Anda di halaman 1dari 33

NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN LAMPUNG TIMUR


TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

Oleh

Muhammad Edy Priyono 1512011358


Muhammad Rendy Rifki P 1512011359
Anggoro Herlambang 1512011360
Fatimah 1612011001
Julia Santika F 1612011002
Abdur Rohman Husen 1612011008
Andrian 1612011009
Arum Teza Kinanti 1612011011
Ade Rahmawati PN 1612011016
Frissillia Gusvina R 1612011031
Intan Bella Prasticha 1612011035

Dosen :
Dr. Budiyono, S.H., M.H. & Muhtadi, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Setiap anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus perjuangan bangsa dan
diharapkan kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Untuk mewujudkan pencapaian penegakan dan pemenuhan hak-hak manusia,


pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap anak
yang dituangkan dalam suatu kebijakan ditingkat daerah yang dalam pemenuhan hak
hidup,tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi menjadi kewajiban orang tua,
pemerintah daerah, serta masyarakat, karena pada diri anak melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya untuk mewujudkan Kabupaten Lampung Timur
sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA);

Naskah akademik yang disusun ini merupakan hasil penelitian secara akademik baik
mencakup dimensi filosofis, sosiologis, yuridis, maupun teoritis terkait dengan
perlindungan anak yang mengantar pada poin-poin materi yang harus dicakup dalam
Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.

Atas tersusunnya naskah akademik ini, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan aktif
memberikan pemikiran, saran pertimbangan maupun masukan yang positif dalam
penyusunan Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan
Perkawinan Anak. Akhirnya, permohonan maaf juga kami haturkan apabila naskah
ini masih memuat kesalahan yang sama sekali di luar kesengajaan tim penyusun.

Wassalam,
Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.................................................................................4
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan NA...................................................5
D. Metode Penyusunan NA .........................................................................5

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS..........................................


A. Kajian Teoretis.........................................................................................7
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Berkaitan dengan Penyusunan
Norma....................................................................................................17
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada,
Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat, dan Perbandingan dengan
Negara Lain ..........................................................................................20
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur
dalam Undang-Undang terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara ........................22
E. Kajian Teoretis.........................................................................................7
F. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Berkaitan dengan Penyusunan
Norma....................................................................................................17
G. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada,
Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat, dan Perbandingan dengan
Negara Lain ..........................................................................................20
H. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur
dalam Undang-Undang terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara ........................22
BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ............................................................................................................24

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS........................


A. Landasan Filosofis ................................................................................43
B. Landasan Sosiologis..............................................................................47
C. Landasan Yuridis...................................................................................52

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG..................................................................
A. Jangkauan Pengaturan..........................................................................56
B. Arah Pengaturan....................................................................................56
C. Ruang Lingkup Materi Muatan ...........................................................57

BAB VI PENUTUP......................................................................................................
A. Simpulan................................................................................................72
B. Saran .....................................................................................................75

LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

The Convention on the Rights of the Child (“Konvensi Hak Anak”) mendefinisikan
anak sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau
kedewasaan telah dicapai lebih cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk
anak-anak. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum
mencapai usia 18 tahun, secara internasional dikategorikan sebagai perkawinan usia
anak (“perkawinan anak”). Dalam hukum internasional sendiri, perkawinan usia anak
sudah ditetapkan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya Pasal 16 (2) of the
Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan “Marriage shall be entered
into only with the free and full consent of the intending spouses”1 Pemilihan umur 18
tahun sebagai patokan transisi usia anak-anak ke status dewasa bukanlah tanpa
alasan.

Secara kodrat, anak-anak merupakan bagian dari kelompok yang rentan, tergantung,
lugu dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Karena alasan inilah anak
memerlukan perawatan dan perlindungan khusus pula agar mereka dapat berkembang
secara penuh, baik fisik maupun mental. Konsekuensi perkawinan usia anak terhadap
faktor kesehatan dan reproduksi, pendidikan, dan eksploitasi perkawinan membuat
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetap kan umur 18 tahun sebagai batas kategori status
“anak”. Dalam kaitannya pada perkawinan usia anak, para ahli pada Perserikatan
Bangsa-Bangsa merekomendasikan kepada seluruh anggota untuk menaikkan batas

1
Committee Against Torture, Concluding Observations:Yemen, para. 31, U.N. Doc.
CAT/C/YEM/CO/2 (2009); Special Rapporteur on Violence against women, its causes and
consequences (SRVAW) finalises country mission to Bangladesh (May 29, 2013); dan CEDAW
Committee, General Recommendation No. 19: Violence against women, (11th Sess., 1992), in
Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights
Treaty Bodies, 331, para. 11, U.N. Doc. HRI/GEN/1/ Rev.9 (Vol. II) (2008).
umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan menjadi 18
tahun, baik laki-laki dan perempuan.2

Untuk Indonesia sendiri, komitmen dalam menjamin perlindungan terhadap anak–


khususnya anak perempuan—terhadap eksposur perkawinan usia anak dapat dilihat
dengan diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan hak
anak.3 Selain instrumen internasional, komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak
dan perlindungan anak juga tercermin dengan disahkanya beberapa Peraturan
perundang-undang terkait.4 Maka dengan begitu, praktik perkawinan anak seharusnya
menjadi suatu bahasan serius dalam konteks perlindungan hak anak di Indonesia.
Berdasarkan beberapa data sekunder yang ada, angka perkawinan anak di Indonesia
cukup mengkhawatirkan.

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2012) menunjukkan


kecenderungan peningkatan jumlah perkawinan anak, yang sangat mengkhawatirkan,
dibanding lima tahun yang lalu. Perempuan usia 15 – 19 tahun yang menikah
diperkotaan meningkat menjadi 32% padahal lima tahun sebelumnya (SDKI 2007)
hanya 26% dari total populasi kelompok usia tersebut. Di Pedesaan perkawinan usia
15-19 tahun masih mencapai 61% dari total populasi di usia tersebut (SDKI 2007),
2
Joint statement by U.N. human rights experts to mark the first International Day of the Girl
Child,October 11, 2012.
3
Konvensi internasional yang berkaitan dengan hak anak yang telah diratifikasi Indonesia,
antara lain:
a. The Convention on the Rights of the Child (“KonvensiHak-HakAnak”), diratifikasi dengan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990;
b. The Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW),
diratifikasimelaluiUndang-Undang No. 7 Tahun 1984;
c. International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), diratifikasimelaluiUndang-
Undang No. 12 Tahun 2005; dan
d. International Convention on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR),
diratifikasimelaluiUndang-Undang No. 11 Tahun 2005.
4
Kerangka Undang-Undang yang melindungi hak anak, antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD 1945”); yang secara
explicit padaPasal 28B UUD 1945 menjimin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Undang –
UndangPerlindunganAnak”); dan
c. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HakAsasiManusia (“Undang-Undang HAM”).
turun menjadi 58% (SDKI 2012) namun jumlah ini tergolong masih sangat tinggi,
dibanding perkawinan anak-anak di Negara lain. Jumlah ini masih belum ditambah
dengan prosentase anak anak yang menikah di usia 13-15 tahun.5

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2010 Perkawinan usia
anak mencapai angka sebesar 46,7% dari jumlah perkawinan di Indonesia. Angka
perkawinan anak yang besar tersebut ternyata lebih spesifik berdampak pada anak
perempuan. Datadari Girls Not Brides anak perempuan lebih terekspose dalam
praktek perkawinan anak disbanding anak laki-laki dengan perbandingan di Indonesia
mencapai 7.5:1.6 Angka-angka tersebut sedikit banyak berdampak dari pengaturan
dan konstruksi hukum perkawinan anak yang masih sangat lemah di Indonesia.

Sejalan dengan temuan-temuan di atas, berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dari seluruh jumlah
perkawinan di Indonesia 4,8% diantaranya dilakukan oleh anak berusia 10-14 tahun.
Sedangkan angka perkawinan anak yang berusia 15-19 tahun mencapai 41,9% dari
total perkawinan.7

Tingginya jumlah perkawinan usia anak juga dapat dilihat dari tidak adanya
penurunan signifikan laju kelahiran oleh anak usia 15-19 tahun sejak tahun 2005
sampai dengan 2011, yakni berkisar antara 46,69% (2005), 35,91% (2006), 45,12%
(2007), 44,56% (2008), 44,01% (2009), 43,45% (2010), dan 42,90% (2011).8

Walaupun secara umum Mahkamah Konstitusi pada putusannya No. 30-


74/PUU/XII/2014 mengatakan bahwa ketentuan batas usia pada UU Perkawinan
5
Lihat KPI, Pernyataan Sikap Koalisi Perempuan Indonesia Menyambut Hari Ibu, Hari
Kebangkitan Perempuan Selamatkan Ibu & Anak-Anak Perempuan
Indonesia,http://www.koalisiperempuan.or.id/2014/12/22/pernyataan-hari-kebangkitan-
perempuan/, Diakses 19 April 2019.
6
Lihat http://www.girlsnotbrides.org/about-child-marriage/ dan
http://www.girlsnotbrides.org/wpcontent/uploads/2013/10/Child-marriage-infographic-2013-10-
04.png. Diakses 19 April 2019.
7
Detik.com,”4,8% dari Jumlah Pernikahan di Indonesia, Dilakukan Anak 10-14 Tahun”.
Diakses 19 April 2019.
8
Hasil survey demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012.
memiliki hubungan kausal terhadap maraknya praktik perkawinan usia anak, namun
ketentuan mengenai batas usia tersebut merupakan kebijakan terbuka (open legal
policy) sehingga pengaturannya sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk
peraturan. Berdasarkan hal ini, ada sitasi yang mendesak agar segara dilakukan
peninggkatan batas usia pada untuk melangsungkan perkawinan pada UU
Perkawinan.

Namun, hal tersebut akan memakan waktu yang cukup lama apabila harus melalui
meaknsime amandemen UU Perkawinan. Permasalah perkawinan anak merupakan
permasalahan multi dimensi. Sebagian diantaranya berhubungan erat dengan adat dan
tradisi masyarakat, ekonomi, akses terhadap informasi kesehatan, dan lain
sebagainya. Namun, salah satu penyebab masih berkembangnya praktik perkawinan
anak adalah tindakan afirmatif negara akan perkawinan anak melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan mengatur batas usia minimum seseorang melakukan perkawinan adalah
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

Akan tetapi, pengaturan batasan usia ini dapat dikesampingkan melalui proses
dispensasi yang dapat diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Sampai sekarang, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut secara jelas dispensasi pada Pasal 7
ayat (2) UU Perkawinan. Hal ini telah menyuburkan praktik-praktik perkawinan usia
anak di bawah 19 dan 16 tahun yang ditetapkan pada Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan. Pengajuan permohonan dispensasi dapat dilakukan atas alasan yang
tidak diatur secara limitatif. Dalam memberikan atau menolak dispensasi, pengadilan
juga tidak memiliki satu kesepahaman. Frasa “pejabat lain” yang tidak disertai
dengan penjelasan mengakibatkan praktik dispensasi tidak mempunyai suatu sistem
safe-guard agar tidak berujung pada penyalahgunaan mekanisme ini.

Mahkamah Konstitusi pada putusannya No. 30-74/PUU/XII/2014 menganalogikan


dispensasi pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan ini sebagai “pintu darurat” apabila
terdapat hal-hal yang bersifat memaksa atas permintaan orang tua dan/atau wali. 9
Dengan demikian berapapun usia yang sekarang atau nantinya ditetapkan sebagai
batas usia untuk melangsungkan perkawinan, sepanjang konsep dispensasi pada Pasal
7 ayat (2) UU Perkawinan masih ada dan tidak diatur dengan jelas, batasan tersebut
tidak akan menyelesaikan permasalahan perkawinan anak yang ada.

Kondisi perkawinan usia anak telah mengalami pergeseran praktik sejak UU


Perkawinan disahkan. Seiring dengan semakin meningkatnya kedewasaan dalam
bernegara, perlindungan hak-hak yang melekat terhadap anak semakin diperhatikan.
Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban dalam meningkatkan pemenuhan serta
perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut. Dengan masih dipertahankannya UU
Perkawinan sesuai dengan versi yang ada sekarang, sangat bertolak belakang dengan
semangat negara yang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang
bertujuan untuk meweujudkan teracapainya pemenuhan hak anak. Penyempurnaan
UU Perkawinan anak juga merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Dibutuhkan adanya intervensi dari pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik


perkawinan usia anak yang membahayakan dan merampas hak-hak anak yang
dijamin oleh negara. Selain itu, juga dibutuhkan kepastian hukum dan pengetatan
mekanisme dispensasi yang hanya dapat diberikan secara limitatif melalui
pertibangan pengadilan yang jelas. Akan memakan waktu yang sangat lama apabila
penyepurnaan UU Perkawinan dilakukan melalui proses amandemen di parlement.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, untuk mengisi kekosongan


peraturan dan upaya pencegahan perkawian anak terutama pada Kabupaten Lampung
Timur, maka dipandang perlu untuk melakukan penyusnan naskah akademik
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan
Perkawinan Anak, yang disusun berdasarkan Naskah Akademik ini, sebagai itikad
baik dan komitmen Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan masyarakat Kabupaten
Lampung Timur pada umumnya untuk memberikan perlindungan kepada Anak.

9
Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 30-74/PUU/XII/2014, [3.13.3], hal. 232.
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat permasalahan yang dapat
diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan teori tentang pencegahan perkawinan anak serta


bagaimana praktik empiris pencegahan perkawinan anak?

2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan


perkawinan anak?

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis


dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
tentang Pencegahan Perkawinan Anak?

4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan materi muatan yang
perlu diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak?

C. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,tujuan penyusunan


Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui perkembangan teori tentang pencegahan perkawinan anak serta


bagaimana praktik empiris pencegahan perkawinan anak dalam menjawab
kebutuhan;

2. Mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan


perkawinan anak saat ini;
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis dari
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur tentang
Pencegahan Perkawinan Anak;

4. Merumuskan sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan materi muatan yang perlu
diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.

Adapun kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.

D. Metode Penelitian

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung


Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak dilakukan dengan metode penelitian
normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka yang ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan banyak membutuhkan
data-data dari literatur-literatur seperti buku, jurnal, undang-undang dan lain-lain.
Selain dengan mengumpulkan data-data dari literarur-literatur, metode penelitian
normatif juga mengumpulkan data dengan mewawancarai pihak terkait untuk sekedar
mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan.

Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan terjun langsung ke lingkungan


masyarakat untk mencari fakta-fakta yang sesuai dilingkungan masyarakat. Hal yang
biasa dilakukan dalam penelitian empiris ialah dengan cara wawancara, observasi,
sample dan lain-lain. Penggunaam penelitian yang dilakukan secara normatif empiris
ini pada dasarnya menggabungkan antara penelitian normatif dan dengan adanya
penambahan unsur empiris, selanjutnya data yang diterima dianalisis dan ditarik
kesimpulannya untuk menjawab suatu permasalahan.10

10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986. hlm.
123
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.11
Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan,
saling memasukkan, dan wathi atau bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid
Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua
makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.12

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang


Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.13 Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah akad
yang sangat kuad (mistaqan ghalidan) untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.14

2. Tujuan Perkawinan

Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama


dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan

11
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
12
Ibid., hal. 10
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007) hal. 2
14
Ibid..., hal. 228
bahagia.15Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul
Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:16

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan


kasih sayang

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta


kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas


dasar cinta dan kasih sayang.

3. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang


menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan,
sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh
ditinggalkan.

Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika salah satu
rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun
perkawinan diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi
dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi
sebelum perkawinan itu dilakukan.
15
Ghozali, Fiqh Munakahat..., hal. 22
16
ibid., hal. 22
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-
masing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai
tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama
dan undang-undang disebut juga syarat objektif.17

Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal
12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai
berikut :

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal


6 ayat (1))

b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))

c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam
hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon
kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))

d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam


Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun


keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya

17
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000) hal. 76.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.

e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)

f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal
10)

g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah


lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)

Syarat formal adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas


mengenai pelaksanaan perkawinan.18 Syarat-syarat formal dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi:19

18
Ibid.
19
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Pekawinan
“Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.”

4. Syarat Sah Perkawinan

Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di samping
tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad atau
batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak
dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan.
Dari perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak
saling mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri, dan lain-lain.

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan terdapat


dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agama dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang
berlaku.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9


Tahun 1975 disebutkan bahwa “dengan mengindahkan tata cara perkawinan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi”.20 Maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut
hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.

Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing itu termasuk


ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam agamanya dan

20
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hal. 18
kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini. Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut Undang-Undang
Perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum
sebagai ikatan perkawinan.21

5. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan Anak menurut Undang–


Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 1 UU Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan merupakan ikatan


lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tanga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Untuk dapat melangsungkan suatu
perkawinan, Undang-Undang Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan
formil yang harus dipenuhi, salah satunya persyartan umur minimal untuk
melangsungkan perkawinan, yakni 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun
untuk perempuan.

Adapun tujuan ditentukannya usia minimal ini adalah guna menjaga


kesehatan suami – isteri dan keturunan (Penjelasan Pasal 7 ayat (1), Undang-
Undang Perkawinan). Lebih lanjut, Penjelasan Undang- Undang Perkawinan
menguraikan perkawinan di Indonesia menganut azas “calon suami-siteri itu
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,
agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tana berkahir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.”

Ketentuan penetapan batasan umur 16 tahun bagi perempuan pada Pasal 7


ayat (1), Undang-Undang Perkawinan inilah yang kemudian dijadikan sebagai
landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan anak.22 Namun
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan,
Hukum Adat, Hukum Agama. ( Bandung: Mandar Maju, 1990) hal. 34
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandar Lampung : PT Citra Aditya Bakti, 2010.
hlm.68.
walaupun Undang-Undang Perkawinan secara tegas mengatur umur 16 tahun
sebagai umur yang diangap siap untuk melangsungkan perkawinan, disisi lain
Pasal 47 ayat (1), Undang- Undang Perkawinan menetapkan bahwa anak di
bawah usia 18 tahun masih belum bertindak sendiri dan berada di bawah
kekuasaan orangtuanya.

Dari uraian pasal ini dapat dilihat inkonsistensi Undang-Undang Perkawinan


dalam menetapkan patokan batasan mengenai umur “dewasa” dalam artian
lepas dari kekuasaan orang tua, dan “dewasa” dalam artian masak jiwa
raganya untuk melangsungkan perkawinan. Penjelasan Undang-Undang
Perkawinan juga tidak menguraikan lebih lanjut alasan adanya pembedaan
antara umur seseorang dapat bertindak secara otonom yakni 18 tahu dengan
umur seseorang dikatakan siap untuk melakukan perkawinan yakni 16 tahun.

Terhadap inkonsistensi ini, hasil studi yang dilakukan Ade Maman Suherman
dan J satrio, menyatakan bahwa “….seharusnya dari pasal 47 sampai dengan
Pasal 50 Undang- Undang Perkawinan berpatokan pada umur dewasa 18
tahun. Kalau undang-undang menetapkan kewenangan orang tua dan wali
untuk mewakili anak belum dewasa berakhir pada saat anak mencapai usia 18
tahun (atau telah menikah sebelumnya; pasal 47 dan pasal 50 Undang-Undang
Perkawinan) maka tidak logis kalau UU perkawinan mempunyai patokan usia
dewasa lain dari pada 18 Tahun.

Bahwa walaupun Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan secara tegas menetapkan


batasan minimum umur, namun hal ini tidak serta merta menutup
kemungkinan dilakukanya perkawinan terhadap anak yang berusia kurang
dari 16 tahun. Pasal 7 ayat (2), Undang-Undang Perkawinan memungkinan
seseorang berusia di bawah 16 tahun untuk melakukan perkawinan apabila
mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain.
UU Perkawinan tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud dengan
“penyimpangan” ataupun batasanya terhadap Pasal 7 ayat (2) di atas.
Konsekuensi dari ketentuan ini bukan hanya sebagai jaminan legalitas
perkawinan anak di bawah umur 16 tahun bagi perempuan atau 19 tahun bagi
laki-laki, tetapi juga mempertegas bahwa Indonesia tidak memiliki batasan
umur terendah untuk melangsungkan perkawinan, dalam hal ini anak
perempuan pada usia berapapun dimungkinkan untuk diperisteri oleh seorang
pria.

Tanpa ada defenisi tegas yang bersifat limitati akan apa yang dimaksud akan
“penyimpangan” membuat hal ini menjadi legitimasi masyarakat dalam
menentukan latarbelakang dilakukannya perawkinan usia anak di bawah 16
tahun. Seseorang bisa saja meminta “penyimpangan” Pasal 7 ayat (1),
Undang-Undang Perkawinan, kepada pengadilan atau pejabat lain dengan
alasan bahwa orang tua sang anak terlilit hutang, kemiskinan, janji dinafkahi
oleh calon suami, ataubahkan menjadi korban pemerkosaan.

Kultur dan budaya yang telah turun-temurun juga acapkali dijadikan alasan
untuk meminta “Penyimpangan” kepada pengadilan atau pejabat lain. Orang
tua percaya bahwa dengan mengawinkan anak perempuannya sesegera
mungkin dapat menjauhkan anak tersebut dari pengaruh-pengaruh negatif
pergaulan, seperti seks bebas ataupun hamil di luar perkawinan.23 Ditambah,
anjuran oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat yang meyakinkan
orang tua si anak bahwa tindakan tersebut adalah pilihan yang tepat dijadikan
alasan untuk meminta “Penyimpangan” dari Pasal 7 ayat (1), Undang-Undang
Perkawinan.24

Dimungkinkannya perkawinan oleh calon mempelai di bawah umur standar


ini merupakan contoh lain dari inkonsistesi dari Undang-Undang Perkawinan
23
PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 28 Maret 2019 Pukul 19.00
WIB.
24
Puslitbang – BKKBN, diakses pada 28 Maret 2019 Pukul 20.15 WIB.
dalam menentukan batas minimal umur dalam melangsungkan perkawinan.
Hal ini bertolak belakang dengan penjelasan Undang-Undang Perkawinan
itu sendiri yang menyatakan calon suami atau isteri harus telah masak jiwa
raganya untuk melangsungkan perkawinan “untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur”.

6. Kontradiksi UU Perkawinan tentang Posisi Anak dan Kewajiban Orang


Tua

Seperti yang telah disebutkan di atas sebelumnya, terdapat inkonsistensi


mengenai peraturan umur “dewasa” atau “cukup umur” pada Undang-Undang
Perkawinan. Disatu sisi, Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan
menetapkan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki
merupakan usia yang masak untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan
Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang Perkawinan menetapkan umur 18 tahun
sebagai batasan umur seorang anak berada di bawah pengawasan
orangtuanya.

Inkonsistensi terhadap penentuan batas usia ini menimbulkan kontradiksi


antara posisi anak dengan kewajiban orang tua yang diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan. Selain itu, kontradiksi antara posisi anak dan kewajiban
orang tua ini juga terjadi mempunyai efek domino terhadap Undang-Undang
Perlindungan Anak.

Kontradiksi Usia Dewasa pada Undang-Undang Perkawinan

UU Perkawinan mewajibkan orang tua untuk memelihara dan mendidik


anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Terhadap batasan waktu sampai
kapan kewajiban ini harus dilaksanakan, Pasal 45 ayat (1) dan (2), Undang-
Undang Perkawinan menegaskan dua ketetapan waktu, yakni: 1) sampai
anak tersebut kawin; atau 2) dapat berdiri sendiri.
Sayangnya, Undang-Undang Perkawinan tidak mejelaskan lebih lanjut,
kriteria apa yang harus dipertimbangkan dalam menentukan seorang anak itu
sudah “dapat berdiri sendiri”. Namun, pada pasal berikutnya, yakni Pasal 46
ayat (2), Undang-Undang Perkawinan, diatur kewajiban seorang anak untuk
membantu orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, apabila anak
tersebut sudah “dewasa”. Walaupun tidak secara eksplisit mendefenisikan
umur “dewasa”, namun pada Pasal 47 ayat (1), Undang- Undang Perkawinan
menengaskan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan, berada di bawa kekuasaan orang tuanya selama
kekuasaan tersebut tidak dicabut.

Apabila melihat Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 sebagai satu kesatuan
konstruksi, maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan
menggunakan batasan umur 18 tahun untuk menetapkan usia transisi
seseorang beralih dari status “anak” menjadi “dewasa” atau “dapat berdiri
sendiri” atau menurut Ade Maman Suherman dan J Satrio orang tersebut

sudah dianggap cakap hukum. 25 Namun dengan ditetapkannya usia 16 tahun


sebagai usia yang dapat melakukan perkawinan tanpa harus mengajukan
dispensasi, maka terjadilan pertentangan antara kewajiban orang tua untuk
merawat anak tersebut dengan haknya untuk mengawinkan anak yang berada
di bawah kekuasaannya tersebut.

Mengawinkan anak yang masih di bawah pengawasannya sudah seharusnya


tidak dapat dianggap sebagai bentuk tanggung jawab orang tua untuk
membesarkan anak tersebut dengan baik. Tindakan mengawinkan anak
perempuan berusia di bawah 18 tahun, lebih tepat dimaknai sebagai
penelantaran kewajiban sebagai orang tua karena merupkan bentuk
pengalihan tanggung jawab tersebut kepada suami.
Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur (Kecakapan dan
25

Kewenangan bertindak Berdasarkan Batasan Umur, Jakarta : National Legal Reform Program, 2010.
hlm 127.
Sungguhpun suami dari anak perempuan tersebut juga bertanggung jawab
terhadap istrinya, namun konsep tanggung jawab dalam kondisi ini bukan lagi
sebagai kewajiban membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan
mendasarnya sebagai anak.

7. Perkembangan Batas Usia Anak dalam Berbagai Peraturan Perundang-


undangan

Ade Maman Suherman dan J. Satrio menguraikan penetapan batas usia pada
peraturan perundang- undangan merupakan cara pembuat peraturan dalam
melindungi mereka yang belum dapat merumuskan kehendaknya degan benar
dan belum dapat menyadari sepenuhya akibat hukum dari perbuatannya.
Tujuan ini dicapai dengan memberikan suatu perbedaan yang jelasa antara
mereka yang telah mencapai usai dewasa dan belum dewasa.26

Penentuan batas usia “belum dewasa” dalam undang-undang juga bukanlah


perkara yang mudah. BW menentukan secara quantitatif orang yang telah
berusia 21 tahun dianggap sudah dewasa (Pasal 330). Permasalahannya bisa
saja seseorang sudah berusia 21 tahun namun tetap belum dapat merumuskan
kehendaknya dengan benar atau setidaknya belum dapat mengukur akibat
hukum dari tindakannya. Namun, demi alasan kepastian hukum sejak tahun
1905 Indonesia menggunakan patokan umur 21 tahun untuk mengukur
kedewasaan seseorang, dan dalam tahun 1917 – berdarkan S. 1917:378 –
berlaku bagi golongan Tioghoa.27

Jauh sebelum peraturan perundang-undangan Indonesia menentukan batas


usia untuk dianggap dewasa atau cakap, masing-masing daerah di Indonesia
memiliki hukum adat sendiri dalam menentukan kedewasaan seseorang.
Seperti di Jawa Barat, seseorang akan dianggap dewasa apabila orang tersebut

26
Ibid, hlm 9.
27
Ibid, hlm 10.
sudah “kuat gawe” atau sudah bekerja dan dapat mengurus sendiri
keperluannya. Di Nusa Tenggara Timur, seorang perempuan dianggap
dewasa apabila sudah dapat membuat kain tenunt, memasak jagung dan
mangatur urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya dikatakan dewasa
apabila sudah dapat membuat pondok bekerja di sawah dan menghasilkan
sekian ribu batang pohon atau padi.28

UU Perkawinan juga merupakan salah satu peraturan yang fundamental


dalam menentukan batas usia di Indonesia. Pasal 47 ayat (1), Undang-
Undang Perkawinan tegas menyatakan bahwa orang yang belum berusia 18
tahun masih berada di bawah kekuasaan orang tuanya atau wali. Walaupun
tidak secara tegas menyatakan bahwa seseorang di atas usia 18 tahun
merupakan orang yang telah dewasa, namun dengan tidak lagi di bawah
kekuasaan orang tua, seseorang sudah dianggap cakap hukum.29 Semenjak
saat itu pengaturan batasan umur dalam kerangka peraturan perundang-
undangan menggunakan batasan 18 tahun atau 21 tahun.

Dalam praktek, pengadilan juga tidak konsisten dalam menggunakan batasan


umur untuk menetapkan kedewasaan seseorang. Namun dari banyak
ketidakkonsistenan ini, pengadilan hanya mendasarkan batasan umur pada
dua pilihan, yakni 18 tahun atau 21 tahun. Lebih lanjut Ade Maman
Suherman dan J Satrio menyebut beberapa putusan Pengadilan Negeri yang
menggunakan umur 21 tahun sebagai batasan umur, antara lain: PN Jakarta
Pusat No. 1138/PDt.P1987 PN.JKT.PST tanggal 22-12-1987; MA No.
59K/AG/2007 tanggal 6 juni 2007; MA No. 95K/AG/2009, tanggal 17-04-
2009; MA No. 294K.AG/2009, tanggal 16-6-2009. Bahkan Pengadilan
Agama Wonosari pun menggunakan umur 21 tahun yakni pada putusanya
bernomor 0432/Pdt.G/2008/PA.Wno, tanggal 5-8-2008.

28
PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 29 Maret 2019 Pukul 16.53
WIB.
29
Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur... Op.Cit, hlm. 127
Sedangkan pada buku yang sama tercatat beberapa putusan pengadilan yang
menggunakan batasan umur 18 tahun, yakni: Pengadilan Negari Jakarta Utara
No. 1530/Pdt/1987/PN. Jakut, tanggal 5-11-1987; dan MA No.
477/K/Sip1976, tanggal 13 Oktober 1976.

Penggunaan batasan umur 18 dan 21 tahun juga telah menjadi bagian penting
dalam perkembangan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
mengklasifikasikan induvidu berdasarkan umur. Sejalan dengan itu, tren
penggunaan umur 18 dan 21 tahun telah menjadi acuan hampir disetiap
peraturan perundang-undangan yang ada saat ini. Tren umur ini dipaparkan
dalam tabel berikut:

No. Nama Peraturan Batasan Pasal


Umur
1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang 18 Pasal 1
Perlindungan angka 26
2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga 18 Pasal 1
Kerja angka 26
3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang 18 Pasal 1
Pemasyarakatan angka 8
4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem 18 Pasal 1
Peradilan Anak angka 3
5 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 18 Pasal 1
Manusia angka 5
6 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 18 Pasal 6
Hak Asasi Manusia
7 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem 23 Pasal 41
jaminan ayat (6)
8 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 18 Pasal 1
ayat (4)
9 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang 18 Pasal 4
Kewarganegaraan
10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang 18 Pasal 1
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang angka 5

11 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-IZ.01.10 18 Pasal 1 ke


Tahun (3)
12 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1949 tentang 21 Pasal 5
Pemberian Pensiun Kepada Janda (Anak-Anaknya)
13 Keputusan
Pegarai Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 18 Pasal 1
Kewarganegaraan Republik Indonesia
14 Surat Keputusan Dijen Agraria Direktorat Pendaftaran 17,19
Tanah (Kadester) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13 July 18,20
1977

15 Keputusan Presiden RIS No. 33 Tahun 1950 tentang 18 Pasal 1


Persetudjuan Perihal Pembagian Warganegara
(Lampiran
16 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak 18 Penjelasan
Penghasilan Pasal 8
17 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan 18 Pasal
ayat 8
Keempat Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 ayat (4)
18 Kitab
tentangUndang-Undang Hukum Perdata 21 Pasal 33
19 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan 18 Pasal 39
Notaris

20 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 18,21 dan Pasal 10
Per 18/Men/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan 21,22
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar

21 Negeri
Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 18 Pasal 1 dan
Kewarganegaraan Republik Indonesia 2
22 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tetang Lalu Lintas 17,23 Pasal 81
dan Angkutan Jalan 20,24 (2)
21,25

23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang 17,26 Pasal 63


Administrasi (1)

Dari tujuan tersebut, maka dapat disimpulkan setiap pembatasan umur yang
ada diperaturan perundangan-undangan haruslah dilatarbelakangi
pertimbangan akan kesiapan orang yang diatur untuk memahami konsekuensi
dari pilihannya. Seperti contoh, pengaturan batas usia minimal untuk memiliki
haruslanh didasari pertimabgan apakah pada kelompok umur 17, 20, dan 21
tahun seseorang telah memiliki pemahaman akan lalu lintas.

Begitu juga dengan batas usia perkawinan, seharusnya ada batas umur yang
lebih tinggi di atas 16 tahun karena kelompok orang pada umur ini masih
dikategorikan sebagai anak dan tidak mengetahui konsekuensi dari suatu
Pernikahan.

B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma

Peraturan daerah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan


dalam pembentukannya tidak luput dari asas formal dan material. Apalagi
substansinya merupakan norma sentral dalam mewujudkan secara lebih
konkret isi otonomi di suatu daerah. Untuk mendapatkan kualitas peraturan
daerah yang seperti itu, maka dalam pembentukannya harus didasarkan pada
beberapa asas. Paul scoholten mengatakan sebuah asas hukum bukanlah
sebuah aturan hukum, namun hukum tidak dapat dimengerti tanpa asas-asas
hukum.
Umumnya asas dipahami sebagai pikiran dasar yang menjiwai setiap
peraturan hukum konkrit. Asas tersebut tidak secara eksplisit tercantum dalam
peraturan perundang-undangan, akan tetapi maknanya terkandung di
dalamnya. Sehingga asas memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai
metanorma dan seharusnya menjadi panduan dalam setiap penyusunan
peraturan perundang-undangan termasuk dalam pembentukan peraturan
daerah sebagai produk legislasi daerah. Berdasarkan Pasal 237 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 ditentukan bahwa Perda (Peraturan Daerah)
dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang meliputi:

a) Kejelasan tujuan; artinya, tujuan dari perda yang akan dibentuk tidak
menyimpang dari tujuan yang telah digariskan dalam dasar filosofis,
yuridis dan sosiologis dalam pembentukan Perda. Pembentukan Perda
Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur yang akan
dibentuk tidak menyimpang dari tujuan yang telah digariskan dalam dasar
filosofis, yuridis dan sosiologis dalam pembentukan Perda yang menjadi
dasar legitimasi perda di Kabupaten Lampung Timur

b) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; artinya, perda ini


dapat dibentuk atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (hak inisiatif
lembaga legislatif) atau oleh Kepala Daerah (hak inisiatif lembaga
eksekutif). Perda dibahas bersama antara lembaga legislatif dengan
lembaga eksekutif, dan atas persetujuan bersama antara keduanya, kepala
daerah menetapkan perda.

c) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Artinya, materi muatan


yang terkandung dalam perda yang akan dibentuk berkesesuaian dengan
jenis perdanya. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan
Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur materi muatannya akan
mengatur mengenai pencegahan terjadinya pernikahan anak.

d) Dapat dilaksanakan; artinya, perda yang akan dibentuk akan menjadi


pedoman atau acuan dalam hal ini sebagai pedoman serta acuan dalam
Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur, serta
ketentuan pasal/norma dalam perda dapat diimplementasikan/operasional.

e) Kedayagunaan dan Kehasilgunaan; artinya perda yang akan dibentuk


dapat diterima baik secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Pembentukan
Perda tentang Pencegahan Perkawinan Anak dilandasi dengan aspek
filosofis, sosiologis dan yuridis, sehingga diharapkan keberlakuannyapun
dapat tercermin secara filosofis, sosiologis dan yuridis.

f) Kejelasan rumusan; artinya bahwa rumusan pasal dapat dipahami dan


dilaksanakan serta tidak menimbulkan tafsir ganda (ambigu). Pembentukan
Perda tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung
Timur akan dirumuskan dengan bahasa hukum yang tepat sehingga tidak
multitafsir.

g) Keterbukaan; artinya, peran serta masyarakat dapat diakomodasi baik


dalam proses penyusunan, pelaksanaan maupun pengawasan. Pembentukan
Perda tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung
Timur akan melibatkan peran serta masyarakat baik dalam proses
penyusunan, pelaksanaan maupun pengawasannya.

Asas-asas tersebut di atas merupakan landasan dalam penyusunan Raperda


yang akan disusun. Asas-asas tersebut akan diakomodir dalam perumusan
norma atau pasal yang menjadi materi muatan Perda yang akan disusun. Salah
satu aspek pokok dalam penyusunan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah)
adalah menentukan materi muatan. Disamping asas-asas yang disebutkan
diatas, menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Pasal 237 juga
menentukan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Asas-asas formal dan material yang ada tersebut juga merupakan asas
pembentukan peraturan-perundang-undangan yang juga telah diakomodir
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang No 01 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan
undang-undang penunjang ini akan menjadi pijakan dasar dalam pembuatan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak Di Kabupaten
Lampung Timur.

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan perkawinan anak, kondisi


yang ada, serta permasalahan perkawinan anak di Kabupaten Lampung
Timur

Kabupaten Lampung Timur adalah salah satu kabupaten di Provinsi


Lampung, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sukadana.
Berdasarkan data Statistik pada tahun 2015 Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 5.325,03 km² dan berpenduduk sebesar 1.008.797. Pemerintah
Daerah Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1999, diresmikan pada tanggal 27 April 1999 dengan pusat
Pemerintahan di Kecamatan Sukadana.

Saat dibentuk Lampung Timur meliputi 10 Kecamatan definitif, 13


Kecamatan Pembantu dan 232 Desa. selanjutnya dengan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1999, 2 (dua) kecamatan pembantu
yaitu Kecamatan Margatiga dan Sekampung Udik statusnya di tingkatkan
menjadi Kecamatan Definitif, dengan demikian Wilayah Kabupaten Lampung
Timur bertambah 2 (dua) kecamatan menjadi 12 kecamatan definitif dan 11
kecamatan pembantu dan 232 desa.

Dengan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13 Tahun 2003 Tanggal


10 Desember 2003 tentang perubahan status dan desa menjadi Kelurahan,
maka 5 desa dalam Kecamatan Sukadana berubah menjadi kelurahan yaitu
Pasar Sukadana, Sukadana Ilir, Negara Nabung, Sukadana dan Mataram
Marga. Sedangkan sekarang jumlah desa / kelurahan yang ada di Kabupaten
Lampung Timur sebanyak 241,yang terdiri dari 227 desa definitif, 5
Kelurahan, 9 desa persiapan.

Adapun permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah Kabupaten


Lampung Timur sebagaimana tujuan dibuatnya naskah akademik ini, yang
menjadi awal dalam pembentukan Peraturan daerah mengenai Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur yaitu :

1. Tidak adanya Regulasi yang mengatur tentang pencegahan perkawinan usia


anak di di provinsi lampung
2. Kurangnya edukasi mengenai dampak dari perkawinan usia anak .
3. Maraknya Perkawinan usia Anak pada daerah pedesaan di Lampung
Timur.
4. Kurangnya kesadaran masyarakat di kabupaten Lampung Timur
Khususnya di pedesaan terhadap pentingnya pendidikan.

5. Kurangnya peran orangtua dalam pencegahan perkawinan usia anak di


kabupaten Lampung Timur
Sebagai upaya pencegahan terhadap terjadinya perkawinan anak perlu adanya
regulasi yang mengatur terkait dengan hal tersebut maka dalam hal ini perlu
dibentuk Peraturan Daerah kabupaten lampung timur tentang Pencegahan
perkawinan anak agar kedepannya tidak terjadi kembali kasus perkawinan
anak di kabupaten lampung timur. Melalui pembentukan perda ini juga
merupakan manifestasi terhadap perlindungan anak sebagai generasi penerus
bangsa.

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur


dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan
negara

Dengan adanya regulasi mengenai pencegahan perkawinan anak melalui


Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur, tentunya akan membawa
implikasi baik terhadap aspek kehidupan masyarakat maupun pemerintahan di
kabupaten lampung timur. Adapun implikasi terhadap Peraturan Daerah ini,
yaitu:

1. Aspek Kehidupan Masyarakat

Perkawinan di usia anak adalah salah satu permasalahan sosial yang terjadi
di masyarakat dimana kedudukan anak sangat dirugikan bila dilihat dari
dampak yang ditimbulkan akibat dari perkawinan usia anak ,hal ini juga
merupakan bentuk eksploitasi terhadap anak. Oleh sebab itu, hadirnya
suatu regulasi dalam bentuk peraturan daerah yang mengatur tentang
pencegahan perkawinan anak di Lampung Timur adalah suatu keniscayaan
karena berdampak sangat positif bagi pencegahan perkawinan anak yang
akan merubah kondisi sosial dan pola pikir pada masyarakat di kabupaten
lampung timur, serta anak tidak lagi menjadi objek eksploitasi dari adanya
ikatan perkawinan.
2. Aspek Beban Keuangan Daerah

Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa penerapan sistem baru, terutama


berkaitan dengan diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan
dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang pencegahan
perkawinan anak, dipastikan akan memiliki dampak terhadap aspek
kehidupan masyarakat. Namun, dalam hal ini, kewajiban penyelenggara
daerah Kabupaten Lampung Timur, harus berusaha semaksimal mungkin
untuk mengatur kehidupan masyarakat, dalam rangka pencapaian tujuan
yang hendak dicapai yaitu mencegah terjadinya perkawinan anak di
Lampung Timur.

Segala bentuk kegiatan menggunakan dana dari Anggaran Belanja Daerah


(ABD) Lampung Timur, mulai dari pembuatan Naskah Akademik,
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan antara para wakil rakyat di
Lampung Timur dengan Pemerintah, yang tentunya memerlukan dana,
kami sangat yakin bahwa beban keuangan daerah ini sangat tidak berarti
dengan manfaat yang akan diperoleh jika RAPERDA tentang Pencegahan
Perkawinan Anak ini, menjadi Peraturan Daerah dan mengikat seluruh
Mayarakat di Kabupaten Lampung Timur.

Anda mungkin juga menyukai