Disusun oleh :
Nurmala Ita
NIM 20170610141
Kelas E
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah proses atau perbuatan yang
menggunakan uang hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan
atau dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul
uang yang sah atau yang halal dengan kata lain, pencucian uang adalah proses
untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Pencucian uang
merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa ini, perbuatan
pencucian uang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat
mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan
negara.
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak
langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab
konsekuensinya akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber
memperolehnya. Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil kejahatan
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem
perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk dilacak oleh
penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang hasil
kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara membeli
saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki keabsahan
yuridis dalam operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para penjahat
yang diputar melalui proses-proses sepertinya menjadi sah adanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi tindak pidana pencucian uang ?
2. Apa bentuk tindak pidana asal pencucian uang?
3. Apa peran dan tugas lembaga hukum ?
4. Apa Fungsi PPATK ?
5. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana pencucian Uang ?
6. Apa jenis pemidaan tindak pidana pencucian Uang ?
BAB II
PEMBAHASAN
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan
unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya
kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan,
menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari,
menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari
perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa
harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan harta tersebut.
Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana
pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1 angka (9)
ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Sementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini
disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam Undang-
undang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau
menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun
transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah
transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam
bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/memindahbukukan.
1. transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
3. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur
adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8
Tahun 2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku
melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak
pidana. Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun
2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan
hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi,
penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan,
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan,
pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang
perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan
perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara.
Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang
nantinya hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan.
Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil
tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan
harta kekayaan tersebut. Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi
tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010,
teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak
pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja:
1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama
sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta
yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas
nama pihak lain.
6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan
harta yang diproleh dari tindak pidana.
7. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau
patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat
berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul
harta kekayaan tersebut.
Kriteria diatas hanya sekedar contoh,. kriteria lain dapat misalkan diorientasikan
pada:
Akhirnya, patut dikemukakan bahwa kebijakan menentukan kriteria itu pun tentunya
sangat bergantung pada tujuan/strategi kebijakan kriminal dan kebijakan
pembangunan nasional. Bahkan, terkait dengan kebijakan global karena ketidak-
samaan “predicate offence” di antara berbagai negara dapat menghambat kerjasama
internasional maupun regional dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian
uang sebagai “transnational crime”.
Seiring berkembangnya waktu, kategori tindak pidana asal dalam pencucian uang
semakin diperluas dengan berlakunya UU No. 25 tahun 2003 dan terakhir di berlaku-
kannya UU No. 8 tahun 2010. Namun, masih juga banyak jenis atau kategori lainnya
yang belum termasuk di dalam jenis tindak pidana asal, antara lain kejahatan
transnasional lainnya, cyber crime, pembajakan kapal atau pesawat, dan perbuatan
lain yang termasuk tindak pidana di Negara lain.
Dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, perlu pemberantan pula
dari tindak pidana asal karena keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Kalau
memerhatikan unsur-unsur delik dalam pencucian uang, bahwa harus dibuktikan
terdakwa mengetahuinya atau patut diduganya harta kekayaan itu merupakan hasil
dari suatu kejahatan/tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur
subjektifnya (sikap batin jahat/kesalahannya) bukan unsur objektifnya yaitu bukan
dengan membuktikan apakah kejahatan itu telah terjadi atau belum.
Dalam tindak pidana pencucian uang, jika sudah terdapat bukti permulaan yang
cukup atas terjadinya tindak pidana pencucian uang maka tidak perlu membuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal demikian sama dengan pembuktian dalam
tindak pidana “Penadahan” (di dalam Pasal 480 KUHP juga mengandung unsur
“yang diketahuinya atau patut di duganya bahwa diperoleh dari kejahatan).
Sebagaimana kita ketahui, pengaturan terhadap pembuktian tindak pidana asal dalam
tindak pidana pencucian telah diatur di dalam Pasal 69 UU No. 8 tahun 2010 yang
menyatakan: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Menurut bapak Halif, S.H., M.H. Pasal 69
tersebut adalah pasal yang kontradiktif. Karena jika di dalam penuntutan dan
persidangan ternyata tidak ditemukan tindak pidana asalnya, maka tidak dapat
memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang. Namun, dalam penyidikan
dimungkinkan untuk tidak lebih dahulu tindak pidana asalnya yang dipertegas
dengan adanya Pasal 75 UU No. 8 tahun 2010. Jika kita kembali lagi pada rumusan
dari tindak pidana pencucian uang itu sendiri berdasarkan Pasal 1 ke-1 bahwa
pengertian tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuia dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Berarti dalam pasal tersebut, tidak boleh menyidik atau menuntut atau bahkan
memeriksa sebelum dibukikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Predicate
Offence).
Tindak pidana asal dalam pencucian uang tidak terbatas pada wilayah dimana tindak
pidana asal itu dilakukan. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf z UU
No. 8 tahun 2010. Ketentuan demikian tertuang dalam Pasal 6 ayat (2) Council of
Europe Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the
Proceeds from Crime yang menegaskan bahwa “tidak menjadi masalah apakah
‘predicate offence’ itu termasuk dalam yurisdiksi kriminal dari Negara/pihak yang
bersang-kutan”. Demikian pula dalam “The 1991 European Communities Directive”
ditegaskan bahwa tetap dianggap ada money laundering sekalipun aktivitas kejahatan
yang menyebabkan timbulnya harta kekayaan yang di cuci itu dilakukan di wilayah
Negara lain. Dari ketentuan diatas maka timbul suatu pertanyaan, yaitu bagaimana
jika suatu tindak pidana asal itu dilegalkan oleh suatu negara? Seperti halnya di Las
Vegas dan Macau suatu judi itu dilegalkan. Untuk menjawab pertanyaan di atas,
perlu kembali kepada asas hukum pidana yaitu Asas Perlindungan atau Asas
Nasional Aktif sesuai dengan Pasal 4 KUHP bahwa ketentuan peraturan perudang-
undangan Indo-nesia berlaku bagi setiap orang (warga negara) yang melakukan
diluar wilayah Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun di dalam suatu Negara
tindak pidana itu di-legalkan tapi di Indonesia di larang, maka orang atau Warga
Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dipidana sesuai
dengan aturan di Indonesia.
Dalam fungsi PPATK sesuai dengan pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pemberantasan TPPU, PPATK mempunyai empat (4) fungsi, dimana dalam setiap
fungsi tersebut PPATK juga mempunyai kewenangan. Dalam fungsi PPATK dalam
pasal 40 huruf a UU TPPU, PPATK mempunyai kewenangan anatara lain :
1. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau
lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola datadan informasi,
termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima
laporan dari profesi tertentu
2. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan
3. Mengkordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan
instansi terkait
4. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan
tindak pidana pencucian uang
5. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum
internasional yang berkaitan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang
6. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang
7. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
1. Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor
2. Menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana
pencucian uang
3. Melakukan audit kepatuhan dan audit khusus
4. Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor
5. Memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban
pelaporan
6. Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak
pelapor, dan
7. Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak
pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.
Kedua Pasal tersebut tidak mengatur mengenai prosedur beracaranya atau setidak-
tidaknya mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik tersebut. Seharusnya hal
itu diatur secara tegas, bagaimana jika terdakwa dapat membuktikan bahwa harta
kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari hasil kejahatan. Sebaliknya
bagaimana jika terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaan yang
dimilikinya bukan berasal dari hasil kejahatan.
Dengan demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak
oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan. Inilah yang dikenal dengan
pencucian uang (money laundering).
Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat mempergunakan uang
hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan dari suatu hasil yang sah.
Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh berkembangnya tindak pidana korupsi
di Indonesia, karena pada koruptor dapat dengan mudahnya memasukkan uang
hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya kedalam sistem keuangan dan
kemudian mempergunakannya kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah.
Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun 1990
mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi negara-negara untuk
mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan melakukan
kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation tersebut, pada
tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa : hasil
tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal,
tindak pidana di bidang asuransi.
Dari rumusan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2003 tersebut maka
jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari tindak
pidana pencucian uang. Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka Indonesia
melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-undang No.31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi.