Anda di halaman 1dari 8

Studi Perdamain Hubungan Internasional

Abstrak

Studi perdamian telah menjadi bahasan yang sangat relevan dalam hubungan
internasional, Studi Ini mampu menjawab permasalahan konflik dan perang yang terjadi secara
internasional. Perang, kekerasan, kemiskinan, penindasan, dan sumber penderitaan manusia
lainnya adalah hal yang umum sepanjang sejarah, memanifestasikan diri secara berbeda dalam
waktu dan keadaan yang berbeda. Sebagai contoh, sering dicatat bahwa abad ke-20 membawa
skala tragedi global yang unik, yang paling jelas diwakili oleh dua Perang Dunia, menjamurnya
kekerasan di seluruh dunia setelah jatuhnya Uni Soviet, dan yang terbaru meningkatkan tingkat
ketidaksetaraan didalam dan di antara negara-negara. Oleh karena itu studi perdamian menjadi
analisis alternatif yang kompleks terkait dinamika hubungan internasional.

Apa Itu perdamian ?

Perdamaian pada umumnya diasosiasikan dengan konsep resolusi konflik, dimana dalam
proses penyelesaian konflik tersebut, tidak ada kekerasan yang digunakan untuk mencapai situasi
damai. Perdamaian sendiri dapat diartikan, sebagai suatu kondisi di mana masyarakat bisa hidup
secara berdampingan, meskipun masyarakat tersebut memiliki perbedaan budaya, sosial, dan lain-
lain. Perbedaan tersebut bukanlah suatu hambatan karena adanya kemampuan untuk
berkomunikasi secara baik, sehingga adanya pemahaman dan toleransi yang baik diantara
masyarakat yang berbeda tersebut. 1

Perdamaian adalah koeksistensi dari berbagai budaya dan masyarakat yang diperoleh
dengan meningkatkan komunikasi dengan orang lain, pemahaman bersama dan kemampuan untuk
saling toleransi. Hak – hak individu dijamin dengan tidak adanya rasisme dan seksisme. Sehingga,
hidup tanpa kekerasan dapat menciptakan kondisi kepercayaan, harmoni dan kerja sama.
Kedamaian memberikan banyak hal berbeda kepada setiap orang. Sebagian orang mengatakan
perdamaian sebagai kurangnya konflik dalam bentuk apapun yang serius. Istilah perdamaian
dikaitkan dengan resolusi konflik tanpa adanya kekerasan.

Bapak Studi Perdamaian, Johan Galtung dari PRIO, menjelaskan bahwa damai adalah
kondisi tanpa kekerasan yang bukan hanya bersifat personal atau langsung tetapi juga bersifat
struktural atau tidak langsung. Galtung juga menekankan bahwa kondisi damai adalah kondisi
tanpa kekerasan dan ketidakadilan sosial didalam masyarakat. 2 Luigi da Porto mengemukakan
siklus peace and conflict yang menarik. "Perdamaian mendatangkan kemakmuran, kemakmuran
mendatangkan kebanggaan, kebanggaan mendatangkan amarah, amarah mendatangkan perang,
perang mendatangkan kemiskinan, kemiskinan mendatangkan kemanusiaan, kemanu-siaan
mendatangkan perdamaian”. 3 Studi perdamaian adalah bidang yang sangat luas dan interdisipliner
yang dipelajari di universitas di seluruh Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Timur Tengah, Asia,
dan Afrika. Karena mencakup berbagai isu seperti perang dan intervensi kemanusiaan hingga
pembangunan perdamaian dan kerjasama internasional hingga pembangunan berkelanjutan dan
keadilan sosial, para sarjana studi perdamaian dan konflik dapat memanfaatkan disiplin ilmu
tradisional seperti sejarah, filsafat, geografi, dan ekonomi politik, sepenuhnya berbagai ilmu sosial,
serta bidang yang lebih terapan seperti hukum, studi perang, hubungan internasional, hak asasi
manusia, studi pembangunan, studi kebijakan, dan administrasi publik.

Ada tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan secara langsung, struktural, dan kultural.
Kekerasan langsung adalah segala macam bentuk kekerasan dalam bentuk verbal yang
mengakibatkan luka fisik dan penderitaan yang dalam bagi seseorang. Perang adalah contoh yang
paling tepat untuk menggambarkan bentuk dari kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah
kekerasan yang terjadi secara non-verbal, seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, dan
pengasingan sosial yang menyebabkan penderitaan mendalam bagi seseorang. Banyaknya
pelanggaran hak asasi manusia didalam sebuah negara, di mana kebebasan berpendapat, aktif
dalam politik, serta penindasan-penindasan lainnya, adalah sebuah bentuk dari kekerasan
4
struktural. Kemudian, kekerasan kultural adalah segala bentuk kekerasan yang diproduksikan
dari rasa kebencian, ketakutan, dan prasangka. Sumber- sumbernya dapat berasal dari agama,
ideologi, seni, dan ilmu pengetahuan. Hal-hal tersebut merupakan hal yang sensitif dan sangat
mudah untuk digunakan sebagai alat untuk membenarkan terjadinya konflik dan terganggunya
suasana perdamaian. Umumnya, kekerasan kultural memiliki hubungan langsung dengan
kekerasan yang dilakukan secara langsung, maupun struktural. 5

Sejarah Studi Perdamaian

Studi ini lahir pasca terjadinya perang dunia ke-2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
perang dunia kembali. Fokus studi ini mulai mengalami banyak perkembangan setelah jatuhnya
Uni Soviet. Awalnya studi ini hanya berfokus pada kajian perlombaan senjata antara Blok Barat
dan Blok Timur, serta kemungkinan terjadinya perang nuklir. Pada tahun 1990-an mulai ada kajian
studi isu peacemaking, peacekeeping, peacebuilding, dan resolusi konflik yang bahasannya
mencakup teori konflik, proses dari pencegahan, manajemen, resolusi, transformasi dan konflik.6

Pada tahun 1800-an, terutama diakhir abad, munculan gerakan perdamaian yang
terorganisasi, Henry Dunant, Bertha von Suttner. Pada tahun 1900-an, landasan riset perdamaian
yang terorganisasi dan ilmiah. Ekonom Polandia Jean De Bloch (w. 1902), La Guerre atau
ringkasannya, The Future of War (terbit pertama kali 1898); (Sir) Norman Angell (Peraih Nobel
Perdamaian 1933), The Great Illusion (1910), Alfred H. Fried dari Austria, pemenang Nobel
Perdamaian (1911) John Mueller, mungkin dapat dianggap seorang dari tradisi “realis”, menulis
Retreat from Doomsday. The Obsolescence of Major War (1989). Pada tahun1930 - 1940 an,
Pitirim Sorokin di Universitas Harvard dalam karyanya Social and Cultural Dynamics (1937).
muncul riset-riset antiperang pada aras yang lebih mikro, Mary Parker Follet (Dynamic
Administration, Creative Experience), David Mitrany (Fungsionalisme), Kurt Lewin (Psikologi).
Setelah PD II: dominasi studi strategis dan teori permainan – Tom Schelling (The Strategy Of
Conflict), von Neuman & Morgenstern (Theory of Games and Economic Behavior). Pada Awal
1950-an berdiri Institute for Social Research di Oslo, Norwegia, dan menerbitkan The Science of
Peace. muncul pendekatan resolusi konflik – Journal of Conflict Resolution, Kenneth & Elise
Boulding (problem solving workshop), Anatol Rapoport, Louis Kriesberg, Christopher Mitchell,
Oliver Ramsbotham. Mucul ide perdamaian positif, mewujudkan perdamaian melalui cara-cara
damai (peace through peaceful means) – Johann Galtung. Akhir 1950an: Di Inggris berdiri
Campaign for Nuclear Disarmament.

Pada Tahun 1960, Darthmouth Conference dan berbagai kegiatannya mulai. Di awal
dasawarsa ini, muncul SIPRI di Swedia yang menekankan perdamaian negatif, perlombaan dan
perlucutan senjata, dan persoalan-persoalan keamanan internasional. Pada tahun1970-an, fokus
pada gerakan dan alternatif – Gene Sharp (the Politics of Nonviolent Action), Saul Alinsky (Rules
for Radical). 1970-an akhir dasawarsa ini, mulailah Program on Negotiation di Universitas
Harvard dan kemudian menerbitkan Negotiation Journal . Pada tahun 1980-an, lomba senjata
nuklir dan perang dingin melatari meningkatnya secara pesat gerakan perdamaian. 1984: Peace
Review terbit dari Stanford University. Sejak tahun 1990an, muncul melalui isu-isu demokratisasi,
HAM, penanganan konflik internal (perang sipil, konflik etnis/agama, pemisahan diri,
pemberontakan, dll). akhir 1990an, antiglobalisasi, counterterrorism, multikulturalisme.7

Perkembangan pusat – pusat riset perdamaian di tengah - tengah era perang dingin
membuat studi ini berkembang pesat seperti Departement Peace and Conflict di Uppsala
Unniversity Sweden, Stockholm International; Peace Research Institute (SIPRI), dan Peace
Research Institute in Oslo (PRIO) yang berada di negara – negara Skandinavia. Hingga saat ini
ketika lembaga tersebut menjadi leading research center dalam kajian – kajian mengenai studi
perdamaian. Fokus studinya tidak hanya perang antar negara, tapi juga konflik individu, lokal,
domestik, dan tentunya internasional. Studi Perdamaian di era ini meredefinisi konsep perdamaian,
bentuk-bentuk kekerasan, penyebab perang, dan resolusi perang. 8

Indikator Kondisi Damai

Pada abad ke-18 Immanuel Kant sudah bicara tenang perdamaian dalam bukunya yaitu
“Perpectual Peace”. Program perdamaian menurut Kant terdiri dari 2 bagian . Pertama, kondisi
awal saat sebuah Negara republik sebelum memberikan kontribusi maksimal terhadap perdamaian
internasional. Ini termasuk menghapus tentara yang siap berperang, tidak ikut campur urusan
negeri-negara lain, melarang spionase (mata-mata), serta melarang hasutan untuk berkhianat dan
pembunuhan sebagai instrument diplomasi dan bisnis-bisnis negara. Menyebarkan konstitusi
Negara republik yang berarti megeneralisasikan upaya – upaya untuk mencapai perdamaian,
karena berjuang untuk damai adalah bagian dari prinsip dasar negara republik.9
Kedua, Kant mengusulkan tiga pondasi perdamaian sebagai reaksi dari pernyataan Hobbes,
“The War Of All Against All”. Pertama, Konstitusi dari setiap negara harus berbentuk republik.
Kedua, hukum yang mengatur antarnegara akan dibangun pada sebuah federasi dari negara –
negara bebas. ketiga, hukum kewarganegaraan dunia akan dibatasi pada ketentuan-ketentuan
universal dari hidup bertentangan dengan negara – negara lain.10

Dalam karya – karyanya, Kant banyak berbicara tentang perdamaian dunia. Salah satu
tesisnya adalah “Perdamaian Demokratis (democratic peace)”. Tesis itu berkembang menjadi dua
varian. Varian pertama mempertahankan pendapat bahwa negara – negara liberal tidak bisa
dibilang lebih damai daripada negara – negara non-liberal, tetapi mereka menjauhkan diri dari
penggunaan kekuatan senjata agar dapat berhubungan dengan negara – negara lain yang
demokratis. Beberapa pakar juga berpendapat bahwa negara demokrasi dapat lebih kuat jika
menggunakan kekuatan senjata. Hal ini karena, negara – negara demokrasi liberal adalah negara –
negara kuat dengan basis kekayaan yang besar. Jalan menuju perdamaian adalah dengan
mendorong sistem yang demokratis, penghormatan universal terhadap hak asasi manusia dan
perkembangan masyarakat sipil modern (civil society).11

Dalam kondisi damai positif menurut Galtung, haruslah terdapat hubungan yang baik dan
adil dalam semua segi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, maupun ekologi. Dengan
demikian, kekerasan structural seperti kemiskinan dan kelaparan, kekerasan sosio-kultural seperti
rasisme, seksisme, dan intoleransi beragama, ataupun kekerasan ekologi, seperti perusakan alam,
polusi, dan konsumsi yang berlebihan menjadi sirna. Kondisi damai positif inilah yang harus
diusahakan setelah tercapainya damai negative, yaitu dengan tidak adanya kekerasan langsung
atau fisik, baik makro maupun mikro, seperti peperangan, penyiksaan, serta kekerasan terhadap
anak-anak dan perempuan.12

Bahasan Studi Perdamaian, Galtung menambahkan, bahwa ada tiga tahap penyelesaian
konflik yang nantinya digunakan oleh PBB dalam setiap kesempatannya menjadi mediator konflik,
maupun pengerahan peacekeeping operation (UN PKO). Tiga tahap itu adalah:

1. Peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap


politik dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama
pada level elit atau pimpinan.
2. Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui
intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.

3. Peacebuilding adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik,


dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng.13

Konsep Negatif PositIf Perdamian

John Galtung dalam jurnalnya yang bertajuk “Journal of peace research” edisi pertama
menjelaskan tentang bagaimana konsep kedamaian. Menurut Galtung, kedamaian dibagi menjadi
dua artian yaitu negative peace dan positive peace. Menurut Galtung, negative peace diartikan
sebagai perdamaian yang dimana tidak adanya suatu kekerasan fisik, tidak adanya perang, atau
tidak adanya suatu hal yang bersifat memperebutkan sesuatu yang berpotensi memperkeruh
keadaan. Ciri-ciri lainnya, adalah ketiadaan penunjukkan kekuatan (show of force) dan suasana
yang terjadi bukan sekedar tanpa perang, tetapi ketidakadilan sosial dan penindasan ekonomi
belum terselesaikan.14 Sedangkan positive peace diartikan sebagai bersatunya seluruh manusia
atau bisa dikatakan sebagai terjalinnya suatu kerja sama antar manusia. Adanya perangkat
penyelesaian konflik yang demokratis dan non-koersif, situasi ketiadaan perang, terciptanya
keadilan sosial, kemakmuran ekonomi, dan pembagian politik yang luas adalah langkah awal
terciptanya positive peace.15

John Galtung mendeskripsikan konsep ini didasarkan pada bagaimana teori liberal
berkembang. Yang pertama dikatakan sebagai “Man Identifies” atau bagaimana seseorang
diidentifikasi. Disini manusia ditunjukkan sebagai makhluk yang memiliki rasa kepedulian satu
sama lain. Galtung berpendapat bahwa manusia sejatinya menempatkan dirinya sendiri sebagai
manusia yang membutuhkan kehidupan sosial sehingga terciptanya suatu timbal balik satu sama
lain. Selain itu, positive peace diartikan sebagai bersatunya seluruh manusia. Dalam hal ini, John
Galtung berpendapat bahwa bersatunya manusia itu adalah tentang tidak adanya kesenjangan
sosial antara satu sama lain, adanya kesetaraan dan keadilan sosial, dalam hal ekonomi juga
terwujud suatu keadilan, atau bekerja sama satu sama lain demi mendapatkan tujuan yang
diinginkan. Sehingga dengan terwujudnya hal tersebut, maka perdamaian di dunia ini dapat
terwujud. Demi mewujudkan suatu negara dan dunia dengan kondisi damai, negative peace dan
positive peace sejatinya harus terwujud secara bersamaan. Dengan dunia berhasil menghilangkan
apa yang ada di negative peace seperti kekerasan fisik, peperangan, maka positive peace dapat
terwujud dengan adanya keadilan dan pemerataan baik segi sosial maupun ekonomi, dan
sebagainya.

Kesimpulan

Perkembangan pemikiran perdamian selalu dikaitan dengan keberadaan perang dan koflik. Studi
perdamaan merupakan bagian kajian yang penting dalam mempelajari Hubungan Internasional.
Karya rujukan dari John Galtung menyebutkan bahwa damai kondisi tanpa kekerasan yang bukan
hanya bersifat personal atau langsung tetapi juga bersifat struktural atau tidak langsung. Dalam
memahami perdamaian dapat dipahami melalui konsep perdamaian positif dan perdamaian
negative. Menurut Galtung, negative peace diartikan sebagai perdamaian yang dimana tidak
adanya suatu kekerasan fisik, tidak adanya perang, atau tidak adanya suatu hal yang bersifat
memperebutkan sesuatu yang berpotensi memperkeruh keadaan. Sedangkan positive peace
diartikan sebagai bersatunya seluruh manusia atau bisa dikatakan sebagai terjalinnya suatu kerja
sama antar manusia. Pada tahun 1990-an mulai ada kajian studi isu peacemaking, peacekeeping,
peacebuilding, dan resolusi konflik yang bahasannya mencakup teori konflik, proses dari
pencegahan, manajemen, resolusi, transformasi dan konflik. Beberapa studi HI menggambarkan
masalah utama hubungan internasional adalah Kondisi anarki yang berarti konfliktual, dengan
demikian studi perdamaian ini sangatlah menarik untuk masa depan HI dalam mengkaji konsep -
konsep, ruang lingkup, bagaimana membangun perdamian dengan perubahan situasi dan kondisi
yang lebih baik.

234
Jerry Indrawan, op.cit, hlm. 138

Catatan Akhir

1
A. A. Banyu Perwita dan Nabilla Sabban (ed), Kajian Konflik dan Perdamaian, (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2015), hlm. 68.

2
Loreta N. Castro dan Jasmine N. Galace, Peace Education : Pathway to A Culture of Peace, (Cuezon
City : Centre of Peace Education, 2010), hlm. 19.
3
Jerry Indrawan, Pengantar Studi Keamanan, (Malang : Intrans Publishing, 2019), hlm. 138.
4

10

11

12

13

14

15

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai