Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut
dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).
Program pemerintah mengatakan bahwa usia menikah yang ideal untuk wanita adalah usia
21 tahun, sedangkan untuk laki-laki adalah 25 tahun.
Laporan Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia menunjukkan bahwa di antara
perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 25 persen menikah sebelum usia 18 tahun
menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2012.
Prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia tidak hanya tetap tinggi (dengan lebih dari
seperenam anak perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa (usia 18 tahun) atau
sekitar 340,000 anak perempuan setiap tahunnya) tetapi prevalensi tersebut juga telah
kembali meningkat.
Data Kementerian Sosial juga mengungkapkan bahwa satu dari enam perempuan di
Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Ini berarti terdapat 340.000 perempuan di
bawah umur yang menikah tiap tahunnya dan sebanyak 50.000 dari jumlah tersebut
menikah sebelum berumur 15 tahun.
Faktor Ekonomi
Biasanya ini terjadi ketika keluarga si gadis berasal dari keluarga kurang mampu. Orang
tuanya pun menikahkan si gadis dengan laki-laki dari keluarga mapan. Hal ini tentu akan
berdampak baik bagi si gadis maupun orang tuanya. Si gadis bisa mendapat kehidupan yang
layak serta beban orang tuanya bisa berkurang.
Faktor Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan orang tua, anak dan masyarakat membuat pernikahan dini
semakin marak. Menurut saya, Wajib Belajar 9 Tahun bisa dijadikan salah satu 'obat' dari
fenomena ini, dimisalkan seorang anak mulai belajar di usia 6 tahun, maka saat dia
menyelesaikan program tersebut, dia sudah berusia 15 tahun.
Di usia 15 tahun tersebut, seorang anak pastilah memiliki kecerdasan dan tingkat emosi yang
sudah mulai stabil. Apalagi bila bisa dilanjutkan hingga Wajib Belajar 12 tahun. Jika program
wajib belajar tersebut dijalankan dengan baik, angka pernikahan dini pastilah berkurang.
Memang pendidikan seks itu penting sejak dini, tapi bukan berarti anak-anak tersebut
belajar sendiri tanpa didampingi orang dewasa.
Faktor Biologis
Faktor biologis ini muncul salah satunya karena Faktor Media Massa dan Internet diatas,
dengan mudahnya akses informasi tadi, anak-anak jadi mengetahui hal yang belum
seharusnya mereka tahu di usianya.
Maka, terjadilah hubungan di luar nikah yang bisa menjadi hamil di luar nikah. Maka, mau
tidak mau, orang tua harus menikahkan anak gadisnya.
Hal ini semakin dilematis karena ini tidak sesuai dengan UU Perkawinan. Rumah tangga
berdasarkan cinta saja bisa goyah, apalagi karena keterpaksaan.
Faktor Adat
Faktor ini sudah mulai jarang muncul, tapi masih tetap ada.
1. Neoritis Depresi
Depresi dalam tingkatan berat atau neoritis depresi karena pernikahan dini bisa terjadi di kondisi
kepribadian yang berbeda. Untuk kepribadian introvert atau tertutup, maka membuat orang
tersebut lebih menarik diri dari pergaulan, lebih pendiam, tidak ingin bergaul bahkan sampai
menjadi orang schizoprenia atau dikenal juga dengan gila.
Sedangkan ciri ciri depresi berat dalam kepribadian ekstrovert atau terbuka akan menyebabkan
orang tersebut untuk melakukan banyak hal aneh untuk melampiaskan rasa marah. Dari segi
psikologi, kedua bentuk depresi ini sama sama berbahaya dan sulit dibedakan kadarnya pada remaja
pria atau wanita untuk mengendalikan emosi dalam pernikahan dini.
Dunia remaja yang sebenarnya masih disibukkan dengan menata hidup dan diri sebenarnya
membuat seorang remaja tidak siap untuk sebuah perubahan dalam pernikahan dini.
Dilihat dari segi positif, ia akan mencoba dan berusaha untuk bisa bertanggung jawab dari
perbuatannya, namun kestabilan emosi yang baru bisa dibentuk pada usia 24 tahun dimana
seseorang sudah dikatakan dewasa menyebabkan seorang remaja yang melakukan pernikahan dini
masih terbilang labil untuk mengendalikan emosi sehingga permasalahan tidak bisa diselesaikan
dengan baik dan berujung pada perceraian dan akan banyak dampak perceraian bagi anak
perempuan.
3. Pendidikan Terhambat
Seperti yang kita ketahui jika seseorang melakukan pernikahan dalam usia muda, maka tentu akan
berdampak pada urusan pendidikan. Sebagai contoh, jika seorang remaja berkeinginan untuk
melanjutkan sekolah atau pendidikan yang lebih tinggi, maka tidak bisa tercapai karena motivasi
belajar yang dimiliki mulai menurun karena sudah terlalu banyak tugas yang harus dilakukan
semenjak menjalani pernikahan sehingga proses pendidikan dan pembelajaran akan mengalami
hambatan.
Pada pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 dikatakan jika pegawai pencatat pernikahan tidak
diperkenankan untuk melangsungkan atau membantu melangsung pernikahan jika diketahui ada
pelanggaran ketentuan batas umur minimum pernikahan sehingga pernikahan dini yang biasanya
terjadi tidak memiliki landasan hukum sebab tidak tercatat dalam Kantor Pencatat Nikah seperti KUA
atau Kantor Catatan Sipil.
Meski sudah dikatakan sah menurut agama, namun pernikahan yang tidak memiliki landasan hukum
maka akan memberikan kerugian khususnya dari pihak wanita seperti tidak memiliki dokumen
pernikahan dan anak yang dilahirkan sehingga sulit mendapatkan hak seperti waris, tunjangan
keluarga dan lainnya.
Dari penelitian UNICEF tahun 2005 membuktikan jika angka kekerasan dalam pernikahan dini sangat
tinggi yakni sebesar 67% dibandingkan dengan 47% perempuan dewasa yang menikah yang terjadi
karena gangguan psikologis remaja. Hal ini terjadi karena para anak perempuan yang menikah
dengan laki laki lebih tua tidak mempunyai kekuatan dalam bernegosiasi dan akhirnya timbul
kekerasan seksual dalam rumah tangga tersebut dibandingkan dengan pasangan dewasa.
Pasangan yang menikah dalam usia terlalu muda seringkali juga akan melahirkan banyak anak sebab
tidak menjalani keluarga berencana dan tidak memahami dengan baik tentang berbagai alat
kontrasepsi. Ini mengakibatkan banyak anak yang tidak tercukupi kebutuhannya dan ditelantarkan
oleh orang tua atau bahkan sampai diberikan pada orang lain.
Hal yang semakin ironis terjadi adalah orang tua tidak mengerti apa akibat dari perbuatan yang
sudah mereka lakukan namun tetap saja melahirkan anak kembali meski sudah mengetahui jika
kebutuhan anak tidak mungkin tercukupi.
ads
8. Gangguan Mental
Dari penelitian dalam Jurnal Pediatrics juga memperlihatkan jika remaja yang menikah sebelum
memasuki usia 18 tahun akan meningkatkan risiko terkena gejala gangguan mental pada
remaja bahkan mencapai 41%. Gangguan mental yang biasanya terjadi pada pasangan muda
diantaranya adalah depresi, gangguan disosiatif atau kepribadian ganda, kecemasan dan juga trauma
psikologis seperti PTSD.
9. Kecanduan
Pernikahan pada usia terlalu muda bahkan bisa menimbulkan masalah psikologis seperti kecanduan
baik dari narkoba, minuman keras, rokok atau judi. Kecanduan ini lebih sering ditemui dalam
pasangan muda karena usia remaja membuat mereka tidak mengerti dan tidak bisa menemukan
cara yang sehat dan baik untuk meluapkan emosi dalam psikologi atau mencari distraksi saat sedang
mengalami stress.
Beban juga akan dirasakan para remaja yang melakukan pernikahan dini baik dari keluarga dekat,
kerabat sampai masyarakat. Remaja pria akan dituntut untuk menjadi kepala rumah tangga sekaligus
mencari nafkah untuk keluarga meski usia masih terbilang sangat muda.
Sedangkan wanita dituntut untuk bisa membesarkan dan mengurus anak sekaligus rumah tangga
meski secara psikologis belum siap sepenuhnya untuk melaksanakan tanggung jawab sebesar itu.
Akhirnya, jika pasangan tersebut tidak bisa memenuhi tuntutan sosial, maka mereka akan dikucilkan
dan dicap buruk oleh warga di sekelilingnya dan akan semakin sulit mendapatkan dukungan dari
orang sekitar saat membutuhkan.
Dengan menikah pada usia yang masih muda bahkan masih bersekolah, membuat remaja akan
mengakhiri pendidikannya karena sudah harus menjalankan tugas seperti layaknya orang berumah
tangga, untuk itu akan terjadi banyak pengangguran atau hanya bisa bekerja pada bidang yang
kurang memadai dan tanpa kontrak yang tentunya sangat mengganggu psikologi remaja.
Saat sudah harus menjalani rumah tangga pada usia dini khususnya pria, maka mereka sudah harus
bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga sedangkan pendidikan belum terlalu tinggi.
Wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun akan lebih berisiko terkena kanker leher rahim sebab
keadaan sel sel leher rahim belum matang benar sehingga saat terpapar Human Papiloma Virus atau
HPV, maka pertumbuhan sel akan menyimpang dan menjadi sel kanker.
Dari penelitian juga menunjukkan jika seorang ibu di bawah umur akan cenderung melahirkan bayi
yang cacat atau memiliki gangguan kesehatan. Selain itu, ibu yang melahirkan pada usia dibawah 18
tahun juga memiliki peningkatan sebesar 60% mengenai kematian pada bayi dan bahkan
memberikan pola asuh salah pada anak karena terbatasnya pengetahuan sifat keibuan dalam
psikologi.
Dampak terakhir dari pernikahan dini adalah fakta jika remaja yang masih belum bisa membedakan
mana hal yang baik dan mana yang buruk sehingga sering tersesat dengan berbagai perilaku salah
seperti perselingkuhan. Hal ini terjadi karena kontrol diri yang masih sangat lemah sebab usia remaja
adalah masa mereka untuk mencari jati diri dan mengeksplorasi berbagai hal yang belum pernah
dialami sebelumnya.
Dari segi psikologi khususnya sosial, pernikahan dini akan mengurangi keharmonisan keluarga sebab
emosi remaja yang masih labil, meningkatkan tanda tanda stress, gejolak darah muda yang masih
membara dan cara berpikir yang belum matang dengan benar.
Perilaku seksual menyimpang yang merupakan kesenangan berhubungan seks dengan anak di
bawah umur juga bisa terjadi karena pernikahan yang dilakukan terlalu cepat. Hal ini bisa menjadi
kebiasaan atas dasar pernikahan yang juga dilakukan pada usia terlalu muda sehingga
mengembangkan perilaku seksual menyimpang tersebut.
Dampak pernikahan dini baik yang dilakukan secara terpaksa atau bukan umumnya juga akan
memberikan tanggapan kurang baik dari sebagian masyarakat. Meski ada dampak positif pernikahan
dini sebagai solusi untuk menghindari kelakuan para remaja yang tidak diinginkan, akan tetap terlalu
banyak dampak negatif yang bisa terjadi sebab pernikahan tersebut tidak didasari dengan
kemampuan dan kemandirian sehingga akan lebih baik jika dipertimbangkan secara masak masak.
11. Fungsinya:
- Mempersiapkan pasangan dalam membina rumah tangga secara fisik dan mental
sehingga menghasilkan individu yang siap secara mental dan fisik untuk bertanggung
jawab dalam membina rumah tangga