Anda di halaman 1dari 6

1.

Metode-metode dalam advokasi kebijakan dan faktor penentu keberhasilannya


serta metode yang menurut saya paling efektif di Indonesia.

Menurut World Health Organization dalam bukunya Cancer Control Knowledge into
Action : Policy and Advocacy ( 2008), terdapat beberapa cara atau metode dalam
melakukan advokasi kebijakan :
a. Lobi Politik (Political Lobbying)
Lobi politik adalah jenis dari komunikasi interpersonal atau wawancara tatap muka
antara orang yang mengadvokasi (Advokat) dengan stakeholders dimana terjadi
tawar-menawar kepentingan antar kedua pihak. Lobi politik banyak digunakan untuk
dalam mengadvokasikan kebijakan publik karena prosesnya lebih cepat dibanding
metode yang lain dan bisa langsung mengarah pada policy maker yang dituju. Dalam
lobi politik, pengenalan terhadap sasaran yang mendalam (nilai kepentingannya,
kebiasaannya, hobinya sampai kelemahannya dan lain-lain) serta kepentingan dan
feedback terhadap policy maker merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
keberhasilan lobi. Sayangnya lobi politik sebenarnya masih bersifat legal di
Indonesia, namun sebenarnya penerapannya sudah banyak dilakukan. Contoh
political lobbying adalah
b. Persentasi atau Seminar (Persentations at professional, conferences, public
gathering)
Persentasi atau seminar direkomendasikan untuk mengadvokasi isu/kebijakan kepada
beberapa policy makers (pejabat publik), baik dari suatu institusi tertentu dan/atau
dari berbagai institusi berbeda yang berkaitan dengan isu/kebijakan yang ingin
diadvokasikan dalam konferensi dan pertemuan-pertemuan publik. Dalam metode
advokasi persentasi atau seminar, jumlah dan kualitas data di lapagan serta
kemampuan penyajian data sangat berpengaruh terhadap hasil dari persentasi atau
seminar untuk mengambil trust policy makers. Contoh Persentasi atau seminar adalah
persentasi yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat (Akademisi, NGO,
Swasta, Pemerintah) di Indonesian Development Forum oleh BAPPENNAS.
c. Advokasi Media
Penggunaan media massa secara strategis dapat mendorong terjadinya kebijakan
publik atau sosial (USA National Cancer Insitute, 1989). Wallack (1994)
berpendapat bahwa media massa sebagai power gap, karena media dapat
menginformasikan suatu masalah yang terjadi kepada publik, sehingga publik akan
terdorong menciptakan social change dalam berbagai macam bentuk. Media dalam
advokasi juga digunakan sebagai alat politik dalam memframing isu dan membentuk
persepsi kelompok masyarakat. Bagaimana memframming isu, jumlah audiens,
penyampaian isu, dan popularitas media yang dipakai sangat mementukan
keberhasilan advokasi yang dilakukan. Contoh : Advokasi kasus Bullying/
Perundungan Audrey melalui media massa..
d. Campaign
Kampanye adalah metode dalam advokasi kebijakan dengan cara public speaking
terhadap isu yang diangkat untuk menghasilkan tanggapan dari masyarakat luas.
Kampanye biasanya dilakukan menggunakan massa dalam jumlah besar dan waktu
yang cukup lama sampai pada policy makers. Campaign sangat dipengaruhi oleh isu
yang dikampanyekan pada publik, dalam artian apakah isu yang dibawa berpengaruh
besar pada publik serta orang yang mengkampanyekan sebuah isu. Apabila yang
melakukan campaign adalah artis/influencer kemungkinan keberhasilannya akan
lebih besar. Contoh advokasi dengan campaign adalah kampanye tidak menggunakan
sedotan plastik untuk menjaga lingkungan.
e. Negosiasi
Negosiasi merupakan teknik advokasi yang dimaksudkan untuk meghasilkan
kesepakatan. Dalam hal ini pihak yang bernegosiasi menyadari bahwa masing-
masing pihak mempunyai kepentingan yang sama yang perlu diamankan sekaligus
kepentingan yang berbeda/bertentangan yang perlu dipertautkan. Dalam negosiasi
diperlukan kemampuan untuk melakukan tawar menawar dengan alternatif yang
cukup terbuka sebagai keberhasilan dari advokasi.
f. Petisi
Petisi atau resolusi merupakan salah satu teknik advokasi dengan membuat
pernyataan tertulis. Keberhasilan petisi akan lebih besar tekanannya apabila
merupakan hasil dari musyawarah/rapat dan tanda tangan dengan jumlah massa yang
besar (kuantitatif dan kualitatif). Contoh petisi di era teknologi sekarang adalah
Change.org
g. Policy Brief
Policy Brief adalah laporan singkat yang berisi rekomendasi-rekomendasi kebijakan
untuk menangani sebuah masalah. Policy brief ditujukan untuk para policy makers
agar dapat dibaca langsung tanpa membebani mereka membaca laporan yang banyak.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan advokasi menggunakan policy brief adalah
dramatisasi masalah dan data yang digunakan (evidence based).

Selain itu masih ada beberapa metode lain dalam advokasi kebijakan seperti dalam buku fisher
(2000), Enabling Settlement : Confidence Building, Facilitating dialogue, Negotiation,
Mediation, dan Abritation.

Menurut saya metode yang saat ini paling efektif digunakan di Indonesia adalah
Advokasi Media. Dalam framework advokasi jelas bahwa peran media massa sangat penting
dalam pembentukan opini (Wallack, 1994). Dalam struktur masyarakat sekarang, hampir seluruh
stakeholder advokasi hingga policy makers memiliki akses kepada media ini, sehingga
peranannya menjadi sentral. Contohnya pada kasus perundungan atau bullying yang dialami oleh
Audrey. Kasus tersebut menjadi viral karena di blowing up di media massa instagram dan
berhasil mencuri perhatian publik karena framming kasus tersebut membuat Audrey seolah-olah
menjadi korban yang sangat malang. Kasus bullying Audrey tersebut kemudian sampai ke
Hotman Paris selaku (lawyer dan influencer) kemudian kembali di blowing up dan
diadvokasikan kepada Presiden Jokowi. Tak lama setelah itu kasus perundungan yang dialami
Audrey di dengar oleh Presiden dan kemudian Presiden membuat press release dengan menolak
segala bentuk bullying pada anak.
2. Mengapa konflik kebijakan masih sering terjadi dan efektivitas upaya resolusinya.

Secara empiris, konflik telah menjadi “The Order Of The Day” karena watak alamiah
manusia yang selalu berbeda, bahkan bertentangan, dalam memperjuangkan motif alamiah dasar
yaitu, survavilitas. Jika dilihat dari perspektif konflik, kebijakan publik dapat dipahami sebagai
instrumen otoritatif untuk mengelola berbagai kepentingan sekaligus mengalokasi nilai dan atau
sumberdaya yang terbatas. Konsepsi semacam ini mengandung makna bahwa kebijakan publik
selalu memiliki potensi konflik dan tidak dapat terlepas dari konflik. Dalam konteks inilah state
hadir sebagai penengah yang menyiapkan dan atau bekerja berdasarkan “level playing field”
untuk mengelola berbagai perbedaan dan pertentangan yang ada melalui berbagai instrumen
otoritatifnya (Swastyasti, 2015).

Selain itu, kebijakan publik sebagai instrumen pengelolaan konflik seringkali menjadi salah
satu pangkal persoalan yang memicu konflik pada ruang konflik. Hal tersebut karena adanya
benturan nilai dalam pengambilan keputusan diantara para aktor politik berdasarkan orientasi
nilai dan kepentingan yang berbeda. Contohnya adalah dalam kasus blok Masela dimana banyak
stakeholders kebijakan yang terlibat dengan orientasi nilai dan kepentingan yang berbeda dan
atau bertentangan. Selain itu, waktu dalam resolusi konflik kasus ini yang cukup banyak. Inti
dari kasus Blok Masela sebenarnya berkutat pada konflik nilai yang terjadi antara pemangku
kebijakan terhadap nilai-nilai yang ada didalam kebijakan publik good governance terlibat
dengan orientasi nilai dan kepentingan yang berbeda dan atau bertentangan. Selain itu
kepentingan-kepentingan antara negara dan masyarakat terkadang bias sehingga makna dari
kepentingan publik menjadi tidak sama. Contohnya adalah kasus semen di kendeng,
pembangunan bandara di NYIA, pembatasan internet, dll. Kasus tersebut menyebabkan konflik
yang akan terus-menerus terjadi (bolivar, 2016).

Jika dilihat melalui kasus-kasus diatas, upaya efektivitas resolusi konflik perlu
mempertimbangkan cost, time, dan resource yang ada. Upaya resolusi konflik yang efektif
haruslah dapat bersimbiosis mutualisme dengan mengakomodir kepentingan bersama. Sistem
manajemen konflik juga harus saling terintegrasi. Selain itu upaya resolusi konflik memerlukan
pemahaman mengenai dimensi-dimensi dalam konflik itu sendiri, antara lain:9 1. Cakupan
konflik, yaitu pihak-pihak yang berkonflik, wilayah dan level. 2. Intensitas konflik, yaitu sejauh
mana tingkat urgensi dan kepentingan konflik. 3. Keterbukaan, yaitu sampai dimana konflik
diketahui oleh publik.
Referensi

bolivar, S. (2016). Memahami Konflik Nilai dalam Proses Kebijakan Publik, Studi Kasus: Blok Masela
Provinsi Maluku 2016. Retrieved from Sosial Budaya:
https://www.kompasiana.com/simonmanalu/56f47cf4b99373d80d863f5e/memahami-konflik-
nilai-dalam-proses-kebijakan-publik-studi-kasus-blok-masela-provinsi-maluku-2016?page=all

Swastyasti. (2015). ANATOMI KONFLIK KEBIJAKAN PENAMBANGAN PASIR BESI DI PESISIR SELATAN
KABUPATEN. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wallack. (1994). Media Advocacy : A strategy for empowering people and communities. Journal of Public
Health Policy, 420-436.

WHO. (2008). Cancer Control Knowledge into Action Who Guide for Effective Programmes : Policy and
Advocacy. Geneva: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai