Anda di halaman 1dari 23

BIOETIKA DALAM MANIPULASI GENETIK (TERAPI GEN)

TUGAS
MATA KULIAH FILSAFAT DAN BIOETIKA

Oleh :

Kelompok 5
Brigita Klara Krisdina Mamuaya 081914153011
Nabilatun Nisa’ 081914153012
Devinta Wahyu Anggraini 081914153016

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang biologi molekuler dan
bioteknologi membawa pengaruh besar dalam penyelesaian masalah-masalah
yang dihadapi manusia dalam berbagai bidang. Bidang kajian biologi molekuler
mulai berkembang setelah Watson dan Crick pada tahun 1953 berhasil
menemukan struktur untai ganda (double helix) DNA yang menjadi dasar
perkembangan cabang ilmu bioteknologi. Berdasarkan struktur untai ganda DNA,
ilmuwan-ilmuwan di bidang biologi molekuler dapat melakukan serangkaian
eksperimen terkait struktur unik tersebut. Keingintahuan para ilmuwan akhirnya
mendorong terwujudnya sebuah proyek besar yang dinamai Proyek Genom
Manusia pada tahun 1990. Genetic Home Reference (2017) dari Amerika Serikat
menyatakan bahwa genom adalah set lengkap DNA yang dimiliki oleh suatu
organisme termasuk gen-gen orisinilnya. Setiap genom memiliki semua informasi
yang diperlukan organisme untuk tumbuh, berkembang, dan mengatur seluruh
aktivitas tubuhnya. Proyek Genom Manusia memiliki target utama untuk
mengetahui rangkaian atau sekuen lengkap gen manusia, fungsi masing-masing
gen, dan inisiasi genom struktural sehingga dapat diaplikasikan dalam dunia
kesehatan (Moraes & Goes, 2016). Proyek mulai dipublikasikan pada tahun 2001,
namun ilmuwan kembali mempublikasikan bahwa Proyek Genom Manusia telah
berhasil mendapatkan sekuen keseluruhan gen manusia di tahun 2003.
Bioteknologi merupakan teknologi yang dikembangkan dengan
memanfaatkan organisme, baik secara utuh maupun bagian-bagiannya saja untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Perkembangan bioteknologi
di bidang kesehatan mendukung pula perkembangan terapi gen sebagai salah satu
alternatif solusi masalah kesehatan. terapi gen dapat digunakan untuk terapi
penyakit, baik yang bersifat genetis maupun yang bukan. Adanya terapi gen
memberikan pilihan lain bagi penderita penyakit tertentu untuk memilih metode
pengobatan.
Terapi gen pada manusia tentunya membutuhkan manusia sebagai objeknya.
Tentu saja dalam merekayasa genetik manusia tidak dapat dilakukan secara bebas
seperti pada organisme lain misalnya hewan percobaan. Banyak hal yang harus
benar-benar dipertimbangkan sebelum terapi gen pada manusia dilaksanakan.
Maka dari itu perlu adanaya bioetika dalam manipulasi genetik manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan terapi gen?
2. Bagaimana mekanisme dan metode terapi gen?
3. Bagaimana tipe-tipe terapi gen?
4. Bagaimana bioetika terhadap manipulasi genetik pada kasus terapi gen
manusia?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Dapat mengetahui pengertian dari terapi gen.
2. Dapat mengetahui mekanisme dan metode terapi gen.
3. Dapat mengetahui bagaimana tipe terapi gen.
4. Dapat mengetahui bioetika terhadap manipulasi genetik pada kasus terapi
gen manusia.

1.4 Manfaat
Memberikan informasi kepada masyarakat dan peneliti tentang bioetika
terhadap manipulasi genetik pada kasus terapi gen manusia.
BAB II
ISI

2.1 Bioetika
2.1.1 Definisi dan Sejarah Bioetika
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran
membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan
permasalahan yang berkitan dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara
tentang bidang medis dan kedokteran saja, terutama hubungan dokter dengan
pasien, keluarga, masyarakat dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak tiga
dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau disebut juga etika biomedis.
Bioetika berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan ethos yang berarti
norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik secara mikromaupun makro, masa kini dan masa
mendatang ( Bartens, 2001).
Bioetika mencakup isu-isu sosial,agama, ekonomi dan hukum bahkan
politik. Bioetik selain membicarakan bidang medis, seperti abortus, eutanasia,
transplantasi organ, teknologi reproduksi buatan dan rekayasa genetik, membahas
pula masalah kesahatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan
masyarakat, hak pasien, moralitas, penyembuhan tradisional, lingkungan kerja,
demografi dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap
penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh institute for the study of
society, ethics and the life sciences, New York ( Amerika Serikat ) pada tahun
1969. Kini terdapat banyak lembaga di dunia yang menekuni penelitian dan
diskusi mengenai berbagai isu etika biomedik.
Di indonesia bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakir yang
dipelopori oleh pusat pengembangan etika universitas atma jaya jakarta.
Perkembangan ini sangat menonjol setelah Universitas Gajah Mada Yogyakarta
yang melaksanakan pertemuan bioethics 2000., An International Exchange dan
pertemuan nasional 1 bioetika dan humaniora pada bulan agustus 2000. Pada
waktu itu universitas Gajahmada juga mendirikan Center for Bioethics and
Medical Humanities. Dengan terselengaranya pertemuan nasional 2 bioetika dan
humaniora pada tahun 2002 di bandung, pertemuan 3 pada tahun 2004 di Jakarta
dan pertemuan 4 pada tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya Jaringan
Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia ( JBHKI ) pada tahun 2002,
diharapkan studi bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh
indonesia pada masa datang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bioetika merupakan cabang ilmu biologi
dan ilmu kedokteran yang menyangkut masalah di bidang kehidupan, tidak hanya
memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga
memperhitungkan kemungkinan timbulnya pada masa yang akan datang.
Tiga etika dalam bioetika:
1. Etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau
suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya.
2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan molaritas (apa
yang di anggap baik atau buruk) misalnya kode etik kedokteran , kode etik
rumah sakit.
3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma
dan nilai-nilai norma.
Menurut Fransese Abel bioetika adalah studi Interdisipliner tentang
problem-problem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan
ilmu kedokteran baik pada skala mikro maupun makro lagi pula tentang
dampaknya atas masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa datang.
Bioetika di Indonesia bertujuan untuk memberikan pedoman umum etika
bagi pengelola dan pengguna sumber daya hayati dalam rangka menjaga
keanekaragaman dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Pengambilan
keputusan dalam meneliti, mengembangkan, dan memanfaatkan sumber daya
hayati harus/wajib menghindari konflik moral dan seluas-luasnya digunakan
untuk kepentingan manusia, komunitas tertentu, dan masyarakat luas, serta
lingkungan hidupnya, dilakukan oleh individu, kelompok profesi, dan institusi
publik atau swasta. Pemanfaatan sumber daya hayati tidak boleh menimbulkan
dampak negatif terhadap harkat manusia, perlindungan, dan penghargaan hak-hak
asasi manusia, serta lingkungan hidup. Penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan sumber daya hayati harus memberikan keuntungan maksimal bagi
kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta meminimalkan kerugian
yang mungkin terjadi (Muchtadi, 2007).
Berdasarkan Pasal 19 Kep. Menristek No.112 Tahun 2009, harus dibentuk
suatu Komite Etik Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber daya
Hayati yang bersifat independen, multidisiplin dan berpandangan plural.
Keanggotaan Komite Etik Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber
daya Hayati harus terdiri dari para ahli dari berbagai departemen dan institusi
yang relevan. Tindak lanjut dan implementasi prinsip-prinsip bioetika penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya hayati dilakukan oleh Komite
Bioetika Nasional yang dibentuk oleh pemerintah.
Perkembangan bioetika di Indonesia ditunjukkan dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penelitian. Perundang-undangan
tersebut antara lain:
1. Perubahan Keempat UUD 45 Pasal 31 ayat (5) yang menyatakan bahwa
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia”
2. Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan IPTEK pada pasal 22 yang mengamanatkan
bahwa Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara
serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
3. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 13 yang
mengantisipasi produk pangan yang dihasilkan melalui rekayasa genetika
4. Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman yang memberikan batasan-batasan perlindungan.
5. Keputusan Bersama Menristek, MenKes dan Mentan Tahun 2004 tentang
Pembentukan Komisi Bioetika Nasional.
6. UU No. 18/2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Iptek (RPP Penelitian Beresiko Tinggi)
2.2 Definisi Terapi Gen
Teknologi terapi gen tidak terlepas dari prinsip rekayasa genetika untuk
menghasilkan GMO (Genetically Modified Organism) atau yang biasa dikenal
sebagai organisme transgenik. Ide untuk terapi gen yaitu dengan menambahkan
gen yang normal ke bagian genom yang mengalami mutasi ataupun kerusakan
sehingga fungsi gen tersebut dapat diperbaiki.
Terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang
bertanggung jawab terhadap suatu penyakit. Pengobatan atau pencegahan
penyakit melalui terapi gen dilakukan dengan transfer bahan genetik ke tubuh
pasien. Terapi gen manusia dapat didefinisikan sebagai transfer materi genetik ke
dalam sel pasien sebagai obat dengan efek terapeutik (Boulaiz et al. 2005).
Namun, pengertian terapi gen kini berkembang menjadi teknik modifikasi genom
manusia yang bertujuan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.
Upaya pertama untuk memodifikasi DNA manusia dilakukan pada tahun 1980
oleh Martin Cline, tetapi transfer gen nukleus pertama yang berhasil pada manusia
dan disetujui oleh National Institutes of Health, dilakukan pada Mei 1989
(Rosenberg et al. 1990).
Penggunaan terapi gen pada penyakit tersebut dilakukan dengan
memasukkan gen normal yang spesifik ke dalam sel yang memiliki gen mutan.
Terapi gen kemudian berkembang untuk mengobati penyakit yang terjadi karena
mutasi di banyak gen, seperti kanker. Selain memasukkan gen normal ke dalam
sel mutan, mekanisme terapi gen lain yang dapat digunakan adalah melakukan
rekombinasi homolog untuk melenyapkan gen abnormal dengan gen normal,
mencegah ekspresi gen abnormal melalui teknik peredaman gen, dan melakukan
mutasi balik selektif sehingga gen abnormal dapat berfungsi normal kembali.
Pengobatan atau pencegahan penyakit melalui terapi gen dilakukan dengan
transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Terapi ini berkembang dengan pesat sejak
clinical trial pada tahun 1990 (Malik, 2005).

2.3 Mekanisme dan Metode Terapi Gen


Proses rekayasa genetik pada teknologi terapi gen meliputi tahapan-tahapan,
antara lain isolasi gen target, penyisipan gen target ke vektor transfer, transfer
vektor yang telah disisipi gen target ke organisme yang akan diterapi, transformasi
pada sel organisme target. Gen target yang telah disisipkan pada organisme yang
diterapi tersebut diharapkan mampu menggantikan fungsi gen abnormal yang
mengakibatkan penyakit pada penderita. Penyisisipan gen pada terapi gen
umumnya menggunakan vektor berupa virus (viral vector) maupun senyawa atau
molekul selain virus (non viral vector). Transfer gen pada terapi gen dengan
menggunakan vektor berupa virus disebut sebagai transduksi sedangkan transfer
dengan vektor selain virus disebut sebagai transfeksi. Vektor yang ideal sebaiknya
mampu mengantarkan gen ke tipe sel spesifik, mengakomodasi gen asing untuk
menyesuaikan ukurannya, mencapai level dan durasi ekspresi transgenik yang
mampu memperbaiki kerusakan atau ketidaknormalan gen, serta bersifat aman
dan nonimunogenik (Mali, 2013).
Nayerossadat et al. (2012) menyatakan bahwa beberapa virus yang
dimanfaatkan sebagai vektor dalam terapi gen diantaranya adalah retrovirus,
adenovirus (tipe 2 dan 5), adenoassociated virus (AAV), virup herpes, virus cacar,
human foamy virus (HFV), lentivirus, serta beberapa jenis lainnya. Vektor berupa
virus harus dimodifikasi genomnya dengan memotong sekuen tertentu sehingga
patogenitasnya dapat dikurangi atau dihilangkan.
Vektor berupa virus harus aman saat digunakan dalam proses terapi gen
agar gen target yang akan digunakan sebagai pengganti gen abnormal dapat
diekspresikan dengan baik tanpa menimbulkan efek samping bagi penderita yang
diterapi. Penyakit dan hubungan genetiknya harus diketahui terlebih dahulu
sebelum dilakukan terapi gen. apabila suatu gen yang terkait pada penyakit
tertentu telah dapat diidentifikasi, maka potensi penyakit tersebut untuk diterapi
akan semakin besar. Metode terapi gen terbagi menjadi 2 yaitu :
1) Metode In vivo
Yaitu transfer gen yang telah dimodifikasi atau gen normal ke dalam sel-sel
sasaran pada pasien dengan menggunakan vektor biologi virus. Dalam sistem ini,
vektor gen yang membawa gen terapeutik secara langsung dimasukkan ke
jaringan target atau organ, melalui injeksi sistemik, injeksi in situ, obat oral atau
semprot, dimana teknik injeksi in situ lokal pada jaringan tumor paling sering
dilakukan. Hampir semua uji klinis in vivo pada terapi gen kanker didasarkan
pada metode ini, yang meliputi injeksi intratumoral yang dimediasi oleh CT atau
USG. Terapi gen secara in vivo tetap menggunakan bantuan vektor untuk
mentransfer gen target ke dalam jaringan atau organ pasien penderita penyakit
tertentu.
Pada gambar di bawah ini terlihat adanya vektor gen transfer berupa virus
yang dimodifikasi menjadi virus rekombinan dengan menyisipkan DNA dengan
gen target untuk terapi melalui metode teknologi DNA rekombinan. Vektor virus
yang telah mengandung gen target tersebut kemudian diinjeksikan ke dalam tubuh
pasien secara langsung menuju jaringan atau organ target dimana gen untuk terapi
tersebut dibutuhkan atau diekspresikan. Terapi gen secara in vivo melibatkan
proses transduksi secara langsung di dalam tubuh, lebih mudah dilaksanakan dan
dikembangkan dalam skala tertentu, dan tidak membutuhkan fasilitas khusus
karena injeksi atau transfer gen bisa dilakukan dengan metode umum maupun
mengginakan biologic gene gun.

Gambar 2.1 Terapi Gen dengan Vektor Virus


2) Metode Ex vivo
Yaitu transfer gen yang telah dimodifikasi atau gen yang normal dalam sel-
sel sasaran pada pasien dengan menggunakan cara non virus. Dalam sistem ini,
sel-sel penerima yang sebelumnya diambil dari jaringan target atau sumsum
tulang dikultur secara in vitro dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh
pasien setelah transfer gen terapeutik. Terapi gen secara ex vivo memiliki tahapan
yang lebih kompleks dibanding secara in vivo. Terapi ini melibatkan transduksi di
laboratorium dengan kondisi spesifik tertentu sehingga membutuhkan fasilitas
laboratorium yang lebih lengkap. Metode ex vivo ini juga mengakibatkan
kurangnya populasi sel yang diproliferasi. Tahapan dalam metode terapi gen
secara ex vivo yang terdiri dari beberapa langkah, yaitu :
a. Isolasi sel yang memiliki gen abnormal dari pasien penderita penyakit
tertentu.
b. Sel hasil isolasi ditumbuhkan pada media kultur tertentu yang sesuai dengan
karakteristik sel.
c. Sel target yang dikultur kemudian diinfeksi dengan retrovirus yang
mengandung rekombinan gen dalam bentuk gen normal untuk
menggantikan gen abnormal pada sel.
d. Produksi rDNA dari RNA rekombinan (jika vektor virus merupakan virus
dengan materi genetik berupa RNA) dengan transkripsi balik (reverse
transcription).
e. Translasi gen normal pada sitoplasma sel menghasilkan protein yang
bertanggung jawab pada gen yang mengalami kerusakan (terjadi integrasi
antara gen target untuk terapi dengan gen pada sel yang dikultur.
f. Seleksi, perbanyakan, dan pengujian sel yang telah ditransfeksi untuk
mendapatkan sel normal yang gen abnormalnya telah berhasil digantikan
oleh gen baru.
g. Injeksi kembali sel yang telah berhasil direkayasa dengan terapi gen ke
dalam jaringan atau organ pasien.
Metoda lain untuk terapi gen adalah splising gen (gene splicing), yaitu
pemotongan gen pada pasangan basa. Pemotongan pasangan basa tersebut
dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan bahan kimia disebut sebagai
enzim restriksi, yang berperan sebagai gunting untuk memotong DNA. Namun
penggunaan CRISPR untuk pengeditan DNA manusia sekarang sedang banyak
dilakukan. Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR)
adalah sekuens DNA yang ditemukan dalam genom organisme prokariotik seperti
bakteri dan archaea. Urutan ini berasal dari fragmen DNA bakteriofag yang
sebelumnya telah menginfeksi prokariota dan digunakan untuk mendeteksi dan
menghancurkan DNA dari fag serupa selama infeksi berikutnya. Karenanya
sekuens-sekuens ini memainkan peran kunci dalam sistem pertahanan antivirus
prokariota. Cas9 (atau CRISPR-associated protein 9) adalah enzim yang
menggunakan urutan CRISPR sebagai panduan untuk mengenali dan membelah
untaian spesifik DNA yang komplemen dengan urutan CRISPR. Enzim Cas9
bersama dengan urutan CRISPR membentuk dasar dari teknologi yang dikenal
sebagai CRISPR-Cas9 yang dapat digunakan untuk mengedit gen dalam
organisme (Zhang et al. 2014) Dengan mengirimkan Cas9 nuclease yang
dikomplekskan dengan guide RNA sintetis (gRNA) ke dalam sel, genom sel dapat
dipotong di lokasi yang diinginkan, memungkinkan gen yang ada untuk dihapus
dan / atau yang baru ditambahkan (Hendel et al. 2015).

Gambar 2.2. Mekanisme CRISPR-Cas9 (Costa et al. 2017)


Vektor virus biasanya menawarkan efisiensi transduksi yang lebih tinggi
dan ekspresi gen jangka panjang, tetapi dapat dikaitkan dengan toksisitas,
imunogenisitas, spesifisitas sel target terbatas dan biaya tinggi. Metode non-viral
telah menyebar luas karena keamanannya yang relatif lebih baik, kapasitas untuk
mentransfer gen besar, spesifisitas lokasi, sifat non-inflamasi, tidak beracun, dan
tidak menular. Namun, kegunaan klinis dari metode non-virus dibatasi oleh
efisiensi transfeksi yang rendah dan ekspresi transgen yang relatif buruk.
Keberhasilan atau kegagalan terapi gen tergantung pada pengembangan dan
efisiensi transfeksi vektor virus dan non-virus

2.4 Tipe Terapi Gen


Terdapat dua tipe utama terapi gen, meliputi terapi gen sel embrional (germ
line gene therapy) dan terapi gen sel tubuh (somatic gene therapy) (Misra, 2013).
1) Terapi gen sel embrional (germ line gene therapy)
Pada terapi gen sel kelamin ini, digunakan sel kelamin pria (Sperma)
maupun sel kelamin wanita (ovum) yang dimodifikasi dengan adanya penyisipan
gen fungsional yang terintegrasi dengan genomnya. Pada terapi gen dengan
menggunakan germ line, gen akan ditransfer ke dalam ovum ataupun zigot
sehingga ketika ovum tersebut berfertilisasi dengan sperma membentuk zigot,
maka zigot akan berkembang dengan membawa gen yang telah disisipkan
sebelumnya sehingga organisme baru yang terbentuk telah memiliki gen yang
berfungsi dalam terapi yang dimaksudkan. Terapi gen sel embrional biasanya
dilakukan pada hewan untuk membentuk hewan transgenik. Terapi gen jenis ini
memungkinkan perbaikan secara genetik yang akan mulai terlihat ketika sel
embrional telah berkembang menjadi individu baru.
Contohnya pada terapi gen sel embrional pada monyet berikut ini. Terdapat
dua monyet, yaitu monyet A yang memiliki kelainan pada mitokondrianya dan
monyet B yang merupakan monyet normal. Untuk menghasilkan keturunan
monyet A yang normal tanpa adanya kelainan pada mitokondria, maka dilakukan
terapi gen melalui sel embrional. Kromosom pada ovum monyet A diambil
kemusian disisipkan ke dalam ovum monyet B yang memiliki mitokondria
normal. Proses pengambilan dan penyisipan tersebut dilakukan secara ex vivo.
Ovum monyet B yang telah disisipi materi genetik monyet A kemudian
difertilisasikan oleh sperma dari monyet C yang sejenis dengan monyet A.ovum
yang telah dibuahi sperma tersebut kemudian diinsersikan ke uterus monyet lain
yang berperan sebagai induk inang untuk kemudian memfasilitasi embrio tersebut
untuk tumbuh dan berkembang. Embrio tersebut kemudian akan dilahirkan
dengan kondisi tanpa kelainan mitokondria.
2) Terapi gen sel tubuh (somatic gene therapy)
Pada terapi gen sel tubuh ini, dilakukan transfer gen fungsional ke dalam
tubuh pasien sehingga malfungsi pada organ dapat diperbaiki. Singh et al. (2016)
menyatakan bahwa terapi gen sel tubuh spesifik untuk setiap pasien dan tidak
diturunkan ke generasi berikutnya. Pada terapi gen somatik, DNA yang
mengandung gen untuk fungsi terapi ditransfer ke dalam sel somatik secara in
vivo maupun ex vivo. Transfer gen tersebut biasanya ditujukan secara langsung ke
organ atau jaringan spesifik sehingga gen dapat terekspresi dengan baik. Pada
terapi gen dengan sel somatik juga tidak akan memberikan pengaruh terhadap sel
embrional.

2.5 Kasus Jesse Gelsinger


Jesse Gelsinger (18 Juni 1981 - 17 September 1999) adalah orang pertama
yang diketahui secara publik meninggal dunia dalam uji klinis untuk terapi gen.
Gelsinger menderita defisiensi ornithine transcarbamylase, sebuah penyakit terkait
gen X pada hati yang menyebabkan ketidakmampuan untuk memetabolisme
amonia yang merupakan produk sampingan dari pemecahan protein. Penyakit ini
biasanya berakibat fatal pada saat lahir, tetapi Gelsinger memiliki tingkat
keparahan yang lebih ringan, dimana gen transcarbamylase ornithine bermutasi
hanya di sebagian selnya saja, suatu kondisi yang dikenal sebagai mosaikisme
somatik. Karena hanya berkurang sebagian, Gelsinger berhasil bertahan hidup
seperti manusia pada umumnya namun dengan diet ketat dan disertai berbagai
obat-obatan khusus (Stolberg, 1999).
Gelsinger bergabung dengan uji coba klinis yang dilakukan oleh University
of Pennsylvania yang bertujuan mengembangkan pengobatan bagi bayi yang lahir
dengan penyakit yang parah. Pada 13 September 1999, Gelsinger disuntik dengan
vektor adenovirus sebagai vektor membawa gen yang telah dikoreksi untuk
menguji keamanan dari prosedur ini. Dia meninggal empat hari kemudian pada
usia 18 tahun, pada 17 September 1999. Gelsinger mengalami respon kekebalan
besar-besaran yang dipicu oleh penggunaan vektor virus untuk memindahkan gen
ke dalam sel-selnya menyebabkan respon inflamasi yang sangat tinggi hingga
menyebabkan darah Jesse Gelsinger menggumpal dan mengarahkannya pada
kegagalan ginjal, hati dan paru-paru dan berujung pada kematian otak (Rinde,
2019).
Rinde (2019) menjelaskan bahwa Food and Drug Administration (FDA)
menyimpulkan para ilmuwan yang terlibat dalam uji coba, termasuk James
Wilson (Direktur dari Institute for Human Gene Therapy), melanggar beberapa
aturan yaitu :
1. Dimasukkannya Gelsinger sebagai pengganti sukarelawan lain yang
mengundurkan diri. Gelsinger memiliki kadar amonia yang tinggi dalam, hal
ini seharusnya menyebabkan dia bukan merupakan sukarelawan yang sesuai
dengan percobaan tersebut terkait faktor keselamatan yang mengancam nyawa
aibat dari respon yang mungkin akan ditimbulkan.
2. Percobaan ini pernah dilaporkan mengalami kegagalan sebelumnya
Sejumlah 691 sukarelawan dalam eksperimen terapi gen ini jatuh sakit dalam
tujuh tahun sebelum kematian Jesse, hanya 39 dari insiden ini yang dilaporkan
tepat seperti peraturan yang berlaku.
3. Ketidakterbukaan atas resiko yang mungkin dapat terjadi pada sukarelawan.
Para peneliti belum memberi tahu Jesse Gelsinger sebelumnya tentang efek
samping yang dapat timbul atau tentang dua monyet laboratorium yang
terbunuh oleh adenovirus dalam percobaan serupa. Jika Gelsinger telah diberi
pengarahan yang tepat tentang masalah-masalah sebelumnya, dia mungkin
telah keluar dari percobaan dan masih hidup sampai hari ini. Wilson juga
dituduh memiliki konflik kepentingan yaitu dia memiliki saham di perusahaan
yang memiliki teknologi transfer gen sehingga dia akan mendapat manfaat jika
percobaan berhasil.
Universitas Pennsylvania kemudian mengeluarkan bantahan terkait temuan
fakta tersebut, namun pihak universitas tetap dikenakan sanksi hukum yaitu denda
lebih dari $500.000 yang harus dibayarkan kepada pemerintah setempat. Kasus
Gelsinger adalah kemunduran yang parah bagi para ilmuwan yang bekerja di
bidang ini. Kasus ini juga menyeret nama ahli bioetik Arthur Caplan yang juga
merupakan direktur dari Penn’s Center of Bioethics akibat memberikan saran
desain penelitian yang lebih mengutamakan menguji pada manusia dewasa yang
sehat dibandingkan dengan bayi yang sekarat (Wilson, 2010).
2.6 Kontroversi Lulu dan Nana
Lulu dan Nana (nama samaran) merupakan bayi perempuan kembar yang
lahir pada Oktober 2018 di Cina. Menurut peneliti, He Jiankui, Lulu dan Nana
adalah bayi pertama di dunia yang lahir setelah genetik embrionalnya diedit.
Orangtua Lulu dan Nana adalah peserta dalam proyek klinis yang dijalankan oleh
He Jiankui di Southern University of Science and Technology di Shenzen tentang
human genome editing menggunakan CRISPR-Cas9 untuk memodifikasi gen
CCR5 dalam embrio agar memberi resistensi genetik terhadap virus HIV. Proyek
klinis dilakukan secara diam-diam sampai November 2018 (Bulluck, 2019).
He Jiankui mengambil sperma dan telur dari orangtua Lulu dan Nana
kemudian melakukan fertilisasi in vitro yang selanjutnya embrio hasil IVF
tersebut diedit genomnya menggunakan CRISPR / Cas9 (Marchione, 2018).
Pengeditan tersebut menargetkan gen, CCR5, yang mengkode protein yang
digunakan HIV untuk memasuki sel. He Jiankui mencoba untuk membuat mutasi
spesifik pada gen, sehingga sisi reseptor virus HIV dapat berubah hingga
memberikan resistensi bawaan terhadap HIV (Bulluck, 2019). Penelitian He
mendapatkan kritik dari berbagai pihak termasuk organisasi kepedulian terhadap
kesejahteraan para gadis di Cina. Menjelang akhir November, otoritas Tiongkok
menghentikan semua kegiatan penelitiannya (Jiang et al. 2019). Pada tanggal 28
Desember 2018, Dia diasingkan di sebuah apartemen universitas, di bawah
pengawasan yang ketat (Ramzy dan Wee, 2019).
Namun penelitian ini juga memberikan efek lain. Otak dari dua gadis yang
diedit secara genetik ini mungkin mengalami peningkatan kognisi dan memori.
Penelitian baru menunjukkan bahwa editing pada gen CCR5 tidak hanya membuat
hewan coba memiliki tingkat kognitif yang lebih tinggi. Peran gen CCR5 dalam
memori dan kemampuan otak yaitu untuk membentuk koneksi baru sehingga
perbaikan pada gen ini juga dapat meningkatkan pemulihan otak manusia setelah
stroke. Jika penelitian ini terus dikembangkan, bukan tidak mungkin peningkatan
kognitif yang tidak alami akan terjadi dan mengganggu keseimbangan alam
(Regalado, 2019).
2.7 Pembahasan
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang biologi molekuler dan
bioteknologi membawa pengaruh besar dalam penyelesaian masalah-masalah
yang dihadapi manusia dalam berbagai bidang. Bidang kajian biologi molekuler
mulai berkembang setelah Watson dan Crick pada tahun 1953 berhasil
menemukan struktur untai ganda (double helix) DNA yang menjadi dasar
perkembangan cabang ilmu bioteknologi. Teknologi terapi gen tidak terlepas dari
prinsip rekayasa genetika untuk menghasilkan GMO (Genetically Modified
Organism) atau yang biasa dikenal sebagai organisme transgenik. Ide untuk terapi
gen yaitu dengan menambahkan gen yang normal ke bagian genom yang
mengalami mutasi ataupun kerusakan sehingga fungsi gen tersebut dapat
diperbaiki.
Penggunaan terapi gen pada penyakit tersebut dilakukan dengan
memasukkan gen normal yang spesifik ke dalam sel yang memiliki gen mutan.
Terapi gen kemudian berkembang untuk mengobati penyakit yang terjadi karena
mutasi di banyak gen, seperti kanker. Selain memasukkan gen normal ke dalam
sel mutan, mekanisme terapi gen lain yang dapat digunakan adalah melakukan
rekombinasi homolog untuk melenyapkan gen abnormal dengan gen normal,
mencegah ekspresi gen abnormal melalui teknik peredaman gen, dan melakukan
mutasi balik selektif sehingga gen abnormal dapat berfungsi normal kembali.
Pengobatan atau pencegahan penyakit melalui terapi gen dilakukan dengan
transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Terapi ini berkembang dengan pesat sejak
clinical trial pada tahun 1990 (Malik, 2005).
Proses rekayasa genetik pada teknologi terapi gen meliputi tahapan-tahapan,
antara lain isolasi gen target, penyisipan gen target ke vektor transfer, transfer
vektor yang telah disisipi gen target ke organisme yang akan diterapi, transformasi
pada sel organisme target. Proses rekayasa genetika terapi gen pada dasarnya
dapat bermanfaat bagi manusia. akan tetapi harus memenuhi etika etika biologis
yang ada agar manfaat tersebut berhasil digunakan pada masyarakat.
Bioetik merupakan studi Interdisipliner tentang problem-problem yang
ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik pada
skala mikro maupun makro lagi pula tentang dampaknya atas masyarakat luas
serta sistem nilainya kini dan masa datang. Bioetika bertujuan untuk memberikan
pedoman umum etika bagi pengelola dan pengguna sumber daya hayati dalam
rangka menjaga keanekaragaman dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Pengambilan keputusan dalam meneliti, mengembangkan, dan memanfaatkan
sumber daya hayati harus/wajib menghindari konflik moral dan seluas-luasnya
digunakan untuk kepentingan manusia, komunitas tertentu, dan masyarakat luas,
serta lingkungan hidupnya, dilakukan oleh individu, kelompok profesi, dan
institusi publik atau swasta. Pemanfaatan sumber daya hayati tidak boleh
menimbulkan dampak negatif terhadap harkat manusia, perlindungan, dan
penghargaan hak-hak asasi manusia, serta lingkungan hidup. Penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya hayati harus memberikan
keuntungan maksimal bagi kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta
meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi (Muchtadi, 2007).
Bioetika memiliki 3 prinsip dalam mempertimbangkan suatu tindakan
biologis yaitu menghargai autonomi, memiliki manfaat dan keadilan. Adapun
menghargai autonomi terdiri atas menghargai martabat manusia
otonomi/penentuan nasib sendiri, melindungi orang yang otonominya terganggu
meminta persetujuan setelah penjelasan (informed consent) dari peserta penelitian.
Kemudian pada suatu penelitian harus memaksimalkan manfaat, meminimalkan
risiko/kerugian Do no harm(non-maleficence),menjaga kesejahteraan/keselamatan
dan kepentingan individu (subyek penelitian) tidak boleh dikalahkan oleh
kepentingan masyarakat. Sedangkan pada aspek keadilan (Justice) terdiri atas
pembagian beban dan manfaat secara merata, keikutsertaan kelompok yang dapat
manfaat dan ketersediaan obat/intervensi setelah penelitian.
Adapun contoh kasus pada terapi gen yaitu pada kasus Gelsinger bergabung
yang dengan uji coba klinis yang dilakukan oleh University of Pennsylvania yang
bertujuan mengembangkan pengobatan bagi bayi yang lahir dengan penyakit yang
parah. Pada 13 September 1999, Gelsinger disuntik dengan vektor adenovirus
sebagai vektor membawa gen yang telah dikoreksi untuk menguji keamanan dari
prosedur ini. Dia meninggal empat hari kemudian pada usia 18 tahun, pada 17
September 1999. Gelsinger mengalami respon kekebalan besar-besaran yang
dipicu oleh penggunaan vektor virus untuk memindahkan gen ke dalam sel-selnya
menyebabkan respon inflamasi yang sangat tinggi hingga menyebabkan darah
Jesse Gelsinger menggumpal dan mengarahkannya pada kegagalan ginjal, hati
dan paru-paru dan berujung pada kematian otak (Rinde, 2019). hal tersebut
diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh para peneliti terhadap objek
penelitian. Universitas Pennsylvania kemudian mengeluarkan bantahan terkait
temuan fakta tersebut, namun pihak universitas tetap dikenakan sanksi hukum
yaitu denda lebih dari $500.000 yang harus dibayarkan kepada pemerintah
setempat. Kasus Gelsinger adalah kemunduran yang parah bagi para ilmuwan
yang bekerja di bidang ini. Kasus ini juga menyeret nama ahli bioetik Arthur
Caplan yang juga merupakan direktur dari Penn’s Center of Bioethics akibat
memberikan saran desain penelitian yang lebih mengutamakan menguji pada
manusia dewasa yang sehat dibandingkan dengan bayi yang sekarat (Wilson,
2010).
Berdasarkan kasus tersebut para ilmuan telsh melakukan kesalahan yaitu
Gelsinger sebenarnya tidak memenui kriteria sebagai kelinci percobaan dari
penelitian tersebut akan tetapi para ilmuan tetap memasukkan Gelsinger sebagai
suka relawan, kemudian kesalahan selanjutnya yaitu percobaan tersebut
sebalumnya telah mengalami kegagalan akan tetapi masih para ilmuan tetap
melakuan percobaan tersebut dengan hewan coba manusia yang mereka sudah tau
akan resiko kegagalan akan terjadi, adapun kesalahan yang ketiga yaitu tidak
adanya keterbukaan atas resiko yang mungkin timbul pada subjek penelitian.
Berdasarkan ketiga pelanggaran yang telah dilakukan para ilmuan tersebut sudah
jelas bahwa telah melanggar 3 prinsip dari bioetika, Pada dasarnya penelitian
tersebut memiliki manfaat yang besar bagi dunia biologi akan tetapi para ilmuan
tidak memikirkan akan keselamatan dari subjek penelitian dan tidak menerapkan
prinsip keadilan serta tidak menjaga martabat sebagai manusia karena Gelsinger
tetap dimasukkan kedalam subjek penelitian walau sebenarnya Gelsinger tidak
memenui kriteri. Sehingga tindakan percobaan tersebut melanggar prinsip
bioetika walaupun manfaat yang akan didapatkan setalah berhasil cukup besar,
akan tetappi jika manfaat diselingi dengan hal yang merugikan maka apalah arti
dari manfaat tersebut.
Kasus yang kedua yang diangkat pada kajian telaah bioetika yaitu pada
kasus bayi kembar Lulu dan Nana. Lulu dan Nana (nama samaran) merupakan
bayi perempuan kembar yang lahir pada Oktober 2018 di Cina. Menurut peneliti,
He Jiankui, Lulu dan Nana adalah bayi pertama di dunia yang lahir setelah genetik
embrionalnya diedit. Orangtua Lulu dan Nana adalah peserta dalam proyek klinis
yang dijalankan oleh He Jiankui di Southern University of Science and
Technology di Shenzen tentang human genome editing menggunakan CRISPR-
Cas9 untuk memodifikasi gen CCR5 dalam embrio agar memberi resistensi
genetik terhadap virus HIV. Proyek klinis dilakukan secara diam-diam sampai
November 2018 (Bulluck, 2019). Penelitian He mendapatkan kritik dari berbagai
pihak termasuk organisasi kepedulian terhadap kesejahteraan para gadis di Cina.
Menjelang akhir November, otoritas Tiongkok menghentikan semua kegiatan
penelitiannya (Jiang et al. 2019). Pada tanggal 28 Desember 2018, Dia diasingkan
di sebuah apartemen universitas, di bawah pengawasan yang ketat (Ramzy dan
Wee, 2019). Namun penelitian ini juga memberikan efek lain. Otak dari dua gadis
yang diedit secara genetik ini mungkin mengalami peningkatan kognisi dan
memori. Penelitian baru menunjukkan bahwa editing pada gen CCR5 tidak hanya
membuat hewan coba(manusia) memiliki tingkat kognitif yang lebih tinggi. Peran
gen CCR5 dalam memori dan kemampuan otak yaitu untuk membentuk koneksi
baru sehingga perbaikan pada gen ini juga dapat meningkatkan pemulihan otak
manusia setelah stroke. Jika penelitian ini terus dikembangkan, bukan tidak
mungkin peningkatan kognitif yang tidak alami akan terjadi dan mengganggu
keseimbangan alam (Regalado, 2019).
Kasus Lulu dan Nana merupakan penerapan dari modifikasi gen dengan
prinsip CRISPR-Cas9 yang dilakukan diam-diam tanpa diketahui oleh orang tua
dari embrio tersebut. Selain itu efek lain dari hasil percobaan tersebut yaitu pada
otak dua gais yang telah diedit memiliki tingkat kognis yang lebih tinggi. Hal
tersebut merupakan efek yang merubah kemampuan otak yang sebenarnya dari
kedua gadis tersebut. Peningkatan nilai kognitif otak dari hasil gen editing
tersebut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan alam dan faktor efek
sampingnya merupakan merubah dari suatu penciptaan. Pada kasus ini peneliti
melakukan suatu percobaan tanpa ijin dari orang tua yang berhak atas embrio
yang diedit. Orang tua embrio juga tidak mengetahui efek samping apa yang akan
terjadi karena tidak ada kesepakan sebelumnya, hal tersebut dapat melanggar
prinsip bioetika yang pertama pada perlindungan autonomi yang melindungi
martabat manusia. Selain itu, adapun efek dari gen CCR5 pada peningkatan
kognitif dari kedua gadis tersebut jika diterapkan secara terus menerus dapat
mengakibatkan adanya ketidakseimbangan alam. Dan dapat dikatakan
memanipulasi kodrat yang telah diciptakan. Sehingga percobaan tersebut dapat
mengurangi manfaat dan dapat memberikan dampak yang fatal pada kehidupan
selanjutnya. Dengan demikian, percobaan tersebut melanggar bioetik.
Bioetika pada ilmu lain yaitu dikaji pada konteks ilmu agama. Terapi gen
bagian dari modifikasi dari gen dan merupakan rekayasa genetik. Rekayasa
genetik sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuam dan teknologi masa
kini, mempunyai tujuan mulia yang tidak mempunyai kendala eris dalam
pengembangannya. Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum islam sebagaimana
yang terkandung didalam surat Al-anbiya’ ayat 107 yang memiliki arti “Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. Potongan ayat Al - Qur’an tersebut memberikan makna bahwasanya kita
sebagai manusia diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Dengan adanya
teknologi yang berkembang dan memberikan manfaat yang besar pada seluruh
makluk hidup serta diterima secara bioetik yang menjaga prinsip etik dan tidak
merubah ciptaan satu kodrat manusia, maka didalam ilmu agama, prinsip terapi
gen pada modifikasi gen dapat diterima. Disamping memiliki tujuan yang
mengandung kemslahatan, rekayasa genetik menyimpan bahaya - bahaya bagi
kehidupan manusia didunia ini. Namun bahaya tersebut dapat dicegah jika
teknologi itu sendiri dilaksanakan dengan garis - garis keamanannya. Dengan
demikian boleh tidaknya penerapan teknologi rekayasa genetik pada manusia
khususnya dalam perspektif hukum islam sangat bergantung pada pencegahan
bahaya yang ditimbulkan dari teknologi tersebut. Sehingga rekayasa genetik
sebagai bentuk pengobatan dan teknologi masa depan dapat dibenarkan
penggunaanya jika dilakukan sesuai dengan garis - garis keamanannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah disampaikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang
bertanggung jawab terhadap suatu penyakit. Pengobatan atau pencegahan
penyakit melalui terapi gen dilakukan dengan transfer bahan genetik ke
tubuh pasien
2. Proses rekayasa genetik pada teknologi terapi gen meliputi tahapan-tahapan,
antara lain isolasi gen target, penyisipan gen target ke vektor transfer,
transfer vektor yang telah disisipi gen target ke organisme yang akan
diterapi, transformasi pada sel organisme target. Gen target yang telah
disisipkan pada organisme yang diterapi tersebut diharapkan mampu
menggantikan fungsi gen abnormal yang mengakibatkan penyakit pada
penderita
3. Terdapat dua tipe utama terapi gen, meliputi terapi gen sel embrional (germ
line gene therapy) dan terapi gen sel tubuh (somatic gene therapy)
4. Bioetika terhadap manipulasi genetik pada kasus terapi gen manusia yaitu
modifikasi dari gen dengan menggunakan manusia dapat dilakukan jika
mempertimbangan 3 prinsip bioetik yaitu menghargai autonomi,
memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko, dan aspek keadilan.
Selain itu dengan garis - garis keamanannya.
DAFTAR PUSTAKA

Boulaiz, H., Marchal, J. A., Prados, J., Melguizo, C., & Aranega, A. 2005. Non-
viral and viral vectors for gene therapy. Cellular and molecular biology
(Noisy-le-Grand, France), 51(1), 3-22.
Bulluck, Pam. 2019. Gene-Edited Babies: What a Chinese Scientist Told an
American Mentor. The New York Times. Retrieved 14 April 2019.
Costa, J. R., Bejcek, B. E., McGee, J. E., Fogel, A. I., Brimacombe, K. R.,
Ketteler, R. 2017. Genome editing using engineered nucleases and their use
in genomic screening. In Assay Guidance Manual. Eli Lilly & Company and
the National Center for Advancing Translational Sciences.
Edelstein, M. L., Abedi, M. R., Wixon, J. 2007. Gene therapy clinical trials
worldwide to 2007—an update. The Journal of Gene Medicine: A
cross‐disciplinary journal for research on the science of gene transfer and
its clinical applications, 9(10), 833-842.
Hendel, A., Bak, R. O., Clark, J. T., Kennedy, A. B., Ryan, D. E., Roy, S.,
Bacchetta, R. 2015. Chemically modified guide RNAs enhance CRISPR-
Cas genome editing in human primary cells. Nature biotechnology, 33(9),
nbt-3290.
Jiang, Steven, Regan, Helen, Berlinger, Joshua (2018). China suspends scientists
who claim to have produced first gene-edited babies. CNN News
Marchione, M. 2018. Chinese researcher claims first gene-edited babies.
Washington Post.
Ramzy, Austin; Wee, Sui-Lee 2019. Scientist Who Edited Babies' Genes Is Likely
to Face Charges in China. The New York Times
Regalado, Antonio. 2019. China’s CRISPR twins might have had their brains
inadvertently enhanced. MIT Technology review.
https://www.technologyreview.com/s/612997/the-crispr-twins-had-their-
brains-altered/. Diakses pada 29 Oktober 2019.
Rinde, Meir. 2019. The Death of Jesse Gelsinger, 20 Years Later. Distillation.
https://www.sciencehistory.org/distillations/the-death-of-jesse-gelsinger-20-
years-later. Diakses pada 29 Oktober 2019.
Rosenberg SA, Aebersold P, Cornetta K, Kasid A, Morgan RA, Moen R. 1990.
Gene transfer into humans—immunotherapy of patients with advanced
melanoma, using tumor-infiltrating lymphocytes modified by retroviral gene
transduction. The New England Journal of Medicine. 323 (9): 570–578
Stolberg, S. G. 1999. The biotech death of Jesse Gelsinger. The New York Times.
Wilson, R. F. 2010. The death of Jesse Gelsinger: new evidence of the influence
of money and prestige in human research. American journal of law &
medicine, 36(2-3), 295-325.
Zhang, F., Wen, Y., & Guo, X. (2014). CRISPR/Cas9 for genome editing:
progress, implications and challenges. Human molecular genetics, 23(R1), R40-
R46.

Anda mungkin juga menyukai