gemborkan
sebagai jalan menuju kemakmuran. Atau privatisasi dianggap sebagai upaya untuk
memperluas kepemilikan masyarakat.
Terlepas adanya perbedaan Neoliberalisme dengan liberalismenya Adam
Smith, serta pandangan yang bertolak belakang dengan mazhab Keynesian yang
mengedepankan campur tangan pemerintah, Neoliberalisme merupakan wujud baru
Kapitalisme yang lebih serakah dan jahat.

Anda mungkin juga menyukai