Anda di halaman 1dari 8

Tugas 1 Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nama Mahasiswa : ALWI WARDANA

NIM : 043428242

Soal :

1. Jelaskan konsep dan kedudukan hukum pernikahan dini dalam Peraturan


Perundang-undangan Indonesia?

Tentang UU yang kontroversial yaitu UU pernikahan Nomor 1 tahun 1974 tentang


perkawinan dimana salah satu bunyi pasalnya adalah tentang batasan usia menikah. Usia
minimal menikah untuk laki – laki 19 tahun dan untuk perempuan adalah 16 tahun pada UU
Nomor 1 tahun 1974, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak
pada anak wanita karena dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Pelindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, batas usia dimaksud
dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi
dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya
hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang
tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Pertanya paling mendasar, sudah siapkah Indonesia untuk menerapkan UU No.16 ini jika
kita melihat fakta presentase umur pertama berhubungan seksual pada wanita dan pria
meningkat dari 59% dari hasil SDKI tahun 2012 menjadi 74% pada SDKI tahun 2017. Hal ini
juga terjadi perubahan pada umur terbanyak pada umur 18 – 19 dari SDKI tahun 2012 menjadi
umur 17 – 18 sebagai umur terbanyak pada SDKI 2017.
Hal tersebut dapat disebabkan karena pada era teknologi informasi yang maju pesat, makin
terbuka akses remaja terhadap informasi, konten pornografi, pacaran dan budaya pergaulan
bebas. Masalah tersebut dapat menimbulkan pergeseran sikap remaja termasuk terkait
pengalaman seksual. Hubungan seksual pada remaja pastinya bisa berdampak pada kehamilan
tidak diinginkan. Berdasarkan data dari SDKI Kehamilan tidak diinginkan dilaporkan oleh
wanita kelompok umur 15 – 19 dua kali leboh besar (16%) dibandingkan kelompok umur 20 –
24 (8%). Laporan kejadian kehamilan tidak diinginkan dari pria tidak beda antara perkotaan
dan pedesaan. Wanita (21%) dan pria (10%) dengan pendidikan tidak tamat SMA paling banyak
melaporkan kehamilan tidak diinginkan. Persentase wanita di perdesaan yang melaporkan
pernah mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan hampir 2 kali lebih besar (16%)
dibandingkan wanita di perkotaan (9%).

Kejadian kehamilan tidak diinginkan pada wanita lebih banyak terjadi di desa karena,
masyarakat desa cenderung lebih menerima pernikahan muda sebagai dampak dari kehamilan
tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan data Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS)
2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka
pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun
perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Hal ini
menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini banyak terjadi di desa.

Peneriman masyarakat desa terhadap pernikahan dini pada perempuan tidak terlepas dari
pandangan subordinasi pada perempuan, yaitu perempuan hanya bekerja pada sektor domestik
yang memiliki tanggung jawab untuk mengurusi rumah dan anak. Sehingga tidak ada tuntutan
untuk perempuan memiliki pendidikan yang tinggi. Akibatnya jika terdapat perempuan yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan maka akan dinikahkan karena menganggap pendidikan
tidak penting bagi perempuan. Bias gender tersebut dapat terjadi karena dominasi budaya
patriarki yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu dapat disebabkan
salah dalam pemahaman agama. Kesalahan pemahaman agama tersebut, yaitu pertama pada
umumnya umat islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan
penalaran yang kritis khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan
perempuan,kedua pada umumnya masyarakat memperoleh pengetahuan keagamaan melalui
ceramah dari para ulama yang umumnya sangat bias gender, bukan berdasarkan kajian kritis
yang mendalam terhadap sumber – sumber aslinya (Al – Qur’an dan Sunnah). Ketiga
pemahaman tentang relasi laki – laki dan perempuan dimasyarakat lebih banyak mengacu
kepada pemahaman tekstual terhapa teks – teks suci sehingga mengabaikan kontekstualnya
yang lebih egalitir dan akomodatif terhadap nilai – nilai kemanusiaan.

2. Jelaskan akibat dilakukannya pernikahan dini dari aspek biologis, psikologis, dan
ekonomi terhadap perkawinan?

Perkawinan pada usia anak merupakan masalah yang sangat serius karena mengandung
berbagai risiko dari berbagai aspek, seperti kesehatan, psikologi, dan sosiologi. Adapun usia
pernikahan wajar menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Sehingga mereka yang
melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah pernikahan nggak wajar karena usia
belum matang, organ intim dan reproduksi sedang berkembang serta mental yang masih belum
stabil.

Vice President of Life Operation Division Sequis Eko Sumurat mengatakan, salah satu upaya
untuk mendukung pembangunan Indonesia adalah mencegah terjadinya perkawinan usia anak.

"Perlu menunda hubungan seksual hingga umur, biologis, dan, mental menjadi dewasa serta
finansial yang memadai karena perkawinan usia anak tidak memberikan dampak positif pada
siapapun dan hanya menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga, dan bagi bangsa,"
ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima .

Jika perkawinan usia anak nggak segera dihentikan, dampaknya akan semakin kompleks.
Antara lain dampak kemanusiaan, kesehatan, ekonomi, dan masih banyak lagi. Sementara itu,
dampak psikologis yang ditimbulkan nggak main-main, Bun. Menurut dokter Spesialis Jiwa
OMNI Hospitals Pulomas Jakarta dr Jimmi MP Aritonang, SpKJ, secara psikologi, perkawinan
usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, kemudian emosi nggak
berkembang dengan matang.

"Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri.
Hal ini karena si anak belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi Ibu atau
orang tua," ujar dr Jimmi.

Selain itu, perkawinan usia anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti nggak berani
mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori.
"Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga
serta terjadi perceraian. Di sisi lain, tuntutan bersosialisasi dalam masyarakat atau menghadapi
pandangan masyarakat akan membuat si anak merasa tertekan dan cenderung menutup diri
dari aktivitas sosial. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas menurun dan sedikit peluang
untuk melanjutkan pendidikan," tutur dr Jimmi.
Selain itu, perkawinan usia anak, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan rawan
mengalami gangguan mental pasca melahirkan, seperti depresi setelah melahirkan (baby blue
syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa
kurangnya bantuan ketika melahirkan.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Health Claim Senior Manager Sequis dr Yosef Fransiscus.
Ia mengatakan bahwa anak secara fisik belum matang untuk melakukan hubungan seksual,
mengalami hamil, dan melahirkan.

"Pada perkawinan usia anak, rentan terjadi dominasi oleh pasangan yang lebih tua. Sehingga
kemungkinan pasangan yang lebih muda tidak berani untuk meminta hubungan seks dengan
alat pengendali kehamilan agar tidak hamil di usia muda, padahal hubungan seksual yang
dilakukan di usia dini, secara terpaksa, dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan
memicu kemungkinan kerusakan organ intim. Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan
orgasme dan kemampuan ovulasi/hamil di jangka panjang," tutur Yosef.

dr Jimmi mengatakan, gangguan mental dan kesehatan ibu hamil ternyata berdampak juga pada
anak yang dilahirkan. Misalnya, rawan terjadi gangguan mental seperti down syndrome serta
berisiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibandingkan
mereka yang lahir dari pernikahan usia matang dan bahagia.

"Sedangkan gangguan pada kesehatan, misalnya terjadi cacat lahir. Akibat tulang belakang
bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau defek pada tulang belakang dan saraf tulang
belakang (spina bifida),".

Kesulitan anak perempuan dari pasangan perkawinan usia anak tak hanya dirasakan pada saat
hamil dan melahirkan, tetapi juga saat membesarkan anak. Akibat keterbatasan finansial dan
mobilitas serta keterbatasan berpendapat seringkali membuat anak perempuan tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya termasuk juga ketidaksiapan emosional
orang tua karena memiliki anak.

Akibatnya, dapat terjadi risiko penelantaran bayi atau pengasuhan yang tidak tepat. Jika ini
terjadi maka pada perkembangan lanjutannya, anak dapat mengalami keterlambatan
perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di
usia dini.

3. Jelaskan bagaimana prosedur pengajuan dispensasi perkawinan ke Pengadilan?

Anak merupakan amanah dan karunia Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. Anak memiliki harkat
dan martabat sebagai manusia seutuhnya serta memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan
berkembang.
Semua tindakan mengenai anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial,
negara atau swasta, pengadilan, penguasa administratif atau badan legislatif, dilaksanakan demi
kepentingan terbaik bagi anak, demikian ditegaskan dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak, di
mana Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut melakukan adopsi konvensi tersebut.
Dalam hal perkawinan telah ditentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan bagi mereka yang
telah memenuhi persyaratan usia. Bagi mereka yang telah memenuhi syarat usia perkawinan,
maka perkawinan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun bagi yang mereka yang belum memenuhi persyaratan usia, maka perkawinan dapat
dilaksanakan apabila Pengadilan telah memberikan dispensasi kawin sesuai peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga karena proses mengadili permohonan
dispensasi kawin belum diatur secara tegas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan dan
demi kelancaran penyelenggaraan peradilan, maka Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang
Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Perma ini ditetapkan pada tanggal 20
November 2019 dan diundangkan pada tanggal 21 November 2019 untuk diketahui dan
diberlakukan bagi segenap lapisan masyarakat.
Adapun tujuan ditetapkannya pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin adalah untuk :

1. Menerapkan asas sebagaimana dimaksud Pasal 2,yaitu asas kepentingan terbaik bagi
anak, asas hak hidup dan tumbuh kembang anak, asas penghargaan atas pendapat anak,
asas penghargaan harkat dan martabat manusia, asas non diskriminasi, keseteraan gender,
asas persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian
hukum;
2. Menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak;
3. Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan perkawinan anak;
4. Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan
permohonan dispensasi kawin; dan
5. Mewujudkan standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di pengadilan.

Makna Dispensasi Kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon
suami/isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
Persyaratan administrasi Dispensasi Kawin adalah :

1. Surat permohonan ;
2. Fotokopi KTP kedua orang tua/wali ;
3. Fotokopi Kartu Keluarga ;
4. Fotokopi KTP atau Kartu Identitas Anak dan/atau akta kelahiran anak ;
5. Fotokopi KTP atau Kartu Identitas Anak dan/atau akta kelahiran calon suami/isteri; dan ;
6. Fotokopi ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan masih sekolah dari
sekolah anak ;
Jika persyaratan tersebut di atas tidak dapat dipenuhi maka dapat digunakan dokumen lainnya
yang menjelaskan tentang identitas dan status pendidikan anak dan identitas orang tua/wali
(Pasal 5 ayat (2) Perma No. 5 Tahun 2019);
Apabila Panitera dalam memeriksa pengajuan permohonan Dispensasi Kawin ternyata syarat
administrasi tidak terpenuhi, maka Panitera mengembalikan permohonan Dispensasi Kawin
kepada Pemohon untuk dilengkapi. Namun jika permohonan Dispensasi Kawin telah memenuhi
syarat administrasi, maka permohonan tersebut didaftar dalam register, setelah membayar panjar
biaya perkara. Dalam hal Pemohon tidak mampu dapat mengajukan permohonan dispensasi
Kawin secara cuma-Cuma (prodeo);
Permohonan Dispensasi Kawin diajukan oleh :

 Orang tua ;
 Jika orang tua bercerai, tetap oleh kedua orang tua atau salah satu orang tua yang
memiliki kuasa asuh terhadap anak berdasar putusan pengadilan ;
 Jika salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak diketahui alamatnya, dispensasi
kawin diajukan oleh salah satu orang tua ;
 Wali anak jika kedua orang tua meninggal dunia atau dicabut kekuasaannya atau tidak
diketahui keberadaannya ;
 Kuasa orang tua/wali jika orang tua/wali berhalangan ;

Dispensasi kawin diajukan kepada pengadilan yang berwenang dengan ketentuan sebagai berikut
:

1. Pengadilan sesuai dengan agama anak apabila terdapat perbedaan agama antara anak dan
orang tua ;
2. Pengadilan yang sama sesuai domisili salah satu orang tua/wali calon suami atau isteri
apabila calon suami dan isteri berusia di bawah batas usia perkawinan ;

Adapun hakim yang mengadili permohonan Dispensasi Kawin adalah :

1. Hakim yang sudah memiliki Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung sebagai Hakim
Anak, mengikuti pelatihan dan/atau bimbingan teknis tentang Perempuan Berhadapan
dengan Hukum atau bersertifikat Sistem Peradilan Pidana Anak atau berpengalaman
mengadili permohonan Dispensasi Kawin.
2. Jika tidak ada Hakim sebagaimana tersebut di atas, maka setiap Hakim dapat mengadili
permohonan Dispensasi Kawin.

Pada hari sidang pertama, Pemohon wajib menghadirkan : a) Anak yang dimintakan permohonan
Dispensasi Kawin ; b) Calon suami/isteri ; c) Orang tua/wali calon suami/isteri. Apabila
Pemohon tidak hadir, Hakim menunda persidangan dan memanggil kembali Pemohon secara sah
dan patut. Namun jika pada hari sidang kedua Pemohon tidak hadir, maka permohonan
Dispensasi Kawin dinyatakan “gugur”.
Apabila pada sidang hari pertama dan hari sidang kedua, Pemohon tidak dapat menghadirkan
pihak-pihak tersebut di atas, maka Hakim menunda persidangan dan memerintahkan Pemohon
untuk menghadirkan pihak-pihak tersebut. Kehadiran pihak-pihak tersebut tidak harus pada hari
sidang yang sama. Akan tetapi, jika dalam hari sidang ketiga, Pemohon tidak dapat
menghadirkan pihak-pihak tersebut, maka permohonan Dispensasi Kawin dinyatakan “tidak
dapat diterima”.
Hakim dalam menggunakan bahasa metode yang mudah dimengerti anak, juga Hakim dan
Panitera Pengganti dalam memeriksa anak tidak memakai atribut persidangan (seperti baju toga
Hakim dan jas Panitera Pengganti).
Dalam persidangan, Hakim harus memberikan nasihat kepada Pemohon, Anak, Calon
Suami/Isteri dan Orang Tua/Wali Calon Suami/Isteri. Nasihat disampaikan untuk memastikan
Pemohon, Anak, Calon Suami/Isteri dan Orang Tua/Wali Calon Suami/Isteri agar memahami
risiko perkawinan, terkait dengan :

1. Kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak ;


2. Keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun ;
3. Belum siapnya organ reproduksi anak ;
4. Dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak ; dan
5. Potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Nasihat yang disampaikan oleh Hakim dipertimbangkan dalam penetapan dan apabila tidak
memberikan nasihat mengakibatkan penetapan “batal demi hukum”.
Penetapan juga “batal demi hukum” apabila Hakim dalam penetapan tidak mendengar dan
mempertimbangkan keterangan : a) Anak yang dimintakan Dispensasi Kawin ; b) Calon
Suami/Isteri yang dimintakan Dispensasi Kawin ; c) Orang Tua/Wali Anak yang dimohonkan
Dispensasi Kawin ; dan d) Orang Tua/Wali Calon Suami/Isteri.
Dalam pemeriksaan di persidangan, Hakim mengidentifikasi :

1. Anak yang diajukan dalam permohonan mengetahui dan menyetujui rencana perkawinan
;
2. Kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak untuk melangsungkan perkawinan dan
membangun kehidupan rumah tangga ; dan
3. Paksaan psikis, fisik, seksual atau ekonomi terhadap anak dan/atau keluarga untuk kawin
atau mengawinkan anak.

Selain itu, dalam pemeriksaan, Hakim memperhatikan kepentingan terbaik anak dengan :

1. Mempelajari secara teliti dan cermat permohonan Pemohon ;


2. Memeriksa kedudukan hukum Pemohon ;
3. Menggali latar belakang dan alasan perkawinan anak ;
4. Menggali informasi terkait ada tidaknya halangan perkawinan ;
5. Menggali informasi terkait dengan pemahaman dan persetujuan anak untuk dikawinkan ;
6. Memperhatikan perbedaan usia antara anak dan calon suami/isteri ;
7. Mendengar keterangan pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang tua/wali calon
suami/isteri ;
8. Memperhatikan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi
anak dan orang tua, berdasarkan rekomendasi dari psikolog, dokter/bidan, pekerja sosial
profesional, tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu perlindungan
perempuan dan anak (P2TP2A) atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah
(KPAI/KPAD) ;
9. Memperhatikan ada atau tidaknya unsur paksaan psikis, fisik, seksual dan/atau ekonomi ;
dan
10. Memastikan komitmen orang tua untuk ikut bertanggungjawab terkait masalah ekonomi,
sosial, kesehatan dan pendidikan anak.

Oleh karenanya dalam memeriksa anak yang dimohonkan Dispensasi Kawin Hakim dapat :

1. Mendengar keterangan anak tanpa kehadiran orang tua ;


2. Mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi audio visual jarak jauh di
pengadilan setempat atau di tempat lain ;
3. Menyarankan agar anak didampingi Pendamping ;
4. Meminta rekomendasi dari Psikolog atau Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan
Anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD) ; dan
5. Menghadirkan penerjemah/orang yang biasa berkomunikasi dengan anak, dalam hal
dibutuhkan.

Hakim dalam penetapan permohonan dispensasi kawin mempertimbangkan :

1. Perlindungan dan kepentingan terbaik anak dalam peraturan perundang-undangan dan


hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat ; dan
2. Konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait perlindungan anak.

Terhadap penetapan Dispensasi Kawin hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi

Anda mungkin juga menyukai