PERNIKAHAN DINI
A. Pendahuluan
Perkawinan usia dini, membutuhkan kesiapan-kesiapan, baik kesiapan fisik, kesiapan
mental/emosi/psikologis, dan kesiapan sosial/ekonomi. Khususnya perempuan misalnya,
kesiapan seorang perempuan untuk hamil atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam
tiga hal, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental/emosi/psikologis, dan kesiapan sosial/ekonomi
(BKKBN, 2002:55).
Secara umum, berdasarkan konsep Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), “seorang perempuan yang disebut siap secara fisik jika ia telah menyelesaikan
pertumbuhan tubuhnya, yaitu sekitar usia 20 tahun, ketika tubuhnya berhenti tumbuh. Sehingga
usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman kesiapan fisik” (BKKBN, 2001:57).
Yang dimaksud dengan kesiapan mental adalah saat di mana seorang perempuan dan
pasangannya merasa telah ingin mempunyai anak dan merasa telah siap menjadi orang tua
termasuk mengasuh dan mendidik anaknya” (BKKBN, 2001:56). Sedangkan kesiapan
sosial/ekonomi, dimaksudkan : “secara ideal jika seorang bayi dilahirkan, maka ia akan
membutuhan tidak hanya kasih sayang orang tuanya, tetapi juga sarana yang membuatnya bisa
tumbuh dan berkembang. Bayi membutuhkan tempat tinggal yang tetap. Karena itu remaja
dikatakan siap jika ia bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti pakaian, makan-minum, tempat
tinggal dan kebutuhan pendidikan bagi anaknya.” Dalam hal ini meskipun seorang remaja
perempuan telah melampuai usia 20 tahun tetapi ia dan pasangannya belum mampu memenuhi
kebutuhan sandang pangan dan tempat tinggal bagi keluarganya, maka ia belum dapat dikatakan
siap untuk hamil dan melahirkan.
Remaja dimungkinkan untuk menikah pada usia di bawah 20 tahun sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan usia minimal menikah bagi
perempuan adalah 16 tahun dan bagi laki-laki 18 tahun. Tetapi tetap perlu diingat ketiga
kesiapan di atas, karena perempuan yang belum mencapai usia 20 tahun sedang berada di dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan fisik.
Persoalan perkawinan anak-anak (child bride) ini sebenarnya telah ditentang oleh
organisasi perempuan di tanah air sejak 80 tahun yang lalu. Seorang perempuan dari organisasi
Putri Indonesia pada tahun 1928 di Kongres Perempuan, menyatakan bahwa masalah perkawinan
anak-anak merupakan penyebab kemunduran perempuan di tanah air dan perlu perhatian yang
besar. Ia mengatakan bahwa hatinya sangat sedih bila melihat murid-murid perempuan yang baru
berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah sebab hendak dinikahkan. Dengan berurai air
mata anak itu meninggalkan gedung sekolah, dapatkah ibu yang masih kekanak-kanakan itu
memelihara, mendidik, dan membimbing anaknya dengan sempurna? Bagaimana bangsa kita
dapat maju dan sejajar dengan bangsa lain bila putranya tidak mendapat pendidikan dan
pembimbingan dengan sempurna?
Sederet pertanyaan dan kekhawatiran pun muncul dari realitas sosial tersebut. Menikah di
usia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa
tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.
Berawal dari kasus-kasus dan dampak yang ditimbulkan dari kondisi di atas, maka perlu
kiranya memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para remaja mengenai pernikahan di
usia muda, penyebab, dampak, dan cara untuk menekan tingginya angka pernikahan usia muda,
serta cara untuk mengatasi permasalahan atau konflik yang muncul dalam berumah tangga.
Mengingat dampak dari pernikahan usia dini, maka pranata keluarga harus memainkan
peranan yang dominan dalam mencegah pernikahan usia dini ini. Oleh karena itu, keluarga harus
berfungsi menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan dan harapan dari semua individu yang ada
dalam unit tersebut. Keluarga memiliki 5 fungsi dasar, antara lain: (1) fungsi afektif, adalah
fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota
keluarga berhubungan dengan orang lain. (2) Fungsi sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan
dan tempat melatih anak untuk bekehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain di luar rumah. (3) Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. (4) Fungsi ekonomi, adalah
fungsi untuk memnuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan
kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. (5)
Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan, adalah fungsi untuk mempertahankan keadaan
kesehatan anggota kelurga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.
Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.21 tahun 1994 BAB I pasal 1 ayat 2,
fungsi keluarga terbagi atas : fungsi cinta kasih dan fungsi melindungi. Fungsi cinta kasih yaitu
dengan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami, dengan
istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga
menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Fungsi
melindungi yaitu menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.