Anda di halaman 1dari 5

Pernikahan usia dini disebabkan banyak factor.

Faktor internal terdiri dari pendidikan, pengetahuan


responden, dan agama. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua,
social ekonomi keluarga, wilayah/tempat tinggal, kebudayaan, pengambilan keputusan, akses informasi,
pergaulan bebas.

Faktor tertingginya adalah kemisikinan, pendidikan rendah, kemudian anggapan bahwa menikah adalah
sumber rezeki untuk mendapatkan uang. Anggapan bahwa menikah bisa menjaga nama baik dan
kehormatan keluarga. Selain itu dari segi kesehatan fisik, kehamilan di usia sangat muda sangat berisiko.
Pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia dibawah kesesuaian aturan
yang berlaku. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan
apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Pernikahan dini kerap terjadi dimana mana. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh
Nelwan (2001) di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang menemukan bahwa pernikahan dini di
usia 15-18 tahun disebabkan karena:

1.    Kondisi ekonomi yang serba kekurangan

2.    Desakan orang tua agar aman dari pergaulan bebas

3.    Adanya sistem budaya

Persepsi masyarakat sekitar mengenai menikah di usia muda dapat berbeda beda. Ada yang
menganggap hidup berumah tangga lebih nikmat serta khawatir anaknya menjadi ‘perawan tua’
atau ‘bujang tak laku’. Hal tersebut tentu menyebabkan sebagian anak ingin segera menikah dan
orang tua mendukung pernikahan muda tersebut. Padahal pernikahan dini dapat menyebabkan
berbagai dampak seperti:

1.    Dampak terhadap kesehatan jasmani

Kondisi rahim wanita yang masih terlalu dini dapat menyebabkan kandungan lemah dan sel telur
masih belum sempurna sehingga kemungkinan anak akan lahir secara prematur maupun cacat.

2.    Dampak terhadap psikologis

Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai adanya gejolak emosi yang tidak stabil dan juga
dikenal sebagai masa pencairan identitas diri. Kondisi jiwa yang tidak stabil akan berpengaruh
pada hubungan suami istri, akan banyak konflik yang terjadi dan mengakibatkan perceraian jika
masing-masing individu tidak dapat mengendalikan diri.

3.    Dampak terhadap perkembangan anak

Dari emosi yang tidak stabil akan berpengaruh pada pola asuh orang tua pada anaknya, padahal
dalam perkembangannya anak membutuhkan lingkungan keluarga yang tenang, penuh harmonis,
serta stabil sehingga anak merasa aman dan berkembang secara optimal.

4.    Dampak terhadap sikap masyarakat

Memutuskan untuk menikah berarti harus siap dengan mengalami perubahan dari segi sosial
akibat adanya hak dan kewajiban sebagai istri atau suami dan ibu atau ayah. Hal ini jelas
memiliki beban dan tanggung jawab yang tidak ringan dalam masyarakat.
Di Indonesia, fenomena pernikahan dini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan.
Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, pernikahan dini di Indonesia masih
marak terjadi dan tercatat sepanjang tahun 2021 ada 59.709 kasus Meski ada penurunan
dibandingkan tahun 2020, yaitu 64.211 kasus, namun angka tersebut masih sangat tinggi
dibandingkan pada 2019 yang tercatat ada 23.126 pernikahan dini. Selain itu, pernikahan dini
juga telah menjadi masalah global yang kompleks dan data menyebut, secara global hampir
41.000 anak perempuan dipaksa menikah setiap hari. Dilansir dari laman resmi Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pernikahan pada usia 12-21 tidak
dibenarkan oleh Undang-Undang. Idealnya, perempuan disarankan menikah di atas umur 21
tahun karena tubuh dan psikologinya dinilai lebih siap. Pasalnya, pernikahan dini akan
berdampak pada kesehatan jasmani, kesehatan, sosial hingga psikologis anak-anak perempuan
maupun laki-laki. Maka dari itu, pencegahan pernikahan dini perlu dilakukan untuk
meminimalisir banyak negatif yang diakibatkannya. Kesadaran berbagai stakeholder mulai dari
orang tua, tokoh masyarakat, dan pemerintah dapat mengubah kasus pernikahan dini dan
mengakhiri praktik negatif ini. Lalu, bagaimana cara pencegahan pernikahan dini dan apa saja
dampak menikah di usia muda? Simak penjelasannya di bawah ini. Cara Pencegahan Pernikahan
Dini
1. Menyediakan Pendidikan Formal Memadai Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki
mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan dini dapat
dicegah. Setidaknya, minimal anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum
menikah. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah
perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki
kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya
dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi
keluarga.
2. Pentingnya Sosialisasi tentang Pendidikan Seks Kurangnya informasi terkait hak-hak
reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia.
Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk
dilakukan. Hal tersebut tak lepas terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan
seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi
pasangan mereka. Penelitian Aliansi Remaja Independen pada 2016 menunjukkan bahwa 7 dari
8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengaku hamil sebelum menikah.
Padahal, kehamilan di usia dini dapat meningkatkan kemungkinan meninggal dua kali lebih
tinggi dibandingkan mereka yang hamil di usia 20-an.
3. Memberdayakan Masyarakat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Dini Orang tua dan
masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini.
Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi
negatif dari pernikahan dini. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar
membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini. Baca buku
sepuasnya di Gramedia Digital Premium
4. Meningkatkan Peran Pemerintah Cara pencegahan pernikahan dini agar tidak timbulkan
komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan
usia minimum pernikahan. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah
mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah
mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah
pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan.
5. Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender Anak perempuan lebih rentan mengalami
pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah
tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk
menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki justru lebih
dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan.
Padahal, mau perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya
dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus
ditakuti dengan stigma “jangan jadi perawan tua, nanti nggak ada laki-laki yang mau”. Dampak
Pernikahan Dini Pencegahan pernikahan dini perlu untuk terus didorong agar kasusnya terus
mengalami penurunan. Pasalnya, ada berbagai dampak pernikahan dini yang membahayakan
yaitu:
1. Gangguan Kesehatan Gangguan kesehatan akibat pernikahan dini, bisa menyebabkan
perempuan berisiko mengalami osteoporosis. Selain membuat tubuh menjadi bungkung, tulang
lebih rapuh dan mudah patah, pernikahan dini juga bisa mengakibatkan kanker mulut rahim.
2. Risiko Bayi Lahir Stunting Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang
akan terlihat lebih pendek untuk anak di usianya. Risiko tersebut dapat terjadi karena adanya
hubungan antara usia ibu saat melahirkan yang membuat potensi melahirkan bayi stunting lebih
besar.
3. Pernikahan Tidak Harmonis Menikah membutuhkan kesiapan psikologis yang matang, karena
akan ada banyak pasang-surut masalah di dalamnya. Pada kasus pernikahan dini, biasanya
pasangan belum memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Akibatnya, perceraian pada pasangan pernikahan dini sangat tinggi lantaran ketidakharmonisan
rumah tangga dan minimnya pengetahuan tentang manajemen emosi serta penyelesaian masalah.

Anda mungkin juga menyukai