Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan Dini

Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan yang

dilakukan oleh seseorang yang memiliki umur yang relatif muda. Umur yang

relatif muda yang dimaksud tersebut adalah usia pubertas yaitu usia antara 10-

19 tahun. (Mahendra, Solehati, en Ramdhanie 2019)

Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan formal atau

tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun (UNICEF, 2014).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan, kata "nikah"

memiliki arti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri

(dengan resmi). Sedangkan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 1,

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai

sepasang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-Undang

Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 6 mengatur batas minimal usia

untuk menikah di mana pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai

usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Akan tetapi dari

sisi medis dan psikologis, usia tersebut masih terbilang dini untuk menghadapi

masalah pada pernikahan dan lebih berisiko untuk berujung pada perceraian

(Ilmiah en Syakhshiyyah 2019)


Pernikahan dini secara faktual memiliki banyak dampak negatif. Plan

Indonesia, (2018) dalam penelitiannya menemukan bahwa pernikahan usia dini

mempengaruhi secara negatif masa depan perempuan, kerena pernikahan usia

dini akan membatasi gerak sang perempuan, membuat mereka tak punya

kesempatan melakukan berbagai hal yang seharusnya mereka lakukan pada

usia tersebut. Dari 33.5% perempuan yang menikah pada usia dini, hanya

sekitar 5.6% yang masih melanjutkan pendidikannya. Namun, apabila harus

memasuki dunia kerja, mereka juga tidak siap karena minimnya pengetahuan

dan pengalaman. Selain itu, pernikahan dini menempatkan perempuan pada

kerentanan untuk mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sekitar 44%

perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) dengan frekuensi yang cukup tinggi. Sedangkan, 56% perempuan

sisanya mengalami KDRT dalam frekuensi rendah. Banyaknya jumlah tersebut

dipicu karena tingginya pernikahan di bawah umur. Hal ini bisa terjadi, karena

biasanya pelaku pernikahan dini memang belum memiliki kesiapan ekonomi

maupun mental untuk berumahtangga. (Ilmiah en Syakhshiyyah 2019)

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Dini

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan usia muda menurut

RT. Akhmad Jayadiningrat (2010) diantaranya :

1. Tingkat pendidikan dan pengetahuan

2. Peran dan pola asuh orangtua


3.Faktor Ekonomi

4. Sosial budaya

5. Pergaulan bebas

6. Akses informasi

7. Kehamilan remaja

(Ilmiah en Syakhshiyyah 2019)

1. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

seseorang dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan ataupun

kematangan psikososialnya (Sarwono, 2007:34). Salah satu faktor yang dapat

memengaruhi keputusan pihak orang tua terhadap anaknya salah satunya yang

menonjol adalah faktor pendidikan keluarga.

(Taufik, Sutiani, en Hernawan 2018)

Tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah dapat

menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini).

Remaja yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki resiko

lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan dengan remaja yang memiliki

latar pendidikan rendah. (Alfiyah, 2010)

Juspin (2012) mengemukakan bahwa peran orang tua terhadap kelangsungan

pernikahan dini pada dasarnya tidak terlepas dari tingkat pengetahuan orang

tua yang dihubungkan pula dengan tingkat pendidikan orang tua. Selain itu,

tingkat pendidikan keluarga ini akan mempengaruhi pemahaman keluarga


tentang kehidupan berkeluarga yang lebih baik. Orang tua yang memiliki

pemahaman rendah terhadap berkeluarga dengan memandang bahwa dalam

kehidupan keluarga akan tercipta suatu hubungan silaturahmi yang baik

sehingga pernikahan yang semakin cepat maka solusi utama bagi orang tua.

(Taufik, Sutiani, en Hernawan 2018)

Pengetahuan remaja perempuan dan laki-laki tentang masa subur baru

mencapai 33% dan 37%, pengetahuan tentang risiko kehamilan bila melakukan

hubungan seksual sebanyak 50,5% dan 48,6% (SDKI-Remaja, 2017). Data

Sekunder lain yang didapat dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

menyebutkan bahwa propinsi Jawa Timur pada tahun 2018 menempati urutan

pertama dengan 67.658 kasus untuk HIV/AIDS di Indonesia.

Hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi

dari tenaga kesehatan. Namun seiring perkembangan teknologi saat ini media

massa dengan segala informasinya sudah sangat mudah diakses oleh seluruh

kalangan masyarakat.

2. Peran dan Pola Asuh Orangtua

Menurut Nurhajati, dkk (2013) Peran orang tua juga menentukan remaja untuk

menjalani pernikahan di usia muda, bahwa orang tua yang memiliki

keterbatasan pemahaman khususnya tentang kesehatan reproduksi dan hak

anak maka kecenderungan yang terjadi adalah menikahkan anaknya. Orang tua

memiliki peran yang besar terhadap kejadian pernikahan dini. Selain itu orang

tua juga memiliki peran yang besar dalam penundaan usia perkawinan anak.
Ada tiga elemen penting dalam penentu keputusan seseorang untuk menikah

usia remaja ditinjau dari perspektif komunikasi keluarga yaitu peran orang tua

sebagai pemegang kekuasaan dalam keluarga, peran keluarga sebagai sebuah

komponen komunikasi dan peran keluarga dalam membangun relasi intim

dengan anggota keluarga (Nurhajati, 2013).

Besarnya peran orang tua ditinjau dari segi perspektif komunikasi keluarga

yang mana peran-peran tersebut merupakan salah satu penentu keputusan

seorang remaja untuk menikah pada usia muda. Keluarga yang tidak memiliki

hubungan yang harmonis akan berdampak pada perilaku seks bebas anak dan

dapat berujung pada pernikahan usia dini.

Kategori pola asuh orang tua yang demokratis merupakan pola asuh yang

kurang signifikan, hal ini dikarenakan orang tua tidak mengekang kepada anak-

anaknya dan memberikan kepercayaan atau kebebasan terhadap anak-anaknya

untuk bisa menjalani kehidupannya di masa depan. Pola asuh orang tua yang

seperti ini akan berdampak pada kurangnya peran serta orang tua dalam

memberikan nasehat atau informasi tentang pernikahan dini dan kehidupan

dalam menjalani rumah tangga dalam usia yang muda (Siti, 2011).

Kurangnya komunikasi yang dijalin oleh orang tua kepada anaknya sehingga

anak terutama usia remaja yang lebih membutuhkan perhatian terhadap

perkembangan seksualitasnya akan lebih mengarah pada perilaku seks bebas

sehingga yang dapat berujung pada pernikahan dini dan sebagai akibat dari
pola asuh orang tua yang terlalu besar memberikan kepercayaan dan kebebasan

pada anak (Desiyanti 2015)

3. Faktor Ekonomi

Fenomena pernikahan dini diakui bagi keluarga miskin, selain dapat sedikit

membantu memecahkan masalah mengurangi beban ekonomi keluarga secara

khusus juga dapat untuk mengurangi perbuatan- perpuatan asusila bagi kaum

remaja, seperti hamil di luar pernikahan, hubungan sex diluar nikah. Makna

pernikahan dini bagi orang tua dapat membantu mengurangi beban ekonomi,

tidak bisa terlepas dari berbagai motif, baik motif sebab maupun motif tujuan.

Seorang wanita yang menikah dini memiliki beberapa faktor yang berkaitan

dengan latar belakang dirinya maupun latar belakang keluarganya, sehingga

mendorong keduanya untuk menikah dalam usia dini. Keputusan orang tua

untuk mendorong (because motive) anaknya untuk menikah dini adanya

berkurangnya beban ekonomi keluarga (Susilo, Sosial, en Malang 2017)

4. Sosial budaya

Social budaya yang menganggap anak perempuan harus segera dinikahkan

setelah dia mendapatkan haid pertamanya, masih dianut di beberapa daerah di

Indonesia. Dan pandangan budaya ini menambah jumlah pernikahan usia dini

di Indonesia.

5. Pergaulan Bebas

Pernikahan dini sering dilakukan pada zaman dahulu, tapi pada era zaman

sekarang ini ada wilayah yang masih menjadikan pernikahan dini sebagai
salah satu kultur mereka. Jika ditelaah lebih jauh sebenarnya pernikahan dini

juga bisa memberikan dampak yang positif, salah satunya adalah untuk

mencegah pergaulan bebas yang sekarang ini jumlahnya masih tinggi.

Berdasarkan Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),

mencacat sebanyak 51% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan

layaknya suami istri. Survei Komisi Perlindungan Anak terhadap 4.500 remaja

mengungkap, 97% remaja pernah menonton dan mengakses pornografi dan

93% pernah berciuman bibir (BKKBN, 2016:56).

Tingginya angka pergaulan bebas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain informasi tentang sex dan rendahnya nilai-nilai dan norma agama yang

dimiliki oleh remaja sekarang. Informasi sex bisa berasal dari acara TV yang

terlalu vulgar, terlalu bebas mengakses internet tanpa pemantauan dari orang

tua, dan lingkungan sekitar tempat tinggal dimana banyak teman sebaya yang

memberikan informasi tentang seks yang salah dan tidak dapat dipertanggung

jawabkan, karena pada dasarnya mereka sendiri juga kurang paham mengenai

seks hingga berakhir pada kehamilan sebelum menikah. Rendahnya

pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma agama akan berdampak pada

perilaku yang menyimpang. Hal ini dapat dibuktikan dari gaya berpacaran

anak remaja masa kini yang sering menuju hal-hal yang dapat merangsang

terjadinya hubungan seksual, sehingga banyak di antara mereka kemudian

hamil sebelum menikah sehingga berujung pada pernikahan pada usia dini.

(Taufik, Sutiani, en Hernawan 2018)


6. Akses Informasi

Menurut Soetjiningsih (2012) remaja memasuki usia reproduksi pada

hakekatnya mengalami suatu masa kritis. Dalam masa tersebut banyak kejadian

penting dalam hal biologis dan demografi yang sangat menentukan kualitas

kehidupannya, dan jika di masa kritis itu tidak mendapatkan informasi dan

pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi yang dibutuhkannya

dari keluarga, mereka cenderung mencari dari luar pendidikan formal yang

sering tidak bisa dipertanggungjawabkan, seperti menonton film dan membaca

majalah porno ataupun dari teman sebaya yang sama-sama memiliki

keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Sehingga cenderung

memperoleh informasi yang salah tentang kesehatan reproduksi remaja.

Media sosial dalam kehidupan remaja membawa dan membentuk semacam

dunia baru dalam pola fikir remaja dalam berinteraksi dan berkomunikasi

dengan cara yang baru, terutama dalam dunia pendidikan dengan menyajikan

berbagai informasi-informasi edukatif yang luas dari berbagai aspek. Namun

dampak dari penggunaan media sosial dapat memberikan dampak buruk.

Dampak buruknya adalah banyak waktu belajar remaja yang terbuang sehingga

nilai pelajaran mereka menurun (Kapian & Haenlein, 2010).

Proses pembentukan pengetahuan dimulai saat informasi dari media massa

ditangkap melalui proses persepsi kemudian disimpan dan ditampilkan kembali

melalui ingatan. Remaja menyesuaikan diri dengan informasi yang


diperolehnya dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah

menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan yang telah dimilikinya

sedangkan akomodasi adalah penyesuaian diri terhadap informasi baru. Dari

pengetahuan inilah, remaja dapat mengetahui masalah kesehatan reproduksi

melalui media. (Santrock, 2003 dalam Desiyanti, 2015).

Dari penelitian Jurnal Riset Kesehatan (Hastuti en Aini 2016) Hubungan

seksual sebelum menikah salah satunya karena paparan pornografi. Ada lima

efek dan tahapan yang dialami ketika terpapar pornografi yaitu pertama shock

dimana anak–anak pada permulaan pertama berkenalan dengan pornografi

mula-mula terkejut, jijik dan merasa bersalah. Gabungan rasa ini menimbulkan

rasa ingin tahu kembali. Efek kedua adalah adiksi dimana sekali seseorang

menyukai materi cabul, dia akan merasa ketagihan. Hal ini bahkan dapat terjadi

pada pria berpendidikan atau pemeluk agama yang taat. Efek berikutnya adalah

eskalasi atau peningkatan. Akibatnya seseorang akan lebih membutuhkan

materi seksual yang lebih eksplisit dan lebih menyimpang. Efek kecanduan dan

eskalasi menyebabkan tumbuhnya permintaan terhadap materi pornografi

tersebut. Akibatnya kadar kepornoan dan keeksplisitan produk juga meningkat.

Desentifisasi atau penumpulan kepekaan merupakan tahapan yang berikutnya.

Pada tahap ini materi yang tabu, amoral, mengejutkan, pelan-pelan akan

menjadi sesuatu yang biasa. Pengguna pornografi bahkan menjadi cenderung

tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual di lingkungannya. Pada tahap

berikutnya yaitu act-out atau berbuat merupakan efek puncak, yakni melakukan
hubungan seks setelah terekspos materi-materi pornografi (DR. Victor Cline

dari University of Utah dalam Chatib, Munif : 2014). Dengan demikian, jika

remaja cenderung senang terhadap pornografi akan timbul rangsangan-

rangsangan yang mengarah pada seks. Rangsangan ini mendorong remaja

untuk melakukan hubungan seks pranikah yang pada akhirnya memberikan

dampak kehamilan di luar perkawinan.

7. Kehamilan Remaja

Kehamilan remaja adalah kehamilan yang berlaku pada wanita yang berusia

11-19 tahun. Adapun faktor yang mempengaruhi kehamilan remaja diantaranya

faktor dari dalam individu: usia menikah, usia pertama melakukan hubungan

seksual, status pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, tingkah

laku seksual beresiko, penyalahgunaan zat kimia, dan penggunaan kontrasepsi

(Amanda, Lupita, en Gatum 2017)

Kehamilan pada masa remaja dan menjadi orangtua pada usia remaja

berhubungan secara bermakna dengan resiko medis dan psikososial, baik

terhadap ibu maupun bayinya. Faktor kondisi fisiologis dan psikososial

intrinsik remaja, bila diperberat lagi dengan faktor-faktor sosiodemografi

seperti : kemiskinan, pendidikan yang rendah, belum menikah, asuhan prenatal

yang tidak adekuat akan mengakibatkan meningkatnya resiko kehamilan dan

kehidupan keluarga yang kurang baik (Soetjiningsih, 2012)


2.3 Dampak Pernikahan Dini

Menurut (Desiyanti 2015) pernikahan dini bukanlah satu-satunya solusi, karena

pernikahan dini justru bisa menimbulkan perkara lain. Berikut ini adalah alasan

pernikahan dini sebaiknya tidak terjadi, di antaranya:

1. Risiko penyakit seksual meningkat

Di dalam sebuah pernikahan, pasti terjadi hubungan seksual. Sedangkan

hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia 18 tahun

akan cenderung lebih berisiko terkena penyakit menular seksual, seperti

HIV. Begitu hal ini karena pengetahuan tentang seks yang sehat dan aman

masih minim.

2. Risiko kekerasan seksual meningkat

Studi menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita yang menikah

pada usia dewasa, perempuan yang menikah pada usia di bawah 18 tahun

lebih cenderung mengalami kekerasan dari pasangannya. Alasannya

karena pada usia ini, ditambah dengan kurangnya pengetahuan dan

pendidikan, seorang perempuan di usia muda akan lebih sulit dan

cenderung tidak berdaya menolak hubungan seks.

Meski awalnya pernikahan dini dimaksudkan untuk melindungi diri dari

kekerasan seksual, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Risiko

kekerasan semakin tinggi, terutama jika jarak usia antara suami dan istri

semakin jauh.
3. Risiko pada kehamilan meningkat

Kehamilan di usia dini bukanlah hal yang mudah dan cenderung lebih

berisiko. Deretan risiko yang mungkin terjadi pun tidak main-main dan

bisa membahayakan bagi ibu maupun janin. Pada janin, risiko yang

mungkin terjadi adalah bayi terlahir prematur dan berat badan lahir yang

rendah. Bayi juga bisa mengalami masalah pada tumbuh kembang karena

berisiko lebih tinggi mengalami gangguan sejak lahir, ditambah kurangnya

pengetahuan orang tua dalam merawatnya.

Sedangkan ibu yang masih remaja juga lebih berisiko mengalami anemia

dan preeklamsia. Kondisi inilah yang akan memengaruhi kondisi

perkembangan janin. Jika preeklamsia sudah menjadi eklamsia, kondisi ini

akan membahayakan ibu dan janin bahkan dapat mengakibatkan kematian.

4. Risiko mengalami masalah psikologis

Tidak hanya dampak fisik, gangguan mental dan psikologis juga berisiko

lebih tinggi terjadi pada wanita yang menikah di usia remaja. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa semakin muda usia wanita saat menikah,

maka semakin tinggi risikonya terkena gangguan mental, seperti gangguan

kecemasan, gangguan mood, dan depresi, di kemudian hari.

5. Risiko memiliki tingkat sosial dan ekonomi yang rendah

Tidak hanya dari segi kesehatan, pernikahan dini juga bisa dikatakan

merampas hak masa remaja perempuan itu sendiri. Di mana pada masa itu
seharusnya dipenuhi oleh bermain dan belajar untuk mencapai masa depan

dan kemampuan finansial yang lebih baik. Namun kesempatan ini justru

ditukar dengan beban pernikahan dan mengurus anak. Sebagian dari

mereka yang menjalani pernikahan dini cenderung putus sekolah, karena

mau tidak mau harus memenuhi tanggung jawabnya setelah menikah.

Begitu juga dengan remaja pria yang secara psikologis belum siap

menanggung nafkah dan berperan sebagai suami dan ayah.

Pernikahan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Perlu kematangan

baik dalam fisik, psikologis, maupun emosional. Inilah mengapa

pernikahan dini tidak disarankan dan alasan angka pernikahan dini harus

ditekan. Kedewasaan diri baik secara mental dan finansial juga merupakan

aspek penting yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk

menjalani pernikahan yang bahagia.

2.4 Kerangka Konsep


Kasus pernikahan dini banyak terjadi dengan berbagai latar belakang.

Faktor keterbatasan pendidikan dan pengetahuan sehingga pemahaman

tentang pernikahan dini rendah didukung dengan budaya yang masih kental

untuk masalah pernikahan. Sehingga banyak masyarakat setempat yang

beranggapan bahwa anak mereka yang beranjak dewasa yang mereka lihat

dari ukuran fisik atau sudah lulus sekolah menengah sudah pantas untuk

menikah. Budaya sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas

yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian
pernikahan anak. Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan

finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui

pernikahan usia dini. Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di

kalangan keluarga miskin, mengalihkan beban tanggung jawab orangtua untuk

menghidupi anak tersebut kepada calon pasangannya. Faktor lainnya yaitu

karena kehamilan remaja akibat pergaulan bebas.

Kenakalan remaja
NAPZA
Problem emosional (depresi, rendah
1.Tingkat pendidikan dan diri, sulit bergaul, dll)
pengetahuan
2.Peran dan pola asuh orangtua
3.Faktor Ekonomi
4. Sosial budaya
6. Akses informasi
Perilaku Seksual

Pergaulan bebas
Pernikahan Dini Aborsi
Kehamilan remaja
Hubungan seks diluar nikah

Dampak :
1. Penyakit Menular Seksual
2. Kekerasan seksual
3. Kehamilan meningkat
4. Masalah psikologis
5. Sosial dan ekonomi yang rendah
6. KDRT
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Pernikahan Dini

Keterangan

: Diteliti

: Tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai