Anda di halaman 1dari 13

BAB V

PERNIKAHAN DINI
A. Pendahuluan
Perkawinan usia dini, membutuhkan kesiapan-kesiapan, baik kesiapan fisik, kesiapan
mental/emosi/psikologis, dan kesiapan sosial/ekonomi. Khususnya perempuan misalnya,
kesiapan seorang perempuan untuk hamil atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam
tiga hal, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental/emosi/psikologis, dan kesiapan sosial/ekonomi
(BKKBN, 2002:55).
Secara umum, berdasarkan konsep Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), “seorang perempuan yang disebut siap secara fisik jika ia telah menyelesaikan
pertumbuhan tubuhnya, yaitu sekitar usia 20 tahun, ketika tubuhnya berhenti tumbuh. Sehingga
usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman kesiapan fisik” (BKKBN, 2001:57).
Yang dimaksud dengan kesiapan mental adalah saat di mana seorang perempuan dan
pasangannya merasa telah ingin mempunyai anak dan merasa telah siap menjadi orang tua
termasuk mengasuh dan mendidik anaknya” (BKKBN, 2001:56). Sedangkan kesiapan
sosial/ekonomi, dimaksudkan : “secara ideal jika seorang bayi dilahirkan, maka ia akan
membutuhan tidak hanya kasih sayang orang tuanya, tetapi juga sarana yang membuatnya bisa
tumbuh dan berkembang. Bayi membutuhkan tempat tinggal yang tetap. Karena itu remaja
dikatakan siap jika ia bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti pakaian, makan-minum, tempat
tinggal dan kebutuhan pendidikan bagi anaknya.” Dalam hal ini meskipun seorang remaja
perempuan telah melampuai usia 20 tahun tetapi ia dan pasangannya belum mampu memenuhi
kebutuhan sandang pangan dan tempat tinggal bagi keluarganya, maka ia belum dapat dikatakan
siap untuk hamil dan melahirkan.
Remaja dimungkinkan untuk menikah pada usia di bawah 20 tahun sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan usia minimal menikah bagi
perempuan adalah 16 tahun dan bagi laki-laki 18 tahun. Tetapi tetap perlu diingat ketiga
kesiapan di atas, karena perempuan yang belum mencapai usia 20 tahun sedang berada di dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan fisik.
Persoalan perkawinan anak-anak (child bride) ini sebenarnya telah ditentang oleh
organisasi perempuan di tanah air sejak 80 tahun yang lalu. Seorang perempuan dari organisasi
Putri Indonesia pada tahun 1928 di Kongres Perempuan, menyatakan bahwa masalah perkawinan
anak-anak merupakan penyebab kemunduran perempuan di tanah air dan perlu perhatian yang
besar. Ia mengatakan bahwa hatinya sangat sedih bila melihat murid-murid perempuan yang baru
berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah sebab hendak dinikahkan. Dengan berurai air
mata anak itu meninggalkan gedung sekolah, dapatkah ibu yang masih kekanak-kanakan itu
memelihara, mendidik, dan membimbing anaknya dengan sempurna? Bagaimana bangsa kita
dapat maju dan sejajar dengan bangsa lain bila putranya tidak mendapat pendidikan dan
pembimbingan dengan sempurna?
Sederet pertanyaan dan kekhawatiran pun muncul dari realitas sosial tersebut. Menikah di
usia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa
tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.
Berawal dari kasus-kasus dan dampak yang ditimbulkan dari kondisi di atas, maka perlu
kiranya memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para remaja mengenai pernikahan di
usia muda, penyebab, dampak, dan cara untuk menekan tingginya angka pernikahan usia muda,
serta cara untuk mengatasi permasalahan atau konflik yang muncul dalam berumah tangga.
Mengingat dampak dari pernikahan usia dini, maka pranata keluarga harus memainkan
peranan yang dominan dalam mencegah pernikahan usia dini ini. Oleh karena itu, keluarga harus
berfungsi menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan dan harapan dari semua individu yang ada
dalam unit tersebut. Keluarga memiliki 5 fungsi dasar, antara lain: (1) fungsi afektif, adalah
fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota
keluarga berhubungan dengan orang lain. (2) Fungsi sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan
dan tempat melatih anak untuk bekehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain di luar rumah. (3) Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. (4) Fungsi ekonomi, adalah
fungsi untuk memnuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan
kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. (5)
Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan, adalah fungsi untuk mempertahankan keadaan
kesehatan anggota kelurga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.
Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.21 tahun 1994 BAB I pasal 1 ayat 2,
fungsi keluarga terbagi atas : fungsi cinta kasih dan fungsi melindungi. Fungsi cinta kasih yaitu
dengan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami, dengan
istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga
menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Fungsi
melindungi yaitu menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.

B. Pengertian Perkawinan Usia Dini


Usia dini mengandung arti bahwa usia atau umur yang masih relatif muda atau belum
saat atau waktunya, dan apabila dipaksakan akan menimbulkan efek atau dampak yang tidak
konstruktif bagi seseorang. Misalnya seseorang yang menikah pada usia dini akan rentan
perceraian, dan juga akan membahayakan kesehatan bagi pihak perempuan.
Dengan demikian, perkawinan usia dini adalah suatu perkawinan yang dilakukan dengan
tidak mengindahkan ketentuan usia sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk
seorang lelaki minimal usia 19 tahun dan untuk seorang perempuan minimal usia 16 tahun.
Pasal 7, Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
“perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Ada banyak pengertian pernikahan usia muda, di antaranya: (1) pengertian secara umum,
merupakan instituisi agung untuk mengikat dua spirit lawan jenis yang masih remaja dalam satu
ikatan keluarga, (2) menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, pernikahan usia muda adalah
sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah
solusi spiritual. Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekedar tali pengikat untuk
menyalurkan kebutuhan biologis (tiket hubungan seksual yang sah), tetapi juga harus menjadi
media aktualisasi ketaqwaan. Oleh karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan dibutuhkan
persiapan-persiapan yang matang (kematangan fisik, psikis, maupun spiritual).
Perkawinan usia dini dalam penelitian ini yaitu jika pria belum mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun, sebagaimana
yang menjadi syarat sahnya pernikahan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
C. Penyebab Perkawinan Usia Dini
Faktor-faktor yang mendorong mereka melakukan perkawinan usia dini yaitu antara lain
keinginan untuk segera mendapatkan tanbahan anggota keluarga, tidak adanya pengertian
mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, sifat kolot orang jawa yang tidak mau
menyimpang dari ketentuan adat (kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu
mengawinkan anaknya di usia muda hanya karena mengikuti kebiasaan adat saja).
Selain faktor di atas, ada beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya perkawinan di
usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat, yaitu:
1. Ekonomi. Perkawinan usia dini terjadi karena kehidupan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan orangtuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan
orang yang dianggap mampu.
2. Pendidikan. Rendahnya tingakat pendidikan maupun pengetahuan orangtua, anak, dan
masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih
dibawah umur.
3. Faktor orang tua. Orangtua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan
laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4. Faktor adat. Perkawinan usia dini terjadi karena orangtuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dikawinkan.
Perkawinan menurut Hukum Adat Hukum adat adalah suatu hakekat manusia untuk
sedapat mungkin mengetahui bagaimana timbulnya gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat.
Keinginan tadi antara lain juga berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui tentang kaedah-
kaedah yang secara sadar maupun tidak sadar menjadi pengatur dari perikelakuan sehari-hari dari
manusia. Bahwa manusia tidak selalu menyadari bahwa di dalam kehidupan sehari-harinya dia
berperikelakuan menurut suatu pola tertentu, adalah karena sejak dilahirkan dia sudah berada di
tengah-tengah suatu pola tertentu, melalui proses imitasi atau karena pendidikan yang
diperolehnya. Pola tersebut pada hakekatnya merupakan suatu struktur daripada kaedah-kaedah
untuk hidup. Struktur kaedah-kaedah yang merupakan patokan untuk berperikelakuan,
sebenarnya timbul oleh karena pada hakekatnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup secara
wajar atau pantas.
Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan
mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau sebagian masyarakat) yang mendukung adat
istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya. Sulit untuk dapat
membayangkan bahwa adat istiadat, walaupun dipelihara terus-menerus dengan sendirinya akan
mewujudkan kepastian hukum. Suatu kepastian akan dapat dihasilkan oleh kaedah-kaedah yang
mempunyai kekuatan mengikat yang lebih kuat, yang mengatur tata kehidupan masa kini dan
masa-masa mendatang. Kecuali daripada itu, maka juga diperlukan kaedah-kaedah yang dengan
tegas menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang apabila mungkin
diperkuat dengan sanksi-sanksi apabila kaedah tersebut dilanggar. Hal ini semua tercakup
didalam Hukum Adat yang terutama berisikan perintah, larangan dan kebolehan. Perkawinan
menurut hukum adat adalah suatu perkawinan merupakan urusan kerabat/urusan masyarakat,
urusan pribadi satu sama lain dalam hubungan yang berbeda-beda, atau merupakan salah satu
cara untuk menjalankan upacara-upacara yang banyak corak ragamnya menurut masing-masing
tradisi.
D. Dampak Pernikahan di Usia Muda
Dari perspektif psikologi, pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan
sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik. Usia bukan ukuran utama untuk
menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, sehingga menikah bisa menjadi solusi
alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali. Menikah di usia dini
tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang
lebih cemerlang. Selain itu, menurut bukti-bukti psikologis, pernikahan dini juga sangat baik
untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan
yang puncak. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari
kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia
mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan. Dari kacamata
psikologi, pernikahan di usia muda adalah motivator untuk meningkatkan potensi diri dalam
segala aspek positif.
Namun, tanpa kita sadari ada banyak dampak lain dari pernikahan di usia muda. Ada
yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga
remaja khususnya perempuan antara lain dalam perspektif hak, terdapat tiga masalah besar yang
dihadapi anak menikah pada usia muda, menyangkut hilangnya masa kanak-kanak dan remaja,
hilangnya kebebasan personel, dan kurangnya kesempatan untuk mengembangkan diri secara
penuh di samping penyangkalan pada kesejahteraan psikososial dan emosional, kesehatan
reproduksi dan kesempatan menempuh tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi.
Pernikahan usia muda juga memiliki implikasi bagi kesejahteraan keluarga dan dalam
masyarakat secara keseluruhan. Bagi perempuan yang tidak berkepentingan dan tidak siap
menjalankan perannya sebagai ibu yang bisa memberikan sumbangannya bagi masyarakat
terdapat biaya yang harus dibayar di setiap tingkat, mulai dari tingkat individual, keluarga,
sampai kepada bangsa secara keselurahan.
a) Tingginya angka kematian ibu dan anak serta gangguan kesehatan lainnya
Tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan di suatu negara
menyumbangkan pada rendahnya indeks pembangunan manusia di suatu negara yang disebabkan
antara lain oleh kasus-kasus pernikahan usia muda. Indikator Sosial Wanita Indonesia yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun 1995 menyebutkan 21,75 persen anak perempuan di
perkotaan menikah pada usia di bawah 16 tahun dan 47,79 persen di kawasan pedesaan.
Penelitian menunjukan bahwa ibu di bawah umur lebih cenderung melahirkan anak yang cacat
atau adanya gangguan kesehatan. Ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun memiliki resiko
60 persen lebih besar kematian bayi. Penelitian UNICEF tahun 2007 menunjukan bahwa ibu
yang melahirkan di bawah umur 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi atau anak yang
rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan-keputusan yang salah untuk bayi mereka.
Perkawinan anak-anak telah berulang kali dilakukan penelitian oleh berbagai organisasi
internasional seperti ICRW dan UNICEF tentang bahaya perkawinan anak-anak. Beberapa
persoalan yang dikemukakan adalah risiko kesehatan anak-anak yang dinikahkan di bawah umur,
misalnya UNICEF melaporkan pada tahun 2001 anak-anak yang hamil di bawah umur
cenderung melahirkan bayi prematur, komplikasi melahirkan bayi kurang gizi serta kematian ibu
dan bayi lebih tinggi. Ibu usia di bawah 15 tahun lima kali mengandung resiko pendarahan, serta
kesulitan melahirkan. Kematian ibu di kalangan usia bawah diestimasikan dua kali hingga lima
kali lebih banyak dari ibu berusia dewasa.
Gangguan kesehatan bisa terjadi karena ibu terlalu muda, terlalu banyak atau terlalu
sering melahirkan. Seorang remaja dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya
masih terlalu kecil sehingga dapat membahayakan proses persalinan. Pada tahap remaja, seorang
anak sedang mengalami pertumbuhan. Bila ia juga harus mengandung janin yang sedang tumbuh
maka akan terjadi perebutan dalam perkembangan sehingga walaupun mungkin selamat namun
kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan oleh perempuan
dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan.
b) Kanker leher rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim.
Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang sehingga bila terpapar Human Papiloma
Virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Leher rahim memiliki dua
lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi
pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel
skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan
menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia di atas 20 tahun,
sel-sel sudah matang, sehingga resiko semakin kecil.
Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah
berhubungan intim. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim
bisa diatasi secara total.
c) Neoritis depresi
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan usia muda ini, dapat terjadi pada
kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja
menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang
yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat
pada pribadi extrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk
melampiaskan amarahnya seperti perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain,
secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
Dalam pernikahan di usia yang masih muda sulit membedakan apakah remaja laki-laki
atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas
labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi
prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai
menemukan masalah bila telah mempunyai anak. Begitu punya anak, kehidupan rumah tangga
akan berubah dan tanggung jawab meningkat. Bila berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy,
apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati
masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.
Pada usia yang terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi atau mungkin
mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married
By Accident (MBA) atau menikah karena “kecelakaan”, kehidupan pernikahan pasti
berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan
dilepas begitu saja.
d) Pernikahan yang tidak berkekuatan hukum
Dalam pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa pegawai pencatat
pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila
ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.
Oleh karena itu, apabila pasangan mempelai dan juga keluarga tidak keberatan maka tindakan
yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor
Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil). Pernikahan yang tidak
tercatat di lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, meskipun
mungkin dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan. Untuk
pernikahan yang tidak tercatat seperti ini, pihak yang mengalami kerugian utama adalah pihak
istri dan anak-anak yang dilahirkannya karena bila tidak memiliki dokumen pernikahan, seperti
surat nikah, maka ia akan kesulitan menuntut hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah
perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.
e) Munculnya pekerja anak
Para kaum muda Indonesia yang menikah dan putus sekolah sebelum menyelesaikan
pendidikan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), pada umumnya cenderung
berpenghasilan rendah. Selain itu mereka juga rentan terhadap pengangguran, atau bekerja di
bidang pekerjaan yang kurang aman dan pasti (tanpa kontrak). Dari survei terbaru Organisasi
Perburuhan Internsional atau International Labour Organization (ILO), yang menelaah kondisi
ketenagakerjaan anak muda di Indonesia, semakin muda usia putus sekolah, semakin tinggi
persentase terjebak dalam pengangguran dan kemungkinan berhasil dalam dunia kerjanya rendah
karena tidak berpendidikan, berketrampilan rendah, serta tidak memiliki kecakapan kerja. Hal ini
merupakan bukti, adanya sebuah kebutuhan untuk tidak membiarkan anak-anak di bawah umur
untuk bekerja atau masuk dalam angkatan kerja. Anak-anak pada usia tersebut harus tetap berada
di sekolah untuk menuntut ilmu karena anak yang putus sekolah dan masuk dalam dunia kerja
walaupun dapat membantu perekonomian keluarga, namun hanya untuk sementara saja. Oleh
karena itu, pendidikan dan kesempatan pelatihan yang luas bagi orang muda tidak hanya sekedar
membantu para anak muda saja. Namun, akan menjadi investasi yang efektif bagi masa depan
ekonomi Indonesia.
Kaum muda yang putus sekolah untuk bekerja juga cenderung untuk menikah dan
memiliki anak pertama rata-rata dua tahun lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang
menyelesaikan pendidikan dasar. Pernikahan dan kelahiran anak dini dapat menjadi faktor
penyebab terjebaknya mereka dalam kemiskinan di masa mendatang, yang pada gilirannya akan
melahirkan pekerja-pekerja anak baru yang tidak memberikan perubahan apapun.
f) Kekerasan dalam rumah tangga
Penelitian yang di lakukan UNICEF pada tahun 2005 mengangkat soal kekerasan
domestik yang tinggi dialami anak-anak yang dinikahkan pada usia muda sebanyak 67 persen
anak-anak yang dipaksa menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan 47
persen perempuan dewasa yang menikah. Hal ini disebabkan karena anak-anak tersebut lebih
banyak dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua sehingga keputusan-keputusan rumah
tangga dilakukan oleh suami mereka karena anak-anak tidak memiliki kekuatan untuk
bernegosiasi. Kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangga juga menunjukan lebih banyak
dialami oleh pengantin anak-anak dibandingkan dengan pengantin dewasa.
g) Konflik yang berujung perceraian
Setiap periode kehidupan manusia punya masalahnya sendiri-sendiri termasuk periode
remaja. Remaja seringkali sulit mengatasi masalah mereka karena ketika masih anak-anak semua
masalah mereka selalu diatasi oleh kedua orangtua mereka atau orang-orang dewasa. Remaja
juga sering merasa dirinya telah menjadi mandiri, mereka mempunyai gengsi dan menolak
bantuan dari orang dewasa lainnya sehingga membuat remaja tidak mempunyai pengalaman
dalam menghadapi masalah. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab kepada diri sendiri dan
pasangan. Namun, sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan
sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini membuat pernikahan usia muda sering
berakhir dengan perceraian.
Pernikahan dalam usia muda, memiliki dampak cukup berat karena mendorong tingginya
angka perceraian. Permasalahan dalam keluarga muda yang menyebabkan terjadi perceraian dan
pisah rumah biasanya terjadi karena kurangnya rasa tanggung jawab terhadap masa depan
keluarga dan peran yang dimiliki karena ketidakstabilan emosi, gejolak keinginan untuk bebas
dan melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, persoalan ekonomi dan sosial, kekerasan dalam
rumah tangga, dan sebagainya.
h) Banyaknya anak terlantar
Sering kali pasangan yang menikah di usia muda melahirkan banyak anak karena mereka
tidak menjalankan keluarga berencana dan kurang mengerti mengenai alat-alat kontrasepsi.
Akibatnya banyak anak yang tidak tercukupi kebutuhannya ditelantarkan oleh orang tua mereka
atau diberikan kepada orang lain. Ironisnya, orang tua yang tidak menyadari akibat dari
perbuatan mereka tetap saja melahirkan anak lagi meskipun tahu kebutuhan si anak tidak akan
tercukupi.
i) Kurangnya jaminan masa depan
Masa depan pernikahan di usia muda kurang terjamin. Hasil penelitian Pusat Riset
Innocenti Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) di Itali, menyatakan,
perkawinan usia muda penuh ketidakpastian dan mengandung risiko yang tak terhitung besarnya.
Pernikahan di usia muda baik karena keterpaksaan ataupun bukan biasanya menimbulkan
tanggapan yang kurang baik dari sebagian masyarakat yang cenderung menganggap bahwa
pernikahan terjadi karena pergaulan yang tidak baik. Pasangan muda akan sulit bersosialisasi
karena telah di anggap buruk. Pernikahan usia muda juga biasanya tidak bertahan lama dan
berakhir dengan perceraian ataupun misalnya pasangan meninggal, akan memunculkan banyak
janda muda. Janda yang masih anak-anak ini akan kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup
diri sendiri dan anak-anaknya karena banyak keterbatasan yang dimiliki. Kesulitan mendapatkan
pekerjaan merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh para janda muda dan tidak
sedikit yang pada akhirnya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum.
Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah
pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap
keluarga mereka masing-masing.
a. Dampak terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan
di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami
istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang
cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.
b. Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan
membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia
muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang
melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan-
gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak.
c. Dampak terhadap masing-masing keluarga
Selain berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga
akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan diantara
anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing.
Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang
terjadi adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan
yang paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah-pihak.

E. Hukum Perkawinan Usia Dini


Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua
orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai
sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah umur.
Sehingga Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu
meskipun Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar
12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan
usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan
usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya di
desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki
25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah
berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai
matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu
menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat
mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa
merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang
melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor
yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.
F. Penutup
Resiko yang akan timbul akibat dari pernikahan dini adalah pada rentang usia tersebut
dari segi kesiapan secara fisik, salah satunya rongga panggul belum siap menjadi ibu. Lalu,
kehamilan pada usia muda pun menyebabkan anemia dan tekanan darah tinggi. Pada kehamilan
di usia muda pun kerap dijumpai kelainan letak plasenta atau ari-ari dan lepasnya plasenta
sebelum waktunya yang mengakibatkan perdarahan. Ini dapat mengancam jiwa ibu dan bayinya.
Ada beberapa bahaya yang akan timbul dari pernikahan dini. Secara organ reproduksi ia
belum siap untuk berhubungan atau mengandung, sehingga jika hamil berisiko mengalami
tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat). Kondisi ini biasanya tidak terdeteksi pada
tahap-tahap awal, tapi nantinya menyebabkan kejang-kejang, perdarahan bahkan kematian pada
ibu atau bayinya.
Sel telur yang dimiliki oleh perempuan tersebut belum siap. Berisiko mengalami kanker
serviks (kanker leher rahim), karena semakin muda usia pertama kali seseorang berhubungan
seks, maka semakin besar risiko daerah reproduksi terkontaminasi virus.
Menikah di usia dini bagi perempuan berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan
karena organ tubuh terutama yang berkaitan dengan alat reproduksi. Bahkan, anak yang
dilahirkannya pun sangat besar kemungkinan lahir dengan berat badan rendah dan berisiko tubuh
pendek atau stunting (kuntet). Anak stunting ini lebih banyak lahir dari ibu yang hamil di bawah
usia 20 tahun. Anak stunting itu tubuhnya pendek, kecil, dan ukuran otak kecil. Risikonya mudah
kena penyakit jantung dan pembuluh darah,”
Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan
pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat
bahwa 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada
usia 15-16 tahun. Plan juga mencatat pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak
perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus
pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
Penelitian Plan menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu
perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan
kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta
lemahnya penegakan hukum.
***000***

Anda mungkin juga menyukai