Anda di halaman 1dari 37

TUGAS MAKALAH UTS

TREND PSIKOLOGI MASA DEPAN (ABAD 21)


PSIKOLOGI UMUM DAN SEJARAH
Dosen Pengampu : Dr. Nina Zulida Situmorang, M.Si

Disusun oleh :
Viranda Tri Susbiyantoro
(1607044002)

PROGRAM PASCASARJANA PSIKOLOGI SAINS


JURUSAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2016

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
A. Latar Belakang............................................................................................. 3
B. Tinjauan Teoritis............................................................................................ 9
a.Perilaku Manusia Indonesia....................................................................... 9
b.Makna Hukum dalam Pembentukan Perilaku............................................ 12
c. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku dan Proyeksi di Abad
21........................................................................................................... 21
d.Beberapa Pemikiran Tentang Kualitas Manusia Indonesia........................ 25
e.21 Pengembangan Pola Perilaku Manusia Indonesia yang Berkualitas
Tinggi
dalam Masyarakat Abad 21.................................................................... 29
C. Kesimpulan................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 37

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi sebuah mata rantai kehidupan
yang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan dan eksistensi manusia. Ilmu
pengetahuan yang semakin maju menjadi bukti nyata akan pemikiran manusia yang
semakin kompleks. Hasil-hasil pemikiran manusia dalam keilmuan ini dapat dilihat
melalui

kemajuan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang teknologi dan

komunikasi, kita telah mengenal komputer, laptop, ponsel, i-pad, dan internet, serta
diluncurkannya satelit yang saat ini mengorbit bumi untuk membantu proses transmisi.
Selain itu, di bidang kedokteran kita telah tak asing dengan istilah kemoterapi, kloning,
vaksin, dan USG. Semua kemajuan ilmu pengetahuan itu diciptakan dengan tujuan
membantu manusia dalam menjalani hidupnya. Akan tetapi, perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin maju ini juga diiringi dengan tantangan yang semakin
berat jua. Ilmu pengetahuan yang semakin kompleks dan penemuan dalam berbagai
segi yang semakin mutakhir menjanjikan risiko yang semakin tinggi pula, baik bagi
manusia maupun ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pola pikir manusia telah berkembang begitu pesat. Manusia tak lagi mempercayai
sesuatu berdasarkan mitos belaka, mereka mulai melakukan analisa secara mendalam
dan kritis atas segala sesuatu. Pada masa ini mereka tak hanya berpikir kritis saja, tapi
juga memikirkan dan mempertimbangkan aspek guna terhadap segala sesuatu.
Semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini dapat diteliti melalui berbagai disiplin
ilmutertentu, baik masalah sosial maupun ilmiah. Hal ini dapat dilakukan melalui telaah
berdasarkan berbagai pendekatan,dari pendekatan astronomi, fisika, kimia, sosiologi,
sampai psikologi. Berbagai pendekatan dari berbagai disiplin ilmu ini telah mengalami
spesialisasi studi sehingga satu bidang dapat mengkaji permasalahan di bidangnya
dengan lebih optimal. Akan tetapi spesialisasi studi seperti ini juga menimbulkan
sebuah problema, yakni arogansi disiplin ilmu yang menganggap bidangnya yang
paling

penting,

mengabaikan

eksistensi

ilmu

sebagai

hal

yang

selayaknya

dikembangkan demi kesejahteraan umat manusia, bukan menimbulkan kekacauan


sosial atau bahkan kekacauan alam.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan cenderung meniru
budaya barat bisa jadi menciptakan sebuah alienasi budaya. Orang merasa asing
dengan budayanya sendiri. Kaum muda tidak lagi at home dengan kebudayaan yang
telah membentuk identitas sosialnya. Kemajuan-kemajuan memungkinkan banyaknya
pilihan (multiple options) dan membuka kesempatan tumbuhnya materialisme dan
rasionalisme dengan luar biasa. Tuntutan hidup begitu tinggi. Kemakmuran yang
dicapai tidak terkendali, gaya hidup menjadi konsumtif dan hedonistik. Manusia pribadi
yang menjadi begitu sibuk untuk mempertahankan hidup menyuburkan sosok
individualistik. Kaya dan sukses dari segi materi jadi satu-satunya tujuan hidup.
Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah
yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa

yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di
tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika
tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti
Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup
masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan
dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan
masyarakat dan gaya hidup.
Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah
tertentu. Peristiwa di Banda Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya
di Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya
terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit
membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang
membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka
saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan
menentukan pandangan serta gaya hidup.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga
masyarakat dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka
ragam tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut
pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah
mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar
terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser,
diganti dengan gaya hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai
melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi
mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi
komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan
siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar
yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis
kondisi

tersebut

akan

membawa

manusia

pada

perubahan

peta

kognitif,

pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata


nilainya.
Kemajuan pesat ilmu pengetahuan yang dicapai manusia pada ujung pertengahan
kedua abad ke-20, memungkinkan arus informasi menjadi serba cepat: apa dan oleh
siapa dari seluruh muka bumi (bahkan sebagian jagat raya) - menembus ke seluruh

lapisan masyarakat dengan bebas tanpa membedakan siapa dia si penerima. Tanpa
mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor
lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran.Pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan terhadap pola kemasyarakatan alienasi adalah suatu kondisi psikologis
seorang individu yang dinafasi oleh kesadaran semu (tentang misteri keabadian
termasuk Tuhan), keberadaan, dan dirinya sendiri sebagai individu serta komunitas.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan cenderung meniru
budaya barat bisa jadi menciptakan sebuah alienasi budaya.Orang merasa asing
dengan budayanya sendiri. Kaum muda tidak lagi at home dengan kebudayaan yang
telah membentuk identitas sosialnya.
Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam
percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari
proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal
batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap
dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label
modern diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana
dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi
memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu
khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang
semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh
garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori,
dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era
globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh.
Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam
kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional
yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga
keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan
transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.
Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan normanorma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang
mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang
lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa
memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam

persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti
gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi.
Kebutuhan ini sangat terasa. Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan melalui
kaca-kaca ruang pamer toko atau distributor benda-benda yang digandrungi
masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal waktu. Orang sibuk
mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan. Apalagi media
massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk dapat mengikutinya, antara lain melalui
iklan, sinetron, acara-acara hiburan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi komunikasi
abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok,
menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak.
Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup
masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan
pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang
diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi
bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa
langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua
sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai
kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal
dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih
luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk
perilaku untuk diamati, dipilih, dan diambil alih anak. Teman dan pesaing orang tua
menjadi bertambah, sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau
penguat pesan-pesan dan nilai yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi
penghambat dan pengganggu penerimaan pesan dan nilai tersebut.
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan
penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara
rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di
luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi
24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola
asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di
luar, padahal ibu dikenal selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap
diharapkan mampu berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada,
siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan
ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya

di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad
21. Nah, kalau ayah dan ibu sama-sama tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus
menjadi pengganti mereka berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak
peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa
perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak
berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga
anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam
tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.
Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad
21. Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak
dalam keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke
generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan
pengabdian sudah berubah menjadi transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan
memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk mengatasi masalah ini dengan
mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) masih memerlukan banyak pengkajian dan
pertimbangan.
Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh
sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok
pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi
dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad
21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling
berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin
ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya
menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya).
Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya.
Kebutuhan untuk "menjadi seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya
bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan
kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa
percaya diri dan menumbuhkan motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar
dapat senantiasa meningkatkan diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi
rintangan, mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan
adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas
bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih
berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya.

Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi


permasalahannya

menjadi

sangat

penting

untuk

diperhatikan

dalam

proses

pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah
keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu
masyarakat, bangsa dan negara.

B. Tinjauan Teoritis
a. Perilaku Manusia Indonesia
1.
Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku
masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai
bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan
manusia Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan
negara. Kebanggaan menyandang identitas sebagai bangsa dan negara yang
merdeka dan berdaulat penuh mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi
antar berbagai suku bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin
dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada
kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan menghayati agar kesatuan dan

persatuan tidak hanya sekadar simbol, melainkan merasuk dalam kehidupan seharihari.
Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk
tampil sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah
membawa masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung
tidak mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan
sebagainya. Menjadi Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk
bersama oleh masyarakat "seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk
memotivasi masyarakat agar bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas
diri yang baru, dengan tetap mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya.
Perpaduan berbagai ragam budaya pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan
falsafah gotong royong, semangat persatuan dan kesatuan, pembangunan bangsa dan
negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
2.
Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian
memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang
dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai
fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap
pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan
dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah.
Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri
khas kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa
saja untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991)
mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah
diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa
sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai
bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap
serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja
sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan.
Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas
manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran
tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi
miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."

10

Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat


individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan
solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang
terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status
adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis.
Akhirnya, kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah
mencampuri nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Suasana inilah
yang mewarnai periode pemerintahan Orde Baru. Upaya menciptakan manusia yang
materalitis, individualistis, memiliki daya saing tinggi agar bisa menjadi pemenang dan
mengalahkan pesaing-pesaing lainnya (siapapun dia) menjadi arah pembentukan
perilaku oleh berbagai pihak.
Ada pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu
akhirnya memang berhasil mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian besar
masyarakat Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti gaya hidup yang
baru. Keadaan ekonominya masih sangat jauh untuk bisa tampil dalam persaingan
tersebut. Akibatnya, banyak orang menempuh jalan pintas. Korupsi, kolusi ,
koncoisme, nepotisme dilakukan orang dalam berbagai bentuk, yang sama buruknya
dengan perilaku menipu, mencuri, merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh
orang-orang

yang

tidak

memiliki

kemampuan

untuk

bersaing

tetapi

sangat

mendambakan kehidupan yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Berdasarkan kondisi


kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia, Sri Mulyani Martaniah
(1991) melihat banyak aspek dalam era globalisasi yang dapat berdampak negatif dan
bisa menyebabkan patologi sosial dan memerlukan pengembangan psikologi
komunitas sebagai salah satu cara mengatasinya.
Ada lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara
tersebut, tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini
adalah perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri,
melarikan diri ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari
kelompok ini mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi
penonton pasif dan mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa
dilakukannya, entah sampai kapan.
Manusia tak lepas dari lingkungannya. Kecenderungan mengikuti gaya hidup yang
baru, yang "trendy" dan menempatkan nilai-nilai baru dalam ukuran keberhasilan telah
merusak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang sebelumnya dipegang teguh

11

dan diyakini sebagai kebenaran. Nilai yang mementingkan kebersamaan dan


menumbuhkan sikap gotong royong dilibas oleh nilai individualistis. Nilai yang
meletakkan unsur spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan
keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau bersaing dan
memenangkan persaingan, tak peduli apapun caranya dan siapapun yang dihadapi.
Dalam periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa
masuk ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi lain, pada
saat yang bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita bangsa, yaitu terwujudnya
masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Benturan antara
keyakinan terhadap nilai-nilai tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang
pernah diberikan dalam cara kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan
kehidupan sistem kapitalis melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam
pengaruhnya dalam proses pembentukan perilaku.
Bayang-bayang kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai
benturan kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era
Reformasi, yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya selaku Presiden
Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Wajah masyarakat muncul
beraneka ragam. Berbagai bentuk perilaku tampak mencerminkan kondisi dan situasi
yang dimiliki masing-masing, baik sebagai individu maupun kelompok, yang semula
ditekan kuat-kuat agar tidak muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik
terutama bagi mereka yang berbeda pendapat. Demonstrasi, pembentukan partaipartai baru, penjarahan, perkosaan, doa bersama, tuding menuding, menghujat dan
dihujat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Negeri seribu pulau
dengan nyanyian nyiur melambai yang melambangkan kenyamanan dan kedamaian
seolah terpuruk dalam tangis Pertiwi yang meratapi nasib bangsa dan negara yang
tampak carut marut oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Kondisi dan situasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dirasakan dalam keadaan terpuruk
itu menjadi bertambah sulit proyeksinya ke depan, karena perilaku yang tampil di
masyarakat tidak lagi mencerminkan kepedulian terhadap hukum dan aturan
kehidupan bersama yang menimbulkan ketenteraman dan kenyamanan.
b. Makna Hukum dalam Pembentukan Perilaku

12

Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai


dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang
dan di masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum, yaitu bagaimana
masyarakat mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum dipersepsikan
sebagai: suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegara berfungsi mengatur
kehidupan warganegara dengan memberikan batasan tentang apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan bertujuan untuk melindungi tiap
warganegara dengan mengacu pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan dan
keadilan ditetapkan oleh otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka
hukum memiliki dua fungsi, yaitu:memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah
ada dan ingin dipertahankan dan/atau mengubah pola perilaku masyarakat yang ada
saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan.
Persepsi masyarakat terhadap hukum dan kenyataan yang dirasakannya dalam
menerima perlakuan hukum adalah unsur penting dalam pengembangan perilaku
hukum. Bila masyarakat sungguh mempersepsikan bahwa hukum melindungi
kepentingan mereka dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas yang diakui
legitimasinya oleh warga, maka proses pemantapan ataupun perubahan perilaku yang
dilakukan melalui pendekatan hukum akan dapat terlaksana secara teratur dan
terencana.
Kepastian hukum dan jaminan pelaksanaannya merupakan landasan bagi
masyarakat dalam pengembangan perilaku normatif yang diperlukan bagi keamanan
dan kenyamanan kehidupan bersama. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat
penegak hukum dan proses penegakan hukum merupakan unsur penting dalam
mengembangkan perilaku yang peduli hukum, yang tampil dalam bentuk perbuatan
yang memahami aturan, melaksanakan aturan, dan kesediaan menanggung
konsekuensi akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya. Perasaan diperlakukan
secara

adil

juga

penting

bagi

dipatuhinya

aturan-aturan

dalam

kehidupan

bermasyarakat sesuai hukum yang berlaku. Sebaliknya, perlakuan hukum yang


dirasakan berpihak akan mendorong timbulnya perilaku yang cenderung mengingkari,
yang bisa muncul dalam bentuk "menghindari" atau bahkan melawan hukum (denda
damai atau suap).
Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan
tujuan

ditegakkannya

hukum,

sehingga

dalam

pelaksanaannya

tidak

terlalu

13

memerlukan pengawasan. Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk


pengawasan dalam pelaksanaan hukum bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian
adalah kemampuan memilih yang benar dari yang salah berdasarkan norma atau
aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu. Kesiapan seseorang
untuk bisa mandiri dalam membedakan yang benar dan salah berdasarkan norma
yang diyakininya dan dijadikannya sebagai pegangan dalam berperilaku memerlukan
proses yang bertahap. Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang
dilalui seseorang untuk mampu bersikap adil dan mengembangkan sikap dan
perbuatan berdasarkan pertimbangan moral., yaitu: Moralitas Prakonvensional. Pada
tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam bersikap dan bertingkah laku adalah
pujian dan hukuman yang diberikan oleh lingkungan. Tingkah laku yang diancam
hukuman tidak akan dilakukan lagi. Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian
atau hadiah akan cenderung diulang.
Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan
norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan
supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga
masyarakat yang baik.
Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan
dalam arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan
sempit

yang

berlaku

hanya

untuk

kalangan

masyarakat

tertentu.

Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh
proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas
yang mendasari perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia,
yaitu:
1.
2.

Cara belajar instrumental


Cara belajar observasional
Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti

oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang
diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam
pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus KTP dengan
mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia
kehilangan jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan
memberi uang pelicin" (perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar

14

KTP baru ke rumah, maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi
uang pelicin setiap kali harus mengurus KTP di masa yang akan datang, walaupun
perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang
menghasilkan

reinforcement

sedangkan

menaati

hukum

justru

menghasilkan

punishment.
Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan
konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka
waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya
konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila
pada suatu waktu si Anu akan melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan
ketika ia melakukan hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal
tersebut maka tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah"
dengan "penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan terbentuk
perilaku "berhenti setiap kali melihat lampu merah."
Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku
baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati
orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model
terhadap perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu: penilaian pengamat
tentang kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh
model persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah
menghasilkan konsekuensi positif atau negatif perkiraan pengamat, apakah ia akan
menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku yang
ditunjukkan model.
Contoh: Si Polan belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut
melanggat peraturan kerja yang ada. Namun si Polan mengamati bahwa atasan dan
rekan kerjanya yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau dihukum, malahan dapat
menikmati uang dari hasil pekerjaan sampingan (reinforcement) yang dilakukan pada
saat mangkir kerja. Dalam situasi ini si Polan pun akan cenderung untuk ikut mangkir
kerja dan melakukan pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang
diamatinya. Menurut Bandura (1986) belajar observasional dari model ini telah terbukti
sebagai sarana yang ampuh untuk meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku
dalam masyarakat. Bila persepsi masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan
kedua mekanisme belajar tadi, maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi
atau pemberitahuan dari otoritas yang diakui kewenangannya mengenai:

15

a. perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut
b. konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau
menolak melaksanakan perilaku yang dimaksud.
Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi,
yaitu: hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh
individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut konsekuensi dari dipatuhi atau tidak
dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum
tanpa pengecualian.
Arah pembangunan Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini, yang dikenal
sebagai era Orde Baru, pada hakekatnya adalah pembangunan yang sangat
menekankan pengembangan bidang ekonomi. Dalam konteks ini segala sesuatu
diarahkan agar pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa mengalami
gangguan. Untuk itu harus selalu diupayakan terciptanya stabilitas ekonomi agar dapat
menarik para investor. Stabilitas ekonomi memerlukan dukungan stabilitas politik, yang
kemudian oleh para pejabat negara seringkali diinterpretasikan sebagai perlunya
pendekatan keamanan (security approach). Tanpa terasa, secara bertahap, semakin
banyak kebijakan, keputusan dan kebijaksanaan yang dibuat dengan dalih
mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional, padahal dalam kenyataannya tidak
jarang hal tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan kadang-kadang
bahkan merugikan rakyat kecil. Hal ini antara lain terlihat dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum, seperti pemberian hak
monopoli untuk komoditi tertentu, keputusan-keputusan pengadilan yang dirasakan
kurang adil, misalnya penyelesaian kasus Kedung Ombo dan hak tanah ulayat di Irian
Jaya. Dalam bentuk lain, hal yang sama sering terlihat dalam proses penegakan
hukum ataupun proses pengadilan di mana status, kekuasaan atau uang yang dimiliki
pelanggar hukum ikut mempengaruhi jalannya persidangan maupun keputusan yang
diambil.
Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku
masyarakat yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara, masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh
dalam pembentukan perilaku: budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka
banyak peluang bagi yang berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri
atau melakukan interpretasi subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang
ada, sehingga peraturan yang sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang

16

berbeda, di wilayah yang berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda.
adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan
kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik
alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam
proses tersebut.
Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum
seperti hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.
Apa arti kenyataan itu dilihat dari pendekatan belajar dalam rangka pembentukan
perilaku menurut mekanisme belajar instrumental dan observasional?
Kenyataan bahwa seringkali ada peraturan-peraturan yang bertentangan atau tidak
konsisten satu dengan yang lain akan menimbulkan kebingungan, baik di tingkat
pelaksana maupun pada mereka yang dikenai oleh peraturan tersebut. Padahal untuk
dapat terjadi proses pembentukan perilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh
peraturan tertentu, syarat pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa orang-orang
yang terlibat di dalamnya harus mengerti dengan jelas, apa yang dimaksud oleh
peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, kondisi di mana terdapat kebingungan
jelaslah bukan situasi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku yang
sesuai peraturan.
Adanya penerapan hukum secara berbeda, tergantung pada status dan kekuasaan
orang yang ikut dalam proses penyelesaiannya maupun pada status dan kekuasaan
individu yang dikenai oleh hukum tersebut, menyebabkan konsekuensi dari
hukum/peraturan tersebut tidak dapat dilakukan secara konsisten tanpa pengecualian.
Bila kondisi ini tidak terpenuhi, maka pembentukan perilaku yang dituju oleh hukum
tersebut tidak akan terjadi.
Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan
yang menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai
model bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah
meneladani pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya
peneladanan ini lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan
lebih

sering

terjadi

dalam

hal

memperoleh

perlakuan

yang

berbeda

dan

menguntungkan, sesuai dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya

17

dapat menjelaskan semakin meningkatnya praktek korupsi, kolusi, koncoisme dan


nepotisme di kalangan penguasa di berbagai tingkatan di negara kita.
Dengan perkataan lain, hukum tertulis yang berisikan instruksi atau pemberitahuan
mengenai perilaku yang diharapkan dan sanksi yang merupakan konsekuensinya tidak
efektif karena tidak dapat dilaksanakan secara konsisten dan berlaku umum tanpa
pengecualian. Di sisi lain, hal-hal yang ingin dicegah oleh hukum, yaitu adanya
perlakuan yang berbeda pada orang dengan status yang berbeda, justru menjadi
semakin tumbuh subur di antara para pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh
karena mereka mengamati banyak sekali teladan dari penguasa yang lebih tinggi, yang
menunjukkan bahwa "tidak menaati hukum secara konsisten dan tanpa pengecualian"
justru memberikan konsekuensi positif (reinforcement) pada mereka. Dalam kondisi
demikian kiranya akan sangat sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan hukum secara
konsisten tanpa pengecualian akan dapat ditegakkan.
Namun, yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah konsekuensi yang
mungkin terjadi bila keadaan seperti ini terus berlanjut. Dalam hal ini ada beberapa hal
yang mungkin terjadi: Mereka yang merasa dirugikan akan berusaha untuk
memperjuangkan perbaikan melalui cara-cara yang dimungkinkan oleh hukum.
Alternatif ini semakin mungkin untuk dipilih bila situasi dan kondisi memungkinkan dan
cukup banyak anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan dan mau bertindak
asertif untuk mengupayakan perubahan (memiliki self-efficacy tinggi).
Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif
tersebut sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul
perasaan frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini
dapat dengan mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap
pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi
kekuasaan, orang-orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam
kolektivitas (Lev, 1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu
bila cukup banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung
untuk

melakukan

protes

dan

usaha

kolektif

untuk

mengubah

keadaan.

Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk
melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila
berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka
sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut
sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang

18

telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan


orang-orang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena
mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil
yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota
masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk
dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan
kemampuan diri sendiri.
Kondisi dan situasi negara dewasa ini, yang sedang dilanda berbagai kesulitan
dalam kehidupan akibat krisis moneter berkepanjangan, serta terbongkarnya praktekpraktek pelanggaran hukum justru oleh mereka yang seharusnya dijadikan panutan
masyarakat, baik sebagai penentu kebijakan maupun selaku aparat penegak,
berdampak luas terhadap kondisi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis
kepercayaan ini kemudian melahirkan sikap yang cenderung mengabaikan hukum.
Perilaku masyarakat yang akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan melanggar
hukum dalam memenuhi kebutuhannya dan main hakim sendiri dalam menyelesaikan
masalahnya, harus ditanggapi secara sungguh-sungguh dan tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut, apalagi sampai dijadikan pola perilaku menetap karena dilegalisir
secara tak langsung oleh pejabat negara. Tanpa disadari pernyataan pejabat negara
yang dimaksudkan sebagai simpati terhadap kesulitan hidup yang dialami warga
masyarakat (atau justru menarik simpati masyarakat?) telah menimbulkan persepsi
yang mengesankan disahkannya perilaku hukum yang menyimpang. Contoh:
pengungkapan dan penyelesaian masalah perbankan, tanah, operasi becak di Jakarta,
kasus orang hilang, penjarahan, dan sebagainya.
Peristiwa huru hara di Jakarta dan kota-kota lainnya pada tanggal 13 dan 14 Mei
1998 dan hari-hari berikutnya semakin membawa negeri ini dalam keadaan terpuruk
dengan krisis kepercayaan yang sangat berat. Situasi yang tak kunjung stabil,
sementara masyarakat menantikan kepastian dalam penegakan hukum, akhirnya
menumbuhkan sikap apatis dan putus asa dengan segala konsekuensinya. Kondisi ini
mengantar pemerintah pada beban yang amat berat, terutama dalam hal pemulihan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Diperlukan sikap yang mampu
menampung aspirasi ketiga kelompok masyarakat dalam pengembangan moral
(prakonvensional, konvensional, pascakonvensional) agar kehidupan bersama bisa
ditata kembali. Komunikasi yang digunakan, baik bentuk maupun jalurnya, harus
sangat memperhitungkan karakter kelompok masyarakat secara cermat, sehingga

19

tidak terjadi salah tafsir atau keliru interpretasi. Dalam kaitan ini pernyataan pejabat,
penjelasan pemerintah, penetapan kebijakan harus mengacu pada kepentingan segala
lapisan masyarakat, dengan memperhatikan karakteristik masing-masing, sehingga
dapat dipahami dengan baik.
Bagaimana mengubah pola perilaku masyarakat melalui hukum? Seperti telah
diuraikan terdahulu, salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah perilaku
masyarakat ke arah yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip perubahan
perilaku berarti diperlukan hukum yang berisikan batasan perilaku yang diinginkan dan
uraian yang jelas tentang konsekuensi yang akan diterima bila hukum tersebut ditaati
atau dilanggar. Namun, agar sistem hukum yang baru dapat berfungsi secara efektif
diperlukan persyaratan berikut: Sistem hukum tersebut harus dimengerti oleh mereka
yang akan melaksanakannya maupun oleh mereka yang akan dikenai oleh hukum
tersebut. Hal ini berarti perlu dilakukan peningkatan keahlian (memiliki expert power)
dari para penegak hukum sehingga keputusan-keputusan mereka dihargai dan
dihormati

oleh

semua

pihak.

Di

samping

itu

perlu

pula

dilakukan

pendidikan/penyuluhan hukum bagi seluruh anggota masyarakat sehingga mereka


mengetahui apa yang merupakan hak mereka dan apa yang merupakan tanggung
jawab mereka.
Sistem hukum tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan mengikat semua
warga tanpa pengecualian termasuk si pembuat hukum sendiri (Golding, 1975).
Keberhasilannya terutama akan sangat ditentukan oleh keteladanan (memiliki referent
power) dan political will dari para pemegang kekuasaan serta komitmen dari semua
pihak.
Sistem hukum tersebut didukung oleh sistem dan budaya demokratis di mana
masyarakat dan pers dapat menjalankan fungsi kontrol.
Bagaimana

proyeksi

kita

ke

depan?

Pengalaman

selama

enam

Pelita

menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi


tanpa disertai dengan pertumbuhan yang seimbang di bidang sosial, politik dan hukum
ternyata tidak berhasil meningkatkan daya saing kita di dunia internasional. Berarti kita
memerlukan suatu pembaharuan yang menyeluruh sifatnya dan mencakup berbagai
aspek kehidupan bangsa. Beberapa hal yang dapat disebutkan antara lain adalah:
Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa agar dapat menjadi bangsa yang percaya diri
dan sekaligus mampu berkiprah di dunia internasional. Untuk mencapainya diperlukan
suatu transformasi sosio-kultural dari budaya feodal, paternalistik dan berorientasi

20

kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis, partisipatif dan berorientasi
ke depan.
Untuk dapat berkiprah di dunia internasional kita perlu memperoleh kepercayaan
dari dunia internasional. Untuk itu kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada nilainilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan lain
sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang dapat membina kepercayaan dunia
internasional ialah adanya sistem hukum yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas
hukum modern dengan dukungan sistem peradilan yang dapat diandalkan.
Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem,
maupun kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil
bila tidak didukung oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku
pada tingkat individu sebagai anggota masyarakat. Ada dua alternatif keadaan
masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni:

menjadi bangsa yang

mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu
bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri
dan mampu bersaing di tatanan global. Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga
secara individual, memiliki dua pilihan tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar
observasional di mana unsur keteladanan (referent power) memegang peranan
penting dalam mengubah pola perilaku, maka sikap pemimpin bangsa dan negara ini
menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang dan semakin besar
kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya bagi masa depan
bangsa.
c. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku dan Proyeksi di Abad 21
Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan
era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk
menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang,
dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan
petang. Mereka membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik
demi gaya hidup global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan
kekeluargaan, yang menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara
suami istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat
persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan
kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi

21

pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang
tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya
pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanakkanak yang ceria tak lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang
mengantarnya pada situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan.
Paksaan yang melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini
tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik
terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan
seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan
dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya.
Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir,
memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan,
dan kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh
tingkat

kecerdasan

yang

dimiliki,

temperamen,

bakat,

dan

aspek

genetika.

Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat
merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan
kemampuan mengelola pengalaman.
Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang
berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi
pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal
kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi
pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi).
Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri
bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan
secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang
tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu
memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah
membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya.
Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus
menerus sebelum memutuskan sikap dan perilaku dengan kesadaran terhadap
konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan.
Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya
hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam

22

anak, baik untuk kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional.


Perilaku masyarakat menuju abad 21 tidak lagi mencerminkan setia kawan, gotong
royong seperti yang tampak di era sebelumnya. Perilaku itu cenderung meluntur,
terutama di kota-kota besar. Tingkah laku manusia di kota besar lebih mengarah pada
kesibukan pribadi, tidak acuh, tidak peduli terhadap mereka yang kurang beruntung
(individualis). "Pokoknya saya senang, saya berhasil, saya bisa meraih semuanya. Apa
yang terjadi dengan orang lain, bukan urusan saya," kata si individualis, yang juga
masuk ke dalam rekaman anak dan bukan tak mungkin dijadikannya pola bertingkah
laku.
Ketidakpastian dalam penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang
ditampilkan orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam bekerja dan
berorganisasi,

yang

selanjutnya

bisa

dijadikan

acuan

oleh

anak

dalam

mengembangkan dirinya. Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas untuk
mencapai tujuan, tidak tepat waktu, unjuk kerja seadanya, lebih menuntut fasilitas
daripada tanggung jawab adalah melunturnya etos kerja yang diamati anak dengan
leluasa, di dalam maupun di luar rumah (orang tuanya sendiri maupun orang tua
lainnya). Sikap mau menang sendiri, tidak adanya kepatuhan terhadap hukum,
pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku adalah ketidakdisiplinan pribadi yang
bisa ditangkap anak dari orang tua dan lingkungannya. Tindak kejahatan dengan
kekerasan, baik yang berupa pengrusakan, perampokan, penyiksaan, perkosaan juga
pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun penyebabnya mungkin sepele,
adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa menjadi referensi dalam
menjalani kehidupannya. Kesenangan berlebihan terhadap barang-barang simbol
teknologi canggih dan kemapanan serta kenyamanan hidup sebagai kecenderungan
hidup materialistik bisa dijadikan dasar pola pembentukan perilakunya. Penggunaan
berlebih terhadap produk teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi lingkungan
yang bisa dikatakan sebagai kecenderungan pendewaan teknologi adalah referensi
lain yang sewaktu-waktu siap ditampilkan anak. Meningkatnya frekuensi dan intensitas
perkelahian antar kelompok remaja dan dewasa muda adalah situasi lain yang diamati
anak. Mereka melihat

mengurangnya kemampuan menalar, komunikasi dan

penyelesaian masalah melalui dialog di antara pelaku-pelakunya. Dalam hal ini


pengaruh media massa terasa sangat bermakna.
Kesibukan kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup
cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi menempatkan

23

individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih
antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan
dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup
bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya
fungsi utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar
rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus
menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya
pembentukan hati nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang
tangguh, mandiri, tapi juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan
luwes. Apakah orang tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa
masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi
penonton dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di
masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak
agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti?
Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu
menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi
permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin
mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai
keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak.
Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara
umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan
dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan
ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang
optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama
mendapatkan

asuhan

dari

lingkungannya,

diharapkan

anak

akan

mampu

menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik.


Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke
depan. Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya,
ketika ia sudah menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan
berjalan ke depan. Jadi, sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di
masa depan itu dalam upaya memberikan bekal kepada anak. Sosok manusia dewasa
hasil asuhan dan pendidikan orang tua dalam kurun waktu sekarang akan terlihat
secara jelas dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa. Berhasilkah
pendidikan dan asuhan yang telah diberikan? Tercapaikah harapan dan cita-cita atau

24

impian orang tua? Bahagiakah anak dengan yang diperoleh dan dimilikinya?
Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang diangankannya sendiri, yang mungkin sama
dengan harapan orang tua dan lingkungan pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu
baru akan tampak nanti, ketika anak sudah menjadi dewasa.
Latar belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola
asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan berdasarkan
pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua masih berstatus kanakkanak, yang menerima pendidikan dari orang tuanya. Pengalaman masa lalu ini kerap
kali cukup mewarnai pola asuhan dan pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman
memang selalu ada gunanya. Akan tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan
juga sangat penting, karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke
masa depan. Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan
asuhan orang tua di masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi,
terutama

dalam

rangka

mengembangkan

empati

(penghayatan,

kemampuan

merabarasakan dari sudut pandang atau posisi orang lain) agar komunikasinya bisa
berjalan seperti yang diharapkan. Terapan pengalaman masa lalu ayah ibu, ketika
dididik dan diasuh orang tuanya, perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi
perkembangan jaman. Tanpa penyesuaian, pola asuh dan pendidikan yang dilakukan
akan cenderung menyulitkan anak dalam perkembangannya, sehingga iapun akan
tumbuh menjadi sosok pribadi yang sukar menemukan konsep diri, sulit menyesuaikan
diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan diri.
Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan
pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21
seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak
kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan
menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan
kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan
sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan
itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.
Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun
sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa
menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang
yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari,
bahwa kehidupan terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah.

25

Sangat diperlukan kemampuan dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan


senantiasa menyesuaikan diri.
Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya
selaku pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah
pengetahuan, meluaskan wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan sikap ini
maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya dalam mengarahkan,
membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan peluang/kesempatan
untuk berprestasi optimal, sesuai dengan kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap
adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para orang tua yang kini tengah mendidik
dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era globalisasi. Tugas ini tentunya
tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi perubahan
jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak, sehingga ia mampu
menyongsong era globalisasi dengan keyakinan diri yang kuat, berdasarkan bekal
yang diperolehnya dan kepercayaan akan rakhmat dan karunia-NYA.
d. Beberapa Pemikiran Tentang Kualitas Manusia Indonesia
Dari berbagai pembahasan mengenai kualitas manusia Indonesia dalam periode
Orde

Baru

yang

memfokuskan

pembangunan

di

bidang

ekonomi,

terlihat

kecenderungan untuk menyimpulkan beberapa insiden sebagai gambaran manusia


Indonesia dewasa ini yang lebih menandakan sikap instrumental, egosentris, kurang
peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai
kepuasan pribadi. Bernadette N. Setiadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya (1989)
menemukan hal-hal yang menguatkan pengamatan tersebut. Menurutnya, kualitas
manusia Indonesia diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan sangat berorientasi pada
hasil akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil akhir. Enoch
Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun 2000
mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah
laku seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dan kawankawan (1985) dalam penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang
dilakukan pada pertengahan dekade delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat
kota mempunyai besar nilai terminal (preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan
hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai instrumental (preverensi cara-cara
pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh pengutamaan kompetensi pribadi.
Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar
bangsa/negara membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung

26

persentuhan aspek kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Bila


dikaitkan dengan proses pembentukan tingkah laku manusia, maka proses globalisasi
membawa

kemungkinan

sebagai

berikut:

terjadi

peningkatan

interaksi,

interdependensi dan saling pengaruh terbuka pilihan pengembangan diri yang


memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus sesuai dengan
keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif, perubahan
kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas)
terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
La Piere (1981) mengartikan pembangunan sebagai suatu usaha yang secara
sistematis direncanakan dan dilakukan untuk merubah kondisi masyarakat yang ada
ke arah kondisi dan taraf kehidupan yang lebih santun. Di sini terkandung arti bahwa
pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial, yang mau tidak mau
merujuk pada terjadinya perubahan tingkah laku individu warga masyarakat yang
sedang membangun. Fuad Hassan menyatakan bahwa hakiki manusia adalah
kemampuan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan
kehidupannya dalam suatu keadaan yang menjadi pilihannya. Manusia berpeluang
untuk diarahkan agar bisa menumbuhkan motivasi, sehingga di setiap saat dan situasi
ia selalu berusaha mencari peluang dan kesempatan yang menarik keinginan dan
perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Di setiap saat dan situasi
manusia dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan. Ia memerlukan kebebasan untuk
dapat menentukan pilihan yang baik, yaitu pilihan dengan kapasitas, bakat serta minat
atau kebutuhannya secara umum. Dengan kebebasan itu barulah ia leluasa melakukan
aktuialisasi diri, menentukan arah dan pengembangan hidupnya.
Mempelajari hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan
kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi bagian dari
kelompok. Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk aktualisasi diri sering
membuat manusia hanyut sehingga melupakan hakiki yang sangat mendasar.
Terbawanya manusia dalam banjir informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk
memahami perbedaan antara kebutuhan dengan keserakahan (needs and greed),
butuh dan ingin (wish and need) yang kemudian mendorong manusia untuk secara
terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia lalu berkembang menjadi
mahluk yang egosentris dan instrumental. Mereka yang tidak mampu sehingga tidak
mungkin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme dan
kekhawatiran, yang bisa melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap kejadian di

27

lingkungannya. Disonansi, kesenjangan generasi, kesenjangan kelas sosial-ekonomi,


adalah efek samping lainnya karena usaha yang dilakukan tidak lagi sekadar ingin
memiliki tetapi juga memuaskan, sementara kepuasan sifatnya relatif dan cenderung
tidak berujung. Keserakahan menampilkan wajah egosentris yang kemudian
melepaskan diri dari kasih sayang (Gromm). Kemudahan komunikasi membuat
individu melupakan peran-peran lain dalam kehidupan, terutama yang menyangkut
kehidupan interdependensi. AKU menjadi sangat menonjol. Situasi ini bisa menjadi
pemicu bagi pemunculan pribadi yang kehilangan kontrol diri.
Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat
dengan telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan
sebagai intervensi dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang
Berkualitas Tinggi. Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam
kapasitas sebagai sarana belajar maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan
untuk mendapatkan wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi
manusia. Cara yang bisa ditempuh dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha
yang berkesinambungan dengan memperhitungkan dukungan kelompok maupun
dukungan masyarakat. Untuk itu kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya
terasa sangat bermakna. Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan
kebutuhan untuk berubah agar bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses
perubahan tingkah laku yang diharapkan. Pembekalan individu dengan pengetahuan
dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar ia mampu melaksanakan
perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi kebutuhan
pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal. Dalam upaya ini harus diciptakan
kesempatan bagi individu untuk memecahkan masalah berkaitan dengan adopsi
tingkah laku dalam kondisi nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Bernadette N. Setiadi
(1987), Yaumil A. Achir (1990), Iman Santoso Sukardi (1991) dan Soesmaliyah
Soewondo (1991) membuktikan bahwa usaha merubah tingkah laku manusia dapat
dilakukan melalui intervensi terencana perubahan tingkah laku.
Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas
Indonesia, pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc
Clelland yang diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan intervensi lain dalam
keterampilan hubungan antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat
sesuatu dalam rangka menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi
terencana

yang

menekankan

analisis

kebutuhan

individu

dan

masyarakat,

28

pengembangan iklim belajar partisipatif, penciptaan dukungan kelompok serta


pemanfaatan seluruh sumber sebagai sarana belajar. Dalam rekayasa terencana perlu
dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa dipertahankan dan dikembangkan,
mana pula yang harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai, bahkan bisa
menghambat.
Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta
kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas
dalam tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris,
instrumental, jalan pintas, etos kerja yag lemah dan kurang peka terhadap masalah
yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal era abad 21 memerlukan manusia
Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan
etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana manusia Indonesia bisa dibantu untuk
menemukan jati dirinya dan mampu beradaptasi terhadap tarikan dan pengaruh
globalisasi masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa banyak yang
masih tersisa saat ini untuk bisa diajak memasuki abad 21 secara produktif? Berapa
bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi? Di lapisan mana kerusakan
itu terjadi dan di tingkat mana yang masih menjanjikan harapan untuk pembentukan
perilaku yang adaptif dalam memasuki abad 21?
e. 21 Pengembangan Pola Perilaku Manusia Indonesia yang Berkualitas
Tinggi dalam Masyarakat Abad 21
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola
perilaku manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar
belakang sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu: menjadi bangsa yang memiliki
self efficacy menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness Era Reformasi
membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya
pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa
dan negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi penyebab munculnya
perilaku yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme
(KKKN). Kesadaran tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku
Manusia Indonesia dari sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang Bersih,
Transparan, Profesional. Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang
bersih, transparan, dan profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan,
apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan
tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan

29

perilaku bersih, transparan, dan profesional menjadi persyaratan bagi Manusia


Indonesia agar bisa berkualitas tinggi dan mampu mengambil posisi dalam persaingan
di kancah dunia dan memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang
mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.
Peristiwa di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa
kompleksnya permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan
kualitas Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada masalah sosial, ada masalah
agama yang secara psikologis menjadi dasar pengembangan sikap dan perilaku,
selain masalah ekonomi dan harapan untuk bisa mengambil posisi dalam
mengantisipasi globalisasi dan perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai
Manusia Indonesia perlu dimiliki agar dapat menempatkan diri dan mengembangkan
hubungan dengan lingkungan, baik dalam skala kecil maupun percaturan yang lebih
luas. Negara dan bangsa memerlukan Manusia Indonesia yang mencerminkan
pandangan, sikap, dan perilaku warga Republik Indonesia (siapapun dia, dari
kelompok mana pun - etnik, kelas sosial, agama, pendidikan, kemampuan ekonomi).
Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya memerlukan penampilan Manusia
Indonesia yang berkualitas tinggi, sehingga dapat mengikuti perkembangan dunia,
yang selanjutnya akan dapat menghasilkan peran serta aktif di berbagai bidang
(pertanian, perdagangan, perindustrian, teknologi, kesehatan, pendidikan, dan
sebagainya).
Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode
yang telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan
secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas
permasalahan yang dihadapi dalam memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya
dialog/komunikasi yang bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang
terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah
Indonesia (FOPI) yang beranggotakan berbagai Organisasi Profesi Ilmiah (OPI)
diharapkan secara ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad 21 Yang
Berkualitas Tinggi sehingga arah pembangunan bangsa dan negara pun bisa ditata
lebih baik. Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia
Indonesia dengan meningkatkan kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap
peduli lingkungan (alam, sosial, budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai
perubahan kondisi dan situasi. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan
karakteristik Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, yang menggambarkan

30

manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan
kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam). Gambaran
tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif
upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan
memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi
lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996)

mengemukakan

bahwa

abad

21

menyiratkan

ketidakjelasan terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar


sekali menutupi kejadian yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan
menghormati hak asasi manusia maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak
masalah yang masih harus dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan
makna kehidupan, pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan
kemiskinan yang tidak hanya terkait dengan masalah populasi (pertambahan
penduduk) dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang makin
terbatas. Abad 21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi,
rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap
kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia
memasuki abad 21 dengan sikap optimis.
Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang
mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu: teori Id, Ego, Superego dari Sigmund
Freud (1856-1939) teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980) teori
Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981) teori Gender dari Carol Gilligan
(1982) teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931). Jalur yang bisa
digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan sosialisasi
adalah:
1.
Keluarga
2.
Sekolah
3.
kelompok sebaya
4.
media massa
5.
opini publik
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak
kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.
Harapan untuk dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan perilaku Manusia
Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi bisa mengacu pada kerangka pikir tersebut
(untuk pemahaman, proses dan pembentukan perilaku dalam upaya sosialisasi),
terutama dalam upaya membentuk manusia yang cerdas, terampil, tangguh, mandiri,

31

berdaya saing tinggi tapi juga punya hati nurani, yang membuatnya peduli dan tidak
individualis. Untuk itu perlu dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi
dalam tiga kelompok moralitas. Kelompok pertama menyandarkan perilakunya pada
pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang diterimanya dari
lingkungan. Bagi kelompok ini, keputusan benar salah, baik buruk harus bisa dipahami
secara nyata, bukan sesuatu yang bersifat abstrak. Bentuk hukuman dan
pujian/penghargaan harus dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan mereka,
antara lain taraf kecerdasannya. Penempatan patung-patung polisi lalu lintas di
berbagai kota (Bogor, pinggiran kota Bandung, Surabaya, Padang) adalah contoh
pemahaman "hitam putih" dalam usaha pengawasan perilaku. Kehadiran polisi secara
fisik (terlihat) menjadi penting daripada hanya sekadar penempatan rambu-rambu lalu
lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan pertimbangannya sendiri,
menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu mampu mempertimbangkannya
dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok kedua sudah lebih luas pandangannya,
sehingga pemahaman terhadap norma dalam kehidupan bersama, yang mengacu
pada kehidupan bersama, bisa diharapkan. Kepedulian dan kebutuhan mendapatkan
predikat sebagai warga masyarakat yang baik sudah dimiliki. Kelompok ketiga memiliki
tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya norma dalam
kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman. Pengelompokan
tersebut seharusnya dijadikan patokan dalam mengembangkan aturan berikut
sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber pada acuan hukum yang sama,
tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya sangat perlu memperhatikan
kondisi psikologis masing-masing kelompok, sehingga bisa diterima dan dilaksanakan
dengan baik.
Bagi masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal,
adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut
harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan bisa dipercaya, yang antara lain
bisa dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi
maupun dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang
antara lain merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi
syarat utama bagi tumbuhnya kepercayaan kepada pimpinan negara dan aparat
penegak hukum. Segala bentuk kekecualian akan mengurangi bobot aturan yang
ditetapkan. Apalagi

kalau

figur

yang

seharusnya

menjadi

panutan

ternyata

32

menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama.
Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan
dengan hal tersebut maka penyusunan undang-undang dan peraturan penjelasan
serta kelengkapannya harus disampaikan dalam bentuk komunikasi yang efektif,
sesuai karakteristik masing-masing kelompok.
Untuk bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya
menegakkan kewibawaan pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama,
masyarakat yang seolah baru terbangun dan mulai sadar atas hak-haknya sebagai
individu maupun sebagai warga negara, yang kemudian memunculkan berbagai
bentuk perilaku terkejut harus segera diarahkan dan dibimbing, sehingga reformasi
bisa tetap sesuai dengan jiwanya ketika diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku
beberapa pihak yang saling tunjuk, saling menghujat, saling menghakimi tanpa
mengindahkan prosedur hukum/aturan/tatanan yang berlaku perlu segera diatasi,
sebelum menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola pikir dan tindakan yang
jauh dari kehidupan sadar hukum.
Pemulihan kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan
kondisi dalam negeri, tetapi juga bagi dunia internasional dalam menentukan sikap dan
kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap Indonesia. Beban psikologis ini amat
berat. Persoalannya adalah seberapa jauh pemerintah dan seluruh jajarannya
menyadari hal ini? Apakah masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir
yang lebih luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah
mereka melihat dirinya sebagai bagian dari kepentingan bersama, selaku anggota
masyarakat dan warga negara? Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama
menyelesaikan persoalan ini sebagai kepentingan yang tak bisa ditawar untuk dapat
mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara. Untuk itu sangat perlu
dimasyarakatkan secara luas dan terbuka mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi
bersama agar pemerintah dan masyarakat bisa bahu membahu dalam upaya
penyelesaiannya, yang tentunya harus sangat memperhitungkan karakter masingmasing kelompok, sehingga bentuk dan jalur penyampaiannya bisa disesuaikan dan
kemudian bisa dipahami sebagaimana mestinya.
Hal lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah adalah koordinasi yang baik antara
seluruh aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan yang terkesan kontradiktif
antar departemen harus dihindarkan. Sebelum memberikan pernyataan, baik sebagai
tanggapan maupun rumusan kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan

33

kesepakatan di antara para anggota kabinet dan aparat/jajaran di bawahnya yang


terkait. Dengan demikian masyarakat tidak seperti penonton yang kebingungan, sebab
tidak ada yang bisa dijadikan pegangan secara jelas, yang akibatnya memunculkan
perilaku yang dikembangkan atas interpretasi sendiri. Kondisi ini dapat memunculkan
situasi yang rawan bagi kehidupan bersama, sebab tak ada acuan yang jelas dan tak
ada kepastian yang bisa dipercaya untuk dijadikan pedoman.
Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu
dilakukan secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak
berubah menjadi bentuk perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat
orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain menepuk dada atau menganggap diri paling
benar dan bersih. Kehidupan demokrasi yang sesungguhnya harus dijabarkan secara
operasional di tiap tingkatan kemampuan masyarakat dalam memahaminya, sesuai
karakter kelompok-kelompok yang ada. Pendekatan persuasif dan tidak sekadar
responsif sangat diperlukan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan masyarakat
dalam hal kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa
kebersamaan, bahu membahu, saling isi, saling melengkapi. Tatanan kehidupan
menurut adat dan agama harus jelas posisinya dalam tatanan hukum negara, sehingga
aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa tertampung dengan baik dan tidak
menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan bersama. Aturan yang meliputi
seluruh kehidupan, antara lain dalam ketentuan mengenai tanah adat, kehidupan
beragama,

kehidupan

masyarakat

yang

berlandaskan

bhinneka

tunggal

ika,

kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan keamanan


dalam bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu
ditelaah untuk bisa memenuhi aspirasi masyarakat.

34

C. Kesimpulan
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama
dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras,
yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi),
sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya
mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan
seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi
dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian
meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan
tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan
hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan
yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek
maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai
model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat,
menjadi penting.
Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini
sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara
ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga
kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu
dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding,
saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa
dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan
bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan
menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal,
era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan
tatanan kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik
Indonesia. Perilaku sadar hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad
21. Siapkah kita membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban
pertanyaan ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia
abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness",

35

apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi
bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami
"learned

helplessness"

seharusnya

pemerintah

dan

masyarakat

mampu

menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement
(Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai
pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada
motivasi

pemenuhan

kebutuhan

hidup

yang

mendasar

saja.

Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus
dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih
terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita menempatkan
manusia

sebagai

individu

dengan

segala

keunikannya

sehingga

tidak

memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa
masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa
diatasi dengan "dua K" yaitu kekuatan dan kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka
cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi
barangkali cuma angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin.

36

DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive
Theory. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc
Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., In association with Sigelman, C.K. (1993).
Social Psychology in the 90s (6th Ed.). Pacific Groove, California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Feldman, R.S. (1990): Understanding Psychology (2nd Ed). Mc Graw Hill Publishing
Company.
FOPI (1998): Kerangka Acuan "Curah Pikir" Manusia Indonesia Abad 21 Yang
Berkualitas Tinggi. FOPI. Jakarta, Agustus 1998
Friedman, L.M. (1984). Legal Culture: Legitimacy and Morality. In American Law.
London: W.W. Norton Company.
Golding, M.P. (1975), Philosophy of Law. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Himpsi (1991): Membangun Manusia Tangguh Dalam Era Globalisasi, kumpulan
makalah Kongres V dan Temu Ilmiah ISPSI (sekarang Himpsi), Semarang 4-7
Desember 1991. Himpsi Pusat.
Himpsi (1998): Pokok-Pokok Pemikiran Himpsi tentang Upaya Penegakan Hukum di
Indonesia Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Kepada
Pemerintah, konsep masukan kepada pemerintah. Himpsi Pusat, Agustus 1998.
Lev, D.S. (1990). Hukum dan Politik di Indonesia. Penerjemah, Nirwono dan A.K.
Priyono. Jakarta LP3ES.
Macionis, J.J. (1996): Society, The Basics (3rd Ed). Upper Saddle River, New Jersey.
Prentice Hall, Inc.
Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior Modification (4th Ed.). Englewood, New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Poernomo SS, I (1997): Era Globalisasi, Tantangan atau Ancaman? Makalah
disampaikan pada Acara Seminar Sehari "Kiat-Kiat Mendidik Anak Dalam
Menyongsong Era Globalisasi" diselenggarakan oleh Ikatan Isteri Dokter
Indonesia Cabang Jakarta Barat, Jakarta 6 September 1997.

37

Poernomo SS, I (1998): Saat Tepat Mengajar Anak Hidup Susah. Makalah
disampaikan pada acara Temu Pakar dan Pembaca, diselenggarakan oleh
Majalah Ayahbunda, Jakarta 28 Agustus 1998.
Poespowardojo, S (1998). Kondisi Budaya Dewasa ini dan Implikasinya bagi Dunia
Pendidikan. Makalah disampaikan dalam pertemuan Konsep Pendidikan Tinggi
Katolik di Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta, 16 Januari.
Seran, A. (1997). Hukum dan Moral: Refleksi Etis Atas Paham Mengenai Hukum Yang
Baik. Atma Jaya, Tahun X No. 3, 1-15.
Setiadi, B.N. & Indarwahyanti G, B.K. (1998): Peranan Hukum Dalam Pembaharuan
Pola Perilaku Masyarakat. Makalah disampaikan pada Simposium Kepedulian
Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia, Depok 30 Maret1 April 1998

Anda mungkin juga menyukai