Anda di halaman 1dari 19

ANALISA HUKUM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG YANG BERKAITAN DENGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA


(Studi Putusan 30/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst)

MAKALAH

Disusun Sebagai Tugas Pengganti Final


Mata Kuliah Delik-Delik Diluar KUHP

Oleh:

ASHABUL AHMAD H1A121292


A. INDAH NUR ILAWAL. H1A121282
S
AGUS PRYANTO UNGE H1A121272
ARSE DWI ANUGRAH. R H1A121291
GERALDI ARYA GILANG H1A121170
SYAWAL H1A121416
DIKI SAPUTRA H1A121304

KELAS
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1920-an kejahatan pencucian uang telah berkembang di
Indonesia. Tiap pelaku yang terlibat dalam kejahatan menyembunyikan
keuntungan dari kejahatan tersebut pada industri keuangan maupun di dalam
bentuk lainnya. Keuntungan yang didapatkan dari hasil kejahatan
dimaksudkan untuk menyembunyikan atau membuat kabur asal dari harta
kekayaan tersebut.
Pelaku kejahatan tindak pidana tersebut berusaha untuk membuat dirinya
menjadi seseorang yang baik dan berharap tidak ada seorang pun dapat
mengetahui bahwa dirinya sudah melakukan tindak pidana. Dalam beberapa
kasus, para pelaku melakukan pembelian atas aset, menyimpannya dalam
sistem keuangan, hingga menggunakannya kembali untuk kegiatan dalam
bentuk usaha atau bisnis untuk menikmati hasil yang berasal dari tindak
pidananya.
Suatu tindak pidana yang dilakukan baik merupakan pidana asal ataupun
tindak pidana dengan memanfaatkan uang atau dana yang dihasilkan dari
tindak pidana seharusnya dalam pengenaan sanksi pidana harus berbeda.
Tindak pidana dengan pemanfaatan hasil dari tindak pidana dikenal sebagai
tindak pidana pencucian uang atau yang dikenal dengan nama concursus
realis.
Pada prinsipnya Pasal 65 KUHP mengatur tentang penggabungan tindak-
tindak pidana yang masing-masing berdiri sendiri. Pada Pasal 65 KUHP tidak
mengkualifikasikan apakah suatu perbuatan pidana tersebut ialah perbuatan
yang berbeda dengan yang lain atau perbuatan sejenis. Seperti halnya pada
ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 5 ayat
(1), yang pada intinya menyatakan bahwa:
“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
mentransferkan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Penasihat dari Internasional Moneyary Fund (IMF) Peter J.Quirk untuk
Departemen Moneyary and Exchange Affairs, menulis untuk Money
Laundering : Muddying the Macroeconomy menjelaskan, bahwa tindak
pidana pencucian uang pasti berpengaruh atau memiliki dampak yang besar
kepada sistem ekonomi dalam suatu negara.1 Faktanya kejahatan pencucian
uang masih sangat sulit untuk diberantas namun pencucian tetap harus kita
perangi karena kejahatan itu telah mendistorsi data ekonomi dan memuat
upaya dari pemerintah dalam melakukan pengelolaan kegiatan ekonomi
menjadi hancur.
Kejahatan pencucian uang menjadi penyebab mengapa pertumbuhan
akan ekonomi dalam suatu negara sangat menurun sehingga menyebabkan
pula tingkat kejahatan menjadi sangat tinggi, hal tersebut masih terjadi sampai
sekarang walaupun dapat kita lihat bahwa industri keuangan tumbuh
berkembang dengan pesat, akan tetapi kalau diikuti dengan pertumbuhan
ekonomi yang tidak wajar tetap menyebabkan GDP dari suatu negara turun.
Beberapa negara di Asia termasuk Indonesia pernah dilanda Krisis
ekonomi, tetapi perlu kita tahu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang mengalaminya dalam kurun waktu yang cukup lama dikarenakan fondasi
perekonomiannya yang ternyata amat rapuh. Faktor penyebab yang
menimbulkan keadaan tersebut adalah perilaku atau mental yang buruk dalam
pengelolaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh beberapa orang yang
menduduki posisi penting atau pimpinan yang ada di dalam perusahaan.2
Negara Indonesia dikenal oleh para pelaku kejahatan sebagai “surga”
untuk melakukan pencucian yang. Pencucian uang yang sering terjadi di
Indonesia lebih sering diperoleh dari kejahatan tindak pidana korupsi,
sehingga dapat kita simpulkan bahwa korupsi adalah kejahatan yang
mendominasi terjadinya tindak pidana pencucian uang.
1
Anonim, 2000, Finansial Action Task Force, Money Laundering, Report On Money Laundering
Typologies, FATF, France, p. 8.
2
Nasarudin, M. Irsan, et al., Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia (Jakarta: Kencana, 2014), h. 87.
Faktanya, belakangan ini terungkap kasus yang diduga merugikan negara
dengan jumlah sebesar Rp 13,7 triliun. Besarnya kerugian negara yang
disebabkan oleh penyelewengan dalam menjalankan usaha di bidang pasar
modal pada kasus tersebut, menandakan sebenarnya peranan pasar modal bagi
perekonomian di Indonesia sangat vital. Pasar modal akan sangat
menguntungkan negara jika tidak ada penyelewengan di dalamnya. Dalam
melaksanakan pembangunan perekonomian pada suatu negara, pemerintah
serta masyarakat memiliki peranan penting dalam segi pembiayaannya.
Pemasukan pemerintah untuk sebagai modal untuk pembangunan nasional
berasal dari pembayaran pajak dan penerimaan lainnya. Dalam hal kegiatan
investasi, masyarakat dapat memperoleh dananya melalui lembaga
pembiayaan, perbankan serta pasar modal. Pasar modal merupakan salah satu
pilihan alternatif bagi pemerintah maupun pihak swasta untuk melakukan
pendanaan.4 Namun, perlu kita tahu pasar modal memiliki sisi negatifnya
yaitu adanya oknum – oknum dalam kegiatan investasi yang melakukan
kejahatan “kerah putih” atau bisa disebut white collar crime yang sangat
merugikan negara dan masyarakat. Kejahatan “kerah putih” dilakukan dengan
cara yang sempurna sehingga seseorang yang seharusnya merasakan kerugian
dari kejahatan tersebut, tidak merasakan telah mengalami kerugian
dikarenakan kejahatan tersebut.3
Perlunya penegakan hukum yang cermat dalam memberantas kejahatan
kerah putih. Jika tidak diselesaikan sampai ke akarnya, akan membahayakan
perekonomian negara. Adanya kejahatan di dalam kegiatan bidang pasar
modal dan bidang perbankan tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap
perekonomian, kestabilan moneter dan kepercayaan masyarakat sehingga
berpengaruh pada besaran harga saham, suku bunga serta nilai tukar.
Minimnya perkara kejahatan yang terjadi dalam bidang pasar modal yang
tergolong kejahatan korupsi serta pencucian uang menyebabkan timbulnya
kesulitan terhadap penyidik dalam melaksanakan penyelidikan sampai dengan
tahap penuntutan. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang tindak pidana

3
Hamud M Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta : Tatanusa, 2006), h. 433.
pencucian uang dan pasar modal yang dialami oleh penyelidik, penyidik dan
penuntut serta adanya tingkat kepatuhan perusahaan dalam melakukan “Due
Diligence” yang tidak setara dengan bank dan beneficial owner semakin
mempersulit permasalahan yang ada. Oleh karena itu, penegakan hukum
terhadap kasus yang menimpa Jiwasraya harus dimanfaatkan sebagai
momentum dalam melakukan perbaikan secara komprehensif di bidang pasar
modal, dalam segi peraturan perundang-undangannya sampai pada tata
kelolanya, dalam hal pemulihan integritas disektor pasar modal yang ada di
Indonesia.4

B. Isu Hukum
Kasus Jiwasraya adalah kasus yang menarik perhatian kita dalam tindak
pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, dalam kasus ini terdakwa
yang berjumlah enam orang diduga melakukan korupsi pengelolaan dana dan
penggunaan dana investasi atas dana PT Asuransi Jiwasraya (Persero), keenam
orang tersebut diduga telah memperkaya diri sendiri atau orang lain dan telah
merugikan keuangan negara senilai Rp.16.807.000.000.000,00,- (enam belas
ribu delapan ratus tujuh triliun rupiah). Nama keenam terdakwa tersebut ialah
Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim,
Hary Prasetyo, dan Syahmirwan dimana dalam melakukan kejahatannya
dalam menyebabkan kerugian negara atas pengelolaan keuangan negara dan
dana investasi atas PT Asuransi Jiwasraya dalam periode 2008-2018
berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif dari BPK.
Dalam perkara Jiwasraya ini menurut Jaksa Penuntut Umum keenam
terdakwa dalam pengelolaan Investasi Saham dan Reksa Dana PT Jiwasraya
tidak transparan dan tidak akun tabel. Selain melanggar Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi dalam surat dakwaan jaksa juga menyebutkan
pelanggaran terhadap Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian, selain itu juga melanggar pasal 3 angka 4, dan

4
Sutarno Bintoro, 2020, “Relasi Jiwasraya dan Pasar Modal”, URL:
https://kolom.tempo.co/read/1297572/relasi-jiwasraya-dan-pasar-modal/full&view=ok,
pasal 23 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Permen
BUMN) Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada BUMN. Pada
persidangan, jaksa menghadirkan juga saksi sebanyak 12 (dua belas) orang
yang juga merupakan orang-orang yang dekat dengan para terdakwa.
Dari kesaksian saksi Freddy Gunawan menggecar temuan bahwa terdapat
transaksi oleh terdakwa Heru Hidayat kepada Freddy Gunawan untuk
melakukan pembayaran kasino di luar negeri. Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan membuat tidak jelas asal kekayaannya yang terdakwa dapatkan dari
hasil dari korupsi Jiwasraya. Pada hematnya, menurut penulis penting untuk
mengkaji dan meneliti tentang kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan
berbagai modus terkhusus seperti kasus Jiwasraya ini, maka dari itu penulis
kemudian ingin mengangkat suatu penelitian dengan judul “ANALISA
HUKUM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
YANG BERKAITAN DENGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor: 30/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst)”

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dikemukakan pokok
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang
dalam kasus Jiwasraya?

D. Pembahasan
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang
Usaha Perasuransian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Ketentuan pidana dalam
Undang-Undang ini mencakup tentang pemidanaan terhadap pelaku kegiatan
usaha perasuransian tanpa izin usaha, penggelapan premi asuransi dan
pemalsuan dokumen perusahaan asuransi.
Pencucian uang adalah tindak pidana ikutan (underlying crime) dari
tindak pidana asal (predicate crime). Pidana asal tersebut akan menjadi dasar
apakah suatu transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian
uang. Jika suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana, maka uang
hasil kegiatan tersebut akan dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian
uang.5 Adanya ketentuan bahwa TPPU merupakan kejahatan yang berdiri
sendiri pun dalam praktiknya belum dapat diterapkan secara murni.
Pembuktian TPPU dalam hal ini masih memerlukan adanya suatu tindak
pidana yang menghasilkan seluruh atau sebagian dari harta kekayaan yang
akan dirampas. Selain itu, penerapan pembuktian terbalik oleh terdakwa pun
sangat dimungkinkan justru merugikan proses penuntutan, mengingat pelaku
sangat memungkinkan untuk menunjukkan sumber perolehan kekayaannya
yang tidak wajar berasal dari bisnis, padahal merupakan hasil rekayasa
dengan bantuan gatekeepers.6
Tindak pidana pencucian uang atau TPPU adalah bentuk kejahatan luar
biasa yang berfokus pada pengelabuan atau rekayasa kondisi di mana uang
dan/atau aset yang terlibat dalam suatu rangkaian kegiatan atau upaya tertentu
tersebut diupayakan sedemikian rupa hingga seolah-olah normal, bersih,
halal, jelas dan tidak melanggar norma atau aturan hukum apa pun, utamanya
unsur-unsur pidana padahal sesungguhnya uang/aset tersebut adalah hasil dari
sebuah tindak pidana tertentu.
5
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Asal (Predicate Crime).
https://suduthukum.com/2017/06/tinjauan- umum-tentang-tindak-pidana.html. Sudut Hukum
Portal Hukum Indonesia. Diunggah tanggal 2 Juni 2017. Diakses tanggal 12 Juli 2019.
6
Penguatan Alat Bukti Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article?id=493:penguatan-alat-bukti-
tindakpidanapencucian-uang-dalam-perkara-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia. Ditulis oleh
admin.acch. Diposting di Riset Publik. Diakses pada 10 Juli 2019.
Sedangkan Asuransi secara sederhana dapat dipahami sebagai
perjanjian pengalihan risiko dari sebuah kerugian dengan pihak pertama
membayar sejumlah kecil premi secara rutin maka pihak kedua akan
memberikan pendanaan besar sesuai konsensus yang tercipta jika klausul
kerugian dalam perjanjian tersebut tercapai. Asuransi adalah kegiatan
menghimpun dana yang mana dana itu digunakan untuk jaga-jaga atas
kerugian tertentu yang di derita oleh nasabah asuransi. Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka kegiatan asuransi tentu saja menghimpun dana yang
besar dari sejumlah besar nasabah. Sementara sang nasabah belum menderita
kerugian dan dana belum terpakai tentu akan mengendap dalam jumlah yang
besar. Dana yang besar tersebut tentu menarik untuk di dayagunakan.
Tindak pidana pencucian uang atau TPPU adalah bentuk kejahatan luar
biasa yang berfokus pada pengelabuan atau rekayasa kondisi di mana uang
dan/atau aset yang terlibat dalam suatu rangkaian kegiatan atau upaya tertentu
tersebut diupayakan sedemikian rupa hingga seolah-olah normal, bersih,
halal, jelas dan tidak melanggar norma atau aturan hukum apa pun, utamanya
unsur-unsur pidana padahal sesungguhnya uang/aset tersebut adalah hasil dari
sebuah tindak pidana tertentu.
Terdakwa dalam kasus tersebut di atas didakwa melanggar ketentuan
dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
bunyi:
”Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”
Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang telah menentukan yang dimaksud dengan “setiap orang”
adalah orang perseorangan atau korporasi. Perbuatan (actus reus) pada unsur
ini yaitu: “menempatkan”, “mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”,
“membayarkan”, “menghibahkan”, “menitipkan”, “membawa keluar negeri”,
“mengubah bentuk”, “menukarkan dengan mata uang atau surat berharga”
atau “perbuatan lain” merupakan alternatif (pilihan) sehingga dengan
terbuktinya salah satu dari perbuatan-perbuatan yang disebutkan pada unsur
tersebut maka unsur ini sudah dianggap terbukti;
Bahwa mengenai pengertian perbuatan-perbuatan yang dirumuskan
dalam unsur tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak ada
penjelasannya secara spesifik namun dapat kita lihat sebagian pengertian
tersebut dalam penjelasan di Undang-undang Nomor 15 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003
yang memberikan penjelasan tentang:
1. Penempatan (placement) ialah upaya menempatkan uang tunai yang berasal
dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya
menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-
lain) kembali ke dalam sistem keuangan terutama sistem perbankan;
2. Transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang
berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada
Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan
(placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain;
3. Integration.
Frase kata “Harta Kekayaan” dalam unsur pasal tersebut dijelaskan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 13, yakni: “semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak
berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Berpedoman pada pengertian tersebut, unsur “menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang
atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan” yang dilakukan
oleh terdakwa dalam perkara a quo dapat disimpulkan dari fakta-fakta hukum
yang telah dibuktikan di persidangan ini, sebagai berikut:
Bahwa selama kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2018, sejumlah
uang yang diterima oleh Terdakwa Heru Hidyat sebagai hasil tindak pidana
korupsi melakukan pengaturan dan pengendalian instrumen pengelolaan
investasi saham dan Reksa Dana PT. Asuransi Jiwasraya, Terdakwa Heru
Hidayat dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan menggunakan uang hasil kejahatan tersebut dengan cara
menempatkan ke dalam rekening perbankan baik atas nama Terdakwa Heru
Hidayat maupun pada rekening pihak lain dengan tujuan untuk menyamarkan
asal usul harta kekayaan melalui nomine-nomine yakni melalui rekening Joko
Hartono Tirto, Piter Rasiman, Tommy Iskandar Widjaja, Utomo
Pusposuharto, Suprihatin Njoman, Freddy Budiman, Ratnawati Wihardjo,
Joanne Christy Hidayat, Alfian Pramana, Michael Danujaya, Nie Swe Hoa,
Denny Suriadinata dan menggunakan beberapa rekening Bank atas nama
perusahaan antara lain: PT. Permai Alam Sentosa, PT Maxima Integra
Investama, PT Maxima Agro Industri, PT Dexa Indo Pratama, PT Dexindo
Jasa Multi Artha, PT Dexindo Multiartha Mulia, PT Tarbatin Makmur Utama,
PT Dexa Anugrah Investama, PT Bumi Harapan Lestari, PT Baramega
Persada Investama, PT. Topaz Investment, PT. Topas International, PT
Tandikek Asri Lestari, PT Trisurya Lintas Investama, PT Sriwijaya Abadi
Sentosa, PT Sriwijaya Megah Makmur, PT. Anugrah Semesta Investama, PT
Dexa Medica, PT Millenium Capital Management, PT Kariangau Industri
Sejahtera.
Terdakwa Heru Hidayat membelanjakan uang hasil tindak pidana
korupsi dengan tujuan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaan melalui
Joko Hartono Tirto dengan cara melakukan pembelian Tanah dan Bangunan
yang kemudian di dalam akta jual belinya di atas namakan Utomo Puspo
Suharto, membelanjakan uang hasil tindak pidana korupsi dengan cara
membelanjakan kendaraan bermotor atas nama Terdakwa Heru Hidayat
kemudian dengan tujuan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaan
menggunakan nama pihak lain, melakukan pembelian dengan cara
menukarkan ke dalam valuta asing (valas) uang hasil tindak pidana korupsi
dengan tujuan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaan, melakukan
pembelian dengan tujuan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaan
dengan memberikan sejumlah uang kepada Joanne Hidayat yang merupakan
anak Terdakwa Heru Hidayat, kemudian uang tersebut digunakan untuk
membeli beberapa unit apartemen.
Bahwa Terdakwa Heru Hidayat pada tahun 2011 sampai dengan tahun
2018 dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan menggunakan uang hasil kejahatan yang bersumberkan dari
pengelolaan investasi saham dan Reksa Dana PT. AJS, Terdakwa
membelanjakan Apartemen dan Mobil di dalam negeri melalui pihak lain.
Bahwa yang dimaksud dengan “unsur diketahui” atau “patut
diduganya” adalah merupakan hasil tindak pidana yaitu suatu keadaan di
mana seseorang mengetahui secara jelas dan pasti atau setidak-tidaknya dapat
memperkirakan berdasarkan fakta atau informasi dimiliki bahwa sejumlah
uang atau harta kekayaan merupakan hasil dari suatu perbuatan melawan
hukum. Bahwa pengertian yang diketahui atau patut diduganya dalam hukum
pidana disebut dengan sengaja (opzet), yaitu suatu keadaan batin di mana si
pelaku secara insaf mampu menyadari tentang apa yang sedang dilakukannya
beserta akibatnya. Tentang apakah pelaku menghendaki sesuatu atau
mengetahui sesuatu hanyalah pelaku sendiri yang mengetahui dan hal itu
tentu sulit bagi kita untuk mengetahui kehendak batin dari si pelaku kecuali si
pelaku mengakui dan menjelaskan kehendak batinnya tersebut;
Bahwa Kerugian Keuangan Negara terhadap 21 (dua puluh satu) Reksa
Dana pada 13 (tiga belas) Manajer Investasi merupakan tanggung jawab
sepenuhnya Terdakwa Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro dari pembelian
Saham yang menjadi underlying 21 (dua puluh satu) Reksa Dana pada 13
(tiga belas) Manajer Investasi yang dikendalikan oleh Terdakwa Heru Hidayat
bersama Benny Tjokrosaputro. Bahwa pengelolaan transaksi pembelian
Saham yang menjadi underlying 21 (dua puluh satu) Reksa Dana pada 13
(tiga belas) Manajer Investasi dikendalikan oleh Terdakwa Heru Hidayat
bersama Benny Tjokrosaputro melalui Joko Hartono Tirto dan Moudy
Mangkey dengan menggunakan beberapa pihak (nomine) yang saling
bertransaksi jual maupun beli tersebut sebagai counterparty transaksi.
Dengan demikian Terdakwa Heru Hidayat bersama Benny Tjokrosaputro
telah diperkaya seluruhnya sebesar Rp12.157.000.000.000,00 (dua belas
triliun seratus lima puluh tujuh miliar rupiah).
Bahwa maksud pengertian rumusan unsur frase dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sejalan
dengan esensi dasar dari pengertian tindak pidana pencucian uang (money
laundering) sesuai dengan Black‟s Law Dictionary yakni “proses
mengaburkan identitas atau asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara
ilegal sehingga harta kekayaan tersebut tampak berasal dari yang sah”.
Sehingga dari pengertian tersebut, aktivitas pencucian sebenarnya bertujuan
untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh
secara ilegal agar tampak sah yang dilakukan bukan hanya diartikan dengan
mengaburkan identitas pelaku saja melainkan juga dapat diartikan bagaimana
mengaburkan hasil tindak pidana (proceeds of crime) itu dijauhkan dari
tindak pidana asalnya (predicate crime).
Secara umum mengenai tipologi pencucian uang dapat dikategorikan
melalui 3 (tiga) tahap pencucian uang sebagai berikut:
1) Placement adalah keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:
menempatkan dana pada bank, mengajukan kredit/pembiayaan,
menyetorkan uang pada pengusaha jasa keuangan (PJK) sebagai
pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trial, membiayai suatu
usaha yang seolah-olah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi
kredit/pembiayaan dan membeli barang berharga yang bernilai
tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya
mahal sebagai hadiah untuk diberikan ke orang lain;
2) Layering adalah upaya untuk memisahkan hasil tindak pidana dari
sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi
keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
dana, seperti contoh perbuatannya: transfer (pemindahan
bukuan/overbooking, transfer antar bank (RTGS), transfer dari dana
dari/ke luar negeri), mengubah bentuk (membeli barang aset atas
nama orang lian, membeli logam mulia), memutus jejak transaksi
(setor tunai, Tarik tunai);
3) Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah
tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam
berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan,
dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah ataupun
untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. contoh
perbuatannya: hasil kejahatan membiayai membuka usaha travel,
hotel SPBU; Commingling (pencampuran harta kekayaan) lalu
diikuti dengan penarikan tunai; transaksi yang berpola cuckoo
smurfing;
Terdapat ada beberapa metode pencucian uang yang dikenal dan sering
dipraktikkan secara internasional maupun di Indonesia dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan adalah sebagai berikut:
1) Metode Buy and Sell Conversions dilakukan melalui jual beli
barang dan jasa.
2) Metode Legitimite Business Conversions dipraktikan melalui bisnis
atau kegiatan usaha yang sah sebagai sarana untuk memindahkan
dan memanfaatkan hasil kejahatan.
3) Concealment within business structure (Penyembunyian ke dalam
struktur bisnis), yaitu untuk menyembunyikan dana kejahatan ke
dalam kegiatan normal dari bisnis atau ke dalam perusahaan yang
telah ada dikendalikan oleh organisasi yang bersangkutan.
4) Issue of legitimate business (penyalahgunaan bisnis yang sah), yaitu
dengan menggunakan bisnis yang telah ada atau perusahaan yang
telah berdiri untuk menjalankan proses pencucian uang tanpa
perusahaan yang bersangkutan mengetahui kejahatan yang menjadi
sumber dana tersebut.
5) Use of false identities, documents or straw men (Penggunaan
identitas palsu, dokumen atau perantara), yaitu dengan
menyerahkan pengurusan aset yang berasal dari kejahatan kepada
orang yang tidak ada hubungannya dengan kejahatan tersebut
dengan menggunakan identitas dan dokumen palsu.
6) Use of anonymous asset types (penggunaan tipe-tipe harta kekayaan
yang tanpa nama), merupakan tipe paling sederhana seperti uang
tunai, barang konsumsi, perhiasan, logam mulia, sistem pembayaran
elektronik dan produk finansial.
7) Smurfing adalah memecah transaksi dari sejumlah uang besar
menjadi kecil.
8) Structuring adalah Melakukan transaksi dari yg semula berjumlah
kecil makin lama semakin besar di bawah batas minimum
pelaporan.
9) U-turn adalah Memutar balikan transaksi kemudian kembali ke
rekening asal.
10) Cuckoo Smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana
dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui
rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri
dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut
merupakan “proceed of crime”
11) Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan
menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari
terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan
pemilik dana hasil tindak pidana;
12) Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan
dana dari hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk
mengaburkan sumber asal dananya;
Penegakan hukum di dalam tindak pidana pada kasus Jiwasraya ini
sangat perlu dilakukan dalam rangka menunjukkan keseriusan pemerintah
dalam melindungi kepentingan para investor publik dan pemegang saham
yang terkait dengan Jiwasraya serta menunjukkan keefektifan peraturan
hukum yang sudah ada dalam menangani kasus Jiwasraya yang sedang
terjadi.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa salah satu faktor keefektifan
penegakan hukum terletak pada penegak hukum itu sendiri. Penegak hukum
tidak hanya mencakup di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian,
pengacara, namun juga mencakup masyarakat. Para penegak hukum juga
memiliki hak dan kewajiban yang berkaitan dengan masing-masing peran
yang dimiliki oleh para penegak hukum yaitu peranan yang ideal, peranan
yang dianggap diri sendiri, peranan yang seharusnya dan juga peranan yang
seharusnya dilakukan.
Selain faktor penegak hukum, Soejono soekanto menjelaskan bahwa
suatu penegakan hukum juga bergantung pada faktor hukumnya sendiri,
dalam hal ini yaitu Undang – Undang. Terkait faktor hukum dalam suatu
penegakan hukum, gangguan yang dihadapi oleh para penegak hukum
biasanya terjadi dikarenakan ketiadaan peraturan pelaksanaan yang
dibutuhkan dalam menegakkan hukum, tidak mematuhi asas keberlakuan
perundang-undangan serta ke tidak jelasan arti kata-kata yang terdapat di
dalam undang-undang yang akhirnya berakibat pada multitafsir di dalam
penafsiran serta penerapannya.
Kasus Jiwasraya ini dapat menimbulkan efek positif dan negatif di
tengah masyarakat bergantung pada bagaimana para penegak hukum
menjalankan perannya sebagai penegak hukum di dalam kejahatan “kerah
putih” yang terjadi di dalam Jiwasraya mengingat kejahatan “kerah putih”
sangat merugikan negara dan masyarakat. Penegakan hukum di dalam
kejahatan korupsi dan pencucian uang yang terjadi di dalam kasus Jiwasraya
dapat di simpulkan telah terjadi di lingkungan Pengadilan Negeri di tingkat
pertama Investasi Ponzi adalah suatu investasi palsu yang menggunakan cara
memberikan keuntungan pada investor dari uang yang di dapat dari milik
investor yang sama atau dari uang investasi yang dilakukan investor yang
lain. Pada saat ini, jerat pidana pada investasi dengan skema ponzi belum
diatur secara khusus. Sehingga hal ini dapat menimbulkan kekosongan norma
yang dapat menghambat para penegak hukum dalam menegakkan hukum di
tengah masyarakat khususnya pada bidang kegiatan pasar modal.

E. Kesimpulan
Kasus yang terjadi pada PT. Asuransi Jiwasraya pada dasarnya
mencakup tindak pidana pasar modal, tindak pidana pencucian uang serta
tindak pidana korupsi. Di dalam tindak pidana pasar modal, PT. Asuransi
Jiwasraya diduga melakukan Investasi dengan Skema Ponzi. Investasi Ponzi
adalah suatu investasi palsu yang menggunakan cara memberikan keuntungan
pada investor dari uang yang di dapat dari milik investor yang sama atau dari
uang investasi yang dilakukan investor yang lain, sehingga pembayaran
keuntungan investasi bukan berasal dari keuntungan yang diperoleh dalam
menjalankan kegiatan usaha yang dilakukan oleh lembaga yang dimaksud.
Dalam hal laporan keuangan, perusahaan yang melakukan skema investasi
ponzi ini melakukan window dressing yang bertujuan untuk menunjukkan
performa yang terlihat bagus dengan cara memasukkan premi sebagai
pendapatan bukan sebagai utang. Selain tindak pidana pasar modal, dalam
kasus ini juga ada tindak pidana pencucian uang yang di lakukan oleh PT.
Asuransi Jiwasraya melakukan transaksi jual beli saham oleh pihak-pihak
terafiliasi dan diduga melakukan rekayasa harga dan juga Tindak Pidana
Korupsi yang dibuktikan pada Putusan Pengadilan Nomor
30/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. Dalam Penegakan hukumnya, terkhusus
pada Putusan Pengadilan Nomor 30/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst, Badan
Pemeriksaan Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti berupa
data-data yang cukup yang diperoleh dari Penyidik dan melakukan konfirmasi
atau klarifikasi kepada pihak-pihak terkait secara langsung, proses
pemeriksaan dilakukan secara obyektif independen dan profesional untuk
dapat mengambil kesimpulan ada tidaknya kerugian negara. Hasil
pemeriksaan tersebut menjelaskan bahwa negara mengalami dampak kerugian
dikarenakan kejahatan yang dilakukan oleh PT. Asuransi Jiwasraya, sehingga
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama sama
dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah dijelaskan
di dalam Putusan Pengadilan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Balfas, Hamud M. “Hukum Pasar Modal Indonesia”. (Jakarta, Tatanusa, 2006).


Nasarudin, M. Irsan. “Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia”. (Jakarta,
Kencana, 2014). Soekanto, Soerjono. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum”. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013).
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. “Hukum Pasar Modal di Indonesia”. (Jakarta,
Sinar Grafika, 2009).
Yulfasni. “Hukum Pasar Modal”. (Jakarta, Badan Penerbit Iblam, 2005).
Ahmad, Sufmi Dasco, “Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Penanggulangan
Investasi Ilegal Di Indonesia”, Privat Law 6, No. 1 (2018).
Suryono, Kelik Endro dan Brandon Alfin Rahadat, “Tanggung Jawab Hukum PT
Jiwasraya Terhadap Nasabah”, Jurnal Meta Yuridis Vol.3, No. 2 (2020).
Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Nomor 108 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324)
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Nomor 122 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164)

Anda mungkin juga menyukai