NIM : 202111024 Jurusan/ unit : Hukum Keluarga Islam / 2 Fakultas/sem : Syariah /3
Menulis artikel tentang gender
PERNIKAHAN DINI DAN KESEHATAN REPRODUKSI
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia pubertas antara 10- 19 tahun dengan orang dewasa atau seusianya tetapi memiliki faktor lain yang membuat mereka tidak siap untuk menyetujui pernikahan, seperti tingkat perkembangan fisik, emosional, seksual, psikososial, serta kurangnya informasi mengenai pilihan hidup seseorang (WHO, 2016). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat peningkatan sebesar 0,08% pada tahun 2021 terhadap proporsi perempuan yang sudah menikah sebelum usia 15 tahun dan sebelum usia 18 tahun. Sehingga dalam hal ini Indonesia menempati peringkat ke-37 di dunia dan menempati urutan ke 2 terbesar di ASEAN karena tingginya angka pernikahan dini. Mengaitkan dengan kondisi pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak tahun 2019, sebelum pandemi diperkirakan lebih dari 100 juta anak perempuan akan menikah sebelum usia 18 tahun dalam satu dekade berikutnya. Saat ini, lebih dari 10 juta anak perempuan berisiko menjadi pengantin akibat pandemi. Kejadian ini menjadi salah satu tujuan utama dari Sustainable Development Goals (SDG) yang menyerukan tindakan global untuk mengakhiri pernikahan usia dini pada tahun 2030. Sebagai informasi tambahan, SDG merupakan sebuah renaca aksi global yang disepakati oleh para pimpinan di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang bertujuan dalam mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan. SDG meliputi 17 tujuan dari 169 target yang diharapkan dapat tercapai di tahun 2030. Peningkatan kejadian pernikahan usia dini yang menjadi tren dalam masa pandemi berhubungan dengan terjadinya perubahan kondisi yang drastis yang mengharuskan orang tua harus ikut serta dalam membantu proses pembelajaran sang anak dan perlu menyiapkan gadget atau laptop sebagai media pembelajaran. Kondisi ini menyebabkan beberapa orang tua merasa terbebani ditambah dengan adanya penurunan ekonomi keluarga sehingga menyebabkan beberapa orang tua memilih anaknya untuk dinikahkan dengan tujuan dapat memindahkan beban tersebut kepada orang lain. Pernyataan tersebut didukung dari penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa alasan seorang remaja menikah di usia dini adalah salah satunya dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang sulit sehingga mencari jalan keluarnya dengan cara menikah supaya dapat meringankan beban orang tua. Bagi sebagian remaja mungkin pernikahan merupakan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya atau dianggap dapat menyelesaikan permasalahan yang dialaminya. Namun, nyatanya justru dapat memberikan berbagai dampak negatif baik terhadap fisik terutama kesehatan reproduksi dan kesehatan psikologis remaja yang sudah dibuktikan dari berbagai penelitian. Pernikahan di usia dini rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi prematur dan berat bayi lahir rendah serta mudah mengalami stres. Kehamilan di usia remaja kemungkinan meningkatkan risiko munculnya masalah kesehatan pada wanita dan bayi. Hal ini disebabkan karena remaja sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang mana tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan. Secara biologis pada masa remaja, alat reproduksi wanita masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk bereproduksi walaupun fisik dalam keadaan sehat, hal tersebutlah yang tidak diketahui oleh remaja-remaja yang melakukan pernikahan di usia dini sedangkan hal tersebut sangat membahayakan bagi ibu dan bayi dikarenakan fungsi reproduksi yang belum siap untuk hamil dan melahirkan. Di mana dampak kehamilan dibawah usia 19 tahun beresiko pada kematian, terjadinya perdarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur. Sementara kualitas anak yang dihasilkannya: Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sangat tinggi, risiko melahirkan anak cacat, serta memiliki kemungkinan 5- 30 kali besar risiko bayi meninggal (Sari et al., 2020). Kemudian, dampak lain dari menikah di usia muda atau dibawah 20 tahun juga berisiko mencetuskan kanker serviks uteri, dimana semakin muda umur pertama kali melakukan hubungan seksual, maka semakin tinggi risiko dapat terkena kanker serviks uteri (Sadewa & Iskandar, 2014). Hal ini diperkuat oleh penelitian terbaru dimana semakin dini usia seorang perempuan melakukan hubungan seksual, maka semakin tinggi risiko terkena kanker serviks uteri (Ramadhaningtyas & Tenggara, 2020). Dampak pernikahan dini terhadap kesehatan mental remaja berupa terjadinya depresi, kecemasan, bahkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Sezgin & Punamäki, 2020). PTSD merupakan suatu pengalaman dimana seseorang mengalami peristiwa traumatis yang menyebabkan gangguan pada keutuhan dirinya sehingga membuat individu merasa ketakutan, tidak berdaya, dan trauma (Astuti et al., 2018). PTSD sangat mungkin terjadi pada remaja yang menikah di usianya, dikarenakan rentan terjadinya kekerasan yang berujung pada perceraian dikarenakan pola pikir atau emosi yang masih belum stabil dan matang (Ningsih et al., 2021). Dampak lain dari terjadinya pernikahan dini menyebabkan remaja perempuan lebih sering menemukan dirinya dalam keadaan tertekan karena merasa kehilangan masa remajanya, baik dalam bermain dengan teman seusianya maupun mencari jati diri. Tekanan yang didapatkan dapat berupa keharusan untuk bereproduksi di usia muda dan apabila tidak bisa hamil maka pasangan tidak ragu untuk menikah lagi (Kabir et al., 2019). Dalam konteks pendidikan, pernikahan usia dini dapat memutus akses seorang anak perempuan jika ingin melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi, sehingga tinggi kemungkinan mereka akan mengakhiri pendidikannya setelah menikah dan dikemudian hari menyebabkan mereka kesulitan dalam mendapatkan perkerjaan yang layak (Puspasari & Pawitaningtyas, 2020). Sebagai upaya mendukung program SDG yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka peran orang tua sangatlah berperan dalam hal ini. Dikarenakan dalam beberapa penelitian diteliti bahwa terdapat pengaruh pengetahuan dan sikap orangtua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan kejadian pernikahan dini. Di mana semakin tinggi pengetahuan dan semakin positif sikap orangtua tentang kesehatan reproduksi maka akan semakin menurunkan kejadian pernikahan dini (Widiyawati & Muthoharoh, 2020). Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seorang ibu berhubungan dengan pengetahuan dampak pernikahan dini terhadap kesehatan yang berpengaruh terhadap kejadian pernikahan dini sang anak (Harahap et al., 2018). Selain itu, seorang remaja sudah sewajarnya memiliki sikap yang bertanggung jawab dalam bertindak, mampu merencanakan masa depan yang baik, dan mampu membuat suatu keputusan dengan bijak agar pernikahan dini tidak terjadi dan dapat terhindar dari faktor- faktor yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan reproduksinya (Oktavia et al., 2018). Dari berbagai dampak yang sudah dijelaskan, maka kita sebagai generasi muda yang cerdas harus bisa menjaga kesehatan baik secara fisik maupun psikologis untuk masa depan yang lebih baik. Mari kesampingkan ego atau keinginan untuk mengikuti trend yang manfaatnya belum tentu banyak, melainkan hanya dapat memberikan dampak negatif yang nyata. Sebagai remaja yang aktif kita bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan melakukan banyak hal-hal positif, melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, meningkatkan sosialisasi dan relasi, serta mencapai goals atau tujuan yang telah direncanakan. Menurur Survey Demografi Kesehatan indonesia tahun 2017, ditemukan adanya penurunan penggunaan kontrasepsi modern pada segmen usia muda (15 29 tahun) secara signifikan sebesar 4 persen. Hal ini juga berpengaruh kepada tingginya kehamilan remaja di Indonesia yang diperkirakan sampai dengan 500 ribu kehamilan remaja perempuan setiap tahunnya. Rendahnya pengetahuan anak muda terhadap kesehatan reproduksi (KESPRO) dan kurangnya akses terhadap informasi yang akurat dan terpercaya tentang kontrasepsi disinyalir menjadi dua penyebab utama hal tersebut. Kedua fakta itulah yang kini tengah menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia. Bukan tanpa sebab, kemajuan teknologi yang begitu pesat membuat para remaja dan generasi millennials lebih mudah dalam mengakses konten-konten berbau pornografi dan terjerumus dalam pergaulan bebas. Hal tersebut secara tidak langsung memicu peningkatan angka kehamilan remaja di Indonesia. Menurut dr. UF Bagazi, SpOG dari RS. Brawijaya Antasari, kehamilan pada masa remaja sebaiknya dihindari karena menimbulkan banyak sekali efek negatif. Tidak hanya menyangkut kesehatan tubuh saja, tetapi juga berdampak pada kesehatan psikologinya. “Minarke atau men situ pertama kali dialami oleh anak wanita pada usia 12-13 tahun. Namun sayangnya, tidak banyak yang mengetahui bahwa pada masa inilah perbandingan antara mulut dan bagian atas rahim masih memiliki proporsi yang sama 1:1,” tutur UF Bagazi, dalam konferensi Hari Kontrasepsi Sedunia bersama DKT Indonesia, di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (25/9/2018). Dengan kata lain, rahim anak remaja cenderung tidak dapat menahan calon bayi yang seharusnya bertahan didalam kandungan selama kurang lebih 9 bulan. Jika dipaksakan justru dapat menyebabkan persalinan prematur, pecahnya ketuban, keguguran, mudah terkena infeksi, hingga anemia kehamilan (kekurangan zat besi). “Organ kelamin mereka itu belum mature seutuhnya. Mungkin saja terjadi robekan- robekan antara saluran kencing dengan vagina yang dapat menimbulkan infeksi, keracunan kehamilan, hingga berujung kematian. Kematian ibu pada saat melahirkan itu banyak disebabkan karena pendarahan dan infeksi,” tegasnya. Lebih lanjut dr. UF Bagazi menjelaskan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BKKBN dan Kemenkes, seorang wanita dianggap sehat dan siap untuk hamil saat mereka telah berusia 24 tahun. Pada usia inilah seluruh organ reproduksi maupun kesehatan psikologi mereka telah siap secara keseluruhan. “Undang-Undang Pernikahan kita memang memperbolehkan seseorang menikah pada usia 16 tahun. Tapi kalau bisa ditunda setelah mereka benar-benar siap. Sekarang banyak yang usianya masih terbilang remaja tetapi sudah hamil. Dampak utamanya itu pada psikologi mereka, belum siap membesarkan anak, belum siap secara edukasi, finansial, dan hal-hal penting lainnya,” tukas UF Bagazi. Saat ini, untuk berbagai kepentingan remaja tidak hanya bergaul dengan kelompok di lingkungannya saja. Dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya pergaulan remaja sudah semakin luas dan semakin bebas. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi pengetahuan dan wawasan mereka, termasuk dalam bidang kesehatan reproduksi. Selain melalui teman, sumber informasi utama remaja tenang kesehatan reproduksi pada umumnya adalah media massa (cetak dan elektronik). Paparan informasi seksual melalui media massa tidak begitu banyak memberikan kontribusi positif bagi remaja (Mohamad, 1990). Tidak jarang informasi yang yang diperoleh hanya berupa alternatif pemecahan masalah bagi mereka yang pernah mempunyai masalah kesehatan reproduksi, seperti konsultasi seksologi di beberapa majalah atau koran. Rubrik konsultasi seperti tersebut di atas biasanya diikuti oleh mereka yang sudah berumah tangga atau mereka yang berperilaku tidak sehat. Sementara informasi yang sifatnya mendidik, yang mampu meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, sehingga mereka terhindar dari perilaku tidak sehat kurang memadai. Keadaan pengetahuan seperti ini menjadi faktor penting yang menyebabkan mereka semakin permisif melakukan hubungan seks pranikah. Masalah yang paling ditakuti oleh remaja yang melakukan hubungan seks pranikah adalah apabila sampai terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Pernikahan dini merupakan fenomena yang juga terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat. Terjadinya pernikahan dini antara lain disebabkan faktor ekonomi dan sosialbudaya. Kondisi ekonomi yang kurang baik atau beban ekonomi yang berat karena anggota keluarganya banyak, menyebabkan seorang anak tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Dalam situasi seperti ini, pernikahan merupakan suatu alternatif untuk meringankan atau mengurangi beban ekonomi. Menikahkan anak sedini mungkin akan meringankan beban ekonomi keluarga, karena akan ada tambahan pemasukan dari menantu yang bekerja membantu keluarga si perempuan. Faktor sosial budaya juga memiliki peranan yang sangat besar. Cara yang efektif untuk mencegah terjadinya pernikahan dini berdasarkan penelitian ialah: Melihat maraknya kasus pernikahan dini di Indonesia disertai dengan dampak yang akan didapat akibat pernikahan dini, maka penting bagi kita untuk menyadarkan masyarakat bahwa pernikahan dini perlu untuk diantisipasi atau diatasi. Untuk itu, berikut adalah cara- cara yang bisa diterapkan untuk membantu mengurangi adanya risiko pernikahan dini: Menurut Maholtra, dkk (2011), terdapat banyak program penanganan pernikahan dini yang telah diterapkan diberbagai negara, namun berikut beberapa program pencegahan pernikahan yang disampaikan: A. Memberdayakan anak dengan informasi, ketrampilan, dan jaringan pendukung lainnya. Program ini berfokus pada diri anak dengan cara pelatihan, membangun ketrampilan, berbagi informasi, menciptakan lingkungan yang aman, dan mengembangkan jejaring dukungan yang baik. Program ini bertujuan agar anak memiliki pengetahuan yang baik mengenai diri mereka dan agar mereka mampu mengatasi kesulitan sosial dan ekonomi baik secara jangka panjang maupun jangka pendek. Beberapa program yang telah dilakukan sebelumnya yaitu: latihan keterampilan hidup tentang kesehatan, nutrisi, keuangan, komunikasi, negosiasi, pengambilan keputusan, dan tema yang terkait lainnya. 1. Pelatihan keterampilan vokasional agar anak-anak yang berisiko mengalami pernikahan dini memiliki aktivitas yang berpenghasilan. 2. Pelatihan pengetahuan mengenai kesehatan sexual dan reproduksi 3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan anak, sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan menggunakan berbagai media 4. Mentoring dan pelatihan peer group yang ditujukan untuk pemuda/pemudi, orang dewasa lainnya, guru, dll, agar menunjang penyebaran informasi dan mendukung anak-anak perempuan yang berisiko menikah dini. 5. “Safe spaces” atau forum, kelompok, dan pertemuan yang memungkinan adanya proses tatap muka, berkumpul, terhubung, dan bersosialisasi dengan lingkungan di luar rumah. B. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas Keterlibatan orangtua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling banyak digunakan dalam penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah untuk menciptakan suatu lingkungan yang baik, disebabkan karena ditangan keluarga dan anggota masyarakat yang tua-lah keputusan pernikahan anak dilakukan atau tidak. Program yang melibatkan strategi ini diantaranya ialah: 1. Pertemuan tatap muka dengan orangtua, komunitas, dan pemuka agama untuk memperoleh dukungan. 2. Edukasi terhadap kelompok dan komunitas mengenai konsekuensi dan alternatif terhadap pernikahan anak. 3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan anak, sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan menggunakan berbagai media 4. Kampanye yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat yang berpengaruh, kepala keluarga, dan anggota komunitas. C. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak Penelitian banyak yang menemukan bahwa pendidikan bagi anak perempuan sangat berkorelasi dengan penundaan usia menikah. Di sekolah, anak dapat mengembangkan ketrampilan sosial sehingga memungkinkan adanya perubahan norma mengenai pernikahan dini. 1. Menyiapkan, melatih, dan mendukung anak-anak perempuan untuk mendaftar sekolah 2. Program peningkatan kurikulum sekolah dan pelatihan guru untuk menyampaikan materi dan topik seperti ketrampilan hidup, kesehatan sexual dan reproduksi, HIV/AIDS, dan kesadaran peran gender. 3. Program pemberian uang tunai, beasiswa, subsidi, seragam, dan suplai lainnya agar anak-anak perempuan bersedia menjalani proses belajar mengajar. D. Menawarkan dukungan ekonomi dan pemberian insentif pada anak dan keluarganya E. Membuat dan mendukung kebijakan terhadap pernikahan dini.