ANALISIS PICO
Problem or
Intervention Comparison Outcome
Patients
Faktor prognostik :
1. Kejang
Sekuele/gejala sisa :
Anak-anak (usia 1 2. Tidak adanya rash
1. Ketulian
bulan-14 tahun) 3. Kadar glukosa LCS
None 2. Hidrosefalus
dengan meningitis yang rendah
3. Ventrikulitis
bakterial 4. Kadar protein LCS
4. Kelainan kejang
yang tinggi
5. Kultur positif)
Pertanyaan Klinis
Apakah kejang, tidak ditemukannya rash/ptekie, kadar glukosa LCS yang rendah dan
protein LCS yang tinggi serta hasil kultur yang positif pada anak-anak usia 1 bulan – 14
tahun yang menderita meningitis bakterialis merupakan faktor prognosis bagi terjadinya
sekuele berupa ketulian, hidrosefalus, ventrikulitis dan sekuele kejang?
BUKTI ILMIAH
Vasilopoulou V.A, Karanika M., Theodoridou K., Katsioulis A. T., Theodoridou M. N.,
Hadjichristodoulou C. S., Prognostic factors related to sequelae in childhood bacterial
meningitis: Data from a Greek meningitis registry. BMC Infectious Diseases 2011, 11:214.
ABSTRAK
Latar Belakang
Meningitis bakterial merupakan penyakit yang mengancam jiwa serta sering berhubungan
dengan komplikasi maupun sekuele/gejala sisa yang serius. Bayi dan anak-anak yang mampu
bertahan hidup dari infeksi meningitis bakterial sering menderita sekuele neurologis maupun
gejala sisa lainnya
Metode
Total pasien sejumlah 2.477 anak usia 1 bulan – 14 tahun yang dirawat di RS Anak di Yunani,
dengan diagnosis meningitis bakterial akut, direkrut melalui Register Meningitis dari tahun
1974 – 2005. Berbagai parameter klinis, laboratoris, dan parameter lain (seperti jenis kelamin,
umur, organisme penyebab, durasi gejala sebelum dirawat dan selama perawatan) dievaluasi
terhadap kejadian sekuele melalui analisis univariat dan multivariat. Analisis terhadap
komplikasi akut yang terjadi juga ikut diteliti namun tidak diikutsertakan dalam model akhir.
Hasil
Rerata kejadian komplikasi akut (artritis dan atau efusi subdural) diperkirakan sebesar 6,8%
(152 dari 2.251 pasien, 95%CI 5,8-7,9) sedangkan rerata kejadian sekuele (ketulian berat,
ventrikulitis, hidrosefalus, atau kelainan kejang) yang diamati pada anak-anak yang bertahan
adalah sebesar 3,3% (73 dari 2.207 pasien, 95%CI 2.6-4.2). Faktor risiko pada saat awal masuk
RS yang berhubungan dengan terjadinya sekuele adalah kejang, tidak ditemukannya rash
hemorragik, kadar glukosa LCS yang rendah, kadar protein LCS yang tinggi dan etiologi dari
meningitis. Kombinasi berbagai faktor prognostik yang bermakna tersebut diantaranya adanya
kejang, kadar glukosa LCS yang rendah, kadar protein LCS yang tinggi, hasil kultur darah
positif dan tidak ditemukannya ptekie pada saat datang di RS memberikan risiko absolut
terhadap kejadian sekuele sebesar 41,7% (95%CI 15.2-72.3).
Simpulan
Kombinasi sejumlah faktor-faktor prognostik terhadap sekuele dari meningitis bakterial dapat
bernilai dalam menyeleksi pasien-pasien yang membutuhkan terapi secara intensif dan
mengidentifikasi kandidat yang mungkin bagi strategi terapi yang baru.
2. Apakah follow up pada seluruh pasien dilakukan secara lengkap dan dalam
waktu yang memadai?
Ya, waktu pengamatan dilakukan sejak pasien datang sampai dengan 3 bulan setelah
pasien pulang dari perawatan di RS. Lama pengamatan dinilai cukup memadai untuk
melihat terjadinya sekuele berupa ketulian berat, ventrikulitis, hidrosefalus, atau
kelainan kejang. Beberapa penelitian sebelumnya yang juga meneliti sekuele
meningitis bakterial dilakukan dengan waktu pengamatan yang kurang lebih sama.
Selama periode pengamatan tersebut didapatkan angka kejadian sekuele meningitis
bakterial sebesar 3,38%.
Analisis multivariat merupakan salah satu alat untuk menyingkirkan faktor perancu
dengan teknik analisis. Dengan teknik ini maka asosiasi antar variabel menjadi lebih
murni karena variabel lain termasuk perancu “dibuat” sama atau tetap. Berdasarkan
hasil analisis multivariat tersebut, penelitian ini membuktikan bahwa kejang merupakan
faktor risiko dengan risiko tertinggi untuk kejadian sekuele yaitu sebesar 5,36 kali.
Berikutnya adalah penurunan kadar glukosa LCS (<40mg/dl) menyebabkan
kemungkinan terjadinya sekuele meningitis bakterial sebesar 5,18 kalinya dari populasi
tanpa gejala tersebut. Kadar protein LCS yang tinggi (>100 mg/dl) dan hasil kultur
darah yang positif bakteri meningkatkan risiko terjadinya sekuele meningitis bakterial
masing–masing 2,97 dan 2,66 kalinya. Adanya rash hemorragik merupakan faktor
prognostik yang baik (favourable factor) karena justru menurunkan kemungkinan
terjadinya sekuele meningitis bakterial sebesar 0,2 kalinya. Tudak ditemukannya rash
hemorragik/ ptekie saat awal datang merupakan faktor prognostik bagi peningkatan
risiko terjadinya sekuele. Rash hemorragik merupakan gejala yang paling sering
ditemukan pada meningococal meningitis bakterial. Berdasarkan penelitian ini
diketahui bahwa meningitis bakterial yang disebabkan oleh N.meningitidis paling
sedikit berhubungan dengan sekuele (hanya berhubungan dengan terjadinya komplikasi
akut yaitu artritis). Itu sebabnya ditemukannya gejala ini merupakan favourable factor.
Pada tabel di atas dapat dilihat absolute risk dan RR dari tiap-tiap faktor prognostik :
a. Gejala klinis yang merupakan faktor prognostik bagi terjadinya sekuele :
Kejang pada saat pertama datang di RS absolute risk 11% dan RR 4,61
Tidak ditemukannya ptekie saat awal datang absolute risk 4,9% dan RR 6,01
Juka terdapat kejang dan tidak ada ptekie saat awal datang kemungkinan untuk
mendapat sequele menjadi 7,5 kalinya. (AR 15,4%)
b. Hasil analisis LCS yang merupakan faktor prognosis bagi terjadinya sekuele :
Kadar protein LCS > 100 mg/dl saat awal datang absolute risk 5,3% dan RR
3,34
Kadar glukosa LCS < 40 mg/dl di saat awal datang absolute risk AR 6,0% dan
RR 5,53
Bila terdapat hasil LCS dengan peningkatan protein (>100mg/dl) dan
penurunan glukosa (<40 mg/dl) saat awal datang, disertai dengan gejala klinis
berupa kejang dan tidak ditemukannya ptekie maka absolute risk sekuele
meningkat menjadi 24,5% dengan peningkatan risiko relatif untuk tejadinya
sekuele yaitu sebesar 10,34 kali dibanding kelompok penderita yang tidak
memiliki faktor-faktor tersebut.
c. Hasil kultur darah positif bakteri :
Absolute risk 7% dengan RR 3,11
Bila terdapat hasil kultur darah positif bakteri dengan hasil LCS berupa
peningkatan protein (>100mg/dl) dan penurunan glukosa (<40 mg/dl) saat awal
datang, disertai dengan gejala klinis berupa kejang dan tidak ditemukannya
ptekie maka absolute risk sekuele meningkat dari 24,5% menjadi 41,7% dan
risiko relatif untuk tejadinya sekuele juga meningkat yaitu dari 10,34 kali
menjadi 13,45 kalinya dibanding kelompok penderita yang tidak memiliki
faktor-faktor tersebut
Absolute risk adalah beda proporsi absolut estimasi even/kejadian sekuele antara
kelompok dengan faktor prognosis positif dan yang tidak. Berdasarkan data tersebut
terlihat bahwa kombinasi antara gejala klinis, hasil analisis LCS dan hasil kultur darah
dapat dipergunakan sebagai alat prognosis untuk memprediksi kemungkinan risiko
terjadinya sekuele pada anak-anak dengan meningitis bakterial.
Ya, karakteristik pasien di tempat kita serupa dengan subyek dalam jurnal ini baik dari
segi usia, derajat keparahan meningitis, jenis kelamin, termasuk kriteria laboratoris
analisis LCS untuk meningitis bakterial. Sampel penelitian ini tidak sangat berbeda
dengan pasien kita sehingga kita seharusnya dapat menggunakan hasil penelitian itu
untuk menginformasikan kesimpulan prognosis pada pasien-pasien kita.
2. Apakah bukti ini akan mempunyai pengaruh yang penting secara klinis terhadap
kesimpulan kita tentang apa yang perlu ditawarkan atau diberitahukan kepada
pasien kita?
Kejang, ptekie, kadar glukosa dan protein cairan serebrospinal serta hasil kultur darah
merupakan faktor prognosis bagi terjadinya sekuele/gejala sisa pada anak-anak usia 1
bulan - 14 tahun yang menderita meningitis bakterialis.