Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting dan ditunggu-

tunggu bagi perjalanan hidup manusia karena telah dimulailah babak baru

kehidupan pria dan wanita dalam ikatan yang halal. perkawinan juga secara

otomatis akan mengubah status keduanya.1

Sudah menjadi kodrat alam, dua orang manusia dengan dua jenis

kelamin yang berlainan saling memiliki rasa suka dan perasaan cinta yang

tumbuh perlahan, seorang perempuan dan seorang laki-laki ada daya tarik

menarik satu sama lain untuk hidup bersama untuk membina suatu keluarga.2

Setelah perkawinan, kedua belah pihak akan menerima beban yang

berat dan tanggung jawab sesuai diri masing-masing. Tanggung jawab dan

beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga mereka harus

memikul tanggung jawab yang besar tersebut dan harus melaksanakannya.

Dalam masalah perkawinan, islam telah berbicara banyak, dari mulai


bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Perkawinan
menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur, menurut istilah pula ialah
ijab dan qabul (aqad) yang menghalalkan hubungan suami istri antara lelaki
dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah untuk
saling hidup bersama menghalalkan yang sebelunnya haram dilakukan.3

Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu


menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut
tabiat dan hajat hidup manusia tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang

1
Wirjono Prodijokoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
1960, hlm. 7
2
Ibid, hlm. 8
3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressindo, Jakarta , 1992 , hlm.
45

1
2

luhur dan sentral yaitu rumah tangga, karena lembaga ini merupakan benteng
bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral,
perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan
penting dan besar dalam kehidupan.4

Perkawinan dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum dan mempunyai

kekuatan hukum positif jika pernikahan tersebut dilakukan berdasarkan

hukum fositif yang berlaku dan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa

dengan tidak memandang profesi, suku bangsa, kaya atau miskin, dan

sebagainya. Dalam kenyatanya masih ada yang menyalah artikan apa

hakikatnya dari perkawinan, mereka mengatakan bahwa perkawinan biasanya

dilakukan oleh orang yang sudah berusia matang dan dapat dikatakan telah

dewasa perkawinan usia muda masih dianggap tabu dikalangan masyarat

Indonesia karena perkawinan biasanya dilakukan oleh orang yang berusia

cukup mapan.

Mengingat betapa besar tanggung jawab, baik suami maupun istri

perlu memiliki kesiapan matang, baik fisik maupun psikis. Bagi laki-laki,

ketahanan fisik lebih dituntut, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.

Logikanya dia harus lebih siap dibanding wanita.

Menurut kodratnya, laki-laki dituntut untuk mencukupi kebutuhan istri

dan anak-anaknya dari kebutuhan sandang, pangan, papan, serta perlindungan

dari segala ancaman. Dari segi psikis (mental), baik laki-laki maupun

perempuan, kesiapan mental tak kalah pentingnya ketimbang kesiapan fisik.

Mengingat kehidupan ini tidak selalu ramah bahkan kadang kala kejam dan

4
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press,
Jakarta, 1991, hlm. 7
3

tidak seperti yang diharapkan bahkan bisa saja sering terjadi konflik dalam

rumah tangga, sangat mutlak diperlukan kesiapan mental, kesabaran, dan

keuletan.

Prinsip kematangan calon mempelai juga dimaksudkan karena

perkawinan itu mengandung tujuan luhur, suci dan sakral.5 Apapun itu

perkawinan merupakan jembatan pasangan dalam mencari keridhoan dan

penambahan iman, membuka rezeki, menambah pahala, menghalalkan sesuatu

yang sebelumya haram, meneruskan keturunan. Sudah sepantasnya memang

perkawinan harus di langsungkan oleh pria dan wanita yang sama-sama sudah

dewasa dari segi usia dan kematangan emosionalnya.

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan

perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

psikologis, sosial, maupun sosial biologis. Dalam hubungan manusia dengan

manusia, seseorang laki-laki membutuhkan seseorang perempuan begitupun

sebaliknya hal tersebut dapat disatukan dalam perkawinan, maka dengan

sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Pada dasarnya

perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianjurkan oleh agama apapun

untuk meneruskan proses reproduksi dan kelangsungan hidup manusia.

Sebagai suatu peristiwa hukum maka subjek hukum yang melakukan peristiwa

tersebut harus memenuhi syarat, salah satu syarat manusia sebagai subjek

hukum untuk dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah

harus sudah dewasa, mengingat hukum yang mengatur tentang perkawinan

5
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 139
4

adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka

ketentuan dalam undang-undang inilah yang harus ditaati semua golongan

masyarakat tanpa terkecuali, Undang-undang ini telah diatur secara pas dan

matang untuk mengatur secara pasti apa saja masalah yang ada didalam

perkawinan. Perkawinan merupakan faktor yang sangat penting sebagai salah

satu sendi dan susunan dalam kehidupan masyarakat indonesia.6

Tidak hanya itu perkawinan juga merupakan masalah hukum, agama

dan masyarakat disegala aspek lingkungan, yang dikukuhkan berdasarkan

undang-undang dan agama yang dipeluk.7 Perkawinan juga merupakan hal

yang sangat penting dalam berbagai aspek kebanyakan kehidupan masyarakat

di Indonesia seluruhnya memiliki peraturan yang didalamnya, perkawinan,

keluarga yang terbentuk didalamnya mencangkup reproduksi generasi sosial,

generasi moral dan generasi budaya. Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Perkawinan ialah ikatan antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang

Maha Esa”. Aturan ini juga menopang terwujudnya dari tujuan perkawinan

salah satunya tentang batas usia minimal melakukan perkawinan.8 Namun

dalam prakteknya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia muda atau

di bawah umur banyak mendapat masalah dikemudian hari yang pasti akan

dijumpai oleh pasangan yang sudah berumah tangga, padahal perkawinan

6
Shofiyun Nahidloh, Kontroversi Perkawinan Dibawah Umur, Sunan Ampel,
Demak, 2009, hlm. 1
7
Ibid, hlm. 2
8
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia islam,
Pustaka Al-Fikris, Malang, 2009, hlm. 51
5

yang sukses membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun

mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah

tangga.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia

muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka

yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat mempertahankan

dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu

sendiri. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah

kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita

untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.

Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam

Pasal 26 ayat 1 butir c UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk

mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak”. Pada prespektif hak anak

pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi

perhatian kita bersama sebagai orang tua, bahwa hal ini disebabkan anak-anak

yang terpaksa menikah muda, dalam usia yang masih tergolong anak dilihat

dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya seperti hak bermain,

hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya

sehingga membuat mereka berfikir lebih tua disaat usia masih sangat muda.

Cara berfikir dan mengambil keputusan dan tersebut yang akan menganggu

tumbuh kembang fisik dan mental anak karena sebagian pikirannya dilakukan
6

untuk mengerjakan hal-hal yang harusnya dilakukan oleh orang dewasa, pola

berfikir seperti itu dapat membuat anak tersebut bisa saja salah mengambil

keputusan dan bisa berakibat buruk.

Disisi lain, terjadinya perkawinan anak di bawah umur seringkali

terjadi atas dasar faktor ekonomi (kemiskinan), faktor diri sendiri, faktor

lingkungan dan aktor pergaulan.9 Dilihat dari faktor sosiologis yang terjadi

saat ini semakin bebas pergaulan anak masa ini memang sudah diluar batas

karena sudah banyak yang menyebabkan anak luar kawin, hal ini dilatar

belakangi oleh faktor intern dalam keluarga yaitu kurangnya pengawasan dari

orang tua dan faktor ekstern yaitu dari faktor sosiologis yang kurang baik yang

menyebabkan anak terjerumus dalam pergaulan bebas.

Sebagai wanita rendahnya batas usia wanita sebagaimana ditentukan di

dalam Pasal 7 (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

yang menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”. Dari

hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menghendaki

pelaksanaan perkawinan di bawah umur.

Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara indonesia

pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan melakukan perkawinan

diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan

kekuatan fisik yang memadai, karena perkawinan adalah hal yang sakral semi

kelangsungan hidup kedepan.

9
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1990, hlm. 51
7

Adanya penetapan umur 16 tahun bagi wanita untuk diizinkan kawin


berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa bagi seorang wanita, dengan
mengacu pada persyaratan ini, jika pihak calon mempelai wanita di bawah
umur 16 tahun, maka yang bersangkutan dikategorikan masih di bawah umur
dan tidak cakap untuk bertindak didalam hukum termasuk melakukan
perkawinan.10

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia


pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan, hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi
fisik, psikis dan mental, dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.11

Akan tetapi walaupun batas umur melangsungkan perkawinan di

Indonesia relatif rendah karena mayoritas penduduk masih memegang hukum

adat padahal sudah ada Undang-undang Perkawinan yang mengatur, dalam

pelaksanaannya sering tidak dipatuhi oleh masyarakat sepenuhnya karena

pengetahuan tentang perkawinan anak dibawah umur yang masih rendah

sedangkan akibatnya cukup besar.

Sebenarnya untuk mendorong masyarakat agar mengerti perkawinan

dibawah umur cukup mudah hanya perlu dilakukan sosialisasi oleh

pemerintah disetiap desa, agar warga masyarakat juga dapat sekaligus

mengetahui dampak apa saja yang akan terjadi apabila akan mengawinkan

anaknya saat usia belum memenuhi syarat yang ditulis dalam Undang-undang

Perkawinan.

“Bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21 tahun tidak perlu
ada izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Yang perlu memakai
izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang belum mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum berumur 16 (enam belas
tahun)”.12

10
Wahyu, Kehidupan Setelah Perkawinan, Juana Raya, Malang, 1992, hlm. 45
11
Ibid, hlm. 46
12
Tri Raharjo, Ilmu Masyarakat Umum, PT Pembangunan, Jakarta, 1999, hlm. 119
8

Dari alinea di atas ada 2 (dua) asas hukum yang terkandung, yaitu:
1. Asas suka sama suka

Asas Suka sama suka mengandung makna bahwa perkawinan hanya dapat

dilangsungkan bila kedua calon benar-benar bercita-cita mewujudkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tidak ada paksaan

dari pihak manapun baik orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat

sekitar.

2. Asas partisipasi keluarga

Asas Partisipasi Keluarga mengandung makna bahwa perkawinan harus

seizin orang tua, bila orang tua tersebut setuju dengan isi Pernyataan

Memberi Izin kepada anaknya untuk menikah, maka orang tua calon

mempelai tersebut membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan

tersebut, bukan nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua yang

telah mendidik dan membesarkannya. Bila orang tua sudah tidak ada lagi,

maka izin dimaksud diperoleh dari wali.

Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat

(1) UU No. 1 tahun 1974, namun dalam prakteknya masih banyak kita

jumpai banyak dari anak dibawah umur, yang mengajukan dispensasi

perkawinan anak dibawah umur untuk mengajukan permohonan tersebut

karena suatu sebab tertentu.

Dari adanya batasan usia ini dapat ditaksirkan bahwa Undang- Nomor

1 Tahun 1974 tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan dibawah umur.

Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya pasal 7 ayat 1

telah mengatur tentang batas usia perkawinan, namun perkawinan di bawah


9

umur masih banyak dilakukan sampai saat ini, maka Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini

diatur dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu

dengan adanya dispensasi dari pengadilan bagi yang belum mencapai batas

umur minimal tersebut pemohon dapat mengajukan ke Pengadilan Agama.

Meskipun dalam kehidupan di masyarakat atau dalam adat istiadat

tidak mengenal batasan umur dalam perkawinan, untuk mengetahui alasan-

alasan penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur yang menyebabkan

adanya pengajuan dispensasi perkawinan agar mendapatkan penetapan dari

Pengadilan Agama.

Syarat sahnya perkawinan sangat penting untuk menentukan sejak

kapan suatu hubungan suami istri ini dihalalkan antara seorang laki-laki dan

perempuan untuk melakukan hubungan suami istri yang sah dalam agama dan

negara di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.13

Ketentuan agama ini sekurang-kurangnya mempengaruhi sikap moral

dan kadar hukum masyarakat sehingga masyarakat yang beragama islam

secara otomatis akan lebih mengikuti ajaran dari Agama islam. Begitu pula

halnya dalam bidang perkawinan, yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia

yang mayoritas beragama islam.

Mengingat betapa besarnya pengaruh agama terhadap masalah

perkawinan tersebut berarti bahwa perkawinan di bawah umur tersebut

dilarang kecuali ada penyimpangan yang sifatnya darurat demi menghindari

13
Abdul Zaelani, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cipta Karya, Bandung, 1998,
hlm. 32
10

kerusakan yang lebih besar nantinya, undang-undang tersebut dimaksudkan

agar tidak terjadi kerusakan rumah tangga akibat umur para calon mempelai

yang masih terlalu dini yang notabene masih berjiwa labil dan juga untuk

menjaga kesehatan reproduksi wanita yang belum siap untuk mengandung

calon bayi.

Berdasarkan uraian diatas Penulis merasa tertarik untuk melakukan

suatu penelitian dan menganalisis secara mendalam dengan menyusun skripsi

yang berjudul “DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM, UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK’’

(Analisis Penetapan Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS).

B. Idetifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang uraian latar belakang masalah diatas yang

telah dijelaskan, maka dapat dibuat identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan

permohonan dispensasi perkawinan anak dibawah umur pada Penetapan

Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS?

2. Apakah hasil penetapan dispensasi perkawinan anak dibawah umur

Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS sudah merupakan bentuk perlindungan

anak bila ditinjau dalam Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

tentang Perlindungan Anak?


11

C. Rumusan Masalah

Berdasarakan uraian latar belakang masalah diatas sesuai dengan

identifikasi masalah yang sudah diuraikan diatas dapat penulis buat rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan

dispensasi perkawinan anak dibawah umur pada Penetapan Nomor

0350/Pdt.P/2014/PA JS?

2. Bagaimanakah hasil penetapan dispensasi perkawinan anak dibawah umur

Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS sudahkah merupakan bentuk perlindungan

anak bila ditinjau dalam Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

tentang Perlindungan Anak?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan hakim

dalam mengabulkan penetapan Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA JS.

b. Untuk mengetahui hasil penetapan dispensasi perkawinan anak

dibawah umur Nomor 0350/Pdt.P/2014/PA.JS merupakan suatu

bentuk perlindungan anak didalam Hukum Islam, Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor

35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


12

2. Manfaat Pelitian

a. Secara teoritis, ditujukan untuk menambah pengetahuan dan

pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya

dalam hal hukum perdata dan hukum acara perdata dalam bidang

hukum perkawinan.

b. Secara Praktis, ditujukan agar dapat menambah pengetahuan dan

wawasan yang lebih luas bagi penulis dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum perdata dan juga

menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca atau

masyarakat umum terutama dalam masalah dispensasi perkawinan,

pengertian perkawinan, masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan

masukan bagi perbaikan, serta sebagai bahan masukkan bagi pihak-

pihak yang terkait dengan masalah skripsi ini dan pedoman atau

acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin membahas

mengenai perkawinan.

E. Kerangka Teori

Untuk lebih memperjelas mengenai istilah yang akan digunakan, ada

baiknya istilah yang tersebut didefinisikan terlebih dahulu :

Menurut Sayuti Thalib, “Perkawinan adalah perjanjian suci untuk


membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Perjanjian tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan segi perkawinan serta
menampakannya kepada masyarakat umum”.14

Menurut Hilman Hadi Kusuma, “Perkawinan adalah kata bentukan


dari kata dasar kawin yang diberi awalan per- dan akhiran –an, sehingga

14
Thalib, Sayuti, Hukum kekeluargaan di Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, UI,
Jakarta, 1982, hlm. 47
13

menjadi kata imubuhan perkawinan. Fungsi awal per kebanyakan menunjukan


arti hal urusan, sehingga perkawinan berarti urusan kawin, perayaan kawin,
dan sebagainya”.15

Menurut Roihan A. Rasyid, “Dispensasi Kawin adalah dispensasi yang


diberikan oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup
umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai usia
19 (sembilan belas) tahun, dan wanita belum mencapai 16 (enam belas)
tahun”.16

Menurut Sarlito, “Perkawinan Anak dibawah umur adalah

Pernikahan dini oleh anak dibawah usia 19 tahun atau sedang mengikuti

pendidikan sekolah menengah atas”.17

Menurut Dra. Suryana, “Anak adalah rahmat dan amanah Allah yang
sangat berharga, penguji iman orang tua , media beramal, bekal kebahagiaan
dimasa depan, tempat bergantung dihari tua, penyambung cita-cita, dan
sebagai mahluk yang harus di didik dengan baik agar dewasanya anak bisa
meneruskan bangsa”.18

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil yang baik dari skripsi ini sehingga berhasil

mencapai sasaran yang sesuai dengan judul yang telah diketengahkan maka

metode penelitian dibuat untuk memperoleh mengumpulkan data-data yang

dianggap relevan menggunakan cara-cara dengan sebagai berikut, Tahap

Penelitian dan bahan penelitian :

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Adalah suatu cara untuk memperoleh data yang bersifat teoritis terhadap

bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku atau bahan lainnya yang


15
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia menurut perundang-undanagan
hukum adat, hukum agama, Alumni, Bandung 1990, hlm. 57
16
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1998. hlm. 32
17
Sarlito, Perkembangan Anak Masa ke Masa, Pustaka Dunia, Bandung, 1998, hlm.
56
18
Suryana, Anak dalam presfektif masyarakat, Millenium, Surabaya, 1996, hlm. 23
14

berhubungan dengan skripsi yang ditulis sehingga diperoleh data yang

akurat. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelitian yang

penulis dapatkan berupa :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang berupa

ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan

penjelasan terhadap hukum primer, yang dapat berupa buku-buku,

artikel dimedia massa, karya ilmiah, penelitian hukum, dan lain

sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

keterangan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.

2. Penelitian Lapangan (Flied Research)

Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer, dalam

hal ini akan diusahakan untuk memperoleh data-data dengan jelas dengan

melakukan permintaan salinan penetapan kepada Panitera Pengadilan

Agama Jakarta Selatan, untuk mendukung data-data dari skripsi ini.

Analisis Data:

Semua data yang telah dikumpulkan oleh penulis baik data primer, data-

data-data sekunder, maupun data-data yang didapatkan dilapangan, telah

diolah analisa data dengan cara menganalisa, menafsirkan, menarik

kesimpulan dan menuangkannya kedalam bentuk kalimat yang ada dan

terdapat pada skripsi.


15

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini disususn dengan maksud untuk

memberikan gambaran materi secara menyeluruh, ringkas dan sistematis,

sehingga dapat memberikan kemudahan bagi para pembaca untuk

mempelajari dan memahami skripsi ini. Adapun sistematika penulisan ini

terbagi dalam 5 (lima) bab dan masing-masing bab mempunyai sub bab,

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori,

metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

Dalam bab II ini, penulis akan menguraikan tentang beberapa

pengertian pokok yang berkaitan dengan pembahasan yang diangkat

dalam skripsi ini, yang meliputi pengertian perkawinan menurut

Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Tujuan

perkawinan menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1

tahun 1974, Syarat dan rukun perkawinan menurut Hukum Islam dan

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, serta Pengertian perkawinan

dibawah umur dan pengertian dispensasi perkawinan.


16

BAB III HUKUM DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DIBAWAH

UMUR

Dalam bab ini, penulis akan menguraikan tentang dasar hukum

dispensasi perkawinan dibawah umur dalam Hukum Islam, Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-

undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

wewenang Pengadilan Agama, prosedur pengajuan dan proses

Persidangan Dispensasi perkawinan Anak Dibawah Umur,

pengertian dispensasi perkawinan dibawah umur, sebab dan akibat

adanya perkawinan dibawah umur.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang duduk perkara,

pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi

perkawinan anak dibawah umur dan hasil dari Penetapan Nomor

0350/Pdt.P/2014/PA.JS merupakan bentuk perlindungan anak

didalam Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak.

BAB V PENUTUP

Bab V ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan

pembahasan skripsi serta saran-saran yang diberikan penulis sebagai

upaya pemecahan masalah yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai