Anda di halaman 1dari 11

PERNIKAHAN DINI DI DESA CIPANCUR KECAMATAN

MAJENANG KABUPATEN CILACAP PERSPEKTIF GENDER


(Studi Faktor Penyebab Ketidakadilan Gender)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Gender dalam


Hukum Keluarga Islam
Dosen Pengampu : Hj. Durrotun Nafisah, S.Ag., M.S.I.

Disusun Oleh:
Mahendra Dzulfikar Irzananda (1917302127)
Naufal (1917302128)
Tasya Putri Latifah (1917302138)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan menjelaskan bahwa pernikahan atau perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu pernikahan diartikan
juga sebagai ikatan sakral yang dibangun dalam sebuah komitmen bersama
dengan dilandasi rasa saling menyayangi, menghargai dan rasa saling percaya.
Dalam menjalankan pernikahan baik laki-laki maupun perempuan harus
memiliki kesiapan yang matang diantaranya adalah kesiapan mental, kesiapan
sosial dan peran, serta kesiapan dalam hal finansial. Menurut Badan
Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjelaskan bahwa
usia ideal untuk melakukan pernikahan adalah 21 tahun untuk perempuan dan
25 tahun untuk laki-laki, karena usia tersebut dianggap sebagai usia yang sudah
matang baik dalam hal biologis maupun psikologis. Akan tetapi saat ini
pernikahan tidak dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang sudah
dewasa saja, namun juga banyak praktik pernikahan yang dilakukan oleh orang-
orang yang masih berada di bawah umur atau disebut juga praktik pernikah usia
dini, praktik pernikahan usia dini adalah mereka yang melakukan pernikahan di
bawah usia 19 tahun.
Pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang
masih berada di bawah usia 18 tahun rentan terhadap permasalahan-
permasalahan yang krusial dalam masyarakat seperti lahirnya rantai
kemiskinan, hal tersebut terjadi karena baik laki-laki maupun perempuan yang
menikah di usia dini belum memiliki persiapan dalam dirinya untuk membina
rumah tangga, sehingga belum mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Perpindahan dari dunia remaja memasuki fase dewasa sangat
berpengaruh terhadap psikologis anak, untuk itu diperlukan kesiapan mental
dalam menyandang status baru sebagai suami istri.

1
PEMBAHASAN
A. Argumen Pernikahan Dini Narasumber
Pada dasarnya pengertian pernikahan dini adalah pernikahan yang
dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan, namun mempelai
masih belum baligh.1 Pernikahan dini ialah suatu ikatan janji yang dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan dalam membangun rumah tangga dan tujuan
pernikahan bersama, tetapi lai-laki dan perempuan disini berumur kurang dari
18 tahun atau tidak sesuai dengan kriteria usia untuk menikah. Pernikahan dini
menurut United Nation’s Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa
pernikahan usia dini merupakan suatu pernikahan yang dilaksanakan secara
resmi atau tidak resmi yang dilakukan laki-laki dan perempuan sebelum berusia
18 tahun. Sedangkan menurut BKKBN pernikahan dini atau early marriage
ialah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang remaja perempuan dan laki-laki
berusia kurang dari 20 tahun yang sebenarnya belum siap menjalani bahtera
rumah tangga. Pernikahan dini juga dapat didefinisikan sebagai ikatan lahir
batin seorang pria dan seorang wanita dengan menjadi suami istri pada usia
yang masih sangat muda atau remaja.2
Penelitian ini dilakukan pada salah satu keluarga di Desa Cipancur
Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara terhadap LS sebagai istri dalam sebuah
keluarga yang melakukan pernikahan dini. Adapun LS menikah dengan
suaminya pada tanggal 24 Juni 2019 dengan umur yang terbilang muda yaitu
umur 18 tahun. Ia menikah dengan seorang laki-laki yang kini bekerja sebagai
buruh dan ia telah dikaruniai seorang anak perempuan.
Bagi LS pernikahan dini memiliki arti sendiri baginya. “Bagi saya
melakukan pernikahan diumur 18 tahun itu kurang baik ya, mending nanti saja
nunggu umur 24 tahun atau 26 tahun, karena menikah diumur yang sangat muda
menurut saya sangat belum siap terutama dari kesiapan mental. Mungkin akan

1
Yelia Ahya Robby, Ela Siti Fauziah, Pernikahan Usia Dini dan Dampak Perceraian di
Pedesaan, Jurnal Istinbath, Vol. 16, No. 1, 2021, Ha. 117.
2
Dini Failah, Tinjauan Dampak Pernikahan Dini dari Berbagai Aspek, Jurnal Pamator, Vol. 14,
No. 2, 2021, Hal. 90.

2
banyak pernikahan dini diluar sana yang akan gagal pada akhirnya karena tidak
kuat untuk menjalani rumah tangga. Karena diumur-umur segitu kan lagi
senang-senangnya untuk menyenangkan diri sendiri tapi karena menikah maka
harus belajar untuk dewasa”.
Terdapat berbagai alasan yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini
yang sering di jumpai di lingkungan masyarakat kita, yaitu:
1. Faktor Ekonomi

Masalah ekonomi pada keluarga sering kali mendorong orang tua untuk
cepat-cepat menikahkan anaknya, karena orang tua yang tidak mampu
membiayai hidup dan sekolah terkadang membuat anak memutuskan untuk
menikah di usia dini dengan alasan beban ekonomi keluarga jadi berkurang dan
dapat membantu perekonomian keluarga, karena menurut orang tua anak
perempuan yang sudah menikah menjadi tanggung jawab suaminya.

2. Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang, oleh
karena itu pemerintah Indonesia telah merancang program wajib sekolah 9
tahun. Tetapi karena keterbatasan ekonomi yang rendah sering kali pendidikan
tersebut terabaikan, karena tidak mampu untuk membeli segala perlengkapan
sekolah. Di beberapa wilayah, pendidikan masih dianggap sebelah mata hal ini
dapat dilihat karena banyaknya anak-anak yang hanya tamat Sekolah Dasar
(SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kurangnya pengetahuan orang
tua tentang pendidikan sehingga sering kali orang tua hanya bersikap pasrah
dan menerima keputusan anaknya yang ingin putus sekolah, hal ini
mengakibatkan terjadinya rendahnya tingkat pendidikan dan mengakibatkan
terjadinya pernikahan dini karena tidak adanya kegiatan positif yang dilakukan
anak.3

3. Faktor Orang tua

3
Ika Syarifatunisa, Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini Di Kelurahan Tunon Kecamatan
Tegal Selatan Kota Tegal, Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2017, hlm.27

3
Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh, dan
membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu hingga siap untuk
menjalankan kehidupan rumah tangga. Selain faktor ekonomi dan faktor
pendidikan ada juga faktor orang tua karena rendahnya pendidikan kedua orang
tua sehingga pola pikir mereka pun bersifat pasrah dan menerima, kepasrahan
inilah maka orang tua kurang memahami adanya peraturan dalam Undang-
Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.

4. Faktor Pola Pikir Masyarakat

Pola pikir masyarakat dan kurangnya pengetahuan tentang menikah muda


dalam pernikahan sering terjadi misalnya adannya kekhawatiran orang tua
kepada anak perempuannya yang sudah menginjak remaja walaupun usia
anaknya belum mencapai dewasa atau masih di bawah umur, biiasannya orang
tua yang tinggal baik di pedesaan maupun perkotaan apabila anak
perempuannya tidak lagi bersekolah dan tidak mempunyai kegiatan yang
positif maka pada umumnya akan menikahkan anaknya tersebut cepat-cepat
karena takut akan menjadi perawan tua. Sehingga terkadang orang tua akan
segera menikahkan anaknya dengan begitu orang tua tidak merasa malu lagi
karena anaknya sudah laku dan apabila terdapat orang yang belum menikah
sampai di usia 25 tahun keatas maka akan menjadi bahan guncingan karena
dianggap tidak laku.

5. Faktor Hamil di Luar Nikah

Fenomena hamil diluar nikah saat ini sudah banyak di temui di masyarkat
sekitar, karena hampir setiap hari di media TV maupun surat kabar menyajikan
berita-berita mengenai seks, seperti berita pemerkosaan, pelecehan seksual,
dll.. Adapula faktor karena orang yang sudah hamil diluar nikah yang terpaksa
harus dinikahkan untuk menghinndari aib keluarga mereka, walaupun masih di
bawah umur tetap dinikahkan karena anak perempuannya yang terlanjur hamil
duluan. Selain itu gaya hidup dan perilaku seks yang bebas mempercepat
peningkatan kejadian kehamilan pada remaja, hal ini disebabkan oleh cepatnya

4
pertembuhan dan perkembangan remaja yang dirangsang olehh banyaknya
media yang mempertontonkan kehidupan seks.

Dalam hal alasan melakukan pernikahan dini, LS menerangkan “Saya


menikah karena memang kemauan dari diri sendiri, tidak ada paksaan dari
keluarga. Keluarga tidak memaksa untuk cepat-cepat menikah karena kan pada
akhirnya saya yang akan menjalaninya nanti. Tapi harapan keluarga ya lebih
baik nanti dulu saja menikahnya, lebih baik kerja dulu membantu
perekonomian keluarga, menyenangkan diri sendiri dulu. Karena kan saya
hanya lulusan SMP”.

B. Argumen Pernikahan Dini Narasumber Perspektif Gender


Ketidakadilan gender adalah berbagai tindak ketidakadilan atau
diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. 4 Bentuk dari berbagai
ketidakadilan gender terhadap perempuan ini bisa berupa marginalisasi,
stereotip, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan (violence) terhadap
perempuan. Dalam kegiatan sehari-harinya, narasumber menceritakan bahwa ia
melakukan semua pekerjaan rumah tangga dan juga bekerja. “Kegiatan sehari-
hari ya jadi ibu rumah tangga, masak, mencuci, jemur pakaian, mengurus anak,
ngurus suami. Kalo kerja ya cuma jualan aja itu juga kalo dapat titipin dari orang
kaya misal sayur-sayuran gitu, saya jualan dirumah”. Melihat hal tersebut, jika
dilihat dari perspektif gender maka terdapat sebuah manifestasi ketidakadilan
gender yakni beban ganda (double burden) dimana beban pekerjaan yang
diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin yang
lainnya. Dalam hal ini, istri melakukan pekerjaan rumah tangga serta menerima
pekerjaan public yakni dengan berdagang.
Peran produksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan
permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja
diwilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di
wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah

4
Henny Wiludjeng, dkk., Sosiologi Untuk Mahasiswa Fakultas Hukum, Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2019 Hal. 88

5
mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu
rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian,
tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya
mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

C. Reinterpretasi Argumen Narasumber Perspektif Gender


Perbedaan peran gender dan pandangan yang bias gender sangat berpotensi
untuk melahirkan ketidakadilan gender baik terhadap laki-laki maupun
perempuan. Akar penyebab ketidakadilan gender adalah budaya patriarkis dan
pemahaman yang bias gender terhadap ajaran agama dan kebijakan
pembangunan (pendidikan, hukum, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain) yang
bias dan atau netral gender. Budaya patriarki menempatkan laki-laki dalam
masyarakat sebagai sosok otoritas utama yang sentral. Misalnya seorang ayah
yang memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara
tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan, hak istimewa laki-laki dan
menuntut subordinasi perempuan.
Dalam urusan rumah tangga, perempuan dituntut untuk dapat melakukan
berbagai macam pekerjaan rumah, mulai dari menyapu hingga memasak. Jika
seorang perempuan tidak mampu melakukan hal tersebut, ia bisa dikucilkan
oleh orang-orang sekitar. Lain halnya dengan laki-laki, dalam budaya patriarki,
laki-laki tidak dituntut untuk melakukan pekerjan rumah tangga. Jika laki-lai
tersebut melakukannya ia akan dipuji seakan-akan melakukan hal yang luar
biasa, atau bisa saja perempuan yang ada disekitar laki-laki tersebut disalahkan
karena membiarkan laki-laki tersebut melakukan pekerjaan rumah tangga.
Menurut pendapat narasumber, ia menilai bahwa suami cenderung memiliki
peran yang dominan dalam rumah tangganya. Seperti halnya dalam
pengambilan keputusan yang penting, atau dalam hal penyelesaian masalah
dalam rumah tangga mereka. Selain itu, dalam hal perizinan suami juga lebih
dominan karena memberikan batasan kepada istri untuk bisa pergi atau bekerja
diluar rumah. Suami cenderung menghendaki istri untuk tetap berada dirumah
dan jika bekerja juga tetap melakukan pekerjaan tersebut dirumah.

6
Budaya patriarki ini membentuk sosok lai-lai yang dominan dalam berbagai
aspek. Cenderung kuat dan memiliki kekuasaan penuh terutama terhadap
perempuan dan rumah tangganya. Sehingga banyak istri yang memiliki
keterbatasan untuk melaukan suatu hal yang mereka inginkan. Bahkan tak
sedikit dari mereka yang memilih untuk tunduk lantaran tidak berani melawan
ataupun tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.5

D. Resolusi Membangun Kesadaran Masyarakat untuk Membentuk


Keluarga yang Respomsif Gender dengan Tidak Melakukan Pernikahan
Dini

Kian maraknya seks bebas dikalangan remaja dan dewasa muda, maupun
meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas
sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya.

Para orangtua memaksaa anak mereka untuk segera menikah. Hal ini
biasanya terjadi setelah remaja lulus SMP atau bahkan belum. Mereka menganggap
pendidikan tinggi itu tidak penting, bagi mereka lulus SD saja sudah cukup. Disini
lah peranan keluarga sangat menentukan terhadap terjadi atau tidaknya pernikahan
dini.

Pernikahan dini atau pernikahan dibawah umur kenyataannya lebih banyak


mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orangtua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan / mengawinkan anaknya dalam
usia dini dan harus memahami peraturan perundang undangan untuk melindungi
anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class
action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI). LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan
penyelidikan untuk melihat adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada
dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan

5
Karni Fadhillah, Patriarki Adalah-Definisi dan Contohnya yang Sering Kita Temui, Jojonomic,
https://www.joonomic.com/blog/patriarki-adalah/ diakses hari Selasa 29 November 2022 Pukul
11.13.

7
perundangan yang ada. ( UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU
Perkawinan, UU PTPPO )

Untuk mengurangi dan menghindari terjadinya pernikahan dini sehingga


tugas semua pihak untuk menyadarkan masyarakat sehingga benar benar mengerti
dan memahami tentang baik dan buruknya pernikahan dini. Pihak terkait harus terus
melakukan penyuluhan dan bimbingan terhadap masyarakat. Masyarakat harus
benar benar sadar terhadap hukum pernikahan. Pembinaan rumah tangga dan
kematangan usia rumah tangga harus benar benar matang, sehingga semua pihak
benar benar siap dan bisa membentuk keluarga yang harmonis dan dinamis.

PENUTUP

8
Kesimpulan

Ketidakadilan gender dalam pernikahan dini kerap kali ditemukan seperti


dalam suatu kasus di dalam penelitian ini. Perbedaan peran gender dan pandangan
yang bias gender sangat berpotensi untuk melahirkan ketidakdilan baik terhadap
lai-lai maupun perempuan. Budaya patriarki sebagai salah satu faktor penyebab
ketidakadilan gender memiliki dampak-dampak yang negatif sehingga banyak dari
masyarakat khususnya penganut feminis yang menuntut kesetaraan gender.
Kesetaraan gender dapat diartikan sebagai suatu keadaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hak atau hukum dan kondisi atau kualitas hidup. Keadilan gender
dapat tercerminkan dalam keadaan dimana perempuan serta lai-laki memiliki hak,
status dan wewenang yang sama dimuka hukum, memiliki peluang serta
kesempatan yang sama serta adil dalam menikmati hasil pemabangunan.

DAFTAR PUSTAKA

9
Fadhillah, Karni. Patriarki Adalah-Definisi dan Contohnya yang Sering Kita
Temui, Jojonomic, https://www.joonomic.com/blog/patriarki-adalah/ diakses hari
Selasa 29 November 2022 Pukul 11.13.
Fadilah, Dini. Tinjauan Dampak Pernikahan Dini dari Berbagai Aspek, Jurnal
Pamator, Vol. 14, No. 2. 2021.
Syarifatunisa, Ika. Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini Di Kelurahan Tunon
Kecamatan Tegal Selatan Kota Tegal. Skripsi Universitas Negeri Semarang. 2017.
Wiludjeng, Henny, dkk. 2019. Sosiologi Untuk Mahasiswa Fakultas Hukum.
Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.
Yelia Ahya Robby, Ela Siti Fauziah. Pernikahan Usia Dini dan Dampak
Perceraian di Pedesaan. Jurnal Istinbath, Vol. 16, No. 1. 2021.

10

Anda mungkin juga menyukai