Anda di halaman 1dari 9

NAMA : AFIATUL HIDAYAH

NIM : 031081978

JURUSAN : ILMU ADMINISTRASI BISNIS

TUGAS 1 KARYA ILMIAH (ADBI4560)

Tugas 1

Silahkan kirimkan draf artikel yang memuat

1) Judul;

2) Pendahuluan: Latar belakang masalah; dan tujuan penulisan!

 
PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PENYESUAIAN
PERKAWINAN PADA PASANGAN USIA DINI

NAMA : AFIATUL HIDAYAH

NIM : 031081978

PROGRAM STUDI : ILMU ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL, DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TERBUKA

UPBJJ BATAM – KEPULAUAN RIAU

2021
ABSTRAK

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum mempelai berusia 18 tahun. Selain
memunculkan risiko kesehatan bagi perempuan, pernikahan dini juga berpotensi memicu
munculnya kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang Republik
Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 6 mengatur batas minimal usia untuk menikah di mana
pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 tahun. Akan tetapi dari sisi medis dan psikologis, usia tersebut masih terbilang
dini untuk menghadapi masalah pada pernikahan. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan
bahwa pernikahan dini di usia remaja lebih berisiko untuk berujung pada perceraian.Pernikahan
usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah umur merupakan salah satu
fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di
perdesaan. Menurut berita RRI (2014), baik kalangan menengah keatas maupun menengah
kebawah.Di daerah perkotaan sebanyak 21,75% anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah
dinikahkan. Di pedesaan, angkanya jauh lebih besar yaitu 47,79%, yang menampakkan
kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya
menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus
meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya
di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah. Pernikahan usia dini
masih menjadi masalah serius di negeri ini, dan semakin hari makin banyak remaja perempuan
yang menikah di bawah umur.Menurut berita RRI (2014) terjadinya pernikahan dini juga
mempengaruhi tingginya angka perceraian dan mayoritas kaum perempuan yang mengajukan
permohonan untukbercerai.Perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara
pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai suami-istri.Perceraian bisa terjadi dikarenakan masalah dalam penyesuaian perkawinan
yang biasanya dialami oleh keluarga baru atau pada pasangan yang menikah dini.Hal ini
dibuktikan dengan penelitian Tilson dan Larren (2000) bahwa hasil analisis ini menunjukkan
bahwa kedua variabel antara pernikahanusia dinidan pasangan yang mempunyai anak
memilikidampak yang signifikan terhadap risiko perceraian. Tetapi dengan memiliki anak dalam
pernikahan pertama secara signifikan mengurangi risiko perceraian.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut WHO,pernikahan dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan
atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia
19 tahun. Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa pernikahan
usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang dilakukan
sebelum usia 18 tahun. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa
pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Apabila masih di bawah umur tersebut, maka dinamakan
pernikahan dini.Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan institusi
agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.
Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa,
dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala bidang. Mereka bukan lagi
anak-anak, baik bentuk badan, sikap,dan cara berfikir serta bertindak,namun bukan pula orang
dewasa yang telah matang.

Fenomena pernikahan diusia dini masih sangat tinggi, hal tersebut terlihat berdasarkan data
SUSENAS (Kemenpppa, 2018) pada tahun 2018 sekitar 39,17% atau 2 dari 5 anak pernah
melakukan pernikahan sebelum usia 15 tahun, sekitar 37,91% menikah diusia 16 tahun dan
22,92% menikah diusia 17 tahun dan berdasarkan laporan UNICEF (Kemenpppa, 2018)
Indonesia merupakan negara dengan angka perikahan anak tertinggi ketujuh di dunia yaitu
sebesar 457,6 ribu perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 15 tahun.
Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk
melaksanakan pernikahan (Nukman dalam Puji Lestari, 2009). Menurut Riyadi (2010),
pernikahan dini adalah pasangan suami istri yang masih sangat muda dan belum memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam melakukan pernikahan.Pernikahan dini
sendiri adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih
dikategorikan remaja yang berusia dibawah 19 tahun. Menurut Zainul Anwar (2016),pernikahan
usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh usia dini antara laki-laki dengan perempuan
yang mana usia mereka belum ada 20 tahun, berkisar antara 17-18 tahun.
Menurut Rice & Dolgin (2008) suami istri yang masih berusia remaja, belum bisa bertanggung
jawab terhadap diri mereka sendiri. Dengan adanya perkawinan, mereka dituntut untuk
bertanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga terhadap perkawinan, pasangan dan

anak-anaknya. Akibat minimnya tanggung jawab dari pasangan suami istri remajatersebut adalah
campur tangan pihak keluarga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut perkawinan
mereka.
Masalah besar yang juga dihadapi oleh pasangan suami istri remaja adalah terlalu cepatnya
mereka harus mengemban tugas sebagai orang tua menjadikan hilangnya kebebasan mereka
untuk keluarga bergaul dengan teman sebaya. Dari sisi perkembangan dimana tugas-tugas remaja
harus berlangsung saat itu pula tidak akan terpenuhi. Banyak dari pasangan suami-istri muda
yang memiliki anak setelah setahun melalui usia perkawinan, kendati mereka belum siap dalam
menghadapi tugas untuk merawat anak-anak. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa 50% perceraian terjadi pada pasangan yang menikah usia dini. Dengan
semakin tingginya angka pernikahan dini baik yang berada dikota maupun pedesaaan, akan
membuat angka perceraian yang tinggi. Alasan mengapa pasangan dini melakukan perceraian
adalah karena kurangnya penyesuaian perkawinan. Remaja sulit untuk menyesuaikan diri dalam
pernikahan karena kurang matangnya emosi sehingga membuat pasangan dini sulit untuk
menyesuaiakan perkawinan mereka. Peneliti ingin melakukan penelitian apakah ada Pengaruh
Kematangan Emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah muda.
Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui apakah ada pengaruh Kematangan emosi terhadap
penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah muda. Adapun manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah Mencegah banyaknya perceraian yang dilakukan pasangan dini.

Menurut Hurlock (2010), penyesuaian pernikahan adalah proses adaptasi suami dan istri, dimana
suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik
melalui proses penyesuaian pernikahan, sekaligus upaya untuk mencapai keberhasilan dalam
interaksi dengan orang lain dan lingkungannya, manusia diharapkan dapat mengerti dan
memahami orang lain. Sedangkan pernikahan menurut Duvall dan Miller (2015) adalah
hubungan pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual,
penguasaan dan hak mengasuh anak serta menetapkan pembagian tugas masing-masing sebagai
suami dan istri. Penyesuaian dalam pernikahan adalah suatu proses yang bergerak secara
kontinum dan sebagai cara untuk menilai suatu pernikahan (Spanier, 2013). Sedangkan menurut
Laswell (Sulistya, 2009) berpendapat bahwa konsep penyesuaian pernikahan mengandung dua
pengertian yang tersirat,yaitu adanya hubungan mutualisme (saling menguntungkan) antara
pasangan suami istri untuk memberi dan menerima (menunaikan kewajiban dan menerima hak),
serta adanya proses saling belajar antara dua individu untuk mengakomodasi
kebutuhan,keinginan dan harapannya dengan kebutuhan,keinginan dan harapan dari
pasangannya.

Di Indonesia sendiri, Pemerintah telah meresmikan bahwa usia minimal pernikahan bagi laki-
laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang No 16
Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Lantas, dengan diterbitkannya peraturan tersebut, mengapa masih banyak yang seolah
mewajarkan dan membiarkan pernikahan dini tetap terjadi? Menurut Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tercatat bahwa perkawinan anak di Indonesia
pada tahun 2020 mencapai angka 10,19 persen. Namun, sebenarnya angka tersebut telah
mengalami penurunan, walaupun memang tidak signifikan, dari yang tercatat di tahun 2017, di
mana perkawinan anak berada di angka 11,54 persen. Padahal pernikahan dini merupakan salah
satu bentuk kekerasan terhadap anak. Namun, masih banyak orang yang menganggap bahwa jika
pernikahan dini dilaksanakan, maka akan membawa kehidupan yang lebih baik dan layak. Jika
ditelisik lebih jauh lagi, pernikahan dini justru dapat menimbulkan kerugian, terutama bagi pihak
perempuan.
Banyak orang yang melaksanakan pernikahan dengan tujuan untuk memiliki keturunan. Hal
tersebut tentu bukanlah hal yang salah. Setiap pasangan berhak untuk menentukan keputusan
yang dianggap baik bagi mereka ke depannya. Namun, apa yang terjadi jika kehamilan terjadi di
usia yang masih belia? Kehamilan dini cenderung memiliki risiko yang tinggi, salah satunya
adalah kelahiran prematur. Hal tersebut dapat terjadi karena rahim belum sepenuhnya siap.
Kondisi tersebut tentu akan sangat membahayakan ibu dan janin, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Selain itu, kondisi psikologis anak usia dini yang masih labil juga dikhawatirkan akan
memberikan dampak yang buruk dalam pernikahan. Emosi yang menggebu-gebu dan pemikiran
yang masih ingin bebas layaknya anak seumurannya, dapat membawa petaka ke dalam
pernikahan. Adu argumen pun tak dapat dihindari. Semuanya hanya akan berakhir dalam
kekacauan jika tidak ada yang berusaha mengalah dan menekan egonya.
Masih ada lagi dampak buruk dari pernikahan dini ini. Pernikahan dini juga akan memberikan
dampak buruk dalam pendidikan. Dikhawatirkan, pasangan yang menikah dini akan mengalami
ketertinggalan dalam dunia pendidikan yang diakibatkan oleh pernikahan yang dilakukannya.
Efeknya, pengetahuan yang dimiliki pun akan terbatas karena terhambatnya proses pendidikan
ini. Masa muda yang diharapkan akan dipenuhi dengan belajar dan bersenang-senang demi masa
depan serta harapan untuk dapat memperbaiki perekonomian bagi sebagian orang, malah harus
dibebani dengan urusan rumah tangga.
Yang tak kalah menakutkan adalah perceraian yang harus dihadapi oleh pasangan usia belia yang
diakibatkan karena belum siapnya secara mental bagi mereka untuk menjalani kehidupan
berumah tangga. Pernikahan bukanlah hal yang mudah. Akan ada banyak tantangan dan
rintangan yang akan dihadapi di dalamnya. Lalu, jika pasangan belum siap untuk menghadapi
masalah dan belum bisa berpikir dewasa, bukan tidak mungkin perceraian dapat menjadi jalan
yang ditempuh. Pernikahan bukanlah hal yang mudah. Perlu banyak pertimbangan baik dalam
hal psikologis, fisik, maupun finansial yang perlu diperhatikan. Orang dewasa pun masih banyak
yang terseok kehidupan rumah tangganya, apalagi anak-anak yang masih belum stabil
kondisinya. Pendampingan dari orang tua dan edukasi yang mudah dijangkau oleh semua
kalangan diharapkan dapat mengurangi angka pernikahan dini di Indonesia.

Menyadari masih memiliki waktu yang panjang, masih banyak cita-cita yang perlu digapai, dan
berusaha untuk memperbaiki kualitas diri agar mendapatkan pasangan yang berkualitas juga
perlu ditanamkan dalam diri anak agar terhindar dari pernikahan dini. Orang tua tidak
sepantasnya menganggap bahwa anak adalah beban dan berusaha untuk melepas tanggung jawab
dengan menikahkan anaknya di usia belia. Sebagai orang tua, sudah selayaknya dan sepatutnya
untuk berusaha untuk bertanggung jawab dan memenuhi segala kebutuhan buah hatinya. Dengan
itu, anak pun pantas untuk menjalani kehidupan yang layak dan menggapai mimpi yang telah
dirancang oleh mereka.
B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan kematangan


emosi dengan penyesuaian diri terhadap pasangan pada perkawinan usia muda.

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat serta
memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan yang berguna dalam
bidang Psikologi, khusunya psikologi perkembangan dan psikologi sosial, terutama
mengenai kematangan emosi dengan penyesuaian pernikahan pada pasangan usia dini.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pasangan Usia Dini
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai
pentingnya kematangan emosi dalam penyesuaian pernikahan usia dini.
b. Bagi Lembaga/Instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai evaluasi atau acuan bagi
instansi/lembaga terkait dalam mengkaji ulang aturan terkait batasan usia perkawinan
melihat bahwa telah banyak dari berbagai kalangan agar aturan tentang usia pernikahan
tersebut direvisi karena tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan kajian dan
penelitian dengan pokok permasalahan yang sama serta sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya dengan tema yang sama.
Sumber Referensi :

http://eprints.umm.ac.id/34239/1/jiptummpp-gdl-shellalyan-43788-1-pengaruh-a.pdf

http://eprints.umm.ac.id/43744/1/jiptummpp-gdl-selysuryan-49782-1-skripsi.pdf

https://jokawinbocah.id/ini-alasan-pernikahan-dini-tidak-disarankan/

Anda mungkin juga menyukai