Disusun Oleh
Nama NPM
Muhammad Edy Priyono 1512011358
Muhammad Rendy Rifki P 1512011359
Anggoro Herlambang 1512011360
Julia Santika F 1612011002
Abdur Rohman Husen 1612011008
Andrian 1612011009
Arum Teza Kinanti 1612011011
Ade Rahmawati PN 1612011016
Frissillia Gusvina R 1612011031
Intan Bella Prasticha 1612011035
Dosen :
Dr. Budiyono, S.H., M.H. & Muhtadi, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR
Setiap anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus perjuangan bangsa dan
diharapkan kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Untuk mewujudkan pencapaian penegakan dan pemenuhan hak-hak manusia,
pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap anak yang
dituangkan dalam suatu kebijakan ditingkat daerah yang dalam pemenuhan hak
hidup,tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi menjadi kewajiban orang tua,
pemerintah daerah, serta masyarakat, karena pada diri anak melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya untuk mewujudkan Kabupaten Lampung Timur sebagai
Kabupaten Layak Anak (KLA);
Naskah akademik yang disusun ini merupakan hasil penelitian secara akademik
baik mencakup dimensi filosofis, sosiologis, yuridis, maupun teoritis terkait dengan
perlindungan anak yang mengantar pada poin-poin materi yang harus dicakup dalam
Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Atas tersusunnya naskah akademik ini, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan aktif
memberikan pemikiran, saran pertimbangan maupun masukan yang positif dalam
penyusunan Rancangan Perda Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan
Perkawinan Anak. Mohon maaf apabila naskah ini masih memuat kesalahan yang sama
sekali di luar kesengajaan tim penyusun.
Wassalam,
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A.............................................................................................Latar Belakang
......................................................................................................................1
B.....................................................................................Identifikasi Masalah
......................................................................................................................4
C.......................................................Tujuan dan Kegunaan Penyusunan NA
......................................................................................................................5
D.............................................................................Metode Penyusunan NA
......................................................................................................................5
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS.............................................
A..............................................................................................Kajian teoretis
......................................................................................................................7
B................................Kajian terhadap asas/prinsip yang Berkaitan dengan
Penyusunan norma.....................................................................................17
C...................Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, Kondisi yang ada,
Serta Permasalahan Perkawinan Anak di Lampung Timur ......................20
D........Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan diatur
dalam Peraturan Daerah terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah .............................22
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ..............................................................................................24
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS........................
A.....................................................................................Landasan Filosofis
...................................................................................................................43
B...................................................................................Landasan Sosiologis
...................................................................................................................47
C.........................................................................................Landasan Yuridis
...................................................................................................................52
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG.....................................................
2
A................................................................................Jangkauan Pengaturan
..................................................................................................................56
B.........................................................................................Arah Pengaturan
...................................................................................................................56
C.................................................................Ruang Lingkup Materi Muatan
...................................................................................................................57
BAB VI PENUTUP.....................................................................................................
A.....................................................................................................Simpulan
...................................................................................................................72
B..........................................................................................................Saran
...................................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRA
3
NBAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan usia muda merupakan
perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak yang usianya belum mencapai yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun. sedangkan dalam The
Convention on the Rights of the Child (“Konvensi Hak Anak”) mendefinisikan anak
sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau kedewasaan
telah dicapai lebih cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak.
Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18
tahun, secara internasional dikategorikan sebagai perkawinan usia anak (“perkawinan
anak”).
Dalam hukum internasional sendiri, perkawinan usia anak sudah ditetapkan
sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia khususnya Pasal 16 (2) of the Universal Declaration of
Human Rights. Pemilihan umur 18 tahun sebagai patokan transisi usia anak-anak ke
status dewasa bukanlah tanpa alasan.
Secara kodrat, anak-anak merupakan bagian dari kelompok yang rentan,
tergantung, lugu dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Karena alasan inilah anak
memerlukan perawatan dan perlindungan khusus pula agar mereka dapat berkembang
secara penuh, baik fisik maupun mental.1 Konsekuensi perkawinan usia anak terhadap
faktor kesehatan dan reproduksi, pendidikan, dan eksploitasi perkawinan membuat
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetap kan umur 18 tahun sebagai batas kategori status
“anak”. Dalam kaitannya pada perkawinan usia anak, para ahli pada Perserikatan
Bangsa-Bangsa merekomendasikan kepada seluruh anggota untuk menaikkan batas
umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan menjadi 18 tahun,
baik laki-laki dan perempuan.2
2Joint statement by U.N. human rights experts to mark the first International Day of the Girl
Child,October 11, 2012, http://acnudh.org/en/first-international-day-of-the-girl-child-joint-statement-by-
a-group-of-un-human-rights-experts/, diakses pada 19 April 2019.
Untuk Indonesia sendiri, komitmen dalam menjamin perlindungan terhadap
anak khususnya anak perempuan terhadap eksposur perkawinan usia anak dapat dilihat
dengan diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan hak anak
seperti The Convention on the Rights of the Child diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990; The Convention of the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (CEDAW), diratifikas imelaluiUndang-Undang No. 7
Tahun 1984;.International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR),
diratifikasi melaluiUndang-Undang No. 12 Tahun 2005; dan .International Convention
on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR), diratifikasi melaluiUndang-Undang
No. 11 Tahun 2005.
Selain instrumen internasional, komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak
dan perlindungan anak juga tercermin dengan disahkanya beberapa Peraturan
perundang-undang terkait. Adapun Undang-Undang yang melindungi hak anak, antara
lain:Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD 1945”);
yang secara explisit padaPasal 28B UUD 1945; Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sebgaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Maka dengan begitu, praktik perkawinan anak seharusnya menjadi
suatu bahasan serius dalam konteks perlindungan hak anak di Indonesia.
Berdasarkan beberapa data sekunder yang ada, angka perkawinan anak di
Indonesia cukup mengkhawatirkan. Seperti yang dapat dilihat dari Hasil Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2012) menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah perkawinan anak, yang sangat mengkhawatirkan, dibanding lima
tahun yang lalu. Perempuan usia 15 – 19 tahun yang menikah diperkotaan meningkat
menjadi 32% padahal lima tahun sebelumnya (SDKI 2007) hanya 26% dari total
populasi kelompok usia tersebut. Di Pedesaan perkawinan usia 15-19 tahun masih
mencapai 61% dari total populasi di usia tersebut (SDKI 2007), turun menjadi 58%
(SDKI 2012) namun jumlah ini tergolong masih sangat tinggi, dibanding perkawinan
anak-anak di Negara lain. Jumlah ini masih belum ditambah dengan prosentase anak
anak yang menikah di usia 13-15 tahun.3
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2010 Perkawinan usia
anak mencapai angka sebesar 46,7% dari jumlah perkawinan di Indonesia. Angka
perkawinan anak yang besar tersebut ternyata lebih spesifik berdampak pada anak
3KPI, Pernyataan Sikap Koalisi Perempuan Indonesia Menyambut Hari Ibu, Hari Kebangkitan
Perempuan Selamatkan Ibu & Anak-Anak Perempuan Indonesia,
http://www.koalisiperempuan.or.id/2014/12/22/pernyataan-hari-kebangkitan-perempuan/., diakses pada
19 April 2019.
perempuan. Datadari Girls Not Brides anak perempuan lebih terekspose dalam praktek
perkawinan anak disbanding anak laki-laki dengan perbandingan di Indonesia mencapai
7.5:1.4 Angka-angka tersebut sedikit banyak berdampak dari pengaturan dan konstruksi
hukum perkawinan anak yang masih sangat lemah di Indonesia.
Sejalan dengan temuan-temuan di atas, berdasarkan data yang dihimpun oleh
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dari seluruh jumlah
perkawinan di Indonesia 4,8% diantaranya dilakukan oleh anak berusia 10-14 tahun.
Sedangkan angka perkawinan anak yang berusia 15-19 tahun mencapai 41,9% dari total
perkawinan.5 Tingginya jumlah perkawinan usia anak juga dapat dilihat dari tidak
adanya penurunan signifikan laju kelahiran oleh anak usia 15-19 tahun sejak tahun 2005
sampai dengan 2011, yakni berkisar antara 46,69% (2005), 35,91% (2006), 45,12%
(2007), 44,56% (2008), 44,01% (2009), 43,45% (2010), dan 42,90% (2011).6
Walaupun secara umum Mahkamah Konstitusi pada putusannya No. 30-
74/PUU/XII/2014 mengatakan bahwa ketentuan batas usia pada UU Perkawinan
memiliki hubungan kausal terhadap maraknya praktik perkawinan usia anak, namun
ketentuan mengenai batas usia tersebut merupakan kebijakan terbuka (open legal
policy) sehingga pengaturannya sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk
peraturan. Berdasarkan hal ini, ada sitasi yang mendesak agar segara dilakukan
peninggkatan batas usia pada untuk melangsungkan perkawinan pada UU Perkawinan.
Namun, hal tersebut akan memakan waktu yang cukup lama apabila harus
melalui mekanisme amandemen UU Perkawinan. Permasalah perkawinan anak
merupakan permasalahan multi dimensi. Sebagian diantaranya berhubungan erat dengan
adat dan tradisi masyarakat, ekonomi, akses terhadap informasi kesehatan, dan lain
sebagainya. Namun, salah satu penyebab masih berkembangnya praktik perkawinan
anak adalah tindakan afirmatif negara akan perkawinan anak melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan mengatur batas usia minimum seseorang melakukan perkawinan adalah 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
5Detik.com,”4,8% dari Jumlah Pernikahan di Indonesia, Dilakukan Anak 10-14 Tahun”. Diakses 19
April 2019. https://health.detik.com/anak-dan-remaja/2413173/48-dari-jumlah-pernikahan-di-indonesia-
dilakukan-anak-10-14-tahun, diakses pada 19 April 2019.
6Hasil survey demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012. http://sdki.bkkbn.go.id, diakses pada 19 April
2019
Akan tetapi, pengaturan batasan usia ini dapat dikesampingkan melalui proses
dispensasi yang dapat diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Sampai sekarang, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut secara jelas dispensasi pada Pasal 7
ayat (2) UU Perkawinan. Hal ini telah menyuburkan praktik-praktik perkawinan usia
anak di bawah 19 dan 16 tahun yang ditetapkan pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
Pengajuan permohonan dispensasi dapat dilakukan atas alasan yang tidak diatur secara
limitatif. Dalam memberikan atau menolak dispensasi, pengadilan juga tidak memiliki
satu kesepahaman. Frasa “pejabat lain” yang tidak disertai dengan penjelasan
mengakibatkan praktik dispensasi tidak mempunyai suatu sistem safe-guard agar tidak
berujung pada penyalahgunaan mekanisme ini.
Mahkamah Konstitusi pada putusannya No. 30-74/PUU/XII/2014
menganalogikan dispensasi pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan ini sebagai “pintu
darurat” apabila terdapat hal-hal yang bersifat memaksa atas permintaan orang tua
dan/atau wali.7 Dengan demikian berapapun usia yang sekarang atau nantinya
ditetapkan sebagai batas usia untuk melangsungkan perkawinan, sepanjang konsep
dispensasi pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan masih ada dan tidak diatur dengan
jelas, batasan tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan perkawinan anak yang
ada.
Kondisi perkawinan usia anak telah mengalami pergeseran praktik sejak UU
Perkawinan disahkan. Seiring dengan semakin meningkatnya kedewasaan dalam
bernegara, perlindungan hak-hak yang melekat terhadap anak semakin diperhatikan.
Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban dalam meningkatkan pemenuhan serta
perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut. Dengan masih dipertahankannya UU
Perkawinan sesuai dengan versi yang ada sekarang, sangat bertolak belakang dengan
semangat negara yang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang
bertujuan untuk meweujudkan teracapainya pemenuhan hak anak. Penyempurnaan UU
Perkawinan anak juga merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Dibutuhkan adanya intervensi dari pemerintah untuk menghentikan praktik-
praktik perkawinan usia anak yang membahayakan dan merampas hak-hak anak yang
dijamin oleh negara. Selain itu, juga dibutuhkan kepastian hukum dan pengetatan
mekanisme dispensasi yang hanya dapat diberikan secara limitatif melalui pertibangan
pengadilan yang jelas. Akan memakan waktu yang sangat lama apabila penyepurnaan
UU Perkawinan dilakukan melalui proses amandemen di parlement.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat permasalahan yang dapat
diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan teori tentang pencegahan perkawinan anak serta
bagaimana praktik empiris pencegahan perkawinan anak?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan
perkawinan anak?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis
dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
tentang Pencegahan Perkawinan Anak?
4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, danmateri muatan yang
perlu diatur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak?
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.9 Berasal
dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan,
dan wathi atau bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan
8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986. hlm. 146
9Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hukum Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003)
hlm. 8.
“satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan
maupun tumbuhan”.10
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan,
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi
Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuad (mistaqan ghalidan) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11
2. Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. 12Sedangkan menurut
Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:13
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih
sayang
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
14 Amnawaty, Hukum dan Hukum Islam, Bandar Lampung : Universitas Lampung,2009. hlm. 105
terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun perkawinan diantaranya: calon
suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat
adalah sesuatu yang harus terpenuhi sebelum perkawinan itu dilakukan. 15
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing
pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau
prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang
disebut juga syarat objektif.16
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6
ayat (1))
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16
tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8
yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
15 Mardani, 2017, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2017, hlm. 24.
16Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
18 H.M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta:
Ciputat Press, 2003, hlm. 211.
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”. 19Maka perkawinan dianggap sah
apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam agamanya dan kepercayaannya
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agama dengan
sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak
mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.20
19Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005) hal. 18
21 Asmin. Status Peerkawinan Antar Agama Tinjauan dari Undang-undang Perkawinan No.1/1974,
Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986. Hlm. 64
22Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandar Lampung:PT Citra Aditya Bakti, 2010.
hlm.68.
Perkawinan secara tegas mengatur umur 16 tahun sebagai umur yang diangap siap
untuk melangsungkan perkawinan, disisi lain Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang
Perkawinan menetapkan bahwa anak dibawah usia 18 tahun masih belum bertindak
sendiri dan berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
Dari uraian pasal ini dapat dilihat inkonsistensi Undang-Undang Perkawinan
dalam menetapkan patokan batasan mengenai umur “dewasa” dalam artian lepas dari
kekuasaan orangtua, dan “dewasa” dalam artian masak jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan. Penjelasan Undang-Undang Perkawinan juga tidak
menguraikan lebih lanjut alasan adanya pembedaan antara umur seseorang dapat
bertindak secara otonom yakni 18 tahun dengan umur seseorang dikatakan siap untuk
melakukan perkawinan yakni 16 tahun.
Terhadap inkonsistensi ini, hasil studi yang dilakukan Ade Maman Suherman
dan Jsatrio, menyatakan bahwa “….seharusnya dari pasal 47 sampai dengan Pasa l50
Undang-Undang Perkawinan berpatokan pada umur dewasa 18 tahun.Kalau undang-
undang menetapkan kewenangan orangtua dan wali untuk mewakili anak belum dewasa
berakhir pada saat anak mencapai usia 18 tahun (atau telah menikah sebelumnya; pasal
47 dan pasal 50 Undang-Undang Perkawinan) maka tidak logis kalau UU perkawinan
mempunyai patokan usia dewasa lain dari pada 18 Tahun.23
Bahwa walaupun Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan secara tegas menetapkan
batasan minimum umur, namun hal ini tidak serta merta menutup kemungkinan
dilakukanya perkawinan terhadap anak yang berusia kurang dari 16 tahun. Pasal 7 ayat
(2), Undang-Undang Perkawinan memungkinan seseorang berusia dibawah 16 tahun
untuk melakukan perkawinan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat
lain.
23 Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur (Kecakapan dan Kewenangan
bertindak Berdasarkan Batasan Umur, Jakarta : National Legal Reform Program, 2010. hlm 127.
Tanpa ada defenisi tegas yang bersifat limitati akan apa yang dimaksud akan
“penyimpangan” membuat hal ini menjadi legitimasi masyarakat dalam menentukan
latar belakang dilakukannya perkawinan usia anak di bawah 16 tahun. Seseorang bias
saja meminta “penyimpangan” Pasal 7ayat (1),Undang-Undang Perkawinan, kepada
pengadilan atau pejabat lain dengan alasan bahwa orang tua sang anak terlilit hutang,
kemiskinan, janji dinafkahi oleh calon suami, atau bahkan menjadi korban
pemerkosaan.24
Kultur dan budaya yang telah turun-temurun juga acap kali dijadikan alas an
untuk meminta “Penyimpangan”kepada pengadilan atau pejabat lain. Orang tua percaya
bahwa dengan mengawinkan anak perempuannya sesegera mungkin dapat menjauhkan
anak tersebut dari pengaruh-pengaruh negative pergaulan, seperti seks bebas ataupun
hamil diluar perkawinan.25Ditambah, anjuran oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama
setempat yang meyakinkan orang tua si anak bahwa tindakan tersebut adalah pilihan
yang tepat dijadikan alasan untuk meminta “Penyimpangan” dari Pasal 7 ayat (1),
Undang-Undang Perkawinan.26
Dimungkinkannya perkawinan oleh calon mempelai dibawah umur standar ini
merupakan contoh lain dari inkonsistesi dari Undang-Undang Perkawinan dalam
menentukan batas minimal umur dalam melangsungkan perkawinan. Hal ini bertolak
belakang dengan penjelasan Undang-Undang Perkawinan itu sendiri yang menyatakan
calon suami atau isteri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan “untuk itu harus dicegahadanya perkawinan antara calon suami-isteri yang
masih di bawah umur”.
24 H.M.Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan
Perkawinan Siri, Bandung: PT Alumni, Bandung, 2012, hlm. 2
25 PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 28 Maret 2019 Pukul 19.00 WIB.
27Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur (Kecakapan dan Kewenangan
bertindak Berdasarkan Batasan Umur, Jakarta : National Legal Reform Program, 2010. hlm 127.
Sungguh pun suami dari anak perempuan tersebut juga bertanggung jawab
terhadap istrinya, namun konsep tanggungjawab dalam kondisi ini bukan lagi sebagai
kewajiban membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan mendasarnya sebagai anak.
Perkembangan Batas Usia Anak dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan. Ade
Maman Suherman dan J. Satrio menguraikan penetapan batas usia pada peraturan
perundang- undangan merupakan cara pembuat peraturan dalam melindungi mereka
yang belum dapat merumuskan kehendaknya degan benar dan belum dapat menyadari
sepenuhya akibat hukum dari perbuatannya. Tujuan ini dicapai dengan memberikan
suatu perbedaan yang jelasa antara mereka yang telah mencapai usai dewasa dan belum
dewasa.28
Penentuan batas usia “belum dewasa” dalam undang-undang juga bukanlah
perkara yang mudah. BW menentukan secara quantitatif orang yang telah berusia 21
tahun dianggap sudah dewasa (Pasal 330). Permasalahannya bisa saja seseorang sudah
berusia 21 tahun namun tetap belum dapat merumuskan kehendaknya dengan benar
atau setidaknya belum dapat mengukur akibat hukum dari tindakannya. Namun, demi
alasan kepastian hukum sejak tahun 1905 Indonesia menggunakan patokan umur
21 tahun untuk mengukur kedewasaan seseorang, dan dalam tahun 1917 – berdarkan S.
1917:378 –berlaku bagi golongan Tioghoa.29
Jauh sebelum peraturan perundang-undangan Indonesia menentukan batas usia
untuk dianggap dewasa atau cakap, masing-masing daerah di Indonesia memiliki
hukum adat sendiri dalam menentukan kedewasaan seseorang. Seperti di Jawa Barat,
seseorang akan dianggap dewasa apabila orang tersebut sudah “kuat gawe” atau sudah
bekerja dan dapat mengurus sendiri keperluannya. Di Nusa Tenggara Timur, seorang
perempuan dianggap dewasa apabila sudah dapat membuat kain tenunt, memasak
jagung dan mangatur urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya dikatakan dewasa
apabila sudah dapat membuat pondok bekerja di sawah dan menghasilkan sekian ribu
batang pohon atau padi.30
UU Perkawinan juga merupakan salah satu peraturan yang fundamental dalam
menentukan batas usia di Indonesia. Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang Perkawinan
tegas menyatakan bahwa orang yang belum berusia 18 tahun masih berada di bawah
kekuasaan orang tuanya atau wali. Walaupun tidak secara tegas menyatakan bahwa
seseorang di atas usia 18 tahun merupakan orang yang telah dewasa, namun dengan
28 Ibid, hlm 9.
30 PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diakses pada 29 Maret 2019 Pukul 16.53 WIB.
tidak lagi di bawah kekuasaan orang tua, seseorang sudah dianggap cakap hukum.31
Semenjak saat itu pengaturan batasan umur dalam kerangka peraturan perundang-
undangan menggunakan batasan 18 tahun atau 21 tahun.
Dalam praktek, pengadilan juga tidak konsisten dalam menggunakan batasan
umur untuk menetapkan kedewasaan seseorang. Namun dari banyak
ketidakkonsistenan ini, pengadilan hanya mendasarkan batasan umur pada dua pilihan,
yakni 18 tahun atau 21 tahun. Lebih lanjut Ade Maman Suherman dan J Satrio
menyebut beberapa putusan Pengadilan Negeri yang menggunakan umur 21 tahun
sebagai batasan umur, antara lain: PN Jakarta Pusat No. 1138/PDt.P1987 PN.JKT.PST
tanggal 22-12-1987; MA No. 59K/AG/2007 tanggal 6 juni 2007; MA No.
95K/AG/2009, tanggal 17-04-2009; MA No. 294K.AG/2009, tanggal 16-6-2009.
Bahkan Pengadilan Agama Wonosari pun menggunakan umur 21 tahun yakni pada
putusanya bernomor 0432/Pdt.G/2008/PA.Wno, tanggal 5-8-2008. Sedangkan pada
buku yang sama tercatat beberapa putusan pengadilan yang menggunakan batasan umur
18 tahun, yakni: Pengadilan Negari Jakarta Utara No. 1530/Pdt/1987/PN. Jakut, tanggal
5-11-1987; dan MA No. 477/K/Sip1976, tanggal 13 Oktober 1976.
Penggunaan batasan umur 18 dan 21 tahun juga telah menjadi bagian penting
dalam perkembangan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
mengklasifikasikan individu berdasarkan umur. Sejalan dengan itu, tren penggunaan
umur 18 dan 21 tahun telah menjadi acuan hampir disetiap peraturan perundang-
undangan yang ada saat ini. Tren umur ini dipaparkan dalam tabel berikut:
No Nama Peraturan Batasan Pasal
. Umur
1 Undang-UndangNo.23Tahun2002 tentangPerlindungan 18 Pasal 1
Anak angka 26
2 Undang-UndangNo. 13Tahun2003 tentang Tenaga18 Pasal 1
Kerja angka26
3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang 18 Pasal 1
Pemasyarakatan angka 8
4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem 18 Pasal 1
PeradilanAnak angka 3
5 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 18 Pasal 1
Manusia angka 5
31 Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan umur... Op.Cit, hlm. 127
6 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang18 Pasal 6
Pengadilan
7 Undang-UndangNo. 40 Tahun200423 Pasal 41 ayat
tentangSistemjaminan (6)
8 Undang-UndangNo. 44Tahun2008 tentang Pornografi 18 Pasal 1 ayat
(4)
9 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang 18 Pasal 4
Kewarganegaraan
10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang 18 Pasal 1
Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang angka 5
21 di Luar Negeri
Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 18 Pasal 1 dan 2
Kewarganegaraan Republik Indonesia
22 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tetang Lalu Lintas17,23 Pasal 81(2)
dan Angkutan Jalan 20,24
21,25
32 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta:
Kanisius, 2002, hlm. 67
33. I.C. Van der Vlies, Handboek Wetgeving (Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-
Undangan), Jakarta : Dirjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM RI, 2007. hlm 258.
a. Asas tujuan jelas; Asas ini terdiri dari tiga tingkat: kerangka kebijakan umum
bagi peraturan yang akan dibuat, tujuan tertentu bagi peraturan yang akan dibuat
dan tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan.
b. Asas lembaga yang tepat; Asas ini menghendaki agar suatu organ memberi
penjelasan bahwa suatu peraturan tertentu memang berada dalam kewenangannya,
dan agar suatu organ, khususnya pembuat undang-undang, memberi alasan
mengapa ia tidak melaksanakan sendiri pengaturan atas suatu materi tertentu tetapi
menugaskannya kepada orang lain.
c. Asas urgensi/perlunya pengaturan; Jika tujuan sudah dirumuskan dengan jelas,
masalah berikutnya adalah apakah tujuan itu memang harus dicapai dengan
membuat suatu peraturan.
d. Asas dapat dilaksanakan; Asas ini menyangkut jaminan-jaminan bagi dapat
dilaksanakannya apa yang dimuat dalam suatu peraturan.
e. Asas konsensus; Asas ini berisi bahwa perlu diusahakan adanya konsensus
antara pihak-pihak yang bersangkutan dan pemerintah mengenai pembuatan suatu
peraturan serta isinya.
Sedangkan Asas-asas material meliputi:
a. Asas kejelasan terminologi dan sistematika; Menurut asas ini, suatu peraturan
harus jelas, baik kata-kata yang digunakan maupun strukturnya.
b. Asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali; Menurut asas ini,
suatu peraturan harus dapat diketahui oleh setiap orang yang perlu mengetahui
adanya peraturan itu.
c. Asas kesamaan hukum; Asas ini menjadi dasar dari semua peraturan perundang-
undangan, peraturan tidak boleh ditujukan kapada suatu kelompok tertentu yang
dipilih secara semaunya.
d. Asas kepastian hukum; Asas ini menghendaki agar harapan (ekspektasi) yang
wajar hendaknya dihormati; khususnya ini berarti bahwa peraturan harus memuat
rumusan norma yang tepat, bahwa peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan
peralihan yang memadai, dan bahwa peraturan tidak boleh diperlakukan surut tanpa
alasan yang mendesak.
e. Asas penerapan-hukum yang khusus; Asas ini menyangkut aspek-aspek
kemungkinan untuk menegakkan keadilan didalam kasus tertentu yang dapat
diwujudkan dengan memberikan keputusan kepada pemerintah didalam undang-
undang, memberikan kemungkinan penyimpangan bagi keadaaan-keadaaan khusus
di dalam undang-undang, memungkinkan perlindungan hukum terhadap semua
tindakan pemerintah.
Meskipun bukan merupakan norma hukum, asas-asas ini bersifat normatif
karena pertimbangan etik yang masuk ke dalam ranah hukum. Asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan ini penting untuk diterapkan karena dalam era otonomi
luas dapat terjadi pembentuk Perda membuat suatu peraturan atas dasar intuisi sesaat
bukan karena kebutuhan masyarakat.Pada prinsipnya asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sangat relevan dengan asas umum administrasi publik yang baik
(general principles of good administration).34
Berdasarkan Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 ditentukan bahwa
Perda (Peraturan Daerah) dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan; artinya, tujuan dari perda yang akan dibentuk tidak
menyimpang dari tujuan yang telah digariskan dalam dasar filosofis, yuridis dan
sosiologis dalam pembentukan Perda. Pembentukan Perda Pencegahan Perkawinan
Anak Kabupaten Lampung Timur yang akan dibentuk tidak menyimpang dari
tujuan yang telah digariskan dalam dasar filosofis, yuridis dan sosiologis dalam
pembentukan Perda yang menjadi dasar legitimasi perda di Kabupaten Lampung
Timur
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; artinya, perda ini dapat
dibentuk atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (hak inisiatif lembaga
legislatif) atau oleh Kepala Daerah (hak inisiatif lembaga eksekutif). Perda dibahas
bersama antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, dan atas persetujuan
bersama antara keduanya, kepala daerah menetapkan perda.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Artinya, materi muatan yang
terkandung dalam perda yang akan dibentuk berkesesuaian dengan jenis perdanya.
Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten
Lampung Timur materi muatannya akan mengatur mengenai pencegahan terjadinya
pernikahan anak.
d. Dapat dilaksanakan; artinya, perda yang akan dibentuk akan menjadi pedoman
atau acuan dalam hal ini sebagai pedoman serta acuan dalam Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur, serta ketentuan pasal/norma
dalam perda dapat diimplementasikan/operasional.
34. Ateng Syafrudin,“Asas-asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian Kepala Daerah”,
dalam Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B), penyusun: Paulus
Effendie Lotulung, Citra AdityaBakti, Bandung, 1994, hlm 38-39.
e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan; artinya perda yang akan dibentuk dapat
diterima baik secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Pembentukan Perda tentang
Pencegahan Perkawinan Anak dilandasi dengan aspek filosofis, sosiologis dan
yuridis, sehingga diharapkan keberlakuannyapun dapat tercermin secara filosofis,
sosiologis dan yuridis.
f. Kejelasan rumusan; artinya bahwa rumusan pasal dapat dipahami dan
dilaksanakan serta tidak menimbulkan tafsir ganda (ambigu). Pembentukan Perda
tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur akan
dirumuskan dengan bahasa hukum yang tepat sehingga tidak multitafsir.
g. Keterbukaan; artinya, peran serta masyarakat dapat diakomodasi baik dalam
proses penyusunan, pelaksanaan maupun pengawasan. Pembentukan Perda tentang
Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur akan melibatkan
peran serta masyarakat baik dalam proses penyusunan, pelaksanaan maupun
pengawasannya.
Dari asas-asas yang harus diperhatikan dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah dipaparkan diatas, adapun pula asas yang
mendasari substansi di dalam penyusunan Raperda tentang Pencegahan Perkawinan
Anak Lampung Timur yaitu :
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan
terhadap pendapat anak;
d. Partisipasi.
Asas-asas tersebut berangkat dari pemikiran untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat, sehingga perlu dilakukan upaya ke arah tersebut melalui kegiatan
pembangunan di segala bidang. Makna dan esensi yang dilaksanakan adalah proses
untuk merubah kondisi kehidupan masyarakat ke arah kondisi yang lebih baik sesuai
dengan harapan masyarakat.
Asas-asas tersebut di atas merupakan landasan dalam penyusunan Raperda yang
akan disusun. Asas-asas tersebut akan diakomodir dalam perumusan norma atau pasal
yang menjadi materi muatan Perda yang akan disusun. Salah satu aspek pokok dalam
penyusunan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) adalah menentukan materi muatan.
Disamping asas-asas yang disebutkan diatas, menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 Pasal 237 juga menentukan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Asas-asas formal dan material yang ada tersebut juga merupakan asas
pembentukan peraturan-perundang-undangan yang juga telah diakomodir dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Undang-Undang No 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dan undang-undang penunjang ini akan
menjadi pijakan dasar dalam pembuatan Peraturan Daerah tentang Pencegahan
Perkawinan Anak Di Kabupaten Lampung Timur.
35Detik.com,”4,8% dari Jumlah Pernikahan di Indonesia, Dilakukan Anak 10-14 Tahun”...., Op.Cit.
37 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
1991, hlm. 14.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
39 Yuswanto dkk, Hukum Keuangan Negara, Bandar Lampung : Justice Publisher, 2015, hlm 10.
1945 “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.” Dalam hal ini adanya keterbatasan
jangkauan aparatur pemerintah pusat
ditanggulangi melalui pemberian kewenangan
kepada aparatur daerah, yang berarti negara
memberikan kebebasan kepada daerah untuk
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
daerahnya untuk membuat Peraturan terkait
sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13:
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan
adalah para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali
nikah, wali pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
8 Undang-Undang
Pasal 71 Tentang Kesehatan Reproduksi:
Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Perubahan
(1) Kesehatan reproduksi merupakan
Atas Undang-Undang
keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
Nomor 23 Tahun 1992
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
Tentang Kesehatan
penyakit atau kecacatan yang berkaitan
(Lembaran Negara
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi
Republik Indonesia
pada laki-laki dan perempuan.
Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan (2) Kesehatan reproduksi sebagaimana
Lembaran Negara dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Republik Indonesia
a. saat sebelum hamil, hamil,
Nomor 5063)
melahirkan, dan sesudah melahirkan;
40Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. hlm 243
41 Saudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, 1983. hlm. 3
43Tjandra W. Riawan dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting :teori dan
tenikpembuatanperaturandaerah, Yogyakarta : UniversitasAtma Jaya, 2009. hlm.86
1. Teori materiil (materiele theory), yaitu penyusunan perda dilihat
dari segi muatan yang akan diatur;
Perda yang baik menurut teori materiil adalah perda yang muatan isinya sedapat
mungkin digali dari hukum masyarakat (Common law). Materi perda berisi kesadaran
hukum masyarakat, terlebih di era otonomi daerah yang seluas-luasnya. Teori ini
mengandaikan bahwa kesadaran hukum masyarakat (legal awareness) ekuivalen dengan
keadilan sosial (social justice).
Penyusunan perda harus dibuat berdasarkan bahasa hukum yang benar, tidak
multitafsir dan multiinterpretatif. Secara yuridis, Perda yang akan dibentuk tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi serta memenuhi prosedural sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan, agar tidak tidak terjadi cacat prosedural. Sesuai dengan konsep landasan
pembentukan aturan diatas, dalam pembentukan peraturan daerah tentang Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur ini juga dilandaskan pada aspek
filosofis, sosiologis dan yuridis.
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Landasan filosofis menjadi hakekat bahwa undang-undang
selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu
masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
hendak diarahkan. Tata Hukum Indonesia memiliki struktur dan kepribadian sendiri
yang didasarkan pada falsafah bangsa Indonesia, ialah Pancasila.47
46 Ibid, hlm. 84
Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan dalam
wilayah, dilakukan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana dijelaskan Sidharta yang dikutip oleh Anthon F.
Susanto,48 Suatu produk peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas. Politik hukum yang dijadikan dasar pijakan juga harus mapan, sehingga dapat
dijadikan pegangan.Sudah menjadi tugas para pembentuk peraturan hukum untuk dapat
menjelaskan esensi hukum atau keadilan yang dilandasi oleh pengetahuan hukum.
Produk hukum daerah berupa Perda, analis kritis harus dimulai dari
pembentukan perda itu sendiri, oleh karena itu dalam konsiderans menimbang suatu
Perda selalu dicantumkan secara eksplisit tentang landasan filosofis pembentukannya.
Ada latar belakang yang menjadi landasan pembentukan Perda. Dengan demikian,
Perda bukan dibentuk hanya atas dasar “intuisi sesaat” dari pemerintah daerah, tetapi
lahir dari kebutuhan untuk melindungi kepentingan umum. Pembentukan sebuah
peraturan perundang-undangan, landasan filosofis ini diletakkan dalam konsiderans
menimbang yang didahului kata “bahwa”.
....Selain sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila juga sebagai cita hukum
yang bersifat hirarkhis. Cita hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada
hakekatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan,
rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Jadi cita hukum adalah
gagasan, karsa, cipta, dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna
hukum. B.Arief Sidharta49 menjelaskan bahwa cita hukum Pancasila yang berakar
dalam pandangan hidup Pancasila, dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan
menegara dan nilai-nilai dasar yang secara formal dicantumkan dalam Pembukaan,
khususnya dalam rumusan lima dasar kefilsafatan negara, dan dijabarkan lebih lanjut
dalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Tujuan
bernegara tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah.
alam Pembukaan UUD 1945 disebutkan tujuan negara Republik Indonesia
antara lain membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
47. Wahyu Sasongko, Mengenal Tata Hukum Indonesia, Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2012.
hlm. 5
48. Anthon F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010. hlm 294-295.
49 B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Bandung : Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, 2010. hlm. 85.
kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan tujuan Bangsa Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia perlu kiranya diutamakan bagi genersi muda penerus Bangsa
Indonesia yang menjadi salah satu modal dasar bagi pembangunan nasional yang pada
hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Didalam UUD
1945 sendiri, telah diatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai generasi
penerus bangsa yang telah diakomodir didalam Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945 yang
mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk melangsungkan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan hak anak dalam hal ini yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh setiap pihak
yang bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak yang melekat pada anak, terlebih
pencegahan oleh masyarakat pada umumnya untuk melakukan pencegahan terhadap
perkawinan anak.
Selain itu, Filosofi tertinggi dari Perkawinan ini adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia tersebut diperlukan
adanya kematangan usia, mental dan fisik. Dalam hal ini adanya pengaturan mengenai
pencegahan perkawinan pada anak ditujukan agar anak tetap tumbuh dan berkembang
sebagaimana anak diusianya, selain itu untuk melindungi anak dari akibat perkawinan
di usia muda yang disebabkan belum dewasanya anak untuk menghadapi kehidupan
berumah tangga.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek.Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan Sosiologis
memberi pemahaman bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-
undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma
hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Landasan politis
yang dimaksud disini ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya
sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam
UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi
pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan memerlukan landasan
sosiologis agar mendapat “legitimasi sosial” dari masyarakat. Dengan landasan
sosiologis, maka akan dapat diukur potensi ketataatan masyarakat atas suatu peraturan
perundang-undangan. Jangan sampai dibentuk suatu peraturan yang justru akan
mendapatkan resistensi dari masyarakat itu sendiri.
Menurut Syaukani dan Thohari50 , bila hukum itu dibangun di atas landasan yang
tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa dipastikan resistensi masyarakat
terhadap hukum itu akan sangat kuat. Proses pembentukan hukum jelas hasil yang
paling utama adalah terbentuknya sebuah peraturan perundang-undangan yang akan
dijadikan alat untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat, sehingga untuk
keperluan tersebut sebuah produk hukum haruslah sangat mapan kandungan kelayakan
substansial, sosial dan politiknya. Sebab, bila sebuah produk hukum tidak memiliki
kemapanan yang cukup tersebut akan membelenggu dan merugikan masyarakat sebab
didalamnya banyak terjadi pertentangan (paradoks) yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini
berkaitan dengan sifat hukum itu sendiri yang pada dasarnya dapat dan harus
dipaksakan dalam penerapannya (sifat hukum yang imperatif). Kemampuan konseptual
tersebut penting agar dalam pemaksaan pada penerapannya itu tidak terjadi kerugian-
kerugian bagi masyarakat, tapi justru dengan pemaksaan itu justru berdampak pada
dinamika masyarakat yang lebih teratur dan tertib tanpa ada satu pihak merugikan pihak
lain.
Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan suatu model hukum
responsif yaitu hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih dari pada
sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil;
hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya
komitmen bagi tercapainya keadilan substantif51. Pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan memerlukan landasan sosiologis agar mendapat “legitimasi sosial”
dari masyarakat. Dengan landasan sosiologis, maka akan dapat diukur potensi
ketataatan masyarakat atas suatu peraturan perundang-undangan. Jangan sampai
dibentuk suatu peraturan yang justru akan mendapatkan resistensi dari masyarakat itu
sendiri.
Melihat dari sudut pandang teori legitimasi, Habermas memusatkan diri pada
hal-hal yang berhubungan dengan klaim kesahihan normatif.Klaim tentang kesahihan
normatif dari norma-norma hukum ini berpijak pada teori proseduralistis, yaitu bahwa
50. Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008. hlm. 25.
51. Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Jakarta : HuMa, 2008. hlm.84.
dasar legitimasi hukum itu mengikuti pola yang diatur oleh hukum itu sendiri 52. Jika
hukum harus dipatuhi, hukum itu juga harus diterima secara inter-subjektif oleh para
targetnya.Kesahihan atau legitimitas yang berasal dari penerimaan intersubjektif
tersebut memberinya daya ikat.
Menurut Syaukani dan Thohari53, bila hukum itu dibangun diatas landasan yang
tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa dipastikan resistensi masyarakat
terhadap hukum itu akan sangat kuat. Hart54 mengemukakan eksistensi sebuah sistem
hukum merupakan fenomena sosial yang selalu menghadirkan dua aspek, yang harus
kita perhatikan agar tinjauan kita mengenainya menjadi realistis. Aspek-aspek itu
mencakup sikap dan perilaku yang berwujud pengakuan atas peraturan-peraturan dan
juga sikap dan prilaku yang lebih sederhana berupa sekadar kepatuhan atau penerimaan
secara diam. Karena dengan pengakuan yang terwujud pada sikap dan perilaku berarti
sebuah aturan hukum dapat diterima masyarakat dan telah mencapai bentuknya yang
lengkap dalam aspek sosiologis, karena pada dasarnya menurut Gilissen dan Gorle
sumber hukum primer adalah kebiasaan hukum masyarakat.
Landasan sosiologis menekankan bahwa setiap norma hukum yang dituangkan
dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sediri
atas norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena
itu, dalam konsiderans, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam
undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-
undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah
masyarakat hukum yang diaturnya.
Pada kajian hukum atau penelitian hukum yang sosiologis, hukum dikonsepkan
sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang
lain. Apabila hukum sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel
bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada
berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu merupakan kajian hukum yang sosiologis
(socio-legal research). Namun, jika hukum dikaji sebagai variabel tergantung/akibat
(dependent variable) yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan dalam proses
52. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006. hlm. 65.
53. Imam Syaukanidan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009. hlm. 25.
54. H.L.A. Hart, Konsep Hukum (The Concept Of Law), Bandung: Nusamedia, 2009. hlm. 311.
sosial, kajian itu merupakan kajian sosiologi hukum (sociology of law).
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Bahwa sesuai dengan Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan.” Dalam hal ini Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur urusan otonomi daerah sesuai dengan kebutuhan khusus daerahnya.
Selain itu telah diamanatkan juga didalam Pasal Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945
bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Berdasarkan pasal ini jelas,
bahwa negara telah menjamin hak anak untuk memperoleh perlakuan sama atas
kelangsungan hidupnya. Untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana anak seusinya.
Selain itu anak mempunyai hak untuk dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi yang
menjadikan anak sebagai korbannya.
Dalam pembentukan rancangan peraturan daerah termasuk daerah Kabupaten
Lampung Timur harus didasarkan pada kewenangan kelembangaan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan termasuk pembentukan peraturan daerah. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah
memberikan tugas, tanggung jawab, sekaligus wewenang kepada pemerintah dan
pemerintah daerah dalam Pencegahan Perkawinan Anak dengan mengintegrasikan dinas
dan organisasi terkait.
Landasan yuridis dalam pembentukan Raperda Pencegahan Perkawinan Anak
Wilayah Kabupaten Lampung Timur ini dituangkan dalam konsiderans “mengingat”
dalam Raperda. Hal ini dimaksudkan agar Raperda yang dibentuk tidak bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, serta untuk menghindari
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih mengenai Pencegahan Perkawinan
Anak di Wilayah Kabupaten Lampung Timur, maka haruslah dibentuk Perda tentang
Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah Kabupaten Lampung Timur.
Landasan yuridis yang dijadikan pedoman dalam penyusunan Raperda
Kabupaten Lampung Timur tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah
Kabupaten Lampung Timur adalah:
A.................................................................................................................Jangkaua
n Pengaturan
Jangkauan pengaturan yang diharapkan oleh Perda tentang Penyelenggaraan
pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur adalah indikator
Kabupaten Layak Anak yang menjadi tolak ukur atas keberlangsungan hak anak,
dimana salah satunya yaitu adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk
pemenuhan hak anak yang diatur dalam Peraturan Daerah demi menyelenggarakan
pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur.
B. Arah Pengaturan
Arah pengaturan Perda ini adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan
penyelenggaraan pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan.
C.................................................................................................................Ruang
Lingkup Materi Muatan
a.................................................................................................................Ketentuan
Umum
Ketentuan umum berisi istilah-istilah dan pengertian operasional yang dipakai
dalam peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya menyangkut keseluruhan
kegiatan yang terkait dan bersifat lintas sektor, lintas wilayah, lintas ilmu, dan lintas
pelaku. Adapun ketentuan umum yang digunakan dalam Perda Kabupaten Lampung
Timur tentang Penyelenggaraan pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten
Lampung Timur setidaknya meliputi:
1.................................................................................................................Daerah
adalah Kabupaten Lampung Timur;
2.................................................................................................................Pemerintah
Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom;
3.................................................................................................................Bupati
adalah Bupati Lampung Timur;
4.................................................................................................................Perangkat
Daerah adalah unsur pembantu kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerahdalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
5.................................................................................................................Pencegaha
n adalah proses, cara, perbuatan untuk melarang dan mencegah dalam hal ini adalah
agar tidak terjadi perkawinan pada usia anak;
6.................................................................................................................Pencegaha
n Perkawinan Pada Usia Anak adalah upaya – upaya yang berupa kebijakan,
program, kegiatan, aksi sosial, serta upaya – upaya lainnya yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, orang tua, anak, masyarakat dan semua pemangku kepentingan
dalam rangka melarang dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan
menurunkan angka perkawinan pada usia anak di Kabupaten Lampung Timur;
7.................................................................................................................Perkawina
n pada usia anak adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang salah satu atau keduanya masih berusia anak;
8.................................................................................................................Perkawina
n adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
9.................................................................................................................Anak
adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan;
10...............................................................................................................Dispensasi
kawin adalah penetapan yang diberikan oleh hakim umum untuk memberikan ijin
bagi pria yang belum berusia 19 tahun dan wanita yang belum berusia 16 tahun
untuk melangsungkan pernikahan;
11...............................................................................................................Psikolog
anak adalah seorang ahli dalam bidang praktek psikolog, yang mempelajari tingkah
laku dan proses mental anak sehingga dapat melayani konsultasi psikolog bagi anak
dan memberikan keterangan atau pendapatnya terkait dengan psikolog anak;
12...............................................................................................................Konselor
atau pembimbing adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam melakukan
konseling atau penyuluhan;
13...............................................................................................................Perlindung
an anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi;
14...............................................................................................................Pemberday
aan adalah proses, cara, upaya memberikan kemampuan atau keberadaan kepada
seseorang agar menjadi lebih berdaya;
15...............................................................................................................Orang tua
adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan ibu tiri, atau ayah dan ibu angkat;
16...............................................................................................................Masyarakat
adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan atau organisasi
kemasyarakat;
17...............................................................................................................Pemangku
Kepentingan adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kecamatan,
Pemerintah Desa, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dunia usaha serta
semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung melaksanakan kebijakan
program, kegiatan dalam rangka mencegah perkawinan pada usia anak;
18...............................................................................................................Forum
Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang disingkat
FPK2PA adalah forum koordinasi penanganan korban kekerasan perempuan dan
anak yang penyelenggaraannya secara berjejaring di tingkat kabupaten dan
kecamatan;
19...............................................................................................................Pusat
pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak yang disingkat P2TP2A
adalah pusat pelayanan yang terintegrasi dalam upaya pemberdayaan perempuan di
berbagai bidang pembangunan, serta perlindungan perempuan dan anak dari
berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang,
yang dibentuk oleh Pemerintah atau berbasis masyarakat;
20...............................................................................................................Kabupaten
Layak Anak yang selanjutnya disingkat KLA adalah sistem pembangunan suatu
wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak;
21...............................................................................................................Kecamatan
Ramah Anak yang selanjutnya disebut dengan KRA adalah sistem pembangunan di
wilayah kecamatan yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah
kecamatan, Pemerintah Desa, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara
menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak;
22...............................................................................................................Desa
Ramah Anak yang selanjutnya disebut dengan DRA adalah sistem pembangunan di
wilayah Desa yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya Pemerintah Desa,
masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan
dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak;
23...............................................................................................................Gugus
Tugas Kabupaten Layak Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas KLA adalah
lembaga koordinasi di tingkat kabupaten yang mengkoordinasikan upaya kebijakan,
program dan kegiatan untuk mewujudkan KLA;
24...............................................................................................................Gugus
Tugas Kecamatan Ramah Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas KRA adalah
lembaga koordinatif di tingkat Kecamatan yang mengkoordinasikan upaya
kebijakan, program dan kegiatan untuk mewujudkan KRA;
25...............................................................................................................Gugus
Tugas Desa Ramah Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas DRA adalah
lembaga koordinatif di tingkat desa yang mengkoordinasikan upaya kebijakan,
program dan kegiatan untuk mewujudkan DRA;
26...............................................................................................................Forum
Anak adalah wadah partisipasi anak dalam pembangunan yang anggotanya adalah
perwakilan anak dari lembaga atau kelompok kegiatan anak dan organisasi anak
sesuai jenjang administrasi pemerintah, yang dibina oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan untuk mengkomunikasikan pemenuhan hak dan kewajiban anak,
media komunikasi organisasi anak, menjembatani pemenuhan hak partisipasi anak,
sarana pengembangan bakat, minat dan kemampuan anak dan media kompetisi
prestasi anak mewujudkan terpenuhinya hak – hak anak dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa;
27...............................................................................................................Kekerasan
adalah setiap perbuatan yang berakibat atau dapat mengakibatkan kesengsaraan
atau penderitaan baik fisik, seksual, ekonomi, sosial dan psikis terhadap korban;
28...............................................................................................................Kekerasan
dalam rumah tangga yang selanjutnya disebut KDRT adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga;
29...............................................................................................................Rencana
Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak yang selanjutnya disebut
RAD PPUA adalah dokumen rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan
oleh semua pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawinan pada usia
anak, pendampingan, rehabilitasi dan pemberdayaan.
b..................................................................................................................Materi
Muatan Perda
No. Aturan Penjelasan
1. Asas dan Tujuan (1) Pencegahan Perkawinan Pada Usia
Anak berasaskan:
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi
anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan, dan
penghargaan terhadap pendapat
anak;
d. Partisipasi.
(2) Pencegahan Perkawinan Pada Usia
Anak bertujuan untuk:
a. Mewujudkan perlindungan anak dan
menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan;
b. Mewujudkan anak yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera;
c. Mencegah terjadinya tindakan
kekerasan terhadap anak;
d. Mencegah terjadinya tindakan
kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT);
e. Meningkatkan kualitas kesehatan
ibu dan anak;
f. Mencegah putus sekolah;
g. Menurunkan angka kematian.
2. Sasaran dan Ruang Lingkup Sasaran dalam Peraturan Daerah ini
ditujukan untuk anak, orang tua,
keluarga, masyarakat dan seluruh
pemangku kepentingan.
Ruang lingkup dari Peraturan
Daerah ini meliputi:
a. Upaya Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak;
b. Penguatan kelembagaan;
c. Upaya pendampingan dan
pemberdayaan bagi anak yang
melakukan Perkawinan pada
usia anak, dan bagi orang tua,
keluarga dan masyarakat;
d. Pengaduan;
e. Kebijakan, strategi dan
program;
f. Monitoring dan evaluasi;
g. Pembiayaan.
3. Upaya Pencegahan Pencegahan perkawinan pada usia anak
Perkawinan Pada Usia Anak dilakukan oleh :
a. Pemerintah daerah;
b. Orang tua;
c. Anak;
d. Masyarakat; dan
e. Pemangku kepentingan.
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, maka akan
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, akhir-akhir ini banyak berita
bermunculan mengenai perkawinan anak dibawah umur. Mengingat banyaknya
permasalahan terkaitperkawinan anak di bawah umur yang disebabkan oleh beberapa
faktor yang melatarbelakangi, diantaranya adalah karena faktor pergaulan bebas yang
dapat mengakibatkan anak hamil diluar nikah, sehingga terpaksa anak tersebut harus
menikah di umurnya yang belum memenuhi syarat dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, hal itu disebabkan karena kurangnya pengawasan, perhatian, serta kasih
sayang yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Selain itu juga dapat terjadi karena
faktor ekonomi atau kemiskinan. Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan
bahwa dengan menikahkan anaknya,meskipun anakyang masih di bawah umurakan
mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban
ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya
pernikah anaknya yang masih dibawah umur.
Kondisi diatas sangat berbenturan dengan isi dari UU No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtanga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan YangMahaesa. Salah satunya persyaratan untuk
melangsungkan perkawinan, yakni dengan umur minimal 19 tahun untuk laki-laki dan
16 tahun untuk perempuan. Adapun tujuan ditentukannya usia minimal ini adalah guna
menjaga kesehatan suami–isteri dan keturunan (Penjelasan Pasal 7 ayat (1), Undang-
Undang Perkawinan). Ketentuan ini diadakan ialah untuk menjaga kesehatan suami istri
dan keturunan, dan karena itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk
perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan.
Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam Pasal 26
ayat 1 butir UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan
diusia anak-anak.
Anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari
aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak
pendidikan,hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya
adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa. Satu hal yang juga harus menjadi
perhatian bersama adalah mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam
memberikan hak pendidikan, hak tumbuh kembang, hak bermain, hak mendapatkan
perlindungan dari kekerasan, segala bentuk eksploitasi, dan diskriminasi.
Untuk itu harus adanya pencegahan perkawinan a n a k yang masih dibawah
umur. Hal itu dilakukan dengan cara menentukan batas umur untuk melaksanakan
perkawinanya itu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Bahkan dianjurkan
perkawinan itu dilakukan pada usia sekitar 25 tahun bagi pria dan 20 tahun bagi wanita.
Landasan filosofis pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan
Anak Kabupaten Lampung Timur pada dasarnya merupakan upaya agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Disamping itu, perkawinan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan.Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, serta meminimalisir terjadinya
pelanggaran terhadap hak anak, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh
berkembang sesuai dengan usianya. Landasan sosiologis pembentukan Peraturan
Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur pada
dasarnya adalah bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini berfungsi sebagai upaya bagi
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk membentuk pola pikir masyarakat
terhadap pentingnya pencegahan terhadap Perkawinan Anak, serta mengupayakan
perlindungan terhadap hak-hak anak. Secara yuridis, pembentukan Peraturan Daerah
tentang Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur pada dasarnya
mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur
Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Di Kabupaten
Lampung Timur. Selain itu, juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan turunannya sebagai dasar kewenangan
dalam melakukan regulasi dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Pencegahan
Perkawinan Anak di Kabupaten Lampung Timur.
Sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten
Lampung Timur yang akan dituangkan dalam materi pokok Peraturan Daerah ini,
meliputi: upaya pencegahan perkawinan pada usia anak, penguatan kelembagaan yang
ada di masyarakat, upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi anak-anak yang
terlanjur melakukan perkawinan pada usia dini, pengaduan jika adanya pemaksaan
perkawinan anak, kebijakan, strategi serta program dalam upaya pencegahan
perkawinan anak.
B. Saran
Dengan dibentuknya Naskah Akademik ini, disarankan pemerintah Kabupaten
Lampung Timur untuk dapat mempertimbangkan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Lampung Timur menjadi Peraturan Daerah
Kabupaten Lampung Timur guna menjamin kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan dalam pelaksanaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk itu,
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur harus mengkaji lebih lanjut dan mempersiapkan
produk hukum daerah berupa Peraturan ataupun Keputusan Bupati untuk mendukung
keberlakuan teknis peraturan daerah ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amnawaty. 2009. Hukum dan Hukum Islam. Bandar Lampung : Universitas Lampung.
Ghozali, Abdul Rahman dan Fiqh Munakahat. 2003. Hukum Perkawinan. Jakarta :
Prenada Media Group.
Hamid, Andi Tahir. 2005. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan
Bidangnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Hart, H.L.A. 2009. Konsep Hukum (The Concept Of Law). Bandung : Nusamedia.
Indrati, Maria Farida. 2002. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta : Rajawali Pers.
Koro, H.M.Abdi. 2012. Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia
Muda dan Perkawinan Siri. Bandung : PT Alumni.
Mardani, 2017, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group.
Muzdhar, H.M. Atho’ dan Khairuddin Nasution. 2003. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, Jakarta : Ciputat Press.
Nonet, Phillipe dan Philip Selznick. 2003. HukumResponsif: Pilihan di Masa Transisi
(terjemahandari “Law & Society in Transition: Toward Responsive Law”).
Jakarta : HuMa.
Riawan, Tjandra W, dan Kresno Budi Darsono. 2009. Legislative Drafting :teori dan
tenik pembuatan peraturan daerah, Yogyakarta : UniversitasAtma Jaya.
Sidharta, Arief. 2010. Ilmu Hukum Indonesia. Bandung : Fakultas Hukum Universitas
Katolik Para hyangan.
Suherman, Ade Maman. 2010. Penjelasan Hukum tentang Batasan umur Kecakapan
dan Kewenangan bertindak Berdasarkan Batasan Umur. Jakarta : National Legal
Reform Program.
Susanto, Anthon F. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Syaukani, Imam dan Ahsin Thohari. 2008. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Vlies, I.C. Van der. 2007. Handboek Wetgeving (Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-Undangan). Jakarta : Dirjen Peraturan Perundang-Undangan
DEPKUMHAM RI.
Yuswanto dkk. 2015. Hukum Keuangan Negara, Bandar Lampung : Justice Publisher.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Kabupaten
Layak Anak
C. Sumber Lainnya
Joint statement by U.N. human rights experts to mark the first International Day of the
Girl Child,October 11, 2012.
http://www.koalisiperempuan.or.id/2014/12/22/pernyataan-hari-kebangkitan-
perempuan/, Diakses 19 April 2019.
PSKK UGM – Perkawinan Anak di Indonesia, diunduh pada hari Selasa tanggal 26
Maret 2019
Puslitbang – BKKBN, diakses pada hari Jumat tanggal 29 Maret 2019
LAMPIRAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
NOMOR .... TAHUN 2019
TENTANG
dan
MEMUTUSKAN:
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. Non Diskriminasi;
e. Partisipasi.
BAB III
BAB IV
UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK
Pasal 4
Pencegahan perkawinan pada usia anak dilakukan oleh :
a. Pemerintah daerah;
b. Orang tua;
c.Anak;
d. Masyarakat; dan
e.Pemangku kepentingan.
Pasal 5
(1)Pemerintah Daerah merumuskan dan melaksanakan
kebijakan dalam upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
dengan mensinergikan kebijakan mewujudkan kabupaten
layak anak dan mempertimbangkan kearifan lokal;
Pasal 6
(1)Orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya Perkawinan
Pada Usia Anak dengan cara :
Pasal 7
Setiap anak berperan dalam melakukan upaya-upaya
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dengan cara antara lain :
Pasal 8
(1)Kewajiban Masyarakat dan Pemangku Kepentingan dalam
upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dilaksanakan
dengan melibatkan psikolog anak, konselor, organisasi
kemasyarakatan, akademisi dan pemerhati anak.
(2)Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
berperan aktif dalam program dan kegiatan Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
(3)Masyarakat meliputi perorangan, keluarga, kelompok, organisasi
sosial, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi
dan organisasi kemasyarakatan.
(4)Masyarakat dan Pemangku Kepentingan berkewajiban berperan
serta dan atau berpartisipasi aktif dalam mencegah Perkawinan
Pada Usia Anak baik secara perseorangan maupun kelompok.
(5)Peran Masyarakat dapat dilakukan oleh orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan
sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa dan dunia usaha;
(6)Peran Masyarakat dilakukan dengan cara antara lain :
a. Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi
terkait dengan peraturan perundang-undang tentang anak;
b. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang
terkait upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak;
c. Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi
pemaksaan Perkawinan Pada Usia Anak;
d. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi
sosial bagi anak yang menikah pada usia anak;
e. Peran aktif masyarakat dapat melalui lembaga-lembaga
pemerhati anak antara lain yaitu Gugus Tugas Kabupaten Layak
Anak, Gugus Tugas Desa Ramah Anak, FPK2PA dan P2TP2A;
f. Masyarakat dapat menyelenggarakan kesepakatan bersama
dan atau deklarasi Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak
bersama dengan Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku
kepentingan; dan Peran serta masyarakat dalam Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak dilakukan dengan semangat
kepentingan terbaik bagi anak, kekeluargaan dan kearifan lokal.
BAB V
PENGUATAN KELEMBAGAAN
Pasal 9
(1) Penguatan kelembagaan dalam upaya Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak dilaksanakan melalui kerjasama dan koordinasi antara :
a. Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak;
b. Gugus Tugas Kecamatan Layak Anak;
c. Gugus Tugas Desa Ramah Anak;
d. Sekolah dan atau Lembaga Pendidikan;
e. Forum Anak;
f. Sanggar Anak;
g. FPK2PA Kabupaten;
h. FPK2PA Kecamatan;
i. P2TP2A Kabupaten;
j. Organisasi kemasyarakatan, Keagamaan dan Lembaga
Adat;
k. Organisasi perempuan; dan
l. Lembaga-lembaga lain yang peduli pada pemenuhan hak
anak dan perlindungan anak.
(2)Penguatan Kelembagaan dilakukan dalam bentuk sosialisasi,
koordinasi, fasilitasi dan sinergi program;
(3)Koordinasi Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak melibatkan
seluruh pemangku kepentingan di daerah;
(4)Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dalam rangka mensinergikan program dan
meningkatkan ketetapan sasaran.
BAB VI
UPAYA PENDAMPINGAN DAN PEMBERDAYAAN
Pasal 10
Upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi anak yang melakukan
Perkawinan Pada Usia Anak dan bagi Orang Tua, Keluarga serta
masyarakat dilakukan dengan cara antara lain:
BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 11
(1) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang mempunyai
tugas dan fungsi di bidang Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak;
(2) Dalam rangka pelaksanaan monitoring dan evaluasi program dan
kegiatan Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak, Pemerintah
Daerah membangun sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu;
(3) Pemerintah Daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi
serta menyusun laporan pelaksanaan kegiatan Pencegahan
Perkawinan Pada Usia Anak dilakukan secara berkala dan
berjenjang dari Tingkat Kabupaten, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan.
BAB VII
PENGADUAN
Pasal 12
(1) Setiap orang yang melihat, mengetahui dan atau mendengar
adanya pemaksaan perkawinan pada usia anak, dapat
menyampaikan pengaduan secara langsung atau tidak langsung ;
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2),ditujukan kepada P2TP2A dengan menyertakan identitas;
(3) P2TP2A, berkewajiban menindaklanjuti pengaduan paling lambat
tujuh hari, sejak menerima pengaduan, dengan melakukan
pemilahan materi pengaduan;
(4) Apabila dianggap perlu P2TP2A dapat meminta verifikasi dan
meminta keterangan dari para pihak.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 13
(1) Pembiayaan program dan kegiatan Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang dianggarkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
(2) Pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan pada
usia anak yang dilakukan oleh Pemerintah Desa yang dianggarkan
dalam Anggaran Pendadapatan dan Belanja Desa.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Sukadana
Pada tanggal 2019
Chusnunia Chalim
Diundangkan di Sukadana
Pada tanggal 2019
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
NOMOR ... TAHUN 2019
TENTANG
PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK
I. UMUM
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pasal 14
Cukup Jelas