Anda di halaman 1dari 10

ADVOKASI KESEHATAN

RENCANA ADVOKASI PERNIKAHAN DINI DI DESA CEPAKA, KEDIRI, TABANAN

Oleh:
Kelompok II
Putu Yumi Andriani 1702562001
Etick Pristyan Dewi 1702562003
Made Ayu Widiani 1702562010
AA Gede Sukma Dewantara 1702562015
Luh Putu Paramitha Ardyariesa 1702562016
Ni Putu Siska Trisnayanti 1702562020
Yudhi Pratama 1702562024
Sang Ayu Made Dewi Mertyastuti 1702562046

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
1. Isu Strategis
Angka perkawinan di bawah usia 20 tahun di Bali mencapai 20% dan kehamilan di bawah
usia 20 tahun menyentuh 19 %.
2. Latar belakang
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) tidak hanya melihat seberapa banyak
sumber daya yang dimiliki, melainkan seberapa baik kualitas sumber daya tersebut. Dalam
sebuah negara perlu adanya regenerasi dalam segala hal sebagai penerus cita-cita bangsa.
Salah satu permasalahan salah satunya masih banyak angka pernikahan usia dini.Kasus
pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang
dan telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul.
Faktor – faktor penyebab timbulnya permasalahan ini adalah pernikahan yang
dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi
penyakit menular seksual. Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai
faktor menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas
bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan sosial budaya, sehingga sulit untuk
diubah.Banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah di usia muda dengan alasan
ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial setelah menikah.
Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak.
Berbagai resiko komplikasi dapat terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia
muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan
di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan
anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran.
Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian
anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang.Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia
di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek
pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan
perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan.Implementasi Undang-
Undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang
mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.
Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah
didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan usia di
bawah 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk
dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan
Jawa Barat, angka kejadian pernikahan dini berturut-turut 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan 36%.
Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak
perempuan mendapat haid pertama.
Data sensus penduduk dari tahun 1990 sampai tahun 2010 menunjukkan usia perkawinan
di Bali mengalami fluktuasi. Usia perkawinan di Bali adalah 22,7 tahun pada tahun 1990. Hal
ini mengalami peningkatan yaitu 23,1 tahun pada tahun 2000, namun pada tahun 2010
mengalami penurunan menjadi 22,4 tahun. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan
sekitar 22,97% dari 3.890.757 jiwa penduduk Provinsi Bali adalah kalangan remaja berusia
10-24 tahun yang merupakan usia pada rentang usia reproduksi.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada tahun 2010, 2012, dan
2013 menunjukkan rata-rata Age Spesifik Fertility Rate (ASFR) usia 15-19 tahun di
Kabupaten Tabanan lebih tinggi dari ASFR Bali yaitu 36 jiwa dibandingkan angka ASFR
Bali sebesar 32 jiwa. Tingginya angka perkawinan usia dini ini disebabkan oleh beberapa
faktor seperti faktor sosial, tingkat pendidikan dan pengetahuan individu tersebut tentang usia
perkawinan yang sehat, faktor ekonomi dan gaya hidup, adat istiadat dan budaya di suatu
wilayah yang menerima perkawinan di usia dini, faktor orang tua yang segera ingin memiliki
keturunan, faktor individu tersebut yang memang ingin menikah di usia dini (BKKBN,
2010).
BKKBN Bali menunjukkan angka perkawinan di bawah usia 20 tahun mencapai 20% dan
kehamilan di bawah usia 20 tahun menyentuh 19 %. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM yang dilakukan bersama dengan
sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang kemanusiaan terutama pada perlindungan dan
pemberdayaan anak (Plan Indonesia) pada tahun 2011 menemukan hasil bahwa insiden
kehamilan di luar nikah paling tinggi terdapat di Kabupaten Tabanan yaitu 66,7%. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan rata-rata responden yang kawin pada usia dini dan orang
tuanya mempunyai pengetahuan kurang terhadap aspek-aspek seperti kesuburan, kehamilan,
kespro, dan dampak perkawinan usia dini.
Menurut penelitian (Sinta, tt) Pengaruh aspek gender sebagai perempuan dan penerus
keturunan keluarga (nyentana) yang harus mereka jalani karena tidak memiliki saudara laki-
laki sebagaimana adat yang diinspirasi dari budaya Bali yaitu budaya patrilineal. Persepsi
tentang perkawinan usia dini dan kesehatan reproduksi adalah sebagian besar informan tahu
usia yang sehat untuk melaksanakan perkawinan namun mereka tidak tahu pasti dampak
kesehatan reproduksi yang terjadi bila melakukan perkawinan usia dini. Alasan melakukan
perkawinan usia dini adalah sebagai wujud tanggung jawab kepada keluarga untuk
mendapatkan pasangan yang mau nyentana untuk meneruskan keturunan walaupun
mengalami dampak negatif pada kesehatan reproduksi. Hal ini juga didukung oleh budaya di
Desa Cepaka yang masih menerima tradisi nyentana sebagai usaha untuk mendapatkan
penerus keturunan keluarga.
Upaya pemerintah dalam menanggulangi peningkatan kejadian pernikahan dini sudah
dilakukan sejak lama melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan yang
kemudianditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,ketentuan-
ketentuan perundang-undangandalam hal perkawinan (syarat-syaratperkawinan), pada
prinsipnya bertujuanuntuk mengantisipasi pelaksanaanperkawinan di usia muda dengan kata
laindimaksudkan sebagai upaya pembinaankesadaraan hukum yang dapat memotivasikearah
penundaan usia perkawinan, palingtidak laki-laki berumur 19 (sembilan belas)tahun dan
perempuan berumur 16 (enambelas) tahun. Secara umur, cenderungmenunda usia
perkawinan, sedangkanmasyarakat desa umumnya cenderungmelakukan perkawinan anak
dibawahumur.
Konvensi Hak Anak (KHA) berlaku sebagai hukum internasional dan KHA diratifikasi
melalui Keppres No.36 tahun 1990, untuk selanjutnya disahkan sebagai Undang-Undang
Perlindungan Anak (UU PA) No.23 tahun 2002.Pengesahan UU tersebut bertujuan untuk
mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak. Dalam UU PA dinyatakan dengan jelas
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Dalam UU Perlindungan Anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban
orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orangtua untuk mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Sangsi pidana berupa hukuman
kurung penjara dan denda diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan pelanggaran terhadap
pasal-pasal perlindungan anak.
Namun dengan diterbitkannya Undang-Undang tersebut dianggap masih kurang
berdampak dikarenakan kejadian tersebut masih acapkali ditemukan. Khusus diwilayah Bali
masih sering ditemukan dan paling tinggi di wilayah Tabanan. Oleh karena itu perlu adanya
peraturan baru yang bersifat lebih spesifik di pedesaan dan inovatif namun tanpa
menghilangkan tradisi yang telah berjalan.

3. Sasaran dan Strategi Advokasi


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dilakukan advokasi terhadap Policy Maker
dari berbagai tatanan sosial yaitu,
a. Kepala Desa di Desa Cepaka, Kediri, Tabanan, Kepala RT/RW, dan Kepala Keluarga,
melalui acara rembug desa dengan hasil yang diharapkan adalah kebijakan dalam tatanan
rumah tangga atau desa.Karena targetnya adalah terciptanya peraturan di lingkup desa
maka para pembuat peraturan yang disasar adalah Kepala desa, mereka yang menetapkan
kebijakan publik sangat berpengaruh dalam menciptakan perubahan yang terkait dengan
masalah sosial termasuk kesehatan dan kependudukan. Oleh karena itu sangat penting
melibatkan meraka semaksimum mungkin dalam isu yang akan diadvokasikan.
b. OrganisasiKISARA terdiri dari relawan-relawan remaja dan yang peduli remaja di Bali
dengan hasil yang diharapkan berupa kemitraan, jaringan kerja, dan koalisi. KISARA
menggunakan pendampingan remaja untuk memberi informasi dan konseling
remaja.KISARA dibentuk dengan tujuan meningkatkan partisipasi remaja dan
pemberdayaan remaja untuk terlibat bersama menghadapi berbagai problema remaja
seperti permasalahan kesehatan reproduksi dan seksualitas seperti meningkatnya angka
hubungan seks pranikah yang tidak aman, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi
menular seksual, HIV-AIDS hingga penyalahgunaan narkoba.
c. Media massa dan media social melalui kampanye dan advokasi pemasaran sosial dengan
hasil yang diharapkan berupa jaringan kerja.Media massa sangat penting berperan dalam
membentuk opini publik. Media juga sangat kuat dalam mempengaruhi persepsi publik
atas isu atau masalah tertentu. Mengenal, membangun dan menjaga kemitraan dengan
media massa sangat penting dalam proses advokasi.
4. Tujuan Kebijakan
Dengan adanya advokasi tersebut diharapkan terealisasinya kebijakan tentang pernikahan
dini di lingkungan Desa Cepaka, Kediri, Tabanan sehingga nantinya mampu mengurangi
angka kejadian pernikahan anak dibawah umur dan juga munculnya kesadaran orang tua
dalam mendidik dan mengawasi anak. Khususnya terkait dengan budaya nyentana.
Peraturan tersebut nantinya diharapkan mampu mengatur/memperpanjang umur nikah,
dengan tidak mengesampingkan budaya nyentana yang memang sudah menjadi tradisi di
Desa Cepaka, Kediri Tabanan. Sehingga apabila melanggar akan dikenakan sanksi adat
seperti denda.
5. Isi Pesan
Angka perkawinan di bawah usia 20 tahun di Bali mencapai 20% dan kehamilan di
bawah usia 20 tahun menyentuh 19 %. Serta insiden kehamilan di luar nikah paling tinggi
terdapat di Kabupaten Tabanan yaitu 66,7%. Akibatnya muncul berbagai dampak dari
berbagai segi seperti,
a. Segi pendidikan misalnya jikaseseorang yangmelangsungkan perkawinanketika baru
lulus SMP atauSMA, tentu keinginannyauntuk melanjutkan sekolahlagi atau menempuh
jenjangpendidikan yang lebih tinggitidak akan tercapai atau tidakakan terwujud.Dengan
kata lain, perkawinan dinimerupakan faktormenghambat terjadinyaproses pendidikan
danpembelajaran.
b. Segi kesehatan, berdasarkan data yang diperoleh dari Klinik Perhimpunan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) Bali, tercatat jumlah remaja yang mengakses pelayanan
dengan kasus KTD pada tahun 2012-2013 sebesar 584 kasus (usia 10-24 tahun). Kasus
KTD terbanyak terjadi pada rentang usia 15-19, yakni sebesar 334 kasus (KISARA,
2014). Aborsi merupakan pilihan yang seringkali dilakukan oleh remaja. Selain itu,
beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para ahli, rata-rata penderita
infeksikandungan dan kanker mulutrahim adalah wanita yangmelakukan perkawinan di
usiadini atau dibawah usia 19tahun. Untuk resiko kebidanan,wanita yang hamil di
bawahusia 19 tahun dapat beresikopada kematian, selainkehamilan di usia 35 tahun
keatas.
c. Segi psikologis, menurut para psikolog,ditinjau dari sisi social perkawinan dini
dapatmengurangi harmonisasikeluarga. Hal ini disebabkanoleh emosi yang masih
labil,gejolak darah muda dan carapikir yang belum matang.
d. Segi ekonomi, pasangan pernikahan dini rata-rata belum menyelesaikan pendidikannya
otomatis secara ekonomi pasangan tersebut belum bisa mandiri
e. Tingkat perceraian tinggi, lebih dari 50 persenpernikahan anak tidak berhasil,dan
akhirnya bercerai. Bahkanada juga kasus yang menjalanipernikahan hanya
dalamhitungan minggu lalu berpisah.Dan, biasanya hal ini terjadikarena anak perempuan
tidakmau melakukan kewajibansebagai istri dan kurangnyakesiapan dari masing-
masingpasangan yang mau menikah.

Oleh karena itu perlu adanya peraturan desa yang mengikat warganya untuk mencegah
hal semacam pernikahan dini terjadi, sehingga akan memunculkan generasi yang nantinya
dapat bermanfaat bagi desa bahkan Indonesia.

6. Metode Penyampaian Pesan


Adapun strategi penyebaran isu ini dapat kita kampanyekan melalui media massa dan
media sosial yang dirasa efektif karena menyasar para remaja sebagai upaya penyadaran
kepada masyarakat. Bagi orang tua dan yang tinggal di pedesaan dirasa isu ini perlu dikemas
melalui rembug desa dan ceramah oleh tokoh adat dan agama. Untuk di lingkungan sekolah
dengan menggerakkan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-
KRR)yang memiliki ruang lingkup meliputi aspek-aspek kegiatan pemberian informasi KRR
dan Pendewasaan Usia Perkawinan.
7. Indikator Keberhasilan Advokasi

Untuk menilai atau mengevaluasi keberhasilan advokasi dapat menggunakan indikator-


indikator seperti dibawah ini.
a. Terciptanya peraturan desa
b. Adanya bantuan dana, sarana dan prasarana untuk program promosi.
c. Adanya jadwal kordinasi antara pelaku advokasi dan policy maker.
d. Jangka Panjang, menurunnya angka pernikahan dini.
Daftar Pustaka

Anshor Maria Ulfa. Mengakhiri Perkawinan Anak Perempuan; Antara Konvenan


Internasional dan Advokasi yang Belum Berakhir. Didaat dari :
http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-2-sesi-1-Maria-
Ulfah-1.pdf

Bemmelen Sita T. van. Sekilas Perkawinan Dini di Bali. 2016. Didapat dari
:http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-2-Sita-van-
Bemmelen-1.pdf

ICRW. Ending child marriage. 2007. [ Diunduh pada 1 Mei 2018] . Didapat dari :
www.icrwindia.org
IHEU. UN publishes IHEU statement: child marriage is child abuse. 2005. [Diunduh 1

Mei 2018]. Didapat dari: www.iheu.org.

IPPF. Ending child marriage: a guide for global policy action. 2006. [Diunduh 3 Mei

2018].Didapat dari: www.ippf.org

Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia Negeri;
1974.h.1-15.

Laporan Perkawinan Usia Anak. Didapat dari :


https://www.unicef.org/indonesia/id/Laporan_Perkawinan_Usia_Anak.pdf

Palu B. Menyelamatkan generasi muda. 2008. [Diunduh tanggal 4 Mei 2018]. Didapat

dari: www.bappenas.go.id

Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Available

from:https://www.researchgate.net/publication/312404515_Pernikahan_Usia_Dini_da

n_Permasalahannya [accessed May 06 2018].


Sinta. Gender Dan Budaya Dalam Perkawinan Usia Dini Serta Pengaruhnya Pada
Kesehatan Reproduksi Ibu Rumah Tangga Di Desa Cepaka, Kediri, Tabanan.
Didapat dari :
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/d709f8b511c55fad39112ebee7c2f212.
pdf

Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak,hal:212. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Undang-undang Republik Indonesia tentang perkawinan. Penerbit Yayasan Peduli Anak

UNICEF. Child protection information sheet: child marriage. 2006 [Diunduh 2 Mei

2018]. Didapat dari: www.unicef.org.

UNICEF.Early marriage : a harmful traditional practice,a satatistical exploration.2006.

[Diunduh 3 Mei 2018 ] Didapat dari www.unicef.org.

UNPFA. Child marriage fact sheet.2005. [ Diunduh 2 Mei 2018] Didapat dari
www.unpfa.org.

WHO. Implementation og general assembly resolution 60/251 of march 2006 entitled


“human rights council”.2007. [diunduh 1 Mei 2018 ]. Didapat dari:
www.unitednations.org.

Anda mungkin juga menyukai