Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja ialah masa peralihan dari masa anak-anak menju

masa dewasa yang memilki ketertarikan dengan lawan jenis

(Diananda, 2018 dalam jurnal Puspasari dan Pawitaningtyas, 2020).

Pada masa remaja mengalami perkembagan dan pertumbuhan yang

sangat pesat dari aspek fisik, psikologis maupun intelektualnya.

Remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar, menyukai

petualangan dan tantangan, dan berani mengambil resiko atas apa

yang telah diperbuatnya tanpa pertimbangan yang matang (Puspasari

dan Pawitaningtyas, 2020).

Berdasarkan laporan profil Anak Indonesia tahun 2018

menunjukkan bahwa sekitar 39,17% atau 2 dari 5 anak perempuan

usia 10-17 tahun menikah sebelum usia 15 tahun. Sekitar 37,91%

menikah di usia 16 tahun, dan 22,92% menikah di usia 17 tahun.

Berdasarkan data tersebut Indonesia menempati peringkat ketujuh

tertinggi di dunia dan menempati peringkat kedua di ASEAN.

Berdasarkan Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021, angka

kematian ibu di Indonesia pada tahun 2021 yaitu sebesar 7.389

dibandingkan tahun 2020 yaitu 4.627 kematian. Angka Kematian Ibu

menjadi salah satu target yang belum tuntas ditangani dan menjadi

1
2

prioritas SDGs (Sustainable Development Goals) tujuan nomor 5

dengan target dapat mengurangi angka kejadian kematian ibu hingga

mencapai angka dibawah 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun

2030.

Sebagian remaja di negara – negara berkembang harus

menghadapi pernikahan di usia kurang dari 20 tahun. Meskipun

Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1945 menentang danya

pernikahan dini, namun pada kenyataannya pernikahan dini masih

berlangsung diberbagai wilayah di dunia termasuk di Indonesia.

Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hak

asasi pada kelompok remaja masih rendah dan kurang diperhatikan

oleh pemangku kebijakan. Implementasi pada perundang – undangan

yang berlaku belum mampu untuk diterapkan dan dapat dilanggar oleh

adat stiadat yang berlaku di suatu wilayah serta tradisi yang mengatur

norma sosial pada kelompok masyarakat (Fadlyana dan Larasaty,

2016 dalam jurnal Kurniawati dan Sari, 2020).

Undang – Undang Pernikahan Tahun 1974 menetapkan bahwa

usia minimum perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Namun,

dari sudut pandang kesehatan, perempuan yang sudah siap secara

fisik dan mental untuk menikah ialah pada usia 21 tahun dan laki – laki

pada usia 25 tahun. Efek dari hasrat seksual yang sulit dikontrol diri

adalah terjadinya pernikahan di usia muda. Pernikahan dini pada

remaja bukanlah fenomena baru yang terjadi baik di Indonesia


3

maupun di negara –negara lainnya (Janiwarty dan Pieter, 2013 dalam

jurnal Yanti, Hamidah dan Wiwita, 2018)

Seringkali dijumpai di masyarakat faktor yang menyebabkan

terjadinya pernikahan dini diantaranya adalah faktor ekonomi yaitu

terjadi karena hidup digaris kemiskinan yang beranggapan bahwa

dengan menikahkan anak perempuannya dengan orang yang

dianggap mampu dapat meringankan beban orangtuanya, faktor

pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan pada

orangtua dan anak menyebabkan kecenderungan untuk menikahkan

anaknya yang masih dibawah umur, faktor budaya dan adat istiadat

biasanya terjadi karena orangtua beranggapan bahwa jika tidak

segera dinikahkan anak perempuannya takut dikatakan sebagai

perawan tua dan pernikahan dini pada remaja terjadi karena budaya

menjodohkan anaknya saat masih balita atau saat masih dalam

kandungan sehingga anaknya yang terlahir tersebut akan menikah

pada usia muda (Liesmayani et al., 2022).


BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan 13 artikel mengenai pernikahan dini pada remaja

yang diambil dan digunakan sebagai acuan ialah :

1. Definisi Pernikahan Dini

Menurut BKKBN pernikahan dini adalah pernikahan yang

berlangsung pada umur dibawah usia reproduktif yaitu kurang

dari 20 tahun pada wanita dan kurang dari 25 tahun pada pria.

Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF)

menyatakan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan

yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang

dilakukan sebelum usia 18 tahun.

2. Undang – Undang Pernikahan

Undang – Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974

pasal 7 mengatur batas minimal usia untuk menikah dimana

pernikahan hanya diizinkan jika laki-laki sudah mencapai usia

19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun

(Adam, 2020). Kemudian adanya perubahan pada UU Nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan yaitu UU Nomor 16 Tahun

2019 menyebutkan bahwa batasan usia nikah, baik laki-laki

maupun perempuan adalah 19 tahun.

4
5

3. Pandangan Budaya Terhadap Pernikahan Dini Pada

Remaja

Pengaruh budaya terhadap kejadian pernikahan dini sangat

berpengaruh, pernikahan dini pada remaja sering kali terjadi

karena norma-norma yang berlaku di masyarakat yang

mendorong dan dapat memotivasi seseorang. Pernikahan dini

pada remaja sering kali terjadi karena orangtua yang takut

anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan

(Liesmayani et al., 2022).

Kondisi ekonomi keluarga yang rendah, tidak dapat

melanjutkan pendidikan anaknya, dan berasumsi bahwa anak

perempuan tempatnya di dapur maka dari itu anak perempuan

tidak perlu untuk memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi

dan tidak perlu untuk bekerja, orangtua akan lebih memilih

menjodohkan anaknya, dan berkeyakinan bahwa adanya anak

diyakini sebagai pembawa rezeki (Nurhikmah, Carolin dan

Lubis, 2021).

Budaya perjodohan juga terjadi di kalangan masyarakat,

orang tua yang menikah dari hasil perjodohan cendurung akan

menjodohkan anaknya juga, biasanya perjodohan dilakukan

pada saat anak berusia balita bahkan masih di dalam

kandungan, sehingga anak yang terlahir akan menikah pada

usia muda. Dalam hal ini banyak orangtua yang tidak


6

memberikan hak pendidikan pada anaknya, karena hal tersebut

sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang, rendahnya

pendidikan juga dapat mempengaruhi hal tersebut, dan

pendidikan seorang anak dianggap tidak penting lagi

(Kurniawati dan Sari, 2020).

4. Faktor- Faktor Penyebab Pernikahan Dini Pada Remaja

a) Faktor Adat – Istiadat

Faktor utama yang dapat mempengaruhi pernikahan

dini pada remaja ialah budaya dan adat istiadat setempat.

Budaya yang dimaksudkan disini ialah pernikahan dini pada

remaja terjadi karena orangtuanya dahulu menikah pada

usia dini sehingga terjadi juga pada anak perempuannya,

kemudian terdapat adat istiadat yang mempercayai bahwa

jika ada laki-laki yang akan meminang, maka orangtua tidak

boleh menolak pinangan laki-laki tersebut walaupun anak

perempuannya masih berusia sangat muda dan adat

istiadat yang menyatakan bahwa jika anak perempuannya

sudah baligh maka harus segera dinikahkan (Hardianti and

Nurwati, 2021).

b) Faktor Ekonomi

Pada faktor ekonomi biasanya pernikahan dini pada

remaja terjadi karena perekonomian keluarga yang berada

pada garis kemiskinan, orangtua biasanya menikahkan


7

anaknya secara sukarela atau terpaksa menerima anak

perempuannya dinikahkan dengan laki-laki yang memiliki

kehidupan yang mapan agar dapat meringankan beban

orangtuanya (Kurniawati dan Sari, 2020).

c) Faktor Pendidikan

Pernikahan dini tejadi karena faktor pendidikan,

biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki tingkat

pendidikan yang rendah karena mereka cenderung

menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan rumah

sedangkan perempuan yang bependidikan tinggi cenderung

lebih memanfaatkan pendidikan mereka untuk mencapai

prestasi kerja dan lebih berpikir untuk menikah pada usia

dini karna dapat mempengaruhi prestasi atau pekerjaannya

(Kurniawati dan Sari, 2020).

d) Faktor Media Massa

Informasi mengenai seksualitas banyak ditampilkan di

media massa yang cenderung bersifat pornografi dan

pornoaksi dapat menjadi tontonan yang tidk mendidik bagi

remaja yang dalam masa keingintahuan terhadap hal baru

tinggi, ingin mencoba dan akan meniru apa yang dilihatnya.

Remaja juga menjadikan media sosial sebagai ajang untuk

mencari pasangan (Hotnatalia Naibaho, 2013 dalam

jurnalYanti, Hamidah dan Wiwita, 2018).


8

e) Married By Acident

Gaya pacaran remaja zaman sekarang, kebebasan

pergaulan antar jenis kelamin rentan terhadap perilaku

seksual yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual

sebelum menikah. Akibat dari terlalu bebasnya pergaulan

remaja dalam berpacaran dan remaja sering melakukan

aktivitas seksual pranikah ialah terjadinya kehamilan, ketika

hal tersebut sudah terjadi maka solusi yang diambil dari

pihak keluarga ialah menikahkan mereka (Elisabeth Putri

Lahitani Tampubolon, 2021).

f) Faktor Lingkungan

Pernikahan dini dil lingkungan remaja cenderung berdampak

negative dari segi sosial, psikologis, fisik dan bagi kesehatan

reproduksi pada remaja tersebut (Pohan, 2017 dalam jurnal

Elisabeth Putri Lahitani Tampubolon, 2021).

5. Dampak Pernikahan Dini Pada Remaja

a) Kesehatan Reproduksi

Usia reproduksi yang sehat bagi perempuan ialah

usia 20-30 tahun. Pernikahan dini yang terjadi pada remaja

memiliki pengaruh yang tidak baik bagi organ reproduksi

remaja, organ reproduksi yang belum matang pada remaja

dan juga kematangan fisik pada remaja akan berpengaruh

dan menjadi resiko ketika remaja tersebut hamil. Resiko


9

yang dapat terjadi ialah kecacatan pada anaknya hingga

kematian pada saat melahirkan. Leher Rahim seorang

remaja perempuan masih sensitf jika dipaksakan untuk hamil

maka beresiko mengalami kanker leher rahm dikemudian

hari. Hal lain yang dapat terjadi ketika remaja perempuan

hamil ialah lebih mudah mengalami anemia selama masa

kehamilan dan persalinan (Sekarayu dan Nurwati, 2021).

b) Psikologi

Pada masa remaja mengalami turun naik emosi yang

dapat menimbulkan trauma psikis karena percekcokan

dengan pasangan, menerima kenyataan bahwa sekarang

menjadi ibu muda yang harus mengurus anak, ruamh

tangga, dan suami. Hak-haknya yang seharusnya dapat

menikmati masa-masa remaja seperti bermain, menikamti

masa muda bersama teman-teman, dan belajar, seketika

hilang karena perubahan yang ada ketika sudah menikah

(Ningrum dan Anjarwati, 2021).

Kecemasan yang terjadi pada keluarga pernikahan

dini ialah rasa takut akan bahaya yang dapat mengancam

akan menghasilkan perasaan tertekan (Sosial, Syalis dan

Nurwati, 2020).
10

c) Lingkungan Sosial

Pernikahan dini pada remaja dapat membatasi

kebebasan dalam pengembangan diri remaja perempuan,

kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang

lebih tinggi menjadi berkurang, dan merupak sebuah aib

bagi keluarga di dalam lingkungan sekitar (Yanti, Hamidah

dan Wiwita, 2018).

d) Kesehatan Fisik

Pernikahan dini pad remaja memiliki banyak resiko

yaitu penyakit pada organ reproduksi banyk di derita oleh

wanita yang menikah usia dini diantaranya adalah infeki

pada organ reproduksi, kanker mulut rahim (Fauji Hadiono,

2018).

Kehamilan pada usia yang sangat muda berkolerasi

dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Anak perempuan

dengan usia 10-14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal

saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-

24 tahun, resiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok

15-19 tahun. Hal tersebut disebabkan karena organ

reproduksi pada anak perempuan tersebut belum

berkembang dengan baik dan keseluruhan organ

reproduksinya belum siap untuk hamil dan melahirkan

(Elisabeth Putri Lahitani Tampubolon, 2021).


11

Hal ini didukung oleh penelitian Isnaini & Sari (2019)

dalam jurnal Ningrum dan Anjarwati (2021) menyatakan

bahwa dampak secara fisik yang akan terjadi pada remaja

yang menikah secara dini ialah beresiko terkena kanker

leher rahim karena sel-sel leher rahim yang belum matang,

jika terpapar virus HPV pada pertumbuhan sel akan menjadi

kanker leher rahim. Kanker leher rahim menjadi pembunuh

nomor satu bagi perempuan. Selain bisa berdampak pada

kesehatan organ reproduksinya, seringkali terjadi KDRT

pada pernikahan dini remaja yang menyebabkan sakit fisik,

tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri, mengalami

rasa sakit dan tidak berdaya, serta ketergantungan pada

suami yang sudah menyiksanya dan keinginan untuk bunuh

diri.

e) Kesulitan Mendapat Peluang Kerja

Pernikahan dini pada remaja menyebabkan

terputusnya pendidikan pada remaja, banyak remaja yang

kehilangan kesempatan umtuk melanjutkan pendidikan

yang lebih tinggi. Sedangkan rendahnya pendidikan

seseorang membuat individu kesulitan dalam mendapatkan

pekerjaan, karena perusahaan akan menerima karyawan

yang pendidikannya tinggi dan dengan status single atau

belum menikah (Hardianti dan Nurwati, 2021).


12

f) Kesuitan Ekonomi Dalam Rumah Tangga

Pernikahan dini pada remaja dengan asumsi bahwa

menikah dapat memperbaiki perekonomian keluarga justru

dapat meningkatkan angka kemiskinan karena jika rumah

tangga yang dibina memiliki status ekonomi yang tidak jauh

berbeda dengan ekonomi keluarganya maka hal tersebut

bukanlah suatu solusi untuk memperbaiki ekonomi ketika

menikah. Dari hal ini maka akan terjadi percekcokan antara

pasangan remaja yang menikah dini sehingga dapat

menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan

bisa berakibat terjadinya ketidak utuhan pada pernikahan

tersebut (Perceraian) (Hardianti dan Nurwati, 2021).

6. Pencegahan Pernikahan Dini Pada Remaja

Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadinya

pernikahan dini ialah meningkatkan pendidikan pada

perempuan ke jenjang yang lebih tinggi karena pernikahan dini

pad remaja cenderung terjadi pada perempuan yang memiliki

tingkat pendidikan yang rendah (Hapisah dan Rizani 2015

dalam jurnal Puspasari dan Pawitaningtyas, 2020).

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya

pernikahan dini pada remaja ialah melibatkan tokoh adat dan

tokoh agama dengan memberikan edukasi dan sosialisasi

untuk penundaan pernikahan secara dini di daerah setempat.


13

Para tokoh adat dan tokoh agama diharapkan dapat mengajak

masyarakat untuk mencegah terjadinya pernikahan dini pada

masyarakat. Remaja juga harus diberikan edukasi melalui

penyuluhan ataupun forum diskusi disekolah mengenai

kesehatan reproduksi pada remaja dan dampak dari pernikahan

dini pada remaja. Kesehatan reproduksi pada remaja menjadi

perhatian khusus karena dapat berpengaruh pada tingkat

kesehatan ibu dan anak di masa yang akan datang (Puspasari

dan Pawitaningtyas, 2020)

Anda mungkin juga menyukai