PROPOSAL SKRIPSI
DELA MAULIDA T
NIM. 2105902020164
JURUSAN GIZI
MEULABOH
2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
dunia , 167 juta anak ( 98 % ) hidup di negara berkembang. Ambitious
World Health Assembly menargetkan penurunan 40% angka Stunting di
seluruh dunia pada tahun 2025 mendatang. Global Nutritional Report 2018
melaporkan bahwa terdapat sekitar 150,8 juta (22,2%) balita Stunting yang
menjadi salah satu faktor terhambatnya pengembangan manusia di dunia.
World Health Organization (WHO) menetapkan lima daerah sub regio
prevalensi Stunting tertinggi, termasuk Indonesia yang berada di regional
Asia Tenggara (36,4%) (United Nation, 2018) (UNICEF, Levels and
Trends in child malnutrition - UNICEF WHO). Di Indonesia, saat ini
stunting menjadi permasalahan kesehatan dengan prevalensi nasional
sebesar 20,1 % ( Pemantauan status gizi ,2017). Dari 10 orang anak sekitar
3-4 orang anak mengalami stunting ( zahraini, 2013 ). Indonesia adalah
salah satu dari 3 negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia
Tenggara. Penurunan angka kejadian stunting di Indonesia tidak begitu
signifikan jika dibandingkan dengan Myanmar, Kamboja dan Vietnam
( Trihono dkk,2015 ).
Indonesia sendiri menurut data merupakan negara dengan beban
anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.
Supriyantoro menerangkan stunting tidak hanya dialami keluarga miskin,
namun juga mereka yang berstatus keluarga mampu atau berada. Melihat
begitu banyaknya masalah Stunting di Indonesia pemerintah telah
melakukan beberapa upaya dalam penanggulangan penurunan angka
Stunting yang bisa dilihat dari data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI)
pada tahun 2022 menunjukkan prevalensi Stunting yaitu 21.6 yang turun
dari 24.4 Pada tahun 2021.
Berdasarkan akumulasi data Stunting tahun 2021 dari data Survei
Status Gizi balita Indonesia (SSGI) bahwa angka prevalensi Stunting kota
Subulussalam masih berada pada kategori tinggi dan menjadi 3 besar se
Aceh yaitu 41.8%, bahkan angka ini berada di atas angka Stunting
provinsi Aceh sebesar 33.2%. Stunting merupakan keadaan kekurangan
gizi yang berlangsung secara terus menerus dan terjadi dalam jangka
3
waktu yang lama, yang artinya kita harus mengatasi penyebab Stunting
bahkan hingga penyebab kecil sekalipun.
Menurut beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
salah satu penyebab masalah Stunting di Indonesia adalah maraknya
pernikahan dini. Pernikahan usia dini sendiri menurut UU No.16 Thn 2019
sebagai perubahan atas UU No.1 Thn 1974 tentang perkawinan adalah
pernikahan di bawah 19 tahun. Menurut Kusmiran (2011) Pernikahan dini
adalah pernikahan yang dilakukan remaja di bawah usia 20 tahun yang
belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Sedangkan Ghifari dalam
Desiyanti (2015) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah pernikahan
yang dilaksanakan di usia remaja.
Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan secara sah
oleh seseorang yang memiliki persiapan dan kedewasaan yang memadai,
sehingga hal ini merupakan suatu hal yang menyusahkan dan membawa
banyak risiko yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang terkait
seperti kehamilan usia dini dan persalinan dini. Saat melakukan sebuah
pernikahan, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis
belum matang serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar. Pengetahuan ibu
secara tidak langsung juga mempengaruhi status kesehatan ibu, janin yang
dikandung, dan kualitas bayi yang akan dilahirkan. Selama ini upaya
peningkatan gizi dilakukan ketika ibu sudah hamil, sehingga akan lebih
baik pendidikan gizi khususnya dalam pencegahan Stunting dilakukan
ketika ibu belum hamil dan akan mempersiapkan kehamilannya (Djauhari
T, 2017).
Hubungan lainnya, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal
hingga usia mencapai 21 tahun. Jika sudah menikah pada usia remaja,
misalnya 15 atau 16 tahun maka tubuh ibu akan berbagi gizi dengan bayi
yang di kandungnya. Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama
kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan
sangat berisiko terkena Stunting. Perempuan yang hamil di bawah usia 18
tahun, organ reproduksinya belum matang dan belum terbentuk sempurna.
4
Kepala Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan, Penelitian dan
Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Parigi Moutong Abd Sahid SPd
mengatakan, Pernikahan dini salah satu penyumbang tingginya angka
Stunting karena usia pernikahan terlalu muda dan bisa menyebabkan risiko
bayi Stunting. Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan
Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum,
mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021, angka
perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan dari 10,35 persen
pada tahun 2020 menjadi 9,23 persen pada tahun 2021.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS ) dan data sensus pada
tahun 2017, persentase pernikahan anak di bawah umur 19 tahun di kota
Subulussalam dengan jenis kelamin pria sebesar 56, 15% dan persentase
wanita sebesar 54.44%. Begitu banyak faktor yang mendasari terjadinya
pernikahan dini ini, mulai dari ekonomi orang tua, anak yang tidak
sekolah, hingga kehamilan yang tidak di inginkan. Sehingga dapat di
ketahui bahwa dari data Stunting di Subulussalam yang mencapai 43.8%
memiliki hubungan dengan tingginya angka pernikahan dini yang terjadi
di kota Subulussalam.
5
Sesuai dengan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pernikahan dini di kota
Subulussalam
2. Untuk mengetahui dampak pada anak yang lahir dari ibu yang belum
cukup umur
3. Guna mengetahui hubungan antara pernikahan dini dengan anak
stunting.
6
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang hubungan
pernikahan dini terhadap anak stunting di kota Subulussalam
juga sebagai pembelajaran bagi peneliti sendiri.
7
pada anak perempuan yang melakukan pernikahan pada
usia remaja. Gambar 3 menunjukkan adanya
kecenderungan semakin muda usia perkawinan ibu, maka
proporsi balita dengan status gizi pendek semakin
meningkat. Tim riset Irlandia yang melakukan penelitian
pada remaja 14-17 tahun yang sudah hamil, menemukan
para ibu remaja juga cenderung memiliki berat badan di
bawah normal. Sekitar 21 persen dari mereka yang berusia
17 tahun cenderung melahirkan bayi prematur dalam
kehamilan pertama. Kemudian 93 persen dari mereka
cenderung memiliki bayi kedua dengan jarak sangat dekat
dari bayi pertama. Ada pula kaitan antara ibu remaja
dengan bayi berbobot kurang dari normal. Menurut Ali
Khashan, risiko kelahiran prematur pada kehamilan ibu
remaja kemungkinan berhubungan dengan
"ketidakmatangan secara biologis".