Anda di halaman 1dari 95

NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN LAMPUNG TIMUR


TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

Disusun Oleh

Nama NPM
Muhammad Edy Priyono 1512011358
Muhammad Rendy Rifki P 1512011359
Anggoro Herlambang 1512011360
Julia Santika F 1612011002
Abdur Rohman Husen 1612011008
Andrian 1612011009
Arum Teza Kinanti 1612011011
Ade Rahmawati PN 1612011016
Frissillia Gusvina R 1612011031
Intan Bella Prasticha 1612011035

Dosen :
Dr. Budiyono, S.H., M.H. & Muhtadi, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Setiap anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus perjuangan bangsa dan
diharapkan kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Untuk mewujudkan pencapaian penegakan dan pemenuhan hak-hak manusia,
pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap anak yang
dituangkan dalam suatu kebijakan ditingkat daerah yang dalam pemenuhan hak
hidup,tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi menjadi kewajiban orang tua,
pemerintah daerah, serta masyarakat, karena pada diri anak melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya untuk mewujudkan Kabupaten Lampung Timur sebagai
Kabupaten Layak Anak (KLA);
Naskah akademik yang disusun ini merupakan hasil penelitian secara akademik
baik mencakup dimensi filosofis, sosiologis, yuridis, maupun teoritis terkait dengan
perlindungan anak yang mengantar pada poin-poin materi yang harus dicakup dalam
Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Atas tersusunnya naskah akademik ini, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan aktif
memberikan pemikiran, saran pertimbangan maupun masukan yang positif dalam
penyusunan Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan
Perkawinan Anak. Mohon maaf apabila naskah ini masih memuat kesalahan yang sama
sekali di luar kesengajaan tim penyusun.

Wassalam,

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A.............................................................................................Latar Belakang
......................................................................................................................1
B.....................................................................................Identifikasi Masalah
......................................................................................................................4
C.......................................................Tujuan dan Kegunaan Penyusunan NA
......................................................................................................................5
D.............................................................................Metode Penyusunan NA
......................................................................................................................5
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS.............................................
A..............................................................................................Kajian teoretis
......................................................................................................................7
B................................Kajian terhadap asas/prinsip yang Berkaitan dengan
Penyusunan norma.....................................................................................17
C...................Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, Kondisi yang ada,
Serta Permasalahan Perkawinan Anak di Lampung Timur ......................20
D........Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan diatur
dalam Peraturan Daerah terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah .............................22
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ..............................................................................................24
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS........................
A.....................................................................................Landasan Filosofis
...................................................................................................................43
B...................................................................................Landasan Sosiologis
...................................................................................................................47
C.........................................................................................Landasan Yuridis
...................................................................................................................52
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG.....................................................

2
A................................................................................Jangkauan Pengaturan
..................................................................................................................56
B.........................................................................................Arah Pengaturan
...................................................................................................................56
C.................................................................Ruang Lingkup Materi Muatan
...................................................................................................................57
BAB VI PENUTUP.....................................................................................................
A.....................................................................................................Simpulan
...................................................................................................................72
B..........................................................................................................Saran
...................................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRA

3
NBAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan usia muda merupakan
perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak yang usianya belum mencapai yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun. sedangkan dalam The
Convention on the Rights of the Child (“Konvensi Hak Anak”) mendefinisikan anak
sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau kedewasaan
telah dicapai lebih cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak.
Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18
tahun, secara internasional dikategorikan sebagai perkawinan usia anak (“perkawinan
anak”).
Dalam hukum internasional sendiri, perkawinan usia anak sudah ditetapkan
sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia khususnya Pasal 16 (2) of the Universal Declaration of
Human Rights. Pemilihan umur 18 tahun sebagai patokan transisi usia anak-anak ke
status dewasa bukanlah tanpa alasan.
Secara kodrat, anak-anak merupakan bagian dari kelompok yang rentan,
tergantung, lugu dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Karena alasan inilah anak
memerlukan perawatan dan perlindungan khusus pula agar mereka dapat berkembang
secara penuh, baik fisik maupun mental.1 Konsekuensi perkawinan usia anak terhadap
faktor kesehatan dan reproduksi, pendidikan, dan eksploitasi perkawinan membuat
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetap kan umur 18 tahun sebagai batas kategori status
“anak”. Dalam kaitannya pada perkawinan usia anak, para ahli pada Perserikatan
Bangsa-Bangsa merekomendasikan kepada seluruh anggota untuk menaikkan batas
umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan menjadi 18 tahun,
baik laki-laki dan perempuan.2

1 Walyudi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: CV Mandar Maju, 2009, hlm. 5

2Joint statement by U.N. human rights experts to mark the first International Day of the Girl
Child,October 11, 2012, http://acnudh.org/en/first-international-day-of-the-girl-child-joint-statement-by-
a-group-of-un-human-rights-experts/, diakses pada 19 April 2019.
Untuk Indonesia sendiri, komitmen dalam menjamin perlindungan terhadap
anak khususnya anak perempuan terhadap eksposur perkawinan usia anak dapat dilihat
dengan diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan hak anak
seperti The Convention on the Rights of the Child diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990; The Convention of the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (CEDAW), diratifikas imelaluiUndang-Undang No. 7
Tahun 1984;.International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR),
diratifikasi melaluiUndang-Undang No. 12 Tahun 2005; dan .International Convention
on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR), diratifikasi melaluiUndang-Undang
No. 11 Tahun 2005.
Selain instrumen internasional, komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak
dan perlindungan anak juga tercermin dengan disahkanya beberapa Peraturan
perundang-undang terkait. Adapun Undang-Undang yang melindungi hak anak, antara
lain:Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD 1945”);
yang secara explisit padaPasal 28B UUD 1945; Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sebgaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Maka dengan begitu, praktik perkawinan anak seharusnya menjadi
suatu bahasan serius dalam konteks perlindungan hak anak di Indonesia.
Berdasarkan beberapa data sekunder yang ada, angka perkawinan anak di
Indonesia cukup mengkhawatirkan. Seperti yang dapat dilihat dari Hasil Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2012) menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah perkawinan anak, yang sangat mengkhawatirkan, dibanding lima
tahun yang lalu. Perempuan usia 15 – 19 tahun yang menikah diperkotaan meningkat
menjadi 32% padahal lima tahun sebelumnya (SDKI 2007) hanya 26% dari total
populasi kelompok usia tersebut. Di Pedesaan perkawinan usia 15-19 tahun masih
mencapai 61% dari total populasi di usia tersebut (SDKI 2007), turun menjadi 58%
(SDKI 2012) namun jumlah ini tergolong masih sangat tinggi, dibanding perkawinan
anak-anak di Negara lain. Jumlah ini masih belum ditambah dengan prosentase anak
anak yang menikah di usia 13-15 tahun.3
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2010 Perkawinan usia
anak mencapai angka sebesar 46,7% dari jumlah perkawinan di Indonesia. Angka
perkawinan anak yang besar tersebut ternyata lebih spesifik berdampak pada anak
3KPI, Pernyataan Sikap Koalisi Perempuan Indonesia Menyambut Hari Ibu, Hari Kebangkitan
Perempuan Selamatkan Ibu & Anak-Anak Perempuan Indonesia,
http://www.koalisiperempuan.or.id/2014/12/22/pernyataan-hari-kebangkitan-perempuan/., diakses pada
19 April 2019.
perempuan. Datadari Girls Not Brides anak perempuan lebih terekspose dalam praktek
perkawinan anak disbanding anak laki-laki dengan perbandingan di Indonesia mencapai
7.5:1.4 Angka-angka tersebut sedikit banyak berdampak dari pengaturan dan konstruksi
hukum perkawinan anak yang masih sangat lemah di Indonesia.
Sejalan dengan temuan-temuan di atas, berdasarkan data yang dihimpun oleh
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dari seluruh jumlah
perkawinan di Indonesia 4,8% diantaranya dilakukan oleh anak berusia 10-14 tahun.
Sedangkan angka perkawinan anak yang berusia 15-19 tahun mencapai 41,9% dari total
perkawinan.5 Tingginya jumlah perkawinan usia anak juga dapat dilihat dari tidak
adanya penurunan signifikan laju kelahiran oleh anak usia 15-19 tahun sejak tahun 2005
sampai dengan 2011, yakni berkisar antara 46,69% (2005), 35,91% (2006), 45,12%
(2007), 44,56% (2008), 44,01% (2009), 43,45% (2010), dan 42,90% (2011).6
Walaupun secara umum Mahkamah Konstitusi pada putusannya No. 30-
74/PUU/XII/2014 mengatakan bahwa ketentuan batas usia pada UU Perkawinan
memiliki hubungan kausal terhadap maraknya praktik perkawinan usia anak, namun
ketentuan mengenai batas usia tersebut merupakan kebijakan terbuka (open legal
policy) sehingga pengaturannya sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk
peraturan. Berdasarkan hal ini, ada sitasi yang mendesak agar segara dilakukan
peninggkatan batas usia pada untuk melangsungkan perkawinan pada UU Perkawinan.
Namun, hal tersebut akan memakan waktu yang cukup lama apabila harus
melalui mekanisme amandemen UU Perkawinan. Permasalah perkawinan anak
merupakan permasalahan multi dimensi. Sebagian diantaranya berhubungan erat dengan
adat dan tradisi masyarakat, ekonomi, akses terhadap informasi kesehatan, dan lain
sebagainya. Namun, salah satu penyebab masih berkembangnya praktik perkawinan
anak adalah tindakan afirmatif negara akan perkawinan anak melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan mengatur batas usia minimum seseorang melakukan perkawinan adalah 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

4http://www.girlsnotbrides.org/about-child-marriage/ dan , diakses pada19 April 2019.

5Detik.com,”4,8% dari Jumlah Pernikahan di Indonesia, Dilakukan Anak 10-14 Tahun”. Diakses 19
April 2019. https://health.detik.com/anak-dan-remaja/2413173/48-dari-jumlah-pernikahan-di-indonesia-
dilakukan-anak-10-14-tahun, diakses pada 19 April 2019.

6Hasil survey demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012. http://sdki.bkkbn.go.id, diakses pada 19 April
2019
Akan tetapi, pengaturan batasan usia ini dapat dikesampingkan melalui proses
dispensasi yang dapat diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Sampai sekarang, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut secara jelas dispensasi pada Pasal 7
ayat (2) UU Perkawinan. Hal ini telah menyuburkan praktik-praktik perkawinan usia
anak di bawah 19 dan 16 tahun yang ditetapkan pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
Pengajuan permohonan dispensasi dapat dilakukan atas alasan yang tidak diatur secara
limitatif. Dalam memberikan atau menolak dispensasi, pengadilan juga tidak memiliki
satu kesepahaman. Frasa “pejabat lain” yang tidak disertai dengan penjelasan
mengakibatkan praktik dispensasi tidak mempunyai suatu sistem safe-guard agar tidak
berujung pada penyalahgunaan mekanisme ini.
Mahkamah Konstitusi pada putusannya No. 30-74/PUU/XII/2014
menganalogikan dispensasi pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan ini sebagai “pintu
darurat” apabila terdapat hal-hal yang bersifat memaksa atas permintaan orang tua
dan/atau wali.7 Dengan demikian berapapun usia yang sekarang atau nantinya
ditetapkan sebagai batas usia untuk melangsungkan perkawinan, sepanjang konsep
dispensasi pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan masih ada dan tidak diatur dengan
jelas, batasan tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan perkawinan anak yang
ada.
Kondisi perkawinan usia anak telah mengalami pergeseran praktik sejak UU
Perkawinan disahkan. Seiring dengan semakin meningkatnya kedewasaan dalam
bernegara, perlindungan hak-hak yang melekat terhadap anak semakin diperhatikan.
Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban dalam meningkatkan pemenuhan serta
perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut. Dengan masih dipertahankannya UU
Perkawinan sesuai dengan versi yang ada sekarang, sangat bertolak belakang dengan
semangat negara yang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang
bertujuan untuk meweujudkan teracapainya pemenuhan hak anak. Penyempurnaan UU
Perkawinan anak juga merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Dibutuhkan adanya intervensi dari pemerintah untuk menghentikan praktik-
praktik perkawinan usia anak yang membahayakan dan merampas hak-hak anak yang
dijamin oleh negara. Selain itu, juga dibutuhkan kepastian hukum dan pengetatan
mekanisme dispensasi yang hanya dapat diberikan secara limitatif melalui pertibangan
pengadilan yang jelas. Akan memakan waktu yang sangat lama apabila penyepurnaan
UU Perkawinan dilakukan melalui proses amandemen di parlement.

7Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 30-74/PUU/XII/2014, [3.13.3], hlm. 232.


Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, untuk mengisi kekosongan
peraturan dan upaya pencegahan perkawian anak terutama pada Kabupaten Lampung
Timur, maka dipandang perlu untuk melakukan penyusnan naskah akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak,
yang disusun berdasarkan Naskah Akademik ini, sebagai itikad baik dan komitmen
Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan masyarakat Kabupaten Lampung Timur pada
umumnya untuk memberikan perlindungan kepada Anak.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat permasalahan yang dapat
diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan teori tentang pencegahan perkawinan anak serta
bagaimana praktik empiris pencegahan perkawinan anak?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan
perkawinan anak?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis
dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
tentang Pencegahan Perkawinan Anak?
4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, danmateri muatan yang
perlu diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak?

C. Tujuan dan Kegunaan


Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan
Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui perkembangan teori tentang pencegahan perkawinan anak serta
bagaimana praktik empiris pencegahan perkawinan anak dalam menjawab
kebutuhan;
2. Mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan
perkawinan anak saat ini;
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis dari
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur tentang
Pencegahan Perkawinan Anak;
4. Merumuskan sasaran, jangkauan, arah pengaturan, danmateri muatan yang perlu
diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Adapun kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
tentang Pencegahan Perkawinan Anak
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak dilakukan dengan metode
penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka yang ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan banyak
membutuhkan data-data dari literatur-literatur seperti buku, jurnal, undang-undang dan
lain-lain. Selain dengan mengumpulkan data-data dari literarur-literatur, metode
penelitian normatif juga mengumpulkan data dengan mewawancarai pihak terkait untuk
sekedar mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan.
Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan terjun langsung ke lingkungan
masyarakat untk mencari fakta-fakta yang sesuai dilingkungan masyarakat. Hal yang
biasa dilakukan dalam penelitian empiris ialah dengan cara wawancara, observasi,
sample dan lain-lain. Penggunaam penelitian yang dilakukan secara normatif empiris ini
pada dasarnya menggabungkan antara penelitian normatif dan dengan adanya
penambahan unsur empiris, selanjutnya data yang diterima dianalisis dan ditarik
kesimpulannya untuk menjawab suatu permasalahan.8

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.9 Berasal
dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan,
dan wathi atau bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan

8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986. hlm. 146

9Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hukum Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003)
hlm. 8.
“satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan
maupun tumbuhan”.10
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan,
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi
Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuad (mistaqan ghalidan) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11

2. Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. 12Sedangkan menurut
Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:13
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih
sayang
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.

3. Rukun Dan Syarat Perkawinan


Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu
yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan hukum,
rukun dan syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan.14
Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika salah satu rukunnya tidak
10Ibid., hlm. 10.

11Ibid..., hlm. 228.

12Ghozali, Fiqh Munakahat..., Op.Cit., hlm. 22.

13ibid., hal. 22.

14 Amnawaty, Hukum dan Hukum Islam, Bandar Lampung : Universitas Lampung,2009. hlm. 105
terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun perkawinan diantaranya: calon
suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat
adalah sesuatu yang harus terpenuhi sebelum perkawinan itu dilakukan. 15
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing
pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau
prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang
disebut juga syarat objektif.16
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6
ayat (1))
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16
tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8
yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
15 Mardani, 2017, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2017, hlm. 24.

16Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

2000) hal. 76.


6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau
tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)
Syarat formal adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas
mengenai pelaksanaan perkawinan.17Syarat-syarat formal dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi:“Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat
di tempat perkawinan akan dilangsungkan.”

4. Syarat Sah Perkawinan


Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di samping
tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad atau batal. Suatu
perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak dan kewajiban.
Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan. Dari perkawinan yang sah
timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak saling mewarisi, kewajiban menafkahi
anak dan istri, dan lain-lain.18 Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dankepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang
berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 disebutkan bahwa “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-
masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan
17Ibid.

18 H.M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta:
Ciputat Press, 2003, hlm. 211.
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”. 19Maka perkawinan dianggap sah
apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam agamanya dan kepercayaannya
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agama dengan
sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak
mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.20

5. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan Anak menurut Undang–Undang No.1


Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal1 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan, Undang-
Undang Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan formil yang harus dipenuhi,salah
satunya persyartan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan, yakni 19 tahun
untuk laki-laki dan16 tahun untuk perempuan.
Adapun tujuan ditentukannya usia minimal ini adalah guna menjaga kesehatan
suami–isteri dan keturunan(Penjelasan Pasal 7ayat (1), Undang-Undang Perkawinan).
Lebih lanjut, Penjelasan Undang-Undang Perkawinan menguraikan perkawinan di
Indonesia menganut azas “calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berkahir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat.”21
Ketentuan penetapan batasan umur 16tahun bagi perempuan pada Pasal 7 ayat
(1),Undang-Undang Perkawinan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan dan
dasar hukum dibenarkannya perkawinan anak.22 Namun walaupun Undang-Undang

19Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005) hal. 18

20Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat,


Hukum Agama. ( Bandung: Mandar Maju, 1990)hal. 34

21 Asmin. Status Peerkawinan Antar Agama Tinjauan dari Undang-undang Perkawinan No.1/1974,
Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986. Hlm. 64

22Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandar Lampung:PT Citra Aditya Bakti, 2010.
hlm.68.
Perkawinan secara tegas mengatur umur 16 tahun sebagai umur yang diangap siap
untuk melangsungkan perkawinan, disisi lain Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang
Perkawinan menetapkan bahwa anak dibawah usia 18 tahun masih belum bertindak
sendiri dan berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
Dari uraian pasal ini dapat dilihat inkonsistensi Undang-Undang Perkawinan
dalam menetapkan patokan batasan mengenai umur “dewasa” dalam artian lepas dari
kekuasaan orangtua, dan “dewasa” dalam artian masak jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan. Penjelasan Undang-Undang Perkawinan juga tidak
menguraikan lebih lanjut alasan adanya pembedaan antara umur seseorang dapat
bertindak secara otonom yakni 18 tahun dengan umur seseorang dikatakan siap untuk
melakukan perkawinan yakni 16 tahun.
Terhadap inkonsistensi ini, hasil studi yang dilakukan Ade Maman Suherman
dan Jsatrio, menyatakan bahwa “….seharusnya dari pasal 47 sampai dengan Pasa l50
Undang-Undang Perkawinan berpatokan pada umur dewasa 18 tahun.Kalau undang-
undang menetapkan kewenangan orangtua dan wali untuk mewakili anak belum dewasa
berakhir pada saat anak mencapai usia 18 tahun (atau telah menikah sebelumnya; pasal
47 dan pasal 50 Undang-Undang Perkawinan) maka tidak logis kalau UU perkawinan
mempunyai patokan usia dewasa lain dari pada 18 Tahun.23
Bahwa walaupun Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan secara tegas menetapkan
batasan minimum umur, namun hal ini tidak serta merta menutup kemungkinan
dilakukanya perkawinan terhadap anak yang berusia kurang dari 16 tahun. Pasal 7 ayat
(2), Undang-Undang Perkawinan memungkinan seseorang berusia dibawah 16 tahun
untuk melakukan perkawinan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat
lain.

UU Perkawinan tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud dengan


“penyimpangan” ataupun batasanya terhadap Pasal 7 ayat (2) di atas. Konsekuensi dari
ketentuan ini bukan hanya sebagai jaminan legalitas perkawinan anak dibawah umur 16
tahun bagi perempuan atau 19 tahun bagi laki-laki, tetapi juga mempertegas bahwa
Indonesia tidak memiliki batasan umur terendah untuk melangsungkan perkawinan,
dalam hal ini anak perempuan pada usia berapapun dimungkinkan untuk diperisteri oleh
seorang pria.

23 Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur (Kecakapan dan Kewenangan
bertindak Berdasarkan Batasan Umur, Jakarta : National Legal Reform Program, 2010. hlm 127.
Tanpa ada defenisi tegas yang bersifat limitati akan apa yang dimaksud akan
“penyimpangan” membuat hal ini menjadi legitimasi masyarakat dalam menentukan
latar belakang dilakukannya perkawinan usia anak di bawah 16 tahun. Seseorang bias
saja meminta “penyimpangan” Pasal 7ayat (1),Undang-Undang Perkawinan, kepada
pengadilan atau pejabat lain dengan alasan bahwa orang tua sang anak terlilit hutang,
kemiskinan, janji dinafkahi oleh calon suami, atau bahkan menjadi korban
pemerkosaan.24
Kultur dan budaya yang telah turun-temurun juga acap kali dijadikan alas an
untuk meminta “Penyimpangan”kepada pengadilan atau pejabat lain. Orang tua percaya
bahwa dengan mengawinkan anak perempuannya sesegera mungkin dapat menjauhkan
anak tersebut dari pengaruh-pengaruh negative pergaulan, seperti seks bebas ataupun
hamil diluar perkawinan.25Ditambah, anjuran oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama
setempat yang meyakinkan orang tua si anak bahwa tindakan tersebut adalah pilihan
yang tepat dijadikan alasan untuk meminta “Penyimpangan” dari Pasal 7 ayat (1),
Undang-Undang Perkawinan.26
Dimungkinkannya perkawinan oleh calon mempelai dibawah umur standar ini
merupakan contoh lain dari inkonsistesi dari Undang-Undang Perkawinan dalam
menentukan batas minimal umur dalam melangsungkan perkawinan. Hal ini bertolak
belakang dengan penjelasan Undang-Undang Perkawinan itu sendiri yang menyatakan
calon suami atau isteri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan “untuk itu harus dicegahadanya perkawinan antara calon suami-isteri yang
masih di bawah umur”.

6. Kontradiksi UU Perkawinan tentang Posisi Anak dan Kewajiban Orang Tua


Seperti yang telah disebutkan diatas sebelumnya,terdapat inkonsistensi
mengenai peraturan umur “dewasa”atau “cukup umur” pada Undang-Undang
Perkawinan. Disatu sisi, Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan menetapkan
umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki merupakan usia yang masak

24 H.M.Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan
Perkawinan Siri, Bandung: PT Alumni, Bandung, 2012, hlm. 2

25 PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 28 Maret 2019 Pukul 19.00 WIB.

26 Puslitbang – BKKBN, diakses pada 28 Maret 2019 Pukul 20.15 WIB.


untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang
Perkawinan menetapkan umur 18 tahun sebagai batasan umur seorang anak berada
dibawah pengawasan orang tuanya.
Inkonsistensi terhadap penentuan batas usia ini menimbulkan kontradiksi antara
posisi anak dengan kewajiban orang tua yang diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan.Selain itu, kontradiksi antara posisi anak dan kewajiban orang tua ini juga
terjadi mempunyai efek domino terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. UU
Perkawinan mewajibkan orangtua untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka
dengan sebaik-baiknya.Terhadap batasan waktu sampai kapan kewajiban ini harus
dilaksanakan, Pasal 45 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Perkawinan menegaskan dua
ketetapan waktu, yakni: 1) sampai anak tersebut kawin; atau 2) dapat berdiri sendiri.
Sayangnya,Undang-Undang Perkawinan tidak mejelaskan lebih lanjut, kriteria
apa yang harus dipertimbangkan dalam menentukan seorang anak itu sudah “dapat
berdiri sendiri”. Namun, pada pasal berikutnya, yakni Pasal 46 ayat (2), Undang-
Undang Perkawinan, diatur kewajiban seorang anak untuk membantu orang tua dan
keluarga dalam garis lurus keatas,apabila anak tersebut sudah “dewasa”. Walaupun
tidak secara eksplisit mendefenisikan umur “dewasa”, namun pada Pasal 47 ayat (1),
Undang- Undang Perkawinan menengaskan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun
atau belum melangsungkan perkawinan, berada dibawah kekuasaan orang tuanya
selama kekuasaan tersebut tidak dicabut.
Apabila melihat Pasal 45, Pasal 46,dan Pasal 47 sebagai satu kesatuan
konstruksi, maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan menggunakan
batasan umur 18 tahun untuk menetapkan usia transisi seseorang beralih dari status
“anak” menjadi “dewasa” atau “dapat berdiri sendiri” atau menurut Ade Maman
Suherman dan J Satrio orang tersebut sudah dianggap cakap hukum.27 Namun dengan
ditetapkannya usia 16 tahun sebagai usia yang dapat melakukan perkawinan tanpa harus
mengajukan dispensasi, maka terjadilah pertentangan antara kewajiban orangtua untuk
merawat anak tersebut dengan haknya untuk mengawinkan anak yangberada di bawah
kekuasaannya tersebut.
Mengawinkan anak yang masih di bawah pengawasannya sudah seharusnya
tidak dapat dianggap sebagai bentuk tanggungjawab orangtua untuk membesarkan anak
tersebut dengan baik. Tindakan mengawinkan anak perempuan berusia dibawah 18
tahun, lebih tepat dimaknai sebagai penelantaran kewajiban sebagai orang tua karena
merupkan bentuk pengalihan tanggung jawab tersebut kepada suami.

27Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur (Kecakapan dan Kewenangan
bertindak Berdasarkan Batasan Umur, Jakarta : National Legal Reform Program, 2010. hlm 127.
Sungguh pun suami dari anak perempuan tersebut juga bertanggung jawab
terhadap istrinya, namun konsep tanggungjawab dalam kondisi ini bukan lagi sebagai
kewajiban membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan mendasarnya sebagai anak.
Perkembangan Batas Usia Anak dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan. Ade
Maman Suherman dan J. Satrio menguraikan penetapan batas usia pada peraturan
perundang- undangan merupakan cara pembuat peraturan dalam melindungi mereka
yang belum dapat merumuskan kehendaknya degan benar dan belum dapat menyadari
sepenuhya akibat hukum dari perbuatannya. Tujuan ini dicapai dengan memberikan
suatu perbedaan yang jelasa antara mereka yang telah mencapai usai dewasa dan belum
dewasa.28
Penentuan batas usia “belum dewasa” dalam undang-undang juga bukanlah
perkara yang mudah. BW menentukan secara quantitatif orang yang telah berusia 21
tahun dianggap sudah dewasa (Pasal 330). Permasalahannya bisa saja seseorang sudah
berusia 21 tahun namun tetap belum dapat merumuskan kehendaknya dengan benar
atau setidaknya belum dapat mengukur akibat hukum dari tindakannya. Namun, demi
alasan kepastian hukum sejak tahun 1905 Indonesia menggunakan patokan umur
21 tahun untuk mengukur kedewasaan seseorang, dan dalam tahun 1917 – berdarkan S.
1917:378 –berlaku bagi golongan Tioghoa.29
Jauh sebelum peraturan perundang-undangan Indonesia menentukan batas usia
untuk dianggap dewasa atau cakap, masing-masing daerah di Indonesia memiliki
hukum adat sendiri dalam menentukan kedewasaan seseorang. Seperti di Jawa Barat,
seseorang akan dianggap dewasa apabila orang tersebut sudah “kuat gawe” atau sudah
bekerja dan dapat mengurus sendiri keperluannya. Di Nusa Tenggara Timur, seorang
perempuan dianggap dewasa apabila sudah dapat membuat kain tenunt, memasak
jagung dan mangatur urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya dikatakan dewasa
apabila sudah dapat membuat pondok bekerja di sawah dan menghasilkan sekian ribu
batang pohon atau padi.30
UU Perkawinan juga merupakan salah satu peraturan yang fundamental dalam
menentukan batas usia di Indonesia. Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang Perkawinan
tegas menyatakan bahwa orang yang belum berusia 18 tahun masih berada di bawah
kekuasaan orang tuanya atau wali. Walaupun tidak secara tegas menyatakan bahwa
seseorang di atas usia 18 tahun merupakan orang yang telah dewasa, namun dengan

28 Ibid, hlm 9.

29 Ibid, hlm 10.

30 PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 29 Maret 2019 Pukul 16.53 WIB.
tidak lagi di bawah kekuasaan orang tua, seseorang sudah dianggap cakap hukum.31
Semenjak saat itu pengaturan batasan umur dalam kerangka peraturan perundang-
undangan menggunakan batasan 18 tahun atau 21 tahun.
Dalam praktek, pengadilan juga tidak konsisten dalam menggunakan batasan
umur untuk menetapkan kedewasaan seseorang. Namun dari banyak
ketidakkonsistenan ini, pengadilan hanya mendasarkan batasan umur pada dua pilihan,
yakni 18 tahun atau 21 tahun. Lebih lanjut Ade Maman Suherman dan J Satrio
menyebut beberapa putusan Pengadilan Negeri yang menggunakan umur 21 tahun
sebagai batasan umur, antara lain: PN Jakarta Pusat No. 1138/PDt.P1987 PN.JKT.PST
tanggal 22-12-1987; MA No. 59K/AG/2007 tanggal 6 juni 2007; MA No.
95K/AG/2009, tanggal 17-04-2009; MA No. 294K.AG/2009, tanggal 16-6-2009.
Bahkan Pengadilan Agama Wonosari pun menggunakan umur 21 tahun yakni pada
putusanya bernomor 0432/Pdt.G/2008/PA.Wno, tanggal 5-8-2008. Sedangkan pada
buku yang sama tercatat beberapa putusan pengadilan yang menggunakan batasan umur
18 tahun, yakni: Pengadilan Negari Jakarta Utara No. 1530/Pdt/1987/PN. Jakut, tanggal
5-11-1987; dan MA No. 477/K/Sip1976, tanggal 13 Oktober 1976.
Penggunaan batasan umur 18 dan 21 tahun juga telah menjadi bagian penting
dalam perkembangan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
mengklasifikasikan individu berdasarkan umur. Sejalan dengan itu, tren penggunaan
umur 18 dan 21 tahun telah menjadi acuan hampir disetiap peraturan perundang-
undangan yang ada saat ini. Tren umur ini dipaparkan dalam tabel berikut:
No Nama Peraturan Batasan Pasal
. Umur
1 Undang-UndangNo.23Tahun2002 tentangPerlindungan 18 Pasal 1
Anak angka 26
2 Undang-UndangNo. 13Tahun2003 tentang Tenaga18 Pasal 1
Kerja angka26
3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang 18 Pasal 1
Pemasyarakatan angka 8
4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem 18 Pasal 1
PeradilanAnak angka 3
5 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 18 Pasal 1
Manusia angka 5

31 Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur... Op.Cit, hlm. 127
6 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang18 Pasal 6
Pengadilan
7 Undang-UndangNo. 40 Tahun200423 Pasal 41 ayat
tentangSistemjaminan (6)
8 Undang-UndangNo. 44Tahun2008 tentang Pornografi 18 Pasal 1 ayat
(4)
9 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang 18 Pasal 4
Kewarganegaraan
10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang 18 Pasal 1
Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang angka 5

11 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-IZ.01.1018 Pasal 1 ke


Tahun (3)
12 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1949 tentang 21 Pasal 5
Pemberian Pensiun Kepada Janda (Anak-Anaknya)
Pegawain Negeri yang Meninggal Dunia

13 Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 18 Pasal 1


Kewarganegaraan Republik Indonesia
14 Surat Keputusan Dijen Agraria Direktorat Pendaftaran 17,19
Tanah (Kadester) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 1318,20
July
1977
15 Keputusan Presiden RIS No. 33 Tahun 1950 tentang 18 Pasal1

Persetudjuan Perihal Pembagian Warganegara


(Lampiran
16 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak 18 Penjelasan
Penghasilan Pasal 8 ayat
(2)
17 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan 18 Pasal 8 ayat
Keempat Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1983 (4)
tentang
18 PajakPenghasilan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 21 Pasal 33
19 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan 18 Pasal 39
Notaris
20 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi18,21da Pasal 10
No.Per 18/Men/IX/2007 tentang Pelaksanaann
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia21,22

21 di Luar Negeri
Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 18 Pasal 1 dan 2
Kewarganegaraan Republik Indonesia
22 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tetang Lalu Lintas17,23 Pasal 81(2)
dan Angkutan Jalan 20,24
21,25

23 Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang17,26 Pasal 63(1)


Administrasi
Dari tujuan tersebut, maka dapat disimpulkan setiap pembatasan umur yang ada
diperaturan perundangan-undangan haruslah dilatarbelakangi pertimbangan akan
kesiapan orang yang diatur untuk memahami konsekuensi dari pilihannya. Seperti
contoh, pengaturan batas usia minimal untuk memiliki haruslanh didasari pertimbangan
apakah pada kelompok umur 17, 20, dan 21 tahun seseorang telah memiliki pemahaman
akan lalu lintas. Begitu juga dengan batas usia perkawinan, seharusnya ada batas umur
yang lebih tinggi di atas 16 tahun karena kelompok orang pada umur ini masih
dikategorikan sebagai anak dan tidak mengetahui konsekuensi dari suatu Pernikahan.

B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma


Peraturan daerah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam
pembentukannya tidak luput dari asas formal dan material.32Apalagi substansinya
merupakan norma sentral dalam mewujudkan secara lebih konkret isi otonomi di suatu
daerah. Untuk mendapatkan kualitas peraturan daerah yang seperti itu, maka dalam
pembentukannya harus didasarkan pada beberapa asas. Paul scoholten mengatakan
sebuah asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum, namun hukum tidak dapat
dimengerti tanpa asas-asas hukum.
Umumnya asas dipahami sebagai pikiran dasar yang menjiwai setiap peraturan
hukum konkrit. Asas tersebut tidak secara eksplisit tercantum dalam peraturan
perundang-undangan, akan tetapi maknanya terkandung di dalamnya. Sehingga asas
memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai metanorma dan seharusnya menjadi
panduan dalam setiap penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk dalam
pembentukan peraturan daerah sebagai produk legislasi daerah.Menurut Van der Vlies
sebagaimana dikutip oleh Hamid Attamimi dan Maria Farida, secara umum
membedakan dua kategori asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut
(algemene beginselen van behoorlijk regelgeving), yaitu asas formal dan asas material.33
Asas-asas formal tersebut meliputi:

32 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta:
Kanisius, 2002, hlm. 67

33. I.C. Van der Vlies, Handboek Wetgeving (Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-
Undangan), Jakarta : Dirjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM RI, 2007. hlm 258.
a. Asas tujuan jelas; Asas ini terdiri dari tiga tingkat: kerangka kebijakan umum
bagi peraturan yang akan dibuat, tujuan tertentu bagi peraturan yang akan dibuat
dan tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan.
b. Asas lembaga yang tepat; Asas ini menghendaki agar suatu organ memberi
penjelasan bahwa suatu peraturan tertentu memang berada dalam kewenangannya,
dan agar suatu organ, khususnya pembuat undang-undang, memberi alasan
mengapa ia tidak melaksanakan sendiri pengaturan atas suatu materi tertentu tetapi
menugaskannya kepada orang lain.
c. Asas urgensi/perlunya pengaturan; Jika tujuan sudah dirumuskan dengan jelas,
masalah berikutnya adalah apakah tujuan itu memang harus dicapai dengan
membuat suatu peraturan.
d. Asas dapat dilaksanakan; Asas ini menyangkut jaminan-jaminan bagi dapat
dilaksanakannya apa yang dimuat dalam suatu peraturan.
e. Asas konsensus; Asas ini berisi bahwa perlu diusahakan adanya konsensus
antara pihak-pihak yang bersangkutan dan pemerintah mengenai pembuatan suatu
peraturan serta isinya.
Sedangkan Asas-asas material meliputi:
a. Asas kejelasan terminologi dan sistematika; Menurut asas ini, suatu peraturan
harus jelas, baik kata-kata yang digunakan maupun strukturnya.
b. Asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali; Menurut asas ini,
suatu peraturan harus dapat diketahui oleh setiap orang yang perlu mengetahui
adanya peraturan itu.
c. Asas kesamaan hukum; Asas ini menjadi dasar dari semua peraturan perundang-
undangan, peraturan tidak boleh ditujukan kapada suatu kelompok tertentu yang
dipilih secara semaunya.
d. Asas kepastian hukum; Asas ini menghendaki agar harapan (ekspektasi) yang
wajar hendaknya dihormati; khususnya ini berarti bahwa peraturan harus memuat
rumusan norma yang tepat, bahwa peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan
peralihan yang memadai, dan bahwa peraturan tidak boleh diperlakukan surut tanpa
alasan yang mendesak.
e. Asas penerapan-hukum yang khusus; Asas ini menyangkut aspek-aspek
kemungkinan untuk menegakkan keadilan didalam kasus tertentu yang dapat
diwujudkan dengan memberikan keputusan kepada pemerintah didalam undang-
undang, memberikan kemungkinan penyimpangan bagi keadaaan-keadaaan khusus
di dalam undang-undang, memungkinkan perlindungan hukum terhadap semua
tindakan pemerintah.
Meskipun bukan merupakan norma hukum, asas-asas ini bersifat normatif
karena pertimbangan etik yang masuk ke dalam ranah hukum. Asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan ini penting untuk diterapkan karena dalam era otonomi
luas dapat terjadi pembentuk Perda membuat suatu peraturan atas dasar intuisi sesaat
bukan karena kebutuhan masyarakat.Pada prinsipnya asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sangat relevan dengan asas umum administrasi publik yang baik
(general principles of good administration).34
Berdasarkan Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 ditentukan bahwa
Perda (Peraturan Daerah) dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan; artinya, tujuan dari perda yang akan dibentuk tidak
menyimpang dari tujuan yang telah digariskan dalam dasar filosofis, yuridis dan
sosiologis dalam pembentukan Perda. Pembentukan Perda Pencegahan Perkawinan
Anak Kabupaten Lampung Timur yang akan dibentuk tidak menyimpang dari
tujuan yang telah digariskan dalam dasar filosofis, yuridis dan sosiologis dalam
pembentukan Perda yang menjadi dasar legitimasi perda di Kabupaten Lampung
Timur
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; artinya, perda ini dapat
dibentuk atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (hak inisiatif lembaga
legislatif) atau oleh Kepala Daerah (hak inisiatif lembaga eksekutif). Perda dibahas
bersama antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, dan atas persetujuan
bersama antara keduanya, kepala daerah menetapkan perda.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Artinya, materi muatan yang
terkandung dalam perda yang akan dibentuk berkesesuaian dengan jenis perdanya.
Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten
Lampung Timur materi muatannya akan mengatur mengenai pencegahan terjadinya
pernikahan anak.
d. Dapat dilaksanakan; artinya, perda yang akan dibentuk akan menjadi pedoman
atau acuan dalam hal ini sebagai pedoman serta acuan dalam Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur, serta ketentuan pasal/norma
dalam perda dapat diimplementasikan/operasional.

34. Ateng Syafrudin,“Asas-asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian Kepala Daerah”,
dalam Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B), penyusun: Paulus
Effendie Lotulung, Citra AdityaBakti, Bandung, 1994, hlm 38-39.
e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan; artinya perda yang akan dibentuk dapat
diterima baik secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Pembentukan Perda tentang
Pencegahan Perkawinan Anak dilandasi dengan aspek filosofis, sosiologis dan
yuridis, sehingga diharapkan keberlakuannyapun dapat tercermin secara filosofis,
sosiologis dan yuridis.
f. Kejelasan rumusan; artinya bahwa rumusan pasal dapat dipahami dan
dilaksanakan serta tidak menimbulkan tafsir ganda (ambigu). Pembentukan Perda
tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur akan
dirumuskan dengan bahasa hukum yang tepat sehingga tidak multitafsir.
g. Keterbukaan; artinya, peran serta masyarakat dapat diakomodasi baik dalam
proses penyusunan, pelaksanaan maupun pengawasan. Pembentukan Perda tentang
Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur akan melibatkan
peran serta masyarakat baik dalam proses penyusunan, pelaksanaan maupun
pengawasannya.
Dari asas-asas yang harus diperhatikan dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah dipaparkan diatas, adapun pula asas yang
mendasari substansi di dalam penyusunan Raperda tentang Pencegahan Perkawinan
Anak Lampung Timur yaitu :
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan
terhadap pendapat anak;
d. Partisipasi.
Asas-asas tersebut berangkat dari pemikiran untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat, sehingga perlu dilakukan upaya ke arah tersebut melalui kegiatan
pembangunan di segala bidang. Makna dan esensi yang dilaksanakan adalah proses
untuk merubah kondisi kehidupan masyarakat ke arah kondisi yang lebih baik sesuai
dengan harapan masyarakat.
Asas-asas tersebut di atas merupakan landasan dalam penyusunan Raperda yang
akan disusun. Asas-asas tersebut akan diakomodir dalam perumusan norma atau pasal
yang menjadi materi muatan Perda yang akan disusun. Salah satu aspek pokok dalam
penyusunan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) adalah menentukan materi muatan.
Disamping asas-asas yang disebutkan diatas, menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 Pasal 237 juga menentukan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Asas-asas formal dan material yang ada tersebut juga merupakan asas
pembentukan peraturan-perundang-undangan yang juga telah diakomodir dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Undang-Undang No 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dan undang-undang penunjang ini akan
menjadi pijakan dasar dalam pembuatan Peraturan Daerah tentang Pencegahan
Perkawinan Anak Di Kabupaten Lampung Timur.

C. Kajian terhadap permasalahan perkawinan anak di Lampung Timur


Kabupaten Lampung Timur adalah salah satu kabupaten di Provinsi Lampung,
Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sukadana. Berdasarkan data Statistik pada
tahun 2015 Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.325,03 km² dan berpenduduk sebesar
1.008.797. Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999, diresmikan pada tanggal 27 April 1999 dengan
pusat Pemerintahan di Kecamatan Sukadana.
Saat dibentuk Lampung Timur meliputi 10 Kecamatan definitif, 13 Kecamatan
Pembantu dan 232 Desa. selanjutnya dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 1999, 2 (dua) kecamatan pembantu yaitu Kecamatan Margatiga dan
Sekampung Udik statusnya di tingkatkan menjadi Kecamatan Definitif, dengan
demikian Wilayah Kabupaten Lampung Timur bertambah 2 (dua) kecamatan menjadi
12 kecamatan definitif dan 11 kecamatan pembantu dan 232 desa.
Dengan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13 Tahun 2003 Tanggal 10
Desember 2003 tentang perubahan status dan desa menjadi Kelurahan, maka 5 desa
dalam Kecamatan Sukadana berubah menjadi kelurahan yaitu Pasar Sukadana,
Sukadana Ilir, Negara Nabung, Sukadana dan Mataram Marga. Sedangkan sekarang
jumlah desa / kelurahan yang ada di Kabupaten Lampung Timur sebanyak 241,yang
terdiri dari 227 desa definitif, 5 Kelurahan, 9 desa persiapan.
Adapun permasalahan yang sedang dihadapi pemerintah pusat maupun daerah
khusunya lampung timur yaitu maraknya perkawinan anak yang terjadi di indonesia.
Bahkan presentase perkawinan anak yang terjadi di indonesia menunjukan ditingkat
sangat mengkhawatirkan sebagaimana yang ditunjukan dari beberapa data seperti Hasil
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2012) yang menunjukkan
kecenderungan peningkatan jumlah perkawinan anak, dibanding lima tahun yang lalu.
Perempuan usia 15 – 19 tahun yang menikah diperkotaan meningkat menjadi 32%
padahal lima tahun sebelumnya (SDKI 2007) hanya 26% dari total populasi kelompok
usia tersebut. Di Pedesaan perkawinan usia 15-19 tahun masih mencapai 61% dari total
populasi di usia tersebut (SDKI 2007), pada tahun 2012 perkawinan di usia anak ini
turun walaupun tidak signifikan menjadi 58% . data lain yang menujukan maaraknya
perkawinan anak yaitu Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2010 Perkawinan usia
anak mencapai angka sebesar 46,7% dari jumlah perkawinan di Indonesia, selain itu
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dari seluruh jumlah
perkawinan di Indonesia 4,8% diantaranya dilakukan oleh anak berusia 10-14 tahun.
Sedangkan angka perkawinan anak yang berusia 15-19 tahun mencapai 41,9% dari total
perkawinan.35 Tingginya jumlah perkawinan usia anak juga dapat dilihat dari tidak
adanya penurunan signifikan laju kelahiran oleh anak usia 15-19 tahun sejak tahun 2005
sampai dengan 2011, yakni berkisar antara 46,69% (2005), 35,91% (2006), 45,12%
(2007), 44,56% (2008), 44,01% (2009), 43,45% (2010), dan 42,90% (2011).36
Kabupaten lampung timur sebagai salah satu kabupaten di Indonesia termasuk
yang mengalami permasalahan perkawinan di usia anak walaupun hasil dari presentase
diatas tidak menunjukan secara spesifik daerah yang marak terjadi perkawinan usia
anak tetapi secara kumulatif. pemerintah daerah kabupaten lampung timur mempunyai
kewajiban untuk turut serta mencegah perkawinan yang terjadi di usia anak. Melihat
Tidak adanya Regulasi yang mengatur tentang pencegahan perkawinan usia anak di
Provinsi lampung berakibat maraknya perkawinan anak yang akan berdampak bagi
kelangsungan kemajuan daerah itu sendiri bahkan negara karena ketika anak sudah
terikat perkawinan artinya mereka berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada
keluarga yang dibentuknya untuk memenuhi itu maka anak harus bekerja sehingga
dikhawatirkan tingkat pendidikan anak akan terhenti (putus sekolah) yang seharusnya
anak mempunyai hak untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Anak adalah agent of change yaitu sebagai penerus generasi bangsa sekaligus
agen perubahan ke arah yang lebih maju, pernikahan di usia anak ini jika tidak ada
pembatas untuk membatasinya maka akan menghambat tujuan itu . maka dalam hal ini
pembatas tersebut adalah sebuah regulasi untuk menekan laju pernikahan anak yaitu
dengan Peraturan daerah yang akan dibentuk pemerintah lampung timur tentang
Pencegahan perkawinan anak..

35Detik.com,”4,8% dari Jumlah Pernikahan di Indonesia, Dilakukan Anak 10-14 Tahun”...., Op.Cit.

36Hasil survey demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012...., Op.Cit.


D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadapaspek kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah di dalam materi muatannya dianut asas desentralisasi. Artinya
dengan adanya asas desentraliasi pemerintah daerah mendapatkan kewenangan-
kewenangan dari pemerintah pusat untuk menjalankan tugas dan urusan-urusan tertentu
yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuan daerah.37
Terkait dengan urusan tersebut pemerintah kabupaten lampung timur mempunyai
kewenangan untuk membuat peraturan daerah sebagai salah satu instrumen dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
38
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam hal ini yaitu
pembentukan Peraturan Daerah tentang pencegahan perkawinan anak.
Dengan adanya regulasi mengenai pencegahan perkawinan anak melalui
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur, tentunya akan membawa implikasi baik
terhadap aspek kehidupan masyarakat maupun pemerintahan di kabupaten lampung
timur. Adapun implikasi melalui pembentukan perda ini merupakan manifestasi
terhadap perlindungan anak sebagai generasi penerus bangsa.Hal ini merupakan
manifestasi dari perlindungan hak- hak anak yang telah diatur di dalam Peraturan
Perundang-Undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Harapan kedepan
dengan adanya peraturan daerah ini dapat meningkatkan presentase tingkat pendidikan
yang ditempuh anak di kabupaten lampung timur ke jenjang pendidikan Perguruan
Tinggi yang dapat menjadi aset daerah untuk membangun dan memajukan lagi
kabupaten lampung timur, berkurangnya tingkat perkawinan yang terjadi pada anak
serta anak tidak lagi menjadi objek eksploitasi dari adanya ikatan perkawinan.
sebagaimana tujuan dibuatnya naskah akademik ini, yang menjadi awal dalam
pembentukan Peraturan daerah mengenai Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten
Lampung Timur.

37 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
1991, hlm. 14.

38 Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia. Bandar Lampung :


Indepth Publishing. 2012, hlm 45
Selanjutnya dalam rangka optimalisasi fungsi pembentukan peraturan daerah
tentang pencegahan perkawinan anak di kabupaten lampung timur secara terencana,
terpadu dan terkoordinasi tentunya tahapan-tahapan tersebut harus dilakukan sesuai
dengan yang ditetapkan. Kondisi ini akan berimplikasi pada beban keuangan daerah,
misalnya: keharusan adanya naskah akademik untuk setiap Raperda; semakin luasnya
cakupan sosialisasai (penyebarluasan informasi) yang sejak Program Pembentukan
Perda hingga menjadi Peraturan Daerah; pelibatan tenaga ahli/peneliti dan perancang
peraturan perundang-undangan serta kegiatan lainnya. Ini semua membutuhkan
anggaran yang tidak sedikit. Namun beban keuangan daerah ini sangat tidak berarti
dengan manfaat yang akan diperoleh jika Raperda tentang Pencegahan Perkawinan
Anak ini, menjadi Peraturan Daerah yang dapat melindungi hak-hak anak sebagai
penerus generasi bangsa sekaligus juga aset daerah untuk membangun dan memajukan
daerah kabupaten lampung timur di masa depan sebab tujuan pengeluaran daerah itu
sendiri yaitu adalah pengeluaran pemerintah yang ditujukan untuk pencapaian
kesejahteraan masyarakat.39

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT

Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk


mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi
dari peraturan daerah yang baru. Paparan ini akan menggambarkan sinkronisasi,
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta kewenangan pemerintah
daerah dalam perancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur tentang
Pencegahan Perkawinan Anak.

Tabel 1. Pemetaan Peraturan Perundangan Terkait Pencegahan


Perkawinan Anak

NO ATURAN KETERKAITAN DENGAN SUBSTANSI


PASAL
1 Undang-Undang Dasar UUD 1945 mengatur bahwa Pasal 18 ayat (6)

39 Yuswanto dkk, Hukum Keuangan Negara, Bandar Lampung : Justice Publisher, 2015, hlm 10.
1945 “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.” Dalam hal ini adanya keterbatasan
jangkauan aparatur pemerintah pusat
ditanggulangi melalui pemberian kewenangan
kepada aparatur daerah, yang berarti negara
memberikan kebebasan kepada daerah untuk
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
daerahnya untuk membuat Peraturan terkait
sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.

Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945


“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Berdasarkan pasal tersebut menerangkan bahwa
negara menjamin perlindungan hak anak untuk
memperoleh perlakuan yang sama untuk
melangsungkan kehidupannya, tumbuh dan
berkembang sebagaimana anak seusianya tanpa
adanya diskriminasi.
2 Undang-Undang Pasal 1 ayat (2) :
Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
(Lembaran Negara
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut
244, Tambahan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
Lembaran Negara
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
Republik Indonesia
Nomor 5587) Tentang sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Pemerintahan Daerah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
sebagaimana telah
Undang-Undang Dasar Negara Republik
diubah beberapa kali
terakhir dengan Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 11 terkait Urusan Pemerintahan Konkuren
(Lembaran Negara
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
Republik Indonesia di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang
Tahun 2015 Nomor 58, menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Tambahan Lembaran
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Negara Republik
Indonesia Nomor Pemerintahan Pilihan.
5679) (2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan
yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian
substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Pasal 12 Ayat (2) berkaitan dengan Urusan


Pemerintah Dasar
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. Tenaga kerja;
b. Pemberdayaan perempuan dan pelindungan
anak;
c. Pangan;
d. Pertanahan;
e. Lingkungan hidup;
f. Administrasi kependudukan dan pencatatan
sipil;
g. Pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. Pengendalian penduduk dan keluarga
berencana;
i. Perhubungan;
j. Komunikasi dan informatika;
k. Koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. Penanaman modal;
m. Kepemudaan dan olah raga;
n. Statistik;
o. Persandian;
p. Kebudayaan;
q. Perpustakaan; dan
r. Kearsipan.

Pembagian Urusan Pemerintah Konkuren antara


Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota dalam Lampiran
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak:
a. Pelembagaan Pemenuhan Hak Anak pada
lembaga pemerintah, non pemerintah, dan
dunia usaha tingkat Daerah provinsi.
b. Penguatan dan pengembangan lembaga
penyedia layanan peningkatan kualitas hidup
anak tingkat Daerah provinsi dan lintas
Daerah kabupaten/kota.
3 Undang-Undang Pasal 1 Ayat (11)
Nomor 12 Tahun 2011 Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian
tentang Pembentukan atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
Peraturan Perundang- lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
undangan (Lembaran dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
Negara Republik mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
Indonesia Tahun 2011 suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan
nomor 82 Tambahan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Lembaran Negara Peraturan Daerah
Republik Indonesia Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
Nomor 5234) permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah


tentang Pencegahan Perkawinan Anak Daerah
Lampung Timur harus didasarkan kepada asas
hukum yang memberikan pedoman dan
bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke
dalam bentuk dan susunan yang sesuai bagi
penggunaan metode pembentukan yang tepat,
dan bagi proses dan prosedur pembentukan yang
telah ditentukan. Dikaitkan dengan UU No. 12
Tahun 2011 pada penjelasan Pasal (5) asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang digunakan dalam pembentukan Rencana
Peraturan Daerah Pencegahan Perkawinan Anak
di Kabupaten Lampung Timur ini meliputi :

1. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan


tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
2. Yang dimaksud dengan “asas
kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
yang tidak berwenang.
3. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan”
adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
harusbenar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan.
4. Yang dimaksud dengan “asas dapat
dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
5. Yang dimaksud dengan “asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
6. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan
rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan
kata atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan”


adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

4 Kitab Undang- Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum


Undang Hukum Perdata:
Perdata Belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan
tidak lebih dahulu telah kawin
5 Undang-Undang Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Nomor 1 Tahun 1974 1974 aturan yang berkaitan dengan perkawinan
tentang Perkawinan anak dibawah umur bahwa :
(Lembaran Negara SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Republik Indonesia Pasal 7 :
Tahun 1974 Nomor 1, (1) Perkawinan hanya diizinkan bila
Tambahan Lembaran piha pria mencapai umur 19 (sembilan
Negara Republik belas) tahun dan pihak wanita sudah
Indonesia Nomor mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
3019);
(2) Dalam hal penyimpangan dalam
ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria
atau pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai


keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-
undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa adanya


batas usia perkawinan dimana telah dianggap
dewasa dan mampu secara emosional untuk
mewujudkan tujuan utama membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang
termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan.

Lalu pencehagan perkawinan dapat dilakukan


karena tidak sesuai dengan syarat-syarat
perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974.
Pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 13
dan 14 UU Nomor 1 Tahun 1974

PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13:
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Hal ini mengisyaratkan bahwa undang-undang


telah mengatur tentang syarat-syarat perkawinan
yang salah satunya yaitu batas usia perkawinan.
Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut
dapat dilakukan pencegahan perkawinan.

Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan
adalah para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali
nikah, wali pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.

(2) Mereka yang tersebut dalam ayat


(1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah
seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai yang lain, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti yang
tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Aturan didalam pasal tersebut diperkuat dengan


adanya peran dari instansi terkait untuk
melakukan pencegahan perkawinan terhadap
pasangan yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20:
Pegawai pencatat perkawinan tidak
diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7
ayat (1), 8, Pasal 19, Pasal 110 dan Pasal 112
Undang-Undang ini meskipun ada pencegahan
perkawinan.

6 Undang-Undang Pasal 1 angka 2:


Nomor 4 Tahun 1979 Anak adalah seseorang yang belum mencapai
Tentang umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Pasal 2:
Republik Indonesia (1) Anak berhak atas kesejahteraan,
Tahun 1979 Nomor 32 perawatan, asuhan dan bimbingan
Tambahan Lembaran berdasarkan kasih sayang baik dalam
Negara Republik keluarganya maupun di dalam asuhan khusus
Indonesia Nomor untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
3143) (2) Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warga
negara yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan
atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.

7 Undang-Undang Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang ini


Nomor 35 Tahun 2014 mendefinisikan:
Tentang Perubahan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
Atas Undang-Undang (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
Nomor 23 Tahun 2002 dalam kandungan.
tentang Perlindungan Dengan ditentukannya batas usia anak sampai
Anak (Lembaran dengan usia 18 tahun, hal ini mengartikan bahwa
Negara Republik anak yang masih berusia dibawah 18 tahun harus
Indonesia Tahun 2002 dilindungi haknya untuk tumbuh dan
Nomor 109, berkembang sebagaimana anak pada umumnya.
Tambahan Lembaran
Negara Republik Dalam Undang-Undang ini mengatur dan
Indonesia Nomor menjelaskan mengenai tujuan diadakannya
4235) sebagaimana Pengaturan tentang Perlindungan Anak.
telah diubah dengan Pasal 26
Undang-Undang (1)Orang tua berkewajiban dan bertanggung
Nomor 35 Tahun 2014 jawab untuk:
tentang Perubahan a. mengasuh, memelihara, mendidik,
Atas Undang-Undang dan melindungi Anak;
Nomor 23 Tahun 2002 b. menumbuhkembangkan Anak
tentang Perlindungan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
Anak (Lembaran minatnya;
Negara Republik c. mencegah terjadinya perkawinan
Indonesia Tahun 2014 pada usia Anak; dan
Nomor 297, d. memberikan pendidikan karakter
Tambahan Lembaran dan penanaman nilai budi pekerti pada
Negara Republik Anak.
Indonesia Nomor
5606); (2) Dalam hal Orang Tua tidak ada,
atau tidak diketahui keberadaannya, atau
karena suatu sebab tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

Sedangkan dalam UU No 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan mendukung seorang anak atau usia
dibawah 21 tahun menikah apabila didasarkan
persetujuan orangtua.

Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
8 Undang-Undang
Pasal 71 Tentang Kesehatan Reproduksi:
Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Perubahan
(1) Kesehatan reproduksi merupakan
Atas Undang-Undang
keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
Nomor 23 Tahun 1992
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
Tentang Kesehatan
penyakit atau kecacatan yang berkaitan
(Lembaran Negara
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi
Republik Indonesia
pada laki-laki dan perempuan.
Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan (2) Kesehatan reproduksi sebagaimana
Lembaran Negara dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Republik Indonesia
a. saat sebelum hamil, hamil,
Nomor 5063)
melahirkan, dan sesudah melahirkan;

b. pengaturan kehamilan, alat


konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan

c. kesehatan sistem reproduksi.

(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.

Pasal 131 ayat (2) UU Kesehatan: Upaya


pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak
anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
dilahirkan, dan sampai berusia 18 tahun.
Pasal 131 ayat (2) UU Kesehatan: Upaya
pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak
anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
dilahirkan, dan sampai berusia 18 tahun.
Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak
terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang
dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat berkewajiban untuk
menjamin terselenggaranya perlindungan
bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan menyediakan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Berdasarkan Undang-Undang ini ditentukan


batasan kesehatan reproduksi, salah satu tolak
ukurnya adalah adanya kesiapan fisik dan
mental. Hal ini berkesinambungan juga terhadap
pecegahan perkawinan anak, karena memiliki
risiko tinggi menghadapi berbagai permasalahan
kesehatan. Salah satunya yaitu beresiko
meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Hal
ini disebabkan oleh belum siapnya organ
reproduksi dan mental dari pasangan yang
tergolong sebagai anak. Untuk mengurangi
bahaya kesehatan tersebut maka perlu dilakukan
tindakan preventif/pencegahan oleh pemerintah
dan masyarakat dengan melakukan pencegahan
perkawinan anak.
9 Peraturan Daerah Pasal 4:
Kabupaten Lampung Kabupaten layak anak yang diselenggarakan
Timur Nomor 5 Tahun oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur
2016 Tentang berdasarkan prinsi-prinsip yang meliputi:
Kabupaten Layak a. tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu
Anak transparansi, akuntabilitas, pastisipasi,
keterbukaan informasi dan supremasi hukum;
b. non-diskriminasi, yaitu tidak
membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin,
bahasa, paham politik, asal kebangsaan,
status ekonomi, kondisi fisik, mental maupun
psikis anak;
c. budaya dan kearifan lokal
d. kepentingan terbaik bagi anak yaitu
menjadikan hal yang paling baik bagi anak
sebagai pertimbangan utama dalam setiap
kebijakan, program dan kegiatan, dan
e. penghargaan terhadap pandangana anak
yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap
anak yang memiliki kemampuan untuk
menyampaikan pendapatnya diberikan
kesempatan untuk mengekspresikan
pandangannya secara bebas terhadap segala
sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.

Pada Bab V Ruang Lingkup Penyelenggaraan


Kabupaten Layak Anak Pasal 7 Ayat (2):
Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam pada
ayat (1) berupa infrastruktur seperti jalan raya,
jembatan trotoar, sarana transportasi, taman
Kabupaten, lingkungan hidup yang hijau dan
ketersediaan perangkat hukum yang
mendukungnya.

Didalam peraturan ini telah memuat prinsip-


prinsip yang menjadi tolak ukur dalam
mewujudkan daerah layak anak/peduli terhadap
anak dan dijelaskan dalam Pasal 7 bahwasannya
Ruang Lingkup Penyelenggaraan Kabupaten
Layak Anak juga termasuk pembentukan aturan
yang melindungi anak dari segala risiko.
10 Peraturan Daerah Bahwa sebelumnya Pemerintah Kabupaten
Kabupaten Lampung Lampung Timur Telah membentuk suatu
Timur peraturan Daerah tentang perlindungan
Nomor 15 Tahun 2013 perempuan dan anak yang berdasarkan Pasal 3
Tentang memiliki Tujuan:
Perlindungan a. menjamin terlaksananya kebijakan,
Perempuan Dan Anak program, dan kegiatan perlindungan
Di Kabupaten perempuan dan anak oleh Pemerintah daerah
Lampung Timur secara sistematis, komprehensif,
berkesinambungan dan terpadu;
b. meningkatkan komitmen Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan kebijakan,
program, dan kegiatan perlindungan
perempuan dan anak;
c. mewujudkan perencanaan dan
pembangunan daerah yang responsif gender
dan peduli anak;
d. mendorong kelembagaan yang
menangani tugas dan fungsi pemberdayaan
perempuan, perlindungan perempuan, dan
perlindungan anak baik di Pemerintahan
Daerah maupun lembaga masyarakat,
perguruan tinggi, dan masyarakat madani.
Dengan ini Pemerintah Kabupaten Lampung
Timur telah menunjukkan komitmen nya
terhadap perlindungan anak, serta menunjukkan
bahwa Kabupaten Lampung Timur peduli
terhadap tumbuh kembang anak. Untuk itu
diperlukan pembentukan peraturan baru untuk
memperkuat aturan tersebut dan sebagai jawaban
atas permasalahan yang timbul dalam
masyarakat akan fenomena perkawinan anak
dibawah umur.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
Pencegahan Perkawinan Pada Anak di atas, dapat dilihat bahwa terdapat sinkronisasi
yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Lampung Timur berwenang
dalam melakukan pengaturan mengenai Pencegahan Perkawinan Anak. Dengan
demikian, diperlukan sebuah Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan
Anak.BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Dalam pembentukan peraturan Menurut Jimly Asshiddiqie, pembentukan sebuah


aturan yang baik haruslah dilandaskan kepada aspek filosofis, sosiologis, yuridis, politis
dan administratif dan keberlakuannya juga haruslah tercermin secara filosofis,
sosiologis, yuridis dan politis40.
Setiap masyarakat selalu mempunyai rechtsidee yakni apa yang masyarakat
harapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya keadilan,
kemanfaatan dan ketertiban maupun kesejahteraan.41 Cita hukum atau rechtsidee
tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk, pandangan mereka
mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan dan lain sebagainya termasuk
pandangan tentang dunia gaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut
pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan
sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana
mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.

Menurut Rudolf Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang


merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Selanjutnya Gustav Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti Stammler
dari aliran Neo-Kantian menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolak ukur
yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan
maknanya.42

Terdapat 3 (tiga) teori yang digunakan sebagai acuan dalam


penyusunan Perda yang baik, yaitu:43

40Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. hlm 243

41 Saudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, 1983. hlm. 3

42 HS Tisnanta, Filsafat Hukum, Metro : Sai Wawai, 2016, hlm. 77

43Tjandra W. Riawan dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting :teori dan
tenikpembuatanperaturandaerah, Yogyakarta : UniversitasAtma Jaya, 2009. hlm.86
1. Teori materiil (materiele theory), yaitu penyusunan perda dilihat
dari segi muatan yang akan diatur;

2. Teori formil (formele theory), yaitu penyusunan perda dilihat dari


segi bentuk/formatnya;

3. Teori filsafat (philosofische theory), yaitu penyusunan perda


dilihat dari landasan filsafatnya (philosofische grondslag).

Perda yang baik menurut teori materiil adalah perda yang muatan isinya sedapat
mungkin digali dari hukum masyarakat (Common law). Materi perda berisi kesadaran
hukum masyarakat, terlebih di era otonomi daerah yang seluas-luasnya. Teori ini
mengandaikan bahwa kesadaran hukum masyarakat (legal awareness) ekuivalen dengan
keadilan sosial (social justice).

Teori formil hukum mengajukan 3 (tiga) syarat peraturan perundang-undangan


dapat dikatakan baik, yaitu:44 [1] tuntas mengatur permasalahannya; [2] sedikit mungkin
memuat ketentuan tentang delegasi peraturan perundang-undangan (delagatie van
wetgeving); [3] hindari memuat ketentuan yang bersifat elastis. Perda yang tidak tuntas
mengatur permasalahan sering kali menimbulkan “inflasi” peraturan. Pemberian
kewenangan delegasi dari legislatif (DPRD) kepada eksekutif (Kepala Daerah) harus
dibatasi oleh kewenangan normatif yang memang dimiliki oleh eksekutif. Teori formil
dalam pembentukan perda juga menginginkan agar dihindari pasal-pasal yang bersifat
“karet”, misalnya tentang pengecualian “demi kepentingan umum”, karena pengertian
stipulatif tentang “kepentingan umum” (publieke belang) masih belum baku di
Indonesia. Oleh karena itu, dalam teori formil, semua pengertian harus dirinci secara
limitatif agar tidak menimbulkan interpretasi yang bias, melebar, dan tarik-ulur
kewenangan.

Teori filsafat mengedepankan bahwa Perda yang dibentuk harus mencerminkan


filsafat hidup masyarakat, dengan demikian perda yang dibentuk harus memuat kearifan
lokal masyarakat yang akan diatur. Jangan sampai perda yang akan dibentuk justru
“menciderai” rasa keadilan di masyarakat karena sifatnya yang top-down, sedapat

44 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan


Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hlm. 79.
mungkin perda yang dibentuk telah melalui mekanisme peran serta masyarakat
sehingga bersifat bottom-up.45

Perda yang dibentuk harus mencerminkan kesadaran hukum masyarakat (legal


awareness), sehingga masyarakat yang diatur akan “sukarela” untuk patuh. Perda juga
harus berlaku secara yuridis. Hukum itu ibarat tombak bermata dua: mata tombak yang
satu bernama adil, sedang yang satu bernama benar. Jadi, hukum itu harus adil dan
benar. Istilah keadilan multiinterpretatif, misalnya, Aristoteles mengemukakah yang
dinamakan adil adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah
kesesuaian antara perbuatan dengan peraturan. Adil dan benar mewujudkan perdamaian,
karena hukum mengandung filosofi pengayoman dan perdamaian. Hal ini harus
tercermin dalam Perda/produk hukum daerah. 46

Penyusunan perda harus dibuat berdasarkan bahasa hukum yang benar, tidak
multitafsir dan multiinterpretatif. Secara yuridis, Perda yang akan dibentuk tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi serta memenuhi prosedural sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan, agar tidak tidak terjadi cacat prosedural. Sesuai dengan konsep landasan
pembentukan aturan diatas, dalam pembentukan peraturan daerah tentang Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur ini juga dilandaskan pada aspek
filosofis, sosiologis dan yuridis.

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Landasan filosofis menjadi hakekat bahwa undang-undang
selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu
masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
hendak diarahkan. Tata Hukum Indonesia memiliki struktur dan kepribadian sendiri
yang didasarkan pada falsafah bangsa Indonesia, ialah Pancasila.47

45 Ibid, hlm 82.

46 Ibid, hlm. 84
Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan dalam
wilayah, dilakukan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana dijelaskan Sidharta yang dikutip oleh Anthon F.
Susanto,48 Suatu produk peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas. Politik hukum yang dijadikan dasar pijakan juga harus mapan, sehingga dapat
dijadikan pegangan.Sudah menjadi tugas para pembentuk peraturan hukum untuk dapat
menjelaskan esensi hukum atau keadilan yang dilandasi oleh pengetahuan hukum.
Produk hukum daerah berupa Perda, analis kritis harus dimulai dari
pembentukan perda itu sendiri, oleh karena itu dalam konsiderans menimbang suatu
Perda selalu dicantumkan secara eksplisit tentang landasan filosofis pembentukannya.
Ada latar belakang yang menjadi landasan pembentukan Perda. Dengan demikian,
Perda bukan dibentuk hanya atas dasar “intuisi sesaat” dari pemerintah daerah, tetapi
lahir dari kebutuhan untuk melindungi kepentingan umum. Pembentukan sebuah
peraturan perundang-undangan, landasan filosofis ini diletakkan dalam konsiderans
menimbang yang didahului kata “bahwa”.
....Selain sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila juga sebagai cita hukum
yang bersifat hirarkhis. Cita hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada
hakekatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan,
rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Jadi cita hukum adalah
gagasan, karsa, cipta, dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna
hukum. B.Arief Sidharta49 menjelaskan bahwa cita hukum Pancasila yang berakar
dalam pandangan hidup Pancasila, dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan
menegara dan nilai-nilai dasar yang secara formal dicantumkan dalam Pembukaan,
khususnya dalam rumusan lima dasar kefilsafatan negara, dan dijabarkan lebih lanjut
dalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Tujuan
bernegara tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah.
alam Pembukaan UUD 1945 disebutkan tujuan negara Republik Indonesia
antara lain membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

47. Wahyu Sasongko, Mengenal Tata Hukum Indonesia, Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2012.
hlm. 5

48. Anthon F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010. hlm 294-295.

49 B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Bandung : Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, 2010. hlm. 85.
kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan tujuan Bangsa Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia perlu kiranya diutamakan bagi genersi muda penerus Bangsa
Indonesia yang menjadi salah satu modal dasar bagi pembangunan nasional yang pada
hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Didalam UUD
1945 sendiri, telah diatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai generasi
penerus bangsa yang telah diakomodir didalam Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945 yang
mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk melangsungkan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan hak anak dalam hal ini yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh setiap pihak
yang bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak yang melekat pada anak, terlebih
pencegahan oleh masyarakat pada umumnya untuk melakukan pencegahan terhadap
perkawinan anak.
Selain itu, Filosofi tertinggi dari Perkawinan ini adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia tersebut diperlukan
adanya kematangan usia, mental dan fisik. Dalam hal ini adanya pengaturan mengenai
pencegahan perkawinan pada anak ditujukan agar anak tetap tumbuh dan berkembang
sebagaimana anak diusianya, selain itu untuk melindungi anak dari akibat perkawinan
di usia muda yang disebabkan belum dewasanya anak untuk menghadapi kehidupan
berumah tangga.

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek.Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan Sosiologis
memberi pemahaman bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-
undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma
hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Landasan politis
yang dimaksud disini ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya
sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam
UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi
pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan memerlukan landasan
sosiologis agar mendapat “legitimasi sosial” dari masyarakat. Dengan landasan
sosiologis, maka akan dapat diukur potensi ketataatan masyarakat atas suatu peraturan
perundang-undangan. Jangan sampai dibentuk suatu peraturan yang justru akan
mendapatkan resistensi dari masyarakat itu sendiri.
Menurut Syaukani dan Thohari50 , bila hukum itu dibangun di atas landasan yang
tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa dipastikan resistensi masyarakat
terhadap hukum itu akan sangat kuat. Proses pembentukan hukum jelas hasil yang
paling utama adalah terbentuknya sebuah peraturan perundang-undangan yang akan
dijadikan alat untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat, sehingga untuk
keperluan tersebut sebuah produk hukum haruslah sangat mapan kandungan kelayakan
substansial, sosial dan politiknya. Sebab, bila sebuah produk hukum tidak memiliki
kemapanan yang cukup tersebut akan membelenggu dan merugikan masyarakat sebab
didalamnya banyak terjadi pertentangan (paradoks) yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini
berkaitan dengan sifat hukum itu sendiri yang pada dasarnya dapat dan harus
dipaksakan dalam penerapannya (sifat hukum yang imperatif). Kemampuan konseptual
tersebut penting agar dalam pemaksaan pada penerapannya itu tidak terjadi kerugian-
kerugian bagi masyarakat, tapi justru dengan pemaksaan itu justru berdampak pada
dinamika masyarakat yang lebih teratur dan tertib tanpa ada satu pihak merugikan pihak
lain.
Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan suatu model hukum
responsif yaitu hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih dari pada
sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil;
hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya
komitmen bagi tercapainya keadilan substantif51. Pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan memerlukan landasan sosiologis agar mendapat “legitimasi sosial”
dari masyarakat. Dengan landasan sosiologis, maka akan dapat diukur potensi
ketataatan masyarakat atas suatu peraturan perundang-undangan. Jangan sampai
dibentuk suatu peraturan yang justru akan mendapatkan resistensi dari masyarakat itu
sendiri.
Melihat dari sudut pandang teori legitimasi, Habermas memusatkan diri pada
hal-hal yang berhubungan dengan klaim kesahihan normatif.Klaim tentang kesahihan
normatif dari norma-norma hukum ini berpijak pada teori proseduralistis, yaitu bahwa
50. Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008. hlm. 25.

51. Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Jakarta : HuMa, 2008. hlm.84.
dasar legitimasi hukum itu mengikuti pola yang diatur oleh hukum itu sendiri 52. Jika
hukum harus dipatuhi, hukum itu juga harus diterima secara inter-subjektif oleh para
targetnya.Kesahihan atau legitimitas yang berasal dari penerimaan intersubjektif
tersebut memberinya daya ikat.
Menurut Syaukani dan Thohari53, bila hukum itu dibangun diatas landasan yang
tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa dipastikan resistensi masyarakat
terhadap hukum itu akan sangat kuat. Hart54 mengemukakan eksistensi sebuah sistem
hukum merupakan fenomena sosial yang selalu menghadirkan dua aspek, yang harus
kita perhatikan agar tinjauan kita mengenainya menjadi realistis. Aspek-aspek itu
mencakup sikap dan perilaku yang berwujud pengakuan atas peraturan-peraturan dan
juga sikap dan prilaku yang lebih sederhana berupa sekadar kepatuhan atau penerimaan
secara diam. Karena dengan pengakuan yang terwujud pada sikap dan perilaku berarti
sebuah aturan hukum dapat diterima masyarakat dan telah mencapai bentuknya yang
lengkap dalam aspek sosiologis, karena pada dasarnya menurut Gilissen dan Gorle
sumber hukum primer adalah kebiasaan hukum masyarakat.
Landasan sosiologis menekankan bahwa setiap norma hukum yang dituangkan
dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sediri
atas norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena
itu, dalam konsiderans, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam
undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-
undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah
masyarakat hukum yang diaturnya.

Pada kajian hukum atau penelitian hukum yang sosiologis, hukum dikonsepkan
sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang
lain. Apabila hukum sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel
bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada
berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu merupakan kajian hukum yang sosiologis
(socio-legal research). Namun, jika hukum dikaji sebagai variabel tergantung/akibat
(dependent variable) yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan dalam proses

52. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006. hlm. 65.

53. Imam Syaukanidan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009. hlm. 25.

54. H.L.A. Hart, Konsep Hukum (The Concept Of Law), Bandung: Nusamedia, 2009. hlm. 311.
sosial, kajian itu merupakan kajian sosiologi hukum (sociology of law).

Proses pembentukan peraturan daerah sebagai salah satu bentuk peraturan


perundang-undangan berangkat dari realitas yang ada dalam masyarakat. Realitas
tersebut bisa berupa aspirasi yang berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas
kepentingan perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya adalah
mencoba untuk mencari sebuah jalan keluar yang terbaik yang dapat mengatasi
persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan yang sekarang.
Hasil paling utama dari proses pembentukan hukum adalah terbentuknya sebuah
peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan alat untuk mengatur dan
mengendalikan masyarakat, sehingga untuk keperluan tersebut sebuah produk hukum
haruslah sangat mapan kandungan kelayakan substansial, sosial dan politiknya. Sebab,
bila sebuah produk hukum tidak memiliki kemapanan yang cukup tersebut akan
membelenggu dan merugikan masyarakat sebab di dalamnya banyak terjadi
pertentangan (paradoks) yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini berkaitan dengan sifat
hukum itu sendiri yang pada dasarnya dapat dan harus dipaksakan dalam penerapannya
(sifat hukum yang imperatif). Kemampuan konseptual tersebut penting agar dalam
pemaksaan pada penerapannya itu tidak terjadi kerugian-kerugian bagi masyarakat, tapi
justru dengan pemaksaan itu justru berdampak pada dinamika masyarakat yang lebih
teratur dan tertib tanpa ada satu pihak merugikan pihak lain.
Dalam konteks pembentukan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur, perlu diatur tentang konteks sosiologis
dari para pemegang kepentingan, yaitu pemerintah, pelaku usaha atau kegiatan, dan
masyarakat pada umumnya. Konteks sosiologis harus diperhatikan, karena kultur
masyarakat mempengaruhi pola pikir dan orientasinya terhadap Pencegahan
Perkawinan Anak.
Rancangan peraturan daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten
Lampung Timur merupakan jawaban atas kebutuhan hukum masyarakat. Di dalamnya
akan diatur mengenai Pengaturan Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten
Lampung Timur yang akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah daerah Kabupaten
Lampung Timur dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan Pengaturan
Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur.

C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Bahwa sesuai dengan Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan.” Dalam hal ini Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur urusan otonomi daerah sesuai dengan kebutuhan khusus daerahnya.
Selain itu telah diamanatkan juga didalam Pasal Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945
bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Berdasarkan pasal ini jelas,
bahwa negara telah menjamin hak anak untuk memperoleh perlakuan sama atas
kelangsungan hidupnya. Untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana anak seusinya.
Selain itu anak mempunyai hak untuk dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi yang
menjadikan anak sebagai korbannya.
Dalam pembentukan rancangan peraturan daerah termasuk daerah Kabupaten
Lampung Timur harus didasarkan pada kewenangan kelembangaan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan termasuk pembentukan peraturan daerah. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah
memberikan tugas, tanggung jawab, sekaligus wewenang kepada pemerintah dan
pemerintah daerah dalam Pencegahan Perkawinan Anak dengan mengintegrasikan dinas
dan organisasi terkait.
Landasan yuridis dalam pembentukan Raperda Pencegahan Perkawinan Anak
Wilayah Kabupaten Lampung Timur ini dituangkan dalam konsiderans “mengingat”
dalam Raperda. Hal ini dimaksudkan agar Raperda yang dibentuk tidak bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, serta untuk menghindari
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih mengenai Pencegahan Perkawinan
Anak di Wilayah Kabupaten Lampung Timur, maka haruslah dibentuk Perda tentang
Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah Kabupaten Lampung Timur.
Landasan yuridis yang dijadikan pedoman dalam penyusunan Raperda
Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah
Kabupaten Lampung Timur adalah:

1 Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945;
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Pembentukan 19 Desa Di
Kabupaten Lampung Timur;
4 Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 15 Tahun 2013
Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Di Kabupaten Lampung
Timur
5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)sebagaimana telah
diubah denganUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir,dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor5679);
9 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5559);
10 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6041);
11 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 199);
12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A.................................................................................................................Jangkaua
n Pengaturan
Jangkauan pengaturan yang diharapkan oleh Perda tentang Penyelenggaraan
pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur adalah indikator
Kabupaten Layak Anak yang menjadi tolak ukur atas keberlangsungan hak anak,
dimana salah satunya yaitu adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk
pemenuhan hak anak yang diatur dalam Peraturan Daerah demi menyelenggarakan
pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur.

B. Arah Pengaturan
Arah pengaturan Perda ini adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan
penyelenggaraan pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan.

C.................................................................................................................Ruang
Lingkup Materi Muatan
a.................................................................................................................Ketentuan
Umum
Ketentuan umum berisi istilah-istilah dan pengertian operasional yang dipakai
dalam peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya menyangkut keseluruhan
kegiatan yang terkait dan bersifat lintas sektor, lintas wilayah, lintas ilmu, dan lintas
pelaku. Adapun ketentuan umum yang digunakan dalam Perda Kabupaten Lampung
Timur tentang Penyelenggaraan pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten
Lampung Timur setidaknya meliputi:
1.................................................................................................................Daerah
adalah Kabupaten Lampung Timur;
2.................................................................................................................Pemerintah
Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom;
3.................................................................................................................Bupati
adalah Bupati Lampung Timur;
4.................................................................................................................Perangkat
Daerah adalah unsur pembantu kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerahdalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
5.................................................................................................................Pencegaha
n adalah proses, cara, perbuatan untuk melarang dan mencegah dalam hal ini adalah
agar tidak terjadi perkawinan pada usia anak;
6.................................................................................................................Pencegaha
n Perkawinan Pada Usia Anak adalah upaya – upaya yang berupa kebijakan,
program, kegiatan, aksi sosial, serta upaya – upaya lainnya yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, orang tua, anak, masyarakat dan semua pemangku kepentingan
dalam rangka melarang dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan
menurunkan angka perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur;
7.................................................................................................................Perkawina
n pada usia anak adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang salah satu atau keduanya masih berusia anak;
8.................................................................................................................Perkawina
n adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
9.................................................................................................................Anak
adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan;
10...............................................................................................................Dispensasi
kawin adalah penetapan yang diberikan oleh hakim umum untuk memberikan ijin
bagi pria yang belum berusia 19 tahun dan wanita yang belum berusia 16 tahun
untuk melangsungkan pernikahan;
11...............................................................................................................Psikolog
anak adalah seorang ahli dalam bidang praktek psikolog, yang mempelajari tingkah
laku dan proses mental anak sehingga dapat melayani konsultasi psikolog bagi anak
dan memberikan keterangan atau pendapatnya terkait dengan psikolog anak;
12...............................................................................................................Konselor
atau pembimbing adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam melakukan
konseling atau penyuluhan;
13...............................................................................................................Perlindung
an anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi;
14...............................................................................................................Pemberday
aan adalah proses, cara, upaya memberikan kemampuan atau keberadaan kepada
seseorang agar menjadi lebih berdaya;
15...............................................................................................................Orang tua
adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan ibu tiri, atau ayah dan ibu angkat;
16...............................................................................................................Masyarakat
adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan atau organisasi
kemasyarakat;
17...............................................................................................................Pemangku
Kepentingan adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kecamatan,
Pemerintah Desa, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dunia usaha serta
semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung melaksanakan kebijakan
program, kegiatan dalam rangka mencegah perkawinan pada usia anak;
18...............................................................................................................Forum
Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang disingkat
FPK2PA adalah forum koordinasi penanganan korban kekerasan perempuan dan
anak yang penyelenggaraannya secara berjejaring di tingkat kabupaten dan
kecamatan;
19...............................................................................................................Pusat
pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak yang disingkat P2TP2A
adalah pusat pelayanan yang terintegrasi dalam upaya pemberdayaan perempuan di
berbagai bidang pembangunan, serta perlindungan perempuan dan anak dari
berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang,
yang dibentuk oleh Pemerintah atau berbasis masyarakat;
20...............................................................................................................Kabupaten
Layak Anak yang selanjutnya disingkat KLA adalah sistem pembangunan suatu
wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak;
21...............................................................................................................Kecamatan
Ramah Anak yang selanjutnya disebut dengan KRA adalah sistem pembangunan di
wilayah kecamatan yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah
kecamatan, Pemerintah Desa, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara
menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak;
22...............................................................................................................Desa
Ramah Anak yang selanjutnya disebut dengan DRA adalah sistem pembangunan di
wilayah Desa yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya Pemerintah Desa,
masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan
dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak;
23...............................................................................................................Gugus
Tugas Kabupaten Layak Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas KLA adalah
lembaga koordinasi di tingkat kabupaten yang mengkoordinasikan upaya kebijakan,
program dan kegiatan untuk mewujudkan KLA;
24...............................................................................................................Gugus
Tugas Kecamatan Ramah Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas KRA adalah
lembaga koordinatif di tingkat Kecamatan yang mengkoordinasikan upaya
kebijakan, program dan kegiatan untuk mewujudkan KRA;
25...............................................................................................................Gugus
Tugas Desa Ramah Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas DRA adalah
lembaga koordinatif di tingkat desa yang mengkoordinasikan upaya kebijakan,
program dan kegiatan untuk mewujudkan DRA;
26...............................................................................................................Forum
Anak adalah wadah partisipasi anak dalam pembangunan yang anggotanya adalah
perwakilan anak dari lembaga atau kelompok kegiatan anak dan organisasi anak
sesuai jenjang administrasi pemerintah, yang dibina oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan untuk mengkomunikasikan pemenuhan hak dan kewajiban anak,
media komunikasi organisasi anak, menjembatani pemenuhan hak partisipasi anak,
sarana pengembangan bakat, minat dan kemampuan anak dan media kompetisi
prestasi anak mewujudkan terpenuhinya hak – hak anak dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa;
27...............................................................................................................Kekerasan
adalah setiap perbuatan yang berakibat atau dapat mengakibatkan kesengsaraan
atau penderitaan baik fisik, seksual, ekonomi, sosial dan psikis terhadap korban;
28...............................................................................................................Kekerasan
dalam rumah tangga yang selanjutnya disebut KDRT adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga;
29...............................................................................................................Rencana
Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak yang selanjutnya disebut
RAD PPUA adalah dokumen rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan
oleh semua pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawinan pada usia
anak, pendampingan, rehabilitasi dan pemberdayaan.
b..................................................................................................................Materi
Muatan Perda
No. Aturan Penjelasan
1. Asas dan Tujuan (1) Pencegahan Perkawinan Pada Usia
Anak berasaskan:
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi
anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan, dan
penghargaan terhadap pendapat
anak;
d. Partisipasi.
(2) Pencegahan Perkawinan Pada Usia
Anak bertujuan untuk:
a. Mewujudkan perlindungan anak dan
menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan;
b. Mewujudkan anak yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera;
c. Mencegah terjadinya tindakan
kekerasan terhadap anak;
d. Mencegah terjadinya tindakan
kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT);
e. Meningkatkan kualitas kesehatan
ibu dan anak;
f. Mencegah putus sekolah;
g. Menurunkan angka kematian.
2. Sasaran dan Ruang Lingkup Sasaran dalam Peraturan Daerah ini
ditujukan untuk anak, orang tua,
keluarga, masyarakat dan seluruh
pemangku kepentingan.
Ruang lingkup dari Peraturan
Daerah ini meliputi:
a. Upaya Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak;
b. Penguatan kelembagaan;
c. Upaya pendampingan dan
pemberdayaan bagi anak yang
melakukan Perkawinan pada
usia anak, dan bagi orang tua,
keluarga dan masyarakat;
d. Pengaduan;
e. Kebijakan, strategi dan
program;
f. Monitoring dan evaluasi;
g. Pembiayaan.
3. Upaya Pencegahan Pencegahan perkawinan pada usia anak
Perkawinan Pada Usia Anak dilakukan oleh :
a. Pemerintah daerah;
b. Orang tua;
c. Anak;
d. Masyarakat; dan
e. Pemangku kepentingan.

Upaya pencegahan perkawinan pada usia


anak yang dilakukan oleh Pemerintah
daerah dilakukan dengan:
Pemerintah Daerah merumuskan
dan melaksanakan kebijakan dalam
upaya Pencegahan Perkawinan
Pada Usia Anak dengan
mensinergikan kebijakan
mewujudkan kabupaten layak anak
dan mempertimbangkan kearifan
lokal.

Upaya pencegahan perkawinan pada usia


anak yang dilakukan oleh Orang tua
dilakukan dengan:
1) Memberikan pendidikan
karakter;
2) Memberikan pendidikan
keagamaan;
3) Memberikan penanaman
nilai-nilai budi pekerti dan
budaya; dan
4) Pendidikan kesehatan
reproduksi.
Orang tua berkewajiban untuk
melakukan pembinaan dan pengasuhan
serta bimbingan bagi anak, dan menjaga
anak agar tidak melakukan Perkawinan
Pada Usia Anak.

Setiap anak berperan dalam melakukan


upaya-upaya Pencegahan Perkawinan
Pada Usia Anak dengan cara antara lain :
1) Menghormati dan
menjaga nama baik orang tua,
wali dan guru;
2) Mencintai keluarga,
masyarakat dan menyayangi
teman;
3) Mencintai tanah air,
bangsa dan keluarga;
4) Menunaikan ibadah
sesuai dengan ajaran agamanya;
5) Melaksanakan etika dan
akhlak yang mulia;
6) Menyelesaikan
pendidikan dasar;
7) Memperoleh pendidikan
kesehatan reproduksi; dan
8) Berpartisipasi dalam
pendidikan.

Kewajiban Masyarakat dan Pemangku


Kepentingan dalam upaya Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak
dilaksanakan dengan melibatkan
psikolog anak, konselor, organisasi
kemasyarakatan, akademisi dan
pemerhati anak.
Masyarakat diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk berperan aktif
dalam program dan kegiatan Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak mulai dari
proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, monitoring dan evaluasi.
Masyarakat dan Pemangku Kepentingan
berkewajiban berperan serta dan atau
berpartisipasi aktif dalam mencegah
Perkawinan Pada Usia Anak baik secara
perseorangan maupun kelompok.
Peran Masyarakat dilakukan dengan cara
antara lain :
1) Memberikan informasi
melalui sosialisasi dan edukasi
terkait dengan peraturan
perundang-undang tentang anak;
2) Memberikan masukan
dalam perumusan kebijakan yang
terkait upaya Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak;
3) Melaporkan kepada pihak
berwenang jika terjadi
pemaksaan Perkawinan Pada
Usia Anak;
4) Berperan aktif dalam
proses rehabilitasi dan reintegrasi
sosial bagi anak yang menikah
pada usia anak;
5) Peran aktif masyarakat
dapat melalui lembaga-lembaga
pemerhati anak antara lain yaitu
Gugus Tugas Kabupaten Layak
Anak, Gugus Tugas Desa Ramah
Anak, FPK2PA dan P2TP2A;
6) Masyarakat dapat
menyelenggarakan kesepakatan
bersama dan atau deklarasi
Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak bersama dengan
Pemerintah Daerah dan seluruh
pemangku kepentingan; dan
7) Peran serta masyarakat
dalam Pencegahan Perkawinan
Pada Usia Anak dilakukan
dengan semangat kepentingan
terbaik bagi anak, kekeluargaan
dan kearifan lokal.
4. Penguatan Kelembagaan Dalam Bab ini menjelaskan tentang
penguatan kelembagaan dalam upaya
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
dilaksanakan melalui kerjasama dan
koordinasi antara:
a. Gugus Tugas Kabupaten
Layak Anak;
b. Gugus Tugas Kecamatan
Layak Anak;
c. Gugus Tugas Desa
Ramah Anak;
d. Sekolah dan atau
Lembaga Pendidikan;
e. Forum Anak;
f. Sanggar Anak;
g. FPK2PA Kabupaten;
h. FPK2PA Kecamatan;
i. P2TP2A Kabupaten;
j. Organisasi
kemasyarakatan, Keagamaan dan
Lembaga Adat;
k. Organisasi perempuan;
dan
l. Lembaga-lembaga lain
yangs peduli pada pemenuhan
hak anak dan perlindungan anak.
Penguatan Kelembagaan dilakukan
dalam bentuk sosialisasi, koordinasi,
fasilitasi dan sinergi program;
Koordinasi Pencegahan Perkawinan
Pada Usia Anak melibatkan seluruh
pemangku kepentingan di daerah yang
dilaksanakan dalam rangka
mensinergikan program dan
meningkatkan ketetapan sasaran.
5. Upaya Pendampingan dan Upaya pendampingan dan pemberdayaan
Pemberdayaan bagi anak yang melakukan Perkawinan
Pada Usia Anak dan bagi Orang Tua,
Keluarga serta masyarakat dilakukan
dengan cara antara lain:
a. Orang tua yang akan
memohonkan Dispensasi Kawin
bagi anaknya, dapat meminta
pendapat dari Psikolog Anak atau
Konselor demi kepentingan
terbaik bagi anak;
b. Layanan Psikolog Anak
atau Konselor dapat diberikan
oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan Masyarakat atau
melalui P2TP2A;
c. Orang tua yang akan
memohon Dispensasi Kawin bagi
anaknya, bertanggung jawab
melakukan pemeriksaan
kesehatan di Rumah Sakit atau
Puskesmas;
d. Dinas Kesehatan
Kabupaten Lampung Timur
melalui Puskesmas dan RSUD
dapat mengupayakan pemeriksaan
kesehatan bagi anak yang akan
melakukan Perkawinan Pada Usia
Anak;
e. P2TP2A dapat melakukan
upaya pendampingan dan
pemberdayaan bagi anak melalui
kerjasama dengan
instansi/lembaga terkait sebelum
permohonan dispensasi kawin
dilakukan;
f. P2TP2A Kabupaten dapat
menyediakan layanan psikolog
anak atau konselor; dan
g. Pemerintah Daerah wajib
memenuhi hak pendidikan dasar
12 tahun.
6. Pengaduan (1) Setiap orang yang melihat,
mengetahui dan atau mendengar
adanya pemaksaan perkawinan pada
usia anak, dapat menyampaikan
pengaduan kepada P2TP2A;
(2) Setiap orang yang menderita
akibat dari pemaksaan perkawinan
usia anak, dapat menyampaikan
pengaduan secara langsung atau tidak
langsung;
(3) Pengaduan langsung adalah
pengaduan yang dilakukan oleh
masyarakat dengan cara datang
langsung ke Pusat pelayanan terpadu
pemberdayaan perempuan dan anak
(P2TP2A) dan/atau bertemu langsung
dengan pejabat yang berwenang
menangani pengaduan tersebut.
Pengaduan langsung dilakukan
dengan cara menyampaikan secara
lisan untuk dicatat oleh pegawai yang
menangani pengaduan. Sedangkan
Pengaduan tidak langsung adalah
pengaduan yang dilakukan oleh
mayarakat dengan cara tidak langsung
berhadapan atau bertemu dengan
pejabat yang berwenang menangani
pengaduan. Pengaduan tidak langsung
biasanya dilakukan melalui SMS,
surat, fax, email, telepon dan,
website/aplikasi yang dibuat secara
khusus untuk saluran pengaduan
online.
(4) Pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
disampaikan ke Sekretariat P2TP2A
Kabupaten Lampung Timur dengan
menyertakan identitas;
7. Kebijakan, Strategi Dan Dalam rangka melaksanakan kebijakan
Program Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak,
disusun Rencana Aksi Daerah
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak.
Rencana Aksi Daerah Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak disusun
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Penyusunan Rencana Aksi Daerah
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
paling lambat 1 (satu) tahun setelah
Peraturan Daerah ini ditetapkan.
8. Monitoring Dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi pelaksanaan
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
dilaksanakan oleh Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak yang
mempunyai tugas dan fungsi di bidang
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
Dalam rangka pelaksanaan monitoring
dan evaluasi program dan kegiatan
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak,
Pemerintah Daerah membangun sistem
monitoring dan evaluasi yang terpadu.
Pemerintah Daerah dalam melakukan
monitoring dan evaluasi serta menyusun
laporan pelaksanaan kegiatan
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
dilakukan secara berkala dan berjenjang
dari Tingkat Kabupaten, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan.
9. Pembiayaan Pembiayaan program dan kegiatan
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang
dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, maka akan
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, akhir-akhir ini banyak berita
bermunculan mengenai perkawinan anak dibawah umur. Mengingat banyaknya
permasalahan terkaitperkawinan anak di bawah umur yang disebabkan oleh beberapa
faktor yang melatarbelakangi, diantaranya adalah karena faktor pergaulan bebas yang
dapat mengakibatkan anak hamil diluar nikah, sehingga terpaksa anak tersebut harus
menikah di umurnya yang belum memenuhi syarat dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, hal itu disebabkan karena kurangnya pengawasan, perhatian, serta kasih
sayang yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Selain itu juga dapat terjadi karena
faktor ekonomi atau kemiskinan. Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan
bahwa dengan menikahkan anaknya,meskipun anakyang masih di bawah umurakan
mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban
ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya
pernikah anaknya yang masih dibawah umur.
Kondisi diatas sangat berbenturan dengan isi dari UU No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtanga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan YangMahaesa. Salah satunya persyaratan untuk
melangsungkan perkawinan, yakni dengan umur minimal 19 tahun untuk laki-laki dan
16 tahun untuk perempuan. Adapun tujuan ditentukannya usia minimal ini adalah guna
menjaga kesehatan suami–isteri dan keturunan (Penjelasan Pasal 7 ayat (1), Undang-
Undang Perkawinan). Ketentuan ini diadakan ialah untuk menjaga kesehatan suami istri
dan keturunan, dan karena itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk
perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan.
Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam Pasal 26
ayat 1 butir UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan
diusia anak-anak.
Anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari
aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak
pendidikan,hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya
adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa. Satu hal yang juga harus menjadi
perhatian bersama adalah mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam
memberikan hak pendidikan, hak tumbuh kembang, hak bermain, hak mendapatkan
perlindungan dari kekerasan, segala bentuk eksploitasi, dan diskriminasi.
Untuk itu harus adanya pencegahan perkawinan a n a k yang masih dibawah
umur. Hal itu dilakukan dengan cara menentukan batas umur untuk melaksanakan
perkawinanya itu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Bahkan dianjurkan
perkawinan itu dilakukan pada usia sekitar 25 tahun bagi pria dan 20 tahun bagi wanita.
Landasan filosofis pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan
Anak Kabupaten Lampung Timur pada dasarnya merupakan upaya agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Disamping itu, perkawinan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan.Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, serta meminimalisir terjadinya
pelanggaran terhadap hak anak, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh
berkembang sesuai dengan usianya. Landasan sosiologis pembentukan Peraturan
Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur pada
dasarnya adalah bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini berfungsi sebagai upaya bagi
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk membentuk pola pikir masyarakat
terhadap pentingnya pencegahan terhadap Perkawinan Anak, serta mengupayakan
perlindungan terhadap hak-hak anak. Secara yuridis, pembentukan Peraturan Daerah
tentang Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur pada dasarnya
mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Di Kabupaten
Lampung Timur. Selain itu, juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan turunannya sebagai dasar kewenangan
dalam melakukan regulasi dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur.
Sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten
Lampung Timur yang akan dituangkan dalam materi pokok Peraturan Daerah ini,
meliputi: upaya pencegahan perkawinan pada usia anak, penguatan kelembagaan yang
ada di masyarakat, upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi anak-anak yang
terlanjur melakukan perkawinan pada usia dini, pengaduan jika adanya pemaksaan
perkawinan anak, kebijakan, strategi serta program dalam upaya pencegahan
perkawinan anak.

B. Saran
Dengan dibentuknya Naskah Akademik ini, disarankan pemerintah Kabupaten
Lampung Timur untuk dapat mempertimbangkan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur menjadi Peraturan Daerah
Kabupaten Lampung Timur guna menjamin kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan dalam pelaksanaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk itu,
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur harus mengkaji lebih lanjut dan mempersiapkan
produk hukum daerah berupa Peraturan ataupun Keputusan Bupati untuk mendukung
keberlakuan teknis peraturan daerah ini.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amnawaty. 2009. Hukum dan Hukum Islam. Bandar Lampung : Universitas Lampung.

Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Tinjauan dari Undang-undang


Perkawinan No.1/1974. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Asshiddiqie , Jimly. 2006. Perihal Undang-Undang. Jakarta : Konstitusi Press.

Gautama, Saudargo. 1983. Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung : Alumni.

Ghozali, Abdul Rahman dan Fiqh Munakahat. 2003. Hukum Perkawinan. Jakarta :
Prenada Media Group.

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-


Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju.

Hadirman, F. Budi. 2009. Filsafat Modern. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama..

Hamid, Andi Tahir. 2005. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan
Bidangnya. Jakarta: Sinar Grafika.

Hart, H.L.A. 2009. Konsep Hukum (The Concept Of Law). Bandung : Nusamedia.

Indrati, Maria Farida. 2002. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta : Rajawali Pers.

Koro, H.M.Abdi. 2012. Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia
Muda dan Perkawinan Siri. Bandung : PT Alumni.
Mardani, 2017, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group.

Muzdhar, H.M. Atho’ dan Khairuddin Nasution. 2003. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, Jakarta : Ciputat Press.

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandar Lampung : PT Citra


Aditya Bakti.

Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandar Lampung : PT Citra


Aditya Bakti.

Nonet, Phillipe dan Philip Selznick. 2003. HukumResponsif: Pilihan di Masa Transisi
(terjemahandari “Law & Society in Transition: Toward Responsive Law”).
Jakarta : HuMa.

Riawan, Tjandra W, dan Kresno Budi Darsono. 2009. Legislative Drafting :teori dan
tenik pembuatan peraturan daerah, Yogyakarta : UniversitasAtma Jaya.

Rudy. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia.


Bandar Lampung : Indepth Publishing.

Sasongko, Wahyu. 2012. Mengenal Tata Hukum Indonesia. Bandar Lampung :


Universitas Lampung.

Sidharta, Arief. 2010. Ilmu Hukum Indonesia. Bandung : Fakultas Hukum Universitas
Katolik Para hyangan.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas


Indonesia Press.

Suherman, Ade Maman. 2010. Penjelasan Hukum tentang Batasan umur Kecakapan
dan Kewenangan bertindak Berdasarkan Batasan Umur. Jakarta : National Legal
Reform Program.
Susanto, Anthon F. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Syafrudin, Ateng. 1994. “Asas-asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi


Pengabdian Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B). Bandung : Citra AdityaBakti.

Syaukani, Imam dan Ahsin Thohari. 2008. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.

Tisnanta, HS. 2016. Filsafat Hukum. Metro : Sai Wawai.

Vlies, I.C. Van der. 2007. Handboek Wetgeving (Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-Undangan). Jakarta : Dirjen Peraturan Perundang-Undangan
DEPKUMHAM RI.

Walyudi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, Bandung : CV Mandar Maju.

Yuliandri. 2011. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:


Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta : Rajawali Press.

Yuswanto dkk. 2015. Hukum Keuangan Negara, Bandar Lampung : Justice Publisher.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019);

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3143)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah denganUndang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5606)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 nomor 82
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679)

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Kabupaten
Layak Anak

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung TimurNomor 15 Tahun 2013 Tentang


Perlindungan Perempuan Dan Anak Di Kabupaten Lampung Timur

C. Sumber Lainnya

Joint statement by U.N. human rights experts to mark the first International Day of the
Girl Child,October 11, 2012.

http://www.koalisiperempuan.or.id/2014/12/22/pernyataan-hari-kebangkitan-
perempuan/, Diakses 19 April 2019.

http://www.girlsnotbrides.org/about-child-marriage/, Diakses 19 April 2019.

4,8% dari Jumlah Pernikahan di Indonesia, Dilakukan Anak 10-14 Tahun.


https://health.detik.com/anak-dan-remaja/2413173/48-dari-jumlah-pernikahan-di-
indonesia-dilakukan-anak-10-14-tahun, Diakses 19 April 2019.
Hasil survey demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012, http://sdki.bkkbn.go.id, Diakses
19 April 2019

PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diunduh pada hari Selasa tanggal 26
Maret 2019
Puslitbang – BKKBN, diakses pada hari Jumat tanggal 29 Maret 2019

LAMPIRAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
NOMOR .... TAHUN 2019

TENTANG

PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LAMPUNG TIMUR,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka melindungi segenap


bangsa Indonesia dan sekaligus mengutamakan
perlindungan anak dari tindakan diskriminatif
dari adanya perkawinan anak, dimana anak
sebagai modal dasar bagi pembangunan
nasional yang pada hakekatnya merupakan
pembangunan generasi muda Indonesia
seutuhnya;
b. bahwa beberapa indikator pencegahan
perkawinan anak yang menjadi tolak ukur atas
keberlangsungan hak anak, di mana salah
satunya yaitu adanya peraturan perundang-
undangan dan kebijakan untuk melindungi dan
pemenuhan hak anak yang diatur dalam
Peraturan Daerah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu
ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang
Pencegahan Perkawinan Pada Anak;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999
tentang Pembentukan Kabupaten Daerah
Tingkat II Way Kanan, Kabupaten Daerah
Tingkat II Lampung Timur, dan Kota Madya
Tingkat II Kota Metro di Provinsi Lampung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3825);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5606);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang
Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir, dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
7. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah.
9. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Lampung Timur Tahun 2007 Nomor
23) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur Nomor 20 Tahun 2013 (Lembaran Daerah
Kabupaten Lampung Timur Tahun 2013 Nomor
20)
10. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung
Timur Nomor 15 Tahun 2013 Tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Di
Kabupaten Lampung Timur
11. Peraturan daerah Kabupaten Lampung
Timur Nomor 05 Tahun 2016 Tentang
Kabupaten Layak Anak

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

dan

BUPATI LAMPUNG TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN


PERKAWINAN PADAUSIA ANAK
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Kabupaten


Lampung Timur;

2. Pemerintah Daerah Lampung


Timur adalah Kepala Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom;

3. Bupati adalah Bupati Lampung


Timur;

4. Dinas Daerah kabupaten/kota


mempunyai tugas membantu bupati/wali
kota melaksanakan Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah dan
Tugas Pembantuan yang diberikan
kepada kabupaten/kota.

5. Pencegahan adalah proses,


cara, perbuatan untuk melarang dan
mencegah dalam hal ini adalah agar tidak
terjadi perkawinan pada usia anak;

6. Pencegahan Perkawinan Pada


Usia Anak adalah upaya-upaya yang
berupa kebijakan, program, kegiatan, aksi
sosial, serta upaya-upaya lainnya yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah, orang
tua, anak, masyarakat dan semua
pemangku kepentingan dalam rangka
melarang dan mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak dan
menurunkan angka perkawinan pada
usia anak di Kabupaten Lampung Timur;

7. Perkawinan pada usia anak adalah


perkawinan yang dilakukan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang
salah satu atau keduanya masih berusia
anak;

8. Perkawinan adalah ikatan lahir


batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa;

9. Anak adalah seorang yang


belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan;

10. Dispensasi kawin adalah


penetapan yang diberikan oleh hakim
umum untuk memberikan ijin bagi pria
yang belum berusia 19 tahun dan wanita
yang belum berusia 16 tahun untuk
melangsungkan pernikahan;

11. Psikolog anak adalah seorang ahli


dalam bidang praktek psikolog, yang
mempelajari tingkah laku dan proses
mental anak sehingga dapat melayani
konsultasi psikolog bagi anak dan
memberikan keterangan atau
pendapatnya terkait dengan psikolog
anak;

12. Konselor atau pembimbing


adalah seorang yang mempunyai
keahlian dalam melakukan konseling atau
penyuluhan;

13. Perlindungan anak adalah


segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi;

14. Pemberdayaan adalah proses,


cara, upaya memberikan kemampuan
atau keberadaan kepada seseorang agar
menjadi lebih berdaya;

15. Orang tua adalah ayah dan atau


ibu kandung, atau ayah dan ibu tiri, atau
ayah dan ibu angkat;

16. Masyarakat adalah perseorangan,


keluarga, kelompok, dan organisasi
sosial dan atau organisasi kemasyarakat;

17. Pemangku Kepentingan adalah


Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa,
Masyarakat, Lembaga Swadaya
Masyarakat, dunia usaha serta semua
pihak yang secara langsung atau tidak
langsung melaksanakan kebijakan
program, kegiatan dalam rangka
mencegah perkawinan pada usia anak;

18. Forum Penanganan Korban


Kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak yang disingkat FPK2PA adalah
forum koordinasi penanganan korban
kekerasan perempuan dan anak yang
penyelenggaraannya secara berjejaring di
tingkat kabupaten dan kecamatan;

19. Pusat pelayanan terpadu


pemberdayaan perempuan dan anak
yang disingkat P2TP2A adalah pusat
pelayanan yang terintegrasi dalam upaya
pemberdayaan perempuan di berbagai
bidang pembangunan, serta perlindungan
perempuan dan anak dari berbagai jenis
diskriminasi dan tindak kekerasan,
termasuk perdagangan orang, yang
dibentuk oleh Pemerintah atau berbasis
masyarakat;

20. Kabupaten Layak Anak yang


selanjutnya disingkat KLA adalah sistem
pembangunan suatu wilayah administrasi
yang mengintegrasikan komitmen dan
sumber daya pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha yang terencana secara
menyeluruh dan berkelanjutan dalam
program dan kegiatan pemenuhan hak
anak;

21. Kecamatan Ramah Anak yang


selanjutnya disebut dengan KRA adalah
sistem pembangunan di wilayah
kecamatan yang mengintegrasikan
komitmen dan sumber daya
pemerintah kecamatan, Pemerintah
Desa, masyarakat dan dunia usaha yang
terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam program dan
kegiatan pemenuhan hak anak;

22. Desa Ramah Anak yang


selanjutnya disebut dengan DRA adalah
sistem pembangunan di wilayah Desa
yang mengintegrasikan komitmen dan
sumber daya Pemerintah Desa,
masyarakat dan dunia usaha yang
terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam program dan
kegiatan pemenuhan hak anak;

23. Gugus Tugas Kabupaten Layak


Anak yang selanjutnya disebut Gugus
Tugas KLA adalah lembaga koordinasi di
tingkat kabupaten yang
mengkoordinasikan upaya kebijakan,
program dan kegiatan untuk mewujudkan
KLA;

24. Gugus Tugas Kecamatan Ramah


Anak yang selanjutnya disebut Gugus
Tugas KRA adalah lembaga koordinatif di
tingkat Kecamatan yang
mengkoordinasikan upaya kebijakan,
program dan kegiatan untuk mewujudkan
KRA;

25. Gugus Tugas Desa Ramah Anak


yang selanjutnya disebut Gugus Tugas
DRA adalah lembaga koordinatif di tingkat
desa yang mengkoordinasikan upaya
kebijakan, program dan kegiatan untuk
mewujudkan DRA;
26. Forum Anak adalah wadah
partisipasi anak dalam pembangunan
yang anggotanya adalah perwakilan anak
dari lembaga atau kelompok kegiatan
anak dan organisasi anak sesuai jenjang
administrasi pemerintah, yang dibina oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan
untuk mengkomunikasikan pemenuhan
hak dan kewajiban anak, media
komunikasi organisasi anak,
menjembatani pemenuhan hak partisipasi
anak, sarana pengembangan bakat,
minat dan kemampuan anak dan media
kompetisi prestasi anak mewujudkan
terpenuhinya hak – hak anak dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat
dan berbangsa;

27. Kekerasan adalah setiap


perbuatan yang berakibat atau dapat
mengakibatkan kesengsaraan atau
penderitaan baik fisik, seksual, ekonomi,
sosial dan psikis terhadap korban;

28. Kekerasan dalam rumah tangga


yang selanjutnya disebut KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan
atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga;

29. Rencana Aksi Daerah


Pencegahan Perkawinan Pada Usia
Anak yang selanjutnya disebut RAD
PPUA adalah dokumen rencana program
dan kegiatan yang akan dilakukan oleh
semua pemangku kepentingan dalam
upaya pencegahan perkawinan pada
usia anak, pendampingan, rehabilitasi
dan pemberdayaan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

(1) Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak berasaskan :

a. Non Diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan


perkembangan, dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak;

e. Partisipasi.

(2) Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak bertujuan untuk :

a. Mewujudkan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya


hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;

b. Mewujudkan anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan


sejahtera;

c. Mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak;

d. Mencegah terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga


(KDRT);

e. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak;

f. Mencegah putus sekolah;

g. Menurunkan angka kematian.

BAB III

SASARAN DAN RUANG LINGKUP


Pasal 3
(1)Sasaran dalam Peraturan Daerah ini ditujukan untuk anak,
orang tua, keluarga, masyarakat dan seluruh pemangku
kepentingan.
(2)Ruang lingkup dari Peraturan Daerah ini meliputi:
a. Upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak;
b. Penguatan kelembagaan;
c. Upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi anak yang
melakukan Perkawinan pada usia anak, dan bagi orang tua,
keluarga dan masyarakat;
d. Pengaduan;
e. Kebijakan, strategi dan program;
f. Monitoring dan evaluasi;
g. Pembiayaan.

BAB IV
UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK

Pasal 4
Pencegahan perkawinan pada usia anak dilakukan oleh :

a. Pemerintah daerah;
b. Orang tua;
c.Anak;
d. Masyarakat; dan
e.Pemangku kepentingan.

Pasal 5
(1)Pemerintah Daerah merumuskan dan melaksanakan
kebijakan dalam upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
dengan mensinergikan kebijakan mewujudkan kabupaten
layak anak dan mempertimbangkan kearifan lokal;

(2)Kebijakan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan keuangan, sumber
daya dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah, serta
bersifat terpadu dan berkelanjutan;

(3)Kebijakan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Pasal 6
(1)Orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya Perkawinan
Pada Usia Anak dengan cara :

a. Memberikan pendidikan karakter;


b. Memberikan pendidikan keagamaan;
c. Memberikan penanaman nilai-nilai budi pekerti dan
budaya; dan
d. Pendidikan kesehatan reproduksi.
(2)Orang tua berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan
pengasuhan serta bimbingan bagi anak, dan menjaga anak agar
tidak melakukan Perkawinan Pada Usia Anak.

Pasal 7
Setiap anak berperan dalam melakukan upaya-upaya
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dengan cara antara lain :

a. Menghormati dan menjaga nama baik orang tua, wali dan


guru;
b. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa dan keluarga;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia;
f. Menyelesaikan pendidikan dasar;
g. Memperoleh pendidikan kesehatan reproduksi; dan
h. Berpartisipasi dalam pendidikan.

Pasal 8
(1)Kewajiban Masyarakat dan Pemangku Kepentingan dalam
upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dilaksanakan
dengan melibatkan psikolog anak, konselor, organisasi
kemasyarakatan, akademisi dan pemerhati anak.
(2)Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
berperan aktif dalam program dan kegiatan Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
(3)Masyarakat meliputi perorangan, keluarga, kelompok, organisasi
sosial, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi
dan organisasi kemasyarakatan.
(4)Masyarakat dan Pemangku Kepentingan berkewajiban berperan
serta dan atau berpartisipasi aktif dalam mencegah Perkawinan
Pada Usia Anak baik secara perseorangan maupun kelompok.
(5)Peran Masyarakat dapat dilakukan oleh orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan
sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa dan dunia usaha;
(6)Peran Masyarakat dilakukan dengan cara antara lain :
a. Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi
terkait dengan peraturan perundang-undang tentang anak;
b. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang
terkait upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak;
c. Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi
pemaksaan Perkawinan Pada Usia Anak;
d. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi
sosial bagi anak yang menikah pada usia anak;
e. Peran aktif masyarakat dapat melalui lembaga-lembaga
pemerhati anak antara lain yaitu Gugus Tugas Kabupaten Layak
Anak, Gugus Tugas Desa Ramah Anak, FPK2PA dan P2TP2A;
f. Masyarakat dapat menyelenggarakan kesepakatan bersama
dan atau deklarasi Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
bersama dengan Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku
kepentingan; dan Peran serta masyarakat dalam Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak dilakukan dengan semangat
kepentingan terbaik bagi anak, kekeluargaan dan kearifan lokal.

BAB V
PENGUATAN KELEMBAGAAN
Pasal 9
(1) Penguatan kelembagaan dalam upaya Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak dilaksanakan melalui kerjasama dan koordinasi antara :
a. Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak;
b. Gugus Tugas Kecamatan Layak Anak;
c. Gugus Tugas Desa Ramah Anak;
d. Sekolah dan atau Lembaga Pendidikan;
e. Forum Anak;
f. Sanggar Anak;
g. FPK2PA Kabupaten;
h. FPK2PA Kecamatan;
i. P2TP2A Kabupaten;
j. Organisasi kemasyarakatan, Keagamaan dan Lembaga
Adat;
k. Organisasi perempuan; dan
l. Lembaga-lembaga lain yang peduli pada pemenuhan hak
anak dan perlindungan anak.
(2)Penguatan Kelembagaan dilakukan dalam bentuk sosialisasi,
koordinasi, fasilitasi dan sinergi program;
(3)Koordinasi Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak melibatkan
seluruh pemangku kepentingan di daerah;
(4)Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dalam rangka mensinergikan program dan
meningkatkan ketetapan sasaran.

BAB VI
UPAYA PENDAMPINGAN DAN PEMBERDAYAAN
Pasal 10
Upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi anak yang melakukan
Perkawinan Pada Usia Anak dan bagi Orang Tua, Keluarga serta
masyarakat dilakukan dengan cara antara lain:

a. Orang tua yang akan memohonkan Dispensasi Kawin bagi


anaknya, dapat meminta pendapat dari Psikolog Anak atau
Konselor demi kepentingan terbaik bagi anak;
b. Layanan Psikolog Anak atau Konselor dapat diberikan oleh
Pemerintah;

c. Pemerintah Daerah dan Masyarakat atau melalui P2TP2A;

d. Orang tua yang akan memohon Dispensasi Kawin bagi


anaknya, bertanggung jawab melakukan pemeriksaan kesehatan
di Rumah Sakit atau Puskesmas;

e. Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur melalui


Puskesmas dan RSUD Mas Amsyar dapat mengupayakan
pemeriksaan kesehatan bagi anak yang akan melakukan
Perkawinan Pada Usia Anak;

f. P2TP2A dapat melakukan upaya pendampingan dan


pemberdayaan bagi anak melalui kerjasama dengan
instansi/lembaga terkait sebelum permohonan dispensasi kawin
dilakukan;

g. P2TP2A Kabupaten dapat menyediakan layanan


psikolog anak atau konselor; dan

BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 11
(1) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang mempunyai
tugas dan fungsi di bidang Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak;
(2) Dalam rangka pelaksanaan monitoring dan evaluasi program dan
kegiatan Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak, Pemerintah
Daerah membangun sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu;
(3) Pemerintah Daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi
serta menyusun laporan pelaksanaan kegiatan Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak dilakukan secara berkala dan
berjenjang dari Tingkat Kabupaten, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan.

BAB VII
PENGADUAN
Pasal 12
(1) Setiap orang yang melihat, mengetahui dan atau mendengar
adanya pemaksaan perkawinan pada usia anak, dapat
menyampaikan pengaduan secara langsung atau tidak langsung ;
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2),ditujukan kepada P2TP2A dengan menyertakan identitas;
(3) P2TP2A, berkewajiban menindaklanjuti pengaduan paling lambat
tujuh hari, sejak menerima pengaduan, dengan melakukan
pemilahan materi pengaduan;
(4) Apabila dianggap perlu P2TP2A dapat meminta verifikasi dan
meminta keterangan dari para pihak.

BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 13
(1) Pembiayaan program dan kegiatan Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang dianggarkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
(2) Pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan pada
usia anak yang dilakukan oleh Pemerintah Desa yang dianggarkan
dalam Anggaran Pendadapatan dan Belanja Desa.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Lampung Timur

Ditetapkan di Sukadana
Pada tanggal 2019

BUPATI LAMPUNG TIMUR,

Chusnunia Chalim

Diundangkan di Sukadana
Pada tanggal 2019

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR,

Syahrudin Putera, S.sos.,MM.


LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR TAHUN 2019
NOMOR ....
PENJELASAN

ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
NOMOR ... TAHUN 2019

TENTANG
PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK

I. UMUM

Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah sangat


penting. Hal ini disebabkan karena di dalam perkawinan menghendaki
kematangan psikologis. Perkawinan pada anak dapat mengakibatkan
meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kedewasaan,
kesiapan, dan kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan
berumah tangga bagi suami istri.

Berdasarkan aspek pendidikan pernikahan pada usia anak


mengakibatkan anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih
tinggi, hanya 5,6 % anak menikah dini yang masih melanjutkan
sekolah setelah pernikahan, dalam hal kesehatan anak perempuan
berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih
besar selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan
perempuan berusia 20-25, sementara yang usia 15-19
kemungkinannya dua kali lebih besar.

Berdasarkan hal tersebut yang telah diuraikan di atas, maka


Pemerintah Daerah berupaya untuk menurunkan jumlah perkawinan
pada usia anak, Pemerintah Daerah juga telah mendukung penuh
Pencegahan perkawinan pada usia anak dan Pemerintah Daerah juga
melibatkan seluruh masyarakat, orang tua dan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam mecegah terjadinya pernikahan pada usia anak,
hal ini dilakukan demi melindungi kepentingan anak-anak yang
terancam hak-haknya yang diakibatkan oleh perkawinan pada usia
anak.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup Jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas
Pasal 3

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Pasal 4

Cukup Jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Pasal 7

Cukup Jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Cukup Jelas
Ayat (5)

Cukup Jelas

Ayat (6

Cukup Jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Cukup Jelas

Pasal 10

Cukup Jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 12

Ayat (1)

a. Pengaduan langsung adalah pengaduan


yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara
datang langsung ke Pusat pelayanan terpadu
pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A)
dan/atau bertemu langsung dengan pejabat
yang berwenang menangani pengaduan
tersebut. Pengaduan langsung dilakukan
dengan cara menyampaikan secara lisan untuk
dicatat oleh pegawai yang menangani
pengaduan;

a. Pengaduan tidak langsung adalah


pengaduan yang dilakukan oleh mayarakat
dengan cara tidak langsung berhadapan atau

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Cukup Jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Pasal 14

Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR


NOMOR....

Anda mungkin juga menyukai