Oleh
Dosen :
Dr. Budiyono, S.H., M.H. & Muhtadi, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR
Setiap anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus perjuangan bangsa dan
diharapkan kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Naskah akademik yang disusun ini merupakan hasil penelitian secara akademik baik
mencakup dimensi filosofis, sosiologis, yuridis, maupun teoritis terkait dengan
perlindungan anak yang mengantar pada poin-poin materi yang harus dicakup dalam
Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Atas tersusunnya naskah akademik ini, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan aktif
memberikan pemikiran, saran pertimbangan maupun masukan yang positif dalam
penyusunan Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan
Perkawinan Anak. Akhirnya, permohonan maaf juga kami haturkan apabila naskah
ini masih memuat kesalahan yang sama sekali di luar kesengajaan tim penyusun.
Wassalam,
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.................................................................................4
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan NA...................................................5
D. Metode Penyusunan NA .........................................................................5
BAB VI PENUTUP......................................................................................................
A. Simpulan................................................................................................72
B. Saran .....................................................................................................75
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
The Convention on the Rights of the Child (“Konvensi Hak Anak”) mendefinisikan
anak sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau
kedewasaan telah dicapai lebih cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk
anak-anak. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum
mencapai usia 18 tahun, secara internasional dikategorikan sebagai perkawinan usia
anak (“perkawinan anak”). Dalam hukum internasional sendiri, perkawinan usia anak
sudah ditetapkan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya Pasal 16 (2) of the
Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan “Marriage shall be entered
into only with the free and full consent of the intending spouses”1 Pemilihan umur 18
tahun sebagai patokan transisi usia anak-anak ke status dewasa bukanlah tanpa
alasan.
Secara kodrat, anak-anak merupakan bagian dari kelompok yang rentan, tergantung,
lugu dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Karena alasan inilah anak
memerlukan perawatan dan perlindungan khusus pula agar mereka dapat berkembang
secara penuh, baik fisik maupun mental. Konsekuensi perkawinan usia anak terhadap
faktor kesehatan dan reproduksi, pendidikan, dan eksploitasi perkawinan membuat
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetap kan umur 18 tahun sebagai batas kategori status
“anak”. Dalam kaitannya pada perkawinan usia anak, para ahli pada Perserikatan
Bangsa-Bangsa merekomendasikan kepada seluruh anggota untuk menaikkan batas
1
Committee Against Torture, Concluding Observations:Yemen, para. 31, U.N. Doc.
CAT/C/YEM/CO/2 (2009); Special Rapporteur on Violence against women, its causes and
consequences (SRVAW) finalises country mission to Bangladesh (May 29, 2013); dan CEDAW
Committee, General Recommendation No. 19: Violence against women, (11th Sess., 1992), in
Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights
Treaty Bodies, 331, para. 11, U.N. Doc. HRI/GEN/1/ Rev.9 (Vol. II) (2008).
umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan menjadi 18
tahun, baik laki-laki dan perempuan.2
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2010 Perkawinan usia
anak mencapai angka sebesar 46,7% dari jumlah perkawinan di Indonesia. Angka
perkawinan anak yang besar tersebut ternyata lebih spesifik berdampak pada anak
perempuan. Datadari Girls Not Brides anak perempuan lebih terekspose dalam
praktek perkawinan anak disbanding anak laki-laki dengan perbandingan di Indonesia
mencapai 7.5:1.6 Angka-angka tersebut sedikit banyak berdampak dari pengaturan
dan konstruksi hukum perkawinan anak yang masih sangat lemah di Indonesia.
Sejalan dengan temuan-temuan di atas, berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dari seluruh jumlah
perkawinan di Indonesia 4,8% diantaranya dilakukan oleh anak berusia 10-14 tahun.
Sedangkan angka perkawinan anak yang berusia 15-19 tahun mencapai 41,9% dari
total perkawinan.7
Tingginya jumlah perkawinan usia anak juga dapat dilihat dari tidak adanya
penurunan signifikan laju kelahiran oleh anak usia 15-19 tahun sejak tahun 2005
sampai dengan 2011, yakni berkisar antara 46,69% (2005), 35,91% (2006), 45,12%
(2007), 44,56% (2008), 44,01% (2009), 43,45% (2010), dan 42,90% (2011).8
Namun, hal tersebut akan memakan waktu yang cukup lama apabila harus melalui
meaknsime amandemen UU Perkawinan. Permasalah perkawinan anak merupakan
permasalahan multi dimensi. Sebagian diantaranya berhubungan erat dengan adat dan
tradisi masyarakat, ekonomi, akses terhadap informasi kesehatan, dan lain
sebagainya. Namun, salah satu penyebab masih berkembangnya praktik perkawinan
anak adalah tindakan afirmatif negara akan perkawinan anak melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan mengatur batas usia minimum seseorang melakukan perkawinan adalah
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Akan tetapi, pengaturan batasan usia ini dapat dikesampingkan melalui proses
dispensasi yang dapat diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Sampai sekarang, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut secara jelas dispensasi pada Pasal 7
ayat (2) UU Perkawinan. Hal ini telah menyuburkan praktik-praktik perkawinan usia
anak di bawah 19 dan 16 tahun yang ditetapkan pada Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan. Pengajuan permohonan dispensasi dapat dilakukan atas alasan yang
tidak diatur secara limitatif. Dalam memberikan atau menolak dispensasi, pengadilan
juga tidak memiliki satu kesepahaman. Frasa “pejabat lain” yang tidak disertai
dengan penjelasan mengakibatkan praktik dispensasi tidak mempunyai suatu sistem
safe-guard agar tidak berujung pada penyalahgunaan mekanisme ini.
9
Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 30-74/PUU/XII/2014, [3.13.3], hal. 232.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat permasalahan yang dapat
diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan materi muatan yang
perlu diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak?
4. Merumuskan sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan materi muatan yang perlu
diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Adapun kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
D. Metode Penelitian
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986. hlm.
123
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.11
Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan,
saling memasukkan, dan wathi atau bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid
Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua
makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.12
2. Tujuan Perkawinan
11
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
12
Ibid., hal. 10
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007) hal. 2
14
Ibid..., hal. 228
bahagia.15Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul
Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:16
Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika salah satu
rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun
perkawinan diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi
dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi
sebelum perkawinan itu dilakukan.
15
Ghozali, Fiqh Munakahat..., hal. 22
16
ibid., hal. 22
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-
masing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai
tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama
dan undang-undang disebut juga syarat objektif.17
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal
12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai
berikut :
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam
hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon
kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
17
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000) hal. 76.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal
10)
18
Ibid.
19
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Pekawinan
“Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.”
Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di samping
tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad atau
batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak
dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan.
Dari perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak
saling mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri, dan lain-lain.
20
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hal. 18
kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini. Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut Undang-Undang
Perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum
sebagai ikatan perkawinan.21
Terhadap inkonsistensi ini, hasil studi yang dilakukan Ade Maman Suherman
dan J satrio, menyatakan bahwa “….seharusnya dari pasal 47 sampai dengan
Pasal 50 Undang- Undang Perkawinan berpatokan pada umur dewasa 18
tahun. Kalau undang-undang menetapkan kewenangan orang tua dan wali
untuk mewakili anak belum dewasa berakhir pada saat anak mencapai usia 18
tahun (atau telah menikah sebelumnya; pasal 47 dan pasal 50 Undang-Undang
Perkawinan) maka tidak logis kalau UU perkawinan mempunyai patokan usia
dewasa lain dari pada 18 Tahun.
Tanpa ada defenisi tegas yang bersifat limitati akan apa yang dimaksud akan
“penyimpangan” membuat hal ini menjadi legitimasi masyarakat dalam
menentukan latarbelakang dilakukannya perawkinan usia anak di bawah 16
tahun. Seseorang bisa saja meminta “penyimpangan” Pasal 7 ayat (1),
Undang-Undang Perkawinan, kepada pengadilan atau pejabat lain dengan
alasan bahwa orang tua sang anak terlilit hutang, kemiskinan, janji dinafkahi
oleh calon suami, ataubahkan menjadi korban pemerkosaan.
Kultur dan budaya yang telah turun-temurun juga acapkali dijadikan alasan
untuk meminta “Penyimpangan” kepada pengadilan atau pejabat lain. Orang
tua percaya bahwa dengan mengawinkan anak perempuannya sesegera
mungkin dapat menjauhkan anak tersebut dari pengaruh-pengaruh negatif
pergaulan, seperti seks bebas ataupun hamil di luar perkawinan.23 Ditambah,
anjuran oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat yang meyakinkan
orang tua si anak bahwa tindakan tersebut adalah pilihan yang tepat dijadikan
alasan untuk meminta “Penyimpangan” dari Pasal 7 ayat (1), Undang-Undang
Perkawinan.24
Apabila melihat Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 sebagai satu kesatuan
konstruksi, maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan
menggunakan batasan umur 18 tahun untuk menetapkan usia transisi
seseorang beralih dari status “anak” menjadi “dewasa” atau “dapat berdiri
sendiri” atau menurut Ade Maman Suherman dan J Satrio orang tersebut
Kewenangan bertindak Berdasarkan Batasan Umur, Jakarta : National Legal Reform Program, 2010.
hlm 127.
Sungguhpun suami dari anak perempuan tersebut juga bertanggung jawab
terhadap istrinya, namun konsep tanggung jawab dalam kondisi ini bukan lagi
sebagai kewajiban membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan
mendasarnya sebagai anak.
Ade Maman Suherman dan J. Satrio menguraikan penetapan batas usia pada
peraturan perundang- undangan merupakan cara pembuat peraturan dalam
melindungi mereka yang belum dapat merumuskan kehendaknya degan benar
dan belum dapat menyadari sepenuhya akibat hukum dari perbuatannya.
Tujuan ini dicapai dengan memberikan suatu perbedaan yang jelasa antara
mereka yang telah mencapai usai dewasa dan belum dewasa.26
26
Ibid, hlm 9.
27
Ibid, hlm 10.
sudah “kuat gawe” atau sudah bekerja dan dapat mengurus sendiri
keperluannya. Di Nusa Tenggara Timur, seorang perempuan dianggap
dewasa apabila sudah dapat membuat kain tenunt, memasak jagung dan
mangatur urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya dikatakan dewasa
apabila sudah dapat membuat pondok bekerja di sawah dan menghasilkan
sekian ribu batang pohon atau padi.28
28
PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 29 Maret 2019 Pukul 16.53
WIB.
29
Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur... Op.Cit, hlm. 127
Sedangkan pada buku yang sama tercatat beberapa putusan pengadilan yang
menggunakan batasan umur 18 tahun, yakni: Pengadilan Negari Jakarta Utara
No. 1530/Pdt/1987/PN. Jakut, tanggal 5-11-1987; dan MA No.
477/K/Sip1976, tanggal 13 Oktober 1976.
Penggunaan batasan umur 18 dan 21 tahun juga telah menjadi bagian penting
dalam perkembangan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
mengklasifikasikan induvidu berdasarkan umur. Sejalan dengan itu, tren
penggunaan umur 18 dan 21 tahun telah menjadi acuan hampir disetiap
peraturan perundang-undangan yang ada saat ini. Tren umur ini dipaparkan
dalam tabel berikut:
20 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 18,21 dan Pasal 10
Per 18/Men/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan 21,22
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
21 Negeri
Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 18 Pasal 1 dan
Kewarganegaraan Republik Indonesia 2
22 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tetang Lalu Lintas 17,23 Pasal 81
dan Angkutan Jalan 20,24 (2)
21,25
Dari tujuan tersebut, maka dapat disimpulkan setiap pembatasan umur yang
ada diperaturan perundangan-undangan haruslah dilatarbelakangi
pertimbangan akan kesiapan orang yang diatur untuk memahami konsekuensi
dari pilihannya. Seperti contoh, pengaturan batas usia minimal untuk memiliki
haruslanh didasari pertimabgan apakah pada kelompok umur 17, 20, dan 21
tahun seseorang telah memiliki pemahaman akan lalu lintas.
Begitu juga dengan batas usia perkawinan, seharusnya ada batas umur yang
lebih tinggi di atas 16 tahun karena kelompok orang pada umur ini masih
dikategorikan sebagai anak dan tidak mengetahui konsekuensi dari suatu
Pernikahan.
a) Kejelasan tujuan; artinya, tujuan dari perda yang akan dibentuk tidak
menyimpang dari tujuan yang telah digariskan dalam dasar filosofis,
yuridis dan sosiologis dalam pembentukan Perda. Pembentukan Perda
Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur yang akan
dibentuk tidak menyimpang dari tujuan yang telah digariskan dalam dasar
filosofis, yuridis dan sosiologis dalam pembentukan Perda yang menjadi
dasar legitimasi perda di Kabupaten Lampung Timur
Asas-asas formal dan material yang ada tersebut juga merupakan asas
pembentukan peraturan-perundang-undangan yang juga telah diakomodir
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang No 01 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan
undang-undang penunjang ini akan menjadi pijakan dasar dalam pembuatan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak Di Kabupaten
Lampung Timur.
Perkawinan di usia anak adalah salah satu permasalahan sosial yang terjadi
di masyarakat dimana kedudukan anak sangat dirugikan bila dilihat dari
dampak yang ditimbulkan akibat dari perkawinan usia anak ,hal ini juga
merupakan bentuk eksploitasi terhadap anak. Oleh sebab itu, hadirnya
suatu regulasi dalam bentuk peraturan daerah yang mengatur tentang
pencegahan perkawinan anak di Lampung Timur adalah suatu keniscayaan
karena berdampak sangat positif bagi pencegahan perkawinan anak yang
akan merubah kondisi sosial dan pola pikir pada masyarakat di kabupaten
lampung timur, serta anak tidak lagi menjadi objek eksploitasi dari adanya
ikatan perkawinan.
2. Aspek Beban Keuangan Daerah