Anda di halaman 1dari 22

BAB

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being
1.

Pengertian Subjective Well-Being


Kebahagiaan saat ini merupakan topik yang cukup hangat

dibicarakan para ahli psikologi dengan label kesejahteraan subjektif


(happiness) (Diener dan Diener, 2003). Istilah kesejahteraan subjektif
menurut Diener merupakan istilah ilmiah dari kebahagiaan untuk
menghindari kerancuan, karena kebahagiaan dapat bermakna ganda
(Diener, 2000).
Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well-being dan
kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective wellbeing bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa
keinginan berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, subjective
well-being

merupakan

sebuah

penilaian

secara

menyeluruh

dari

kehidupan seseorang yang merujuk pada berbagai macam kriteria. Arti


ketiga dari subjective well-being jika digunakan dalam percakapan seharihari yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif.
Merujuk pada pendapat Campbell (dalam Diener, 2009) bahwa subjective
well-being terletak pada pengalaman setiap individu yang merupakan
pengukuran positif dan secara khas mencakup pada penilaian dari seluruh
aspek kehidupan seseorang.

16

17

Compton (2005), berpendapat bahwa subjective well-being terbagi


dalam

dua

Kebahagiaan

variabel
berkaitan

utama:

kebahagiaan

dengan

keadaan

dan

kepuasan

emosional

individu

hidup.
dan

bagaimana individu merasakan diri dan dunianya. Kepuasan hidup


cenderung disebutkan sebagai penilaian global tentang kemampuan
individu menerima hidupnya.
Menurut Pavot dan Diener dalam Linley dan Joseph (2004)
subjective well-being mewakili penilaian seseorang terhadap diri mereka
sendiri, dan penilaian tersebut dapat berdasarkan kepada respon kognitif
(teori) dan emosional. Penilaian seperti itu adalah informasi pokok dalam
menentukan kualitas hidup dan kepuasan (well-being) seseorang secara
keseluruhan, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan kualitas hidup yang
baik jika elemen dasar dari martabat dan kebebasan manusia tidak ada.
Diener, Suh, & Oishi dalam Eid dan Larsen (2008), menjelaskan
bahwa individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika
mengalami kepuasan hidup, sering merasakan kegembiraan, dan jarang
merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau
kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki subjective well-being
rendah jika tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit
kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negatif
seperti kemarahan atau kecemasan.

18

Penelitian tentang kesejahteraan subjektif (subjective well-being)


dalam jurnal-jurnal yang terbit kemudian tidak selalu konsisten dengan
istilah kesejahteraan subjektif. Istilah bahagia (happy) dan kebahagiaan
(happiness) masih sering dipakai dalam banyak penelitian (Myers, 2003).
Dalam psikologi positif kesejahteraan subjektif menjadi salah satu pusat
perhatian, karena kesejahteraan merupakan aspek positif individu.
Menurut Diener (2000) kesejahteraan subjektif dapat didefinisikan sebagai
evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan. Evaluasi kognitif orang
yang bahagia berupa kepuasan hidup yang tinggi, evaluasi efektifnya
adalah banyaknya afek positif dan sedikitnya afek negatif yang dirasakan
(Diener et al., 1999).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman
hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan
merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis.
2.

Komponen-Komponen Subjective Well-Being


Diener dan Scollon (2003) menyebut dua komponen utama

kesejahteraan subjektif, yaitu kepuasan hidup dan afek. Uraian di bawah


ini akan membahas masing-masing komponen ditinjau dari pandangan
ahli psikologi.
a. Afek
Perasaan (feeling) dan emosi (emotion) merupakan bagian integral
dari pengalaman manusia. Istilah perasaan mengarah pada macam-

19

macam emosi dalam aktivitas keseharian (Diener, 2000). Selanjutnya


Tellegan et al. (1988) menyatakan bahwa setiap pengalaman emosional
akan berkaitan dengan aspek afektif atau feeling-tone, yang dapat
bervariasi antara sangat menyenangkan sampai dengan sangat tidak
menyenangkan. Afek dengan demikian berkaitan erat dengan emosi.
Pengaruh emosi akan dapat dilihat melalui parameter fisiologis, gerak
mental atau observasi perilaku (Cacioppo et al., 1999) dan ekspresi wajah
(Prawitasari, 2000).
Selanjutnya Chwalisz et al. (1998) menemukan bahwa orang yang
mengalami luka berat atau mengalami trauma berat untuk beberapa saat
dirinya akan didominasi oleh afek negatif. Dalam waktu beberapa minggu
afek akan kembali ke posisi semula. Fujita, et al. (1991) menemukan
bahwa intensitas afek untuk pria dan wanita berbeda.
Lebih jauh lagi Suh et al. (1998) dan Cousin (1989) menemukan
bahwa emosi seseorang sangat dipengaruhi budaya dimana dia tinggal.
Berkaitan dengan afek maka sering muncul istilah mood (Diener et al.,
1999). Dalam istilah mood tercakup pengertian yang lebih khusus, yakni
suatu kondisi perasaan yang berulang-ulang tetapi intensitas yang bisa
dikatakan masih ringan. Afek dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada
atau yang dianut. Afek orang beragama akan dipengaruhi oleh nilai-nilai
agamanya. Menurut Diener (2000) afek adalah gabungan mood dan
emosi.

20

Menurut Myers (2003) afek dapat dibagi dua, afek positif dan afek
negatif. Afek positif menunjuk pada pengertian bahwa seseorang merasa
bersemangat, aktif, dan waspada. Afek positif yang tinggi ditandai oleh
energi yang tinggi, penuh konsentrasi dan kenyamanan; sedangkan afek
positif yang rendah ditandai oleh kesedihan dan keletihan (Tellegen et al.,
1988).

Manusia

umumnya

selalu

mengalami

afek

positif

dan

mempertahankannya dalam waktu yang lama. Usaha-usaha yang


dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya ditujukan untuk
mendapatkan rasa senang dan mempertahankannya (Egloff, et al., 2003).
Penelitian Costa dan McCrae (1980) menyimpulkan bahwa dua
kecendrungan

perilaku

manusia,

yakni

kecepatan

dan

kekuatan,

berhubungan dengan afek positif dan tidak berhubungan dengan afek


negatif. Tellegen et al. (1988) menyebut sepuluh kata sifat yang memiliki
daya ungkap terhadap afek positif. Sepuluh macam kata sifat adalah
attentive (penuh perhatian), interested (berminat), alert (siaga atau
waspada),

excited

(bergairah),

enthusiastic

(antusias),

inspired

(terinspirasi), pround (bangga), strong (kuat), active (aktif), dan determined


(teguh pendirian).
Afek negatif menunjuk pada pengertian adanya ketegangan dan
ketidaknyamanan sebagai akibat dari macam-macam mood yang tidak
mengenakkan seperti marah, direndahkan, tidak disukai, rasa bersalah,
takut dan gelisah (Tellegen et al., 1988).

21

Pendapat serupa dikemukakan oleh Costa dan McCrae (1980)


bahwa emosionalitas, kemarahan dan lemahnya kontrol berhubungan
dengan afek negatif yang tinggi. Kata-kata sifat untuk mengetahui afek
negatif seseorang adalah: distresed (tegang), upset (kecewa), guilty (rasa
bersalah,

scared

(ngeri),

hostile

(bermusuhan),

irritable

(mudah

tersinggung), shamed (malu), jittery (gugup), nervous (gelisah) dan afraid


(takut) (Tellegen et al., 1988).
Menurut Costa dan McCrae (1980), afek positif dan afek negatif
saling berdiri sendiri dalam mempengaruhi kebahagiaan seseorang.
Sepuluh kata sifat yang menunjukkan afek positif dan sepuluh kata sifat
yang menunjukan afek negatif tersebut dimodifikasi seperlunya dalam
penelitian ini. Tujuannya adalah agar lebih dipahami subjek dan agar lebih
mengungkapkan afeksinya.
b. Kepuasan Hidup
Menurut Sheldon dan Houser-Marko (2001) kepuasan hidup akan
tercapai kalau terdapat kesesuaian antara apa yang dicita-citakan dengan
kenyataan. Kesesuaian ini dapat menyangkut prestasi atau demensi
kehidupan yang lain. Seperti kepuasan terhadap keluarga, kepuasan
terhadap sekolah dan kepuasan terhadap kawan. Kepuasan hidup ini
dicerminkan dengan optimisme diri yang dimiliki oleh individu (Seligman,
2002).
Kepuasan hidup menurut Diener et al. (1999) adalah kemampuan
seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya disertai dengan

22

kegembiraan. Kepuasan merupakan hasil dari perbandingan antara


segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan keinginan. Individu
yang dapat menyesuaikan diri dan memiliki kepribadian yang terintegrasi
dengan baik cenderung untuk merasa lebih puas dengan kehidupannya.
Csikszentmihalyi (1999) menyatakan bahwa semakin banyak
aktivitas positif yang dilakukan oleh seseorang, makin besar pulalah
kepuasan hidupnya. Selain kesehatan fisik seseorang haruslah memiliki
kesehatan mental yang baik untuk dapat menikmati pengalamanpengalamannya.
Sekelompok ahli menyatakan bahwa kepuasan hidup sangat
berkaitan erat dengan emosi seseorang. Ahli lain cenderung mengaitkan
dengan aspek kognitif. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya
perbedaan pendapat di kalangan para ahli psikologi mengenai kepuasan
hidup.
Dalam penelitian ini kepuasan hidup diartikan sebagai evaluasi
kognitif individu dalam menikmati pengalaman-pengalamannya di masa
lalu dan sekarang. Individu yang puas memiliki penilaian bahwa apa yang
sudah dicapai atau diperolehnya sudah sesuai dengan harapan atau citacitanya dan memandang secara positif kehidupannya di masa yang akan
datang.
3.

Faktor Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being


Penelitian-penelitian

kesejahteraan

subjektif

tentang

dapat

faktor

dikelompokkan

yang

mempengaruhi

menjadi dua: faktor

23

eksternal dan internal. Penghasilan, kesehatan, bentuk tubuh, dan faktor


demografis (usia, jenis kelamin dan pendidikan) merupakan faktor
eksternal. Temperamen, nilai-nilai hidup yang ada pada diri manusia dan
kepribadian merupakan faktor internal.
a. Penghasilan
Daerah
berpengaruh

bottom-up
besar

yang

adalah

sering

dieksplorasi

kekayaan.

Pada

dan

awalnya,

dipercaya
banyak

pemerintahan mengira bahwa kesejahteraan subjektif akan meningkat


dengan meningkatnya pendapatan (materi). Perkiraan ini membuat
banyak negara, berusaha keras meningkatkan kepemilikan materi.
Kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian ternyata tidak demikian
(Boven et al., 2003).
Orang Amerika sekarang memperoleh dolar dua kali lipat
dibandingkan tahun 1957. Individu yang menyatakan bahagia ternyata
turun, dari 35% ke 29%. Depresi meningkat menjadi sepuluh kali lipat,
bunuh diri di kalangan remaja menjadi tiga kali lipat (Myers, 2000). Hal ini
merupakan salah satu contoh dari banyak penelitian yang pernah
dilakukan. Hasil penelitian antar negara nampaknya menunjukkan hal
yang serupa. Sebagai contoh, Jerman dan Jepang yang lebih kaya dari
Irlandia, kesejahteraan subjektif rakyatnya di bawah Irlandia. Begitu pula
Nigeria, kesejahteraan subjektif penduduknya melebihi Jerman (Myers,
2003; Diener et al., 1985). Memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan
tidak berarti membuat orang lebih bahagia.

24

Penelitian terhadap remaja, yang miskin, kelas menengah atas dan


kelas atas menunjukkan bahwa mereka yang miskin menunjukkan
kesejahteraan subjektif yang tinggi. Pengukuran dilakukan beberapa kali
dalam sehari selama tiga tahun (Csikszentmhalyi, 1999). Orang-orang
yang sangat kaya (100 orang yang terkaya di Amerika) yang survei
majalah Forbes, ternyata hanya sedikit lebih tinggi kesejahteraan
subjektifnya dibandingkan dengan rata-rata orang Amerika. Mereka yang
meningkat penghasilannya lebih dari periode sepuluh tahun, ternyata tidak
lebih bahagia dari pada yang penghasilannya tetap (Argyle, 2001).
Kesimpulan dari berbagai penelitian tersebut adalah peningkatan
penghasilan dalam taraf tertentu mampu meningkatkan kesejahteraan
subjektif manusia. Ambang batas tersebut apabila telah terlampaui maka
pengaruh penghasilan terhadap kebahagiaan akan surut.
b. Usia
Usia merupakan faktor yang diperkirakan turut mempengaruhi
keadaan kesejahteraan subjektif individu. Penelitian Converse dan
Robinson (dalam Diener et al., 1999) yang membandingkan antara siswasiswa usia 38 sekolah (6-17 tahun) dengan mahasiswa (di atas 17 tahun)
menunjukkan bahwa siswa-siswa sekolah mempunyai ketidakpuasan
yang lebih besar dibanding orang dewasa. Penelitian Diener et al. (1985)
juga menemukan bahwa orang-orang yang lebih tua mempunyai
intensitas emosi (yang ditunjukkan oleh afek positif dan negatif) lebih
rendah dibandingkan usia remaja atau dewasa muda. Berdasarkan uraian

25

di atas dapat disimpulkan, bahwa usia mempunyai hubungan dengan


kesejahteraan subjektif.
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan atau pengetahuan materi pelajaran tertentu
merupakan salah satu faktor penentu setatus sosial yang akan
mempengaruhi kesejahteraan subjektif individu. Bahkan skor dalam
pelajaran diasumsikan merupakan kriteria status sosial bagi siswa-siswa
sekolahan. Suh et al. (1998) menyatakan bahwa pada budaya
individualistik mahasiswa yang mempunyai pengetahuan

yang lebih

banyak (grade) menunjukkan kepuasan hidup yang lebih tinggi. Crocker et


al. (2003) menemukan bahwa skor (grade) rendah dalam beberapa mata
pelajaran di universitas berhubungan dengan afek negatif. Uraian di atas
menerangkan bahwa nilai mata pelajaran (grade) berhubungan positif
dengan afek dan kepuasan individu.
d. Budaya
Individu yang tinggal dalam budaya kolektivistik mempunyai
pandangan yang berbeda dengan budaya individualistik tentang apa yang
membuat orang bahagia (Suh et al., 1998). Secara lebih rinci, Suh et al.
(1998) dan Diener et al. (2001) menjelaskan, bahwa kolektivistik, orang
cenderung menilai kebahagiaan sesuai dengan norma. Ia cenderung
mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kebahagiaan orang banyak
(Diener, 2000). Individu yang tinggal dalam budaya individualistik, afek
dan self esteem lebih berpengaruh terhadap kepuasan hidup. Indonesia

26

merupakan masyarakat majemuk. Negara Indonesia dalam berbagai


penelitian sering digolongkan ke dalam budaya kolektivistik. Gaya hidup
individu yang berbeda memungkinkan dalam satu negara terdapat budaya
kolektivistik dan individualistik (Harry Triandis, komunikasi pribadi, email,
2001).
Schimmack et al. (2002) meneliti kepuasan hidup di negara-negara
kolektivistik dan individualistik. Subjek penelitian berasal dari dua negara
dengan budaya individualistik (Amerika dan Jerman) dan tiga negara
dengan budaya kolektivistik (Gana, Jepang, dan Mexico). Extraversion
dan Neuroticism mempengaruhi kesimbangan hedonik terhadap dua
kelompok budaya tersebut merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap
kepuasan hidup untuk budaya individualistik. Mereka menemukan bahwa
pengaruh

kepribadian

terhadap

kepuasan

hidup

dimediasi

oleh

keseimbangan hedonik.
e. Agama
Sebenarnya penelitian agama dalam psikologi cukup penting
(McCrae, 1999). APA mempunyai devisi khusus yang berkaitan dengan
agama. 40 penelitian agama dan kesejahteraan subjektif untuk agamaagama tertentu pernah dilakukan (Diener et al., 1999). Myers (in press)
menyatakan bahwa agama-agama yang bersifat komunal seperti Nasrani,
Yahudi dan Islam berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif
individu. Ketiga agama ini mempunyai kegiatan keagamaan yang
mempunyai kesamaan. Mereka mempunyai tempat ibadah tertentu dan

27

pada saat-saat tertentu melakukan acara-acara yang dihadiri oleh


pemeluknya. Beberapa ajaran lain yang berasal dari agama-agama
tersebut yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif
adalah kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati, adanya surga dan
takdir (segala sesuatu yang telah ditentukan terhadap seseorang
mempunyai arti positif bagi individu tersebut) (Diener et al., 1999).
Agama-agam ini mempunyai kitab suci yang dianggap sebagai
petunjuk untuk hidup secara positif. Nilai-nilai ajaran agama yang
terkandung dalam berbagai kitab suci menurut Seligman (1999)
berpotensi

untuk

meningkatkan

kesejahteraan

subjektif,

karena

mengandung nilai hidup yang positif. Benson (2000) salah seorang


peneliti tentang efektivitas doa menyatakan bahwa ketika seseorang
terlibat secara mendalam dengan doa yang diulang-ulang (repertitive
prayer) terjadi proses respon relaksasi dalam diri individu. Doa dalam
penelitian psikologis juga sering dimasukkan ke dalam variabel koping
(Abraido-Lanza, et al., 2004; Diponegoro dan Thalib, 2001).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dapat di
simpulkan bahwa sejak dahulu memang telah ada ajaran-ajaran agama
yang mampu untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan subjektif
individu. Beberapa dekade yang lewat terjadi pemisahan antara agama
dan penyembuhan. Saat ini jurang pemisah tersebut nampaknya mulai
mengecil. Sejak tahun 1995 sekolah kedokteran di Harvard setiap tahun
menyerap daya tarik 1000 hingga 2000 pakar kesehatan dalam konferensi

28

mereka mengenai spiritualitas dan kesehatan. Universitas Duke telah


membuka pusat studi agama atau spiritualitas dan kesehatan. Delapan
puluh enam dari 126 sekolah kedokteran di Amerika pada tahun 2002
memberikan pelajaran atau mata kuliah mengenai hubungan agama dan
kesehatan (Koening, dalam Myers, in press).
Suatu survei menemukan bahwa 99 persen dokter keluarga setuju
bahwa doa dan pengamalan ajaran agama mampu meningkatkan
perawatan medis. Penyatuan agama dan kesehatan nampak dalam bukubuku yang terbit akhir-akhir ini seperti Healing Factor, The Healing Power
of Faith, Religion and Health dan Faith and Health. Saat ini muncul
pertanyaan: Apakah agama memang berhubungan dengan kesejahteraan
subjektif? Studi yang dilakukan

McCullough et al. (2000) menemukan

bahwa di antara kaum lelaki hubungan aktivitas keagamaan dan umur


panjang berkorelasi kuat, dan bahkan lebih kuat pada wanita. Oman dan
Reed (1998) yang meneliti 5286 orang Kalifornia selama lebih dari 28
tahun menemukan 42 bahwa individu yang sering menghadiri upacara
peribadatan mempunyai angka kematian kurang dari 36 persen
dibandingkan mereka yang tidak sering hadir.
Dalam penelitian ini umur, jenis kelamin, suku, dan pendidikan
dikontrol. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan
agama

tertentu

nampaknya

secara

umum

berpengaruh

terhadap

kesehatan individu. Myers (2004) mencoba menganalisa mengapa


individu yang aktif melakukan kegiatan keagamaan hidup lebih sehat dan

29

memiliki umur lebih panjang. Pertama individu yang aktif melakukan


aktivitas keagamaan mempunyai gaya hidup yang lebih sehat. Sebagai
contoh mereka lebih sedikit merokok dan minum minuman keras. Individu
yang memeluk agama tertentu dan menerapkan diet tertentu (menjauhi
makan yang berbahaya) sebagai bagian kegiatan keagamaannya memiliki
umur yang lebih panjang dari yang tidak. Bahkan mereka yang tinggal di
Kibbutz (bentuk komunitas Israel) mempunyai kemungkinan umur lebih
panjang dari pada mereka yang tinggal di luar Kibbutz, setelah perilaku
yang tidak sehat dikontrol.
Penelitian-penelitian ini menunjukkan gaya hidup yang sehat
secara ilmiah dan agama akan mempengaruhi kesehatan individu.
Dukungan sosial merupakan faktor lain yang mampu menjelaskan faktor
keimanan. Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam bukan merupakan agama
yang bersifat individual, tetapi lebih bersifat komunal yang mampu
memenuhi kebutuhan individu untuk menjadi bagian dari komunitas
tertentu.
Lebih dari 150.000 komunitas keagamaan di Amerika Utara dan
jutaan komunitas lainnya di seluruh dunia menyediakan jaringan
dukungan untuk anggota mereka yang aktif tatkala ditimpa musibah. Lebih
jauh lagi, agama mendorong prediktor lain yang mampu membuat umur
lebih panjang dan hidup lebih sehat, yaitu perkawinan. Sebagai contoh
adalah apa yang terjadi pada komunitas agama Kibbutz Israel. Perceraian
dapat

dikatakan

hampir

tidak

pernah

terjadi.

Faktor

lain

yang

30

mempengaruhi umur panjang dan kesejahteraan yang muncul dari


kegiatan keagamaan adalah perlindungan terhadap stress dan pandangan
hidup duniawi yang khas.
Pandangan hidup tersebut adalah rasa penuh harap, tidak mudah
putus asa, harapan masa depan yang baik di dunia dan hari kemudian,
perasaan diterima yang tinggi, dan rasa relaks dan tentram tatkala berdoa,
dan beribadah kepada Tuhan. Variabel ini dianggap menolong untuk
menerangkan temuan-temuan yang lebih mutakhir mengenai fungsi
kekebalan tubuh yang lebih baik individu yang aktif melakukan kegiatan
keagamaan dan mengapa mereka lebih sedikit mengunjungi rumah sakit
daripada yang tidak aktif (Koening et al., 1999).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan

maka dapat

disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan


subjektif ada beberapa macam. Kesemuanya dalam taraf tertentu
berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif individu. Pembahasan yang
telah dikemukakan juga menunjukkan bahwa memang ada sejumlah
faktor psikologis yang mampu menjelaskan mengapa mereka yang aktif
beribadah mempunyai hidup yang lebih awet dan sejahtera. Dalam
penelitian ini secara khusus akan dibahas pengaruh pengetahuan ajaran
Islam dan nilai ajaran Islam terhadap kesejahteraan subjektif.

31

B. Perilaku Bersyukur
1.

Pengertian Perilaku Bersyukur


Menurut Watkins et al (2003) akhir-akhir ini, para psikolog semakin

tertarik untuk meneliti hal-hal yang baik dalam diri manusia, salah satunya
adalah syukur. Syukur dahulu merupakan kebaikan yang diabaikan dalam
psikologi dan dalam ilmu-ilmu sosial yang lain. Syukur dahulu hanya
dibicarakan oleh kaum agamawan yang perlunya menekankan perilaku
bersyukur. Saat ini, ada beberapa alasan mengapa syukur perlu diteliti,
penelitian yang dilakukan oleh (Gallup, 1998) menunjukkan bahwa syukur
itu dianggap penting oleh manusia, dan syukur nampaknya merupakan
sifat yang dihargai, dalam studi mutakhir dilakukan penelitian terhadap
800 kata sifat yang dianggap penting atau paling disukai.
Syukur dikonsepsi sebagai emosi, sikap, moral, kebiasaan,
kepribadian dan strategi coping. Kata syukur berasal dari bahasa latin
gratia yang berarti rahmat, nikmat, semuanya berasal dari turunan katakata latin yang berakar dari kata-kata yang berkaitan dengan perilaku
kebaikan,

kedermawanan,

keindahan,

pemberian

dan

penerimaan

(Emmons, 2003).
Secara subjektif

syukur merupakan perasaan kagum, rasa

terimakasih, penghargaan terhadap manfaat yang diterima, ini dapat


ditunjukkan secara interpersonal dan atau transpersonal, akan tetapi tidak
dihubungkan dengan diri sendiri, walaupun banyak pengalaman yang
berbeda-beda dapat memunculkan rasa syukur, biasanya karena

32

memperoleh manfaat dari orang lain, orang biasanya merasa bersyukur


ketika orang lain memberi dia keuntungan (Emmons, 2003).
Para psikolog berpendapat bahwa, syukur merupakan kekuatan
manusia,

syukur dapat meningkatkan

kesejahteraan

individu

dan

kesejahteraan antar individu, serta bermanfaat untuk masyarakat secara


keseluruhan. Latar belakang teori, secara historis, syukur dianggap suatu
kebaikan, yang dapat menumbuhkan kebaikan, baik dari kesehatan, baik
di kalangan kecil maupun luas dalam seluruh budaya kehidupan manusia.
Syukur diinginkan dalam kepribadian manusia, sebagai contoh, syukur
sangat dihargai di kalangan Yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu, para
filsof Roma kuno menilai bahwa syukur itu merupakan nilai kehidupan
manusia yang paling tinggi, sebaliknya, perilaku tidak bersyukur dianggap
suatu moral yang sangat rendah (Emmons, 2003).
Syukur itu merupakan respon atau tanggapan terhadap kebaikan
yang dilakukan oleh orang lain, empati dan simpati itu respon terhadap
kesulitan orang lain, sedang merasa bersalah dan malu itu respon
seseorang jika merasa gagal memenuhi standar moral yang merangsang
seseorang untuk berlaku prososial, syukur juga merupakan pendorong
moral yang membuat individu berani berlaku prososial (Emmons, 2003).
Perilaku sendiri menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau
reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.

33

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku


bersyukur merupakan penerimaan terhadap suatu pemberian apapun dari
Tuhan sebagai suatu bentuk kebaikan, bukan pasrah tanpa usaha
apapun, melainkan usaha yang dikembalikan pada Tuhan. Individu yang
bersyukur akan merasa kaya, menghargai pada hal-hal sederhana, dapat
menghargai orang lain, mampu mengungkapkan kesyukuran dan
sebagainya, dengan demikian, syukur menjadi suatu pendorong moral
yang membuat individu berani berlaku prososial.
2.

Aspek-Aspek Perilaku bersyukur


Indikator yang pernah dibuat oleh Watkins et al (2003) setelah di

telaah ternyata sejalan dengan psikologi Islam diantaranya :


a. Merasa kaya
Bahwa dengan merasa kaya seseorang akan merasa bersyukur
karena dia merasa dicukupi kekurangannya oleh Tuhan (Ibrahim ayat 7)
dalam hadits dikatakan ya Allah cukupilah saya dengan kehalalan-Mu,
jauhkan dari keharaman-Mu dan buatlah saya kaya dengan keutamaanMu, dan jauhkan dari siapa-siapa selain-Mu, Allah tempat bergantung
segala sesuatu (Al-Ikhlas ayat 2). Ya Allah tolonglah saya untuk
mengingat-Mu dan mensyukuri-Mu. Ya Allah jadikanlah saya orang yang
banyak bersyukur (H.R Abu Daud).
b. Penghargaan pada hal-hal sederhana
Jika seseorang itu dapat menghargai yang kecil-kecil, tentu saja
hal-hal yang lebih besar akan lebih mudah untuk dihargai, bahkan Islam

34

memerintahkan untuk membalas hal-hal kebaikan kecil atau sederhana


yang diperbuat orang lain terhadap diri mereka, ini sesuai dengan Doa
Nabi Sulaiman dalam Al-Quran (An-Naml ayat 19) yaitu wahai Tuhan-ku,
gerakkanlah hatiku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
berikan kepada-ku dan kepada orang tua-ku.
c. Menghargai orang lain
Ini sesuai dengan ajaran Islam karena Islam menganjurkan kita
untuk menghargai orang lain dengan menerima kelebihan mereka dan
memaafkan

kekurangan

mereka.

Nabi

Muhammad

SAW

selalu

menghargai orang lain atau kebaikan orang lain walaupun bukan dari
orang muslim, bisa dengan cara membalas yang lebih baik atau
mendoakan.
d. Pengungkapan syukur
Seseorang jika mengungkapkan kebaikan orang lain itu merupakan
tanda kesyukuran, sedangkan menyembunyikan kebaikan orang lain itu
merupakan tanda ketidaksyukuran, berikut kutipan dalam Al-Quran,
Adapun terhadap nikmat Tuhan-mu, maka hendaklah engkau menyebutnyebut (QS Adh-Dhuha ayat 11).
Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku (QS Al-Baqarah ayat 152). Membalas dengan yang lebih baik,
mendoakan dengan jazakallah khoir, mendoakan jika tidak mampu
membalas.

35

Berdasarakan uraian diatas, aspek-aspek perilaku bersyukur yang


dapat mempengaruhi emosi positif dalam penelitian ini yaitu merasa kaya,
penghargaan pada hal-hal sederhana, menghargai orang lain dan
pengungkapan kesyukuran.

C. Hubungan Perilaku Bersyukur dengan Subjective Well-Being


Psikologi Islam memiliki rujukan utama yaitu Al-Quran dan Sunnah,
Al-Quan sebagai rujukan utama mengingatkan Maka ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepada-Mu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku, (QS. Al Baqarah ayat
152).
Watkins at al (2003) fungsi syukur adalah meningkatkan afek
positif, penelitian ini memprediksi syukur sangat kuat berhubungan
dengan afek positif, syukur akan menunjukkan hubungan yang paling kuat
dan terbalik dengan afek negatif seperti depresi, sebab orang yang
depresi biasanya meremehkan nikmat kecil.
Penelitian Gable et al (Diponegoro, 2004) menunjukkan bahwa
menceritakan pengalaman positif akan meningkatkan afek positif individu,
bersyukur

dapat

diartikan

mengingat-ngingat

berbagai

hal

yang

menyenangkan, baik masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.
Menurut Hidt (2006) mengingat hal-hal yang menyenangkan juga akan
meningkatkan afek, secara khusus pengetahuan mengenai kisah-kisah
positif dan melihat peristiwa positif menurut penelitian psikologi yang

36

tergabung dalam psikologi positif mampu meningkatkan emosi positif


elavasi (perasaan berharga).
Menurut Diponegoro (2004) elavasi (elavation) merupakan salah
satu bagian afek positif, orang Islam dengan belajar ayat Al-Quran secara
teori akan meningkatkan kesejahteraan subjektifnya. Allah berjanji akan
memberikan kehidupan yang menyenangkan di dunia dan setelah mati
bagi mereka yang mau belajar Al-Quran. Ayat Al-Quran sendiri bila dibaca
dengan benar maka akan membawa ketenangan (Arrodu ayat 23) belajar
ayat Al-Quran merupakan tanda kesyukuran seorang muslim.
Bukti-bukti yang banyak muncul saat ini menunjukkan bahwa
membuat orang lain merasa senang, bahagia, mengalami emosi positif
seperti gembira, bahagia dan merasa puas itu ternyata memiliki banyak
keuntungan-keuntungan sosial, intelektual dan fisik untuk seseorang.
Tujuan empiris yang penting dalam penelitian ini adalah meningkatkan
emosi positif, para peneliti meneliti bahwa emosi positif dapat ditingkatkan.
Eksperimen yang dilakukan oleh Emmons ternyata menghitung nikmat
dengan cara meminta subjek penelitian untuk menghitung nikmat dapat
meningkatkan emosi positif (Lyubomirsky, 2006).
Individu yang bersyukur dalam penelitian psikologi tidak begitu
mementingkan hal-hal yang bersifat materi, mereka tidak menilai bahwa
keberhasilan individu dinilai berdasarkan kepemilikan harta benda,
mereka tidak iri hati, atau memiliki rasa iri yang rendah, dan lebih senang

37

untuk membagikan kepemilikan mereka dengan orang lain (Diponegoro,


2010).
Emmons & McCullough (Diponegoro, 2010) dalam eksperimen,
dibedakan remaja yang selalu mencatat nimat secara mingguan, nampak
lebih optimis, merasa lebih nyaman dan mempunyai kegiatan fisik yang
positif dibandingkan mereka yang selalu mengeluh dan menulis hal yang
biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian Emmons (2003)
ini sejalan dengan yang dikemukakan Al-Quran, ingatlah nikmat-Ku yang
telah Aku berikan kepada-mu, dan penuhilah janji-mu kepada-Ku, niscaya
Aku penuhi janji-Ku kepada-mu, dan takutlah kepada-Ku saja (Q.S AlBaqarah ayat 40).
Beberapa individu yang melakukan perilaku syukur, mendapatkan
kebahagian dalam dirinya. Individu yang tidak melakukan perilaku
bersyukur tidak dapat merasakan kebahagiaan atau subjective well-being,
oleh karena itu penulis berkesimpulan bahwa terdapat korelasi positif
antara perilaku bersyukur dengan subjektive well-being.

D. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas dapat diajukan suatu hipotesis bahwa
ada suatu hubungan yang positif antara perilaku bersyukur dengan
subjective well-being. Semakin tinggi perilaku bersyukur maka semakin
tinggi subjective well-being.

Anda mungkin juga menyukai