Disusun oleh :
Viranda Tri Susbiyantoro
(1607044002)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
A. Latar Belakang............................................................................................. 3
B. Tinjauan Teoritis............................................................................................ 9
a.Perilaku Manusia Indonesia....................................................................... 9
b.Makna Hukum dalam Pembentukan Perilaku............................................ 12
c. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku dan Proyeksi di Abad
21........................................................................................................... 21
d.Beberapa Pemikiran Tentang Kualitas Manusia Indonesia........................ 25
e.21 Pengembangan Pola Perilaku Manusia Indonesia yang Berkualitas
Tinggi
dalam Masyarakat Abad 21.................................................................... 29
C. Kesimpulan................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 37
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi sebuah mata rantai kehidupan
yang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan dan eksistensi manusia. Ilmu
pengetahuan yang semakin maju menjadi bukti nyata akan pemikiran manusia yang
semakin kompleks. Hasil-hasil pemikiran manusia dalam keilmuan ini dapat dilihat
melalui
komunikasi, kita telah mengenal komputer, laptop, ponsel, i-pad, dan internet, serta
diluncurkannya satelit yang saat ini mengorbit bumi untuk membantu proses transmisi.
Selain itu, di bidang kedokteran kita telah tak asing dengan istilah kemoterapi, kloning,
vaksin, dan USG. Semua kemajuan ilmu pengetahuan itu diciptakan dengan tujuan
membantu manusia dalam menjalani hidupnya. Akan tetapi, perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin maju ini juga diiringi dengan tantangan yang semakin
berat jua. Ilmu pengetahuan yang semakin kompleks dan penemuan dalam berbagai
segi yang semakin mutakhir menjanjikan risiko yang semakin tinggi pula, baik bagi
manusia maupun ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pola pikir manusia telah berkembang begitu pesat. Manusia tak lagi mempercayai
sesuatu berdasarkan mitos belaka, mereka mulai melakukan analisa secara mendalam
dan kritis atas segala sesuatu. Pada masa ini mereka tak hanya berpikir kritis saja, tapi
juga memikirkan dan mempertimbangkan aspek guna terhadap segala sesuatu.
Semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini dapat diteliti melalui berbagai disiplin
ilmutertentu, baik masalah sosial maupun ilmiah. Hal ini dapat dilakukan melalui telaah
berdasarkan berbagai pendekatan,dari pendekatan astronomi, fisika, kimia, sosiologi,
sampai psikologi. Berbagai pendekatan dari berbagai disiplin ilmu ini telah mengalami
spesialisasi studi sehingga satu bidang dapat mengkaji permasalahan di bidangnya
dengan lebih optimal. Akan tetapi spesialisasi studi seperti ini juga menimbulkan
sebuah problema, yakni arogansi disiplin ilmu yang menganggap bidangnya yang
paling
penting,
mengabaikan
eksistensi
ilmu
sebagai
hal
yang
selayaknya
yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di
tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika
tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti
Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup
masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan
dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan
masyarakat dan gaya hidup.
Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah
tertentu. Peristiwa di Banda Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya
di Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya
terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit
membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang
membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka
saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan
menentukan pandangan serta gaya hidup.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga
masyarakat dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka
ragam tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut
pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah
mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar
terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser,
diganti dengan gaya hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai
melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi
mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi
komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan
siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar
yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis
kondisi
tersebut
akan
membawa
manusia
pada
perubahan
peta
kognitif,
lapisan masyarakat dengan bebas tanpa membedakan siapa dia si penerima. Tanpa
mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor
lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran.Pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan terhadap pola kemasyarakatan alienasi adalah suatu kondisi psikologis
seorang individu yang dinafasi oleh kesadaran semu (tentang misteri keabadian
termasuk Tuhan), keberadaan, dan dirinya sendiri sebagai individu serta komunitas.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan cenderung meniru
budaya barat bisa jadi menciptakan sebuah alienasi budaya.Orang merasa asing
dengan budayanya sendiri. Kaum muda tidak lagi at home dengan kebudayaan yang
telah membentuk identitas sosialnya.
Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam
percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari
proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal
batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap
dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label
modern diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana
dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi
memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu
khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang
semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh
garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori,
dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era
globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh.
Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam
kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional
yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga
keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan
transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.
Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan normanorma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang
mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang
lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa
memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam
persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti
gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi.
Kebutuhan ini sangat terasa. Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan melalui
kaca-kaca ruang pamer toko atau distributor benda-benda yang digandrungi
masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal waktu. Orang sibuk
mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan. Apalagi media
massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk dapat mengikutinya, antara lain melalui
iklan, sinetron, acara-acara hiburan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi komunikasi
abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok,
menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak.
Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup
masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan
pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang
diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi
bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa
langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua
sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai
kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal
dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih
luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk
perilaku untuk diamati, dipilih, dan diambil alih anak. Teman dan pesaing orang tua
menjadi bertambah, sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau
penguat pesan-pesan dan nilai yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi
penghambat dan pengganggu penerimaan pesan dan nilai tersebut.
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan
penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara
rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di
luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi
24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola
asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di
luar, padahal ibu dikenal selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap
diharapkan mampu berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada,
siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan
ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya
di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad
21. Nah, kalau ayah dan ibu sama-sama tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus
menjadi pengganti mereka berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak
peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa
perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak
berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga
anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam
tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.
Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad
21. Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak
dalam keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke
generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan
pengabdian sudah berubah menjadi transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan
memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk mengatasi masalah ini dengan
mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) masih memerlukan banyak pengkajian dan
pertimbangan.
Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh
sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok
pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi
dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad
21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling
berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin
ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya
menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya).
Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya.
Kebutuhan untuk "menjadi seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya
bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan
kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa
percaya diri dan menumbuhkan motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar
dapat senantiasa meningkatkan diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi
rintangan, mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan
adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas
bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih
berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya.
menjadi
sangat
penting
untuk
diperhatikan
dalam
proses
pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah
keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu
masyarakat, bangsa dan negara.
B. Tinjauan Teoritis
a. Perilaku Manusia Indonesia
1.
Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku
masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai
bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan
manusia Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan
negara. Kebanggaan menyandang identitas sebagai bangsa dan negara yang
merdeka dan berdaulat penuh mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi
antar berbagai suku bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin
dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada
kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan menghayati agar kesatuan dan
persatuan tidak hanya sekadar simbol, melainkan merasuk dalam kehidupan seharihari.
Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk
tampil sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah
membawa masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung
tidak mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan
sebagainya. Menjadi Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk
bersama oleh masyarakat "seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk
memotivasi masyarakat agar bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas
diri yang baru, dengan tetap mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya.
Perpaduan berbagai ragam budaya pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan
falsafah gotong royong, semangat persatuan dan kesatuan, pembangunan bangsa dan
negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
2.
Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian
memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang
dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai
fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap
pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan
dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah.
Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri
khas kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa
saja untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991)
mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah
diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa
sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai
bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap
serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja
sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan.
Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas
manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran
tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi
miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."
10
yang
tidak
memiliki
kemampuan
untuk
bersaing
tetapi
sangat
11
12
adil
juga
penting
bagi
dipatuhinya
aturan-aturan
dalam
kehidupan
ditegakkannya
hukum,
sehingga
dalam
pelaksanaannya
tidak
terlalu
13
yang
berlaku
hanya
untuk
kalangan
masyarakat
tertentu.
Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh
proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas
yang mendasari perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia,
yaitu:
1.
2.
oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang
diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam
pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus KTP dengan
mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia
kehilangan jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan
memberi uang pelicin" (perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar
14
KTP baru ke rumah, maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi
uang pelicin setiap kali harus mengurus KTP di masa yang akan datang, walaupun
perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang
menghasilkan
reinforcement
sedangkan
menaati
hukum
justru
menghasilkan
punishment.
Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan
konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka
waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya
konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila
pada suatu waktu si Anu akan melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan
ketika ia melakukan hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal
tersebut maka tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah"
dengan "penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan terbentuk
perilaku "berhenti setiap kali melihat lampu merah."
Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku
baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati
orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model
terhadap perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu: penilaian pengamat
tentang kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh
model persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah
menghasilkan konsekuensi positif atau negatif perkiraan pengamat, apakah ia akan
menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku yang
ditunjukkan model.
Contoh: Si Polan belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut
melanggat peraturan kerja yang ada. Namun si Polan mengamati bahwa atasan dan
rekan kerjanya yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau dihukum, malahan dapat
menikmati uang dari hasil pekerjaan sampingan (reinforcement) yang dilakukan pada
saat mangkir kerja. Dalam situasi ini si Polan pun akan cenderung untuk ikut mangkir
kerja dan melakukan pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang
diamatinya. Menurut Bandura (1986) belajar observasional dari model ini telah terbukti
sebagai sarana yang ampuh untuk meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku
dalam masyarakat. Bila persepsi masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan
kedua mekanisme belajar tadi, maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi
atau pemberitahuan dari otoritas yang diakui kewenangannya mengenai:
15
a. perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut
b. konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau
menolak melaksanakan perilaku yang dimaksud.
Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi,
yaitu: hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh
individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut konsekuensi dari dipatuhi atau tidak
dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum
tanpa pengecualian.
Arah pembangunan Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini, yang dikenal
sebagai era Orde Baru, pada hakekatnya adalah pembangunan yang sangat
menekankan pengembangan bidang ekonomi. Dalam konteks ini segala sesuatu
diarahkan agar pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa mengalami
gangguan. Untuk itu harus selalu diupayakan terciptanya stabilitas ekonomi agar dapat
menarik para investor. Stabilitas ekonomi memerlukan dukungan stabilitas politik, yang
kemudian oleh para pejabat negara seringkali diinterpretasikan sebagai perlunya
pendekatan keamanan (security approach). Tanpa terasa, secara bertahap, semakin
banyak kebijakan, keputusan dan kebijaksanaan yang dibuat dengan dalih
mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional, padahal dalam kenyataannya tidak
jarang hal tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan kadang-kadang
bahkan merugikan rakyat kecil. Hal ini antara lain terlihat dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum, seperti pemberian hak
monopoli untuk komoditi tertentu, keputusan-keputusan pengadilan yang dirasakan
kurang adil, misalnya penyelesaian kasus Kedung Ombo dan hak tanah ulayat di Irian
Jaya. Dalam bentuk lain, hal yang sama sering terlihat dalam proses penegakan
hukum ataupun proses pengadilan di mana status, kekuasaan atau uang yang dimiliki
pelanggar hukum ikut mempengaruhi jalannya persidangan maupun keputusan yang
diambil.
Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku
masyarakat yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara, masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh
dalam pembentukan perilaku: budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka
banyak peluang bagi yang berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri
atau melakukan interpretasi subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang
ada, sehingga peraturan yang sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang
16
berbeda, di wilayah yang berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda.
adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan
kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik
alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam
proses tersebut.
Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum
seperti hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.
Apa arti kenyataan itu dilihat dari pendekatan belajar dalam rangka pembentukan
perilaku menurut mekanisme belajar instrumental dan observasional?
Kenyataan bahwa seringkali ada peraturan-peraturan yang bertentangan atau tidak
konsisten satu dengan yang lain akan menimbulkan kebingungan, baik di tingkat
pelaksana maupun pada mereka yang dikenai oleh peraturan tersebut. Padahal untuk
dapat terjadi proses pembentukan perilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh
peraturan tertentu, syarat pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa orang-orang
yang terlibat di dalamnya harus mengerti dengan jelas, apa yang dimaksud oleh
peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, kondisi di mana terdapat kebingungan
jelaslah bukan situasi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku yang
sesuai peraturan.
Adanya penerapan hukum secara berbeda, tergantung pada status dan kekuasaan
orang yang ikut dalam proses penyelesaiannya maupun pada status dan kekuasaan
individu yang dikenai oleh hukum tersebut, menyebabkan konsekuensi dari
hukum/peraturan tersebut tidak dapat dilakukan secara konsisten tanpa pengecualian.
Bila kondisi ini tidak terpenuhi, maka pembentukan perilaku yang dituju oleh hukum
tersebut tidak akan terjadi.
Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan
yang menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai
model bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah
meneladani pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya
peneladanan ini lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan
lebih
sering
terjadi
dalam
hal
memperoleh
perlakuan
yang
berbeda
dan
menguntungkan, sesuai dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya
17
melakukan
protes
dan
usaha
kolektif
untuk
mengubah
keadaan.
Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk
melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila
berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka
sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut
sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang
18
19
tidak terjadi salah tafsir atau keliru interpretasi. Dalam kaitan ini pernyataan pejabat,
penjelasan pemerintah, penetapan kebijakan harus mengacu pada kepentingan segala
lapisan masyarakat, dengan memperhatikan karakteristik masing-masing, sehingga
dapat dipahami dengan baik.
Bagaimana mengubah pola perilaku masyarakat melalui hukum? Seperti telah
diuraikan terdahulu, salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah perilaku
masyarakat ke arah yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip perubahan
perilaku berarti diperlukan hukum yang berisikan batasan perilaku yang diinginkan dan
uraian yang jelas tentang konsekuensi yang akan diterima bila hukum tersebut ditaati
atau dilanggar. Namun, agar sistem hukum yang baru dapat berfungsi secara efektif
diperlukan persyaratan berikut: Sistem hukum tersebut harus dimengerti oleh mereka
yang akan melaksanakannya maupun oleh mereka yang akan dikenai oleh hukum
tersebut. Hal ini berarti perlu dilakukan peningkatan keahlian (memiliki expert power)
dari para penegak hukum sehingga keputusan-keputusan mereka dihargai dan
dihormati
oleh
semua
pihak.
Di
samping
itu
perlu
pula
dilakukan
proyeksi
kita
ke
depan?
Pengalaman
selama
enam
Pelita
20
kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis, partisipatif dan berorientasi
ke depan.
Untuk dapat berkiprah di dunia internasional kita perlu memperoleh kepercayaan
dari dunia internasional. Untuk itu kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada nilainilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan lain
sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang dapat membina kepercayaan dunia
internasional ialah adanya sistem hukum yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas
hukum modern dengan dukungan sistem peradilan yang dapat diandalkan.
Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem,
maupun kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil
bila tidak didukung oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku
pada tingkat individu sebagai anggota masyarakat. Ada dua alternatif keadaan
masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni:
mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu
bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri
dan mampu bersaing di tatanan global. Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga
secara individual, memiliki dua pilihan tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar
observasional di mana unsur keteladanan (referent power) memegang peranan
penting dalam mengubah pola perilaku, maka sikap pemimpin bangsa dan negara ini
menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang dan semakin besar
kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya bagi masa depan
bangsa.
c. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku dan Proyeksi di Abad 21
Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan
era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk
menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang,
dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan
petang. Mereka membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik
demi gaya hidup global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan
kekeluargaan, yang menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara
suami istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat
persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan
kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi
21
pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang
tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya
pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanakkanak yang ceria tak lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang
mengantarnya pada situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan.
Paksaan yang melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini
tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik
terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan
seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan
dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya.
Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir,
memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan,
dan kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh
tingkat
kecerdasan
yang
dimiliki,
temperamen,
bakat,
dan
aspek
genetika.
Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat
merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan
kemampuan mengelola pengalaman.
Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang
berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi
pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal
kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi
pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi).
Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri
bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan
secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang
tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu
memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah
membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya.
Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus
menerus sebelum memutuskan sikap dan perilaku dengan kesadaran terhadap
konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan.
Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya
hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam
22
yang
selanjutnya
bisa
dijadikan
acuan
oleh
anak
dalam
mengembangkan dirinya. Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas untuk
mencapai tujuan, tidak tepat waktu, unjuk kerja seadanya, lebih menuntut fasilitas
daripada tanggung jawab adalah melunturnya etos kerja yang diamati anak dengan
leluasa, di dalam maupun di luar rumah (orang tuanya sendiri maupun orang tua
lainnya). Sikap mau menang sendiri, tidak adanya kepatuhan terhadap hukum,
pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku adalah ketidakdisiplinan pribadi yang
bisa ditangkap anak dari orang tua dan lingkungannya. Tindak kejahatan dengan
kekerasan, baik yang berupa pengrusakan, perampokan, penyiksaan, perkosaan juga
pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun penyebabnya mungkin sepele,
adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa menjadi referensi dalam
menjalani kehidupannya. Kesenangan berlebihan terhadap barang-barang simbol
teknologi canggih dan kemapanan serta kenyamanan hidup sebagai kecenderungan
hidup materialistik bisa dijadikan dasar pola pembentukan perilakunya. Penggunaan
berlebih terhadap produk teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi lingkungan
yang bisa dikatakan sebagai kecenderungan pendewaan teknologi adalah referensi
lain yang sewaktu-waktu siap ditampilkan anak. Meningkatnya frekuensi dan intensitas
perkelahian antar kelompok remaja dan dewasa muda adalah situasi lain yang diamati
anak. Mereka melihat
23
individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih
antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan
dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup
bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya
fungsi utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar
rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus
menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya
pembentukan hati nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang
tangguh, mandiri, tapi juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan
luwes. Apakah orang tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa
masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi
penonton dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di
masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak
agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti?
Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu
menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi
permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin
mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai
keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak.
Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara
umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan
dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan
ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang
optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama
mendapatkan
asuhan
dari
lingkungannya,
diharapkan
anak
akan
mampu
24
impian orang tua? Bahagiakah anak dengan yang diperoleh dan dimilikinya?
Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang diangankannya sendiri, yang mungkin sama
dengan harapan orang tua dan lingkungan pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu
baru akan tampak nanti, ketika anak sudah menjadi dewasa.
Latar belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola
asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan berdasarkan
pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua masih berstatus kanakkanak, yang menerima pendidikan dari orang tuanya. Pengalaman masa lalu ini kerap
kali cukup mewarnai pola asuhan dan pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman
memang selalu ada gunanya. Akan tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan
juga sangat penting, karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke
masa depan. Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan
asuhan orang tua di masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi,
terutama
dalam
rangka
mengembangkan
empati
(penghayatan,
kemampuan
merabarasakan dari sudut pandang atau posisi orang lain) agar komunikasinya bisa
berjalan seperti yang diharapkan. Terapan pengalaman masa lalu ayah ibu, ketika
dididik dan diasuh orang tuanya, perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi
perkembangan jaman. Tanpa penyesuaian, pola asuh dan pendidikan yang dilakukan
akan cenderung menyulitkan anak dalam perkembangannya, sehingga iapun akan
tumbuh menjadi sosok pribadi yang sukar menemukan konsep diri, sulit menyesuaikan
diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan diri.
Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan
pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21
seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak
kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan
menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan
kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan
sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan
itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.
Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun
sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa
menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang
yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari,
bahwa kehidupan terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah.
25
Baru
yang
memfokuskan
pembangunan
di
bidang
ekonomi,
terlihat
26
kemungkinan
sebagai
berikut:
terjadi
peningkatan
interaksi,
27
yang
menekankan
analisis
kebutuhan
individu
dan
masyarakat,
28
29
30
manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan
kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam). Gambaran
tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif
upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan
memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi
lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996)
mengemukakan
bahwa
abad
21
menyiratkan
31
berdaya saing tinggi tapi juga punya hati nurani, yang membuatnya peduli dan tidak
individualis. Untuk itu perlu dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi
dalam tiga kelompok moralitas. Kelompok pertama menyandarkan perilakunya pada
pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang diterimanya dari
lingkungan. Bagi kelompok ini, keputusan benar salah, baik buruk harus bisa dipahami
secara nyata, bukan sesuatu yang bersifat abstrak. Bentuk hukuman dan
pujian/penghargaan harus dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan mereka,
antara lain taraf kecerdasannya. Penempatan patung-patung polisi lalu lintas di
berbagai kota (Bogor, pinggiran kota Bandung, Surabaya, Padang) adalah contoh
pemahaman "hitam putih" dalam usaha pengawasan perilaku. Kehadiran polisi secara
fisik (terlihat) menjadi penting daripada hanya sekadar penempatan rambu-rambu lalu
lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan pertimbangannya sendiri,
menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu mampu mempertimbangkannya
dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok kedua sudah lebih luas pandangannya,
sehingga pemahaman terhadap norma dalam kehidupan bersama, yang mengacu
pada kehidupan bersama, bisa diharapkan. Kepedulian dan kebutuhan mendapatkan
predikat sebagai warga masyarakat yang baik sudah dimiliki. Kelompok ketiga memiliki
tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya norma dalam
kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman. Pengelompokan
tersebut seharusnya dijadikan patokan dalam mengembangkan aturan berikut
sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber pada acuan hukum yang sama,
tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya sangat perlu memperhatikan
kondisi psikologis masing-masing kelompok, sehingga bisa diterima dan dilaksanakan
dengan baik.
Bagi masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal,
adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut
harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan bisa dipercaya, yang antara lain
bisa dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi
maupun dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang
antara lain merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi
syarat utama bagi tumbuhnya kepercayaan kepada pimpinan negara dan aparat
penegak hukum. Segala bentuk kekecualian akan mengurangi bobot aturan yang
ditetapkan. Apalagi
kalau
figur
yang
seharusnya
menjadi
panutan
ternyata
32
menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama.
Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan
dengan hal tersebut maka penyusunan undang-undang dan peraturan penjelasan
serta kelengkapannya harus disampaikan dalam bentuk komunikasi yang efektif,
sesuai karakteristik masing-masing kelompok.
Untuk bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya
menegakkan kewibawaan pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama,
masyarakat yang seolah baru terbangun dan mulai sadar atas hak-haknya sebagai
individu maupun sebagai warga negara, yang kemudian memunculkan berbagai
bentuk perilaku terkejut harus segera diarahkan dan dibimbing, sehingga reformasi
bisa tetap sesuai dengan jiwanya ketika diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku
beberapa pihak yang saling tunjuk, saling menghujat, saling menghakimi tanpa
mengindahkan prosedur hukum/aturan/tatanan yang berlaku perlu segera diatasi,
sebelum menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola pikir dan tindakan yang
jauh dari kehidupan sadar hukum.
Pemulihan kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan
kondisi dalam negeri, tetapi juga bagi dunia internasional dalam menentukan sikap dan
kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap Indonesia. Beban psikologis ini amat
berat. Persoalannya adalah seberapa jauh pemerintah dan seluruh jajarannya
menyadari hal ini? Apakah masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir
yang lebih luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah
mereka melihat dirinya sebagai bagian dari kepentingan bersama, selaku anggota
masyarakat dan warga negara? Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama
menyelesaikan persoalan ini sebagai kepentingan yang tak bisa ditawar untuk dapat
mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara. Untuk itu sangat perlu
dimasyarakatkan secara luas dan terbuka mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi
bersama agar pemerintah dan masyarakat bisa bahu membahu dalam upaya
penyelesaiannya, yang tentunya harus sangat memperhitungkan karakter masingmasing kelompok, sehingga bentuk dan jalur penyampaiannya bisa disesuaikan dan
kemudian bisa dipahami sebagaimana mestinya.
Hal lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah adalah koordinasi yang baik antara
seluruh aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan yang terkesan kontradiktif
antar departemen harus dihindarkan. Sebelum memberikan pernyataan, baik sebagai
tanggapan maupun rumusan kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan
33
kehidupan
masyarakat
yang
berlandaskan
bhinneka
tunggal
ika,
34
C. Kesimpulan
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama
dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras,
yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi),
sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya
mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan
seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi
dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian
meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan
tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan
hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan
yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek
maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai
model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat,
menjadi penting.
Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini
sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara
ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga
kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu
dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding,
saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa
dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan
bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan
menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal,
era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan
tatanan kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik
Indonesia. Perilaku sadar hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad
21. Siapkah kita membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban
pertanyaan ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia
abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness",
35
apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi
bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami
"learned
helplessness"
seharusnya
pemerintah
dan
masyarakat
mampu
menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement
(Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai
pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada
motivasi
pemenuhan
kebutuhan
hidup
yang
mendasar
saja.
Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus
dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih
terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita menempatkan
manusia
sebagai
individu
dengan
segala
keunikannya
sehingga
tidak
memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa
masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa
diatasi dengan "dua K" yaitu kekuatan dan kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka
cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi
barangkali cuma angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin.
36
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive
Theory. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc
Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., In association with Sigelman, C.K. (1993).
Social Psychology in the 90s (6th Ed.). Pacific Groove, California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Feldman, R.S. (1990): Understanding Psychology (2nd Ed). Mc Graw Hill Publishing
Company.
FOPI (1998): Kerangka Acuan "Curah Pikir" Manusia Indonesia Abad 21 Yang
Berkualitas Tinggi. FOPI. Jakarta, Agustus 1998
Friedman, L.M. (1984). Legal Culture: Legitimacy and Morality. In American Law.
London: W.W. Norton Company.
Golding, M.P. (1975), Philosophy of Law. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Himpsi (1991): Membangun Manusia Tangguh Dalam Era Globalisasi, kumpulan
makalah Kongres V dan Temu Ilmiah ISPSI (sekarang Himpsi), Semarang 4-7
Desember 1991. Himpsi Pusat.
Himpsi (1998): Pokok-Pokok Pemikiran Himpsi tentang Upaya Penegakan Hukum di
Indonesia Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Kepada
Pemerintah, konsep masukan kepada pemerintah. Himpsi Pusat, Agustus 1998.
Lev, D.S. (1990). Hukum dan Politik di Indonesia. Penerjemah, Nirwono dan A.K.
Priyono. Jakarta LP3ES.
Macionis, J.J. (1996): Society, The Basics (3rd Ed). Upper Saddle River, New Jersey.
Prentice Hall, Inc.
Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior Modification (4th Ed.). Englewood, New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Poernomo SS, I (1997): Era Globalisasi, Tantangan atau Ancaman? Makalah
disampaikan pada Acara Seminar Sehari "Kiat-Kiat Mendidik Anak Dalam
Menyongsong Era Globalisasi" diselenggarakan oleh Ikatan Isteri Dokter
Indonesia Cabang Jakarta Barat, Jakarta 6 September 1997.
37
Poernomo SS, I (1998): Saat Tepat Mengajar Anak Hidup Susah. Makalah
disampaikan pada acara Temu Pakar dan Pembaca, diselenggarakan oleh
Majalah Ayahbunda, Jakarta 28 Agustus 1998.
Poespowardojo, S (1998). Kondisi Budaya Dewasa ini dan Implikasinya bagi Dunia
Pendidikan. Makalah disampaikan dalam pertemuan Konsep Pendidikan Tinggi
Katolik di Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta, 16 Januari.
Seran, A. (1997). Hukum dan Moral: Refleksi Etis Atas Paham Mengenai Hukum Yang
Baik. Atma Jaya, Tahun X No. 3, 1-15.
Setiadi, B.N. & Indarwahyanti G, B.K. (1998): Peranan Hukum Dalam Pembaharuan
Pola Perilaku Masyarakat. Makalah disampaikan pada Simposium Kepedulian
Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia, Depok 30 Maret1 April 1998