Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ETIKA KESEHATAN

Isu Etik Dalam Penelitian Genetik

Disusun oleh:
Nama : Astri Dewi Wardhani
NIM : 1810622034

Dosen: Dr. dr. Pridjo Sidipratomo, Sp. Rad(K), MH

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA

2019
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bioetika lahir sebagai studi terhadap masalah-masalah moral sehubungan

dengan aplikasi bioteknologi terhadap hidup manusia. Bioetika merupakan tanggapan

etika atas halhal baru yang muncul sesudah penemuan dan teknologi. Ia lebih luas dari

etika medis tradisional karena ia mencakup etika riset biomedis, lingkungan sosial,

problem kesehatan global, life sciences. Istilah bioetika lebih dipilih karena ia lebih

luas daripada seperti etika medis yang berurusan pada suatu lingkup tertentu. Bioetika

mencakup seluruh hidup manusia. Ia pun lebih dari biologi karena ia pertama-tama

moral, bukan teknis, sebagai pemberi kriteria etis bagi penelitian biologi. Ia

menerapkan prinsip moral umum pada kasus2 partikular. Bioetika tidak mengikuti satu

macam prinsip atau nilai moral. Padanya ada varietas metodologi-metodologi etis.

Bioetika tidak menciptakan prinsip-prinsip moral baru, tetapi menerapkan prinsip-

prinsip etika tradisional pada persoalanpersoalan baru, yang mencakup kelahiran,

kematian, kodrat manusia, dan kualitas hidup sehubungan dengan perkembangan

teknologi yang mengubah manusia yang membuat orang bertanya: “apa yang dapat

dilakukan” dan “apa yang harus dilakukan.”

Bioetika merupakan analisis rasional atas masalah moral yang berhubungan

dengan biomedis melalui studi atas hubungannya dengan bidang-bidang lain dan

panduan-panduan etisnya. Ia merupakan studi sistematik terhadap perilaku manusia di

bidang ilmu-ilmu kehidupan dan perawatan kesehatan, sejauh tindakan ini diuji dalam

terang nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral. Metodologinya adalah interdisipliner untuk


menguji hakikat fakta biomedis dengan menggunakan penemuan terakhir untuk

melihat implikasiimplikasinya pada manusia dan mengidentifikasi solusi etis dan dasar

pembenaran rasionalnya dengan berangkat dan berdasar pada nilai pribadi manusia.

Ilmu genetika modern mengandung permasalahan etika yang sangat sensitif.

Sebagai contoh, saat ini peneliti mampu mendiagnosis kelainan yang diturunkan

sebelum kelahiran melalui diagnosis prenatal. Teknik amniosentesis, chorionic villous

sampling dan fetoskopi dapat memberikan informasi kelainan genetik pada awal

kehamilan. Uji biokimiawi postnatal dapat mendeteksi kelainan yang diturunkan pada

bayi yang baru dilahirkan sehingga tatalaksana awal dapat segera dilakukan. Diagnosis

genetik preimplantasi merupakan metode skrining lainnya yang dikembangkan untuk

membantu pasangan suami istri yang berisiko tinggi menurunkan kelainan genetik,

contohnya pada diagnosis cystic fibrosis, sindroma LeschNyhan, Duchenne muscular

dystrophy, dan penyakit Tay-Sachs (Sheikh, 2002). Diagnosis genetik preimplantasi

dan penelitian embrio manusia dapat memunculkan permasalahan etika, terutama pada

status moral dari embrio tersebut.

Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang genetika akan mampu

mengungkap informasi genetik dari seseorang dan yang lebih menjadi kekhawatiran

adalah apabila terjadi penyalahgunaan informasi tersebut sehingga melanggar norma-

norma privasi dan kerahasiaan. Proyek pemetaan genom manusia kini hampir lengkap

dan mendatang ada ambisi untuk menghasilkan sekuens DNA dari setiap individu.

Sebuah pemikiran mengatakan bahwa dengan informasi tersebut memungkinkan para

ahli genetik untuk mendesain terapi medikamentosa berdasarkan informasi genetik dan
biokimiawinya secara personal. Oleh karena informasi genetik yang diturunkan dan

sifat prediktifnya, anggota keluarga dan pihak ketiga seperti asuransi dan pihak

pemberi kerja akan berusaha memperoleh informasi genetik yang sangat sensitif ini

untuk kepentingan mereka. Dengan demikian seyogianya ada kepastian hukum bahwa

uji genetik dilakukan degan mempertimbangkan dan melindungi hak-hak individu

yang mengikuti uji tersebut (Meslin & Quaid, 2004).

Ilmu genetik dapat menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, informasi genetik

mengenai predisposisi menderita suatu kelainan genetik dapat membuka kemungkinan

menemukan alat diagnosis yang lebih baik dan tatalaksana terapi yang lebih efektif. Di

pihak lain, kemajuan teknologi dalam mengidentifikasi karakteristik genetic dan

kerentanan penyakit dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap dirinya, maupun

cara pandang orang-orang disekitarnya.


II. PEMBAHASAN

Genetika merupakan studi tentang gen-gen. Ia berurusan dengan struktur

molekular dan fungsi gen-gen, perilaku gen dalam sel atau organisme, pola hereditas,

distribusi-variasi-perubahan populasi. Dengan menggunakan informasi molekular

yang ditemukannya, genetika menentukan pola-pola keturunan dengan

mengidentifikasi ciri-ciri yang diturunkan dan menjelaskan bagaimana ciri-ciri ini

menurun dari generasi ke generasi. Genetika juga mempelajari bagaimana gen-gen

diaktifkan dan dipasifkan untuk mengontrol substansi-substansi yang dibuat dalam satu

sel dan bagaimana suatu sel membelah (mitosis atau meiosis). Di samping itu, genetika

berurusan dengan bagaimana gen-gen ditransferkan dari satu generasi ke generasi yang

lain. Kemajuan dalam kemampuan memasukkan dan mengambil gen-gen manusia atau

yang juga dikenal sebagai “rekayasa genetika” (“enjinering genetik”) membuat

manusia bisa menentukan bagaimana konstelasi genetik manusia yang terbuka juga

pada komersialisasi.

Yang dimaksud dengan tes genetika adalah suatu analisis terhadap DNA (atau

protein-protein) dengan tujuan untuk menentukan pradisposisi dari perkembangan

suatu atau berbagai penyakit. Konvensi Eropa pada tahun 2000 sudah mengatur tes-tes

genetika di atas dua prinsip fundamental, yaitu tujuan medis dan tanpa diskriminasi.

Persoalan dengan tes genetika ini terutama berupa bahwa pada semua yang mengacu

pada genom manusia ada suatu aspek etis fundamental, yaitu kemungkinan aplikasi

eugenesik dari pengetahuan tentang genom. Sehubungan dengan ini Dignitas Personae

(Konggregasi Ajaran Iman, tahun 2008) no. 27 sudah mengingatkan ini: “Suatu
pertimbangan spesifik pantas diberikan pada hipotesis menurut mana keahlian teknis

genetika dapat memiliki tujuantujuan aplikatif yang berbeda dari objek terapeutis.

Sejumlah orang sudah membayangkan bahwa adalah mungkin menggunakan teknik-

teknik keahlian teknis genetika untuk melakukan rekayasa-rekayasa dengan tujuan

yang sudah ditentukan sebelumnya untuk memperbaiki dan memperkuat warisan

genetika. Dalam sejumlah tujuan yang ditentukan sebelumnya itu dinyatakan suatu

ketidakpuasan tertentu atau sampai penolakan pada nilai manusia sebagai ciptaan dan

pribadi terbatas. Dengan mengesampingkan kesulitankesulitan teknis, dengan risiko-

risiko nyata dan potensipotensi yang berhubungan dengan perwujudannya, manipulasi-

manipulasi yang demikian mendukung suatu mentalitas eugenesika.”

Situasi bioetik pada masa kini sangatlah beragam, tergantung pada tingkat

perkembangan bioteknologi dan praktek-praktek perawatan kesehatan di berbagai

negara. Secara umum kita dapat melihat gejolak-gejolak perdebatan yang terjadi sekitar

tema: konsep awal hidup manusia, intervensi selama kehamilan, tekno-reproduksi

(inseminisasi buatan dan FIV (bayi tambung), penyimpanan gamet dan embrión,

investigasi dengan embrio, kloning, eutanasia, transgenik nikroba, dan lain lain.

Tetapi pengobatan, terapi, dan produk lain dari rekayasa genetika sekarang

mendapat tantangan etika. Untuk maksud dari pengetahuan pada tantangan ini, hal ini

dipakai untuk membedakan kategori berbeda dari campur tangan genetika (Allhoff

2005, p. 40). Mereka adalah: terapi gen somatik, dimana maksud dari perlakuan atau

pencegahan dari penyakit tanpa mempengaruhi generasi mendatang, dan ini sedikit

objektifitas moral; peningkatan genetik somatik, dimana dimaksudkan untuk


peningkatan fungsi dari individu; dan peningkatan germline genetika, dimana

dimaksudkan untuk pencegahan penyakit, tetapi berkembang gen; dan peningkatan

germline genetika, dimana untuk meningkatkan fungsi dari generasi mendatang.

peningkatan germline genetika, tidak diduga-duga, kebanyakan bentuk kontroversi dari

campur tangan genetika. Bioetika Ronald Green membuat poin yang kuat: ”Perbaikan

selalu lebih kontroversial daripada terapi atau pencegahan, kurang disukai untuk

ditemukan oleh masyarakat, dan lebih disukai untuk pelarangan moral dan legal jika

kerusakan untuk individu atau masyarakat terlihat diluar jangkauan mereka” (Green

2005, p. 104).

Suwanto (2006) menjelaskan secara detail bahwa rekayasa genetika merupakan

suatu teknik alternatif untuk melakukan modifikasi bahan genetik pada suatu mahluk

hidup. Perbedaan utamanya dengan teknik pemuliaan yang lain adalah dalam hal

tingkat ketepatan dan kecepatan hasil mutasinya. Mutan yang diperoleh melalui

teknologi DNA merupakan hasil mutagenesis langsung pada sasarannya (site directed

mutagenesis), sedangkan mutasi buatan secara fisika atau kimia bersifat acak (random

mutagenesis) seringkali menghasilkan mutan yang bersifat pleiotrof (mutasi di luar gen

sasaran). Selain itu, teknologi DNA juga memungkinkan penambahan atau penyisipan

gen dari kelompok mahluk hidup yang secara filogenetik sangat jauh hubungan

kekerabatannya atau secara seksual tidak kompatibel. Berdasarkan penjelasan tersebut,

maka pengertian GMO (genetically modified organism) menurut Suwanto (2006)

adalah mahluk hidup hasil modifikasi bahan genetik melalui teknologi DNA,
sedangkan yang melalui persilangan, mutasi kimia atau fisika tidak dikategorikan

sebagai GMO.

Kekhawatiran munculnya dampak negatif dari penggunaan GMO di Indonesia

sangat beralasan karena Indonesia telah mengimpor berbagai komoditas yang diduga

sebagai hasil dari rekayasa genetika maupun yang tercemar dengan GMO yang berasal

dari negara-negara yang telah menggunakan teknologi rekayasa genetika, mulai dari

tanaman, bahan pangan dan pakan, obat-obatan, hormon, bunga, perkayuan, hasil

perkebunan, hasil peternakan dan sebagainya diduga mengandung atau tercemar GMO.

Diakui bahwa GMO telah menguasai pasar dunia, karena telah memberikan manfaat

bagi kehidupan manusia meskipun juga disadari memberi dampak negatif yang tidak

bisa dianggap sepele, tetapi sangat disayangkan hingga saat ini rasa-rasanya belum

pernah dilaporkan adanya dampak negatif dari penggunaan GMO. Jangankan

mendeteksi dampak negatif penggunaan GMO, mendeteksi apakah komoditas yang

diimpor mengandung GMO saja belum pernah dilakukan di Indonesia. Biasanya kalau

sudah ada kejadian baru-baru ini seperti apel impor dari Amerika Serikat memunculkan

sejumlah bakteri yang diduga sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen, baru

dilakukan pengujian laboratorium.

Produksi obat GMO seperti insulin, antibodi monoklonal, anti alergi, anti

kanker dan masih banyak lagi obat-obatan lainnya untuk menyembuhkan berbagi

penyakit telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat seperti yang dilaporkan oleh

Singh et al. (2006) bahwa kemampuan untuk mengekspresikan gen asing menggunakan

teknologi rekayasa genetika telah membuka opsi untuk memproduksi sejumlah besar
produk makanan dan obat- obatan/farmasi komersial penting untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat, meskipun banyak kekhawatiran tentang dampak negatif

yang muncul.

Baru-baru ini Schagen et al. (2014) melaporkan bahwa obat manusia pertama

yang dimodifikasi secara genetik telah diizinkan untuk digunakan di pasar Eropa

dengan mencantumkan deskripsi penggunaannya. Young dan Lewis (1995)

mengatakan bahwa sedikit sekali informasi yang terkait dengan efek dari perubahan

komposisi gizi pangan GMO baik yang berasal dari tanaman dan hewan seperti pada

level interaksi hara, interaksi nutrisi, interaksi gen, bioavailabilitas/absorpsi nutrisi,

potensi gizi, metabolisme nutrisi, dan ekspresi gen tentang situasi di mana nutrisi

diubah. Berdasarkan informasi ini, diduga belum ada satu penelitian yang menjamin

pangan rekayasa genetika 100 persen aman untuk di konsumsi. Pangan hasil rekayasa

genetika diduga menjadi penyebab berbagai penyakit dengan asumsi bahwa gen asing

mungkin mengubah nilai gizi makanan dengan cara yang tak terduga baik yang bisa

mengurangi atau meningkatkan beberapa gizi dan nutrisi lain. Faktor yang perlu

diperhatikan dari minimnya informasi tersebut adalah penggunaan produk makanan

dari GMO harus berhati-hati (Small et al., 2005).

Kekhawatiran lainnya adalah resistensi antibiotik ke dalam tanaman yang

banyak dikonsumsi dimungkinkan memiliki dampak negatif yang tidak diinginkan bagi

kesehatan manusia dan hewan yang mengkonsumsi tanaman tersebut (Phillips, 1994).

Di dalam tubuh mahluk hidup transgenik, memungkinkan gen penanda resisten

antibiotik dimasukkan ke tanaman tertentu dan dapat ditransfer ke mikroba penyebab


penyakit dalam usus manusia atau hewan yang mengkonsumsi makanan produk

rekayasa genetika. Fenomena ini dapat mengakibatkan mikroba resisten terhadap

antibiotik dalam populasi mahluk hidup, dan selanjutnya berkontribusi terhadap

masalah kesehatan manusia yang resisten antibiotik (Bettelheim, 1999; Hileman,

1999).

Indonesia sebagai negara berkembang yang banyak menggunakan produk

GMO khususnya pangan dan obat-obatan telah mengantisipasinya dengan membuat

perangkat hukum yang dapat melindungi konsumen dari resiko yang tidak diinginkan.

Abbas (2009) melaporkan bahwa pemanfaatan produk rekayasa genetika di Indonesia

harus mengacu pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: (1) UU No.

7/1996 tentang Pangan; (2) UU No. 21/2004 tentang Protokol Cartagena; (3) PP No.

69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan; (4) PP No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu

dan Gizi Pangan; (5) PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa

Genetik; (6) SKB 4 Menteri Th. 1999; (7) Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor :

HK.00.05.23.3541 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan

Produk Rekayasa Genetik; dan lain-lain. Sesungguhnya perangkat hukum yang

mengatur peredaran dan penggunaan GMO sudah banyak dan memadai, hanya saja

implementasinya yang belum berjalan maksimal.


III. PENUTUP

Kesimpulan
Rekayasa genetika memiliki potensi yang sangat besar dalam membantu melestarikan

lingkungan meskipun masih memunculkan kontroversial dan mendapatkan tentangan

dari publik terkait masalah etik, legal, dan sosial yang mengarah kepada munculnya

kontroversi dan pertanyaan apakah teknologi ini layak dikembangkan dan diterapkan

atau harus dihentikan.

Saran

1. Netralitas ilmu merupakan das sein namun tetap dibimbing oleh kaidah moral demi

kemaslahatan dan kelestarian kehidupan. Maka tangungjawab ilmuwan secara

professional dan sosial merupakan keharusan.

2. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengembangan penelitian

rekayasa genetika harus dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh semua pihak.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, N. 2009. “Perkembangan Teknologi di Bidang Produksi Pangan dan Obat-


obatan serta Hak-hak Konsumen”, Jurnal hukum, 3 (16): 423 – 438.

Bettelheim, A. 1999. Drug resistant bacteria: Can scientists find a way to control
‘superbugs’? CQ Researcher, 9(21): 473–96.

Dhanardono, T. 2013. “Isu Etika Pada Uji Kelainan Genetika” Dalam Isu Etik Dalam
Penelitian Di Bidang Kesehatan. Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia

Hileman, B. 1999. “UK moratorium on biotech crops”. Chemical & Eng News May,
Pp 7.

Mahrus. 2014. “Kontroversi Produk Rekayasa Genetika Yang Dikonsumsi


Masyarakat”. Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 (2) : 108-119

Phillips, S.C. 1994. Genetically engineered foods: do they pose health and
environmental hazards?. CQ Researcher, 4(29): 673–96.

Schagen, F.H., R. C. Hoeben, G. A. Hospers. 2014. “Off-label prescription of


genetically modified organism medicines in europe: emerging conflicts of
interest?”. Hum Gene Ther., 25(10): 893-896.

Singh, O.V., S. Ghai, D. Paul, R. K. Jain. 2006. “Genetically modified crops: success,
safety assessment, and public concern”. Appl Microbiol Biotechnol., 71(5): 598-
607

Small, B., T. G. Parminter, M. W. Fisher. 2005. “Understanding public responses to


genetic engineering through exploring intentions to purchase a hypothetical
functional food derived from genetically modified dairy cattle”. New Zealand
Journal of Agricultural Research, 48: 391-400.

Suwanto, A. 2006. Genetically Modified Organisms (GMOs): Keragaman Genetik dan


Preferensi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

Young, A. L dan C.G. Lewis. “Biotechnology and potential nutritional implications for
children”. Pediatr Clin North Am., 42(4): 917–30.

Anda mungkin juga menyukai